You are on page 1of 3

Bagaimana Perubahan Budaya Masyarakat Di Yogyakarta Berpengaruh Pada

Otoritas Kesultanan Yogyakarta


Oleh: Mirza Adrian NP
Pendahuluan

Di dalam RUU Keistimewaan Daerah Yogyakarta yang marak dibicarakan di media massa
baru-baru ini, terdapat sebuah kalimat di bagian penjelasan yang menyatakan bahwa “masyarakat
Yogyakarta kini memasuki sebuah fase baru yang ditandai oleh munculnya masyarakat berwajah
ganda (dual faces society). Di satu sisi, masyarakat tersusun secara hierarkhis mengikuti pola
hubungan patron-client di masa lalu, di sisi yang lain, memiliki corak horizontal yang kuat.” Hal ini
menyebabkan bergesernya otoritas kesultanan Yogyakarta dari yang tadinya memiliki otoritas
politik, menjadi sebuah badan yang hanya memiliki otoritas budaya dan menjadi ciri khas
keistimewaan Provinsi DI Yogyakarta. Akan tetapi, kebenaran dari pernyataan ini masih bisa
dipertanyakan.

Apakah perubahan masyarakat di Yogyakarta mempengaruhi otoritas Kesultanan dalam


masyarakat Yogyakarta? Di satu sisi, kita tidak bisa memungkiri bahwa perubahan budaya karena
globalisasi dan proses akulturasi lainnya telah menggeser posisi Keraton menjadi sekedar penjaga
nilai dan budaya masyarakat Yogyakarta. Namun di sisi lain, dapat dilihat bahwa Keraton
Yogyakarta tetap mempunyai pengaruh dan otoritas dalam masyarakat Yogyakarta sehingga
Keraton masih mempunyai kemampuan untuk menjaga ketertiban masyarakat Yogyakarta melalui
hukum dan peraturan, contohnya dalam. Esai ini mencoba untuk menelaah bagaimana perubahan
masyarakat Yogyakarta mempengaruhi posisi keraton sebagai sumber otoritas di dalam masyarakat
itu sendiri.

1. Kondisi Masyarakat Yogyakarta


1.1. Budaya masyarakat Yogyakarta kontemporer
1.2. Faktor-faktor pendorong dan penghambat perubahan budaya
2. Sudut Pandang Masyarakat Tentang Keraton
2.1. Keraton sebagai sumber otoritas politik
2.2. Keraton sebagai sumber otoritas kebatinan
2.3. Keraton sebagai penjaga nilai dan budaya
3. Peran Keraton Yogyakarta Dalam Masyarakat
3.1. Peran Keraton dalam ranah politik
3.2. Peran Keraton dalam ranah sosial dan budaya
4. Kesimpulan

1
1. Kondisi Masyarakat Yogyakarta
1.1. Budaya masyarakat Yogyakarta kontemporer

Definisi budaya berdasarkan KBBI adalah semua hasil karya dan pemikiran manusia.
Oleh karena itu dalam peninjauan, budaya dapat dibagi menjadi tiga aspek yaitu ideofak,
sosiofak, dan artefak. Ideofak berkaitan dengan pemikiran dan falsafah dasar kebudayaan,
sosiofak berkaitan dengan perilaku dan penerapan ideofak dalam kehidupan, dan artefak
merupakan hasil nyata dari sebuah kebudayaan yang dapat berupa barang, tarian, teks, atau
lagu. Ketiga bagian dari kebudayaan ini dapat dianalisis untuk mengetahui perubahan yang
terjadi dalam budaya yang dianut suatu masyarakat.

Yogyakarta dalam peta kebudayaan Jawa termasuk dalam wilayah kebudayaan


Nagarigung atau daerah pusat kerajaan. Dahulu, nilai-nilai budaya lahir dari dalam
lingkungan keraton sebagai dasar untuk bersikap dan berperilaku bagi masyarakat di
lingkungan tersebut. Hal ini menyebabkan masyarakat yang dekat dengan keraton mengenal
lebih dekat nilai-nilai budaya tersebut. Secara umum, dari hasil survey yang pernah dilakukan,
menunjukkan bahwa hingga kini sebagian besar masyarakat Yogyakarta masih memegang
teguh tradisi para pendahulu mereka, sehingga pemahaman mereka terhadap berbagai falsafah
hidup masih sangat kuat[ CITATION Gau03 \p 38 \l 1033 ]. Pemahaman ini ditunjukkan oleh
pemahaman mengenai lima hakekat pokok budaya Jawa yang disebutkan oleh
Koentjaraningrat. Di Yogyakarta, pemahaman mengenai hakekat tersebut adalah sebagai
berikut:

Tidak
Hakekat Pokok Paham
Paham
Hakekat Hidup 96.35% 3.65%
Hakekat Kerja 96.35% 3.65%
Hakekat Waktu 72.37% 27.63%
Hakekat Hubungan
100% 0%
Antarmanusia
Hakekat Hubungan
73.15% 26.85%
Manusia dan alam
Sumber: [ CITATION Gau03 \l 1033 ]

Dari tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa secara ideofak, budaya Jawa di Yogyakarta masih
terjaga dengan cukup baik, lebih baik dari daerah-daerah lain di Jawa. Hal ini disebabkan
adanya keterkaitan budaya antara masyarakat Yogyakarta dan keraton. Keraton di Yogyakarta
menjadi penjaga nilai dan budaya.

Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri, perubahan perilaku dan gaya hidup juga terjadi di
Yogyakarta terutama pada generasi muda. Pemahaman falsafah budaya belum tentu
2
diaplikasikan di kehidupan nyata. Salah satu contoh nyata adalah penggunaan bahasa dalam
kehidupan. Penggunaan bahasa ngoko ketimbang bahasa krama terhadap orang tua sudah
mulai dimaklumi dan menjadi hal yang wajar[ CITATION Gau03 \p 266 \l 1033 ]. Artinya,
interpretasi nilai-nilai kesopanan dan penghormatan sudah mulai berubah. Bentuk lain dari
perubahan perilaku adalah berubahnya hubungan sosial di dalam masyarakat. Hubungan
kekeluargaan di dalam masyarakat Yogyakarta sudah mulai berkurang akibat gaya hidup
modern yang mendorong orang untuk bersifat individualis. Pekerjaan yang menuntut orang
untuk bepergian mengurangi waktu yang tersedia untuk bersosialisasi dengan orang lain.
Beberapa orang bahkan tidak menyukai bersosialisasi[ CITATION Gau03 \p 268 \l 1033 ].
Hubungan antarmanusia sekarang bersifat lebih praktis dan orang-orang dapat menikmati
kebebasan individual, bebas dari kekangan komunal masyarakat. Selain itu, penggunaan
sistem kasta sudah hampir dihilangkan dalam kehidupan masyarakat Yogyakarta. Etika
penghormatan tradisional terhadap orang-orang berkasta tinggi seperti ningrat atau priyayi
tidak lagi penting bagi sebagian besar masyarakat Yogyakarta, walaupun menjadi darah biru
tetap menjadi kebanggaan dan status di dalam masyarakat. Dari perubahan-perubahan diatas,
dapat disimpulkan bahwa falsafah budaya Jawa di Yogyakarta tidak diterapkan di dalam
masyarakat. Artinya, secara sosiofak, budaya Jawa sudah mulai hilang dari masyarakat
Yogyakarta.

Perubahan di dalam masyarakat Yogyakarta telah menggeser nilai-nilai yang dahulu


dianut oleh masyarakat tersebut. Walaupun secara falsafah nilai-nilai ini dipahami banyak
orang, di dalam berperilaku, nilai-nilai ini tidak diterapkan sepenuhnya. Falsafah budaya Jawa
sudah menjadi sesuatu yang usang di dalam masyarakat Yogyakarta, sesuatu yang ada tetapi
tidak terpakai. Hal ini tentu berpengaruh pada peran dan posisi keraton di dalam masyarakat
Yogyakarta. Pandangan masyarakat berubah dari yang dahulu melihat keraton sebagai sumber
otoritas utama di masyarakat, sekarang melihat keraton menjadi cagar budaya yang harus
dilestarikan. Otoritas politik keraton tetap ada bukan karena pengakuan hirearki kesultanan
tetapi pengakuan hirearki pemerintahan Republik Indonesia. Keraton mempunyai otoritas
politik karena Sultan Hamengkubuwono X menjadi gubernur DI Yogyakarta bukan karena
beliau menjabat Sultan.

You might also like