You are on page 1of 75

ANALISA SOSIOLOGI HUKUM BERDASARKAN

METODE PENDEKATAN DAN FUNGSI HUKUM


Posted by mujiburrahman on October 22, 2009

Timur Abimanyu

Latar Belakang
Analisa Sosiologi yang berdasarkan Metode Pendekatan dan Fungsi Hukum, yang pada
pokoknya adalah terdapatnya unsur-unsur seperti Sosiologi Hukum Pendekatan
Intrumental, Pendekatan Hukum Alam dan Karakteristik Kajian Sosiologi
Hukum.Dengan memerlukan Metode Pendekatan Sosiologi Hukum, Perbandingan
Yuridis Empris dengan Yuridis Normatif, Hukum Sebagai Sosial Kontrol dan Hukum
Sebagai Alat Untuk Mengubah Masyarakat, yang merupakan sebagai tolak ukur terhadap
norma-norma atau kaidah-kaidah yang hidup didalam masyarakat, apakah norma atau
kaidah tersebut dipatuhi atau untuk dilanggar, apabila dilanggar bagaimana pernerapan
sangsi, sebagai yang melakukan pelanggaran tersebut.

Norma atau kaidah yang hidup didalam masyarakat tersebut dipengaruhi oleh kondisi
internal maupun eksternal dari masyarakat itu sendiri.
Terdapat beberapa permasalahan pokok yaitu : 1. bagaimanakah Pendekatan Intrumental
dan Pendekatan Alam yang dipengaruhi oleh kondisdi internal maupun eksternal ?, dan 2.
bagaimanakah Perbandingan Yuridis Empris dengan Yuridis Normatif apabila dilihat dari
sudut pandang internal maupun eksternal

Tujuan dan maksud, dalam membahas serta menganalisa sampai tentang Sosiologi
Hukum yang secara tidak sadar meresap dan hidup didalam kehidupan masyarakat baik
secara internal maupun secara eksternal didalam melakukan interaksi social, yaitu dengan
menggunakanMetode Pendekatan Sosiologi Hukum dan Perbandingan Yuridis Empris
dengan Yuridis Normatif adalah yang merupakan standarisasi sebagai objek pokok
pembahasan Sosiologi Hukum.

Penggunaan kerangka teori dan konsep adalah untuk melihat pendapat para ahli yang
telah mendefinisikan, seperti : konsep dari H.L.A. HART yang difinisinya adalah :
“Bahwa suatu konsep tentang hukum yang mengandung unsur-unsur kekuasaan yang
berpusat kepada kewajiban tertentu didalam gejala hukum yang tampak dari kehidupan
bermasyarakat”.

Pengertian Sosiologi Hukum terlihat dari Difinisi para ahli Sosiologi Hukum sepert :

1. Soejono Soekanto. Sosilogi Hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang
secara analitis dan empiris yang menganalisis atau mempelajari hubungan timbal
balik antara hukum dengan gejala-gejala social lainnya.
2. R. Otje Salaman. Sosiologi hukum (ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik
antara hukum dengan gejala-gejala social lainnya secara empiris analistis).
Jelas terlihat berdasarkan definisi para ahli bahwa sosiologi hukum adalah segala aktifitas
social manusia yang dilihat dari aspek hukumnya disebut sosiologi hukum.

Dasr sosiologi hukum adalah Anzilotti pada tahun 1882, yang dipengaruhi oleh disiplin
ilmu Filsafat hukum, ilmu hukum dan sosiologi yaitu :
1. Filsafat Hukum adalah dimana pokok bahasannya adalah aliran filsafat hukum, yang
menyebakan lahirnya sosiologi hukum yaitu aliran Positivisme (difinisi Hans Kelsen.
“Hukum berhirarkhis”). Dan aliran filsafat hukum tumbuh dan berkembang berdasarkan :
a. Mazhab sejarah yang dipelopori oleh Carl Von Savigny yang mengungkapkan bahwa
hukum itu dibuat, akan tetapi tumbuh dan berkembang bersama-sama dengan masyarakat
(volksgeisf).
b. Aliran Utility (Jeremy Bentham) yaitu bahwa hukum harus bermanfaat bagi
masyarakat guna mencapai hidup bahagia.
c. Aliran Sociological Juriprudence (Eugen Ehrlich) yaitu hukum yang dibuat harus
sesuai dengan hukum yang hidup didalam masyarakat (living law).
d. Aliran Pragmatic Legal Realism (Roscoe Pound) yaitu “ law as at tool of social
engineering”.
2. Ilmu Hukum menganggap bahwa hukum sebagai gejala social, banyak mendorong
pertumbuhan sosiologi hukum dan hukum harus dibersihkan dari anasir-anasir sosiologi
(non yuridis).
3. Sosilogi yang berorientasi pada hukum adalah bahwa dalam setiap masyarakat selalu
ada solideritas, ada yang solidaritas mekanis yaitu terdapat dalam masyarakat sederhana,
hukumnya bersifat reprensip.

Ruang Lingkup Sosilogi Hukum, dimana sosiologi hukum didalam ilmu pengetahuan,
bertolak kepada apa yang disebut disiplin ilmu, yaitu sistem ajaran tentang kenyataan,
yang meliputi disiplin analitis dan disiplin hukum (perskriptif). Disiplin analitis,
contohnya adalah sosilogis, psikologis, antropologis, sejarah, sedangkan disiplin hukum
meliputi : ilmu-ilmu hukum yang terpecah menjadi ilmu tentang kaidah atau patokan
tentang prilaku yang sepantasnya, seharusnya, ilmu tentang pengertian-pengertian dasar
dan system dari pada hukum dan lain-lain. Terdapatnya pendekatan-pendekatan yang
terdiri dari :
1. Pendekatan Instrumental.
Adalah menurut pendapat Adam Podgorecki yang dikutip oleh Soerjono Soekanto yaitu
bahwa sosiologi hukum merupakan suatu disiplin Ilmu teoritis yang umumnya
mempelajari ketentraman dari berfungsinya hukum, dengan tujuan disiplin ilmu adalah
untuk mendapatkan prinsip-prinsip hukum dan ketertiban yang didasari secara rasional
dan didasarkan pada dogmatis yang mempunyai dasar yang akurat
2. Pendekatan Hukum Alam.
Adalah menurut Philip Seznik yaitu bahwa pendekatan instrumental merupakan tahap
menengah dari perkembangan atau pertumbuhan sosiologi hukum dan tahapan
selanjutnya akan tercapai, bila ada otonomi dan kemandirian intelektual. Tahap tersebut
akan tercapai apabila para sosiolog tidak lagi berperan sebagai teknisi, akan tetapi lebih
banyak menaruh perhatian pada ruang lingkup yang lebih luas. Pada tahan ini seorang
sosilog harus siap untuk menelaah pengertian legalitas agar dapat menentukan wibawa
moral dan untuk menjelaskan peran ilmu social dalam menciptakan masyarakat yang
didasrkan pada keseimbangan hak dan kewajiban yang berorientasi pada keadilan.( Rule
of Law menurut Philip Seznick).

Karakteristik Kajian Sosilogi Hukum, adalah fenomena hukum didalam masyarakat


dalam mewujudkan : 1. deskripsi, 2. penjelasan, 3. Pengungkapan (revealing), dan 4
prediksi yaitu bahwa karekteristik kajian sosiologi hukum adalah sebagai berikut :
1. Sosilogi Hukum berusaha untuk memberikan deskripsi terhadap praktek hukum dan
dapat dibedakan dalam pembuatan Undang-Undang, penerapan dalam pengadilan, maka
mempelajari pula bagaimana parktek yang terjadi pada masing-masing bidang kegiatan
hukum tersebut.
2. Sosiologi hukum bertujuan untuk menjelaskan mengapa sesuatu praktek-praktek
hukum didalam kehiduipan social masyarakat itu terjadi, sebab-sebabnya, factor-faktor
apa yang mempengaruhi. Latar belakang dan sebagainya.Pendapat Max Weber yaitu “
Interpretative Understanding” yaitu cara menjelaskan sebab, perkembangan serta efek
dari tingkah laku social, dimana tingkah laku dimaksud mempunyai dua segi yaitu luar
dan dalam atau internal dan ekternal.
3. Sosilogi hukum senantiasa menguji kesahian empiris dari suatu peraturan atau
pernyataan hukum, sehingga mampu memprediksi suatu hukum yang sesuai dan/atau
tidak sesuai dengan masyarakat tertentu.
4. Sosilogi hukum bersifat khas ini adalah apakah kenyataan seperti yang tertera padsa
peraturan itu ? dan harus menguji dengan data empiris.
5. Sosiologi Hukum tidak melakukan penilaian terhadap hukum, tingkah laku yang
mentaati hukum, sama-sama merupakan obyek pengamatan yang setaraf, tidak ada segi
obyektifitas dan bertujuan untuk memberikan penjelasan terhadap fenomena hukum yang
nyata.
Penguraian Metode Pendekatan Sosilogi Hukum, Perbandingan Yuridis Empiris dengan
Yuridis Normatif, Hukum sebagai social Kontrol dan Hukum Sebagai Alat Untuk
Mengubah Masyarakat.

Metode Pendekatan Sosiologi Hukum,


Dalam pengkajian hukum positif masih mendominasi studi hukum pada Fakultas Hukum,
yang cenderung untuk menjadi suatu lembaga yang mendidik mahasiswa untuk
menguasai teknologi hukum, yaitu menguasai hukumnya bagi sesuatu persoalan tertentu
yang terjadi serta bagaimana melaksanakan atau menerapkan peraturan-peraturan hukum.
Hal ini dapat disebut pengkajian hukum melalaui pendekatan yuridis normative. Dan
selain pendekatan tersebut dalam pengkajian hukum ada sisi lain yaitu hukum dalam
kenyataannya didalam kehidupan social kemasyarakatan, bukan kenyataan dalam bentuk
pasal-pasal dalam perundang-undangan, melainkan sebagaimana hukum dioperasikan
oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian pendidikan hukum yang
bersifat sociological model yang terdiri dari 1. social structure, 2.behavior,3. variable, 4
observer, 5.scientific dan 6.explanation akan menjadikan ilmu hukum itu reponsif
terhadap perkembangan dan perubahan dalam masyarakat.

Perbandingan Yuridis Empiris dengan Yuridis Normatif,


Untuk membanding hal tersebut diatas, maka pendekatan kenyataan hukum dalam
masyarakat dengan pendekatan yuridis normative, maka perlu menguraikan lebih dahulu
dimaksud pendekatan yuridis empiris atau ilmu kenyataan hukum dan penjelasannya
sebagai berikut :
1. Sosilogi Hukum adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara hukum
dengan gejala-gejala social lainnya secara empiris analistis. Contoh : apakah seorang
bermaksud lebih dari seorang isteri terdapat dalam PP No. 9 Tahun 1975 Pasal 40.
2. Antropologi hukum adalah ilmu yang mempelajari pola-pola sengketa dan bagaimana
penyelesaiannya pada masyarakat sederhana dan pada masyarakat modern. Contoh : pada
masyarakat sederhana ada dewam masyarakat adat sedangkan pada masyarakat modern
adalah Putusan Hakim.
3. Psikologi Hukum adalah ilmu yang mempelajari perwujudan dari jiwa manusia.
Contoh: diatatinya atau dilanggarnya hukum yang berlaku dalam masyarakat.
4. Sejarah Hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum positif pada masa
lampau/Hindia Belanda sampai dengan sekarang. Contoh : Monumen ordinantie
( HIR/Rbg).
5. Perbandingan Hukum adalah ilmu yang membandingkan sistem-sistem hukum yang
ada didalam suatu Negara atau antar Negara. Contoh Hukum adat Batak dengan hukum
adat jawa atau hukum singapura dengan hukum Negara Indonesia.
Pendekatan yuridis empiris atau pendekatan kenyataan hukum dalam masyarakat yang
dilengkapi dengan contoh diatas, dapat dipahami bahwa berbeda dengan pendekatan
yuridis normative/pendekatan doktrin hukum.

Hukum Sebagai Sosial Kontrol,


Dimana setiap kelompok masyarakat selalu ada problem sebagai akibat adanya perbedaan
antara yang ideal dan yang aktual, antara yang standard dan yang parktis. Penyimpangan
nilai-nilai yang ideal dalam masyarakat dapat dicontohkan : pencurian, perzinahan
hutang, membunuh dan lain-lain. Semua contoh ini adalah bentuk prilaku yang
menyimpang yang menimbulkan persoalan didalam masyarakat, baik pada masyarakat
yang sederhana maupun pada masyarakat yang modern. Dalam situasi yang demikian itu,
kelompok itu berhadapan dengan problem untuk menjamin ketertiban bila kelompok itu
menginginkan, mempertahankan eksistensinya.
Fungsi Hukum dalam kelompok masyarakat adalah menerapkan mekanisme control
sosial yang akan membersihkan masyarakat dari sampah-sampah masyarakat yang tidak
dikehendaki, sehingga hukum mempunyai suatu fungsi untuk mempertahankan eksistensi
kelompok masyarakat tersebut. Hukum yang berfungsi demikian adalah merupakan
instrument pengendalian social.

Hukum Sebagai Alat Untuk Mengubah Masyarakat,


Hukum sebagai sosial control, juga hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat atau
biasa disebut social enginnering, Alat pengubah masyarakat adalah analogikan sebagai
suatu proses mekanik. Terlkihat akibat perkembangan Industri dan transaksi-transaksi
bisnis yang memperkenalkan nilai-nilai baru. Peran perubahan/pengubahan tersebut
dipegang oleh hakim melalui interprestasi dalam mengadili kasus yang dihadapinya
secara seimbang (balance) dan harus memperhatikan beberapa hal yaitu :
1. Studi tentang aspek social actual dari lembaga hukum.
2. Tujuan dari pembuatan peraturan hukum yang efektif.
3. Studi tentang sosiologi dalam mempersiapkan hukum.
4. Studi tentang metodologi hukum.
5. Sejarah hukum.
6. Arti penting tentang alasan-alasan dan solusi adari kasus-kasus individual yang pada
angkatan terdahulu berisi tentang keadilan yang abstrak dari suatu hukum yang abstrak.
Dari keenam langkah yang perlu diperhatikan oleh hakim atau praktisi hukum dalam
melakukan “interprestasi”, maka perlu ditegaskan bahwa memperhatikan temuan-temuan
tentang keadaan social masyarakat melalui bantuan ilmu sosilogi, maka akan terlihat
adanya nilai-nilai atau norma-norma tentang hak individu yang harus dilindungi, yang
semula hanya merupakan unsur-unsur tersebut kemudian dipegang oleh masyarakat
dalam mempertahankan kepada apa yang disebut dengan hukum alam. (natural law).

Menganalisa Faktor Internal.


Metode Pendekatan Sosiologi Hukum sangat dipengaruhi oleh factor internal yang hidup
didalam masyarakat, seperti dalam pengkajian hukum positif terhadap studi hukum yang
cenderung untuk melembaga yang mendidik mahasiswa untuk menguasai teknologi
hukum, yaitu menguasai hukumnya bagi sesuatu persoalan tertentu yang terjadi serta
bagaimana melaksanakan atau menerapakan peraturan-peraturan hukum. Hal ini dapat
disebut pengkajian hukum melalaui pendekatan yuridis normative, dan selain pendekatan
tersebut dalam pengkajian hukum ada sisi lain yaitu hukum dalam kenyataannya didalam
kehidupan sosial kemasyarakatan, bukan kenyataan dalam bentuk pasal-pasal dalam
perundang-undangan, melainkan sebagaimana hukum dioperasikan oleh masyarakat
dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian pendidikan hukum yang bersifat
sociological model yang terdiri dari 1. social structure, 2.behavior,3. variable, 4 observer,
5.specientific dan 6.explanation akan menjadikan ilmu hukum itu reponsif terhadap
perkembangan dan perubahan dalam masyarakat. Secara analisa factor internal bahwa
metode pendekatan tersebut dipengaruhi kebijakan dasar yaitu Dewan Hukum Adat pada
masyarakat sederhana, sedangkan pada masyarakat modern adalah putusan hakim. Juga
dipengaruhi kebijakan pemberlakuan, akibat pengaruh kebijakan dasar tersebut dengan
upaya untuk mematuhi keputusan kebijakan dasar dan apabila tidak melaksanakan maka
akan terkena sanksi kebijakan pemberlakuan, pada masyarakat sederhana keputusan
dewan kepala adat harus dilaksanakan dengan ketentuan musyarakat dewan adat,
sedangkan pada masyarakat modern, keputusan Hakim adalah merupakan kebijakan
dasar sedangkan kebijakan pemberlakukan adalah apabila tidak melaksanakan putusan
tersebut akan mendapat sanksi yang ditentukan oleh undang-undang yang berlaku.

Menganilsa Faktor Eksternal


Metode Pendekatan Sosiologi Hukum sangat dipengaruhi juga oleh faktor eksternal yang
hidup diluar masyarakat, seperti dalam pengkajian hukum positif terhadap studi hukum
yang cenderung untuk melembaga yang mendidik mahasiswa untuk menguasai teknologi
hukum, yaitu menguasai hukumnya bagi sesuatu persoalan tertentu yang terjadi serta
bagaimana melaksanakan atau menerapakan peraturan-peraturan hukum. Hal ini dapat
disebut pengkajian hukum melalaui pendekatan yuridis normative, dan selain pendekatan
tersebut dalam pengkajian hukum ada sisi lain yaitu hukum dalam kenyataannya didalam
kehidupan sosial kemasyarakatan, buka kenyataan dalam bentuk pasal-pasal dalam
perundang-undangan, melainkan sebagaimana hukum dioperasikan oleh masyarakat
dalam kehidupan sehari-hari.Dengan demikian pendidikan hukum yang bersifat
sociological model yang terdiri dari 1. social structure, 2.behavior,3. variable, 4 observer,
5.specientific dan 6.explanation akan menjadikan ilmu hukum itu reponsif terhadap
perkembangan dan perubahan dalam masyarakat. Secara analisa faktor eksternal
mempengaruhi metode pendekatan tersebut, terhadap kebijakan dasar eksternal yaitu
peraturan nasional yang menaungi keamaan dan ketentraman masyarakat sederhana
tersebut, seperti pemberlakuan hak penguasan tanah adat (Hak Ulayat), sedangkan pada
masyarakat modern adalah peraturan perundangan-undangan pertanahan (Hukum
Agraria) yang melindungi masyarakat modern didalam hal penguasaan tanah. Sangat
jelas terlihat bahwa kebijakan pemberlakuan, sebagai akibat dipengaruh kebijakan dasar
tersebut, dengan upaya untuk mematuhi keputusan kebijakan dasar yang berupa peraturan
perundang-undang dan apabila tidak melaksanakan ketentuan tersebut, maka akan hilang
hak penguasaan tanah tersebut yaitu kebijakan pemberlakuan pada masyarakat modern.

Kesimpulan
Pada pendekatan intrumental adalah merupakan disiplin Ilmu teoritis yang umumnya
mempelajari ketentraman dari berfungsinya hukum, dengan tujuan disiplin ilmu adalah
untuk mendapatkan prinsip-prinsip hukum dan ketertiban yang didasari secara rasional
dan didasarkan pada dogmatis yang mempunyai dasar yang akurat dan tidak terlepas dari
pendekatan Hukum Alam. menciptakan masyarakat yang didas untukrkan pada
keseimbangan hak dan kewajiban yang berorientasi pada keadilan.( Rule of Law).

Pada karakteristik kajian sosiologi hukum adalah fenomena hukum didalam masyarakat
dalam mewujudkan : 1. deskripsi, 2. penjelasan, 3. Pengungkapan (revealing), dan 4
prediksi yaitu bahwa karekteristik kajian sosiologi hukum adalah sebagai berikut yaitu
Sosilogi Hukum berusaha untuk memberikan deskripsi terhadap praktek hukum dan
dapat dibedakan dalam pembuatan Undang-Undang, penerapan dalam pengadilan,
Sosiologi hukum bertujuan untuk menjelaskan mengapa sesuatu praktek-praktek hukum
didalam kehidupan social masyarakat itu terjadi, sebab-sebabnya, factor-faktor apa yang
mempengaruhi. Latar belakang, Sosilogi hukum senantiasa menguji kesahihan empiris
dari suatu peraturan atau pernyataan hukum, sehingga mampu memprediksi suatu hukum
yang sesuai dan/atau tidak sesuai dengan masyarakat tertentu, Sosilogi hukum bersifat
khas ini adalah apakah kenyataan seperti yang tertera pada peraturan dan harus menguji
dengan data empiris.

Dengan dilakukan metode Pendekatan Sosiologi Hukum, adalah pengkajian hukum


positif, yang cenderung untuk menjadi suatu lembaga yang mendidik mahasiswa untuk
menguasai teknologi hukum, yaitu menguasai hukumnya bagi sesuatu persoalan tertentu
yang terjadi serta bagaimana melaksanakan atau menerapakan peraturan-peraturan
hukum (pendekatan yuridis normative dan pendekatan pengkajian hukum pada kenyataa
didalam kehidupan social kemasyarakatan). Sedangkan Perbandingan Yuridis Empiris
dengan Yuridis Normatif, adalah pendekatan kenyataan hukum dalam masyarakat dengan
pendekatan yuridis normative, dengan menguraikan lebih dahulu pendekatan yuridis
empiris atau ilmu kenyataan hukum dan penjelasannya yaitu : Sosilogi Hukum adalah
ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala social
lainnya secara empiris analistis, Antropologi hukum adalah ilmu yang mempelajari pola-
pola sengketa dan bagaimana penyelesaiannya pada masyarakat sederhana dan pada
masyarakat modern, Psikologi Hukum adalah ilmu yang mempelajari perwujudan dari
jiwa manusia, Sejarah Hukum sebagai iilmu yang mempelajari hukum positif pada masa
lampau sampai dengan sekarang, dan Perbandingan Hukum adalah ilmu yang
membandingkan sistem-sistem hukum yang ada didalam suatu Negara atau antar Negara.

Hukum Sebagai Sosial Kontrol, adalah setiap kelompok masyarakat selalu ada problem
sebagai akibat adanya perbedaan antara yang ideal dan yang aktual, antara yang standar
dan yang parktis yaitu penyimpangan nilai-nilai yang ideal dalam masyarakat.adalah
untuk menjamin ketertiban bila kelompok itu menginginkan, mempertahankan
eksistensinya.Begitu juga mengenai Fungsi Hukum dalam kelompok masyarakat adalah
menerapkan mekanisme control sosial yang akan membersihkan masyarakat dari
sampah-sampah masyarakat yang tidak dikehendaki.

Hukum Sebagai Alat Untuk Mengubah Masyarakat, adalah hukum sebagai sosial control,
dan sebagai alat untuk mengubah masyarakat atau biasa disebut social enginnering,
sebagai alat pengubah masyarakat adalah dianalogikan sebagai suatu proses mekanik.
Terlihat akibat perkembangan Industri dan transaksi-transaksi bisnis yang
memperkenalkan nilai-nilai baru, dengan melakukan “interprestasi”, ditegaskan dengan
temuan-temuan tentang keadaan social masyarakat melalui bantuan ilmu sosilogi, maka
akan terlihat adanya nilai-nilai atau norma-norma tentang hak individu yang harus
dilindungi, dan unsur tersebut kemudian dipegang oleh masyarakat dalam
mempertahankan kepada apa yang disebut dengan hukum alam. (natural law).

by : Timur Abimanyu
.

DAFTAR PUSTAKA

———-Uraian, Sorjono Soekanto, Mengenal Sosiologi Hukum. (Bandung: PT.Citra


Aditya Bakti, 1989),

Satjipto.R. Ilmu Hukum. (Bandung, Alumni, 1982),hal.310 dan R.Othe Salman,


Sosiologi Hukum Suatu Pengantar, (Bandung : Penerbit CV. ASrmico, 1992)hal.13. dan
H.L.A, The Consept of Law, (London Oxford University Pres, 1961), hal 32.

Prof.DR.H.Zainuddi Ali,MA, Sosiologi Hukum. Penerbit : Yayasan Mayarakat Indonesia


Baru. Palu.

Ilmu Kenyataan hukum dalam masyarakat, yaitu sosilogi hukum, antropologi hukum,
psikologi hukum, sejarah hukum dan perbandingan hukum.

—————-Donald Black. Sociological Justice, (New York : Academic Pres, 1989)..

Ronny Hanitijo Soemitro, Beberapa Masalah Dalam Studi Hukum dan Masyarakat,
(Bandung : Remadja Karya, 1985).
—————-Donald Black.The Behavior of Law, ( New York,Academic Press, 1976)

—————-Roscoe Pound, Interpretation Of Legal History. (USA : Hlmes Heaxh,


Florida, 1986).

Ter Haar, Bzn.B. “ Beginselen En Stelsel Van Het Adar Recht”. J.B. Woters Groningen.
Jakaarta, 1950.

Putusan Mahkamah Agung. No. 59 K/Sip/ 1958 “ Menurut Hukum Adat Karo sebidang
tanah “ Lesain” yaitu sebidang tanah kosong, yang letaknya dalam kampung, bias
menjadi hak milik perorangan, setelah tanah itu diusahakan secara intensif oleh seseorang
penduduk kampung itu “

Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997. “Hak Ulayat secara sadar tidak dimasukkan
dalam golongan obyek pendaftaran tanah teknis tidak mungkin, karena batas-bayas
tanahnya tidak mungkin dipastikan tanpa menimbulkan sengketa antara masyarakat
hukum yang berbatasan”.

Dalam “Advies der Agrarische Commisale” yang tercetak, Landsdrukkerij 1930, terdapat
segala sesuatu yang menurut pendapat saya merupakan kecaman sehat terhadap masalah
ini. Keberatan-keberatan yang menentang advies tadi, adalah terdapat dalam verslag dari
panitya untuk mempelajari Advoes Der Agrarische Commisale 1932, panitya mana
dibentuk oleh perkumpulan “ Indie-Nederland”.

UU No. 4 tahun 1996. ( Undang Undang Hak Tanggungan). “Seminar Hukum Adat dan
Pembangunan Hukum Nasional, Yogyakarta 1975”.

Soewardu. “ Sekitar Kodifikasi Hukum Nasional di Indonesia “Jakarta, 1950, hal..60.


Ceramah Koesano tentang “ Pembangunan Hukum Adat”.

Kartohadiprodjo, Soedirman. “ Hukum Nasional” beberapa catatan, Bina tjipta, 1968,

Hartono, Sunarjati. “ Capita Selecta Perbandingan Hukum”. Alumni (Stensil) Bandung,


1970, hal. 21-23.

Poesponoto, Soebakti. “ Asa-asas dan susunan Hukum Adat”. Penerbit : Pradnya


Paramita. Jakarta, 1976.

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 5 tahun 1999 tentang Pedoman
penyelesaian masalah hak ulayat masyarakat Hukum Adat (87).

Undang-Undang No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi khusus Provinsi Papua (87).

12 UU Darurat No. 1 tahun 1952 ko UU No. 24 tahun 1954 tentang pemindahan hak
tanah-tanah dan barang-barang tetap lainnya yang bertakluk pada hukum barat (LN.1952-
1 jo LN.1954-78. TLN.626).
Untuk jawa dan madura, kecuali daerah swapraja : Agrarisch Besluit (S.1870-118) dan
Ordonnantie.S.1872-237a jo S.1913-699). Untuk luar jawa dan madura, kecuali daerah
swapraja : S.1874-94f (Sumatra) diganti dengan Erfpachts, S.1877-55 (keresidenan
Menado) Ordonnantie Buitengewesten, S. 1888-58 (Zuider-en Oosterafdeking Borneo)
(S.1914-367), S.1910-61 Wefpacht Ordonnantie Zelfberturende Landschappen
Buitengewestenm S. 1915-474 Pemberian kewenangan kepada penguasa swapraja untuk
memberikan hak-hak barat atas tanah (21).

Reglement omtrent de Partikuliere Landerijen bewesten de Cimanuk op java (S.1912-


422).

Prent K. Adisubrata, j. Porwadarminta. “ Kamus Latin Indonesia” Yayasan : Kanisius.


Semarang 1960. Hal.9 ( Buku . Prof. Budi Harsono).

Subekti,R. “ ASEAN LAW ASSOCIATION”. Harian Sinar Harapan tgl 25, Jakarta.,
1984. di Singapura, bahwa dalam pembaharuan dan pembinaan Hukum Nasional, kita
perlu belajar dari perkembangan Hukum Negara tetangga lain, namun diingatkan, dalam
pembaharuan Hukum Nasional sebanyak-bantknya kita harus berpedoman kepada
falsafah bangsa kita yaitu Pancasila dan UUD 1945. Ditegaskan bahwa para ahli Hukum
kita tidak kalah dari para ahli Hukum dari negara-negara ASEAN yang lain. Dan sebagai
bukti Prof. Subekti menunjuk kepada prodak Undang-Undang Pokok Agraria, yang
dinilainya sebagai produk hukum yang hebat. Undang-Undang itu merupakan system
hukum kita sendiri, yang dengan tegas membuang jauh-jauh hukum tanah Belanda yang
tercerai-berai, dan sekarang ini kita mempunyai Hukum Tanah yang seragam.

Andteas H. Roth. Sebagai yang dikutip oleh Gautama, Sudargo..


“Adanya kesepakatan Universal, bahwa suatu negara diperbolehkan tidak mengijinkan
orang-oreang lain selain warganegaranya sendiri untuk memperoleh benda-benda tetap
diwilayh kekuasaannya”. Dimana Roth merumuskan “ Rule Number 6” yaitu yang
berdasarkan Hukum Internasional. Keistimewaan yang diberikan kepada orang-orang
asing untuk berparttisipasi dalam kehidupan ekonomi negara dimana ia bertempat
tinggal, tidak sampai meliputi pemilikan semua atau benda-benda tertentu, baik benda
bergerak maupun benda tetap.

Hadilusuma, Hilman. “Sejarah Hukum Adat Indonesia”. Penerbit Alumni, Bandung


tahun 1978..

Star Nauta Carsten, C- Verwer, J. ” Proe Advies Derde Juristen Conggres”. Di Jakarta
disertai Verwer J 1934. De Bataviasche Gronthuur, Een Europeesch Gewoonterechtelijke
Opstalfiguur.NV.Drukkerij J.de Boer, Tegal, 1934.

Ward, Barbara dan Rene, Dubos. “Satu Bumi : Perawatan dan Pemeliharaan Sebuah
Planet Kecil”. Lembaga Ekologi Universitas Pajajaran dan Yayasan Obor. Jakarta
:Gramedia, 1974.
Koentjaraningrat. “ Rintangan-Rintangan mental dalam pembangunan ekonomi di
Indonesia.” Terbitan tak berkala, seri no. 12, Lembaga Reasearch Kebudayaan Nasional,
Jakarta, 1969, hal. 19.

http://www.blogcatalog.com/group/blog-promotion-1/discuss/entry/analisa-sosiologi-
hukum-berdasarkan-metode-pendekatan-dan-fungsi-hukum

Posted in S2, Sosiologi Hukum | 2 Comments »

PERKEMBANGAN HUKUM DI NEGARA


BERKEMBANG PERAN BUDAYA HUKUM
Posted by mujiburrahman on October 22, 2009

Benny S Tabalujan

Makalah ini merupakan pemaparan peran budaya hukum dalam proses pembangunan
hukum, terutama di negara berkembang. Tujuannya adalah untuk menggarisbawahi
pentingnya budaya hukum dalam masyarakat yang mengingikan terjadinya reformasi
hukum. Meskipun makalah ini baru sebatas sebuah konsep, Saya memberikan uraian
yang disertai dengan beberapa contoh reformasi hukum di Indonesia sekitar tahun 1990-
an.

Saya mengawali Bagian A dengan membahas hukum dan gerakan pembangunan


semenjak tahun 1960-an sampai dengan 1970-an dengan fokus kajian pada cangkok
hukum. Pada bagian B, Saya menggunakan pendekatan holistik untuk memecahkan
masalah yang berkaitan dengan sebab-sebab terjadinya perubahan hukum. Saya
membahas konsep Budaya Hukum-nya Lawrence M. Friedman dan taksonomi sistem
hukum karya Ugo Mattei. Pada bagian C, dengan menggunakan pendekatan dari kedua
sarjana tersebut, Saya memperkenalkan konsep ‘kebiasaan hukum’ dan ‘kesadaran
hukum’. Saya selanjutnya membuat sebuah model ysng sederhana dan dapat digunakan
untuk menganalisa budaya hukum dan pembangunan hukum dalam konteks dinamis.
Saya juga mengajukan beberapa kesimpulan yang berkaitan dengan implikasi yang
ditimbulkan oleh model ini.

Bagian A: Hukum dan Pembangunan

Hukum dan gerakan pembangunan pada tahun 1960-an sampai dengan 1970-an berkaitan
dengan hubungan antara hukum dan pembangunan, terutama negara-negara berkembang.
Gerakan ini dimaksudkan untuk mengkaji peran hukum dalam konteks pembangunan
sosial, ekonomi dan politik. Salah satu kunci dari gerakan ini terletak pada dapat tidaknya
hukum modern negara maju diimpor dan digunakan negara berkembang untuk
mempercepat pembangunan. Ada beberapa pendekatan terhadap permasalahan ini.
Kaum ortodoks dan mayoritas melihat bahwa reformasi di bidang hukum , terutama
pengenalan ide dan lembaga hukum modern negara barat kepada negara berkembang,
memegang peran penting dalam pembangunan ekonomi dan politik. Dua sarjana bidang
hukum dan pembangunan menyebut pendekatan ini sebagai ‘hukum liberal’. Inti dari
pendekatan ini adalah masyarakat terdiri atas individu, kelompok dan negara; negara
memegang kontrol hukum untuk mencapai tujuan masyarakat; negara menerapkan
hukum yang sama kepada semua orang secara bebas dan rasional; dan perilaku sosial
cenderung mengikuti hukum tersebut.

Pendekatan ini percaya bahwa pembangunan hukum merupakan prasyarat pembangunan


ekonomi dan hukum modern negara maju dapat diterapkan di negara berkembang sebagai
cangkok hukum untuk memenuhi persyaratan tersebut. Sebenarnya, kajian Watson
terhadap cangkok hukum menunjukkan bahwa peminjaman telah menjadi fenomena
umum dalam sejarah dan merupakan sumber paling subur dalam pembangunan hukum.

Kaum minoritas melihat hukum terikat dengan budaya dan tidak dapat dipindahkan atau
dipinjam dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya seperti halnya meminjam kunci
Inggris untuk menutup lekuk yang bocor. Pandangan ini berasal dari Montesquieu dan
sarjana asal Jerman, Friedrich Carl von Savigny. Sagviny percaya bahwa negara
mempunyai kesatuan oganik dari individu dan bahwa hukum negara berkembang melalui
pembentukan norma-norma sosial dalam suatu masyarakat secara periodik. Di sini tidak
akan dibicarakan pengraruh aliran yurisprudensi Savigny pada para sarjana Belanda pada
awal abad 20 (seperti Cornelius dan Vollenhoven) dan pemimpin nasional Indonesia ,
seperti Soepomo,. Mengikuti garis pemikiran ini, Robert Seidman yang dikenal melalui ‘
Hukum dari Hukum yang tidak dapat dipindahkan’ (The Law of Non-Transferability of
Law) mengatakan bahwa perpindahan hukum dari satu budaya ke budaya lain tidak
mungkin dilakukan karena hukum tidak dapat berlaku sama sebagaimana hukum itu
digunakan di tempat asal.

Pandangan yang menyatakan bahwa cangkok hukum mempunyai peran positif dalam
pembangunan ekonomi dipertegas oleh gencarnya program modernisasi bidang hukum di
beberapa negara Amerika Latin dan Afrika juga sebagian kecil negara berkembang di
Asia pada tahun 1960-an dan 1970-an. Proses ini dijuluki ‘difusi hukum’ (legal
difusionism).

Namun demikian, momen keraguan terhadap kemanjuran program modernisasi hukum


ini mulai muncul. Patrick Mc Auslan, 1997, menulis bahwa hukum dan gerakan
pembangunan tahun 1960-an sangat percaya jika hukum mempunyai peran yang sangat
vital dalam pembangunan. Dalam pandangannya, gerakan tersebut kehilangan momen
karena penekanan dari gerakan tersebut terletak pada bidang hukum struktural dan
substantif dan gagal menentukan sifat hubungan sebab akibat antara hukum dan
pembangunan secara lebih umum.

Pada tahun 1990-an, hukum dan pembangunan kembali menjadi tpoik yang hangat. Hal
ini tidak mengejutkan sebab pada tahun ini ada dukungan pembaharuan dari negara maju
terhadap ferormasi hukum pada negara berkembang. Dukungan ini dilakukan melalui
agen-agen multilateral seperti Bank Pembangunan Asia (ADB) dan juga lembaga bantuan
individu seperti USAID. Tak di sangkal bahwa minat pembaharuan bidang hukum
merupakan atribut, meskipun sebagian, terhadap realisasi bahwa pemerintahan yang baik-
yang pada gilirannya nanti mensyaratkan kerangka kerja hukum yang memuaskan-
merupakan inti dari pembangunan ekonomi yang kokoh. Bank Dunia, khususnya,
mengetahui secara eksplisit pentingnya reformasi hukum dalam konteks ini:

Kerangka hukum dalam sebuah negara merupakan unsur penting dalam pembangunan
ekonomi, politik dan sosial. Menciptakan kemakmuran melalui komitmen kumulatif
manusia, sumber daya teknologi dan modal sangat bergantung pada hukum yang dapat
mengamankan hak milik, masyarakat sipil yang teratur, dan perilaku komersial, dan
membatasi kekuasaan negara.

Lebih dari itu, ketika masalah hukum dan pembangunan kembali mendapatkan perhatian,
Saya melihat sisi positif lain. Menurut pendapat Saya mereka yang terlibat dalam
perdebatan ini lebih menyadari keterbatasan reformasi hukum struktural dan substantif,
terutama dalam cangkok hukum. Justru, ada kesadaran yang semakin bertambah jika
keyakinan dan norma sosial untuk menerima masyarakat dan keinginan dan kapasitas
mereka untuk menjelajah, memahami dan mematuhi hukum baru merupakan faktor
penting yang menentukan keberhasilan cangkok hukum tersebut.

Pendekatan lain juga menyebutkan bahwa reformasi hukum, melalui penggunaan


cangkok hukum, bukanlah inti dalam pembangunan ekonomi bahkan tidak relevan.
Perannya terletak di tengah-tengah dengan memainkan peran pemberdayaan yang
sederhana tetapi penting dalam proses perubahan sosial. jika benar, Saya berpendapat
tugas mendesak untuk memunculkan kembali perdebatan antara hukum dan
pembangunan adalah dengan menemukan hubungan antara pembangunan hukum dan
masalah ekonomi, sosial dan politik secara luas. Dengan kata lain, tugas mendesak saat
ini sama seperti yang dikatakan empat dekade lalu:

Yang dibutuhkan adalah suatu kajian terhadap metode di mana hukum yang didukung
oleh otoritas negara dapat mempengaruhi perilaku dan faktor sosial, politik, psikologis
dan faktor lain yang jauh dari sistem hukum normatif membatasi kemampuan hukum
untuk mengubah perilaku.

Tujuan di atas disampaikan karena akan memperjelas pengaruh faktor eksternal terhadap
sistem hukum dan membatasi kemanjuran hukum jika hukum tersebut dapat mengubah
perilaku. Keuntungan dari pendekatan ini adalah bahwa sebagian dari pikiran dasar
liberalisme liberal ortodoks- misalnya, hukum merupakan alat yang efektif untuk
mengubah masyarakat- tetap ada meskipun bukan merupakn yang dikritisi. Kita dapat
terus menyakini kemanjuran bidang reformasi hukum dalam proses pembangunan dengan
sedikit mengabaikan dampak daya ekonomi, sosial dan politik terhadap sistem hukum.
Jadi, reformasi hukum dapat dianggap sebagai sebab dan dampak dari perubahan sosial
yang luas. Dengan demikian, kita dapat mengembangkan model yang lebih menyeluruh
dan memahami potensi dan keterbatasan hukum dalam pembangunan ekonomi secara
lebih realistis.
Bagian B: Pendekatan Holistik pada Sistem Hukum

Dari pembahasan awal, kita mengetahui bahwa pendekatan holistik terhadap


pembangunan dan hukum sangat penting. Kunci dari pendekatan ini adalah apresiasi
yang sepenuhnya terhadap unsur sistem hukum lain, sifat dan keluasan faktor eksternal
yang mempengaruhinya. Dengan memahami unsur sebuah sistem hukum, kita
mengetahui bagaimana sebuah sistem bekerja pada satu titik waktu. Dengan memahami
faktor eksternal, kita dapat mengetahui petunjuk-petunjuk bagaimana faktor-faktor
tersebut dapat membuat sistem mengalami perubahan. Memahami unsur sebuah sistem
hukum merupakan analisis statis sedangkan memahami faktor eksternal merupakan
analisis dinamis. Keduanya dapat digunakan jika model teorinya dibuat dengan tujuan
menganalisa sistem hukum karena model ini akan senantiasa berkembang.

Sampai di sini, Saya membahas dua konsep analitik yang dapat menjelaskan perilaku
sistem hukum statis dan dinamis. Konsep pertama adalah konsep ‘budaya hukum’ karya
Lawrence M. Friedman dan konsep Ugo Mattei ‘taksonomi sistem hukum’ yang
disebutnya ‘ pola hukum’ (Patterns of Law)

1. Budaya Hukum

Freidman, seorang sosiolog hukum dari Universitas Stanfords, menyatakan bahwa sistem
hukum terdiri atas tiga komponen, struktur hukum, hukum substantif, dan budaya hukum.
Struktur mengacu pada lembaga dan proses dalam sistem hukum; struktur hukum
merupakan badan, kerangka kerja, dan sistem yang tahan lama. Sistem ini meliputi sistem
pengadilan, legislatif, perbankan, dan sistem koporat. Hokum substansi mengacu pada
hukum – peratutan prosedur dan substansi- dan norma yang digunakan dalam sebuah
lembaga dan mengikat hokum struktur secara bersama. para pengacara dan sarjana
hukum cenderung membatasi analisis mereka terhadap struktur dan substansi sistem
hukum yang sedang mereka pelajari. Friedman membrikan tanggapan terhadap
kecenderungan ini:

Struktur dan substansi merupakan komponen inti dari sebuah sistem hukum, tetapi baru
sebatas desain atau cetakbiru dan bukan mesin kerja. Struktur dan substansi menjadi
masalah karena keduanya statis; keduanya ibaratnya gambar dari sistem hukum. Potret
tersebut tidak memiliki gerak dan kebenaran… dan seperti ruang pengadilan yang
dipercantik , membeku, kaku, sakit berkepanjangan.

Menurut Friedman, unsur yang hilang yang memberikan kehidupan dalam sistem hukum
adalah ‘budaya hukum’. Budaya hukum mengacu pada sikap, nilai, dan opini dalam
masyarakat dengan penekanan pada hukum, sistem hukum serta beberapa bagian hukum.
Budaya hukum merupakan bagian dari budaya umum- kebiasaan, opini, cara bekerja dan
berpikir- yang mengikat masyarakat untuk mendekat atau menjauh dari hukum dengan
cara khusus. Dari ketiga komponen di atas, budaya hukum merupakan komponen yang
paling penting:
Budaya hukum menentukan kapan, mengapa dan di mana orang menggunakan hukum,
lembaga hukum atau proses hukum atau kapan mereka menggunakan lembaga lain atau
tanpa melakukan upaya hukum. Dengan kata lain, faktor budaya merupakan ramuan
penting untuk mengubah struktur statis dan koleksi norma ststis menjadi badan hukum
yang hidup. Menambahkan budya hukum ke dalam gambar ibarat memutar jam atau
menyalakan mesin. Budaya hukum membuat segalanya bergerak.

Namun demikian, konsep Friedman bukannya tanpa kritik. Roger Cotterrell, seorang
sarjana Inggris, mengatakan bahwa konsep Friedman ‘tidak mempunyai kekerasan’ dan
‘secara teoritis tidak padu’. Friedman menanggapi kritik tersebut dengan menjelaskan
bahwa tidak adanya presisi dalam istilah ‘budaya hukum’ tidak membuat konsep itu tidak
padu. Sebenarnya, konsep ini juga mempunyai kesamaan dalam hal kekurangan presisi
sama halnya dengan ‘hukum struktur’, ‘sistem hukum’, dan ‘opini publik’. Menurut
Friedman, arti pentinya ‘budaya hukum’ adalah bahwa konsep ini merupakan variabel
penting dalam proses menghasilkan hukum statis dan perubahan hukum. Dalam
pemahaman Saya, Cotterrell menggarisbawahi kesulitan dalam menggunakan konsep
budaya hukum. Dia salah dalam menarik kesimpulan bahwa konsep tidak padu karena
tidak adanya hal yang khusus. Alasannya adalah bahwa konsep sekompleks ‘budaya
hukum’ cenderung sulit dipahami. Hal ini membuktikan kemampuan konsep budaya
hokum menembus masyarakat dan bukan tanda-tanda kelemehan. Di sisi lain, Cotterrell
sendiri mengakui bahwa konsep Friedman ‘merupakan usaha yang paling dapat
menjelaskan konsep budaya hukum dalam sosiologi hukum komparatif dan
mempertahankan dan mengembangkan secara teoritis penggunaan konsep tersebut’.

Friedman selanjutnya menjelaskan sikap dan nilai dalam budaya hukum. Sikap menurut
Friedman merupakan ‘budaya hukum situasi’. Konsep ini mengacu pada sikap dan nilai
masyarakat umum. Konsep kedua adalah ‘budaya hukum internal’. Konsep ini mengacu
pada sikap dan nilai profesional yang bekerja dalam sistem hukum, seperti pengacara,
hakim, penegak hukum dan lain-lain. Friedman juga menyampaikan bahwa budaya
hukum situasi tidaklah homogen. Bagian masyarkat yang berbeda memiliki nilai dan
sikap berbeda terhadap hukum.

Di negara berkembang, konsep budaya hukum menempati posisi penting karena negara
berkembang sering mendatangkan peraturan, hukum bahkan keseluruhan sistem hukum
dari negara barat dalam usahanya untuk melakukan modernisasi kerangka kerja hukum
mereka. Masalah muncul jika cangkok hukum mengabaikan budaya hukum setempat.
Jika budaya hukum lokal tidak diakomodasi dalam hukum struktur dan substantif asing,
konsep ini tidak akan dapat diterapkan dengan baik.

Dikaitkan dengan kasus yang terjadi di Indonesia, konsep ini telah disampaikankan oleh
komentator luar negeri pada awal tahun 1972. Pada tahun 1982 mantan menteri hukum
dan peradilan, Mochtar Kusumaatmaja juga menyampaikan hal yang sama. Namun
setelah beberapa tahun, konsep ini telah dilupakan para reformis hukum dan baru
sekarang diingat kembali oleh reformasi hukum di Indonesia. Tim Lindsey menulis:
Pandangan instrumentalis yang menyerap banyak literatur dan praktek belumlah cukup.
Seperti yang terjadi di Indonesia, hukum bukan sekedar tugas yang dapat ditarik oleh
pemerintah, multilateral dan legislatif untuk memulai atau menghentikan atau
memperbaki kegiatan sosial dan ekonomi…. Hukum juga bukan sekedar keputusan
hukum dan statuta. Sebagian besar pengacara sekarang mengetahui bahwa hukum dan
norma yang berada di balik peraturan dan orang yang membuat dan menerjemahkannya.
Hukum, dalam pengertian ini, tidak dapat dibedakan dari politik dan ekonomi.

Dengan demikian, analisis pada struktur hukum dan hukum substantif dan terjemahan
terhadap budaya hukum dapat memperlebar jarak. Hasil survei terhadap reformasi hukum
di Indonesia pada tahun 1950-an sampai dengan 1990-an oleh David Linnan merupakan
informasi penting yang dapat didiskusikan. Linan menyatakan tiga artikulasi yang saling
melengkapi yang dapat menjelaskan kegagalan reformasi hukum di Indonesia sejak tahun
1950-an, yaitu: a) pendekatan ilmu politik dan sosiologi yang menekankan peran elit
penguasa, b) pendekatan budaya dan psikologi yang menekankan peran sikap feudal
orang Jawa atau Indonesia, c) interpretasi disfungsi organisasi yang menekankan dampak
problem mendasar dalam organisasi pemerintah Indonesia, terutama di bawah UUD
1945. Linnan menyatakan bahwa interpretasi disfungsi organisasi dapat memberikan
penjelasan kegagalan reformasi hukum selama Orde Baru.

Dalam pandangan saya, meskipun interpretasi disfungsi organisasi terdiri atas beberapa
nilai, tetapi belum memuaskan. Intinya adalah penjelasan institusional tidak dapat
sepenuhnya menjelaskan keluaran reformasi hukum di Indonesia yang belum memuaskan
pada tahun 1990-an. Hukum Perniagaan di Indonesia adalah contohnya. Hukum
perniagaan di Indonesia dibuat terpisah dan berbeda pada tahun 1998 dengan mengikuti
revisi undang-undang kebangkrutan. Hukum yang baru ini diharapkan dapat memberikan
perbaikan dalam proses dan penyelesaian kasus, terutama catatan buruk terhadap sistem
hukum Indonesia yang korup.

Meskipun terdengar sebatas konsep, pengadilan baru tidak dapat memenuhi harapan.
Sebagaimana yang terlihat, kegagalan ini disebabkan karena keberhasilan reformasi
hukum Indonesia bergantung bukan hanya lembaga pengambil suara, tetapi juga sikap
mental yang tepat dan perilaku mereka yang bekerja, mengawasi dan menggunakan
lembaga ini. Dengan demikian, reformasi pada lembaga hukum tanpa lembaga budaya
tidak akan efektif.

Ketika melihat hukum di Indonesia, perhatian dititikberatkan pada masalah structural,


seperti sistem dewan dua pintu dan ketetapan hukum perusahaan yang dikeluarkan pada
tahun 1995 dan membandingkannya dengan produk hukum lainnya. Pendekatan ini
sering mengabaikan bagaimana hukum perusahaan benar-benar bekerja dalam kehidupan.
– permasalahan-permasalahan seperti mengapa pemegang saham menolak untuk
mengajukan direktor dan komisaris ke pengadilan ketika mereka mempunyai hak untuk
menuntut mereka, atau mengapa pegawai di Amsterdam bertindak dengan cara berbeda
ketika mereka bekerja di Jakarta meskipun ketetapan hukum perusahaan sama. Menurut
Friedman, pendekatan tersebut gagal membedakan sistem hukum yang tertulis dengan
system hukum yang berlaku dalam masyarakat.
1. Pola Hukum Mattei

Jika konsep Friedman ‘budaya hukum’ mencoba menjelaskan unsur dalam setiap sistem
hukum, Mattei dengan konsep ‘pola hukum’ mencoba menjelaskan, dengan membuat
taksonomi sistem hukum komparatif, bagaimana sistem hukum berbeda satu dengan yang
lain dan bagaimana perkembangan perbedaan tersebut. Mattei menyampaikan
pandangannya ‘pola sistem hukum’ pada tahun 1997. Dia beranggapan bahwa taksonomi
sistem hukum standar pada hukum sipil, umum, agama dan tradisi hukum masyarakat
atau keluarga tertinggal zaman, utamanya di belahan Eropa-Amerika yang mengabaikan
peta dunia hukum berdasar geografis dan tidak memasukkan budaya. Konsep taksonomi
sistem hukum yang diajukan Mattei, yang disebut ‘pola sistem hukum’, mempunyai nilai
karena taksonomi tersebut menghasilkan kerangka kerja yang dapat digunakan untuk
menganalisa perubahan dan pembangunan dalam sistem hukum yang berbeda-beda.

Dengan menggunakan pendekatan Weber, Mattei mempostulatkan bahwa ada tiga


sumber utama norma sosial dalam masyarakat yang mempengaruhi perilaku individu,
yaitu politik, hukum dan filsafat dan tradisi agama. Sistem hukum selalu didefinisikan
dalam skema tripartit sesuai dengan sumber perilaku sosial yang memainkan peran utama
di atara mereka. Dengan ini, Mattei melihat sistem hukum dunia menganut pada salah
satu dari tiga kategori sistem hukum tersebut, yaitu: peraturan hukum profesional, hukum
politik, dan hukum tradisional.

Sistem hukum yang termasuk dalam kategori ketiga, aturan hukum tradisional, dapat
dilihat dari pola hukum dimana agama ataupun filosofi transcendental yang melekat
dalam dimensi internal individu dan dimensi kemasyarakatan tidak dapat dipisahkan satu
sama lain.73 Dalam sebuah sistem, lembaga hukum bisa saja terbentuk; akan tetapi,
bagaimana lembaga hukum tersebut bekerja tentunya akan berbeda jika dibandingkan
dengan suatu sistem yang dijalankan dengan hukum profesional. Menurut Mattei,
beberapa ciri dari suatu sistem hukum tradisional adalah: terbatasnya peranan pengacara
dikarenakan besarnya peran sesepuh atau orang yang dianggap mengerti agama,
mediator, dan mereka yang memiliki wewenang keagamaan; pandangan yang begitu
menomorsatukan rasa penyesalan; pandangan yang begitu menjunjung tinggi keselarasan;
serta keberadaan kode-kode bergaya Barat yang tidak memiliki landasan sosial yang
penting, sehingga membatasi kinerja lembaga-lembaga hukum hanya pada bidang-bidang
hukum tertentu saja atau masyarakat tertentu saja.74

Taksonomi Mattei dapat dibandingkan dengan pendekatan terhadap pembangunan hukum


yang dikenalkan oleh Eugene Kamenka Alice Tay. Pendekatan tersebut diambil dari
karya-karya Weber serta ahli sosiologi lainnya, Ferdinand Tonnies, serta pengembangan
dari pandangan yang menyatakan bahwa sistem hukum modern dan pembangunan hukum
biasanya terdiri dari:

Benturan yang agak sulit dimengerti antara tiga paradigma besar mengenai ideologi
sosial, organisasi sosial, hukum dan administrasi… [disebut dengan] the Gemeinschaft
atau keluarga komunal organik, the Gesellschaft atau perjanjian individu-komersial, serta
paradigma birokrasi administratif 75
Aturan sosial model gemeinschaft berdasar pada norma-norma intrinsik dan nilai-nilai
masyarakat yang dijunjung tinggi. Sedangkan aturan sosial model gesellschaft berasal
dari ideologi liberal Barat; khususnya pemikiran tentang pemisahan antara negara dan
individu. Bentuk birokrasi administratif suatu aturan sosial memaknai aturan sebagai
suatu cara untuk mendapatkan intisari dari tujuan kebijakan yang ditetapkan oleh negara.
Dengan demikian, gemeinschaft lebih terarah pada internalisasi norma sosial, gesellschaft
lebih terarah pada hak asasi manusia, dan konsep birokrasi administratif lebih pada
kebijakan negara.

Pandangan Kamenka-Tay mengenai pembangunan hukum sangatlah berguna dimana


pandangan tersebut menjelaskan tiga tipe dasar organisasi sosial dan bagaimana setiap
tipe tersebut dapat menentukan jenis sistem hukum yang terjadi dalam masyarakat.
Terlebih lagi, pandangan-pandangan tersebut memiliki kesamaan dengan pola hukum
menurut Mattei.76 Aturan Mattei terhadap hukum tradisional secara umum dapat
disamakan dengan paradigma gemeinschaft: aturan mengenai hukum politis dengan
paradigma birokrasi-administratif; dan aturan hukum profesional dengan paradigma
gesellschaft.

Akan tetapi, meskipun terdapat kesamaan, masih terdapat hal-hal yang belum sempurna.
Dalam hal ini, taksonomi Mattei secara terbuka mengakui adanya dampak politik
terhadap sistem hukum serta menciptakan sebuah kategori baru mengenai hal ini. Senada
dengan Weber, taksonomi Mattei membuat kekuatan politik dan aturan hukum politik
menjadi kekuatan yang berseberangan dengan rasionalitas formal yang membentuk
landasan bagi aturan hukum profesional. Sebaliknya, dalam pendekatan Kamenka-Tay
tidak jelas apakah rasionalitas formal Weber merupakan suatu fungsi bagi gesellschaft
dan paradigma birokrasi administratif, atau salah satunya, atau tidak keduanya.
Perbedaan yang tidak jelas ini mengakibatkan tidak diperhitungkannya kekuatan politik
dalam suatu sistem hukum. Berdasarkan alasan ini, Saya lihat pendekatan Mattei
biasanya lebih disenangi daripada pendekatan Kamenka-Tay.

Sampai disini, penting untuk membahas dua implikasi penting yang diperoleh dari
taksonomi Mattei. Pertama, taksonomi ini mencoba untuk menggabungkan dan
merefleksikan peran budaya hukum dalam suatu sistem hukum yang berlaku.77 Dengan
mengunakan pandangan fundamental Weber, dimana hukum adalah suatu alat organisasi
sosial, Mattei mengembangkan sebuah taksonomi yang secara eksplisit menjelaskan
bahwa norma-norma budaya suatu masyarakat memiliki muatan kritis terhadap sifat dari
sistem hukum ini. Norma-norma budaya ini bermanifestasi dalam berbagai kekuatan
sosial, politik, dan ekonomi yang kemudian akan menentukan tipe aturan hukum yang
mendominasi suatu sistem hukum tertentu.

Kedua, dengan menambahkan bahwa klasifikasi dari suatu sistem hukum merupakan
hasil dari perubahan kompetiti atas tiga kekuatan politik, hukum, dan tradisi, Mattei
menawarkan sebuah perspektif yang dinamik terhadap studi tentang komparasi sistem
hukum.78 Lebih dari itu, fakta bahwa ia menyebut kategori hukum politis sebagai “hukum
tentang pengembangan dalam transisi” menjelaskan bahwa Mattei mengerti akan hal itu,
sehingga dalam situasi tertentu, sistem hukum mampu dan mau untuk pindah dari model
hukum tradisional, model hukum politis, menjadi model hukum profesional.79

Bagian C: Perubahan Model

Apakah yang bisa kita pelajari dari kontribusi Mattei dan Friedman? Menurut saya,
gagasan Friedman tentang budaya hukum sangatlah berguna untuk menganalisis kenapa
dan bagaimana sebuah sistem hukum bekerja pada waktu tertentu. Namun demikian,
konsep dia sepertinya tidak banyak membantu ketika digunakan dalam analisis tentang
bagaimana sebuah sistem hukum dipengaruhi oleh kekuatan eksternal dan perubahan
yang terjadi dari waktu ke waktu.80 Taksonomi Mattei yang baru sangat berguna untuk
tujuan pemahaman terhadap bagaimana sebuah sistem hukum bisa berubah dari pola
hukum tradisional menjadi pola hukum politis dan akhirnya pola hukum profesional.
Namun, ternyata terdapat mata rantai yang hilang antara pandangan Mattei terhadap
perubahan dinamik dalam suatu sistem hukum dan gagasan Friedman tentang apa yang
menjadikan sebuah sistem hukum.

Oleh karena itu, bahkan dengan kontribusi yang diberikan oleh Friedman dan Mattei,
masih tetap sulit untuk menjawab pertanyaan berikut ini: Apakah hubungan kausal, jika
ada, yang terjadi antara tiga elemen struktur, hukum substantive dan budaya hukum di
satu sisi, serta kekuatan ekonomi eksternal, politik atau sosial di sisi lainnya? Ketika
kekuatan eksternal ini bersinggungan dengan sistem hukum, apakah hal ini menimbulkan
suatu perubahan dalam struktur, hukum substantive atau budaya hukum? Dapatkah
sebuah perubahan dalam hukum substantive, misalnya import, juga mengubah budaya
hukum, dan kerangka ekonomi serta politik?

Untuk menjawab pertanyan tersebut, saya berharap untuk dapat membahas konsep
budaya dan kemudian mencoba menyaring konsep Friedman tentang budaya hukum
dengan melakukan identifikasi terhadap apa yang Saya lihat. Sesudah itu, Saya menarik
berbagai macam materi diskusi serta menampilkan suatu sistem hukum yang sederhana
dan dapat dilakukan, sebagian besar merupakan karya Friedman dan Mattei, yang
tentunya Saya percaya lebih akurat merefleksikan proses pengembanagan hukum baik
sebagai sesuatu yang statis maupun dinamis

1. Budaya, Kesadaran & Kebiasaan

Tugas pertama saya adalah memperbaiki konsep budaya hukum Friedman. Ini tentu saja
bukanlah sebuah tugas yang mudah mengingat ‘budaya’ adalah sebuah kata yang terkenal
sangat kompleks. Sebuah buku antropologi karangan antropolog Amerika terkenal,
Clifford Geertz, memberikan sebelas definisi budaya.81 Geertz sendiri mendefinisikan
budaya sebagai:

sebuah pola yang diwariskan turun-temurun tentang makna yang terkandung dalam
simbol-simbol, sebuah sistem konsepsi yang diwariskan dan tertuang dalam bentuk-
bentuk simbolik yang merupakan cara bagi manusia untuk berkomunikasi, meneruskan,
dan mengembangkan pengetahuan mereka dan sikap mereka dalam menghadapi hidup.82
Definisi budaya yang lebih sederhana dan yang Saya anjurkan untuk digunakan dalam
diskusi Saya adalah definisi yang dikemukakan oleh rancis Fukuyama: budaya adalah
‘kebiasaan baik yang diwariskan turun temurun’. 82 Definisi Fukuyama yang kurang jelas
ini sebenarnya menekankan pada dua aspek penting budaya. Pertama, budaya bersifat
baik dalam pengertian bahwa budaya mengandung nilai-nilai yang membedakan antara
yang baik dan yang benar, atau apa yang dapat diterima dan tidak dapat diterima dalam
suatu masyarakat tertentu. Budaya mengatur segala tingkah laku dengan menyatakan
nilai-nilai dan norma tertentu yang baik atau dapat diterima dan yang tidak baik atau
tidak dapat diterima.

Aspek penting kedua yang harus diperhatikan dalam definisi Fukuyama adalah budaya
tidak harus rasional. Sebaliknya, budaya diwariskan dan diteruskan dari satu generasi ke
generasi berikutnya melalui suatu proses pengulangan. Fukuyama mengutip contoh
seorang lelaki China yang menggunakan sumpit untuk makan mie. Orang itu melakukan
hal tersebut karena suatu kebiasaan, bukan melalui proses penilaian efisiensi atau tingkat
kenikmatan yang diperoleh dengan makan mie menggunakan pisau dan garpu ala Barat
dibandingkan dengan memakai sumpit.84 Dalam hal ini, budaya bukanlah sesuatu yang
rasional atau irasiomal tetapi sesuatu yang arational. 85

Berdasarkan pendapat bahwa budaya adalah kebiasaan baik yang diwariskan, Saya
mencoba untuk mengidentifikasi dua elemen terpisah dari konsep Friedman tentang
budaya hukum. Saya menyebut elemen yang pertama dengan ‘legal habit (kebiasaan
hukum.’ Dalam hal ini, Saya merujuk pada tindakan, sikap, nilai-nilai dan pendapat
berkaitan dengan lembaga hukum dan hukum yang diwariskan dan diteruskan oleh
seorang individu atau masyarakat melalui proses pembiasaan. 86 Saya menyebut elemen
kedua ini ‘legal consciousness (kesadaran hukum)’.87 Dalam hal ini Saya menekankan
pada kemampuan yang mencerminkan dan menilai sikap serta nilai-nilai yang
membentuk kebiasaan hukum (legal habit). Oleh karenanya kesadaran hukum sebuah
komunitas mengacu pada kapasitas komunitas tersebut untuk mempertimbangkan apakah
beberapa kebiasaan hukum—sikap tertentu, nilai, pendapat atau keykinan tentang hukum
—dapat diterima atau tidak diterima dalam komunitas tersebut.88

Menurut definisi-definisi tersebut, kebiasaan hukum (opini aktual atau sikap) dan
kesadaran hukum (segala hal mengevaluasi kebiasaan hukum) keduanya merupakan
fungsi dari pikiran. Kunci dari perbedaan ini adalah kebiasaan (habit), dalam bentuk
sikap, nilai-nilai, dan opini, menjelaskan isi dari pikiran kita pada suatu saat tertentu.
Sebaliknya, kesadaran menjelaskan kapasitas dari pikiran yang sama untuk menilai sikap
dan pendapat yang dipercayainya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kebiasaan
hukum (legal habit) berhubungan dengan masalah sikap, dan kesadaran hukum (legal
consciousness) berhubungan dengan kapasitas penilaian.89 Dengan kata lain, kebiasaan
hukum lebih banyak menggambarkan sikap masyarakat terhadap hukum pada suatu
masa, sementara kesadaran hukum menentukan bagaimana sikap tersebut selalu berubah
sepanjang waktu.

Mungkin contoh berikut ini akan membantu memberikan gambaran perbedaan antara
kebiasaan hukum (legal habit) dan kesadaran hukum (legal consciousness). Perhatikan
sikap orang Asia terhadap proses pengadilan gaya Barat yang berlawanan. Banyak
komentator yang melihat bahwa orang-orang Asia cenderung menolak proses pengadilan
dan lebih menyukai metode penyelesaian masalah tanpa menggunakan jalur pengadilan,
misalnya mediasi.90 Sikap seperti itu terjadi akibat sistem nilai yang lebih menghargai
keselarasan sosial dan menjaga hubungan baik dibandingkan dengan penghargaan banyak
masyarakat Barat terhadap nilai-nilai tersebut.

Jika penolakan terhadap proses pengadilan ini dianut oleh komunitas orang Asia tertentu,
maka hal ini akan menjadi kebiasaan hukum (legal habit) dari masyarakat tersebut, lebih
luas lagi, budaya hukum masyarakat tersebut. 91 Lebih jauh lagi, jika Fukuyama benar
dalam melakukan penilaian bahwa budaya adalah warisan atas kebiasaan baik, hal ini
berarti bahwa penolakan ini diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui
suatu proses pembiasaan dan bukan suatu pilihan yang rasional. Dengan kata lain, dalam
masyarakat Asia, anak-anak tumbuh berkembang dalam suatu kebiasaan hukum (legal
habit) yang menolak suatu proses pengadilan tanpa harus memikirkan lebih dalam hal
tersebut.

Namun demikian, ketika anak-anak ini tumbuh dewasa dan mengembangkan kemampuan
berpikirnya sendiri serta mulai merefleksikan isu-isu hukum, kesadaran hukum individual
dan kolektif mulai terbentuk. Mereka mulai mengevaluasi kebiasaan hukum mereka
(legal habit). Seandainya, pada akhirnya, salah satu dari anak-anak ini ada yang menjadi
eksekutif senior perusahaan yang harus memutuskan untuk mengajukan tuntutan terhadap
partner bisnis yang curang. Dia mungkin akan memutuskan untuk tetap menggunakan
proses hukum daripada melakukan penolakan seperti para pendahulunya.

Dengan kata lain, kesadaran hukumnya telah melakukan evaluasi terhadap kebiasaan
hukumnya dan dengan demikian melemahkan keengganannya terhadap proses
pengadilan. Jika pengalaman-pengalaman individu ini banyak terjadi dalam masyarakat,
maka setelah beberapa waktu, budaya hukum seluruh masyarakat akan berubah, yang
ditandai dengan berkurangnya penolakan terhadap proses pengadilan. Maka, budaya
hukum berubah sepanjang waktu melalui interaksi antara kesadaran hukum dan kebiasaan
hukum. Dengan kata lain, pada saat kebiasaan hukum mendominasi budaya hukum pada
suatu masa tertentu, maka kesadaran hukum-lah yang akan mempengaruhi budaya hukum
dalam periode yang lebih lama.

Maka, konsep kesadaran hukum memberikan suatu alat bagi kita untuk menganalisis
perubahan-perubahan dalam budaya hukum dalam suatu konteks yang dinamis. Dengan
identifikasi kebiasaan hukum dan kesadaran hukum sebagai dua elemen penting konsep
Friedman mengenai budaya hukum, maka Saya melakukan perbaikan terhadap konsep
Friedman. Dalam hal ini, konsep tersebut menjadi lebih tepat digunakan dalam membuat
analisis yang dinamis dan prediktif.

Gagasan Friedman mengenai budaya hukum pada tingkat permukaan dan budaya hukum
internal dapat juga dipahami sebagai tambhan terhadap konsep kesadaran hukum (legal
consciuosness). Karena budaya hukum internal mengacu pada sikap dan pendapat dari
profesional yang paham tentang hukum, maka dapat dimengerti bahwa budaya hukum
internal lebih mudah dimengerti sehingga memiliki kesadaran hukum yang lebih baik.
Ketika pengacara, hakim dan pembuat undang-undang cenderung lebih terbuka terhadap
pembangunan di luar negeri, maka sangatlah masuk akal untuk menempatkan mereka di
baris terdepan dalam pemikiran hukum serta hal-hal lain yang dapat membuat mereka
memiliki kemampuan yang sama, reformasi hukum. Sebaliknya, masyarakat umum
dengan budaya hukum tingkat permukaan yang lebih rendah tingkat kesadaran hukum-
nya, cenderung terlambat, baik dalam hal pemikiran hukum maupun reformasi hukum.

Dengan kata lain, para profesional bidang hukum—dengan budaya hukum internal yang
lebih tinggi tingkat kesadaran hukum-nya—diharapkan dapat menjadi pemimpin-
pemimpin perubahan hukum dalam suatu masyarakat. Sebaliknya, masyarakat umum—
dengan budaya hukum pada tingkat permukaan yang lebih rendah kesadaran hukum-nya
—diharapkan dapat mengikutinya, meski kadang yang terjadi adalah penolakan terhadap
suatu perubahan karena mereka memang enggan untuk berubah.

Konsep kembar saya tentang kebiasaan hukum (legal habit) dan kesadaran hukum (legal
consciousness) dapat dibandingkan dengan usaha-usaha lainnya dalam mengidentifikasi
elemen-elemen budaya hukum. Satu pendekatan alternatif adalah analisa budaya hukum
melalui ‘budaya keluarga’ (misal budaya hukum orang-orang Barat, Asia, Islam, dan
Africa).92 Berdasarkan pendekatan ini, apa yang membuat sebuah keluarga memiliki nilai
budaya yang unik dibandingkan keluarga lain adalah faktor rasional-irasional dan faktor
individualisme-kolektivisme. Dalam nilai budaya suatu keluarga, apa yang membuat
sistem hukumnya berbeda dengan yang lain adalah ‘kebersaman pemahaman (shared
understandings)’ yang terjadi dalam masyarakat tersebut. Kebersamaan pemahaman
(shared understandings) ini meliputi konsep masyarakat tentang hukum, teori penalaran
hukum, metodologi hukum, teori argumentasi, teori legitimasi hukum, serta pandangan
mendasar tentang dunia.93

Namun demikian, secara keseluruhan ada dua hal dalam pengamatan Saya yang membuat
penggunaan nilai budaya keluarga kurang begitu membantu dalam usaha ini. Pertama,
cakupan nilai budaya keluarga terlihat terlalu luas. Misalnya, dalam masyarakat Asia,
terdapat begitu banyak budaya hukum yang berbeda. Kadang-kadang, dalam satu negara
Asia—seperti Indonesia—bisa saja terdapat sejumlah budaya hukum. Untuk
mengumpulkan berbagai macam budaya hukum yang berbeda dalam satu payung
‘budaya hukum Asia’ jelas akan mematahkan tujuan analisis hukum lintas budaya.94
Kedua, usaha ini kurang begitu memuaskan karena terkesan sangat ke-Barat-barat-an
dimana faktor-faktor yang memuat kebersamaan pemahaman (shared understandings)
dalam suatu masyarakat mungkin menjadi tidak relevan bagi masyarakat lain. Misalnya,
seseorang mungkin ragu apakah budaya hukum masyarakat Jawa memiliki teori
argumentasi atau memiliki kebersamaan pemahaman (shared understandings) terhadap
suatu permasalahan.95

Pendekatan lainnya terhadap analisa elemen-elemen pokok budaya hukum adalah dengan
melihat budaya sebagai suatu lapisan eksplisit dan implisit. 96 Menurut pandangan ini,
lapisan eksplisit terdiri dari kenyataan yang dapat diamati seperti mode pakaian atau
bahasa dari suatu masyarakat. Lapisan implisit terdiri dari norma-norma, nilai-nilai, dan
asumsi dasar berkaitan dengan pandangan mereka tentang dunia. Jadi, pemahaman
terhadap lapisan implisit atau budaya sangatlah penting karena disini-lah terdapat
‘serangkaian aturan dan metode yang telah dikembangkan masyarakat untuk menghadapi
masalah-masalah yang mereka temui dalam kehidupan sehari-hari.’ 97

Pendekatan terhadap budaya hukum dengan melihat budaya sebagai suatu lapisan
ternyata sesuai dengan pendekatan saya yang menggunakan konsep gagasan kembar,
kebiasaan hukum dan kesadaran hukum. Budaya eksplisit mengacu pada kebiasaan
hukum sedangkan budaya implisit mengacu pada kesadaran hukum. Lebih penting lagi,
kedua pendekatan tersebut menyatakan bahwa budaya implisit (atau kesadaran hukum),
ketika dihadapkan dengan isu-isu moral atau dilema lain yang melibatkan pengambilan
suatu keputusan, ternyata memiliki kemampuan untuk mengevaluasi budaya eksplisit
(atau kebiasaan hukum) dan pada akhirnya membuat suatu perubahan yang penting.

2. Model Kerja

Apa yang terjadi jika model sistem hukum Friedman, dimodifikasi dengan memasukkan
elemen-elemen kebiasaan hukum dan kesadaran hukum, kemudian disejajarkan dengan
taksonomi Mattei serta pendekatan evolusioner terhadap hukum dan pembangunannya
seperti yang telah dibahas pada awal bab ini? Menurut Saya, hal ini akan menciptakan
sebuah model yang sederhana namun tepat guna tentang bagaimana suatu sistem hukum
berubah dalam suatu cakupan yang lebih luas dalam bidang ekonomi, politik dan
kerangka sosial yang melekat dalam sistem hukum tersebut. Lebih jelasnya, model
seperti ini mencermati empat implikasi penting berkaitan dengan hubungan antara hukum
dan pembangunannya.

Implikasi pertama adalah bahwa budaya hukum merupakan elemen sentral dari suatu
reformasi hukum yang berhasil. Menurut Friedman, hal ini benar karena budaya hukum-
lah yang melemahkan perubahan-perubahan dalam lembaga hukum dan hukum yang
sebenarnya; dengan demikian, budaya hukum adalah ‘sumber hukum—norma-norma
yang dimilikinya menciptakan norma hukum’.98 Usaha-usaha untuk mengubah tingkah
laku dengan mengubah lembaga hukum atau hukum itu sendiri, jika tidak didukung
perubahan dalam budaya hukum hanya akan bertahan sebentar dan tentu saja sia-sia. 98

Yang menarik perhatian, setelah melakukan survey tentang pembangunan ekonomi


manusia, Landes berjalan dalam suatu jalur paralel ketika dengan tepat ia
menyimpulkan:”Jika kita belajar dari sejarah pembangunan ekonomi, maka, budaya lah
yang membuat semua berbeda.” 100

Implikasi kedua adalah bahwa budaya hukum dapat berubah setiap saat sebagai akibat
dari semakin berkembangnya kesadaran hukum. Perubahan ini tertanam dalam kenyataan
bahwa nilai-nilai atau sikap tertentu terhadap hukum menjadi tidak sesuai lagi bagi
masyarakat. Hal ini terjadi ketika suatu masyarakat berkembang kesadarannya berkaitan
dengan hak indvidu dan demokrasi dan meninggalkann gagasan lama seperti status dan
sistem patriarchal. Hal ini dipelopori oleh kelas kecil elit hukum yang menerapkan
budaya hukum internal. 102 Sebaliknya, ketika budaya hukum berubah, masyarakat akan
lebih terbuka terhadap perubahan-perubahan dalam lembaga hukum dan hukum itu
sendiri. Dalam situasi seperti ini, hukum asing dapat dengan mudah diadaptasi dan
diimplementasikan.

Implikasi ketiga adalah perubahan-perubahan dalam kesadaran hukum yang dapat


dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal seperti peristiwa-peristiwa ekonomi, politik dan
sosial. Friedman mengerti akan hal ini ketika ia menyatakan bahwa budaya hukum
‘adalah suatu variabel yang aling terkait. Kekuatan sosial membuat hukum, tetapi mereka
tidak membuat nya langsung…’ 103 Maka, di satu sisi kesadaran hukum merubah budaya
hukum, budaya hukum merubah sistem hukum, dan sistem hukum mempengaruhi sistem
sosio-ekonomi dan politik dalam cakupan yang lebih luas. Dan di sisi lainnya, tekanan
sosio-ekonomi dan politik sangat mempengaruhi kesadaran hukum.

Pandangan ini sesuai dengan pendekatan Weberian terhadap hukum dan masyarakat yang
mencermati keterkaitan berbagai hubungan sosial. 104 Secara khusus, dampak tekanan
terhadap kesadaran hukum dari para elit profesional hukum sangatlah penting karena para
elit-lah yang biasanya menjadi pemimpin dalam membentuk budaya hukum masyarakat.
Harus pula dicatat bahwa agenda politik dari mereka yang memegang kekuasaan—yang
mungkin tidak sama dengan para elit hukum—akan menentukan pengaruh eksternal
mana yang akan dijabarkan kedalam perubahan-perubahan nyata dalam kesadaran
hukum.

Implikasi keempat adalah bahwa pendekatan Weberian menyatakan, selama ini


pembangunan eksternal dalam bidang ekonomi, politik dan sosial dapat mempengaruhi
kesadaran hukum suatu masyarakat terhadap penerimaan yang lebih besar akan sistem
hukum yang lebih rasional. Hal ini memberi jalan bagi pandangan Weber atas masyarakat
yang berpandangan rasional terhadap hukum yang selama ini didomonasi oleh birokrasi
yang kuat.

Perubahan yang serupa juga dijelaskan oleh Kamenka-Tay sebagai suatu konfrontasi
antara gemeinschaft, gessellschaft dan paradigma birokrasi administratif. Intinya adalah
bahwa pendekatan Kamenka-Tay tidak menjelaskan bagaimana konfrontasi antara ketiga
kekuatan itu akan dimainkan. Tetapi model saya menjelaskan hal ini. Model pendekatan
milik saya menjelaskan bahwa faktor penentunya adalah kesadaran hukum dalam suatu
masyarakat. Jika jumlah kesadaran hukum bersimpati terhadap intrinsik, memegang
teguh norma tradisional, maka paradigma gemeinschaft akan mendominasi; jika berganti
dan menjadi lebih bersimpati terhadap liberalisme klasik Barat atau pemikiran tentang
birokrasi negara yang kuat, maka gessellschaft atau paradigma birokrasi administratif
yang sebaliknya akan mendominasi.

Berdasarkan penjelasan sebelumnya, saat ini sangat mungkin untuk menggambarkan


hubungan antara struktur hukum, hukum itu sendiri dan budaya hukum—termasuk juga
kebiasaan hukum dan kesadaran hukum—dalam suatu sistem hukum tertentu, begitu pula
dengan dampak dari faktor-faktor eksternal seperti ekonomi, politik dan sosial terhadap
sebuah sistem. Hal ini dapat dilihat pada Diagram 1 di bawah ini.
Diagram 1.

Jika elemen-elemen penting dari model ini benar, maka elemen itu mendukung
pandangan Friedman bahwa budaya hukum adalah elemen sistem hukum yang paling
penting. Model tersebut menjelaskan bahwa dalam budaya hukum, kebiasan hukum
mendominasi sikap-sikap yang saat ini ada terhadap hukum. Namun demikian, kesadaran
hukum-lah yang menentukan arah dan kecepatan pergerakan budaya hukum terhadap
waktu.

Kesimpulan ini memiliki satu pelajaran kritis bagi mereka yang tertarik terhadap
fenomena hukum dan pembangunannya. Jelasnya, formulasi hukum yang baru dan
reformasi pada lembaga hukum akan tidak efektif tanpa adanya perbaikan yang sesuai
dengan budaya hukum.

Dengan kata lain, selain sumber-sumber yang digunakan untuk membuat formulasi
kebijakan, harus lebih banyak lagi sumber yang diarahkan bagi tujuan yang lebih luas
bagi perbaikan budaya hukum masyarakat. Setiap proposal reformasi hukum untuk
merubah hukum itu sendiri atau lembaga hukum haruslah menyertakan analisis dari
aspek-aspek budaya hukum lokal yang akan mendukung perubahan tersebut. Jika hal ini
tidak dilakukan dan budaya hukum masih terus diangap sebagai aspek hukum yang tidak
penting, maka resiko kegagalan akan sangat tinggi. Seperti kata Mary Hiscock, mantan
guru hukum saya yang memiliki pengalaman tentang reformasi hukum di Asia:

Hukum adalah tanaman yang tumbuh dengan akar manusia, dan sangatlah penting untuk
memberikan pendidikan bagi orang-orang agar mereka berubah. Jika yang dicari adalah
hukum yang siap dibuat, ini dapat saja dibeli dari berbagi konsultan yang ada. Namun
yang ada hanyalah hukum. Masyarakat masih saja melakukan hal yang sama dengan apa
yang dulu sering mereka lakukan. Tidak ada perubahan. Ini adalah pelajaran bagi sejarah
bangsa Asia.

Dan menurut Saya, perkataan Mary memang benar adanya

Posted in S2, Sosiologi Hukum | Tagged: Sosiologi Hukum | Leave a Comment »

Sosiologi Hukum
Posted by mujiburrahman on October 12, 2009
ini ada catatan kuliah sosiologi hukum

Posted in S2, Sosiologi Hukum | Tagged: Sosiologi Huku | Leave a Comment »

Sosiologi Hukum
Posted by mujiburrahman on October 12, 2009
Ini kuliah catatan kuliah Hukum sosiologi

Posted in S2, Sosiologi Hukum | Tagged: Sosiologi Hukum | Leave a Comment »

Hukum Kebijakan Publik


Posted by mujiburrahman on September 4, 2009
ini catatan yang terakhir dari kuliah matrikulasi hukum kebijakan publik

Posted in Sosiologi Hukum | Leave a Comment »

Sosiologi Hukum
Posted by mujiburrahman on October 9, 2008

Dr. Bambang Widodo Umar

Buku Acuan :

• A.A.G. Peters & Koesriani. 1988. Hukum & Perkembangan Sosisl.I, II, III.
Pustaka Sinar Hrapan. Jakarta.
• Adam Podgorecki & Christopher J. Whelan. 1987. Pendekatan Sosiologi
Terhadap Hukum. Bina Aksara.Jakarta.
• Alvin S. Johnson. Sosiologi Hukum. Rineka Cipta. Jakarta.
• B.R. Rijkschroeff. 2001. Sosiologi, Hukum dan Sosiologi Hukum. CV. Mandar
Maju. Bandung.
• Friedman, L.M. 1977. Law & Society. Prentice-Hall. Englewood Cliffs. New
Jersey.
• Hans Kelsen, 2004. Teori Umum Hukum dan Negara. Media. Jakarta.
• Soerjono Soekanto. 1994. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. PT. Raya Grafindo
Persada . Jakarta.
• Taufiq Abdullah, 1986. Sosiologi Moralitas, Yayasan Obor Indonesia.Jakarta
• Tubagus Ronny Rahman Nitibaskara. 2001. Catatan Kriminalitas. Jayabaya
University Press. Jakarta.
• Tubagus Ronny Rahman Nitibaskara. 2001. Ketika Kejahatan Berdaulat.
Peradaban. Jakarta.
• Tubagus Ronny Rahman Nitibaskara. 2002. Paradoksal Konflik dan Otonomi
Daerah. Peradaban. Jakarta.

KULIAH 1

Konsep Dasar Sosiologi Hukum

SOSIOLOGI : mempelajari masyarakat dlm konteks hubungan atau interaksinya antar


warga.

ILMU HUKUM : mempelajari sekumpulan aturan-aturan untuk membimbing perilaku


manusia yang diterapkan & ditegakkan diantara anggota masyarakat (Negara).

SOSIOLOGI HUKUM : Ilmu pengetahuan ttg interaksi manusia yg berkaitan dg hukum


dlm kehidupan bermasyarakat. Sosiologi hukum sbg pengetahuan yg bersifat multi
disipliner approach.

HUKUM

* Perwujudan nilai-2 normatif (abstrak)


* Instrumen utk pengendalian sosial

SOSIOLOGI

Memenuhi kebutuhan konkrit (aturan main)


dalam kehidupan msyarakat

(Baca Pokok-2 Sosiologi Hukum Soerjono Soekanto)

Universalitas hukum itu diperoleh dg cara mengabstraksikan realita dg pola perilaku


manusia, kmdn dikembangkan dalam suatu norma sosial

REALITA HUKUM

FENOMENA

Unsur-2 – Ciri-2 – Sifat-2

Definisi kategori klasifikasi

NORMATIF SOSIOLOGIS
(Aspek Kualitas) (Aspek Kuantitas)

SOCIAL RELATIONSHIP

(Causality)

ABSTRAKSI HUKUM

(Baca Sosiologi Moralitas, Taufik Abdullah)

PERILAKU SOSIOLOGIS
(Emile Durkheim)

PERILAKU MASA LALU

PERILAKU MASA DATANG

PERILAKU TERAPAN

• Apa yg jadi motif


• Bgm pola perilakunya
• Apa ciri individu
• Mengarahkan
• Mengubah
• Mengendalikan
• Dari hasil belajar
• sosial
• Mencoba-coba
• Mempraktekkan

POTENSI

MANUSIA

Kepaduan (cohesiveness)

Komitmen (commitment)

(Baca Sosiologi Moralitas, Taufik Abdullah)

MASYARAKAT

NORMA

UKURAN TTG SEJUMLAH PERI-


LAKU YG DITERIMA & DISEPA-KATI SECARA UMUM OLEH MASYARAKAT

(VOLKWAYS, MORES, CUSTOMS, LAWS).

BENTUK-BENTUK SOCIAL RELATIONSHIP :


KERJASAMA (COOPERATION), PENYESUAIAN (ACCOMODATION),
PERSAINGAN (COMPETATION), PERTENTANGAN (CONFLICT),
PENGUASAAN (DOMINATION).

NILAI

MENTALITA (AKTIVITAS JIWA,

CARA BERFIKIR, BERPERASAAN)

YG TERBENTUK DR PERILAKU

MANUSIA MENJADI SEJUMLAH

ANGGAPAN

(Baca Sosiologi, Hukum dan Sosiologi Hukum. B.R. Rijkschroeff)

TERPOLA

KRITIS

OBYEKTIF

SUBYEKTIF

REALITA HUKUM

MENEKANKAN

PD TUJUAN

MENEKANKAN

PD PROSES

AKAL

BUDI

PERILAKU HUKUM
(Baca Sosiologi Moralitas, Taufik Abdullah)

KONSEP KEBENARAN

KEBENARAN :

Absolut (kitab suci).

Otoriter (kekuasaan)

Mistik (Dewa, Paranormal, Dukun dll).

Logika rasional (Pemikiran manusia = Wisdom).

Ilmiah (pakar, ilmuwan).

KEBENARAN HUKUM → Normatif

KEBENARAN SOSIOLOGIS → Bebas Nilai (values free)

FAKTA SOSIAL

KEBENARAN SOSIOLOGI HUKUM

NORMA-NORMA

Tidak sama dg

kebenaran hukum

(Baca Sosiologi Moralitas, Taufik Abdullah)

HUKUM DAN MORALITAS


(Emile Durkheim)

Mayarakat

KETERATURAN

TINDAKAN

OTORITAS

Masyarakat

KEPENTINGAN
KOLEKTIF

KETERIKATAN

KELOMPOK

Disiplin

Ilmu Pengetahuan

Otonomi

Moralitas

MILIEU

SUI GENERIS

(Baca Sosiologi Moralitas, Taufik Abdullah)

PENERAPAN HUKUM SOSIOLOGIS


(Emile Durkheim)

ATMOSPHERE

Suasana

STRUKTUR

FUNGSI/TUGAS

PRESSURE

Desakan

Pengembangan

&

Pemeliharaan

UNITY

Kekompakan

LEMBAGA
PENEGAK HUKUM

KEPATUHAN

HUKUM

KEWIBAWAAN HUKUM

HUKUM NGR

HUKUM ADAT

(Baca Sosiologi Moralitas, Taufik Abdullah)

PERKEMBANGAN HUKUM DLM MASYARAKAT

Fungsi Sosial : sbg himpunan moralitas & wahana utk mencapai cita2 sosial (Durkheim).
Masa itu hk dianggap satu-satunya perekat sosial.

Struktur Sosial : hukum lahir scr bertahap, dipaksakan olh pemegang kekuasaan,
dipengaruhi olh kepentingan material, ideal, cara berfikir kelas-2 sosial, dan kelompok-2
kepentingan dlm masyarakat (Weber).

Perubahan Sosial : keberadaan hukum hrs mengabdi pd kepentingan rakyat, dan utk
menekan kaum borjuis (Karl Marx).

(Baca Pokok-2 Sosiologi Hukum Soerjono Soekanto)

ASPEK BEKERJANYA HK DLM MASYARAKAT

SBG SARANA KONTROL SOSIAL.

Suatu proses yg dilakukan utk mempengaruhi orang-2 agar berperilaku sesuai dengan
nilai-nilai yg disepakati bersama. Kontrol sosial dijalankan dg menggerakkan bbrg
aktivitas alat ngr utk mempertahankan pola hubungan & kaedah-2 yg ada.

SBG SARANA REKAYASA SOSIAL.

Suatu proses yg dilakukan utk mengubah perilaku masyarakat, bukan utk memecahkan
masalah sosial.

SBG ALAT KEJAHATAN.

Law as a tool of crime, perbuatan jahat dg menggunakan hukum sbg alatnya sulit dilacak
karena diselubungi olh hk dan berada dlm hukum.
(Baca Ketika Kejahatan Berdaulat, Tbg Ronny Nitibaskara)

PARADIGMA HUKUM

PARADIGMA I

(Pra Normatif)

PARADIGMA II

(Normatif)

NORMAL LAW

ANOMALI

LAW REVOLUTION

KRISIS

ANOMALI BARU

PARADIGMA : PANDANGAN FUNDAMENTAL TTG APA YG MENJADI POKOK


PERSOALAN

(SUBJECT MATTER) DALAM HUKUM

NORMAL LAW

dst

(Baca Sosiologi, Hukum dan Sosiologi Hukum. B.R. Rijkschroeff)

PEMAKNAANNYA :

Interaksi Manusia mengandung tiga unsur, yaitu : Tindakan (act), sesuatu (thing), dan
makna (meaning).

Hukum yg dimaksud bukan saja hukum dlm arti tertulis tetapi juga yg tidak tertulis, baik
menyangkut falsafah, intelektualitas, maupun jiwa yg melatar belakangi penerapan
hukum.

Hukum memiliki daya mengatur jika scr relatif sdh dipersatukan dlm kelompok-2 sosial,
apalagi dlm sistem sosial.
Hukum bersifat memaksa ttp paksaan itu bukanlah merupakan syarat utama,
kemanfaatanlah yang menjadi ukuran utama.

Pemaksaan itu lebih utk melindungi sistem sosial daripada hukum.

Obyek Sosiologi hukum : karakteristik hukum masyarakat, ideologi, kelembagaan sosial,


organisasi formal dan sosial, dan dinamika sosial.

MANFAAT MEMPELAJARI SOSIOLOGI HUKUM

Mengetahui dan memahami perkembangan hukum positif (tertulis/tdk tertulis) di dalam


masyarakat.

Mengetahui efektifitas berlakunya hukum positif di dalam masyarakat.

Mampu menganalisis penerapan hukum di dalam masyarakat.

Mampu mengkonstruksikan fenomena hukum yg terjadi di masyarakat.

Mampu mempetakan masalah-masalah sosial dalam kaitan dengan penerapan hukum di


masyarakat.

(Baca Sosiologi, Hukum dan Sosiologi Hukum. B.R. Rijkschroeff)

NEGARA HUKUM

Eropa Kontinental – Ngr Hk adl ngr yg berdiri di atas hk yg menjamin “keadilan” kpd
wrg ngr nya (Aristoteles)

Keadilan merupakan syarat bagi terciptanya kebahagiaan hidup utk wrg ngr dan sbg dasar
ap keadilan itu perlu diajarkan rasa susiak kdp setiap manusia.

Paham laissez faire laissez aller – biarlah setiap angt masyarakat menyelenggarakan
sendiri kemakmurannya

Dua unsur pokok ngr hukum (Imanuel Kant) :

1. Perlindungan thd HAM.

2. Adanya “pemisahan kekuasaan”

Tipe Ngr Hk : Ngr Kesejahteraan (welfare State)

(Baca Hans Kelsen Teori Umum Hukum dan Negara)


Anglo Saxon– tdk mengenal ngr hk ttp mengenal “the rule of law” – pemerintahan olh
hukum (Dicey – kelanjutan dr ajaran John Locke).

Tiga unsur rule of law :

1. Supremacy of the law.


2. Equality befor the law (kdkn sama di dpn hk)
3. Hak asasi tdk bersumber pd konstitusi/UUD (penegasan)ttp sdh ada sejak manusia
dilahirkan

KEDAULATAN HUKUM

Sbg kelanjutan dp keadaulatan rakyat.

Hukum berdaulat kr sifatnya imperatif, tanpa diterima olh rakyatpun hk tetap berlaku
(Kelsen)

Hukum berdaulat kr bersumber pada kesadaran hk rakyat.

Hukum yg baik adl hukum yg dierima olh rakyat karena mencerminkan harapan rakyat.

(Baca Hans Kelsen Teori Umum Hukum dan Negara)

KOMPONEN YURISPRUDESIAL SOSIOLOGICAL

Fokus Peraturan-Peraturan Struktur Sosial

Proses Logika Perilaku

Cakupan Universal Bervariasi

Perspektif Partisipan Pengamat

Kegunaan Praktis Alamiah

Tujuan Pengendalian Keseimbangan

MODEL HUKUM

(Donald Black)

PENGEMBANGAN HK TDK TERLEPAS DR ASPEK NORMATIF DAN


SOSIOLOGIS. DALAM KENYATAAN KEDUA MODEL TSB SALING TERKAIT,
SALING MELENGKAPI, DAN SALING MEMBERIKAN SUMBANGAN DLM
APLIKASI
(Baca Sosiologi, Hukum dan Sosiologi Hukum. B.R. Rijkschroeff)

REALITAS HUKUM
(Law on books & Law in action)

Terjadinya perbedaan karena :

Apakah “pola tingkah laku sosial” tlh mengungkapkan materi hk yg diumuskan dlm
peraturan.

Apakah keputusan pengadilan sama dg apa yg diharuskan dlm peraturan.

Apakah tujuan yg dikehendaki hukum sama dg efek peraturan itu dlm kehidupan
masyarakat.

* SIKAP AMBIVALEN MERUPAKAN PENGHALANG BAGI TEGAKNYA


HUKUM

* KEKUASAAN YG TDK BERPARADIGMA HK MERUPAKAN PELUANG


TERJADINYA PELANGGARAN HAM

(D.L KIMBAL)

(Baca Sosiologi, Hukum dan Sosiologi Hukum. B.R. Rijkschroeff)

KULIAH KE 2

SISTEM HUKUM

1. Sistem Hukum Eropa Kontinental (Civil Law)

Dari Romawi berkembang ke Jerman, Belanda, Perancis, Italia, Indonesia

Bahwa hukum itu memperoleh kekuatan mengikat karena berupa peraturan yang
berbentuk undang-undang yang tersusun secara sistematis dalam kodifikasi. Kepastian
hukumlah yang menjadi tujuan hukum, dapat terwujud apabila segala tingkah laku
manusia dalam pergaulan hidup diatur dengan peraturan tertulis.

Adagium: “tidak ada hukum selain undang-undang”. Dengan kata lain, hukum selalu
diidentikkan dengan undang-undang.

Hakim dalam hal ini tidak bebas dalam menciptakanhukum baru, karena hakim hanya
menerapkan dan menafsirkan peraturan yang ada berdasarkan wewenang yang ada
padanya. Putusan hakim tidak dapat mengikat umum tetapi hanya mengikat para pihak
yang berperkara saja.
Hukum digolongkan menjadi dua bagian utama yaitu:

Hukum Publik: Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi Negara, Hukum Pidana

Hukum Privat: Hukum Perdata, Hukum Dagang

2. Sistem Hukum Anglo Saxon (Common Law)

Dianut negara-negara anggota persemakmuran Inggris, AS, Kanada, Amerika Utara.

Bersumber pada putusan hakim/putusan pengadilan/yurisprudensi. Putusan-putusan


hakim mewujudkan kepastian hukum, maka melalui putusan2 hakim itu prinsip-prinsip
dan kaidah-kaidah hukum dibentuk dan mengikat umum.

Hakim berperan besar dalam menciptakan kaidah-kaidah hukum yang mengatur tata
kehidupan masyarakat. Hakim mempunyai wewenang yang luas untuk menafsirkan
peraturan2 hukum dan menciptakan prinsip2 hukum yang baru yang berguna bagi
pegangan hakim2 yang lain dalam memutuskan perkara sejenis.

Asas doctrine of precedent, hakim terikat pada prinsip hukum dalam putusan pengadilan
yang sudah ada dari perkara-perkara sejenis.

Hukum digolongkan menjadi dua bagian utama yaitu hukum publik dan hukum privat.

3. Sistem Hukum Adat

Bersumber dari peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang
serta dipertahankan berdasarkan kesadaran hukum masyarakatnya.

Sifat: tradisional dengan berpangkal pada kehendak nenek moyang.

4. Sistem Hukum Islam

Bersumber pada Al Qur’an, Sunnah Nabi, Ijma dan Qiyas.

Baca buku Hans Kelsen, Teori Umum Hukum dan Negara.

Subyek Hukum

Adalah pengemban hak dan kewajiban.

Siapa saja? Orang pribadi dan badan hukum

(Criminal Justice System)

2. Masyarakat Hukum
Kumpulan dari subyek hukum di dalam suatu masyarakat sebagai suatu sistem yang
teratur dan hukum yang tercipta dalam hubungan dengan masyarakat itu sendiri, bersifat
abstrak dan memerlukan adanya relation and communication.

3. Peranan Hukum

Terdiri dari hak (fakultatif) dan kewajiban (imperatif).

4. Peristiwa Hukum

Merupakan perbuatan hukum yaitu segala perbuatan yang dilakukan seseorang untuk
menimbulkan hak dan kewajiban

5. Hubungan Hukum

Bisa sederajat, timbal baik, dan timpang

6. Obyek Hukum

Segala sesuatu yang berguna bagi subyek hukum, meliputi: materiil dan immateriil

PRANATA HUKUM

HUKUM DLM KONTEKS PERUBAHAN SOSIAL

SOLIDARITASSOSIAL

KESADARAN KOLEKTIF

(Collective Conscience)

MEKANIS

ORGANIS

HUKUM REPRESIF

HUKUM RESTITUTIF

Masyarakat segmental

Masyarakat modern

(Baca Sosiologi, Hukum dan Sosiologi Hukum. B.R. Rijkschroeff)

MEMAHAMI MASYARAKAT
Auguste Comte menggambarkan masyarakat :

Statika Sosial : Menganalogikan masy spt “onatomi” tubuh manusia yg terdiri dr organ,
kerangka & jaringan. Hal Ini = mempelajari masy dlm keadaan statis sbg pendekatan yg
bersifat sinkronik.

Dinamika Sosial : Menganalogikan masy spt berfungsinya tubuh manusia, pernafasan,


metabolisme, sirkulasi darah dll. utk menggambarkan pertumbuhan organik dr embrio ke
arah kedewasaan. Hal ini = mempelajari masy dlm keadaan dinamis, proses
berlangsungnya kehidupan masy (perubahan sosial) yg bersifat diakronik.

Baca: buku Sosiologi Perubahan Sosial

PERUBAHAN SOSIAL DLM KONTEKS PEMBANGUNAN

Perubahan sosial adl transformasi dalam organisasi masyarakat, dalam pola berfikir dan
dalam pola perilaku pd wakt tertentu (Macionis).

Perubahan sosial adl modifikasi dlm pengorganisasian masyarakat (Persell).

Perubahan sosial adl perubahan pola perilaku, hub sosial, lembaga dan struktur sosial pd
wkt tertentu (Farley).

Kesimpulan :

Perubahan sosial mengacu pd variasi hubungan antar individu, kelompok, organisasi,


kultur dan masyarakat pd wakt tertentu.

Proses penggantian nilai-nilai budaya & institusi-institusi sosial dalam konteks struktur
dan organisasi masyarakat, menyangkut pula orientasi berfikir, & gaya hidup manusia
yang berlangsung dlm kehidupan bersama sbg masyarakat.

PEMBANGUNAN

Kata “Pembangunan” secara umum diartikan sbg ush utk memajukan masy & warganya.
Kemajuan dimaksud terutama menyangkut segi material, shg pembangunan sering
diartikan sbg kemajuan yg dicapai masy hanya di bidang “ekonomi” dengan tdk melihat
segi moralitas manusia.

Ada perbedaan prinsipiil antara konsep pembangunan yg dianut olh “ngr berkembang” dg
pembangunan “ngr maju” (Adikuasa).

Di Ngr berkembang persoalan pembangunan adl bgm mempertahankan kehidupan sos, &
bgm meletakkan dasar-dasar ekonomi kehidupan masy yg mampu bersaing di pasar
internasional (Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan pembangunan
manusia (human development) .
Di Ngr maju (adikuasa) persoalan pembangunan adl bgm melakukan ekspansi lebih
lanjut bagi kehidupan ekonominya yg sdh mapan.

Antara “Perubahan Sosial” dg “Pembangunan”

terdapat hubungan yang bersifat :

Resiprokal : saling berbalasan, saling bermanfaat, saling tergantung, juga saling mengisi
atau saling mengurangi.

Dialektika : penalaran dg dialog sbg cara utk menyelidiki suatu masalah. Segala sesuatu
yg terdapat di alam semesta itu terjadi dari hasil pertentangan dua hal & yg kemudian
bertentangan dg yg lain shg menimbulkan hal yg lain lagi.

1. Pola Linear : Perkembangan masyarakat mengikuti pola yg pasti.

Auguste Comte – Tiga tahap dlm peradaban:

1. Teologis & Militer : semua hub sos bersifat militer; masy/pok bertujaun menundukkan
masy/pok lain; semua konsepsi teoritik didasarkan pd pemikiran mengenai adikodrati;
dan kebijakan dilandasi imajinasi, penelitian tdk dihargai.

2. Metafisik & Yuridis: jembatan perubahan dr bentuk masyarakat militer dg masyarakat


industri; kebijakan masih dilandasi pd imajinasi ttp mulai bergeser kearah landasan
penelitian.

3. Ilpengtek & Industri: industri mendominasi hub sosial & produksi jadi tujuan utama
masy; imajinasi tergeser olh hasil penelitian & konsepsi-2 teoritik.

POLA PERUBAHAN SOSIAL

Baca: buku Sosiologi Perubahan Sosial

Unlinear : perkembangan masyarakat tidak selalu menuju kearah kemajuan tetapi bisa
juga ke arah kemunduran (primitivisme).

Spenser : struktur sosial berkembang secara “evolusioner” dari struktur yg homogen ke


arah heterogen. Perubahan struktur sosial sll diikuti dg perubahan fungsi sosial. Masy
sederhana bergerak maju scr evolusioner ke arah ukuran lebih besar, terpadu, majemuk,
dan kepastian terjelma menjadi bangsa yg beradab atau sebaliknya menjadi bangsa yg
primitif.

2. Pola Siklus : perkembangan masyarakat laksana st roda, kadang di atas kadangkala


turun ke bawah.
Oswald Spengler : kebudayaan tumbuh, berkembang & pudar laksana gelombang yg
muncul mendadak, berkembang kemudian lenyap, atau laksana tahap perkembangan
seorang manusia melewati masa muda, dewasa, tua, dan akhirnya punah ( contoh :
bangsa Yunanai, Romawi, Indian, Aborigin dll).

MASALAH YG MENJADI PERHATIAN DLM PERUBAHAN SOSIAL

APA YANG BERUBAH. (Kependudukan, Pembagian Kerja,

Perburuhan, Peranan Keluarga dll).

KEMANA ARAH PERUBAHAN. (Tradisional, Modernisasi).

BAGAIMANA KECEPATAN DARI PERUBAHAN. (Evolusi,

Reformasi, Revolusi dll).

MENGAPA TERJADI PERUBAHAN. (Kesenjangan budaya,

Demoralisasi, Disorganisasi, Involusi, Polarisasi, Erosi

Kepemimpinan dll).

FAKTOR APA YG TERKANDUNG DLM PERUBAHAN. (Inovasi,

Invensi, Difusi dll).

BIDANG-2 YG TERKAIT DLM PERUBAHAN SOSIAL

PELEMBAGAAN

PERUBAHAN

KEYAKINAN

SENTIMEN/PERASAAN

TEKANAN/STRESS

KETEGANGAN/STRAIN

GOAL

(Pencapaian tujuan)

ADAPTATION
(Penyesuaian)

PERSONAL

INDIVIDU

INDIVIDU

KOMUNIKASI

SOSIALISASI

KONTROL SOSIAL

PERINGKAT SOSIAL

STATUS/PERANAN

KEKUASAAN

FASILITAS

INTEGRATION

(Memper-

satuKan)

FORMAL

SOSIAL

ORGANISASI

BOUNDARY

MAINTENANCE/

TAPAL BATAS/

ARAH

SYSTEMIC

LINKAGE/
PEREKATAN

TUJUAN

SISTEM SOSIAL

NORMA

SANKSI

LATENCY

(Membentuk pola perilaku)

BUDAYA

MASYARAKAT

PROSES

UNSUR-UNSUR

FUNGSI

STRUKTUR

DIMENSI

Baca: buku Sosiologi Sistematik

EKONOMI TRADISIONAL

FOKUSNYA ADL :

Proses sosial yg memungkinkan elit ekonomi & politik mengelola alokasi sumberdaya
produksi

PERAN KEKUASAAN DALAM

KEPUTUSAN EKONOMI MRPKN

PIJAKAN UTAMA.

EKONOMI MODERN

FOKUSNYA ADL :
Alokasi efisien atas sumberdaya produksi scr berkesinabungan dg memperhatikan
mekanisme sosial politik, baik oleh lembaga swasta maupun pemerintah utk
mempertahankan/memperbaiki “standar kualitas hidup manusia”.

POLITIK

(ORIENTASI KEKUASAAN)

EKONOMI

(ORIENTASI PROVIT)

SOSIAL

(ORIENTASI MORAL)

PEMBANGUNAN

(ORIENTASI MATERIAL)

INTERFACE DALAM PERUBAHAN SOSIAL

PERUBAHAN

SOSIAL

PERKEMBANGAN TEORI PEMBANGUNAN

EKONOMI

SOSIALIS

LIBERALISME

MASHAB KLASIK

Free fight compatation

Invisible hand

devision of labour

spealization

KEHANCURAN
EKONOMI

LEPASNYA PAHAM

MANUSIA DALAM

IKATAN-2 KOLEKTIF

MENUJU INDIVIDUALISM

WELFARE STATE

DEMOKRATISASI

POLITIK CHECKS &

BALANCES

PERKUATAN

KEKUASAAN YUDICEEL

AMERIKA SERIKAT

BANTU

NEGARA- EROPA

(Trickle Down Efect)

ROSTOW

SUKSES

NEGARA-2 ASIA

AFRIKA

AMERIKA LATIN

GAGAL

FAK INTERNAL
FAK EKSTERNAL

MUNCUL NEGARA

PHERY-PHERY

(NGR PINGGIR)

METROPOLITAN

(NGR PUSAT)

KETDK SEIMBANGAN EKONOMI

NGR BERKEMBANG DG NGR MAJU

EKSPLOITASI NGR MAJU THD NGR

BERKEMBANG

COMPARATIVE ADVANTAGE

PSIKOLOGI – VIRUS N’ACH

KEBUD

SPIRIT

KREATIFITAS

RASIONAL

KETERGANTUNGAN SUATU

NGR KPD NGR LAIN

AWAL PERKEMBANGAN

EKONOMI POLITIK

EKONOMI PEMBANGUNAN

KESEIMBANGAN DLM
PEMBANGUNAN

EKONOMI DENGAN

PEMBANGUNAN POLITIK

DALAM HAL :

NEGARA BANGSA

NEGARA

KESEJAHTERAAN

PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

(UNDP)

KEAMANAN MANUSIA

(HUMAN SECURITY)

FAKTOR PENYEBAB

SELESAI

PD I & II

AKIBAT PERUBAHAN SOSIAL


(Abad ke-20)

Jumlah penduduk dunia meningkat sangat tinggi

Tuntutan bangsa untuk merdeka meningkat

Polarisasi kekuasaan berkembang meluas

Berkembangnya organisasi & oligarkhi menuntut perluasan spesialisasi

Bertambah lebar jurang pemisah antara yang memerintah dg yang diperintah

Hilangnya keseimbangan antara kekuasaan eksekutif, legislatif & yudikatif

Krisis kekuasaan yudiceel yg disebabkan oleh jumlah gol semakin membesar, masing-2
berusaha merebut kekuasaan.
Perundang-undangan yg lambat mengantisipasi, shg kekuasaan yudiceel dipengaruhi oleh
kekuatan-2 dominan dlm masyarakat (politik, ekonomi).

PERGESERAN SISTEM HUKUM

CIVIL LAW

(Eropa Kontinental)

Peranan ngr dlm pembuatan UU dominan

Hk tertulis sbg andalan bagi kepastian hk

CAMMON LAW

(Anglo Saxon)

Hk tertulis & konvensi Mendapat tempat yg penting

Hakim dpt membuat hk mll Vonis-2 tanpa hrs terikat pd hk tertulis Keadilan diutamakan

ORIENTASI

CAMMON LAW

CIVIL LAW

KOMPONEN

PEMBUATAN

FUNGSI

PELUANG

Partisipatif dg mengundangkan seluas-luasnya parmas baik scr individu maupun


kelompok

Aspiratif, memenuhi kehendak masyarakat yg dkontestasikan scr demokratis

Limitatif karena memuat kttn prin- sip scr rinci & ketat shg tdk dpt diinterpretasikan scr
sepihak olh pmrth, kecuali hal-2 teknis

Sentralistik karena pembuatannya lbh banyak ditentukan olh lbg-2 ngr trtm pemerintah
Positivis instrumentalis dlm arti isinya lbh mencerminkan kehendak atau alt justifikasi
atas program yg akan dilakukan pmrth

Interpretatif krn hanya memuat mslh-2 pokok utk ditafsirkan dg prtn rendah yg dibuat olh
pemrth, dmn interpretasi sekedar menyangkut hal-2 teknis

MASYARAKAT

ALIH-ALIH PELEMBAGAAN HUKUM

GOVERNMENT

POLITIC (Subyektivasi)

RULE MAKING

INSTITUTION

NORM (Obyektivasi)

RULE MAKING

INSTITUTION

SANCTION (Internalisasi)

ALL OTHER SOCIETAL

ALL PERSONAL FORCE

STATE

Rule Occupation

(Baca Sosiologi, Hukum dan Sosiologi Hukum. B.R. Rijkschroeff)

FEED BACK

PERUBAHAN SOSIAL vs NETRALITAS HUKUM

TUJUAN HUKUM

KEADILAN SOSIAL

KEBENARAN
KEMANFAATAN SOSIAL

ARUS POLITIK GLOBAL

PEMBANGUNAN NAS

PERUBAHAN

SOSIAL

MASALAH

SOSIAL

NETRALITAS HUKUM

KEBERFIHAKAN HUKUM

MASALAH SOSIAL

Masalah sosial adalah penyimpangan perilaku individu

maupun lembaga di dalam masyarakat sebagai akibat dari

kebijakan atau penerapan kebijakan tidak tepat dalam

mengelola masyarakat sehingga menimbulkan patologi sosial.

PERMASALAHAN SOSIAL MENYANGKUT :

Sistem kelembagaan.

Fungsi lembaga.

Peranan lembaga.

Sarana dan prasarana.

Pengorganisasian lembaga.

Manajemen lembaga.

Folkways,

Mores,
Customs &

Law

Bentuk-2 Permasalahan

Manipulasi sentimen etnis dan agama untuk kepentingan elit politik

Lingkungan hidup rusak akibat diskriminasi dlm peruntukan tanah, dan kebuasan
eksploatasi sumber daya alam

Marginalisasi hak hidup warga asli/suku terasing

Rakyat kecil dipakai untuk mendukung politik massa

Rakyat kecil di pelosok terperangkap dalam tarik-ulur politik lokal

Kehidupan ekonomi kian mahal dan sulit

DESAS-DESUS

(Horton & Hunt, Smelser, Kornblum, Light, Keller)

Berita yg menyebar secara cepat, tidak berdasarkan fakta (kenyataan), dr persoalan moral
hingga mslh kenegaraan.

Tersebar karena orang perlu & suka.

Menarik ketika terjadi ketegangan sosial.

Dpt merusak nama baik (reputasi), kaburkan tujuan, lemahkan semangat – digunakan utk
propaganda.

Tdk dpt dibantah scr efektif hanya dg menggunakan penjelasan yg rasional.

Desas-desus yg berlangsung lama & diterima sbg kebenaran bisa menjadi legenda.

PANIK

(Horton & Hunt, Smelser, Kornblum, Light, Keller)

Kondisi emosional yg diwarnai olh keputusasaan & ketakutan yg tdk terkendali, disertai
penyelematan diri scr kolektif yg didasari olh sikap histeris.
Terjadi pd pok yg mengalami keletihan kr tekanan jiwa (stress) sesaat atau
berkepanjangan, berada dalam keadaan sangat berbahaya & hanya memiliki
kemungkinan membebaskan diri scr terbatas.

Setiap orang menempuh cara utk melindungi dirinya sendiri.

“Kepemimpinan” sangat diperlukan dlm suasana panik guna mengorganisasi agr


kerjasama; hilangkan ketidakpastian dg cara memberi arahan & membangun kepercayaan
diri.

GERAKAN SOSIAL

(Horton & Hunt, Smelser, Kornblum, Light, Keller)

Perilaku masa yang melakukan kegiatan secara berkesinabungan untuk menunjang atau
menolak kebijakan yg dianggap merugikan masyarakat atau kelompok.

Awal mula gerakan dilakukan olh suatu kelompok yg merasa tdk puas thd suatu keadaan;
pribadi kecewa; penyaluran kegagalan; atau mereka yg merasa hidup kurang berarti.

Semula bentuk gerakan tidak terorganisasi, terarah dan terencana selanjutnya


terorganisasi.

Contoh: Gerakan demo, gerakan ekspresif, gerakan utopia, gerakan reformasi, gerakan
revolusioner, (KAMI 1966, Reformasi 1998).

Faktor pendorong: kemiskinan, ketidakadilan, korupsi yg parah, kekejaman,


konsumerisme, individualisme, gila materi & jabatan, hedonisme dll

CIVIL DISOBEDIENCE

(Horton & Hunt, Smelser, Kornblum, Light, Keller)

Pembangkangan sipil adl penyimpangan hk secara umum dan terbuka karena terdorong
oleh kata hati serta pandangan moral, disertai dengan kesediaan menerima sanksi hukum.

Aksi tsb merupakan teknik paksaan tanpa paksaan yang menggunakan tuntutan dr
sejumlah orang yang rela menderita demi menegakkan suatu pandangan moral.

Pembangkangan sipil disebabkan kr muncul-nya kasus-2 yang berkaitan dengan adanya


perasaan kurang puas atas sistem hukum yang tidak adil.

Aksi ini merupakan tindakan politik yang bukan merupakan tindakan kekerasan dengan
tujuan untuk mengubah hukum atau kebijakan pemerintah.
Pembangkan sipil diilhami oleh pemikiran bhw keadilan yg berlaku di masyarakat hanya
untuk golongan tertentu saja dan kurang memperhatikan golongan yang lain.

Pembangkangan sipil bisa mencapai tuntutan yang dikehendaki apabila memiliki disiplin
diri yg kuat dari para pelaku, dan tdk mengarah ke tindakan kekerasan.

Cara ini umumnya berlaku di negara-negara demokrasi di mana para pelaku telah
memiliki kesadaran cukup tinggi dlm hidup bernegara. Dengan kata lain tuntutannya
benar-benar utk kepentingan bangsa dan negara.

Social disobidience = Paksaan tanpa kekerasan (nonviolent coercion) sbg teknik


perlawanan (non resistance) atau perlawanan pasif (pasif resistance).

Sasarannya ialah membangkitkan perasaan simpati masyarakat dan mempermalukan


partai dominan agar partai dominan mau membuat kelonggaran.

Teori dasar: ketidakpuasan (discontent theory), ketidakmampuan menyesuaikan diri


(malajusment theory), kesenjangan (deprivasi).

PATOLOGI SOSIAL

Semua tingkah laku yg bertentangan dg norma kebaikan, stabilitas lokal, pola


kesedarhanaan, moralitas, hak milik, solidaritas kekeluargaan, hidup rukun bertetangga,
disiplin, kebaikan dan hukum formal (Penyakit Masyarakat).

Perkembangan tdk seimbang dr macam-2 bag kebudayaan, shg melahirkan kesenjangan


sosial, kelambatan kultural (cultur lag), disorganisasi sosial, hingga disintegrasi sosial.

Inter-dependensi antara disorganisasi sosial dan lingkungan budaya yg buruk merupakan


rangsangan bagi orang normal menjadi sakit sosial (sosiopatik).

Bentuknya : Kemiskinan, Kejahatan, Pelacuran, Alkoholisme, Narkotika, Perjugian,


Pelacuran

STEREOTIPE

Kesan (pandangan salah, prasangka) tentang ciri-ciri tertentu (khusus) kelompok luar
yang telah diterima secara luas oleh masyarakat.

Citra kaku tentang suatu kelompok ras atau budaya yang dianut tanpa memperhatikan
kebenaran citra tersebut.

Kecenderungan bahwa sesuatu yang dipercayai orang besifat terlalu menyederhanakan


dan tidak peka terhadap fakta obyektif.

Stereotype mungkin ada benarnya, tetapi tidak seluruhnya benar.


ALIENASI

Keterasingan, ketidakberdayaan, ketidakberartian,

keterpencilan, ketidakseimbangan diri

Keterasingan diri atas karyanya di dlm masyarakat

atau kelompok, disertai perasaan tanpa norma,

tanpa arti, tanpa daya, tanpa kemampuan, tanpa

perhatian, merasa rendah diri, terisolasi, dan

tersingkir dlm kehidupan.

ANOMI

Kondisi sosial yg tidak memiliki seperangkat nilai & sistem penerapannya yang diyakini
benar, berlaku scr konsisten, dan digunakan sebagai pedoman sikap & perilaku oleh
warga masyarakatnya.

Nilai-nilai lama telah ditinggalkan sedangkan nilai baru belum terbentuk.

Cara menerapkan nilai lama tidak sesuai dg perkembangan, sedangkan cara baru belum
ada.

POLARISASI

Proses terjadinya dua lapisan dlm masyarakat (lapisan atas dan lapisan bawah) yang
menunjukkan perbedaan sikap dan kemampuan dalam merespon (menyerap) ilmu
pengetahuan dan teknologi serta hasil-hasil pembangunan sedemikian rupa, sehingga
menimbulkan kesenjangan dlm kesejahteraan dan kemampuan kedua lapisan tersebut.

Bentuk a.l kesenjangan dlm kesejahteraan, pendidikan, akses dlm berpolitik dll.

ANOMALI

Anomali adalah proses penyimpangan fungsi-fungsi lembaga dalam masyarakat yg tdk


segera diperbaiki peranannya sehingga menimbulkan kegalauan atau keadaan anomi.

Bentuknya berupa pelanggaran thd norma-norma sosial yg tlh melembaga atau mapan,
tidak ada sanksi yg efektif, & tidak melakukan perubahan scr substansial cara utk
mengatasi masalah.

INVOLUSI
Involusi adalah kemunduran, kemerosotan kebudayaan kr ketidakseimbangan yang
terjadi di dalam kehidupan sosial sudah mencapai bentuk yang pasti, namun tidak
berhasil diseimbangkan atau diubah menjadi suatu pola baru, justru terus berkembang
hingga menjadi semakin rumit.

Bentuknya berupa peningkatan teknik melangsungkan kehidupan atas dasar ketertutupan


(exclucivisme), dlm konteks mekanisme daya tahan masyarakat (defence-mechanisme),
hingga sikap sosial mengalami dehumanisasi, kepekaan sosial menghilang, persepsi
sosial menjadi kabur, kebanggan hanya pada lambang-lambang kesuksesan, mabuk
kekuasaan, materi dan panik

EROSION PATRON-CLIENT

Pengikisan hubungan ketergantungan antara Klien (yang dipimpin, dilindungi, anggota)


terhadap Patron (Pelindung, Pemimpin) disebabkan oleh menguatnya nilai kesadaran
rasional di satu sisi, di sisi laian melemahnya nilai ketauladanan dan rasa tanggungjawab)
Patron sbg pengaruh dr orientasi materi yg menonjol, serta berfikir dan bertindak scr
ekonomis.

KRISIS

Krisis adl proses melemahnya daya pengikat sosial berupa nilai-nilai, lembaga-lembaga,
fungsi-fungsi, status-status, peranan-peranan, mekanisme, tata-cara hidup dalam
masyarakat

Bentuknya berupa kontradiksi-kontradiksi sikap dan tindakan dlm bentuk arogan, brutal,
agresif, anarkhi di masyarakat dalam menghadapi setiap kebijakan yg dianggap tidak
selaras dengan pendapat umum

CRIME

Crime is societal problem not criminal justice problem (Radcliff Brown).

Tindakan yang bertentangan dg rasa solidaritas kelompok (Thomas).

Pelanggaran thd perasaan ttg kasihan dan kejujuran (Garofalo).

Konsep kejahatan sering dilihat dr aspek kegarangan tindakan (Feloni = kejahatan serius;
Misdemeanor = kejahatan yg kurang serius)

Organized Crime : Suatu tindak kejahatan yg dilakukan

oleh sekelompok orang scr sistematis (modus operandi).

Criminal Organization : Suatu organisasi yg didirikan oleh


para penjahat utk mengoptimalkan pencapaian tujuan

(punya struktur organisasi yg jelas, memiliki keanggotaan

tetap, menggunakan peralatan teknologi, memiliki aksi

kejahatan yang berkelanjutan, menggunakan akumulasi

kekuasaan

State Organized Crime : tindakan yg menurut hk

ditentukan sbg kejahatan & dilakukan olh pejabat pmrth

dlm menunaikan tugas dr negara

Crime againts humanity : 1) kejahatan perang; 2)

pembersihan etnik (genocide; 3) perbudaan dll.

KEJAHATAN PD MASYARAKAT INDUSTRI

Penyelundupan (smuggling) sbg bentuk kejahatan konvesional yg berdimensi baru,


memanfaatkan teknologi komunikasi, transpotasi (kapal curah, container, cargo air
transportation, diplomatic bag dll).

Penyebaran hama & penyakit mll bahan makanan import kadaluarsa, baik berasal dr ngr
pengeksport yg kondisi alat angkutnya buruk, maupun yg tertahan di pelabuhan tujuan.

Pasar gelap (black market) barang-2 terlarang spt makanan, minuman, drug mll
pengemasan & peredaran yg tdk konvensional (pembuangan limbah 3B, debt collector).

Pemalsuan merk dagang terkenal & pembajakan hak paten.

Penggelapan pajak, pemalsuan restitusi pajak.

Penyalahgunaan credit card, pecurian pulsa telp, money laundry.

Pelecehan sex dan child abused, kejahatan yg bersumber dr tekanan psikologis akibat
kerja berat & diburu wakt.

Cyber crime (kejahatan maya.

Kejahatan asuransi.

TERORISME
Strategi untuk mencapai suatu tujuan dengan menggunakan cara kekerasan atau ancaman
kekerasan utk memaksa pemerintah, penguasa & rakyat dengan menimbulkan rasa takut.

Digunakan olh kelompok yg hanya memperoleh dukungan kecil, tetapi memiliki


keyakinan yang teguh atas kebenaran tujutannya.

Berbagai tujuan terorisme : menarik perhatian dunia, mengacaukan stabilitas


pemerintahan, mendukung revolusi, dan balas dendam.

WHITE COLLOR CRIME

Ciri-2 WCC menurut Laura Snider :

1. Dilakukan dlm konteks kewenangan.


2. Berlindung di balik jabatan.
3. Akibat yg ditimbulkan meluas.
4. Menguntungkan diri sendiri maupun kelompok.
5. Dilakukan dlm konteks sindikat.

Label yg mengandung pesan moral & politik utk kejahatan yg dilakukan olh orang-2 yg
memiliki kedudukan sosial tinggi & terhormat dlm pekerjaannya (para pengusaha &
eksekutif).

Kegiatan tdk sah tanpa menggunakan kekerasan scr langsung teruama menyangkut
penipuan, penyesatan, penyembunyian informasi, penggelapan dan manipulasi.

WCC menggugurkan teori yg menyatakan pelaku kriminal adl orang-2 yg berasal dr


kelas sosial & ekonomi rendah.

JUDICIAL ACTIVISM

Hakim yg mengembangkan atau memperluas pengertian hukum dan peraturan konstitusi


yang berlaku dengan menggunakan interpretasi hukum menurut pendapatnya sendiri.

Kecenderungan para penegak hukum untuk mengarah ke upaya memperluas atau


mempersempit pengertian peraturan hukum dan ketetapan konstitusi di luar kehendak
pembuat peraturan hukum dan ketetapan tersebut.

JUDICIAL CRIME

Kejahatan yang dilakukan olh aparat penegak hukum dlm konteks jabatan & kekuasaan
untuk menetapkan seseorang atau sekelompok orang salah atau tdk bersalah dg cara
menyimpangkan perkara dari tujuan hk shg menguntungkan diri sendiri & merugikan
fihak lain yg berperkara serta merusak tatanan hukum.

CRIMINAL LAWYER
Aktivitas lawyer yang menjadi langganan pelanggar hukum baik perorangan maupun
terorganisir. Pekerjaannya : merekayasa alibi, mengatur pertemuan yg bersifat
tersembunyi, mempengaruhi polisi, jaksa maupun hakin dlm membuat berita acara,
menuntut hingga menyidangkan perkara. Juga menakuti saksi, mengaburkan
peristiwa/perkara mll mass media, dg cara menyuap aparat gakkum, hingga mengancam
keselamatan hakim.

EXTRA JUDICIAL CRIME

Lembaga yg terbentuk kr ketidakpuasan masyarakat atas kinerja para penegak hukum.

Masyarakat tdk mempercayai integritas moral para penegak hukum kr aparat tlah
melakukan penyalahgunaan wewenang & memberi perlindungan thd praktek-2 kejahatan.

Masyarakat mengganggap tindakannya mrpkn tindakan suci (mahatma) & mrpkn hk


positif.

Masyarakat melakukan upaya penegakan hukum menurut pandangan & cara-cara mereka
sendiri.

HUMAN SECURITY

(Keamanan Manusia)

MULTI FASET KEAMANAN MANUSIA :

• Keamanan kultural & agama.


• Keamanan harta milik.
• Keamanan hak-hak manusia.
• Keamanan perempuan. Anak
• dan lansia.
• Keamanan kerja.
• Keamanan keluarga & Kediaman.
• Keamanan makanan.
• Keamanan perjalanan.
• Keamanan informasi.
• Keamanan hak cipta.
• Keamanan pendidikan.
• Keamanan kesehatan. Jiwa & bencana.

Human security sbg Sistem keamanan yg Berlawanan dengan Sistem State sesurity

PENDEKATAN DLM KEAMANAN MANUSIA :

• Pengusangan perang.
• Pengusangan kekerasan.
• Demokratisasi politik, ekonomi & hukum (peradilan)
• Keadilan hukum.
• Pelestarian lingkungan.
• Penyelesaian konflik scr damai.
• Perubahan umur kerja.
• Multikulturalisme & multirelijionisme.
• Hak manusia dg relativism kultural.
• Ekoteknologi.

INDUSTRI KEAMANAN :

• Asuransi (pendidikan, usia lanjut, rumah, kendaraan, kecelakaan, harta, pekerjaan,


perjalanan).
• Pengawalan, patroli, jaga malam.
• Detektif swasta.
• Pengamanan fisik (pagar, kunci, alarm, mata elektronik, senjata api, foto kamera).
• Praktek dokter.
• Akutansi.

TANTANGAN KEAMANAN MANUSIA MASA DEPAN :

• Pangan, air, tanah, udara.


• Ekologi.
• Informasi.
• Kemiskinan mayoritas.
• Hak intelektual.
• Bencana alam.
• Perpecahan keluarga.
• Kesehatan.
• Radikalisasi agama.
• Terorisme.
• Trans-nasitional crime.
• Keseimbangan biomassa.

PROBLEM SOSIAL MASA KINI

(Makro)

Upaya mempersenjatai diri dan upaya mengurangi persenjataan (armament and


disarment)

Masalah Hak Asasi Manusia

Alih teknologi, inflasi, tawar-menawar secara kolektif (collective bargaining)

Biaya pemerintahan (government budgeting),


Inovasi kelembagaan (institutional innovation),

Restrukturisasi sosial (social restructuring)

Keikutsertaan buruh dalam mengelola perusahaan, juga dalam hal penentuan


kebijaksanan (codetermination) serta keterlibatan buruh dlm manajemen (worker’s self
management)

Hak atas non-diskriminasi (atas dasar jenis kelamin, gender, dan /atau kemampuan
melahirkan anak, ras, kebangsaaan dst)

Perbedaan perlakuan antara laki-laki dan perempuan dalam bidang khusus, seperti
lapangan kerja, sistem peradilan dll

Kebebasan vs kekerasan.

Hak sipil dan politik lainnya (berkumpul, mengelaurkan pendapat dll)

Pembagian waris bagi wanita.

Alokasi & peruntukan tanah.

Perubahan tata-nilai dlm kesenian (musik).

Perkawinan sesasama jenis. dll

KONFIGURASI PROBLEM SOSIAL

PROBLEM MAKRO

STRATEGIS

PROBLEM MESSO

TAKTIS

PROBLEM MIKRO

TEKNIS

GRAND THEORY

MIDDLE RANCE THEORY

LOWER THEORY
MASALAH KELEMBAGAAN

MASALAH ORGANISASI

MASALAH

INDIVIDU

Masalah Makro :

• Masalah Keadilan.
• Masalah Kemakmuran.
• Masalah Keamanan.

Masalah Messo :

• Sistem Penegakan Hukum.


• Sistem Kepolisian Nasional.
• Fungsi Lembaga Arbritase.

Masalah Mikro :

• Persaingan Usaha.
• Kepailitan Perusahaan.
• Peranan lembaga.
• Perbankan.
• Perlidungan konsumen.
• Perlindungan wanita.

KULIAH KE 3

ANALISIS MASALAH

Analisis merupakan kegiatan akal budi dlm rangka memecahkan masalah dan berupaya
utk memperoleh jawabannya.

Jenis analisis :

1. Analisis teoretis – suatu kajian untuk mengubah/menambah/ mengembangkan


pengetahuan.
2. Analisis praktis – suatu kajian untuk mengubah keadaan atau menyelesaikan suatu
masalah.
3. Analisis problematik – kombinasi dari analisis teoretis dan analisis praktis untuk
mencari jalan keluar secara sistematis dlm konteks pemecahan mslh empiris.
Dalam hal ini menempatkan proses dan problem dalam konteks sebagai suatu
sistem.
4. Analisis yuridis – cara berfikir yg terpola & terarah pd sistem kaidah hukum
positif dan kenyataan di masyarakat. Tujuannya utk memelihara stabilitas dan
prediktabilitas (menjamin ketertiban dan kepastian hukum), serta utk
menyelesaikan kasus scr imparsial, obyektif, adil dan manusiawi.

Penalaran adalah proses berfikir dari premis ke premis utk

mencapai kesimpulan. Hasilnya disebut argumentasi.

Jenis-2 Argumentasi :

1. Deduksi.
2. Induksi.
3. Abduksi.

Argumen deduksi = mengeksplisitkan kesimpulan yg sdh ada

dlm premis-2 scr tersirat. Bentuk dasarnya adl silogisme.

Hakekatnya merupakan penerapan premis umum pada premis

khusus atau premis mayor pada premis minor.

Argumen induksi = berdasarkan premis-2 khusus utk menarik

kesimpulan umum. Prosesnya membanding-bandingkan

sejumlah kejadian atau fakta, selanjutnya berdasarkan

kesamaan-2 dan perbedaan-2 menarik kesimpulan umum.

Argumen abduksi = berdasarkan sebuah kenyataan konkret yg

dipandang sbg problematika, disugestikan ke sbh aturan umum

utk menyelesaikan kejadian khusus ttt.

Penalaran yuridis adalah proses suatu berfikir dalam rangka mengidentifikasi hak-2 dan
kewajiban-2 spesifik dari orang-2 tertentu. Secara teknik dijabarkan ke dalam enam
langkah :

Memaparkan selengkap mungkin fakta dari suatu peristiwa yang menimbulkan masalah.

Mengidentifikasi sumber hukum yang aplikabel.


Menganalisis sumber-2 hukum utk menetapkan aturan-2 yang aplikabel & kebijakan
(policy, tujuan kemasyarakatan) yang melandasi aturan-2 tersebut.

Mensintesiskan aturan-2 hukum yang aplikabel ke dlm suatu struktur koheren yang di
dlm nya aturan yang lebih spesifik dikelompokkan ke bawah aturan yang lebih umum.

Menelaah fakta yang diperoleh utk memilah, menstrukturkan dan mengkualifikasi fakta
yang relevan shg tampil peristiwa hukumnya.

Menerapkan struktur aturan-2 pada fakta yang relevan utk menetapkan hak-2 dan
kewajiban-2 yang diciptakan olh fakta tersebut dg mengacu pada kebijakan yang
melandasi aturan-2 tersebut.

Proses berfikir yuridis – Penalaran hukum = legal reasoning = argumen yuridis

Fenomena adalah hal-hal yang dapat dilihat dengan panca indera dan dapat diterangkan
serta dinilai secara ilmiah. Fenomena ini merupakan gejala atau kejadian yang dapat
ditangkap oleh indera manusia, misalnya gejala-gejala atau kejadian alam. Dalam
kegiatan kajian terhadap suatu masalah, fenomena merupakan “titik awal” dalam upaya
mendapatkan informasi-informasi dan dijadikan suatu hal yang ingin diketahui.
Fenomena itu kemudian diabstraksikan dengan konsep-konsep yaitu istilah atau simbol-
simbol yang mengandung pengertian singkat dari fenomena. Hasil dari suatu penelitian
berupa fakta-fakta yang diungkapkan dalam bentuk proposisi-proposisi, baik berupa
teori, dalil, hukum, digunakan untuk menjelaskan fenomena-fenomena tersebut. Dengan
demikian fenomena-fenomena yang ingin diketahui akan terjawab setelah diperoleh
fakta-fakta.

FENOMENA

Kata konsep berasal dari kata latin concipere yang berarti mencakup, mengandung,
mengambil, atau menangkap. Kata bendanya adalah conceptus yang berarti tangkapan,
sehingga arti konsep sebenarnya adalah tangkapan. Jika intelek (akal budi) manusia
mengangkap atau melihat sesuatu, maka buah atau hasil dr tangkapan tersebut disebut
konsep. Konsep dinyatakan dalam sebuah kata atau kalimat. Jadi konsep adalah istilah
atau simbol-simbol yang mengandung pengertian singkat dari suatu fenomena. Dengan
kata lain konsep itu penyederhanaan dari fenomena

KONSEP

Data merupakan bentuk jamak dari datum. Dalam bahasa Indonesia, data diartikan
sebagai keterangan yang benar dan nyata atau bahan nyata yang dapat dijadikan dasar
kajian (analisis). Data dapat berupa data kualitatif yaitu yang tidak berbentuk angka yang
diperoleh dari wawancara, pengamatan, dan lain-lainnya, maupun kuantitatif berbentuk
angka yang diperoleh dari penjumlahan atau pengukuran.
Jadi data adalah keterangan atau hasil dari pengamatan/ pengukuran baik berupa nilai-
nilai maupun angka yang biasa dijadikan sebagai bahan dasar kajian atau analisis. Dalam
suatu kajian, data digunakan untuk menguji kebenaran suatu hipotesis atau paradigma.
Keabsahan hasil pengujian itu tergantung pada kebenaran dan ketepatan data serta
kecermatan analisis data.

DATA

Fakta berasal dari bahasa latin factum. Fakta merupakan bentuk jamak dari factum,
berarti peristiwa, bukti atau berita yg merupakan kenyataan, atau sesuatu yg benar-benar
terjadi.

Dengan demikian jika hipotesis atau paradigma dinyatakan benar setelah diuji secara
empirik, maka hubungan-hubungan informasi yang diprediksikan menjadi penyebab
masalah benar, artinya hubungan-hubungan tersebut benar-benar terjadi dan suatu
peristiwa terbukti kebenaranya berdasarkan fakta.

FAKTA

TEORI

Teori memiliki beberapa pengertian a. l :

Pendapat yg dikemukakan sbg keterangan mengenai suatu peristiwa. Misalnya, teori


tentang kejadian bumi, teori tentang pembentukan negara.

Asas atau hukum scr umum yg menjadi dasar suatu kesenian atau ilmu pengetahuan,
Misalnya teori ttg mengendarai mobil, teori ttg hukum dagang.

Seperangkat premis yg berhubungan scr logis baik linear maupun tdk linear dan
dinyatakan scr sistematis utk menjelaskan gejala-gejala empiris.

Seperangkat konsep yg berhubungan satu sama lain yg menggambarkan st fenomena dlm


hubungan scr kausalitas dg tujuan utk menerangkan, dan meramalkan fenomena.

PREMIS

Rangkaian pernyataan mengenai hubungan antara dua atau lebih konsep, yg tidak perlu
dibuktikan kebenarannya namun dpt diterima scr ilmiah (logis).

Contoh Jika mahasiswa Universitas Jayabaya pernah mengikuti kuliah di perguruan


tinggi lain, maka mereka cenderung belajar secara aktif sehingga prestasinya cenderung
lebih tinggi.

TEORI FUNGSIONAL
(Durkheim, A. Comte, M. Weber, T. Parsons, H. Spenser)

Kohesi sosial dalam masyarakat :

Di setiap masyarakat senantiasa dijumpai suatu keterkaitan (kohesi). Dalam masyarakat


seperti itu terdapat pengelompokan intermedier atas lembaga-lembaga kemasyarakatan,
sehingga di dalamnya ada semacam struktur tertentu.

Jika dalam pengelompokan membagi nilai dengan norma-norma yang sama, maka
masyarakat memiliki aturan dalam pergaulan hidup, di mana orang-orang mempunyai
ikatan erat dalam pengelompokan intermedier, sehingga mereka mengindahkan nilai-nilai
dan norma pergaulan hidup tersebut.

Grand Theory

TEORI KONFLIK

(Hobbes, Karl Maarx, Galtung, Dahrendorf, Simmel, Coser, Slotkin)

Konflik merupakan fenomena yg normal dan natural.

Konflik dpt menimbulkan keadaan tidak enak, meresahkan, menegangkan, menakutkan


namun syarat bagi suatu perubahan.

Konflik sosial merupakan pertentangan antara dua pihak atau lebih yang menyangkut
masalah ekonomi, kekuasaan, keyakinan agama, ras.

Grand Theory

Teori-teori Under Control atau teori-teori untuk mengkaji perilaku jahat seperti teori
Disorganisasi Sosial, teori Netralisasi dan teori Kontrol Sosial. Teori ini secara umum
membahas mengapa ada orang melanggar hukum meskipun kebanyakan orang tidak
demikian.

Teori-teori Kultur, Status dan Opportunity seperti teori Status Frustasi, teori Kultur Kelas
dan teori Opportunity yang menekankan mengapa adanya sebagian kecil orang
menentang aturan yang telah ditetapkan masyarakat di mana mereka tinggal.

Teori Over Control yang terdiri dari teori Labeling, teori Konflik Kelompok dan teori
Marxis. Teori ini lebih menekankan kepada masalah mengapa orang bereaksi terhadap
kejahatan.

Lower Theory

ANOMI
(Emile Durkheim)

Anomi adalah keadaan deregulation dalam masyarakat, karena tidak ditaatinya


aturan-aturan yang telah mapan (aturan lama ditinggalkan sedangkan aturan baru belum
ada), kehidupan menjadi seolah-olah tanpa pedoman, orang sulit manangkap apa yang
diharapkan dari orang lain baik untuk bersikap maupun bertindak, sehingga keadaan
menjadi galau atau membingungkan.

(R.K.MERTON)

Innovation (pembaharuan) adalah keadaan di mana tujuan dalam masyrakat diakui dan
dipelihara, akan tetapi tdk terjadi perubahan sarana yang dipergunakan untuk mencapai
tujuan. Masyarakat masih ada yang percaya dengan cara-cara lama untuk mencapai
tujuan, namun beralih menggunakan sarana baru jika menemui halangan terhadap cara
yang digunakan untuk mencapai kesusksesan.

Conformity (menyetujui) adalah suatu keadaan di mana warga masyarakat menerima


tujuan dan sarana-sarana baru (legitimate mean) yang berkembang di masyarakat karena
ada tekanan sosial. Di sisi lain meskipun masyarakat memiliki sarana yang terbatas tetapi
tidak melakukan penyimpangan, mereka melanjutkan pencapaian tujuan hidup dan
percaya atas legitimasi sarana-sarana konvensional dengan mana kesusksesan akan
dicapai.

Ritualism (tatacara keagamaan) yaitu keadaan di mana warga masyarakat yang telah
menerima tujuan dan sarana-sarana baru, namun saranasarana baru tidak kunjung
diadakan. Masyarakat meredakan ketegangan dengan menurunkan skala aspirasi sampai
pada batas yang bisa mereka capai daripada mengejar tujuan budaya kesuksesan yg hanya
ilusi.

Retreatism (penarikan diri) yaitu keadaan di mana warga masyarakat melepaskan tujuan
budaya sukses dan sarana-sarana sah. Warga masyarakat mulai menyesuaikan diri dari
menurut cara-cara sendiri, misalnya dengan mabok-mabokan, pecandu narkoba hingga
puncaknya bunuh diri.

Rebellion (pemberontakan) yaitu keadaan di mana tujuan dan sarana yang terdapat dalam
masyarakat ditolak, berusaha untuk mengganti atau mengubah seluruhnya. Meraka juga
menginginkan utk mengubah sistem melalui social disobidien (pembangkangan sosial).

EXCHANGE THEORY

(Peter Blau)

Premis-premisnya :

Pertukaran sosial tidak simetris, ttp dilandasi olh sistem stratifikasi berdasarkan
kekuasaan dan wewenang.
Perbedaan status dlm masyarakat berakibat adanya perbedaan transaksi dalam pertukaran
antar warga, status yg rendah ditentukan olh status yg tinggi.

Legitimasi pemimpin dlm masyarakat tdk menjamin para anggota merasa puas thd
kepemimpinannya, atau memahami apa yang diharuskan olh pimpinan, karena setiap
pertukaran salalu diikuti oleh pamrih atau balasan.

Kekuasaan dan otoritas dalam masyarakat sangat tergantung pd hasil perbandingan cost
dan reward yg menguntungkan semua pihak.

Dalam organisasi hubungan yg asimetris dilestarikan melalui kekuasaan yg memaksa.

TEORI KONTROL SOSIAL

(Reiss)

Lahirnya teori Kontrol Sosial dilatarbelakangi oleh tiga aspek perkembangan dalam
masyarakat : (1) Adanya reaksi dari teori labeling dan konflik yang dilandasi tingkah laku
kriminal. Sebagaimana acuan, teori ini kurang menganalisis masalah kriminal dan hanya
mengarah pada subyek perilaku menyimpang; (2) Munculnya studi tentang criminal
justice sebagai suatu ilmu telah mempengaruhi hukum menjadi lebih pragmatis serta
berorientasi pada sistem; dan (3) Teori Kontrol Sosial dikaitkan dg teknik penelitian,
khususnya terhadap tingkah laku remaja, yakni self report survey.

TEORI KONTROL SOSIAL

(Nye)

Menurut Nye, manusia diberi kendali supaya tidak melakukan pelanggaran, proses
sosialisasi yang adequat (memadai) akan mengurangi terjadinya delinkuensi. Pendidikan
terhadap seseorang untuk melakukan pengekangan keinginan (impulse). selain itu,
kontrol intemal dan ekstemal harus kuat utk membangun ketaatan terhadap hukum
(law-abiding).

Premis teori Kontrol Sosial :

1. Harus ada kontrol intemal maupun ekstemal.


2. Manusia diberikan kaidah-kaidah supaya tidak melakukan pelanggaran.
3. Proses sosialisasi yang ade quat (memadai) akan mengurangi terjadinya
delinkuen.
4. Ketaatan thd hukum (law abiding).

TEORI LABELING

(Micholowsky)
Premis-premis teori Labeling sebagai berikut :

1. Kejahatan merupakan kualitas dari reaksi masyarakat atas tingkah laku seseorang.
2. Reaksi itu menyebabkan tindakan seseorang dicap sebagai penjahat.
3. Umumnya tingkah laku seseorang yang dicap jahat menyebabkan orangnya juga
diperlakukan sebagai penjahat.
4. Seseorang yang dicap dan diperlakukan sebagai penjahat terjadi dalam proses
interaksi, di mana interaksi tersebut diartikan sebagai hubungan timbal balik
antara individu, antar kelompok dan antar individu dan kelompok.
5. Terdapat kecenderungan di mana seseorang atau kelompok yang dicap sebagai
penjahat akan menyesuaikan diri dengan cap yang disandangnya.

Teori Labeling Howard S. Becker menekankan dua aspek:

(1) Penjelasan tentang mengapa dan bagaimana orang-orang tertentu sampai diberi cap
atau label sebagai penjahat; dan (2) Pengaruh daripada label itu sebagai konsekuensi
penyimpangan tingkah laku, perilaku seseorang bisa sungguh2 menjadi jahat jika orang
itu di cap jahat.

Edwin Lemert membedakan tiga penyimpangan, yaitu: (1) Individual deviation, di mana
timbulnya penyimpangan diakibatkan oleh karena tekanan psikis dari dalam;
(2)Situational deviation, sebagai hasil stres atau tekanan dari keadaan; dan (3) Systematic
deviation, sebagai pola-pola perilaku kejahatan terorganisir dalarn sub-sub kultur atau
sistem tingkah laku.

Pada dasarnya teori labeling menggambarkan:

(1) Tidak ada satupun perbuatan yang pada dasarnya bersifat kriminal; (2) Predikat
kejahatan dilakukan oleh kelompok yang dominan atau kelompok penguasa; (3)
Penerapan aturan tentang kejahatan dilakukan untuk kepentingan pihak yang berkuasa;
(4) Orang tidak menjadi penjahat karena melanggar hukum, tetapi karena ditetapkan
demikian oleh penguasa; dan (5) Pada dasarnya semua orang pernah melakukan
kejahatan, sehingga tidak patut jika dibuat kategori orang jahat dan orang tidak jahat.
Premis tersebut menggambarkan bahwa sesungguhnya tidak ada orang yang bisa
dikatakan jahat apabila tidak terdapat aturan yang dibat oleh penguasa untuk menyatakan
bahwa sesuatu tindakan yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang
diklasifikasikan sebagai kejahatan.

DIFFERENTIAL ASSOCIATION THEORY

(Edwin H. Sutherland)

Sembilan premis perilaku jahat :

1. Perilaku kejahatan adalah perilaku yang dipelajari, bukan warisan.


2. Perilaku kejahatan dipelajari dalam interaksi dengan orang lain dalam suatu
proses komunikasi. Komunikasi tersebut dapat bersifat lisan atau dengan bahasa
tubuh).
3. Bagian terpenting dalam proses mempelajari perilaku kejahatan terjadi dalam
hubungan personal yang intim. Secara negatif ini berarti bahwa komunikasi
interpersonal seperti melalui bioskop, surat kabar, secara relatif tidak berperanan
penting dalam terjadinya kejahatan).
4. Ketika perilaku kejahatan dipelajari, maka yang dipelajari termasuk: (a) teknik
melakukan kejahatan, (b) motif-motif, dorongan-dorongan, alasan-alasan
pembenar dan sikap-sikap tertentu).
5. Arah dan motif dorongan itu dipelajari melalui definisi-definisi dari peraturan
hukum. Dalam suatu masyarakat, kadang seseorang dikelilingi oleh orang-orang
yang secara bersamaan melihat apa yang diatur dalam peraturan hukum sebagai
sesuatu yang perlu diperhatikan dan dipatuhi, namun kadang ia dikelilingi
orang-orang yang melihat aturan hukurn sebagai sesuatu yang memberikan
peluang dilakukannya kejahatan.
6. Seseorang menjadi delinkuen karena ekses pola-pola pikir yang lebih melihat
aturan hukurn sebagai pernberi peluang melakukan kejahatan daripada melihat
hukurn sebagai sesuatu yang harus diperhatikan dan dipatuhi
7. Asosiasi Diferensial bervariasi dalam frekuensi, durasi, prioritas serta
intensitasnya.
8. Proses mempelajari perilaku jahat diperoleh lewat hubungan dengan pola-pola
kejahatan dan mekanisme yang lazim terjadi dalam setiap proses belajar secara
urnum.
9. Sementara itu perilaku jahat merupakan ekspresi dari kebutuhan nilai umum,
namun tidak dijelaskan bahwa perilaku yang bukan jahatpun merupakan ekspresi
dari kebutuhan dan nilai-nilai umum yang sama.

SOCIAL REALITY OF CRIME THEORY

(Richard Quinney)

Premis 1: Definisi ttg tindak kejahatan (perilaku yg melanggar hukum) adalah perilaku
manusia yang diciptakan oleh para pelaku yang berwenang dalam masyarakat yang
terorganisasi secara politik, atau kualifikasi atas perilaku yang melanggar hukum
dirumuskan oleh warga-warga masyarakat yang mempunyai kekuasaan.

Premis 2: Kejahatan adalah gambaran perilaku yang bertentangan dengan kepentingan


kelompok masyarakat yang memiliki kekuasaan untuk membentuk kebijakan publik, atau
perumusan pelanggaran hukum merupakan perumusan tentang perilaku yang
bertentangan dengan kepentingan pihak-pihak yang membuat perumusan.

Premis 3: Definisi tindak kejahatan diterapkan di dalam masyarakat yang memiliki


kekuasaan untuk membentuk pelaksanaan dan administrasi hukum pidana. Kepentingan
penguasa ikut mencampuri di semua tahap dimana kejahatan itu diciptakan.
Premis 4: Pola aksi tindakan melanggar hukum atau tidak tergantung pada faktor : (1)
kesempatan dalam masyarakat; (2) pengalaman belajar; (3) identifikasi pada pihak-pihak
lain; (4) konsep diri.

Premis 5: Pemahaman ttg tindak kejahatan dibentuk dan diserap ke dalam kelompok--
kelompok masyarakat lewat sarana komunikasi.

CULTURE CONFLICT THEORY

(Thorsten Sellin)

Premis 1: Bertemunya dua budaya besar.

Konflik budaya dapat terjadi apabila ada benturan aturan pada batas daerah budaya yang
berdampingan. Pertemuan tersebut mengakibatkan terjadinya kontak budaya diantara
mereka baik dalam kaitan agama, orientasi kerja, cara berdagang dan budaya minum-
minuman keras, judi dan lain-lain yang dapat mernperlemah budaya kedua belah fihak.

Premis 2: Budaya besar menguasai budaya kecil.

Konflik budaya dapat juga terjadi bila satu budaya memperluas daerah berlakunya ke
budaya lain. Hal ini terjadi biasanya dengan menggunakan undangundang dimana suatu
kelompok budaya diperlakukan untuk daerah lain.

Premis 3: Anggota dari suatu budaya pindah kebudaya lain.

Konflik budaya timbul karena orang-orang yang hidup dalam budaya tertentu pindah ke
lain budaya yang berbeda.

SUB-CULTURE THEORY

Teori sub-culture membahas kenakalan remaja serta perkembangan dari berbagai tipe
gang anak-anak di AS.

Teori sub-culture dipengaruhi oleh kondisi intelektual (intelectual heritage) aliran


Chicago, konsep anomie Robert K. Merton dan Solomon Kobrin yang melakukan
penelitian terhadap hubungan antara gang jalanan dengan orang laki-laki yang berasal
dari komunitas kelas bawah (lower class). Hasil penelitiannya menunjukkan ada kaitan
antara hierarki politis dengan kejahatan teroganisir.

Ada dua teori sub-culture

Teori Delinquent Sub-Culture

Albert K. Cohen dalarn bukunya Delinquent Boys (1955) berusaha memecahkan masalah
kenakalan remaja dengan meggabungkan teori Disorganivasi Sosial dari Shaw dan
McKay, teori Differential Association Edwin H. Sutherland dengan teori Anomie R.K.
Merton. Cohen menyimpulkan bahwa kondisi tsb menyebabkan terjadinya peningkatan
perilaku delinkuen kalangan remaja di daerah kumuh (slum). Konklusinya menyebutkan
bahwa perilaku delinkuen di kalangan remaja kelas bawah merupakan cermin ketidak
puasan warga terhadap norma dan nilai kelompok kelas menengah yang mendominasi
kultur Amerika.

Teori Differential Opportunity (Perbedaan kesempatan)

Teori ini dikemukakan oleh Richard A.Cloward dan Leyod E. Ohlin yang membahas
perilaku delinkuen remaja (gang) di Amerika. Menurut Cloward, deviasi perilkau remaja
itu terjadi karena ada perbedaan kesernpatan yang dimiliki anak-anak untuk mencapai
tujuan hidupnya.

Tiga tipe gang kenakalan remaja: (1) Criminal Sub- Sulture, bilamana masyarakat
terintegrasi dg baik, mk gang akan berlaku sebagai kelompok yang belajar dari orang
dewasa. Aspek itu berkorelasi dengan organisasi kriminal; (2) Retreatist Sub-culture,
remaja tidak memiliki struktur kesempatan shg banyak melakukan perilaku menyimpang
(mabuk-mabukan, penyalahgunaan narkoba, dan lain sebagainya); (3) Conflict
Sub-culture, terdapat dalam masyarakat yang tidak terintegrasi sehingga para remaja
menunjukkan perilaku bebas. Ciri khas gang ini adl kekerasan, perampasan harta benda,
dan perilaku menyimpang lainnya.

TEORI KEKERASAN KOLEKTIF

(Tilly)

Kekerasan Kolektif Primitif – pada dasarnya non politis, ruang lingkupnya terbatas pada
st komunitas lokal (contoh : pengeroyokan thd pencopet yg tertangkap tangan).

Kekerasan Kolektif Reaksioner – merupakan reaksi thd penguasa, pelaku dan


pendukungnya tdk semata-mata berasal dr st komunitas lokal, melainkan siapa saja yg
merasa sesuai dg tujuan kolektif atau tdk setuju dg sistem yg tdk adil (contoh :
demonstrasi buruh)

Kekerasan Kolektif Modern – merupakan sarana utk mencapai tujuan politis atau
ekonomis dlm masyarakat (contohnya: kerusuhan 14 Mei 1998 di Jakarta).

TEORI KONSPIRASI

(Mathias Brockers)

Mutasi dlm kehidupan tdk saja terjadi atas dsr pertarungan atau persaingan soal
keberadaan, ttp juga persekutuan & kerjasama yg justru memungkinkan terjadinya
evolusi.
Dlm kehidupan A bersepakat dg B tanpa diketahui C utk memperoleh keuntungan adl
wajar.

Konspirasi mengandung bujukan atau rayuan, bukan sekedar bernada sama. Kata-kata yg
saling terkait membuat hal-hal yg rumit menjadi sederhana.

Jika tidak ada bukti yg difinitif, kebenaran harus diuji scr berulang-ulang.

Kecenderungan melempar tggjwb masalah yg rumit & menyengsarakan merupakan ciri


perilaku manusia.

Misteri yg tdk mampu dijelaskan scr logika akan dilarikan kpd “sdh kehendak Tuhan”
sbg Sang Pencipta.

Konspirasi membuat masalah yg rumit menjadi sederhana, dan menjadi alat ideal utk
propaganda.

Syak wasangka adl suatu keraguan, kritik dpt dijadikan bukti bagi realitas utk kemajuan.

PENCEGAHAN KEJAHATAN

Pencegahan = antisipansi sebelum masalah terjadi, penanganan kejahatan pada hulu


permasalahan.

Mencegah orang menjadi penjahat & menjadi korban kejahatan.

Mengendalikan keadaan agar tidak dimanfaatkan utk berbuat jahat.

Pengenalan metode penanganan kejahatan, serta peluang terjadinya kejahatan sejak dini
(sejak anak-anak melalui pembinan terhadap kenakalan remaja.

Perasaan takut thd pelaku kejahatan (karena niat & peluang berbuat jahat longgar), shg
perasaan aman masyarakat terganggu.

Akar masalah kejahatan menyangkut Faktor Korelatif Kriminogen.

Pencegahan kejahatan adalah upaya bersama yang dilakukan oleh aparat dan masyarakat
umum dalam menjaga kelembagaan sosial, sistem sosial, dan peran-peran masyarakat
melalui mekanisme yg telah melembaga untuk mewujudkan perasaan aman.

DESAS-DESUS

Berita yg menyebar secara cepat, tidak berdasarkan fakta (kenyataan), dr persoalan moral
hingga kenegaraan.

Disebarkan kr pd dasarnya orang perlu & suka.


Tercipta manakala terjadi ketegangan sosial.

Dpt merusak nama baik (reputasi), kaburkan tujuan, lemahkan semangat – digunakan utk
propaganda.

Tdk dpt dibantah scr efektif hanya dg menggunakan penjelasan yg rasional.

Desas-desus yg berlangsung lama & diterima sbg kebenaran bisa menjadi legenda.

PANIK

Kondisi emosional yg diwarnai olh keputusasaan & ketakutan yg tdk terkendali, disertai
penyelematan diri scr kolektif yg didasari olh sikap histeris.

Terjadi pd pok yg mengalami keletihan kr tekanan jiwa (stress) sesaat atau


berkepanjangan, berada dalam keadaan sangat berbahaya & hanya memiliki
kemungkinan membebaskan diri scr terbatas.

Setiap orang menempuh cara utk melindungi dirinya sendiri.

“Kepemimpinan” sangat diperlukan dlm suasana panik guna mengorganisasi agr


kerjasama; hilangkan ketidakpastian dg cara memberi arahan & membangun kepercayaan
diri.

PERILAKU KOLEKTIF

(Horton & Hunt, Smelser, Kornblum, Light, Keller)

Tindakan yg dilakukan scr bersama olh sejumlah orang, bersifat temporer (tdk bersifat
rutin), tdk terorganisasi. Cenderung tdk terkendali.

Sebagai tanggapan atas rangsangan tertentu atau dipicu olh suatu rangsangan yg sama
(peristiwa, benda, ide), sangat dimungkinkan merusak dan berlaku kriminal.

Contoh : Kerumunan berubah menjadi penjarahan.

Penjarahan di New York – 1977, Los Angeles – 1992, 10 Mei 1963 di Bandung, 13-15
Mei 1998 di Jakarta.

Perlu disiapkan teknik pengendalian kerumunan.

MASALAH-2 SOSIAL YURIDIS

• Hak Atas Kekayaan Intelektual (UU No.7 Tahun 1987 tentang Hak Cipta)
• Badan Arbritase Nasional Dalam Penyelesaian Sengketa
• Konspirasi Tender Dalam Hukum Persaingan Usaha
• Kontrak Investasi Antara Perusahaan Nasional dengan Investor……(Tinjauan
dari teori funsional)
• Peranan KPK Dalam Mendinamisir CJS Guna Mengoptimalkan Pemberantasan
Korusi di Indonesia (Tinjauan dari teori fungsional).
• Koordinasi Kerja Antara Polri dan BC Dalam Pemberantasan Tindak Pidana
Penyelundupan di…(Tinjauan dari teori fungsional).
• Transfer Dana Secara Elektronik Melalui Kartu Kredit (tinjauan dari teori
pertukaran)
• Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Pengguna Produk ……(Tinjauan dari
teori konflik…)
• Perlidungan Hukum Terhadap Wanita Korban Kejahatan Perkosaan (Tinjauan
dari teori social reality of crime)
• PHK Terhadap Karyawan Yang Melanggar Perjanjian Kerja (tinjauan dari teori
konflik…).
• Keputusan Hakim Atas Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh Anak-anak
(Tinjauan dari teori social reality of crime).
• Tindak Pidana Aborsi Ditinjau Dari UU No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan
(Tinjauan dari teori kontrol sosial).
• Penanggulangan Narkotika Di Lingkungan Remaja Berdasarkan UU No.22 Tahun
1991 Tinjauan dari teori kontrol sosial).
• Sikap Para Gelandangan Terhadap perilaku Seks (Tinjauan dari teori differential
assosiation).
• Fenomena Inul Daratista Dalam Konteks Pornoaksi (Tinjauan dari teori Anomi)
• Analisis Terorisme Di Indonesia (Tinjauan dari teori konflik…).
• Ada Tommy Di Tenabang (Tinjauan dari teori funsionalisme R.K Merton)
• Kiprah Ustad Abu Ba’asir (Tinjauan dari teori labeling)
• Tawuran Antar Warga Masyarakat Desa Gabus Dan Dese Jatimulyo (Tinjauan
dari teori anomi R.K. Merton).
• Pemberian Release & Discharge (Tinjauan dari Teori Social Reality of Crime)
• Kejahatan Carding (Tinjauan Dari Teori Differential Association)
• Tindak Pidana Korupsi Yang Melibatkan Akbar Tanjung (Tinjauan Dari Teori
Labeling)
• Rudy Ramli Dalam Kasus Bank Bali (Tinjauan Dari Teori Differential
Association)
• Analisis Kasus Teluk Buyat Ditinjau Dari Teori Konflik.
• Kelompok Kapak Merah Ditinjau Dari Teori Differential Association.
• KKN H.M Soeharto Ditinjau Dari Teori Social Reality Of Crime.
• Pegawai Tengah Karier Sebagai Change Leader The Telkom Way 135 Menuju
Transformasi Customer Centric Company (Tinjauan dari teori pertukaran).

You might also like