Professional Documents
Culture Documents
I. PENDAHULUAN
Sejalan dengan pemahaman dan pengetahuan kita, konsep sehat dalam upaya penanganan kesehatan
penduduk sudah mengalami banyak perubahan. Banyak negara berkembang termasuk Indonesia ,
sampai saat ini melakukan penanganan kesehatan masih berupa program-program konvensional yang
masih menekankan pada pengembangan rumah sakit-rumah sakit, penanganan penyakit secara
individual, spesialis, terutama penanganan peristiwa sakit secara episodik.
Program kesehatan jangka panjang tidak menguntungkan karena akan berkumpul di tempat yang
banyak uang yaitu kota-kota besar, dari segi ekonomi upaya kesehatan yang berorientasi kuratif bersifat
konsumtif tidak produktif.
XI. PENUTUP
Demikianlah uraian tentang paradigma sehat. Perubahan paradigma hanya akan terjadi bila diikuti
dengan perubahan orientasi para pengambil keputusan, perubahan peraturan perundangan yang
mungkin terjadi perubahan pendekatan, pengorganisasian,fasilitas, ketenagaan dan alokasi pembiayaan
yang menjadi kunci terjadinya perubahan paradigma baru yaitu paradigma sehat.
Pentingnya sebuah paradigma (Dalam makna yang lebih populer dapat diartikan menjadi “visi kita
terhadap realitas”) dalam proses pembangunan kesehatan, dikemukakan oleh AL Slamet Riyadi (1984)
dalam bukunya “Sistem Kesehatan Nasional; Dalam Tinjauan Ilmu Kesehatan Masyarakat“ menyebutkan
‘sebuah sistem dalam proses pembangunan, tidak akan berjalan mulus apabila tidak ada pendekatan
filosofis atau paradigma yang memayunginya’. Sementara Thomas Kuhn dalam bukunya “The Structure
of Scientific Revolutions”, menyatakan bahwa hampir pada setiap terobosan baru perlu didahului
dengan perubahan paradigma untuk memecahkan atau merubah kebiasaan dan cara berpikir lama.
Dengan kata lain ‘suatu sistem tanpa paradigma ibaratnya, setumpuk kertas tanpa makna’.
Menkes saat itu (FA Moeloek), saat rapat kerja dengan komisi VI DPR RI, Selasa tanggal 15 September
1998, Depkes RI memperkenalkan paradigma baru dalam pembangunan kesehatan yaitu Paradigma
Sehat (Kompas,16/9/98). Sebelumnya, pemerintah memakai paradigma sakit. Paradigma sakit adalah
cara pandang dalam upaya kesehatan yang mengutamakan upaya kuratif dan rehabilitatif. Penanganan
kesehatan penduduk menekankan pada penyelenggaraan pelayanan di rumah sakit, penanganan
penduduk yang sakit secara individu dan spesialistis. Hal ini menjadikan kesehatan sebagai suatu yang
konsumtif. Sehingga menempatkan sektor kesehatan dalam arus pinggir (sidestream) pembangunan
(Does Sampoerna, 1998).
Namun hingga saat ini, perubahan paradigma (paradigm shift) masih sangat kecil (bila tidak ingin disebut
tidak ada), salah satu penyebabnya karena masih kuatnya dominasi kelompok status quo, yang sulit
melakukan perubahan dalam pembangunan kesehatan.
Seiring dengan waktu, diskursus (discourse) tentang arah paradigma pembangunan kesehatan bergulir
dengan cepat. Paradigma sehat yang dianut pemerintah, dipandang sebagai suatu yang terlambat alias
‘usang’, karena adagium “Pencegahan lebih baik daripada mengobati” sudah lama kita dengar semenjak
jaman nenek moyang kita. Toh, baru pada tanggal 16 September 1998, adagium ‘tradisional’ itu diterima
sebagai suatu kebijakan resmi pemerintah.
Kritik terhadap paradigma sehat adalah paradigma sehat terkesan memisahkan aspek kuratif dan
preventif, padahal dalam upaya kesehatan yang diperlukan adalah keterpaduan dan keseimbangan
diantara semua aspek, bukannya saling mendominasi dan meniadakan. Mengobati penderita TBC sama
pentingnya dengan dengna penyuluhan pencegahan TBC, karena penderita TBC adalah resiko bagi yang
sehat.
Dewasa ini muncul pemikiran paradigma baru di dalam pembangunan kesehatan. Pemikiran baru itu
dilandasi argumentasi bahwa pembangunan kesehatan haruslah sesuai dengan realitas politik dalam
kehidupan bernegara kita. Dimana semenjak bola reformasi digulirkan, terdapat dua isu sentral yaitu
‘Demokratisasi dan Penegakan HAM’, yang harus direspon oleh kalangan kesehatan.
Kedua isu sentral itu, menimbulkan pemikiran baru dalam pembangunan kesehatan bahwa kesehatan
harus dilihat dari 2 aspek tersebut. Bila dikaitkan, maka paradigma pembangunan kesehatan yang lebih
tepat dan mendasar adalah “Kesehatan adalah bagian dari HAM” dan “Kesehatan adalah sebuah
Investasi”.
Kesehatan adalah bagian dari HAM merupakan cerminan proses penegakan HAM. Konstitusi WHO 1948
telah menyebutkan ‘Memperoleh derajat kesehatan yang optimal adalah hak yang fundamental bagi
setiap manusia, tanpa membedakan ras, agama, keyakinan politik, status sosial, dan ekonomi’. Bahkan
dalam UUD 45 pasal 28H ayat 1 secara eksplisit menyatakan bahwa kesehatan adalah hak setiap warga
negara. Untuk itu persoalan yang menyangkut kesehatan penduduk harus dibumikan dalam bentuk
kebujakan dan program yang mendukung paradigma ini.
Selama ini, Indonesia gagal dalam memenuhi hak atas kesehatan penduduknya. Bisa dilihat dari
indikator kesehatan Angka Kematian Ibu (AKI) sebesar 390 per 100.000 kelahiran dan Angka Kematian
Bayi (AKB) sebesar 41 per 1000 kelahiran, merupakan angka terburuk di ASEAN. Nilai Human
Development Index (HDI), yang merupakan komposit dari sisi ekonomi, kesehatan dan pendidikan
menduduki urutan 109 dari 170 negara, menunjukkan kualitas SDM negara kita masih payah.
Masih banyaknya penyakit infeksi dan menular, menyebabkan beban ganda (double burden) yang
ditanggung semakin berat, karena penyakit degeneratif dan life style tergolong tinggi. Fakta lain
ditunjukkan oleh Revrisond Baswir dkk (1999), dalam bukunya “Pembangunan Tanpa Perasaan”
menyebutkan pelayanan kesehatan kita belum menjangkau seluruh lapisan masyarakat alias tidak
merata, diperparah lagi subsidi sektor kesehatan malah dinikmati kalangan ‘berpunya’.
Ironisnya, masyarakat, media massa, politikus bahkan insan kesehatan masih memandang hak
kesehatan hanya sebatas pada hak untuk memperoleh pelayanan kuratif di rumah sakita dan
puskesmas. Padahal, hak untuk menikmati hidup sehat jauh lebih luas daripada sekedar hak akan
pelayanan kuratif. Salah satunya jaminan dari negara bahwa segala akses informasi tentang kesehatan
dan ketersediaannya harus tersedia bagi segala lapisan masyarakat.
Kesehatan sebagai Sebuah Investasi merupakan cerminan dari pentingnya SDM yang produktif.
Dibeberapa negara maju yang menggunakan konsep sehat produktif, sehat adalah sarana atau alat
untuk hidup sehari-hari secara produktif. Upaya kesehatan harus diarahkan untuk dapat membawa
setiap penduduk memiliki kesehatan yang cukup agar bisa hidup produktif.
Selama ini, pemerintah masih memandang sektor kesehatan sebagai sektor konsumtif, kesehatan tidak
dilihat sebagai investasi, tetapi hanya dilihat sebagai sektor kesejahteraan yang dinilai menjadi beban
biaya. Bukti nyatanya adalah alokasi belanja kesehatan pemerintah yang sangat rendah, hanya sekitar 2-
3% dari total belanja negara. Namun ironisnya, pelayanan kesehatan malah menjadi sumber
pendapatan pembangunan.
Disini membuktikan pemerintah menerapkan standar ganda dalam bidang kesehatan. Disatu sisi, belanja
kesehatan dianggap beban dan tidak diprioritaskan. Disisi lain, pelayanan kesehatan dijadikan sumber
pendapatan. Artinya pembangunan negara ini disokong dari uang rakyat yang sakit. Sehingga masuk akal
bila ada orang usil mengatakan “Bila pemerintah ingin mendapat sumber pendapatan yang besar, sebar
saja kuman atau virus kepada masyarakat, agar masyarakat menjadi sakit dan kemudian mereka berobat
ke rumah sakit pemerintah”
Padahal dengan rendahnya alokasi belanja kesehatan akan menghasilkan indikator kesehatan yang
rendah. Jika dibandingkan dengan negara ASEAN, Indonesia terendah dalam belanja kesehatan. Dalam
laporan WHO tahun 1999, Indonesia hanya mengeluarkan 1,8% dari produk domestik brutonya (PDB)
untuk belanja kesehatan. Sementara negara ASEAN lain yang memiliki PDB per kapita lebih tinggi
mengeluarkan porsi lebih besar untuk kesehatan. Maka tidak mengherankan bila indikator kesehatan
Indonesia, terendah diantara negara ASEAN, karena kita menanam modal lebih kecil, maka kita
mendapat hasil yang sedikit.
Menurut Thabrany (1999), terdapat korelasi negatif antara status kesehatan dengan pendapatan per
kapita di kemudian hari, jika faktor lain konstan. Negara-negara yang di awal tahun 70-an memiliki AKB
tinggi, tidak memiliki pendapatan perkapita tinggi ditahun 1991 dan sebaliknya. Artinya, teori tentang
tingkat kesehatan yang tinggi akan meningkatkan produktifitas mempunyai bukti yang kuat .
Kondisi diatas menunjukkan, kesehatan sebagai salah satu unsur utama SDM dan sebagai modal tahan
lama (durable capital) sama sekali belum dinilai penting oleh para pembuat keputusan. Padahal adagium
di lingkungan Internasional yang menyebutkan “Health is not everything, but without health, everything
is nothing” merupakan cerminan dari urgensitas kesehatan dalam suatu pengembangan masyarakat dan
pembangunan secara nasional.
Pada masa otonomi daerah ini, dimana salah satu bidang yang dilimpahkan pada daerah adalah bidang
kesehatan. Maka selayaknya pemerintah daerah dan DPRD benar-benar memahami paradigma baru
pembangunan kesehatan ini. Bila mereka memahami paradigma baru pembangunan kesehatan
tersebut, mau tidak mau mereka akan menempatkan kesehatan sebagai salah satu modal dasar bagi
pengembangan kualitas SDM. Dan menempatkan bidang kesehatan sebagai pilar pembangunan daerah.
Bila tidak, pemerintah akan dituduh melakukan pelanggaran HAM dan state neglect (penelantaran
negara) terhadap warganya