You are on page 1of 23

Sejarah Pengadilan Agama

/ Pengadilan Tinggi Agama1


Oleh : Agus Jaya

Pendahuluan
Salah satu agenda nasional yang sejak masa sebelum reformasi hingga saat
ini banyak didengungkan adalah pembangunan hukum nasional, yang pasca era
reformasi banyak disebut dengan istilah reformasi hukum nasional. Sebelum
reformasi, pembangunan hukum nasional ditujukan terutama untuk melakukan
perubahan berbagai aturan hukum produk kolonial yang dipandang sudah tidak
sesuai lagi dengan perkembangan jaman dan kebutuhan pembangunan. Sedangkan
pada era reformasi, kebutuhan untuk melakukan reformasi hukum semakin kuat
dengan adanya perubahan UUD 1945 yang cukup mendasar dan mencakup
berbagai aspek sesuai dengan tuntutan perkembangan jaman, terutama
demokratisasi dan perlindungan terhadap hak aqasasi manusia. Kebutuhan tersebut
semakin mendesak demi terwujudnya konsolidasi hukum sebagai suatu sistem yang
banyak dilupakan karena euforia reformasi nasional.2
Dalam lingkungan nasional, pembangunan hukum nasional tentu harus
dilakukan secara koheren dengan politik hukum sesuai dengan UUD 1945 sebagai
hukum tertinggi. Selain itu, pembangunan hukum nasional juga dipengaruhi dan
harus memperhatikan tuntutan dan kepentingan masyarakat lokal
Nilai agama, adalah nilai yang sangat kuat dipegang dan dipatuhi oleh
bangsa Indonesia. Karena masyarakat Indonesia mayoritas memeluk agama Islam,
maka sudah lazim jika Islam memiliki peran dan posisi tersendiri dalam
pembangunan hukum nasional.3

1
Tugas Makalah Studi Islam Kawasan Nusantara, disampaikan pada seminar kelas,
Jurusan Sejarah Peadaban Islam, Prodi : Tafsir Hadits, semester II, Pasca Sarjana IAIN Raden Fatah,
Palembang Sumatera Selatan. Dosen pembimbing : Dr Nyimas Anisah Muhammad, MA.
2
Jimly Asshiddiqie, Hukum Islam dan Reformasi Hukum Nasional, makalah disampaikan
dalam seminar penelitian Hukum tentang Eksistensi Hukum Islam Dalam Reformasi Sistem Hukum
Nasional. Diselenggarakan oleh BPHN Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Jakarta 27
September 2000.
3
Ibid.

1
Dalam makalah ini Penulis paparkan gambaran tentang sejarah perjalanan
hukum Islam, sejak awal kedatangan agama ini ke bumi Indonesia hingga di era
reformasi ini.

Sejarah Hukum Islam di Indonesia


a. Awal Islam di Indonesia sampai awal awal 1800 M
Hukum Islam sebagai bagian tak terpisahkan dari ajaran agama Islam,
masuk dan menjadi bagian dari norma masyarakat sejak masuknya ajaran Islam
mulai abad I Hijriah atau abad 7-8 Miladiyah4. Sebagai gerbang masuk ke dalam
kawasan nusantara, kawasan utara pulau Sumatera-lah yang kemudian dijadikan
sebagai titik awal gerakan dakwah para pendatang muslim. Secara perlahan,
gerakan dakwah itu kemudian membentuk masyarakat Islam pertama di Peureulak,
Aceh Timur. Berkembangnya komunitas muslim di wilayah itu kemudian diikuti
oleh berdirinya kerajaan Islam pertama di Tanah air pada abad ketiga belas.
Kerajaan ini dikenal dengan nama Samudera Pasai. Ia terletak di wilayah Aceh
Utara.5 Bahkan Ibnu Batutah, pengembara Arab asal Maroko yang pada tahun 1345
M singgah di Samudera Pasai sempat berjumpa dengan Sultan al-Malik al-Zahir
yang sangat mahir dalam fiqh Mazhab Syafi’i. Pada masa VOC pernah
diperkenalkan hukum Belanda dan dibentuk lembaga peradilan yang juga berlaku
bagi bangsa Indonesia. Namun upaya ini gagal dan akhirnya lembaga-lembaga yang
hidup di masyarakat dibiarkan berjalan sebagaimana keadaan sebelumnya. Pada
tahun 1760 diterbitkan Compendium Freijer yang menghimpun hukum perkawinan
dan hukum kewarisan Islam yang berlaku di pengadilan untuk menyelesaikan
sengketa di kalangan umat Islam. Hukum Islam sebagai hukum yang hidup dalam
masyarakat tetap diakui pada masa VOC mulai tahun 1602 hingga tahun 1800.6

b. Mahkamah Syar’iyah pada Masa Penjajahan Belanda


4
Ibid
5
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam
di Indonesia, Paramadina, Jakarta Oktober, 1998
6
Jimly Asshidiqie,

2
Cikal bakal penjajahan Belanda terhadap kawasan nusantara dimulai dengan
kehadiran Organisasi Perdagangan Dagang Belanda di Hindia Timur, atau yang
lebih dikenal dengan VOC. Sebagai sebuah organisasi dagang, VOC dapat
dikatakan memiliki peran yang melebihi fungsinya. Hal ini sangat dimungkinkan
sebab Pemerintah Kerajaan Belanda memang menjadikan VOC sebagai
perpanjangan tangan di kawasan Hindia Timur. Karena itu disamping menjalankan
fungsi perdagangan, VOC juga mewakili Kerajaan Belanda dalam menjalankan
fungsi-fungsi pemerintahan. Tentu saja dengan menggunakan hukum Belanda yang
mereka bawa.
Dalam kenyataannya, penggunaan hukum Belanda itu menemukan
kesulitan. Ini disebabkan karena penduduk pribumi berat menerima hukum-hukum
yang asing bagi mereka. Akibatnya, VOC pun membebaskan penduduk pribumi
untuk menjalankan apa yang selama ini telah mereka jalankan.7
Kaitannya dengan hukum Islam, dapat dicatat beberapa “kompromi” yang
dilakukan oleh pihak VOC, yaitu:
1. Dalam Statuta Batavia yag ditetapkan pada tahun 1642 oleh VOC,
dinyatakan bahwa hukum kewarisan Islam berlaku bagi para pemeluk
agama Islam.
2. Adanya upaya kompilasi hukum kekeluargaan Islam yang telah berlaku di
tengah masyarakat. Upaya ini diselesaikan pada tahun 1760. Kompilasi ini
kemudian dikenal dengan Compendium Freijer.
3. Adanya upaya kompilasi serupa di berbagai wilayah lain, seperti di
Semarang, Cirebon, Gowa dan Bone.
Di Semarang, misalnya, hasil kompilasi itu dikenal dengan nama Kitab
Hukum Mogharraer (dari al-Muharrar). Namun kompilasi yang satu ini memiliki
kelebihan dibanding Compendium Freijer, dimana ia juga memuat kaidah-kaidah
hukum pidana Islam.8
Berakhirnya kekuasaan VOC digantikan oleh pemerintahan kolonial
Belanda. Pada masa kolonial Belanda, Hukum Islam mengalami pergeseran yang
semakin melemah. Pada awalnya telah dibentuk Pengadilan Agama tahun 1882
7
Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam hal 64-66
8
Ibid

3
yang wewenangnya meliputi masalah-masalah hukum perkawinan dan kewarisan
berdasarkan hukum Islam. Hal ini diikuti oleh kesimpulan penilitian Willem
Christian van den Berg yang menyatakan bahwa bangsa Indonesia telah menerima
sepenuhnya hukum Islam sebagai hukum yang mereka anut. Namun kesimpulan ini
ditentang oleh Christian Snouck Hurgronje yang melontarkan teori resepsi. Teori
resepsi ini memiliki pengaruh yang besar terhadap kebijakan pemerintahan kolonial
Belanda. Pada tanggal 1 April 1937 diterbitkan ketentuan yang mencabut
wewenang Pengadilan Agama di Jawa dan Madura untuk menyelesaikan perkara
kewarisan. Kedudukan Pengadilan Agama selanjutnya diletakkan di bawah
pengawasan Pengadilan Negeri. Keputusan Pengadilan Agama hanya dapat
dieksekusi jika telah mendapatkan persetujuan dari pengadilan negeri (executoire
verklaring).9
Belanda berusaha keras mencengkramkan kuku-kuku kekuasaannya di
Indonesia dengan menghilangkan hukum Islam, Namun upaya itu menemui
kesulitan akibat adanya perbedaan agama antara sang penjajah dengan rakyat
jajahannya, khususnya umat Islam yang mengenal konsep dar al-Islam dan dar al-
harb. Itulah sebabnya, Pemerintah Belanda mengupayakan ragam cara untuk
menyelesaikan masalah itu. Diantaranya :
1. menyebarkan agama Kristen kepada rakyat pribumi
2. membatasi keberlakuan hukum Islam hanya pada aspek-aspek batiniah
(spiritual) saja.10
Secara kronologis upaya pembatasan pemberlakuan hukum Islam oleh
Pemerintah Hindia Belanda adalah sebagai berikut:
1. Pada pertengahan abad 19, Pemerintah Hindia Belanda melaksanakan
Politik Hukum yang Sadar; yaitu kebijakan yang secara sadar ingin
menata kembali dan mengubah kehidupan hukum di Indonesia dengan
hukum Belanda.11
2. Atas dasar nota disampaikan oleh Mr. Scholten van Oud Haarlem,
Pemerintah Belanda menginstruksikan penggunaan undang-undang

9
Jimly Assidiqie
10
Ramly Hutubarat, Kedudukan Hukum..., hal 67-68
11
Ibid, hal 68

4
agama, lembaga-lembaga dan kebiasaan pribumi dalam hal persengketaan
yang terjadi di antara mereka, selama tidak bertentangan dengan asas
kepatutan dan keadilan yang diakui umum. Klausa terakhir ini kemudian
menempatkan hukum Islam di bawah subordinasi dari hukum Belanda.12
3. Atas dasar teori resepsi yang dikeluarkan oleh Snouck Hurgronje,
Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1922 kemudian membentuk
komisi untuk meninjau ulang wewenang pengadilan agama di Jawa dalam
memeriksa kasus-kasus kewarisan (dengan alasan, ia belum diterima oleh
hukum adat setempat).13
4. Pada tahun 1925, dilakukan perubahan terhadap Pasal 134 ayat 2 Indische
Staatsregeling (yang isinya sama dengan Pasal 78 Regerringsreglement),
yang intinya perkara perdata sesama muslim akan diselesaikan dengan
hakim agama Islam jika hal itu telah diterima oleh hukum adat dan tidak
ditentukan lain oleh sesuatu ordonasi.14
Lemahnya posisi hukum Islam ini terus terjadi hingga menjelang
berakhirnya kekuasaan Hindia Belanda di wilayah Indonesia pada tahun 1942.

Kronologis pembatasan
Hukum Islam oleh
Hindia Belanda

12
Ibid, hal 68-70
13
Ibid, hal 70
14
Ibid, hal 72

5
Pertengahan abad 19
Kebijakan scr sadar untuk
mengubah hukum yang
ada menjadi hukum
Belanda

Belanda menginstruksikan
penggunaan undang-undang
agama, lembaga-lembaga dan
kebiasaan pribumi dalam hal
persengketaan yang terjadi di
antara mereka, selama tidak
bertentangan dengan asas
kepatutan dan keadilan yang
diakui umum.

1922 Belanda membentuk


komisi untuk meninjau ulang
wewenang pengadilan agama di
Jawa dalam memeriksa kasus-
kasus kewarisan (dengan
alasan, ia belum diterima oleh
hukum adat setempat).

Tahun 1925 perkara perdata


sesama muslim akan
diselesaikan dengan hakim
agama Islam jika hal itu telah
diterima oleh hukum adat

Bagi Kota Palembang sendiri sebagai Ibukota Propinsi Sumatera Selatan,


semenjak masa Kesultanan Palembang telah ada wewenang untuk mengadili
perkara perdata bagi umat Islam, hal ini disebut dengan NATA GAMA
sebagaimana yang ditulis oleh De Ro De La Faile, seorang anggota Raad Van Indie
dalam bukunya Dari Kesultanan Palembang, pimpinan pengadilan tersebut berada
di tangan Hakim Syar’iyah yang memeriksa dan memutuskan perkara atas nama
Sultan.

6
Pangeran Penghulu bertindak pula sebagai penasehat syar’iyah (hukum
Islam) dan juru sumpah do LANDRAAD (Pengedilan Negeri) dengan mempunyai
hak penuh bersuara dan memberikan pertimbangan secara hukum Islambila
diperlukan. Adapun tugas-tugas Pangeran Penghulu sebagai berikut :
1. Urusan nikah, tolak, rujuk (NTR), warits, Wakaf umum, pengajaran Agama
Islam.
2. Menetapkan awal Romadhan dan Syawwal (dengan membunyikan meriam)
sebagai tanda akan dimulainya puasa atau hari raya.
3. mengangkat penghulu-penghulu, khatib sekaligus dengan bisluitnya
4. menerima laporan dari penghulu-penghulu yang berada dalam wilayah
kekuasaannya menyangkut masalah zakat mal, zakat fitrah, kelahiran dan
kematian, kawin lari, dll. Dan untuk putusan Pangeran Penghulu sifatnya
tetap dan tidak bisa dimintakan banding.15
Keadaan ini cukp lama berlangsung serta berpengaruh besar terhadap
perkembangan agama Islam di kota Palembang dan sekirtarnya. Tetapi setelah
masknya kekuasaan Belanda di Palembang, maka kedudukan Hakim Syar’i
diperkecil dan dibatasi kekuasaannya lalu kemudian dirubah menjadi kekuasaan
Pangeran Penghulu. Kekuasaan Pangeran Penghulu inipun berangsur-angsur
ditekan. Ketika pengarh dan kekuasaan Belanda di Palembang semakin kuat
pangeran Penghulu kemudian dihapus kemudian sebagai gantinya dibentuklah
RAAD yang disebut RAAD AGAMA yang kemudian diketuai oleh Hoofd
Penghulu yang berada dibawah lingkungan kekuasaan LANDRAAD. Kemudian
mulailah diberlakkan hukum adat di RAAD AGAMA dengan Simbr Cahya sebagai
kitab hukumnya. Selanjutnya hak untuk mengangkat Hoofd Penghulu, anggota
RAAD AGAMA berada pada pemerintah Hinia Belanda, dengan wewenang yang
dipersempit, yaitu:
1. Mengurus nikah, tolak dan ruju’ (NTR)
2. Menetapkan awal Romadhon dan Syawwal.16

15
Pengadilan Tinggi Agama Palembang, Penyusunan naskah buku Yuridiksi dalam
wilayah Pengadilan Tinggi Agama Palembang Palembang : 2007, hal. 3
16
Idem, hal 4

7
Gambaran kejadian diatas terjadi merata diseluruh Indonesia, fenomena ini
semakin mempersempit gerakan umat Islam, dimana peraturan yang diberlakukan
selalu berpihak kepada kepentingan penjajahan yang secara logis mayoritas
menyimpang dari hukum islam.

Mahkamah Syar’iyah pada Masa Pendudukan Jepang


Setelah Jendral Ter Poorten menyatakan menyerah tanpa syarat kepada
panglima militer Jepang untuk kawasan Selatan pada tanggal 8 Maret 1942, segera
Pemerintah Jepang mengeluarkan berbagai peraturan. Salah satu diantaranya adalah
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942, yang menegaskan bahwa Pemerintah Jepag
meneruskan segala kekuasaan yang sebelumnya dipegang oleh Gubernur Jendral
Hindia Belanda. Ketetapan baru ini tentu saja berimplikasi pada tetapnya posisi
keberlakuan hukum Islam sebagaimana kondisi terakhirnya di masa pendudukan
Belanda.17
Meskipun demikian, Pemerintah Pendudukan Jepang tetap melakukan
berbagai kebijakan untuk menarik simpati umat Islam di Indonesia. Diantaranya
adalah:
1. Janji Panglima Militer Jepang untuk melindungi dan memajukan Islam
sebagai agama mayoritas penduduk pulau Jawa.
2. Mendirikan Shumubu (Kantor Urusan Agama Islam) yang dipimpin oleh
bangsa Indonesia sendiri.
3. Mengizinkan berdirinya ormas Islam, seperti Muhammadiyah dan NU.
4. Menyetujui berdirinya Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) pada
bulan oktober 1943.[12]
5. Menyetujui berdirinya Hizbullah sebagai pasukan cadangan yang
mendampingi berdirinya PETA.
6. Berupaya memenuhi desakan para tokoh Islam untuk mengembalikan
kewenangan Pengadilan Agama

17
Ramly Hutubarat, Kedudukan Hukum Islam ...hal 76

8
Dengan demikian, nyaris tidak ada perubahan berarti bagi posisi hukum
Islam selama masa pendudukan Jepang di Tanah air. Namun bagaimanapun juga,
masa pendudukan Jepang lebih baik daripada Belanda dari sisi adanya pengalaman
baru bagi para pemimpin Islam dalam mengatur masalah-masalah keagamaan.
Abikusno Tjokrosujoso menyatakan bahwa,
Kebijakan pemerintah Belanda telah memperlemah posisi Islam. Islam tidak
memiliki para pegawai di bidang agama yang terlatih di masjid-masjid atau
pengadilan-pengadilan Islam. Belanda menjalankan kebijakan politik yang
memperlemah posisi Islam. Ketika pasukan Jepang datang, mereka menyadari
bahwa Islam adalah suatu kekuatan di Indonesia yang dapat dimanfaatkan.18
Melihat kesempatan ini, umat Islam Indonesia bangkit untuk kembali
membentuk Mahkamah Syar’iyah walau dengan bentuk yang sangat sederhana.
Masa ini tidak berlangsung lama, sehingga belum terjadi perubahan yang
signifikan. Walaupun demikian ada beberapa daerah di Sumatera yang telah
berhasil mendirikan kembali Mahkamah Syar’iyah dan mampu bertahan sampai era
kekerdekaan.19

Mahkamah Syar’iyah pada Masa Kemerdekaan (1945)


Meskipun Pendudukan Jepang memberikan banyak pengalaman baru
kepada para pemuka Islam Indonesia, namun pada akhirnya, seiring dengan
semakin lemahnya langkah strategis Jepang memenangkan perang –yang kemudian
membuat mereka membuka lebar jalan untuk kemerdekaan Indonesia-, Jepang
mulai mengubah arah kebijakannya. Mereka mulai “melirik” dan memberi
dukungan kepada para tokoh-tokoh nasionalis Indonesia. Dalam hal ini, nampaknya
Jepang lebih mempercayai kelompok nasionalis untuk memimpin Indonesia masa
depan. Maka tidak mengherankan jika beberapa badan dan komite negara, seperti
Dewan Penasehat (Sanyo Kaigi) dan BPUPKI (Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai)
kemudian diserahkan kepada kubu nasionalis. Hingga Mei 1945, komite yang
terdiri dari 62 orang ini, paling hanya 11 diantaranya yang mewakili kelompok

18
Daniel S. Lev, Islamic Courts in Indonesia, hal 34, dinukil oleh Bakhtia Effendy, Islam
dan Negara, hal 83
19
Pengadilan Tinggi Agama Palembang, Penyusunan naskah..., hal 5

9
Islam.[15] Atas dasar itulah, Ramly Hutabarat menyatakan bahwa BPUPKI
“bukanlah badan yang dibentuk atas dasar pemilihan yang demokratis, meskipun
Soekarno dan Mohammad Hatta berusaha agar aggota badan ini cukup representatif
mewakili berbagai golongan dalam masyarakat Indonesia”.20
Perdebatan panjang tentang dasar negara di BPUPKI kemudian berakhir
dengan lahirnya apa yang disebut dengan Piagam Jakarta. Kalimat kompromi paling
penting Piagam Jakarta terutama ada pada kalimat “Negara berdasar atas Ketuhanan
dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Menurut
Muhammad Yamin kalimat ini menjadikan Indonesia merdeka bukan sebagai
negara sekuler dan bukan pula negara Islam.21
Dengan rumusan semacam ini sesungguhnya lahir sebuah implikasi yang
mengharuskan adanya pembentukan undang-undang untuk melaksanakan Syariat
Islam bagi para pemeluknya. Tetapi rumusan kompromis Piagam Jakarta itu
akhirnya gagal ditetapkan saat akan disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh
PPKI.
Penyebab kegagalan Piagam Jakarta tersebut dikarenakan keberatan
golongan Kristen di Indonesia Timur yang memilih integrasi dari Indonesia jika
tetap piagam
Bagaimanapun pada masa kemerdekaan aktualisasi hukum Islam mulai
mendapatkan tempat dalam hukum nasional. Masalah dasar negara dan kewajiban
menjalankan syari’at Islam bagi umat Islam merupakan salah satu masalah
mendasar yang dibahas mulai dari perumusan UUD 1945 hingga perumusan
konstitusi oleh Konstituante. Bahkan perdebatan pelaksanaan hukum Islam masih
tetap berlanjut hingga saat ini.22
Aktualisasi hukum Islam adalah bagian dari proses pembangunan hukum
nasional. Aktualisasi hukum Islam dapat dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu
upaya pemberlakuan hukum Islam dengan pembentukan peraturan hukum tertentu
yang berlaku khusus bagi umat Islam, dan upaya menjadikan Syari’at Islam dan
Fiqh sebagai sumber hukum bagi penyusunan hukum nasional.23
20
Ramly Hutubarat, Kedudukan Hukum Islam…, hal 85
21
Ibid, hal 89-90
22
Jimly Assidiqie
23
ibid

10
Di sisi lain, setahun setelah kemerdekaan Indonesia, tepatnya tanggal 1
Agustus 1946 terjadilah peristiwa penting bagi umat Islam yaitu terbentuknya
Mahkamah Syar’iyah Keresidenan Palembang24 yang daerah kekuasaanya meliputi
kota Palembang dan Mahkamah Syar’iyah Teluk Betung25 dan menjelang
terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia 1950 dibentuklah Pengadilan
Agama Propinsi26 yang berkantor di Jalan Diponegoro No. 19 Palembang dengan
ketua K.H. Abu Bakar Bastary.
Walaupun pada akhirnya, di periode ini, status hukum Islam tetaplah samar-
samar. Isa Ashary mengatakan, Kejadian mencolok mata sejarah ini dirasakan oleh
umat Islam sebagai suatu ‘permainan sulap’ yang masih diliputi kabut rahasia suatu
politik pengepungan kepada cita-cita umat Islam.27

Mahkamah Syar’iah Masa Kemerdekaan Priode Revolusi hingga keluarnya


dekrit Presiden 5 Juli 1950
Selama hampir lima tahun setelah proklamasi kemerdekaan, Indonesia
memasuki masa-masa revolusi (1945-1950). Menyusul kekalahan Jepang oleh
tentara-tentara sekutu, Belanda ingin kembali menduduki kepulauan Nusantara.
Dari beberapa pertempuran, Belanda berhasil menguasai beberapa wilayah
Indonesia, dimana ia kemudian mendirikan negara-negara kecil yang dimaksudkan
untuk mengepung Republik Indonesia. Berbagai perundingan dan perjanjian
kemudian dilakukan, hingga akhirnya tidak lama setelah Linggarjati, lahirlah apa
yang disebut dengan Konstitusi Indonesia Serikat pada tanggal 27 Desember 1949.
Dengan berlakunya Konstitusi RIS tersebut, maka UUD 1945 dinyatakan
berlaku sebagai konstitusi Republik Indonesia -yang merupakan satu dari 16 bagian
negara Republik Indonesia Serikat-. Konstitusi RIS sendiri jika ditelaah, sangat sulit
untuk dikatakan sebagai konstitusi yang menampung aspirasi hukum Islam.
Mukaddimah Konstitusi ini misalnya, samasekali tidak menegaskan posisi hukum
Islam sebagaimana rancangan UUD’45 yang disepakati oleh BPUPKI. Demikian

24
Kini Pengadilan Agama Kota Palembang
25
Kini Pengadilan Agama Tanjung Karang
26
Saat itu belum merupakan pengaddilan tingkat banding
27
Risalah Perundingan 1957, tanpa tempat, Konstituante Republik Indonesia, tanpa
tahun, hal 325, dinukil dari Bakhtiar Effendy, Islam dan Negara, hal 91

11
pula dengan batang tubuhnya, yang bahkan dipengaruhi oleh faham liberal yang
berkembang di Amerika dan Eropa Barat, serta rumusan Deklarasi HAM versi
PBB.28
Pada awal tahun 1950 negara bagian RIS hanya tersisa tiga negara saja yaitu
: RI, negara Sumatera Timur, dan negara Indonesia Timur, Muhammad Natsir
sebagai salah seorang tokoh umat Islam mengajukan ide yang kemudian dikenal
sebagai “Mosi Integral Natsir” sebagai upaya untuk melebur ketiga negara bagian
tersebut. Akhirnya, pada tanggal 19 Mei 1950, semuanya sepakat membentuk
kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Proklamasi 1945. Dan
dengan demikian, Konstitusi RIS dinyatakan tidak berlaku, digantikan dengan UUD
Sementara 1950. Akan tetapi, jika dikaitkan dengan hukum Islam, perubahan ini
tidaklah membawa dampak yang signifikan. Sebab ketidakjelasan posisinya masih
ditemukan, baik dalam Mukaddimah maupun batang tubuh UUD Sementara 1950.

Peluang Hukum Islam dalam UUDS 1950


Kelebihan Undang-undang Sementara 1950 dalam memberikan peluang
kepada Hukum Islam hanya terdapat pada 3 aspek, yaitu :
1. Pasal 34 yang rumusannya sama dengan pasal 29 UUD 1945, bahwa
“Negara berdasar Ketuhanan yang Maha Esa” dan Jaminan negara terhadap
kebebasan setiap penduduk menjalankan agamanya masing-masing.
2. Pasal 43 yang menunjukkan keterlibatan negara dalam urusan-urusan
keagamaan.29
3. UUD Sementara 1950 membuka peluang untuk merumuskan hukum Islam
dalam wujud peraturan dan undang-undang.
Peluang inipun sempat dimanfaatkan oleh wakil-wakil umat Islam saat
mengajukan rancangan undang-undang tentang Perkawinan Umat Islam pada tahun
1954. Meskipun upaya ini kemudian gagal akibat “hadangan” kaum nasionalis yang
juga mengajukan rancangan undang-undang Perkawinan Nasional.30 Dan setelah
itu, semua tokoh politik kemudian nyaris tidak lagi memikirkan pembuatan materi

28
Ramly Hutabara, Kedudukan Hukum Islam, hal 103
29
Ibid, hal 110-111
30
Ibid, hal 113

12
undang-undang baru, karena konsentrasi mereka tertuju pada bagaimana mengganti
UUD Sementara 1950 itu dengan undang-undang yang bersifat tetap.[24]
Perjuangan mengganti UUD Sementara itu kemudian diwujudkan dalam
Pemilihan Umum untuk memilih dan membentuk Majlis Konstituante pada akhir
tahun 1955. Majlis yang terdiri dari 514 orang itu kemudian dilantik oleh Presiden
Soekarno pada 10 November 1956. Namun delapan bulan sebelum batas akhir masa
kerjanya, Majlis ini dibubarkan melalui Dekrit Presiden yang dikeluarkan pada
tanggal 5 Juli 1959. Hal penting terkait dengan hukum Islam dalam peristiwa Dekrit
ini adalah konsiderannya yang menyatakan bahwa “Piagam Jakarta tertanggal 22
Juni menjiwai UUD 1945” dan merupakan “suatu kesatuan dengan konstitusi
tersebut”. Hal ini tentu saja mengangkat dan memperjelas posisi hukum Islam
dalam UUD, bahkan –menurut Anwar Harjono- lebih dari sekedar sebuah
“dokumen historis”.31
Hal lain yang patut dicatat pada fase ini adalah terjadinya beberapa
pemberontakan yang diantaranya “bernuansakan” Islam. Yang paling fenomenal
adalah gerakan DI/TII yang dipelopori oleh Kartosuwirjo dari Jawa Barat.
Kartosuwirjo sesungguhnya telah memproklamirkan negara Islam-nya pada tanggal
14 Agustus 1945, atau dua hari sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia pada
17 Agustus 1945. Namun ia melepaskan aspirasinya untuk kemudian bergabung
dengan Republik Indonesia. Tetapi ketika kontrol RI terhadap wilayahnya semakin
merosot akibat agresi Belanda, terutama setelah diproklamirkannya negara-boneka
Pasundan di bawah kontrol Belanda, ia pun memproklamirkan berdirinya Negara
Islam Indonesia pada tahun 1948. Namun pemicu konflik yang berakhir di tahun
1962 dan mencatat 25.000 korban tewas itu, menurut sebagian peneliti, lebih
banyak diakibatkan oleh kekecewaan Kartosuwirjo terhadap strategi para pemimpin
pusat dalam mempertahankan diri dari upaya pendudukan Belanda kembali, dan
bukan atas dasar apa yang mereka sebut dengan- “kesadaran teologis-politis”nya.32
Setelah beberapa tahun Pengadilan Agama diluar Jawa mengalami
kebekuan, maka Pemerintah Indonesia waktu itu memandang perlu untuk

31
Ibid, hal 131-133
32
Karl. D. Jackson, Traditional Authority, Islam and Rebellion, Hal 10, dikutip oleh
Bakhtiar Effendy, Islam dan Negara, hal 96-97

13
membentuk dengan segera Pengadilan Agama untuk daerah luar Jawa-Madura, hal
ini diwujudkan dengan mengeluarkan suatu peraturan yang mengacu kepada UUDS
pasal 98 dan UU darurat no.1 tahun 1951, pasal 1 ayat 4.
Sebagai realisasinya, pada tanggal 9 Oktober 1957 diundangkanlah PP. No
45 tahun 1957 (LN. 1957-99) tertanggal 5 Oktober 1957 tentang pembentukan
Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah di luar Jawa-Madura.
Sebagai tindak lanjut pemerintah, Cq. Menteri Agama telah mengeluarkan
Penetapan no. 58 tahun 1957 tertanggal 13 Nopember 1957 tentang Pembentukan
Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah di Sumatera, yang pada point 4 angka
huruf A.4 telah membentuk Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah Propindsi
yang berkeddkan di Palembang yang merupakan Pengadilan tingkat banding
dengan mewilayahi seluruh Propinsi Sumatera Selatan, lampung dan Bengkulu.33
Dengan keluarnya Surat Keputusan Menteri Agama Nomor : B/VI/d/359
tertanggal 27 Januari 1958, diangkatlah untuk pertama kalinya K.H. Abu Bakar
Bastary sebagai Ketua Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah Propinsi di
Palembang dan Adnan Dinah sebagai Panitera Kepala yang sebelumnya sebagai
Panitera Pengadilan Negeri. Pengadilan Agama tersebut berlokasi di Jalan
Dipenogoro, no 19 Palembang dengan luas 3x4 M yang menumpang pada kantor
Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah Palembang.

Mahkamah Syar’iyah Era Orde Lama


Mungkin tidak terlalu keliru jika dikatakan bahwa Orde Lama adalah eranya
kaum nasionalis dan komunis. Sementara kaum muslim di era ini tertutup untuk
memperjuangkan cita-citanya. Salah satu partai yang mewakili aspirasi umat Islam
kala itu, Masyumi harus dibubarkan pada tanggal 15 Agustus 1960 oleh Soekarno,
dengan alasan tokoh-tokohnya terlibat pemberontakan (PRRI di Sumatera Barat).
Sementara NU bersama dengan PKI dan PNI34 kemudian menyusun komposisi
DPR Gotong Royong yang berjiwa Nasakom. Berdasarkan itu, terbentuklah MPRS
33
waktu itu Lampng dan Bengkulumasih merupakan keresidenan dan masih termasuk
wilayah Propinsi Sumatera Selatan.
34
Masing-masing diwakili oleh Idham Chalid (NU), D.N. Aidit (PKI) dan Suwiryo
(PNI).

14
yang kemudian menghasilkan dua ketetapan; salah satunya adalah tentang upaya
unifikasi hukum yang harus memperhatikan kenyataan-kenyataan umum yang
hidup di Indonesia.35
Meskipun hukum Islam adalah salah satu kenyataan umum yang selama ini
hidup di Indonesia, dan atas dasar itu Tap MPRS tersebut membuka peluang untuk
memposisikan hukum Islam sebagaimana mestinya, namun lagi-lagi ketidakjelasan
batasan “perhatian” itu membuat hal ini semakin kabur. Dan peran hukum Islam di
era inipun kembali tidak mendapatkan tempat yang semestinya.

Mahkamah Syar’iah Era Orde Baru


Menyusul gagalnya kudeta PKI pada 1965 dan berkuasanya Orde Baru,
banyak pemimpin Islam Indonesia yang sempat menaruh harapan besar dalam
upaya politik mereka mendudukkan Islam sebagaimana mestinya dalam tatanan
politik maupun hukum di Indonesia. Apalagi kemudian Orde Baru membebaskan
bekas tokoh-tokoh Masyumi yang sebelumnya dipenjara oleh Soekarno. Namun
segera saja, Orde ini menegaskan perannya sebagai pembela Pancasila dan UUD
1945. Bahkan di awal 1967, Soeharto menegaskan bahwa militer tidak akan
menyetujui upaya rehabilitasi kembali partai Masyumi.36 Lalu bagaimana dengan
hukum Islam?
Meskipun kedudukan hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum
nasional tidak begitu tegas di masa awal Orde ini, namun upaya-upaya untuk
mempertegasnya tetap terus dilakukan. Hal ini ditunjukkan oleh K.H. Mohammad
Dahlan, seorang menteri agama dari kalangan NU, yang mencoba mengajukan
Rancangan Undang-undang Perkawinan Umat Islam dengan dukungan kuat fraksi-
fraksi Islam di DPR-GR. Meskipun gagal, upaya ini kemudian dilanjutkan dengan
mengajukan rancangan hukum formil yang mengatur lembaga peradilan di
Indonesia pada tahun 1970

Aktualisasi Hukum Islam secara Sistematis dan Aflikatif

35
Ramly Hutabat, Kedudukan Hukum Islam, hal 140-141
36
Bakhtiar Effendy, Islam dan Negara, hal. 111-112

15
Melihat fenomena perkembangan Hukum Islam maka aktualisasi hukum
Islam harus dilakukan secara sistemik dan dengan tindakan-tindakan nyata.
Aktualisasi hukum Islam tidak cukup, bahkan akan merugikan, jika dilakukan
sekedar sebagai aksi politik yang mengkampanyekan tuntutan pemberlakuan
Syari’at Islam. Syari’at Islam, sebagaimana telah diuraikan, adalah jalan hidup yang
menjadi sumber rujukan. Salah satu masalah yang dihadapi dalam upaya aktualisasi
hukum Islam adalah belum adanya konsepsi yang jelas tentang materi hukum yang
harus diaktualisasikan dalam hukum nasional, baik yang berlaku khusus bagi umat
Islam maupun yang berlaku secara umum.
Agar proses aktualisasi hukum Islam dapat dilakukan dengan baik beberapa
masalah yang harus diselesaikan adalah;
pertama, harus terdapat kesadaran bahwa aktualisasi hukum Islam tidak
dapat dilaksanakan hanya dengan pernyataan politik bahwa Syari’at Islam berlaku
bagi umat Islam di Indonesia, sebab pernyataan ini adalah pengulangan tanpa
makna. Walaupun tidak ada pengakuan negara, Syari’at Islam sebagai jalan hidup
memang berlaku bagi umat Islam.
Kedua, pembahasan pada tataran filsafat hukum Islam diperlukan untuk
merumuskan prinsip-prinsip hukum sebagai acuan dalam pengembangan sistem
hukum nasional secara keseluruhan.
Ketiga, harus dilakukan pembahasan berdasarkan prinsip hirarki makna dan
elaborasi Syari’at Islam dan kaidah fiqh untuk menentukan masalah-masalah hukum
yang harus diatur dan ditegakkan oleh penguasa dan yang merupakan urusan
pribadi umat Islam.
Keempat, terhadap masalah-masalah hukum yang harus diatur dan
ditegakkan oleh penguasa, harus dipilah-pilah mana yang berlaku khusus bagi umat
Islam dan mana yang dapat diberlakukan secara umum sebagai hukum nasional
yang tentu saja harus sesuai atau minimal tidak boleh bertentangan dengan norma
dan kesadaran hukum masyarakat, termasuk norma agama.

Era Pelembagaan.

16
Upaya pengajuan Rancangan Undang-undang Perkawinan Umat Islam ini
kemudian membuahkan hasil dengan lahirnya UU No.14/1970, yang mengakui
Pengadilan Agama sebagai salah satu badan peradilan yang berinduk pada
Mahkamah Agung. Dengan UU ini, dengan sendirinya hukum Islam telah berlaku
secara langsung sebagai hukum yang berdiri sendiri.37
Penegasan terhadap berlakunya hukum Islam semakin jelas ketika UU no.
14 Tahun 1989 tentang peradilan agama ditetapkan.38 Hal ini kemudian disusul
dengan usaha-usaha intensif untuk mengompilasikan hukum Islam di bidang-bidang
tertentu. Dan upaya ini membuahkan hasil saat pada bulan Februari 1988, Soeharto
sebagai presiden menerima hasil kompilasi itu, dan menginstruksikan
penyebarluasannya kepada Menteri Agama.39
Kompilasi dimaksud terbagi menjadi tiga bagian yaitu ;
1. Tentang hukum perkawinan
2. Tentang Hukum Kewarisan
3. Tentang Hukum Perwakafan

Dasar Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama


Dasar Pengadilan Agama dan Pengadilan tinggi Agama adalah UNDANG-
UNDANG (UU) Nomor: 7 tahun 1989 (7/1989) Tanggal: 29 desember 1989
(jakarta)Tentang: peradilan agama dengan Indeks: Agama, Kehakiman, Peradilan,
Perkawinan, Perceraian, Warisan dan Warganegara.
Pasal 1
1. Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam
2. Pengadilan adalah Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama di
lingkungan Peradilan Agama.
3. Hakim adalah Hakim pada Pengadilan Agama dan Hakim pada
Pengadilan Tinggi Agama.
4. Pegawai Pencatat Nikah adalah Pegawai Pencatat Nikah pada Kantor
Urusan Agama

37
Ramly Hutubarat, hal 153
38
Ramli Hutubarat, hal 163-164
39
Ramli Hutubarat, hal 156-157,

17
5. Juru Sita dan atau Juru Sita Pengganti adalah Juru Sita dan atau Juru Sita
Pengganti pada Pengadilan Agama.
Pasal 2
Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat
pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang
diatur dalam Undang-undang ini.
Pasal 3
1. Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Agama dilaksanakan oleh:
a. Pengadilan Agama;
b. Pengadilan Tinggi Agama.
2. Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Agama berpuncak pada
Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi.
Pasal 4
1. Pengadilan Agama berkedudukan di kotamadya atau di ibu kota kabupaten,
dan daerah hukumnya meliputi wilayah kotamadya atau kabupaten.
2. Pengadilan Tinggi Agama berkedudukan di Ibukota propinsi, dan daerah
hukumnya meliputi wilayah Propinsi.
Pasal 6
Pengadilan terdiri dari :
1. Pengadilan Agama, yang merupakan Pengadilan Tingkat Pertama;
2. Pengadilan Tinggi Agama, yang merupakan Pengadilan Tingkat Banding.
Pasal 7
Pengadilan Agama dibentuk dengan Keputusan Presiden.
Pengadilan Tinggi Agama dibentuk dengan Undang-undang
Pasal 9
1. Susunan Pengadilan Agama terdiri dari Pimpinan, Hakim Anggota, Panitera,
Sekretaris, dan Juru Sita.
2. Susunan Pengadilan Tinggi Agama terdiri dari Pimpinan, Hakim Anggota,
Panitera, dan Sekretaris.
Pasal 49

18
1. Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam di bidang:
a. perkawinan;
b.kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam;
c. wakaf dan shadaqah.
2. Bidang perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a
ialah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai
perkawinan yang berlaku.
3. Bidang kewarisan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf b ialah
penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta
peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan
melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut.

Hukum Islam Era Reformasi


Gemuruh demokrasi dan kebebasan bergemuruh di seluruh pelosok
Indonesia. Setelah melalui perjalanan yang panjang, di era ini setidaknya hukum
Islam mulai menempati posisinya secara perlahan tapi pasti. Lahirnya Ketetapan
MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan
Perundang-undangan semakin membuka peluang lahirnya aturan undang-undang
yang berlandaskan hukum Islam. Terutama pada Pasal 2 ayat 7 yang menegaskan
ditampungnya peraturan daerah yang didasarkan pada kondisi khusus dari suatu
daerah di Indonesia, dan bahwa peraturan itu dapat mengesampingkan berlakunya
suatu peraturan yang bersifat umum.40
Lebih dari itu, disamping peluang yang semakin jelas, upaya kongkrit
merealisasikan hukum Islam dalam wujud undang-undang dan peraturan telah
membuahkan hasil yang nyata di era ini. Salah satu buktinya adalah Undang-
undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Qanun Propinsi Nangroe Aceh Darussalam
tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Nomor 11 Tahun 2002.

40
Jimly Assidiqie, Hukum Islam dan Reformasi Hukum Nasional,

19
Dengan demikian, di era reformasi ini, terbuka peluang yang luas bagi
sistem hukum Islam untuk memperkaya khazanah tradisi hukum di Indonesia. Kita
dapat melakukan langkah-langkah pembaruan, dan bahkan pembentukan hukum
baru yang bersumber dan berlandaskan sistem hukum Islam, untuk kemudian
dijadikan sebagai norma hukum positif yang berlaku dalam hukum Nasional kita.41

Sejarah Mahkamah
Syar’iyah/
Pengadilan Agama
Di Indonesia

Priode awal Islam Menjadi bagian yang


di Indonesia menyatu dalam
sampai awal awal masyarakat
1800 M

Hukum Islam Hukum Islam


pada Masa mengalami
Penjajahan Belanda pergeseran yang
semakin melemah

Hukum Islam Tidak ada


pada Masa perubahan berarti
Penjajahan Jepang

Mulai mendapatkan
Hukum Islam tempat dalam
pada Masa hukum nasional,
Kemerdekaan
41
tapi belum dalam
Jimly Assidiqie, Hukum Islam …
(1945) tahap aflikasi

20
Priode Revolusi Perubahan ini
hingga keluarnya tidaklah membawa
dekrit Presiden 5 Juli dampak
1950 yang signifikan

Peran hukum Islam


Hukum Islam di kembali tidak
Era Orde Lama mendapatkan
tempat yang

Proses dan awal


Hukum Islam mula pelembagaan
Era Orde Baru pengadilan Agama

(UU) Nomor: 7 tahun


Era 1989, menjelaskan
Pelembagaan diakuinya Pengadilan
Agama

Hukum Islam Hukum Islam mulai


Era Reformasi menempati
posisinya
Penutup
Proses “pengakraban” bangsa ini dengan Pengadilan Agama dan Pengadilan
Tinggi Agama yang merupakan sarana untuk menerapkan hukum Islam yang
selama ini telah dilakukan, akan tetapi belum maksimal dan harus terus dijalani
dengan kesabaran dan kebijaksanaan. Disamping tentu saja upaya-upaya penguatan
terhadap kekuatan dan daya tawar politis umat ini. Sebab tidak dapat dipungkiri,
dalam sistem demokrasi, daya tawar politis menjadi sangat menentukan sukses-
tidaknya suatu tujuan dan cita-cita.

21
Daftar Pustaka

Asshiddiqie, Jimly, Hukum Islam dan Reformasi Hukum Nasional, makalah

disampaikan dalam seminar penelitian Hukum tentang Eksistensi Hukum

Islam Dalam Reformasi Sistem Hukum Nasional. Diselenggarakan oleh

BPHN Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Jakarta 27

September 2000.

22
D. Jackson, Karl., Traditional Authority, Islam and Rebellion, Hal 10, dikutip oleh

Bakhtiar Effendy, Islam dan Negara,

Effendy, Bahtiar, Islam dan Negara, Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik

Islam di Indonesia, Paramadina, Jakarta Oktober, 1998

Hutabarat, Ramly, Kedudukan Islam dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia, dan

Perananya dalam Pembinaan Hukum Nasional, Pusat Studi Hukum Tata

Negara Universitas Indonesia, Jakarta, 2005.

Pengadilan Tinggi Agama Palembagn, Penyusunan naskah buku Yuridiksi dalam


wilayah Pengadilan Tinggi Agama Palembang, 2007
S. Lev, Daniel, Islamic Courts in Indonesia, hal 34, dinukil oleh Bakhtia Effendy,

Islam dan Negara

Risalah Perundingan 1957, tanpa tempat, Konstituante Republik Indonesia, tanpa

tahun, hal 325, dinukil dari Bakhtiar Effendy, Islam dan Negara.

23

You might also like