Professional Documents
Culture Documents
Timur Abimanyu
Latar Belakang
Analisa Sosiologi yang berdasarkan Metode Pendekatan dan Fungsi Hukum, yang pada
pokoknya adalah terdapatnya unsur-unsur seperti Sosiologi Hukum Pendekatan
Intrumental, Pendekatan Hukum Alam dan Karakteristik Kajian Sosiologi
Hukum.Dengan memerlukan Metode Pendekatan Sosiologi Hukum, Perbandingan
Yuridis Empris dengan Yuridis Normatif, Hukum Sebagai Sosial Kontrol dan Hukum
Sebagai Alat Untuk Mengubah Masyarakat, yang merupakan sebagai tolak ukur terhadap
norma-norma atau kaidah-kaidah yang hidup didalam masyarakat, apakah norma atau
kaidah tersebut dipatuhi atau untuk dilanggar, apabila dilanggar bagaimana pernerapan
sangsi, sebagai yang melakukan pelanggaran tersebut.
Norma atau kaidah yang hidup didalam masyarakat tersebut dipengaruhi oleh kondisi
internal maupun eksternal dari masyarakat itu sendiri.
Terdapat beberapa permasalahan pokok yaitu : 1. bagaimanakah Pendekatan Intrumental
dan Pendekatan Alam yang dipengaruhi oleh kondisdi internal maupun eksternal ?, dan 2.
bagaimanakah Perbandingan Yuridis Empris dengan Yuridis Normatif apabila dilihat dari
sudut pandang internal maupun eksternal
Tujuan dan maksud, dalam membahas serta menganalisa sampai tentang Sosiologi
Hukum yang secara tidak sadar meresap dan hidup didalam kehidupan masyarakat baik
secara internal maupun secara eksternal didalam melakukan interaksi social, yaitu dengan
menggunakanMetode Pendekatan Sosiologi Hukum dan Perbandingan Yuridis Empris
dengan Yuridis Normatif adalah yang merupakan standarisasi sebagai objek pokok
pembahasan Sosiologi Hukum.
Penggunaan kerangka teori dan konsep adalah untuk melihat pendapat para ahli yang
telah mendefinisikan, seperti : konsep dari H.L.A. HART yang difinisinya adalah :
“Bahwa suatu konsep tentang hukum yang mengandung unsur-unsur kekuasaan yang
berpusat kepada kewajiban tertentu didalam gejala hukum yang tampak dari kehidupan
bermasyarakat”.
Pengertian Sosiologi Hukum terlihat dari Difinisi para ahli Sosiologi Hukum sepert :
1. Soejono Soekanto. Sosilogi Hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang
secara analitis dan empiris yang menganalisis atau mempelajari hubungan timbal
balik antara hukum dengan gejala-gejala social lainnya.
2. R. Otje Salaman. Sosiologi hukum (ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik
antara hukum dengan gejala-gejala social lainnya secara empiris analistis).
Jelas terlihat berdasarkan definisi para ahli bahwa sosiologi hukum adalah segala aktifitas
social manusia yang dilihat dari aspek hukumnya disebut sosiologi hukum.
Dasr sosiologi hukum adalah Anzilotti pada tahun 1882, yang dipengaruhi oleh disiplin
ilmu Filsafat hukum, ilmu hukum dan sosiologi yaitu :
1. Filsafat Hukum adalah dimana pokok bahasannya adalah aliran filsafat hukum, yang
menyebakan lahirnya sosiologi hukum yaitu aliran Positivisme (difinisi Hans Kelsen.
“Hukum berhirarkhis”). Dan aliran filsafat hukum tumbuh dan berkembang berdasarkan :
a. Mazhab sejarah yang dipelopori oleh Carl Von Savigny yang mengungkapkan bahwa
hukum itu dibuat, akan tetapi tumbuh dan berkembang bersama-sama dengan masyarakat
(volksgeisf).
b. Aliran Utility (Jeremy Bentham) yaitu bahwa hukum harus bermanfaat bagi
masyarakat guna mencapai hidup bahagia.
c. Aliran Sociological Juriprudence (Eugen Ehrlich) yaitu hukum yang dibuat harus
sesuai dengan hukum yang hidup didalam masyarakat (living law).
d. Aliran Pragmatic Legal Realism (Roscoe Pound) yaitu “ law as at tool of social
engineering”.
2. Ilmu Hukum menganggap bahwa hukum sebagai gejala social, banyak mendorong
pertumbuhan sosiologi hukum dan hukum harus dibersihkan dari anasir-anasir sosiologi
(non yuridis).
3. Sosilogi yang berorientasi pada hukum adalah bahwa dalam setiap masyarakat selalu
ada solideritas, ada yang solidaritas mekanis yaitu terdapat dalam masyarakat sederhana,
hukumnya bersifat reprensip.
Ruang Lingkup Sosilogi Hukum, dimana sosiologi hukum didalam ilmu pengetahuan,
bertolak kepada apa yang disebut disiplin ilmu, yaitu sistem ajaran tentang kenyataan,
yang meliputi disiplin analitis dan disiplin hukum (perskriptif). Disiplin analitis,
contohnya adalah sosilogis, psikologis, antropologis, sejarah, sedangkan disiplin hukum
meliputi : ilmu-ilmu hukum yang terpecah menjadi ilmu tentang kaidah atau patokan
tentang prilaku yang sepantasnya, seharusnya, ilmu tentang pengertian-pengertian dasar
dan system dari pada hukum dan lain-lain. Terdapatnya pendekatan-pendekatan yang
terdiri dari :
1. Pendekatan Instrumental.
Adalah menurut pendapat Adam Podgorecki yang dikutip oleh Soerjono Soekanto yaitu
bahwa sosiologi hukum merupakan suatu disiplin Ilmu teoritis yang umumnya
mempelajari ketentraman dari berfungsinya hukum, dengan tujuan disiplin ilmu adalah
untuk mendapatkan prinsip-prinsip hukum dan ketertiban yang didasari secara rasional
dan didasarkan pada dogmatis yang mempunyai dasar yang akurat
2. Pendekatan Hukum Alam.
Adalah menurut Philip Seznik yaitu bahwa pendekatan instrumental merupakan tahap
menengah dari perkembangan atau pertumbuhan sosiologi hukum dan tahapan
selanjutnya akan tercapai, bila ada otonomi dan kemandirian intelektual. Tahap tersebut
akan tercapai apabila para sosiolog tidak lagi berperan sebagai teknisi, akan tetapi lebih
banyak menaruh perhatian pada ruang lingkup yang lebih luas. Pada tahan ini seorang
sosilog harus siap untuk menelaah pengertian legalitas agar dapat menentukan wibawa
moral dan untuk menjelaskan peran ilmu social dalam menciptakan masyarakat yang
didasrkan pada keseimbangan hak dan kewajiban yang berorientasi pada keadilan.( Rule
of Law menurut Philip Seznick).
Kesimpulan
Pada pendekatan intrumental adalah merupakan disiplin Ilmu teoritis yang umumnya
mempelajari ketentraman dari berfungsinya hukum, dengan tujuan disiplin ilmu adalah
untuk mendapatkan prinsip-prinsip hukum dan ketertiban yang didasari secara rasional
dan didasarkan pada dogmatis yang mempunyai dasar yang akurat dan tidak terlepas dari
pendekatan Hukum Alam. menciptakan masyarakat yang didas untukrkan pada
keseimbangan hak dan kewajiban yang berorientasi pada keadilan.( Rule of Law).
Pada karakteristik kajian sosiologi hukum adalah fenomena hukum didalam masyarakat
dalam mewujudkan : 1. deskripsi, 2. penjelasan, 3. Pengungkapan (revealing), dan 4
prediksi yaitu bahwa karekteristik kajian sosiologi hukum adalah sebagai berikut yaitu
Sosilogi Hukum berusaha untuk memberikan deskripsi terhadap praktek hukum dan
dapat dibedakan dalam pembuatan Undang-Undang, penerapan dalam pengadilan,
Sosiologi hukum bertujuan untuk menjelaskan mengapa sesuatu praktek-praktek hukum
didalam kehidupan social masyarakat itu terjadi, sebab-sebabnya, factor-faktor apa yang
mempengaruhi. Latar belakang, Sosilogi hukum senantiasa menguji kesahihan empiris
dari suatu peraturan atau pernyataan hukum, sehingga mampu memprediksi suatu hukum
yang sesuai dan/atau tidak sesuai dengan masyarakat tertentu, Sosilogi hukum bersifat
khas ini adalah apakah kenyataan seperti yang tertera pada peraturan dan harus menguji
dengan data empiris.
Hukum Sebagai Sosial Kontrol, adalah setiap kelompok masyarakat selalu ada problem
sebagai akibat adanya perbedaan antara yang ideal dan yang aktual, antara yang standar
dan yang parktis yaitu penyimpangan nilai-nilai yang ideal dalam masyarakat.adalah
untuk menjamin ketertiban bila kelompok itu menginginkan, mempertahankan
eksistensinya.Begitu juga mengenai Fungsi Hukum dalam kelompok masyarakat adalah
menerapkan mekanisme control sosial yang akan membersihkan masyarakat dari
sampah-sampah masyarakat yang tidak dikehendaki.
Hukum Sebagai Alat Untuk Mengubah Masyarakat, adalah hukum sebagai sosial control,
dan sebagai alat untuk mengubah masyarakat atau biasa disebut social enginnering,
sebagai alat pengubah masyarakat adalah dianalogikan sebagai suatu proses mekanik.
Terlihat akibat perkembangan Industri dan transaksi-transaksi bisnis yang
memperkenalkan nilai-nilai baru, dengan melakukan “interprestasi”, ditegaskan dengan
temuan-temuan tentang keadaan social masyarakat melalui bantuan ilmu sosilogi, maka
akan terlihat adanya nilai-nilai atau norma-norma tentang hak individu yang harus
dilindungi, dan unsur tersebut kemudian dipegang oleh masyarakat dalam
mempertahankan kepada apa yang disebut dengan hukum alam. (natural law).
by : Timur Abimanyu
.
DAFTAR PUSTAKA
Ilmu Kenyataan hukum dalam masyarakat, yaitu sosilogi hukum, antropologi hukum,
psikologi hukum, sejarah hukum dan perbandingan hukum.
Ronny Hanitijo Soemitro, Beberapa Masalah Dalam Studi Hukum dan Masyarakat,
(Bandung : Remadja Karya, 1985).
—————-Donald Black.The Behavior of Law, ( New York,Academic Press, 1976)
Ter Haar, Bzn.B. “ Beginselen En Stelsel Van Het Adar Recht”. J.B. Woters Groningen.
Jakaarta, 1950.
Putusan Mahkamah Agung. No. 59 K/Sip/ 1958 “ Menurut Hukum Adat Karo sebidang
tanah “ Lesain” yaitu sebidang tanah kosong, yang letaknya dalam kampung, bias
menjadi hak milik perorangan, setelah tanah itu diusahakan secara intensif oleh seseorang
penduduk kampung itu “
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997. “Hak Ulayat secara sadar tidak dimasukkan
dalam golongan obyek pendaftaran tanah teknis tidak mungkin, karena batas-bayas
tanahnya tidak mungkin dipastikan tanpa menimbulkan sengketa antara masyarakat
hukum yang berbatasan”.
Dalam “Advies der Agrarische Commisale” yang tercetak, Landsdrukkerij 1930, terdapat
segala sesuatu yang menurut pendapat saya merupakan kecaman sehat terhadap masalah
ini. Keberatan-keberatan yang menentang advies tadi, adalah terdapat dalam verslag dari
panitya untuk mempelajari Advoes Der Agrarische Commisale 1932, panitya mana
dibentuk oleh perkumpulan “ Indie-Nederland”.
UU No. 4 tahun 1996. ( Undang Undang Hak Tanggungan). “Seminar Hukum Adat dan
Pembangunan Hukum Nasional, Yogyakarta 1975”.
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 5 tahun 1999 tentang Pedoman
penyelesaian masalah hak ulayat masyarakat Hukum Adat (87).
Undang-Undang No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi khusus Provinsi Papua (87).
12 UU Darurat No. 1 tahun 1952 ko UU No. 24 tahun 1954 tentang pemindahan hak
tanah-tanah dan barang-barang tetap lainnya yang bertakluk pada hukum barat (LN.1952-
1 jo LN.1954-78. TLN.626).
Untuk jawa dan madura, kecuali daerah swapraja : Agrarisch Besluit (S.1870-118) dan
Ordonnantie.S.1872-237a jo S.1913-699). Untuk luar jawa dan madura, kecuali daerah
swapraja : S.1874-94f (Sumatra) diganti dengan Erfpachts, S.1877-55 (keresidenan
Menado) Ordonnantie Buitengewesten, S. 1888-58 (Zuider-en Oosterafdeking Borneo)
(S.1914-367), S.1910-61 Wefpacht Ordonnantie Zelfberturende Landschappen
Buitengewestenm S. 1915-474 Pemberian kewenangan kepada penguasa swapraja untuk
memberikan hak-hak barat atas tanah (21).
Subekti,R. “ ASEAN LAW ASSOCIATION”. Harian Sinar Harapan tgl 25, Jakarta.,
1984. di Singapura, bahwa dalam pembaharuan dan pembinaan Hukum Nasional, kita
perlu belajar dari perkembangan Hukum Negara tetangga lain, namun diingatkan, dalam
pembaharuan Hukum Nasional sebanyak-bantknya kita harus berpedoman kepada
falsafah bangsa kita yaitu Pancasila dan UUD 1945. Ditegaskan bahwa para ahli Hukum
kita tidak kalah dari para ahli Hukum dari negara-negara ASEAN yang lain. Dan sebagai
bukti Prof. Subekti menunjuk kepada prodak Undang-Undang Pokok Agraria, yang
dinilainya sebagai produk hukum yang hebat. Undang-Undang itu merupakan system
hukum kita sendiri, yang dengan tegas membuang jauh-jauh hukum tanah Belanda yang
tercerai-berai, dan sekarang ini kita mempunyai Hukum Tanah yang seragam.
Star Nauta Carsten, C- Verwer, J. ” Proe Advies Derde Juristen Conggres”. Di Jakarta
disertai Verwer J 1934. De Bataviasche Gronthuur, Een Europeesch Gewoonterechtelijke
Opstalfiguur.NV.Drukkerij J.de Boer, Tegal, 1934.
Ward, Barbara dan Rene, Dubos. “Satu Bumi : Perawatan dan Pemeliharaan Sebuah
Planet Kecil”. Lembaga Ekologi Universitas Pajajaran dan Yayasan Obor. Jakarta
:Gramedia, 1974.
Koentjaraningrat. “ Rintangan-Rintangan mental dalam pembangunan ekonomi di
Indonesia.” Terbitan tak berkala, seri no. 12, Lembaga Reasearch Kebudayaan Nasional,
Jakarta, 1969, hal. 19.
http://www.blogcatalog.com/group/blog-promotion-1/discuss/entry/analisa-sosiologi-
hukum-berdasarkan-metode-pendekatan-dan-fungsi-hukum
Benny S Tabalujan
Makalah ini merupakan pemaparan peran budaya hukum dalam proses pembangunan
hukum, terutama di negara berkembang. Tujuannya adalah untuk menggarisbawahi
pentingnya budaya hukum dalam masyarakat yang mengingikan terjadinya reformasi
hukum. Meskipun makalah ini baru sebatas sebuah konsep, Saya memberikan uraian
yang disertai dengan beberapa contoh reformasi hukum di Indonesia sekitar tahun 1990-
an.
Hukum dan gerakan pembangunan pada tahun 1960-an sampai dengan 1970-an berkaitan
dengan hubungan antara hukum dan pembangunan, terutama negara-negara berkembang.
Gerakan ini dimaksudkan untuk mengkaji peran hukum dalam konteks pembangunan
sosial, ekonomi dan politik. Salah satu kunci dari gerakan ini terletak pada dapat tidaknya
hukum modern negara maju diimpor dan digunakan negara berkembang untuk
mempercepat pembangunan. Ada beberapa pendekatan terhadap permasalahan ini.
Kaum ortodoks dan mayoritas melihat bahwa reformasi di bidang hukum , terutama
pengenalan ide dan lembaga hukum modern negara barat kepada negara berkembang,
memegang peran penting dalam pembangunan ekonomi dan politik. Dua sarjana bidang
hukum dan pembangunan menyebut pendekatan ini sebagai ‘hukum liberal’. Inti dari
pendekatan ini adalah masyarakat terdiri atas individu, kelompok dan negara; negara
memegang kontrol hukum untuk mencapai tujuan masyarakat; negara menerapkan
hukum yang sama kepada semua orang secara bebas dan rasional; dan perilaku sosial
cenderung mengikuti hukum tersebut.
Kaum minoritas melihat hukum terikat dengan budaya dan tidak dapat dipindahkan atau
dipinjam dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya seperti halnya meminjam kunci
Inggris untuk menutup lekuk yang bocor. Pandangan ini berasal dari Montesquieu dan
sarjana asal Jerman, Friedrich Carl von Savigny. Sagviny percaya bahwa negara
mempunyai kesatuan oganik dari individu dan bahwa hukum negara berkembang melalui
pembentukan norma-norma sosial dalam suatu masyarakat secara periodik. Di sini tidak
akan dibicarakan pengraruh aliran yurisprudensi Savigny pada para sarjana Belanda pada
awal abad 20 (seperti Cornelius dan Vollenhoven) dan pemimpin nasional Indonesia ,
seperti Soepomo,. Mengikuti garis pemikiran ini, Robert Seidman yang dikenal melalui ‘
Hukum dari Hukum yang tidak dapat dipindahkan’ (The Law of Non-Transferability of
Law) mengatakan bahwa perpindahan hukum dari satu budaya ke budaya lain tidak
mungkin dilakukan karena hukum tidak dapat berlaku sama sebagaimana hukum itu
digunakan di tempat asal.
Pandangan yang menyatakan bahwa cangkok hukum mempunyai peran positif dalam
pembangunan ekonomi dipertegas oleh gencarnya program modernisasi bidang hukum di
beberapa negara Amerika Latin dan Afrika juga sebagian kecil negara berkembang di
Asia pada tahun 1960-an dan 1970-an. Proses ini dijuluki ‘difusi hukum’ (legal
difusionism).
Pada tahun 1990-an, hukum dan pembangunan kembali menjadi tpoik yang hangat. Hal
ini tidak mengejutkan sebab pada tahun ini ada dukungan pembaharuan dari negara maju
terhadap ferormasi hukum pada negara berkembang. Dukungan ini dilakukan melalui
agen-agen multilateral seperti Bank Pembangunan Asia (ADB) dan juga lembaga bantuan
individu seperti USAID. Tak di sangkal bahwa minat pembaharuan bidang hukum
merupakan atribut, meskipun sebagian, terhadap realisasi bahwa pemerintahan yang baik-
yang pada gilirannya nanti mensyaratkan kerangka kerja hukum yang memuaskan-
merupakan inti dari pembangunan ekonomi yang kokoh. Bank Dunia, khususnya,
mengetahui secara eksplisit pentingnya reformasi hukum dalam konteks ini:
Kerangka hukum dalam sebuah negara merupakan unsur penting dalam pembangunan
ekonomi, politik dan sosial. Menciptakan kemakmuran melalui komitmen kumulatif
manusia, sumber daya teknologi dan modal sangat bergantung pada hukum yang dapat
mengamankan hak milik, masyarakat sipil yang teratur, dan perilaku komersial, dan
membatasi kekuasaan negara.
Lebih dari itu, ketika masalah hukum dan pembangunan kembali mendapatkan perhatian,
Saya melihat sisi positif lain. Menurut pendapat Saya mereka yang terlibat dalam
perdebatan ini lebih menyadari keterbatasan reformasi hukum struktural dan substantif,
terutama dalam cangkok hukum. Justru, ada kesadaran yang semakin bertambah jika
keyakinan dan norma sosial untuk menerima masyarakat dan keinginan dan kapasitas
mereka untuk menjelajah, memahami dan mematuhi hukum baru merupakan faktor
penting yang menentukan keberhasilan cangkok hukum tersebut.
Yang dibutuhkan adalah suatu kajian terhadap metode di mana hukum yang didukung
oleh otoritas negara dapat mempengaruhi perilaku dan faktor sosial, politik, psikologis
dan faktor lain yang jauh dari sistem hukum normatif membatasi kemampuan hukum
untuk mengubah perilaku.
Tujuan di atas disampaikan karena akan memperjelas pengaruh faktor eksternal terhadap
sistem hukum dan membatasi kemanjuran hukum jika hukum tersebut dapat mengubah
perilaku. Keuntungan dari pendekatan ini adalah bahwa sebagian dari pikiran dasar
liberalisme liberal ortodoks- misalnya, hukum merupakan alat yang efektif untuk
mengubah masyarakat- tetap ada meskipun bukan merupakn yang dikritisi. Kita dapat
terus menyakini kemanjuran bidang reformasi hukum dalam proses pembangunan dengan
sedikit mengabaikan dampak daya ekonomi, sosial dan politik terhadap sistem hukum.
Jadi, reformasi hukum dapat dianggap sebagai sebab dan dampak dari perubahan sosial
yang luas. Dengan demikian, kita dapat mengembangkan model yang lebih menyeluruh
dan memahami potensi dan keterbatasan hukum dalam pembangunan ekonomi secara
lebih realistis.
Bagian B: Pendekatan Holistik pada Sistem Hukum
Sampai di sini, Saya membahas dua konsep analitik yang dapat menjelaskan perilaku
sistem hukum statis dan dinamis. Konsep pertama adalah konsep ‘budaya hukum’ karya
Lawrence M. Friedman dan konsep Ugo Mattei ‘taksonomi sistem hukum’ yang
disebutnya ‘ pola hukum’ (Patterns of Law)
1. Budaya Hukum
Freidman, seorang sosiolog hukum dari Universitas Stanfords, menyatakan bahwa sistem
hukum terdiri atas tiga komponen, struktur hukum, hukum substantif, dan budaya hukum.
Struktur mengacu pada lembaga dan proses dalam sistem hukum; struktur hukum
merupakan badan, kerangka kerja, dan sistem yang tahan lama. Sistem ini meliputi sistem
pengadilan, legislatif, perbankan, dan sistem koporat. Hokum substansi mengacu pada
hukum – peratutan prosedur dan substansi- dan norma yang digunakan dalam sebuah
lembaga dan mengikat hokum struktur secara bersama. para pengacara dan sarjana
hukum cenderung membatasi analisis mereka terhadap struktur dan substansi sistem
hukum yang sedang mereka pelajari. Friedman membrikan tanggapan terhadap
kecenderungan ini:
Struktur dan substansi merupakan komponen inti dari sebuah sistem hukum, tetapi baru
sebatas desain atau cetakbiru dan bukan mesin kerja. Struktur dan substansi menjadi
masalah karena keduanya statis; keduanya ibaratnya gambar dari sistem hukum. Potret
tersebut tidak memiliki gerak dan kebenaran… dan seperti ruang pengadilan yang
dipercantik , membeku, kaku, sakit berkepanjangan.
Menurut Friedman, unsur yang hilang yang memberikan kehidupan dalam sistem hukum
adalah ‘budaya hukum’. Budaya hukum mengacu pada sikap, nilai, dan opini dalam
masyarakat dengan penekanan pada hukum, sistem hukum serta beberapa bagian hukum.
Budaya hukum merupakan bagian dari budaya umum- kebiasaan, opini, cara bekerja dan
berpikir- yang mengikat masyarakat untuk mendekat atau menjauh dari hukum dengan
cara khusus. Dari ketiga komponen di atas, budaya hukum merupakan komponen yang
paling penting:
Budaya hukum menentukan kapan, mengapa dan di mana orang menggunakan hukum,
lembaga hukum atau proses hukum atau kapan mereka menggunakan lembaga lain atau
tanpa melakukan upaya hukum. Dengan kata lain, faktor budaya merupakan ramuan
penting untuk mengubah struktur statis dan koleksi norma ststis menjadi badan hukum
yang hidup. Menambahkan budya hukum ke dalam gambar ibarat memutar jam atau
menyalakan mesin. Budaya hukum membuat segalanya bergerak.
Namun demikian, konsep Friedman bukannya tanpa kritik. Roger Cotterrell, seorang
sarjana Inggris, mengatakan bahwa konsep Friedman ‘tidak mempunyai kekerasan’ dan
‘secara teoritis tidak padu’. Friedman menanggapi kritik tersebut dengan menjelaskan
bahwa tidak adanya presisi dalam istilah ‘budaya hukum’ tidak membuat konsep itu tidak
padu. Sebenarnya, konsep ini juga mempunyai kesamaan dalam hal kekurangan presisi
sama halnya dengan ‘hukum struktur’, ‘sistem hukum’, dan ‘opini publik’. Menurut
Friedman, arti pentinya ‘budaya hukum’ adalah bahwa konsep ini merupakan variabel
penting dalam proses menghasilkan hukum statis dan perubahan hukum. Dalam
pemahaman Saya, Cotterrell menggarisbawahi kesulitan dalam menggunakan konsep
budaya hukum. Dia salah dalam menarik kesimpulan bahwa konsep tidak padu karena
tidak adanya hal yang khusus. Alasannya adalah bahwa konsep sekompleks ‘budaya
hukum’ cenderung sulit dipahami. Hal ini membuktikan kemampuan konsep budaya
hokum menembus masyarakat dan bukan tanda-tanda kelemehan. Di sisi lain, Cotterrell
sendiri mengakui bahwa konsep Friedman ‘merupakan usaha yang paling dapat
menjelaskan konsep budaya hukum dalam sosiologi hukum komparatif dan
mempertahankan dan mengembangkan secara teoritis penggunaan konsep tersebut’.
Friedman selanjutnya menjelaskan sikap dan nilai dalam budaya hukum. Sikap menurut
Friedman merupakan ‘budaya hukum situasi’. Konsep ini mengacu pada sikap dan nilai
masyarakat umum. Konsep kedua adalah ‘budaya hukum internal’. Konsep ini mengacu
pada sikap dan nilai profesional yang bekerja dalam sistem hukum, seperti pengacara,
hakim, penegak hukum dan lain-lain. Friedman juga menyampaikan bahwa budaya
hukum situasi tidaklah homogen. Bagian masyarkat yang berbeda memiliki nilai dan
sikap berbeda terhadap hukum.
Di negara berkembang, konsep budaya hukum menempati posisi penting karena negara
berkembang sering mendatangkan peraturan, hukum bahkan keseluruhan sistem hukum
dari negara barat dalam usahanya untuk melakukan modernisasi kerangka kerja hukum
mereka. Masalah muncul jika cangkok hukum mengabaikan budaya hukum setempat.
Jika budaya hukum lokal tidak diakomodasi dalam hukum struktur dan substantif asing,
konsep ini tidak akan dapat diterapkan dengan baik.
Dikaitkan dengan kasus yang terjadi di Indonesia, konsep ini telah disampaikankan oleh
komentator luar negeri pada awal tahun 1972. Pada tahun 1982 mantan menteri hukum
dan peradilan, Mochtar Kusumaatmaja juga menyampaikan hal yang sama. Namun
setelah beberapa tahun, konsep ini telah dilupakan para reformis hukum dan baru
sekarang diingat kembali oleh reformasi hukum di Indonesia. Tim Lindsey menulis:
Pandangan instrumentalis yang menyerap banyak literatur dan praktek belumlah cukup.
Seperti yang terjadi di Indonesia, hukum bukan sekedar tugas yang dapat ditarik oleh
pemerintah, multilateral dan legislatif untuk memulai atau menghentikan atau
memperbaki kegiatan sosial dan ekonomi…. Hukum juga bukan sekedar keputusan
hukum dan statuta. Sebagian besar pengacara sekarang mengetahui bahwa hukum dan
norma yang berada di balik peraturan dan orang yang membuat dan menerjemahkannya.
Hukum, dalam pengertian ini, tidak dapat dibedakan dari politik dan ekonomi.
Dengan demikian, analisis pada struktur hukum dan hukum substantif dan terjemahan
terhadap budaya hukum dapat memperlebar jarak. Hasil survei terhadap reformasi hukum
di Indonesia pada tahun 1950-an sampai dengan 1990-an oleh David Linnan merupakan
informasi penting yang dapat didiskusikan. Linan menyatakan tiga artikulasi yang saling
melengkapi yang dapat menjelaskan kegagalan reformasi hukum di Indonesia sejak tahun
1950-an, yaitu: a) pendekatan ilmu politik dan sosiologi yang menekankan peran elit
penguasa, b) pendekatan budaya dan psikologi yang menekankan peran sikap feudal
orang Jawa atau Indonesia, c) interpretasi disfungsi organisasi yang menekankan dampak
problem mendasar dalam organisasi pemerintah Indonesia, terutama di bawah UUD
1945. Linnan menyatakan bahwa interpretasi disfungsi organisasi dapat memberikan
penjelasan kegagalan reformasi hukum selama Orde Baru.
Dalam pandangan saya, meskipun interpretasi disfungsi organisasi terdiri atas beberapa
nilai, tetapi belum memuaskan. Intinya adalah penjelasan institusional tidak dapat
sepenuhnya menjelaskan keluaran reformasi hukum di Indonesia yang belum memuaskan
pada tahun 1990-an. Hukum Perniagaan di Indonesia adalah contohnya. Hukum
perniagaan di Indonesia dibuat terpisah dan berbeda pada tahun 1998 dengan mengikuti
revisi undang-undang kebangkrutan. Hukum yang baru ini diharapkan dapat memberikan
perbaikan dalam proses dan penyelesaian kasus, terutama catatan buruk terhadap sistem
hukum Indonesia yang korup.
Meskipun terdengar sebatas konsep, pengadilan baru tidak dapat memenuhi harapan.
Sebagaimana yang terlihat, kegagalan ini disebabkan karena keberhasilan reformasi
hukum Indonesia bergantung bukan hanya lembaga pengambil suara, tetapi juga sikap
mental yang tepat dan perilaku mereka yang bekerja, mengawasi dan menggunakan
lembaga ini. Dengan demikian, reformasi pada lembaga hukum tanpa lembaga budaya
tidak akan efektif.
Jika konsep Friedman ‘budaya hukum’ mencoba menjelaskan unsur dalam setiap sistem
hukum, Mattei dengan konsep ‘pola hukum’ mencoba menjelaskan, dengan membuat
taksonomi sistem hukum komparatif, bagaimana sistem hukum berbeda satu dengan yang
lain dan bagaimana perkembangan perbedaan tersebut. Mattei menyampaikan
pandangannya ‘pola sistem hukum’ pada tahun 1997. Dia beranggapan bahwa taksonomi
sistem hukum standar pada hukum sipil, umum, agama dan tradisi hukum masyarakat
atau keluarga tertinggal zaman, utamanya di belahan Eropa-Amerika yang mengabaikan
peta dunia hukum berdasar geografis dan tidak memasukkan budaya. Konsep taksonomi
sistem hukum yang diajukan Mattei, yang disebut ‘pola sistem hukum’, mempunyai nilai
karena taksonomi tersebut menghasilkan kerangka kerja yang dapat digunakan untuk
menganalisa perubahan dan pembangunan dalam sistem hukum yang berbeda-beda.
Sistem hukum yang termasuk dalam kategori ketiga, aturan hukum tradisional, dapat
dilihat dari pola hukum dimana agama ataupun filosofi transcendental yang melekat
dalam dimensi internal individu dan dimensi kemasyarakatan tidak dapat dipisahkan satu
sama lain.73 Dalam sebuah sistem, lembaga hukum bisa saja terbentuk; akan tetapi,
bagaimana lembaga hukum tersebut bekerja tentunya akan berbeda jika dibandingkan
dengan suatu sistem yang dijalankan dengan hukum profesional. Menurut Mattei,
beberapa ciri dari suatu sistem hukum tradisional adalah: terbatasnya peranan pengacara
dikarenakan besarnya peran sesepuh atau orang yang dianggap mengerti agama,
mediator, dan mereka yang memiliki wewenang keagamaan; pandangan yang begitu
menomorsatukan rasa penyesalan; pandangan yang begitu menjunjung tinggi keselarasan;
serta keberadaan kode-kode bergaya Barat yang tidak memiliki landasan sosial yang
penting, sehingga membatasi kinerja lembaga-lembaga hukum hanya pada bidang-bidang
hukum tertentu saja atau masyarakat tertentu saja.74
Benturan yang agak sulit dimengerti antara tiga paradigma besar mengenai ideologi
sosial, organisasi sosial, hukum dan administrasi… [disebut dengan] the Gemeinschaft
atau keluarga komunal organik, the Gesellschaft atau perjanjian individu-komersial, serta
paradigma birokrasi administratif 75
Aturan sosial model gemeinschaft berdasar pada norma-norma intrinsik dan nilai-nilai
masyarakat yang dijunjung tinggi. Sedangkan aturan sosial model gesellschaft berasal
dari ideologi liberal Barat; khususnya pemikiran tentang pemisahan antara negara dan
individu. Bentuk birokrasi administratif suatu aturan sosial memaknai aturan sebagai
suatu cara untuk mendapatkan intisari dari tujuan kebijakan yang ditetapkan oleh negara.
Dengan demikian, gemeinschaft lebih terarah pada internalisasi norma sosial, gesellschaft
lebih terarah pada hak asasi manusia, dan konsep birokrasi administratif lebih pada
kebijakan negara.
Akan tetapi, meskipun terdapat kesamaan, masih terdapat hal-hal yang belum sempurna.
Dalam hal ini, taksonomi Mattei secara terbuka mengakui adanya dampak politik
terhadap sistem hukum serta menciptakan sebuah kategori baru mengenai hal ini. Senada
dengan Weber, taksonomi Mattei membuat kekuatan politik dan aturan hukum politik
menjadi kekuatan yang berseberangan dengan rasionalitas formal yang membentuk
landasan bagi aturan hukum profesional. Sebaliknya, dalam pendekatan Kamenka-Tay
tidak jelas apakah rasionalitas formal Weber merupakan suatu fungsi bagi gesellschaft
dan paradigma birokrasi administratif, atau salah satunya, atau tidak keduanya.
Perbedaan yang tidak jelas ini mengakibatkan tidak diperhitungkannya kekuatan politik
dalam suatu sistem hukum. Berdasarkan alasan ini, Saya lihat pendekatan Mattei
biasanya lebih disenangi daripada pendekatan Kamenka-Tay.
Sampai disini, penting untuk membahas dua implikasi penting yang diperoleh dari
taksonomi Mattei. Pertama, taksonomi ini mencoba untuk menggabungkan dan
merefleksikan peran budaya hukum dalam suatu sistem hukum yang berlaku.77 Dengan
mengunakan pandangan fundamental Weber, dimana hukum adalah suatu alat organisasi
sosial, Mattei mengembangkan sebuah taksonomi yang secara eksplisit menjelaskan
bahwa norma-norma budaya suatu masyarakat memiliki muatan kritis terhadap sifat dari
sistem hukum ini. Norma-norma budaya ini bermanifestasi dalam berbagai kekuatan
sosial, politik, dan ekonomi yang kemudian akan menentukan tipe aturan hukum yang
mendominasi suatu sistem hukum tertentu.
Kedua, dengan menambahkan bahwa klasifikasi dari suatu sistem hukum merupakan
hasil dari perubahan kompetiti atas tiga kekuatan politik, hukum, dan tradisi, Mattei
menawarkan sebuah perspektif yang dinamik terhadap studi tentang komparasi sistem
hukum.78 Lebih dari itu, fakta bahwa ia menyebut kategori hukum politis sebagai “hukum
tentang pengembangan dalam transisi” menjelaskan bahwa Mattei mengerti akan hal itu,
sehingga dalam situasi tertentu, sistem hukum mampu dan mau untuk pindah dari model
hukum tradisional, model hukum politis, menjadi model hukum profesional.79
Apakah yang bisa kita pelajari dari kontribusi Mattei dan Friedman? Menurut saya,
gagasan Friedman tentang budaya hukum sangatlah berguna untuk menganalisis kenapa
dan bagaimana sebuah sistem hukum bekerja pada waktu tertentu. Namun demikian,
konsep dia sepertinya tidak banyak membantu ketika digunakan dalam analisis tentang
bagaimana sebuah sistem hukum dipengaruhi oleh kekuatan eksternal dan perubahan
yang terjadi dari waktu ke waktu.80 Taksonomi Mattei yang baru sangat berguna untuk
tujuan pemahaman terhadap bagaimana sebuah sistem hukum bisa berubah dari pola
hukum tradisional menjadi pola hukum politis dan akhirnya pola hukum profesional.
Namun, ternyata terdapat mata rantai yang hilang antara pandangan Mattei terhadap
perubahan dinamik dalam suatu sistem hukum dan gagasan Friedman tentang apa yang
menjadikan sebuah sistem hukum.
Oleh karena itu, bahkan dengan kontribusi yang diberikan oleh Friedman dan Mattei,
masih tetap sulit untuk menjawab pertanyaan berikut ini: Apakah hubungan kausal, jika
ada, yang terjadi antara tiga elemen struktur, hukum substantive dan budaya hukum di
satu sisi, serta kekuatan ekonomi eksternal, politik atau sosial di sisi lainnya? Ketika
kekuatan eksternal ini bersinggungan dengan sistem hukum, apakah hal ini menimbulkan
suatu perubahan dalam struktur, hukum substantive atau budaya hukum? Dapatkah
sebuah perubahan dalam hukum substantive, misalnya import, juga mengubah budaya
hukum, dan kerangka ekonomi serta politik?
Untuk menjawab pertanyan tersebut, saya berharap untuk dapat membahas konsep
budaya dan kemudian mencoba menyaring konsep Friedman tentang budaya hukum
dengan melakukan identifikasi terhadap apa yang Saya lihat. Sesudah itu, Saya menarik
berbagai macam materi diskusi serta menampilkan suatu sistem hukum yang sederhana
dan dapat dilakukan, sebagian besar merupakan karya Friedman dan Mattei, yang
tentunya Saya percaya lebih akurat merefleksikan proses pengembanagan hukum baik
sebagai sesuatu yang statis maupun dinamis
Tugas pertama saya adalah memperbaiki konsep budaya hukum Friedman. Ini tentu saja
bukanlah sebuah tugas yang mudah mengingat ‘budaya’ adalah sebuah kata yang terkenal
sangat kompleks. Sebuah buku antropologi karangan antropolog Amerika terkenal,
Clifford Geertz, memberikan sebelas definisi budaya.81 Geertz sendiri mendefinisikan
budaya sebagai:
sebuah pola yang diwariskan turun-temurun tentang makna yang terkandung dalam
simbol-simbol, sebuah sistem konsepsi yang diwariskan dan tertuang dalam bentuk-
bentuk simbolik yang merupakan cara bagi manusia untuk berkomunikasi, meneruskan,
dan mengembangkan pengetahuan mereka dan sikap mereka dalam menghadapi hidup.82
Definisi budaya yang lebih sederhana dan yang Saya anjurkan untuk digunakan dalam
diskusi Saya adalah definisi yang dikemukakan oleh rancis Fukuyama: budaya adalah
‘kebiasaan baik yang diwariskan turun temurun’. 82 Definisi Fukuyama yang kurang jelas
ini sebenarnya menekankan pada dua aspek penting budaya. Pertama, budaya bersifat
baik dalam pengertian bahwa budaya mengandung nilai-nilai yang membedakan antara
yang baik dan yang benar, atau apa yang dapat diterima dan tidak dapat diterima dalam
suatu masyarakat tertentu. Budaya mengatur segala tingkah laku dengan menyatakan
nilai-nilai dan norma tertentu yang baik atau dapat diterima dan yang tidak baik atau
tidak dapat diterima.
Aspek penting kedua yang harus diperhatikan dalam definisi Fukuyama adalah budaya
tidak harus rasional. Sebaliknya, budaya diwariskan dan diteruskan dari satu generasi ke
generasi berikutnya melalui suatu proses pengulangan. Fukuyama mengutip contoh
seorang lelaki China yang menggunakan sumpit untuk makan mie. Orang itu melakukan
hal tersebut karena suatu kebiasaan, bukan melalui proses penilaian efisiensi atau tingkat
kenikmatan yang diperoleh dengan makan mie menggunakan pisau dan garpu ala Barat
dibandingkan dengan memakai sumpit.84 Dalam hal ini, budaya bukanlah sesuatu yang
rasional atau irasiomal tetapi sesuatu yang arational. 85
Berdasarkan pendapat bahwa budaya adalah kebiasaan baik yang diwariskan, Saya
mencoba untuk mengidentifikasi dua elemen terpisah dari konsep Friedman tentang
budaya hukum. Saya menyebut elemen yang pertama dengan ‘legal habit (kebiasaan
hukum.’ Dalam hal ini, Saya merujuk pada tindakan, sikap, nilai-nilai dan pendapat
berkaitan dengan lembaga hukum dan hukum yang diwariskan dan diteruskan oleh
seorang individu atau masyarakat melalui proses pembiasaan. 86 Saya menyebut elemen
kedua ini ‘legal consciousness (kesadaran hukum)’.87 Dalam hal ini Saya menekankan
pada kemampuan yang mencerminkan dan menilai sikap serta nilai-nilai yang
membentuk kebiasaan hukum (legal habit). Oleh karenanya kesadaran hukum sebuah
komunitas mengacu pada kapasitas komunitas tersebut untuk mempertimbangkan apakah
beberapa kebiasaan hukum—sikap tertentu, nilai, pendapat atau keykinan tentang hukum
—dapat diterima atau tidak diterima dalam komunitas tersebut.88
Menurut definisi-definisi tersebut, kebiasaan hukum (opini aktual atau sikap) dan
kesadaran hukum (segala hal mengevaluasi kebiasaan hukum) keduanya merupakan
fungsi dari pikiran. Kunci dari perbedaan ini adalah kebiasaan (habit), dalam bentuk
sikap, nilai-nilai, dan opini, menjelaskan isi dari pikiran kita pada suatu saat tertentu.
Sebaliknya, kesadaran menjelaskan kapasitas dari pikiran yang sama untuk menilai sikap
dan pendapat yang dipercayainya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kebiasaan
hukum (legal habit) berhubungan dengan masalah sikap, dan kesadaran hukum (legal
consciousness) berhubungan dengan kapasitas penilaian.89 Dengan kata lain, kebiasaan
hukum lebih banyak menggambarkan sikap masyarakat terhadap hukum pada suatu
masa, sementara kesadaran hukum menentukan bagaimana sikap tersebut selalu berubah
sepanjang waktu.
Mungkin contoh berikut ini akan membantu memberikan gambaran perbedaan antara
kebiasaan hukum (legal habit) dan kesadaran hukum (legal consciousness). Perhatikan
sikap orang Asia terhadap proses pengadilan gaya Barat yang berlawanan. Banyak
komentator yang melihat bahwa orang-orang Asia cenderung menolak proses pengadilan
dan lebih menyukai metode penyelesaian masalah tanpa menggunakan jalur pengadilan,
misalnya mediasi.90 Sikap seperti itu terjadi akibat sistem nilai yang lebih menghargai
keselarasan sosial dan menjaga hubungan baik dibandingkan dengan penghargaan banyak
masyarakat Barat terhadap nilai-nilai tersebut.
Jika penolakan terhadap proses pengadilan ini dianut oleh komunitas orang Asia tertentu,
maka hal ini akan menjadi kebiasaan hukum (legal habit) dari masyarakat tersebut, lebih
luas lagi, budaya hukum masyarakat tersebut. 91 Lebih jauh lagi, jika Fukuyama benar
dalam melakukan penilaian bahwa budaya adalah warisan atas kebiasaan baik, hal ini
berarti bahwa penolakan ini diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui
suatu proses pembiasaan dan bukan suatu pilihan yang rasional. Dengan kata lain, dalam
masyarakat Asia, anak-anak tumbuh berkembang dalam suatu kebiasaan hukum (legal
habit) yang menolak suatu proses pengadilan tanpa harus memikirkan lebih dalam hal
tersebut.
Namun demikian, ketika anak-anak ini tumbuh dewasa dan mengembangkan kemampuan
berpikirnya sendiri serta mulai merefleksikan isu-isu hukum, kesadaran hukum individual
dan kolektif mulai terbentuk. Mereka mulai mengevaluasi kebiasaan hukum mereka
(legal habit). Seandainya, pada akhirnya, salah satu dari anak-anak ini ada yang menjadi
eksekutif senior perusahaan yang harus memutuskan untuk mengajukan tuntutan terhadap
partner bisnis yang curang. Dia mungkin akan memutuskan untuk tetap menggunakan
proses hukum daripada melakukan penolakan seperti para pendahulunya.
Dengan kata lain, kesadaran hukumnya telah melakukan evaluasi terhadap kebiasaan
hukumnya dan dengan demikian melemahkan keengganannya terhadap proses
pengadilan. Jika pengalaman-pengalaman individu ini banyak terjadi dalam masyarakat,
maka setelah beberapa waktu, budaya hukum seluruh masyarakat akan berubah, yang
ditandai dengan berkurangnya penolakan terhadap proses pengadilan. Maka, budaya
hukum berubah sepanjang waktu melalui interaksi antara kesadaran hukum dan kebiasaan
hukum. Dengan kata lain, pada saat kebiasaan hukum mendominasi budaya hukum pada
suatu masa tertentu, maka kesadaran hukum-lah yang akan mempengaruhi budaya hukum
dalam periode yang lebih lama.
Maka, konsep kesadaran hukum memberikan suatu alat bagi kita untuk menganalisis
perubahan-perubahan dalam budaya hukum dalam suatu konteks yang dinamis. Dengan
identifikasi kebiasaan hukum dan kesadaran hukum sebagai dua elemen penting konsep
Friedman mengenai budaya hukum, maka Saya melakukan perbaikan terhadap konsep
Friedman. Dalam hal ini, konsep tersebut menjadi lebih tepat digunakan dalam membuat
analisis yang dinamis dan prediktif.
Gagasan Friedman mengenai budaya hukum pada tingkat permukaan dan budaya hukum
internal dapat juga dipahami sebagai tambhan terhadap konsep kesadaran hukum (legal
consciuosness). Karena budaya hukum internal mengacu pada sikap dan pendapat dari
profesional yang paham tentang hukum, maka dapat dimengerti bahwa budaya hukum
internal lebih mudah dimengerti sehingga memiliki kesadaran hukum yang lebih baik.
Ketika pengacara, hakim dan pembuat undang-undang cenderung lebih terbuka terhadap
pembangunan di luar negeri, maka sangatlah masuk akal untuk menempatkan mereka di
baris terdepan dalam pemikiran hukum serta hal-hal lain yang dapat membuat mereka
memiliki kemampuan yang sama, reformasi hukum. Sebaliknya, masyarakat umum
dengan budaya hukum tingkat permukaan yang lebih rendah tingkat kesadaran hukum-
nya, cenderung terlambat, baik dalam hal pemikiran hukum maupun reformasi hukum.
Dengan kata lain, para profesional bidang hukum—dengan budaya hukum internal yang
lebih tinggi tingkat kesadaran hukum-nya—diharapkan dapat menjadi pemimpin-
pemimpin perubahan hukum dalam suatu masyarakat. Sebaliknya, masyarakat umum—
dengan budaya hukum pada tingkat permukaan yang lebih rendah kesadaran hukum-nya
—diharapkan dapat mengikutinya, meski kadang yang terjadi adalah penolakan terhadap
suatu perubahan karena mereka memang enggan untuk berubah.
Konsep kembar saya tentang kebiasaan hukum (legal habit) dan kesadaran hukum (legal
consciousness) dapat dibandingkan dengan usaha-usaha lainnya dalam mengidentifikasi
elemen-elemen budaya hukum. Satu pendekatan alternatif adalah analisa budaya hukum
melalui ‘budaya keluarga’ (misal budaya hukum orang-orang Barat, Asia, Islam, dan
Africa).92 Berdasarkan pendekatan ini, apa yang membuat sebuah keluarga memiliki nilai
budaya yang unik dibandingkan keluarga lain adalah faktor rasional-irasional dan faktor
individualisme-kolektivisme. Dalam nilai budaya suatu keluarga, apa yang membuat
sistem hukumnya berbeda dengan yang lain adalah ‘kebersaman pemahaman (shared
understandings)’ yang terjadi dalam masyarakat tersebut. Kebersamaan pemahaman
(shared understandings) ini meliputi konsep masyarakat tentang hukum, teori penalaran
hukum, metodologi hukum, teori argumentasi, teori legitimasi hukum, serta pandangan
mendasar tentang dunia.93
Namun demikian, secara keseluruhan ada dua hal dalam pengamatan Saya yang membuat
penggunaan nilai budaya keluarga kurang begitu membantu dalam usaha ini. Pertama,
cakupan nilai budaya keluarga terlihat terlalu luas. Misalnya, dalam masyarakat Asia,
terdapat begitu banyak budaya hukum yang berbeda. Kadang-kadang, dalam satu negara
Asia—seperti Indonesia—bisa saja terdapat sejumlah budaya hukum. Untuk
mengumpulkan berbagai macam budaya hukum yang berbeda dalam satu payung
‘budaya hukum Asia’ jelas akan mematahkan tujuan analisis hukum lintas budaya.94
Kedua, usaha ini kurang begitu memuaskan karena terkesan sangat ke-Barat-barat-an
dimana faktor-faktor yang memuat kebersamaan pemahaman (shared understandings)
dalam suatu masyarakat mungkin menjadi tidak relevan bagi masyarakat lain. Misalnya,
seseorang mungkin ragu apakah budaya hukum masyarakat Jawa memiliki teori
argumentasi atau memiliki kebersamaan pemahaman (shared understandings) terhadap
suatu permasalahan.95
Pendekatan lainnya terhadap analisa elemen-elemen pokok budaya hukum adalah dengan
melihat budaya sebagai suatu lapisan eksplisit dan implisit. 96 Menurut pandangan ini,
lapisan eksplisit terdiri dari kenyataan yang dapat diamati seperti mode pakaian atau
bahasa dari suatu masyarakat. Lapisan implisit terdiri dari norma-norma, nilai-nilai, dan
asumsi dasar berkaitan dengan pandangan mereka tentang dunia. Jadi, pemahaman
terhadap lapisan implisit atau budaya sangatlah penting karena disini-lah terdapat
‘serangkaian aturan dan metode yang telah dikembangkan masyarakat untuk menghadapi
masalah-masalah yang mereka temui dalam kehidupan sehari-hari.’ 97
Pendekatan terhadap budaya hukum dengan melihat budaya sebagai suatu lapisan
ternyata sesuai dengan pendekatan saya yang menggunakan konsep gagasan kembar,
kebiasaan hukum dan kesadaran hukum. Budaya eksplisit mengacu pada kebiasaan
hukum sedangkan budaya implisit mengacu pada kesadaran hukum. Lebih penting lagi,
kedua pendekatan tersebut menyatakan bahwa budaya implisit (atau kesadaran hukum),
ketika dihadapkan dengan isu-isu moral atau dilema lain yang melibatkan pengambilan
suatu keputusan, ternyata memiliki kemampuan untuk mengevaluasi budaya eksplisit
(atau kebiasaan hukum) dan pada akhirnya membuat suatu perubahan yang penting.
2. Model Kerja
Apa yang terjadi jika model sistem hukum Friedman, dimodifikasi dengan memasukkan
elemen-elemen kebiasaan hukum dan kesadaran hukum, kemudian disejajarkan dengan
taksonomi Mattei serta pendekatan evolusioner terhadap hukum dan pembangunannya
seperti yang telah dibahas pada awal bab ini? Menurut Saya, hal ini akan menciptakan
sebuah model yang sederhana namun tepat guna tentang bagaimana suatu sistem hukum
berubah dalam suatu cakupan yang lebih luas dalam bidang ekonomi, politik dan
kerangka sosial yang melekat dalam sistem hukum tersebut. Lebih jelasnya, model
seperti ini mencermati empat implikasi penting berkaitan dengan hubungan antara hukum
dan pembangunannya.
Implikasi pertama adalah bahwa budaya hukum merupakan elemen sentral dari suatu
reformasi hukum yang berhasil. Menurut Friedman, hal ini benar karena budaya hukum-
lah yang melemahkan perubahan-perubahan dalam lembaga hukum dan hukum yang
sebenarnya; dengan demikian, budaya hukum adalah ‘sumber hukum—norma-norma
yang dimilikinya menciptakan norma hukum’.98 Usaha-usaha untuk mengubah tingkah
laku dengan mengubah lembaga hukum atau hukum itu sendiri, jika tidak didukung
perubahan dalam budaya hukum hanya akan bertahan sebentar dan tentu saja sia-sia. 98
Implikasi kedua adalah bahwa budaya hukum dapat berubah setiap saat sebagai akibat
dari semakin berkembangnya kesadaran hukum. Perubahan ini tertanam dalam kenyataan
bahwa nilai-nilai atau sikap tertentu terhadap hukum menjadi tidak sesuai lagi bagi
masyarakat. Hal ini terjadi ketika suatu masyarakat berkembang kesadarannya berkaitan
dengan hak indvidu dan demokrasi dan meninggalkann gagasan lama seperti status dan
sistem patriarchal. Hal ini dipelopori oleh kelas kecil elit hukum yang menerapkan
budaya hukum internal. 102 Sebaliknya, ketika budaya hukum berubah, masyarakat akan
lebih terbuka terhadap perubahan-perubahan dalam lembaga hukum dan hukum itu
sendiri. Dalam situasi seperti ini, hukum asing dapat dengan mudah diadaptasi dan
diimplementasikan.
Pandangan ini sesuai dengan pendekatan Weberian terhadap hukum dan masyarakat yang
mencermati keterkaitan berbagai hubungan sosial. 104 Secara khusus, dampak tekanan
terhadap kesadaran hukum dari para elit profesional hukum sangatlah penting karena para
elit-lah yang biasanya menjadi pemimpin dalam membentuk budaya hukum masyarakat.
Harus pula dicatat bahwa agenda politik dari mereka yang memegang kekuasaan—yang
mungkin tidak sama dengan para elit hukum—akan menentukan pengaruh eksternal
mana yang akan dijabarkan kedalam perubahan-perubahan nyata dalam kesadaran
hukum.
Perubahan yang serupa juga dijelaskan oleh Kamenka-Tay sebagai suatu konfrontasi
antara gemeinschaft, gessellschaft dan paradigma birokrasi administratif. Intinya adalah
bahwa pendekatan Kamenka-Tay tidak menjelaskan bagaimana konfrontasi antara ketiga
kekuatan itu akan dimainkan. Tetapi model saya menjelaskan hal ini. Model pendekatan
milik saya menjelaskan bahwa faktor penentunya adalah kesadaran hukum dalam suatu
masyarakat. Jika jumlah kesadaran hukum bersimpati terhadap intrinsik, memegang
teguh norma tradisional, maka paradigma gemeinschaft akan mendominasi; jika berganti
dan menjadi lebih bersimpati terhadap liberalisme klasik Barat atau pemikiran tentang
birokrasi negara yang kuat, maka gessellschaft atau paradigma birokrasi administratif
yang sebaliknya akan mendominasi.
Jika elemen-elemen penting dari model ini benar, maka elemen itu mendukung
pandangan Friedman bahwa budaya hukum adalah elemen sistem hukum yang paling
penting. Model tersebut menjelaskan bahwa dalam budaya hukum, kebiasan hukum
mendominasi sikap-sikap yang saat ini ada terhadap hukum. Namun demikian, kesadaran
hukum-lah yang menentukan arah dan kecepatan pergerakan budaya hukum terhadap
waktu.
Kesimpulan ini memiliki satu pelajaran kritis bagi mereka yang tertarik terhadap
fenomena hukum dan pembangunannya. Jelasnya, formulasi hukum yang baru dan
reformasi pada lembaga hukum akan tidak efektif tanpa adanya perbaikan yang sesuai
dengan budaya hukum.
Dengan kata lain, selain sumber-sumber yang digunakan untuk membuat formulasi
kebijakan, harus lebih banyak lagi sumber yang diarahkan bagi tujuan yang lebih luas
bagi perbaikan budaya hukum masyarakat. Setiap proposal reformasi hukum untuk
merubah hukum itu sendiri atau lembaga hukum haruslah menyertakan analisis dari
aspek-aspek budaya hukum lokal yang akan mendukung perubahan tersebut. Jika hal ini
tidak dilakukan dan budaya hukum masih terus diangap sebagai aspek hukum yang tidak
penting, maka resiko kegagalan akan sangat tinggi. Seperti kata Mary Hiscock, mantan
guru hukum saya yang memiliki pengalaman tentang reformasi hukum di Asia:
Hukum adalah tanaman yang tumbuh dengan akar manusia, dan sangatlah penting untuk
memberikan pendidikan bagi orang-orang agar mereka berubah. Jika yang dicari adalah
hukum yang siap dibuat, ini dapat saja dibeli dari berbagi konsultan yang ada. Namun
yang ada hanyalah hukum. Masyarakat masih saja melakukan hal yang sama dengan apa
yang dulu sering mereka lakukan. Tidak ada perubahan. Ini adalah pelajaran bagi sejarah
bangsa Asia.
Sosiologi Hukum
Posted by mujiburrahman on October 12, 2009
ini ada catatan kuliah sosiologi hukum
Sosiologi Hukum
Posted by mujiburrahman on October 12, 2009
Ini kuliah catatan kuliah Hukum sosiologi
Sosiologi Hukum
Posted by mujiburrahman on October 9, 2008
Buku Acuan :
• A.A.G. Peters & Koesriani. 1988. Hukum & Perkembangan Sosisl.I, II, III.
Pustaka Sinar Hrapan. Jakarta.
• Adam Podgorecki & Christopher J. Whelan. 1987. Pendekatan Sosiologi
Terhadap Hukum. Bina Aksara.Jakarta.
• Alvin S. Johnson. Sosiologi Hukum. Rineka Cipta. Jakarta.
• B.R. Rijkschroeff. 2001. Sosiologi, Hukum dan Sosiologi Hukum. CV. Mandar
Maju. Bandung.
• Friedman, L.M. 1977. Law & Society. Prentice-Hall. Englewood Cliffs. New
Jersey.
• Hans Kelsen, 2004. Teori Umum Hukum dan Negara. Media. Jakarta.
• Soerjono Soekanto. 1994. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. PT. Raya Grafindo
Persada . Jakarta.
• Taufiq Abdullah, 1986. Sosiologi Moralitas, Yayasan Obor Indonesia.Jakarta
• Tubagus Ronny Rahman Nitibaskara. 2001. Catatan Kriminalitas. Jayabaya
University Press. Jakarta.
• Tubagus Ronny Rahman Nitibaskara. 2001. Ketika Kejahatan Berdaulat.
Peradaban. Jakarta.
• Tubagus Ronny Rahman Nitibaskara. 2002. Paradoksal Konflik dan Otonomi
Daerah. Peradaban. Jakarta.
KULIAH 1
HUKUM
SOSIOLOGI
REALITA HUKUM
FENOMENA
NORMATIF SOSIOLOGIS
(Aspek Kualitas) (Aspek Kuantitas)
SOCIAL RELATIONSHIP
(Causality)
ABSTRAKSI HUKUM
PERILAKU SOSIOLOGIS
(Emile Durkheim)
PERILAKU TERAPAN
POTENSI
MANUSIA
Kepaduan (cohesiveness)
Komitmen (commitment)
MASYARAKAT
NORMA
NILAI
YG TERBENTUK DR PERILAKU
ANGGAPAN
TERPOLA
KRITIS
OBYEKTIF
SUBYEKTIF
REALITA HUKUM
MENEKANKAN
PD TUJUAN
MENEKANKAN
PD PROSES
AKAL
BUDI
PERILAKU HUKUM
(Baca Sosiologi Moralitas, Taufik Abdullah)
KONSEP KEBENARAN
KEBENARAN :
Otoriter (kekuasaan)
FAKTA SOSIAL
NORMA-NORMA
Tidak sama dg
kebenaran hukum
Mayarakat
KETERATURAN
TINDAKAN
OTORITAS
Masyarakat
KEPENTINGAN
KOLEKTIF
KETERIKATAN
KELOMPOK
Disiplin
Ilmu Pengetahuan
Otonomi
Moralitas
MILIEU
SUI GENERIS
ATMOSPHERE
Suasana
STRUKTUR
FUNGSI/TUGAS
PRESSURE
Desakan
Pengembangan
&
Pemeliharaan
UNITY
Kekompakan
LEMBAGA
PENEGAK HUKUM
KEPATUHAN
HUKUM
KEWIBAWAAN HUKUM
HUKUM NGR
HUKUM ADAT
Fungsi Sosial : sbg himpunan moralitas & wahana utk mencapai cita2 sosial (Durkheim).
Masa itu hk dianggap satu-satunya perekat sosial.
Struktur Sosial : hukum lahir scr bertahap, dipaksakan olh pemegang kekuasaan,
dipengaruhi olh kepentingan material, ideal, cara berfikir kelas-2 sosial, dan kelompok-2
kepentingan dlm masyarakat (Weber).
Perubahan Sosial : keberadaan hukum hrs mengabdi pd kepentingan rakyat, dan utk
menekan kaum borjuis (Karl Marx).
Suatu proses yg dilakukan utk mempengaruhi orang-2 agar berperilaku sesuai dengan
nilai-nilai yg disepakati bersama. Kontrol sosial dijalankan dg menggerakkan bbrg
aktivitas alat ngr utk mempertahankan pola hubungan & kaedah-2 yg ada.
Suatu proses yg dilakukan utk mengubah perilaku masyarakat, bukan utk memecahkan
masalah sosial.
Law as a tool of crime, perbuatan jahat dg menggunakan hukum sbg alatnya sulit dilacak
karena diselubungi olh hk dan berada dlm hukum.
(Baca Ketika Kejahatan Berdaulat, Tbg Ronny Nitibaskara)
PARADIGMA HUKUM
PARADIGMA I
(Pra Normatif)
PARADIGMA II
(Normatif)
NORMAL LAW
ANOMALI
LAW REVOLUTION
KRISIS
ANOMALI BARU
NORMAL LAW
dst
PEMAKNAANNYA :
Interaksi Manusia mengandung tiga unsur, yaitu : Tindakan (act), sesuatu (thing), dan
makna (meaning).
Hukum yg dimaksud bukan saja hukum dlm arti tertulis tetapi juga yg tidak tertulis, baik
menyangkut falsafah, intelektualitas, maupun jiwa yg melatar belakangi penerapan
hukum.
Hukum memiliki daya mengatur jika scr relatif sdh dipersatukan dlm kelompok-2 sosial,
apalagi dlm sistem sosial.
Hukum bersifat memaksa ttp paksaan itu bukanlah merupakan syarat utama,
kemanfaatanlah yang menjadi ukuran utama.
NEGARA HUKUM
Eropa Kontinental – Ngr Hk adl ngr yg berdiri di atas hk yg menjamin “keadilan” kpd
wrg ngr nya (Aristoteles)
Keadilan merupakan syarat bagi terciptanya kebahagiaan hidup utk wrg ngr dan sbg dasar
ap keadilan itu perlu diajarkan rasa susiak kdp setiap manusia.
Paham laissez faire laissez aller – biarlah setiap angt masyarakat menyelenggarakan
sendiri kemakmurannya
KEDAULATAN HUKUM
Hukum berdaulat kr sifatnya imperatif, tanpa diterima olh rakyatpun hk tetap berlaku
(Kelsen)
Hukum yg baik adl hukum yg dierima olh rakyat karena mencerminkan harapan rakyat.
MODEL HUKUM
(Donald Black)
REALITAS HUKUM
(Law on books & Law in action)
Apakah “pola tingkah laku sosial” tlh mengungkapkan materi hk yg diumuskan dlm
peraturan.
Apakah tujuan yg dikehendaki hukum sama dg efek peraturan itu dlm kehidupan
masyarakat.
(D.L KIMBAL)
KULIAH KE 2
SISTEM HUKUM
Bahwa hukum itu memperoleh kekuatan mengikat karena berupa peraturan yang
berbentuk undang-undang yang tersusun secara sistematis dalam kodifikasi. Kepastian
hukumlah yang menjadi tujuan hukum, dapat terwujud apabila segala tingkah laku
manusia dalam pergaulan hidup diatur dengan peraturan tertulis.
Adagium: “tidak ada hukum selain undang-undang”. Dengan kata lain, hukum selalu
diidentikkan dengan undang-undang.
Hakim dalam hal ini tidak bebas dalam menciptakanhukum baru, karena hakim hanya
menerapkan dan menafsirkan peraturan yang ada berdasarkan wewenang yang ada
padanya. Putusan hakim tidak dapat mengikat umum tetapi hanya mengikat para pihak
yang berperkara saja.
Hukum digolongkan menjadi dua bagian utama yaitu:
Hukum Publik: Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi Negara, Hukum Pidana
Hakim berperan besar dalam menciptakan kaidah-kaidah hukum yang mengatur tata
kehidupan masyarakat. Hakim mempunyai wewenang yang luas untuk menafsirkan
peraturan2 hukum dan menciptakan prinsip2 hukum yang baru yang berguna bagi
pegangan hakim2 yang lain dalam memutuskan perkara sejenis.
Asas doctrine of precedent, hakim terikat pada prinsip hukum dalam putusan pengadilan
yang sudah ada dari perkara-perkara sejenis.
Hukum digolongkan menjadi dua bagian utama yaitu hukum publik dan hukum privat.
Bersumber dari peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang
serta dipertahankan berdasarkan kesadaran hukum masyarakatnya.
Subyek Hukum
2. Masyarakat Hukum
Kumpulan dari subyek hukum di dalam suatu masyarakat sebagai suatu sistem yang
teratur dan hukum yang tercipta dalam hubungan dengan masyarakat itu sendiri, bersifat
abstrak dan memerlukan adanya relation and communication.
3. Peranan Hukum
4. Peristiwa Hukum
Merupakan perbuatan hukum yaitu segala perbuatan yang dilakukan seseorang untuk
menimbulkan hak dan kewajiban
5. Hubungan Hukum
6. Obyek Hukum
Segala sesuatu yang berguna bagi subyek hukum, meliputi: materiil dan immateriil
PRANATA HUKUM
SOLIDARITASSOSIAL
KESADARAN KOLEKTIF
(Collective Conscience)
MEKANIS
ORGANIS
HUKUM REPRESIF
HUKUM RESTITUTIF
Masyarakat segmental
Masyarakat modern
MEMAHAMI MASYARAKAT
Auguste Comte menggambarkan masyarakat :
Statika Sosial : Menganalogikan masy spt “onatomi” tubuh manusia yg terdiri dr organ,
kerangka & jaringan. Hal Ini = mempelajari masy dlm keadaan statis sbg pendekatan yg
bersifat sinkronik.
Perubahan sosial adl transformasi dalam organisasi masyarakat, dalam pola berfikir dan
dalam pola perilaku pd wakt tertentu (Macionis).
Perubahan sosial adl perubahan pola perilaku, hub sosial, lembaga dan struktur sosial pd
wkt tertentu (Farley).
Kesimpulan :
Proses penggantian nilai-nilai budaya & institusi-institusi sosial dalam konteks struktur
dan organisasi masyarakat, menyangkut pula orientasi berfikir, & gaya hidup manusia
yang berlangsung dlm kehidupan bersama sbg masyarakat.
PEMBANGUNAN
Kata “Pembangunan” secara umum diartikan sbg ush utk memajukan masy & warganya.
Kemajuan dimaksud terutama menyangkut segi material, shg pembangunan sering
diartikan sbg kemajuan yg dicapai masy hanya di bidang “ekonomi” dengan tdk melihat
segi moralitas manusia.
Ada perbedaan prinsipiil antara konsep pembangunan yg dianut olh “ngr berkembang” dg
pembangunan “ngr maju” (Adikuasa).
Di Ngr berkembang persoalan pembangunan adl bgm mempertahankan kehidupan sos, &
bgm meletakkan dasar-dasar ekonomi kehidupan masy yg mampu bersaing di pasar
internasional (Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan pembangunan
manusia (human development) .
Di Ngr maju (adikuasa) persoalan pembangunan adl bgm melakukan ekspansi lebih
lanjut bagi kehidupan ekonominya yg sdh mapan.
Resiprokal : saling berbalasan, saling bermanfaat, saling tergantung, juga saling mengisi
atau saling mengurangi.
Dialektika : penalaran dg dialog sbg cara utk menyelidiki suatu masalah. Segala sesuatu
yg terdapat di alam semesta itu terjadi dari hasil pertentangan dua hal & yg kemudian
bertentangan dg yg lain shg menimbulkan hal yg lain lagi.
1. Teologis & Militer : semua hub sos bersifat militer; masy/pok bertujaun menundukkan
masy/pok lain; semua konsepsi teoritik didasarkan pd pemikiran mengenai adikodrati;
dan kebijakan dilandasi imajinasi, penelitian tdk dihargai.
3. Ilpengtek & Industri: industri mendominasi hub sosial & produksi jadi tujuan utama
masy; imajinasi tergeser olh hasil penelitian & konsepsi-2 teoritik.
Unlinear : perkembangan masyarakat tidak selalu menuju kearah kemajuan tetapi bisa
juga ke arah kemunduran (primitivisme).
Kepemimpinan dll).
PELEMBAGAAN
PERUBAHAN
KEYAKINAN
SENTIMEN/PERASAAN
TEKANAN/STRESS
KETEGANGAN/STRAIN
GOAL
(Pencapaian tujuan)
ADAPTATION
(Penyesuaian)
PERSONAL
INDIVIDU
INDIVIDU
KOMUNIKASI
SOSIALISASI
KONTROL SOSIAL
PERINGKAT SOSIAL
STATUS/PERANAN
KEKUASAAN
FASILITAS
INTEGRATION
(Memper-
satuKan)
FORMAL
SOSIAL
ORGANISASI
BOUNDARY
MAINTENANCE/
TAPAL BATAS/
ARAH
SYSTEMIC
LINKAGE/
PEREKATAN
TUJUAN
SISTEM SOSIAL
NORMA
SANKSI
LATENCY
BUDAYA
MASYARAKAT
PROSES
UNSUR-UNSUR
FUNGSI
STRUKTUR
DIMENSI
EKONOMI TRADISIONAL
FOKUSNYA ADL :
Proses sosial yg memungkinkan elit ekonomi & politik mengelola alokasi sumberdaya
produksi
PIJAKAN UTAMA.
EKONOMI MODERN
FOKUSNYA ADL :
Alokasi efisien atas sumberdaya produksi scr berkesinabungan dg memperhatikan
mekanisme sosial politik, baik oleh lembaga swasta maupun pemerintah utk
mempertahankan/memperbaiki “standar kualitas hidup manusia”.
POLITIK
(ORIENTASI KEKUASAAN)
EKONOMI
(ORIENTASI PROVIT)
SOSIAL
(ORIENTASI MORAL)
PEMBANGUNAN
(ORIENTASI MATERIAL)
PERUBAHAN
SOSIAL
EKONOMI
SOSIALIS
LIBERALISME
MASHAB KLASIK
Invisible hand
devision of labour
spealization
KEHANCURAN
EKONOMI
LEPASNYA PAHAM
MANUSIA DALAM
IKATAN-2 KOLEKTIF
MENUJU INDIVIDUALISM
WELFARE STATE
DEMOKRATISASI
BALANCES
PERKUATAN
KEKUASAAN YUDICEEL
AMERIKA SERIKAT
BANTU
NEGARA- EROPA
ROSTOW
SUKSES
NEGARA-2 ASIA
AFRIKA
AMERIKA LATIN
GAGAL
FAK INTERNAL
FAK EKSTERNAL
MUNCUL NEGARA
PHERY-PHERY
(NGR PINGGIR)
METROPOLITAN
(NGR PUSAT)
BERKEMBANG
COMPARATIVE ADVANTAGE
KEBUD
SPIRIT
KREATIFITAS
RASIONAL
KETERGANTUNGAN SUATU
AWAL PERKEMBANGAN
EKONOMI POLITIK
EKONOMI PEMBANGUNAN
KESEIMBANGAN DLM
PEMBANGUNAN
EKONOMI DENGAN
PEMBANGUNAN POLITIK
DALAM HAL :
NEGARA BANGSA
NEGARA
KESEJAHTERAAN
PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
(UNDP)
KEAMANAN MANUSIA
(HUMAN SECURITY)
FAKTOR PENYEBAB
SELESAI
PD I & II
Krisis kekuasaan yudiceel yg disebabkan oleh jumlah gol semakin membesar, masing-2
berusaha merebut kekuasaan.
Perundang-undangan yg lambat mengantisipasi, shg kekuasaan yudiceel dipengaruhi oleh
kekuatan-2 dominan dlm masyarakat (politik, ekonomi).
CIVIL LAW
(Eropa Kontinental)
CAMMON LAW
(Anglo Saxon)
Hakim dpt membuat hk mll Vonis-2 tanpa hrs terikat pd hk tertulis Keadilan diutamakan
ORIENTASI
CAMMON LAW
CIVIL LAW
KOMPONEN
PEMBUATAN
FUNGSI
PELUANG
Limitatif karena memuat kttn prin- sip scr rinci & ketat shg tdk dpt diinterpretasikan scr
sepihak olh pmrth, kecuali hal-2 teknis
Sentralistik karena pembuatannya lbh banyak ditentukan olh lbg-2 ngr trtm pemerintah
Positivis instrumentalis dlm arti isinya lbh mencerminkan kehendak atau alt justifikasi
atas program yg akan dilakukan pmrth
Interpretatif krn hanya memuat mslh-2 pokok utk ditafsirkan dg prtn rendah yg dibuat olh
pemrth, dmn interpretasi sekedar menyangkut hal-2 teknis
MASYARAKAT
GOVERNMENT
POLITIC (Subyektivasi)
RULE MAKING
INSTITUTION
NORM (Obyektivasi)
RULE MAKING
INSTITUTION
SANCTION (Internalisasi)
STATE
Rule Occupation
FEED BACK
TUJUAN HUKUM
KEADILAN SOSIAL
KEBENARAN
KEMANFAATAN SOSIAL
PEMBANGUNAN NAS
PERUBAHAN
SOSIAL
MASALAH
SOSIAL
NETRALITAS HUKUM
KEBERFIHAKAN HUKUM
MASALAH SOSIAL
Sistem kelembagaan.
Fungsi lembaga.
Peranan lembaga.
Pengorganisasian lembaga.
Manajemen lembaga.
Folkways,
Mores,
Customs &
Law
Bentuk-2 Permasalahan
Lingkungan hidup rusak akibat diskriminasi dlm peruntukan tanah, dan kebuasan
eksploatasi sumber daya alam
DESAS-DESUS
Berita yg menyebar secara cepat, tidak berdasarkan fakta (kenyataan), dr persoalan moral
hingga mslh kenegaraan.
Dpt merusak nama baik (reputasi), kaburkan tujuan, lemahkan semangat – digunakan utk
propaganda.
Desas-desus yg berlangsung lama & diterima sbg kebenaran bisa menjadi legenda.
PANIK
Kondisi emosional yg diwarnai olh keputusasaan & ketakutan yg tdk terkendali, disertai
penyelematan diri scr kolektif yg didasari olh sikap histeris.
Terjadi pd pok yg mengalami keletihan kr tekanan jiwa (stress) sesaat atau
berkepanjangan, berada dalam keadaan sangat berbahaya & hanya memiliki
kemungkinan membebaskan diri scr terbatas.
GERAKAN SOSIAL
Perilaku masa yang melakukan kegiatan secara berkesinabungan untuk menunjang atau
menolak kebijakan yg dianggap merugikan masyarakat atau kelompok.
Awal mula gerakan dilakukan olh suatu kelompok yg merasa tdk puas thd suatu keadaan;
pribadi kecewa; penyaluran kegagalan; atau mereka yg merasa hidup kurang berarti.
Contoh: Gerakan demo, gerakan ekspresif, gerakan utopia, gerakan reformasi, gerakan
revolusioner, (KAMI 1966, Reformasi 1998).
CIVIL DISOBEDIENCE
Pembangkangan sipil adl penyimpangan hk secara umum dan terbuka karena terdorong
oleh kata hati serta pandangan moral, disertai dengan kesediaan menerima sanksi hukum.
Aksi tsb merupakan teknik paksaan tanpa paksaan yang menggunakan tuntutan dr
sejumlah orang yang rela menderita demi menegakkan suatu pandangan moral.
Aksi ini merupakan tindakan politik yang bukan merupakan tindakan kekerasan dengan
tujuan untuk mengubah hukum atau kebijakan pemerintah.
Pembangkan sipil diilhami oleh pemikiran bhw keadilan yg berlaku di masyarakat hanya
untuk golongan tertentu saja dan kurang memperhatikan golongan yang lain.
Pembangkangan sipil bisa mencapai tuntutan yang dikehendaki apabila memiliki disiplin
diri yg kuat dari para pelaku, dan tdk mengarah ke tindakan kekerasan.
Cara ini umumnya berlaku di negara-negara demokrasi di mana para pelaku telah
memiliki kesadaran cukup tinggi dlm hidup bernegara. Dengan kata lain tuntutannya
benar-benar utk kepentingan bangsa dan negara.
PATOLOGI SOSIAL
STEREOTIPE
Kesan (pandangan salah, prasangka) tentang ciri-ciri tertentu (khusus) kelompok luar
yang telah diterima secara luas oleh masyarakat.
Citra kaku tentang suatu kelompok ras atau budaya yang dianut tanpa memperhatikan
kebenaran citra tersebut.
ANOMI
Kondisi sosial yg tidak memiliki seperangkat nilai & sistem penerapannya yang diyakini
benar, berlaku scr konsisten, dan digunakan sebagai pedoman sikap & perilaku oleh
warga masyarakatnya.
Cara menerapkan nilai lama tidak sesuai dg perkembangan, sedangkan cara baru belum
ada.
POLARISASI
Proses terjadinya dua lapisan dlm masyarakat (lapisan atas dan lapisan bawah) yang
menunjukkan perbedaan sikap dan kemampuan dalam merespon (menyerap) ilmu
pengetahuan dan teknologi serta hasil-hasil pembangunan sedemikian rupa, sehingga
menimbulkan kesenjangan dlm kesejahteraan dan kemampuan kedua lapisan tersebut.
Bentuk a.l kesenjangan dlm kesejahteraan, pendidikan, akses dlm berpolitik dll.
ANOMALI
Bentuknya berupa pelanggaran thd norma-norma sosial yg tlh melembaga atau mapan,
tidak ada sanksi yg efektif, & tidak melakukan perubahan scr substansial cara utk
mengatasi masalah.
INVOLUSI
Involusi adalah kemunduran, kemerosotan kebudayaan kr ketidakseimbangan yang
terjadi di dalam kehidupan sosial sudah mencapai bentuk yang pasti, namun tidak
berhasil diseimbangkan atau diubah menjadi suatu pola baru, justru terus berkembang
hingga menjadi semakin rumit.
EROSION PATRON-CLIENT
KRISIS
Krisis adl proses melemahnya daya pengikat sosial berupa nilai-nilai, lembaga-lembaga,
fungsi-fungsi, status-status, peranan-peranan, mekanisme, tata-cara hidup dalam
masyarakat
Bentuknya berupa kontradiksi-kontradiksi sikap dan tindakan dlm bentuk arogan, brutal,
agresif, anarkhi di masyarakat dalam menghadapi setiap kebijakan yg dianggap tidak
selaras dengan pendapat umum
CRIME
Konsep kejahatan sering dilihat dr aspek kegarangan tindakan (Feloni = kejahatan serius;
Misdemeanor = kejahatan yg kurang serius)
kekuasaan
Penyebaran hama & penyakit mll bahan makanan import kadaluarsa, baik berasal dr ngr
pengeksport yg kondisi alat angkutnya buruk, maupun yg tertahan di pelabuhan tujuan.
Pasar gelap (black market) barang-2 terlarang spt makanan, minuman, drug mll
pengemasan & peredaran yg tdk konvensional (pembuangan limbah 3B, debt collector).
Pelecehan sex dan child abused, kejahatan yg bersumber dr tekanan psikologis akibat
kerja berat & diburu wakt.
Kejahatan asuransi.
TERORISME
Strategi untuk mencapai suatu tujuan dengan menggunakan cara kekerasan atau ancaman
kekerasan utk memaksa pemerintah, penguasa & rakyat dengan menimbulkan rasa takut.
Label yg mengandung pesan moral & politik utk kejahatan yg dilakukan olh orang-2 yg
memiliki kedudukan sosial tinggi & terhormat dlm pekerjaannya (para pengusaha &
eksekutif).
Kegiatan tdk sah tanpa menggunakan kekerasan scr langsung teruama menyangkut
penipuan, penyesatan, penyembunyian informasi, penggelapan dan manipulasi.
JUDICIAL ACTIVISM
JUDICIAL CRIME
Kejahatan yang dilakukan olh aparat penegak hukum dlm konteks jabatan & kekuasaan
untuk menetapkan seseorang atau sekelompok orang salah atau tdk bersalah dg cara
menyimpangkan perkara dari tujuan hk shg menguntungkan diri sendiri & merugikan
fihak lain yg berperkara serta merusak tatanan hukum.
CRIMINAL LAWYER
Aktivitas lawyer yang menjadi langganan pelanggar hukum baik perorangan maupun
terorganisir. Pekerjaannya : merekayasa alibi, mengatur pertemuan yg bersifat
tersembunyi, mempengaruhi polisi, jaksa maupun hakin dlm membuat berita acara,
menuntut hingga menyidangkan perkara. Juga menakuti saksi, mengaburkan
peristiwa/perkara mll mass media, dg cara menyuap aparat gakkum, hingga mengancam
keselamatan hakim.
Masyarakat tdk mempercayai integritas moral para penegak hukum kr aparat tlah
melakukan penyalahgunaan wewenang & memberi perlindungan thd praktek-2 kejahatan.
Masyarakat melakukan upaya penegakan hukum menurut pandangan & cara-cara mereka
sendiri.
HUMAN SECURITY
(Keamanan Manusia)
Human security sbg Sistem keamanan yg Berlawanan dengan Sistem State sesurity
• Pengusangan perang.
• Pengusangan kekerasan.
• Demokratisasi politik, ekonomi & hukum (peradilan)
• Keadilan hukum.
• Pelestarian lingkungan.
• Penyelesaian konflik scr damai.
• Perubahan umur kerja.
• Multikulturalisme & multirelijionisme.
• Hak manusia dg relativism kultural.
• Ekoteknologi.
INDUSTRI KEAMANAN :
(Makro)
Hak atas non-diskriminasi (atas dasar jenis kelamin, gender, dan /atau kemampuan
melahirkan anak, ras, kebangsaaan dst)
Perbedaan perlakuan antara laki-laki dan perempuan dalam bidang khusus, seperti
lapangan kerja, sistem peradilan dll
Kebebasan vs kekerasan.
PROBLEM MAKRO
STRATEGIS
PROBLEM MESSO
TAKTIS
PROBLEM MIKRO
TEKNIS
GRAND THEORY
LOWER THEORY
MASALAH KELEMBAGAAN
MASALAH ORGANISASI
MASALAH
INDIVIDU
Masalah Makro :
• Masalah Keadilan.
• Masalah Kemakmuran.
• Masalah Keamanan.
Masalah Messo :
Masalah Mikro :
• Persaingan Usaha.
• Kepailitan Perusahaan.
• Peranan lembaga.
• Perbankan.
• Perlidungan konsumen.
• Perlindungan wanita.
KULIAH KE 3
ANALISIS MASALAH
Analisis merupakan kegiatan akal budi dlm rangka memecahkan masalah dan berupaya
utk memperoleh jawabannya.
Jenis analisis :
Jenis-2 Argumentasi :
1. Deduksi.
2. Induksi.
3. Abduksi.
Penalaran yuridis adalah proses suatu berfikir dalam rangka mengidentifikasi hak-2 dan
kewajiban-2 spesifik dari orang-2 tertentu. Secara teknik dijabarkan ke dalam enam
langkah :
Memaparkan selengkap mungkin fakta dari suatu peristiwa yang menimbulkan masalah.
Mensintesiskan aturan-2 hukum yang aplikabel ke dlm suatu struktur koheren yang di
dlm nya aturan yang lebih spesifik dikelompokkan ke bawah aturan yang lebih umum.
Menelaah fakta yang diperoleh utk memilah, menstrukturkan dan mengkualifikasi fakta
yang relevan shg tampil peristiwa hukumnya.
Menerapkan struktur aturan-2 pada fakta yang relevan utk menetapkan hak-2 dan
kewajiban-2 yang diciptakan olh fakta tersebut dg mengacu pada kebijakan yang
melandasi aturan-2 tersebut.
Fenomena adalah hal-hal yang dapat dilihat dengan panca indera dan dapat diterangkan
serta dinilai secara ilmiah. Fenomena ini merupakan gejala atau kejadian yang dapat
ditangkap oleh indera manusia, misalnya gejala-gejala atau kejadian alam. Dalam
kegiatan kajian terhadap suatu masalah, fenomena merupakan “titik awal” dalam upaya
mendapatkan informasi-informasi dan dijadikan suatu hal yang ingin diketahui.
Fenomena itu kemudian diabstraksikan dengan konsep-konsep yaitu istilah atau simbol-
simbol yang mengandung pengertian singkat dari fenomena. Hasil dari suatu penelitian
berupa fakta-fakta yang diungkapkan dalam bentuk proposisi-proposisi, baik berupa
teori, dalil, hukum, digunakan untuk menjelaskan fenomena-fenomena tersebut. Dengan
demikian fenomena-fenomena yang ingin diketahui akan terjawab setelah diperoleh
fakta-fakta.
FENOMENA
Kata konsep berasal dari kata latin concipere yang berarti mencakup, mengandung,
mengambil, atau menangkap. Kata bendanya adalah conceptus yang berarti tangkapan,
sehingga arti konsep sebenarnya adalah tangkapan. Jika intelek (akal budi) manusia
mengangkap atau melihat sesuatu, maka buah atau hasil dr tangkapan tersebut disebut
konsep. Konsep dinyatakan dalam sebuah kata atau kalimat. Jadi konsep adalah istilah
atau simbol-simbol yang mengandung pengertian singkat dari suatu fenomena. Dengan
kata lain konsep itu penyederhanaan dari fenomena
KONSEP
Data merupakan bentuk jamak dari datum. Dalam bahasa Indonesia, data diartikan
sebagai keterangan yang benar dan nyata atau bahan nyata yang dapat dijadikan dasar
kajian (analisis). Data dapat berupa data kualitatif yaitu yang tidak berbentuk angka yang
diperoleh dari wawancara, pengamatan, dan lain-lainnya, maupun kuantitatif berbentuk
angka yang diperoleh dari penjumlahan atau pengukuran.
Jadi data adalah keterangan atau hasil dari pengamatan/ pengukuran baik berupa nilai-
nilai maupun angka yang biasa dijadikan sebagai bahan dasar kajian atau analisis. Dalam
suatu kajian, data digunakan untuk menguji kebenaran suatu hipotesis atau paradigma.
Keabsahan hasil pengujian itu tergantung pada kebenaran dan ketepatan data serta
kecermatan analisis data.
DATA
Fakta berasal dari bahasa latin factum. Fakta merupakan bentuk jamak dari factum,
berarti peristiwa, bukti atau berita yg merupakan kenyataan, atau sesuatu yg benar-benar
terjadi.
Dengan demikian jika hipotesis atau paradigma dinyatakan benar setelah diuji secara
empirik, maka hubungan-hubungan informasi yang diprediksikan menjadi penyebab
masalah benar, artinya hubungan-hubungan tersebut benar-benar terjadi dan suatu
peristiwa terbukti kebenaranya berdasarkan fakta.
FAKTA
TEORI
Asas atau hukum scr umum yg menjadi dasar suatu kesenian atau ilmu pengetahuan,
Misalnya teori ttg mengendarai mobil, teori ttg hukum dagang.
Seperangkat premis yg berhubungan scr logis baik linear maupun tdk linear dan
dinyatakan scr sistematis utk menjelaskan gejala-gejala empiris.
PREMIS
Rangkaian pernyataan mengenai hubungan antara dua atau lebih konsep, yg tidak perlu
dibuktikan kebenarannya namun dpt diterima scr ilmiah (logis).
TEORI FUNGSIONAL
(Durkheim, A. Comte, M. Weber, T. Parsons, H. Spenser)
Jika dalam pengelompokan membagi nilai dengan norma-norma yang sama, maka
masyarakat memiliki aturan dalam pergaulan hidup, di mana orang-orang mempunyai
ikatan erat dalam pengelompokan intermedier, sehingga mereka mengindahkan nilai-nilai
dan norma pergaulan hidup tersebut.
Grand Theory
TEORI KONFLIK
Konflik sosial merupakan pertentangan antara dua pihak atau lebih yang menyangkut
masalah ekonomi, kekuasaan, keyakinan agama, ras.
Grand Theory
Teori-teori Under Control atau teori-teori untuk mengkaji perilaku jahat seperti teori
Disorganisasi Sosial, teori Netralisasi dan teori Kontrol Sosial. Teori ini secara umum
membahas mengapa ada orang melanggar hukum meskipun kebanyakan orang tidak
demikian.
Teori-teori Kultur, Status dan Opportunity seperti teori Status Frustasi, teori Kultur Kelas
dan teori Opportunity yang menekankan mengapa adanya sebagian kecil orang
menentang aturan yang telah ditetapkan masyarakat di mana mereka tinggal.
Teori Over Control yang terdiri dari teori Labeling, teori Konflik Kelompok dan teori
Marxis. Teori ini lebih menekankan kepada masalah mengapa orang bereaksi terhadap
kejahatan.
Lower Theory
ANOMI
(Emile Durkheim)
(R.K.MERTON)
Innovation (pembaharuan) adalah keadaan di mana tujuan dalam masyrakat diakui dan
dipelihara, akan tetapi tdk terjadi perubahan sarana yang dipergunakan untuk mencapai
tujuan. Masyarakat masih ada yang percaya dengan cara-cara lama untuk mencapai
tujuan, namun beralih menggunakan sarana baru jika menemui halangan terhadap cara
yang digunakan untuk mencapai kesusksesan.
Ritualism (tatacara keagamaan) yaitu keadaan di mana warga masyarakat yang telah
menerima tujuan dan sarana-sarana baru, namun saranasarana baru tidak kunjung
diadakan. Masyarakat meredakan ketegangan dengan menurunkan skala aspirasi sampai
pada batas yang bisa mereka capai daripada mengejar tujuan budaya kesuksesan yg hanya
ilusi.
Retreatism (penarikan diri) yaitu keadaan di mana warga masyarakat melepaskan tujuan
budaya sukses dan sarana-sarana sah. Warga masyarakat mulai menyesuaikan diri dari
menurut cara-cara sendiri, misalnya dengan mabok-mabokan, pecandu narkoba hingga
puncaknya bunuh diri.
Rebellion (pemberontakan) yaitu keadaan di mana tujuan dan sarana yang terdapat dalam
masyarakat ditolak, berusaha untuk mengganti atau mengubah seluruhnya. Meraka juga
menginginkan utk mengubah sistem melalui social disobidien (pembangkangan sosial).
EXCHANGE THEORY
(Peter Blau)
Premis-premisnya :
Pertukaran sosial tidak simetris, ttp dilandasi olh sistem stratifikasi berdasarkan
kekuasaan dan wewenang.
Perbedaan status dlm masyarakat berakibat adanya perbedaan transaksi dalam pertukaran
antar warga, status yg rendah ditentukan olh status yg tinggi.
Legitimasi pemimpin dlm masyarakat tdk menjamin para anggota merasa puas thd
kepemimpinannya, atau memahami apa yang diharuskan olh pimpinan, karena setiap
pertukaran salalu diikuti oleh pamrih atau balasan.
Kekuasaan dan otoritas dalam masyarakat sangat tergantung pd hasil perbandingan cost
dan reward yg menguntungkan semua pihak.
(Reiss)
Lahirnya teori Kontrol Sosial dilatarbelakangi oleh tiga aspek perkembangan dalam
masyarakat : (1) Adanya reaksi dari teori labeling dan konflik yang dilandasi tingkah laku
kriminal. Sebagaimana acuan, teori ini kurang menganalisis masalah kriminal dan hanya
mengarah pada subyek perilaku menyimpang; (2) Munculnya studi tentang criminal
justice sebagai suatu ilmu telah mempengaruhi hukum menjadi lebih pragmatis serta
berorientasi pada sistem; dan (3) Teori Kontrol Sosial dikaitkan dg teknik penelitian,
khususnya terhadap tingkah laku remaja, yakni self report survey.
(Nye)
Menurut Nye, manusia diberi kendali supaya tidak melakukan pelanggaran, proses
sosialisasi yang adequat (memadai) akan mengurangi terjadinya delinkuensi. Pendidikan
terhadap seseorang untuk melakukan pengekangan keinginan (impulse). selain itu,
kontrol intemal dan ekstemal harus kuat utk membangun ketaatan terhadap hukum
(law-abiding).
TEORI LABELING
(Micholowsky)
Premis-premis teori Labeling sebagai berikut :
1. Kejahatan merupakan kualitas dari reaksi masyarakat atas tingkah laku seseorang.
2. Reaksi itu menyebabkan tindakan seseorang dicap sebagai penjahat.
3. Umumnya tingkah laku seseorang yang dicap jahat menyebabkan orangnya juga
diperlakukan sebagai penjahat.
4. Seseorang yang dicap dan diperlakukan sebagai penjahat terjadi dalam proses
interaksi, di mana interaksi tersebut diartikan sebagai hubungan timbal balik
antara individu, antar kelompok dan antar individu dan kelompok.
5. Terdapat kecenderungan di mana seseorang atau kelompok yang dicap sebagai
penjahat akan menyesuaikan diri dengan cap yang disandangnya.
(1) Penjelasan tentang mengapa dan bagaimana orang-orang tertentu sampai diberi cap
atau label sebagai penjahat; dan (2) Pengaruh daripada label itu sebagai konsekuensi
penyimpangan tingkah laku, perilaku seseorang bisa sungguh2 menjadi jahat jika orang
itu di cap jahat.
Edwin Lemert membedakan tiga penyimpangan, yaitu: (1) Individual deviation, di mana
timbulnya penyimpangan diakibatkan oleh karena tekanan psikis dari dalam;
(2)Situational deviation, sebagai hasil stres atau tekanan dari keadaan; dan (3) Systematic
deviation, sebagai pola-pola perilaku kejahatan terorganisir dalarn sub-sub kultur atau
sistem tingkah laku.
(1) Tidak ada satupun perbuatan yang pada dasarnya bersifat kriminal; (2) Predikat
kejahatan dilakukan oleh kelompok yang dominan atau kelompok penguasa; (3)
Penerapan aturan tentang kejahatan dilakukan untuk kepentingan pihak yang berkuasa;
(4) Orang tidak menjadi penjahat karena melanggar hukum, tetapi karena ditetapkan
demikian oleh penguasa; dan (5) Pada dasarnya semua orang pernah melakukan
kejahatan, sehingga tidak patut jika dibuat kategori orang jahat dan orang tidak jahat.
Premis tersebut menggambarkan bahwa sesungguhnya tidak ada orang yang bisa
dikatakan jahat apabila tidak terdapat aturan yang dibat oleh penguasa untuk menyatakan
bahwa sesuatu tindakan yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang
diklasifikasikan sebagai kejahatan.
(Edwin H. Sutherland)
(Richard Quinney)
Premis 1: Definisi ttg tindak kejahatan (perilaku yg melanggar hukum) adalah perilaku
manusia yang diciptakan oleh para pelaku yang berwenang dalam masyarakat yang
terorganisasi secara politik, atau kualifikasi atas perilaku yang melanggar hukum
dirumuskan oleh warga-warga masyarakat yang mempunyai kekuasaan.
Premis 5: Pemahaman ttg tindak kejahatan dibentuk dan diserap ke dalam kelompok--
kelompok masyarakat lewat sarana komunikasi.
(Thorsten Sellin)
Konflik budaya dapat terjadi apabila ada benturan aturan pada batas daerah budaya yang
berdampingan. Pertemuan tersebut mengakibatkan terjadinya kontak budaya diantara
mereka baik dalam kaitan agama, orientasi kerja, cara berdagang dan budaya minum-
minuman keras, judi dan lain-lain yang dapat mernperlemah budaya kedua belah fihak.
Konflik budaya dapat juga terjadi bila satu budaya memperluas daerah berlakunya ke
budaya lain. Hal ini terjadi biasanya dengan menggunakan undangundang dimana suatu
kelompok budaya diperlakukan untuk daerah lain.
Konflik budaya timbul karena orang-orang yang hidup dalam budaya tertentu pindah ke
lain budaya yang berbeda.
SUB-CULTURE THEORY
Teori sub-culture membahas kenakalan remaja serta perkembangan dari berbagai tipe
gang anak-anak di AS.
Albert K. Cohen dalarn bukunya Delinquent Boys (1955) berusaha memecahkan masalah
kenakalan remaja dengan meggabungkan teori Disorganivasi Sosial dari Shaw dan
McKay, teori Differential Association Edwin H. Sutherland dengan teori Anomie R.K.
Merton. Cohen menyimpulkan bahwa kondisi tsb menyebabkan terjadinya peningkatan
perilaku delinkuen kalangan remaja di daerah kumuh (slum). Konklusinya menyebutkan
bahwa perilaku delinkuen di kalangan remaja kelas bawah merupakan cermin ketidak
puasan warga terhadap norma dan nilai kelompok kelas menengah yang mendominasi
kultur Amerika.
Teori ini dikemukakan oleh Richard A.Cloward dan Leyod E. Ohlin yang membahas
perilaku delinkuen remaja (gang) di Amerika. Menurut Cloward, deviasi perilkau remaja
itu terjadi karena ada perbedaan kesernpatan yang dimiliki anak-anak untuk mencapai
tujuan hidupnya.
Tiga tipe gang kenakalan remaja: (1) Criminal Sub- Sulture, bilamana masyarakat
terintegrasi dg baik, mk gang akan berlaku sebagai kelompok yang belajar dari orang
dewasa. Aspek itu berkorelasi dengan organisasi kriminal; (2) Retreatist Sub-culture,
remaja tidak memiliki struktur kesempatan shg banyak melakukan perilaku menyimpang
(mabuk-mabukan, penyalahgunaan narkoba, dan lain sebagainya); (3) Conflict
Sub-culture, terdapat dalam masyarakat yang tidak terintegrasi sehingga para remaja
menunjukkan perilaku bebas. Ciri khas gang ini adl kekerasan, perampasan harta benda,
dan perilaku menyimpang lainnya.
(Tilly)
Kekerasan Kolektif Primitif – pada dasarnya non politis, ruang lingkupnya terbatas pada
st komunitas lokal (contoh : pengeroyokan thd pencopet yg tertangkap tangan).
Kekerasan Kolektif Modern – merupakan sarana utk mencapai tujuan politis atau
ekonomis dlm masyarakat (contohnya: kerusuhan 14 Mei 1998 di Jakarta).
TEORI KONSPIRASI
(Mathias Brockers)
Mutasi dlm kehidupan tdk saja terjadi atas dsr pertarungan atau persaingan soal
keberadaan, ttp juga persekutuan & kerjasama yg justru memungkinkan terjadinya
evolusi.
Dlm kehidupan A bersepakat dg B tanpa diketahui C utk memperoleh keuntungan adl
wajar.
Konspirasi mengandung bujukan atau rayuan, bukan sekedar bernada sama. Kata-kata yg
saling terkait membuat hal-hal yg rumit menjadi sederhana.
Jika tidak ada bukti yg difinitif, kebenaran harus diuji scr berulang-ulang.
Misteri yg tdk mampu dijelaskan scr logika akan dilarikan kpd “sdh kehendak Tuhan”
sbg Sang Pencipta.
Konspirasi membuat masalah yg rumit menjadi sederhana, dan menjadi alat ideal utk
propaganda.
Syak wasangka adl suatu keraguan, kritik dpt dijadikan bukti bagi realitas utk kemajuan.
PENCEGAHAN KEJAHATAN
Pengenalan metode penanganan kejahatan, serta peluang terjadinya kejahatan sejak dini
(sejak anak-anak melalui pembinan terhadap kenakalan remaja.
Perasaan takut thd pelaku kejahatan (karena niat & peluang berbuat jahat longgar), shg
perasaan aman masyarakat terganggu.
Pencegahan kejahatan adalah upaya bersama yang dilakukan oleh aparat dan masyarakat
umum dalam menjaga kelembagaan sosial, sistem sosial, dan peran-peran masyarakat
melalui mekanisme yg telah melembaga untuk mewujudkan perasaan aman.
DESAS-DESUS
Berita yg menyebar secara cepat, tidak berdasarkan fakta (kenyataan), dr persoalan moral
hingga kenegaraan.
Dpt merusak nama baik (reputasi), kaburkan tujuan, lemahkan semangat – digunakan utk
propaganda.
Desas-desus yg berlangsung lama & diterima sbg kebenaran bisa menjadi legenda.
PANIK
Kondisi emosional yg diwarnai olh keputusasaan & ketakutan yg tdk terkendali, disertai
penyelematan diri scr kolektif yg didasari olh sikap histeris.
PERILAKU KOLEKTIF
Tindakan yg dilakukan scr bersama olh sejumlah orang, bersifat temporer (tdk bersifat
rutin), tdk terorganisasi. Cenderung tdk terkendali.
Sebagai tanggapan atas rangsangan tertentu atau dipicu olh suatu rangsangan yg sama
(peristiwa, benda, ide), sangat dimungkinkan merusak dan berlaku kriminal.
Penjarahan di New York – 1977, Los Angeles – 1992, 10 Mei 1963 di Bandung, 13-15
Mei 1998 di Jakarta.
• Hak Atas Kekayaan Intelektual (UU No.7 Tahun 1987 tentang Hak Cipta)
• Badan Arbritase Nasional Dalam Penyelesaian Sengketa
• Konspirasi Tender Dalam Hukum Persaingan Usaha
• Kontrak Investasi Antara Perusahaan Nasional dengan Investor……(Tinjauan
dari teori funsional)
• Peranan KPK Dalam Mendinamisir CJS Guna Mengoptimalkan Pemberantasan
Korusi di Indonesia (Tinjauan dari teori fungsional).
• Koordinasi Kerja Antara Polri dan BC Dalam Pemberantasan Tindak Pidana
Penyelundupan di…(Tinjauan dari teori fungsional).
• Transfer Dana Secara Elektronik Melalui Kartu Kredit (tinjauan dari teori
pertukaran)
• Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Pengguna Produk ……(Tinjauan dari
teori konflik…)
• Perlidungan Hukum Terhadap Wanita Korban Kejahatan Perkosaan (Tinjauan
dari teori social reality of crime)
• PHK Terhadap Karyawan Yang Melanggar Perjanjian Kerja (tinjauan dari teori
konflik…).
• Keputusan Hakim Atas Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh Anak-anak
(Tinjauan dari teori social reality of crime).
• Tindak Pidana Aborsi Ditinjau Dari UU No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan
(Tinjauan dari teori kontrol sosial).
• Penanggulangan Narkotika Di Lingkungan Remaja Berdasarkan UU No.22 Tahun
1991 Tinjauan dari teori kontrol sosial).
• Sikap Para Gelandangan Terhadap perilaku Seks (Tinjauan dari teori differential
assosiation).
• Fenomena Inul Daratista Dalam Konteks Pornoaksi (Tinjauan dari teori Anomi)
• Analisis Terorisme Di Indonesia (Tinjauan dari teori konflik…).
• Ada Tommy Di Tenabang (Tinjauan dari teori funsionalisme R.K Merton)
• Kiprah Ustad Abu Ba’asir (Tinjauan dari teori labeling)
• Tawuran Antar Warga Masyarakat Desa Gabus Dan Dese Jatimulyo (Tinjauan
dari teori anomi R.K. Merton).
• Pemberian Release & Discharge (Tinjauan dari Teori Social Reality of Crime)
• Kejahatan Carding (Tinjauan Dari Teori Differential Association)
• Tindak Pidana Korupsi Yang Melibatkan Akbar Tanjung (Tinjauan Dari Teori
Labeling)
• Rudy Ramli Dalam Kasus Bank Bali (Tinjauan Dari Teori Differential
Association)
• Analisis Kasus Teluk Buyat Ditinjau Dari Teori Konflik.
• Kelompok Kapak Merah Ditinjau Dari Teori Differential Association.
• KKN H.M Soeharto Ditinjau Dari Teori Social Reality Of Crime.
• Pegawai Tengah Karier Sebagai Change Leader The Telkom Way 135 Menuju
Transformasi Customer Centric Company (Tinjauan dari teori pertukaran).