Professional Documents
Culture Documents
Kata “jaundice” berasal dari kata jaune yang dalam bahasa Perancis berarti kuning.
Jaundice adalah pewarnaan kekuningan pada kulit, sklera, dan membran mukosa oleh bilirubin
dan kuning-jingga oleh pigmen empedu. Bilirubin dibentuk dari produk perombakan rantai
heme, biasanya dari metabolisme sel darah merah. perubahan warna ini biasanya terdeteksi
secara klinis jika kadar serum bilirubin telah naik di atas 3 mg/dl (51,3 µmol/L). (Roche &
Kobos, 2004)
Jaundice dapat disebabkan oleh berbagai gangguan yang tidak berhaya sampai yang mengancam
jiwa. Untuk memudahkan dalam pengeloaannya, diagnosis banding jaundice pada dewasa bisa
disebabkan dari prehepatik, intrahepatik, dan posthepatik. Pembagian ini berdasarkan tahap-
tahap metabolisme bilirubin yang jika terjadi gangguan dapat menimbulkan manifestasi klinis
jaundice. (Roche & Kobos, 2004)
PATOFISIOLOGI
Metabolisme bilirubin terjadi dalam tiga fase antara lain fase prehepatik, intrahepatik dan
posthepatik. Disfungsi pada salah satu atau lebih dari fase ini dapat menimbulkan jaundice.
(Roche & Kobos, 2004)
Fase Prehepatik
Tubuh manusia memproduksi kurang lebih 4 mg/kg BB bilirubin perhari dari metabolisme heme.
Sekitar 80% dari heme merupakan hasil dari katabolisme erytrosit, denga 20% sisanya dihasilkan
dari erythropoiesis yang tidak efektif serta perombakan mioglobin otot dan sitokrom. Bilirubin
yang terbentuk akan ditransportasi dari plasma menuju hepar untuk dikonjugasikan dan
diekskresi. (Roche & Kobos, 2004)
Fase Intahepatik
Bilirubin tak terkonjugasi bersifat larut lemak dan tidak larut air, dan karena itu dapat dengan
mudah melewati blood-brain barrier atau melewati plasenta. Di dalam hepatosit, bilirubin tak
1
terkonjugasi akan dikonjugasi dengan gula yang dikatalis enzim glucoronosyltransferase dan
akhirnya larut dalam cairan empedu. (Roche & Kobos, 2004)
Fase Pascahepatik
Setelah larut dalam empedu, bilirubin ditransportasikan melalui duktus biliaris dan duktus cystic
untuk disimpan sementara dalam kandung empedu, atau melewati ampula Vater dan masuk ke
duodenum. Di dalam usus, sejumlah bilirubin akan diekskresikan di dalam tinja, sementara
sisanya dimetabolisme oleh flora normal usus menjadi urobilinogen dan kemudian akan
direabsorbsi. Sebagian besar urobilinogen akan difiltrasi dari darah oleh ginjal dan diekskresikan
di dalam urin. Sebagian kecil urobilinogen diabsorbsi di dalam usus dan direekskresi ke dalam
empedu. (Roche & Kobos, 2004)
DIAGNOSIS BANDING
Seperti yang telah dijabarkan sebelumnya, jaundice dapat disebabkan karena disfungsi dari salah
satu atau lebih dari tiga fase metabolisme bilirubin. Pseudojaundice dapat terjadi pada konsumsi
makanan yang kaya akan beta-carotene (misalnya labu, melon, wortel). Namun tidak seperti
jaundice yang sebenarnya, carotenemia tidak menimbulkan ikterus pada sklera atau peningkatan
kadar bilirubin serum. (Roche & Kobos, 2004)
2
Penyebab Prehepatik
Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi terjadi karena terganggunya proses konjugasi bilirubin pada
hepatosit. Hal ini mungkin disebabkan gangguan yang terjadi sebelum bilirubin memasuki
hepatosit. Metabolisme heme berlebihan dari hemolisis atau reabsorbsi hematoma yang besar,
menghasilkan peningkatan bilirubin yang signifikan, yang dapat membanjiri proses konjugasi
dan menyebabkan keadaan hiperbilirubinemia unconjugated. (Roche & Kobos, 2004)
Dapat terjadi pada anemia hemolitik misalnya karena thalassemia, autoimun dan obat-obatan.
Penyebab Intrahepatik
Beberapa gangguan metabolisme enzim mempengaruhi proses konjugasi dalam hepatosit,
sehingga menghambat konjugasi lengkap, dan menimbulkan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi.
Salah satu penyakit yang mempengaruhi metabolisme enzim adalah Sindrom Gilbert dimana
terjadi penurunan aktivitas enzim glucoronosyltransferase. (Roche & Kobos, 2004)
Penyebab utama dari hiperbilirubinemia terkonjugasi adalah kolestasis intrahepatik dan obstruksi
extrahepatic dari saluran empedu, yang pada akhirnya menyebabkan bilirubin tidak bisa keluar
menuju usus. Hepatitis non infeksi umumnya disebabkan oleh penyalahgunaan alkohol dan
gangguan autoimun. (Roche & Kobos, 2004)
Alkohol telah menunjukkan dapat mempengaruhi penyerapan dan sekresi asam empedu,
mengakibatkan kolestasis. Penyalahgunaan alkohol kronis dapat mengakibatkan fatty liver
(steatosis), hepatitis, dan sirosis, dengan berbagai tingkat jaundice. Fatty liver, temuan patologis
hati yang paling umum, biasanya menampakkan gejala-gejala ringan tanpa ikterus tapi kadang-
kadang berkembang ke sirosis. Hepatitis sekunder karena penyalahgunaan alkohol biasanya
muncul dengan onset akut dan gejala jaundice yang lebih parah. (Roche & Kobos, 2004)
Banyak obat yang telah terbukti berperan dalam perkembangan ikterus kolestasis. Secara klasik
agen diidentifikasi dengan drug-induced liver disease adalah asetaminofen, penisilin, kontrasepsi
oral, klorpromazin (Thorazine), dan steroid estrogenik atau anabolik. Kolestasis dapat
berkembang selama beberapa bulan pertama penggunaan kontrasepsi oral dan dapat
menyebabkan jaundice. (Roche & Kobos, 2004)
3
Penyebab Pascahepatik
Hiperbilirubinemia terkonjugasi mungkin juga disebabkan masalah yang terjadi setelah bilirubin
yang terkonjugasi dalam hati. Penyebab pascahepatik dapat dibagi menjadi obstruksi ekstrinsik
atau intrinsik dari sistem duktus. (Roche & Kobos, 2004)
Cholelithiasis atau adanya batu di kandung empedu, adalah temuan yang relatif umum pada
pasien dewasa, dengan atau tanpa gejala obstruksi. Obstruksi dalam sistem duktus biliaris dapat
menyebabkan kolesistitis dan kolangitis. Kolangitis didiagnosa secara klinis dengan gejala klasik
demam, sakit, dan ikterus, yang dikenal sebagai Charcot's triad. (Roche & Kobos, 2004)
Tumor duktus biliaris merupakan kasus yang jarang namun merupakan penyebab yang serius
dari jaundice pascahepatik. Karsinoma kandung empedu secara klasik hadir dengan ikterus,
hepatomegali, dan massa di kuadran kanan atas (tanda Courvoisier's). Another biliary system
cancer, cholangiocarcinoma, typically manifests as jaundice, pruritus, weight loss, and
abdominal pain. Kanker sistem bilier yang lain, cholangiocarcinoma, biasanya bermanifestasi
sebagai ikterus, pruritus, penurunan berat badan, dan nyeri abdomen. (Roche & Kobos, 2004)
4
BILIARY ATRESIA
DEFINISI
Bliary Atresia (BA) adalah suatu penyakit yang jarang ditemukan, ditandai dengan
obstruksi kandung empedu, yang pada neonatus dengan penyebab yang tidak diketahui.
Gambaran histopatologi adalah inflamasi yang terdapat di duktus atau saluran intra maupun extra
hepatic yang juga disertai dengan fibrosis. Jika tidak ditangani dengan segera, kondisi ini akan
berkembang menjadi sirosis dan kematian setelah berumur lima tahun. (Chardot, 2006)
EPIDEMIOLOGI
Insidensi dari BA yang dilaporkan adalah 5/100.000 kelahiran di Netherlands,
5,1/100.000 di Prancis, 6/100.000 di Inggris, 6,5/100.000 di texas, 7/100.000 di Australia,
7,4/100.000 di USA, dan 10,6/100.000 di Jepang. Insidensi meningkat di Asia dan daerah
Pasifik. BA lebih sering ditemukan pada bayi laki-laki dibandingkan dengan bayi perempuan.
(Chardot, 2006)
KONDISI ANATOMIS
Terdapat dua perbedaan anatomis yang pernah diidentifikasi pada BA, yaitu:
a. Sindrom BA (10%) biasanya disertai dengan berbagai anomali kongenital, seperti
polysplenia, asplenia, jantung atau defek intra intraabdomen (situs intervesus, malrotasi usus,
dan tidak adanya retro-hepatic vena cava)
b. Nonsindromik AB (90%) yaitu BA yang berdiri sendiri atau terisolasi. (Chardot, 2006)
5
kaitan antara ketiga virus ini tehadap BA. Virus hepatitis (A, B, dan C) yang sering terjadi pada
anak-anak juga tidak mempunyai korelasi terhadap kejadian BA. (Chardot, 2006)
Mungkin juga terdapat peran genetik dalam patogenesis BA, mungkin sebagai
predisposisi infeksi virus hepatotropic dan merupakan salah satu dari banyak faktor. Jarang
ditemukan BA yang terjadi pada sesama saudara tetapi terdapat pula kelainan pada kembar
monozigot. Terdapat penelitian yang menemukan perbedaan angka kejadian BA pada Ras yang
berbeda, seperti Hawai dan Atlanta dengan USA. Terdapatnya HLA B 12 dan Halotipe dari A9-B5
ditemukan lebih tinggi pada bayi dengan BA dibandingkan dengan kelompok kontrol pada
penelitian di Inggris. (Chardot, 2006)
6
Skema 2. (Hartley & Davenport, 2009)
Terdapat pula kelainan gen yang bisa menyebabkan kerusakan kandung kemih diluar
jalur mekanisme inflamasi, antara lain: CFC1, ICAM1, macrophage migration inhibition factor
gene, Gen reseptor endotoksin CD14, dan hepcidin antimicrobial peptide gene. Dalam
penelitian, didapatkan hubungan antara kelainan gen di atas terhadap progresifitas fibrosis
kandung empedu. Peningkatan usia dan seringnya terjadi infeksi virus adalah salah satu
penyebab BA. (Hartley & Davenport, 2009)
PATOLOGI
Gambaran makroskopik pada pasien BA bervariasi, mulai dari saluran empedu yang
hipertrofi, inflamasi, sampai atrofi. Gambaran mikroskopis terlihat tanda-tanda peradangan
saluran portal dengan sel kecil (menyusut), dan duktus yang terisi penuh yang kemudian terdapat
fibrosis yang lama kelamaan menjadi sirosis biliaris. (Sinha & Davenport, 2008)
7
Tabel 2. (Chardot, 2006)
8
c. Hepatomegali pada semua pasien
d. Limpa teraba
Biasanya kondisi umum bayi normal-normal saja. Tidak ada kegagalan pertumbuhan
paling tidak sampai satu bulan. Pada BA tidak heran bila menemukan kadar bilirubin serum di
atas 20 mg/dl, koagulopati dan anemia. Beberapa pasien ditemukan dengan asites, sirosis,
distensi perus, dan kesulitan bernafas. Gejala klinis pada pasien di negara berkembang biasanya
terlambat muncul, 5 % di bawah 60 hari, 40% 2-3 bulan, 30% 3-4 bulan, dan 25% lebih dari 4
bulan. (Chardot, 2006)
DIAGNOSIS
Diagnosis klinis BA biasanya jelas terlihat. Namun, pada bayi <60 hari diagnosis bisa sulit
ditegakkan. Investigasi utama meliputi ultrasonografi, tes biokimia fungsi hati, serologi virus,
dan biopsi hati perkutan. Di beberapa pusat, intubasi duodenum dan pengukuran empedu
intralumenal adalah uji rutin untuk BA. Modalitas yang lebih baru seperti ERCP dan MRCP
kadang digunakan. Mungkin, di sebagian besar pusat bedah, operasi kolangiografi dapat
menunjukkan patensi empedu. Dapat juga dilakukan laparoscopicaly dengan hasil yang tampak
baik (Sinha, 2008).
Diagnosa dibuat atas dasar manifestasi klinis dan didukung oleh metode diagnostik berikut:
Ultrasonography
Ultrasonografi hati dilakukan setelah 12 jam puasa (dengan infus dextrose IV). BA
diduga ketika kandung empedu menyusut meskipun berpuasa, liver hilum tampak
hyperechogenic, ada kista di hilus hati. Jika ditemukan dilatasi duktus biliary
intrahepatik, pasti bukan merupakan BA (lebih mengindikasi obstructed choledochal
cyst). Bayi BA dapat menunjukkan fitur lain seperti multiple spleens, preduodenal portal
vein, absence of retrohepatic vena cava or abdominal situs inversus (Chardot, 2006).
Tes fungsi hati (LFTs): LFTs abnormal pada semua pasien BA. Ada peningkatan
bilirubin total serum (terutama terkonjugasi) dan protein serum (terutama albumin).
Alkaline fosfatase dan transaminase (misalnya: SGOT , SGPT) meningkat. Penilaian
LFTs sesuai dengan tingkat kerusakan parenkim bukan durasi penyakit. Tes fungsi hati
menunjukkan cholestasis Biokimia (dengan peningkatan kolesterol dan gamma-GTS).
9
Hepatobiliary skintigrafi (misalnya HIDA scan) menunjukkan kegagalan ekskresi dari
radioisotop ke dalam usus, tapi gambaran ini juga dapat diamati dalam setiap kolestasis
neonatal yang parah (Sinha, 2008).
Nuklir scanning: Ekskresi Teknesium-berlabel isotop ke dalam usus dalam waktu 24
jam, membuat patensi saluran empedu. Namun, jika setelah 24 jam hasil scan negatif
masih dapat dikatakan BA dan stadium lanjut hepatitis neonatal. HIDA scan negatif dapat
diulang setelah satu minggu terapi phenobarbitone, jika diindikasikan secara klinis.
Phenobarbitone diketahui merangsang enzim hati dan meningkatkan aliran empedu
(Sinha, 2008).
Percutaneous needle biopsy: Kadang-kadang interpretasi biopsi bisa sulit dan
membutuhkan ahli patologi yang berpengalaman karena ada banyak tumpang tindih
dalam temuan histologis BA dan hepatitis neonatal (Sinha, 2008).
Uji drainase duodenum: Sebuah aspirasi duodenum selama 4 jam ini dilakukan untuk
mengkonfirmasi keberadaan empedu di dalamnya. Tes mungkin negative palsu pada
pasien dengan hepatitis neonatal yang parah (Sinha, 2008).
Per-operative cholangiogram: Di sebagian besar pusat, bila bukan termasuk penyebab
medis dari penyakit kuning dan gagal untuk menunjukkan ekskresi isotop dalam HIDA
scan, maka cholangiogram peroperative merupakan pilihan yang dapat digunakan. Kunci
utama pengamatan di laparotomi adalah ada atau tidak adanya empedu di kandung
empedu. Ketika kantong empedu tampaknya normal pada ultrasonografi scan,
kolangiografi diperlukan untuk menilai morfologi dan patensi dari biliary tree (Sinha,
2008), (Chardot, 2006).
10
Tabel 3. (Sinha & Davenport, 2008)
11
Kolangiografi dan / atau biopsi hati digunakan hanya dalam kasus-kasus dimana diagnosis masih
belum jelas, terutama ketika kandung empedu tampaknya normal pada scan ultrasonografi
(Chardot, 2006).
MANAJEMEN
Saat ini BA dikelola dalam dua tahap: (Sinha, 2008), (Chardot, 2006).
Tahap pertama: melibatkan operasi Kasai (dalam periode neonatal), yang bertujuan untuk
memelihara aliran empedu. .
Tahap kedua: Jika aliran empedu tidak dikembalikan dengan prosedur Kasai maka
komplikasi yang mengancam nyawa seperti sirosis terjadi. Pertimbangan untuk
transplantasi hati harus diberikan. Kadang-kadang hal ini dilakukan sebagai prosedur
utama, pada mereka yang terlambat melakukan penanganan dengan gambaran sirosis.
Dalam kebanyakan kasus (tipe 4: lengkap extrahepatic BA), diagnosis jelas dengan kolestasis,
atau fibrosis hati dan kantong empedu menyusut fibrotic (Gambar 1), (Chardot, 2006).
12
Sebuah anastomosis adalah gaya antara tepi potongan jaringan transsected dalam porta hepatis
dan sisi antimesenteric dari Roux loop (Gambar 2)
Gambar 2: Hepatoporto-enterostomy
Banyak varian teknis yang mungkin, sesuai dengan anatomi pola dari sisa-sisa empedu:
Chardot, 2006).
13
Gambar 3: Hepatoporto-cholecystostomy
Sejumlah obat telah diusulkan untuk meningkatkan hasil pasca operasi dengan cara
mengurangi proses peradangan pada hilus hati , yang mungkin mengakibatkan bekas luka
granulasi yang dapat menyumbat duktus empedu, atau untuk meningkatkan aliran empedu.
Sebagai contoh, kortikosteroid, asam ursodeoxycholic dan bahkan ramuan Cina. Meskipun
kortikosteroid direkomendasikan oleh beberapa dokter bedah, namun pengunaan kortikosteroid
masih kontroversional karena keuntungan jangka panjang tidak terbukti. Selain itu pemberian
susu, supplement pasca operasi dianjurkan bila memungkinkan. Selama kolestasis berlangsung
supplement dan vitamin yang larut dalm lemak (ADEK) diperlukan (Sinha, 2008), (Chardot,
2006)..
KOMPLIKASI
Awal komplikasi pasca operasi meliputi: kolangitis, perdarahan, kebocoran dari anastomosis,
ileus yang berkepanjangan, dan obstruksi usus.
komplikasi Akhir meliputi: penghentian aliran empedu, kolangitis berulang, hipertensi portal,
asites, sindrom hepato-paru, dan pembentukan danau empedu dalam hati dan sirosis (Sinha,
2008), (Chardot, 2006).
14
Kolangitis
Kolangitis terjadi pada 30-60% kasus dalam dua tahun pertama setelah prosedur Kasai
keparahan ini dapat bervariasi dari ringan sampai sepsis fulminan. Secara klinis, pasien
akan mengalami demam atau hipotermia, muntah, penyakit kuning, hepatosplenomegali,
sakit perut / distensi. Penyebab kolangitis tidak jelas tetapi harus ada komunikasi usus-
empedu dan oleh karena itu hipotesis yang paling sering adalah bahwa infeksi naik dari
usus.
Perawatan termasuk resusitasi, cairan infus, antibiotik spektrum luas, (dan di beberapa
pusat steroid dosis tinggi) untuk 7-10 hari. Dalam kolangitis, obstruksi ke drainase dari
loop Roux harus dipertimbangkan (Sinha, 2008), (Chardot, 2006)..
Portal hypertension
Insiden hipertensi portal adalah sekitar 75% setelah operasi Kasai dan memiliki
hubungan yang jelas dengan fibrosis hati. Dalam penelitian terbaru, ditemukan bahwa
tekanan portal meningkat (diukur pada saat operasi Kasai) merupakan tanda prognosis
yang buruk dan pasien akan memiliki peluang yang lebih tinggi dari pengembangan
hipertensi portal. Portal hipertensi dapat menyebabkan pembentukan variceal klinis
signifikan pada kerongkongan , perut, loop Roux dan / atau dubur. Pada pasien dengan
fungsi hati yang baik, varises ditangani dengan sclerotherapy endoskopi atau pita; tetapi
pada mereka dengan penyakit kuning, fungsi hati menurun sehingga menurunkan
sintetisnya, transplantasi hati adalah satu-satunya pilihan yang benar-benar berhasil.
teknik radiologi Interventional seperti transjugular shunts portosystemic intrahepatik
(TIPS) yang mungkin untuk beberapa kasus, sebagai jembatan untuk transplantasi, tetapi
membutuhkan keahlian dan ketekunan jika hasil yang baik harus diperoleh. hipoplasia
vena Portal bahkan mungkin menghalangi pilihan ini. Dalam kasus-kasus yang tidak
biasa perdarahan mengancam jiwa, tapi penyakit hati yang non-progresif dan fungsi hati
yang baik, shunts portosystemic konvensional harus dipertimbangkan, terutama jika
transplantasi bukanlah suatu pilihan (Sinha, 2008), (Chardot, 2006).
15
Hepatopulmonary syndrome dan pulmonary hypertension
Hepato-paru (HP) sindrom ditandai dengan hipoksia, sianosis, dyspnoea dan clubbing
dan oleh karena pengembangan shunts arterio-vena paru. Hal ini tampaknya karena zat
vasoaktif usus yang dilemahkan yang tidak dibersihkan oleh sirosis hati. Diagnosis dibuat
dengan skintigrafi paru. HP sindrom dapat dibalik setelah transplantasi hati. hipertensi
paru juga dapat menjadi komplikasi terlambat dari sirosis hati dan dapat didiagnosis
dengan echocardiography. Dalam beberapa, transplantasi hati dapat diindikasikan (Sinha,
2008).
keganasan
Hepatocarcinomas, hepatoblastomas dan cholangiocarcinomas telah dijelaskan dalam
sirosis hati pasien dengan BA, di masa kanak-kanak atau dewasa. Skrining untuk
keganasan harus dilakukan secara reguler tindak lanjut dari pasien yang mengalami
sukses Kasai operasi (Chardot, 2006).
Prognosis
Prognosis keseluruhan pasien BA baik jika dilakukan transplantasi hati. Sekarang sekitar 90%
dari pasien BA dapat bertahan hidup, dengan kualitas normal dari kehidupan bagi sebagian besar
dari mereka. Beberapa faktor prognosis terkait dengan karakteristik penyakit (dan tidak dapat
diubah): prognosis dari operasi Kasai buruk ketika BA dikaitkan dengan sebuah polysplenia
sindrom, ketika makroskopik obstruktif lesi sisa bilier ekstra-hepatik menyebar, pada porta
hepatis terjadi keparahan lebih berat, dan ketika hati fibrosis lebih luas pada saat operasi.
16
Diagnosis dini dan pengobatan oleh tim yang berpengalaman memberikan anak-anak dengan
kesempatan terbaik untuk bertahan hidup (Chardot, 2006).
17
KARSINOMA PANKREAS
EPIDEMIOLOGI
Kanker pankreas adalah penyebab paling umum keempat kematian kanker pada pria dan
penyebab paling umum kelima kematian kanker pada wanita di Amerika Serikat. (Hewitt, MR &
Yu, K, 2006).
Terdapat hubungan positif obesitas secara keseluruhan, obesitas perut, diabetes dan
merokok dengan resiko kanker pancreas. Merokok hanya menjelaskan insiden 25-29% dari
kanker pancreas. Bukti dari in vitro, hewan dan penelitian pada manusia telah menunjukkan
bahwa insulin, resistensi insulin dan metabolisme glukosa abnormal mungkin memainkan peran
dalam penyebab kanker pankreas. Selain itu, studi epidemiologis menunjukkan hubungan antara
diabetes mellitus dan peningkatan risiko kanker pancreas. Perempuan dan laki-laki dengan BMI
30 kg/m2 atau lebih tinggi memiliki 81% peningkatan risiko dibandingkan dengan mereka yang
memiliki BMI 20-25 kg/m2 (Larsson, 2005).
Diabetes dikaitkan dengan peningkatan risiko 1,9 kali lipat untuk kanker pancreas.
Asosiasi diabetes tampaknya terbatas pada laki-laki, tetapi jumlah wanita diabetes dengan kanker
pankreas adalah kecil. Terdapat resiko dua kali lipat untuk terkena kanker pankreas pada wanita
gemuk dan laki-laki (BMI X30 kg/m2) dibandingkan dengan mereka dengan berat badan normal
18
(BMI 20-25 kg/m2). Terdapat hubungan antara diabetes dan rokok riwayat merokok dan
peningkatan risiko kanker pankreas. Perokok dengan 40 pack/ tahun atau lebih memiliki resiko
terkena kanker pancreas 5 kali lebih besar dibandingkan dengan yang tidak merokok. Selain itu,
perokok yang telah berhenti merokok selama 5-10 tahun memiliki risiko kanker pankreas sama
dengan orang yang tidak pernah merokok (Larsson, 2005).
Relatif sedikit yang diketahui tentang penyebab kanker pankreas. Usia, jenis kelamin
laki-laki dan sejarah keluarga kanker pankreas ditetapkan faktor risiko yang tidak dimodifikasi.
Merokok adalah faktor risiko yang dimodifikasi dengan risiko relatif sekitar dua sampai tiga.
Beberapa faktor gizi dianggap sebagai faktor risiko, termasuk konsumsi lemak hewani, energi
total, rendah serat dan sayuran dan konsumsi alkohol yang tinggi. Sejumlah kecelakaan kerja
juga diduga sebagai faktor resiko. Selain pankreatitis kronis, kondisi medis lain seperti diabetes,
batu empedu dan kolesistitis juga dapat meningkatkan risiko kanker pancreas (Shen, 2006).
Terdapat pola yang kompleks dari hubungan antara kanker pankreas dan neoplasma
ganas lainnya, termasuk beberapa kanker langka yang tidak dapat secara memadai dipelajari
dalam populasi yang lebih kecil (Shen, 2006)
19
PATOFISIOLOGI
Data menunjukkan bahwa kanker pancreas berasal dari akumulasi berturut-turut mutasi
genetik. Kanker berasal dari epitel duktus dan berkembang menjadi kanker invasif lesi prakanker
sepenuhnya. lesi yang disebut neoplasia intraepithelial pankreas adalah prekursor terbaik kanker
pankreas. Karakteristik kanker pankreas disebut reaksi pembentukan stroma desmoplastic padat.
Sel stellata pankreas (juga dikenal sebagai myofibroblasts) memainkan peran penting dalam
pembentukan stroma dan omset. Pada aktivasi oleh faktor-faktor pertumbuhan, seperti TGFβ1,
platelet-derived faktor pertumbuhan (PDGF) dan faktor pertumbuhan fibroblast, sel-sel kolagen
merupakan komponen rahasia dan lainnya dari matriks ekstraselular, sel-sel stellata tampaknya
juga bertanggung jawab untuk vaskularisasi yang rendah adalah karakteristik dari kanker
pankreas . Selanjutnya, sel-sel stellata mengatur reabsorpsi dan stroma omset, terutama melalui
produksi metalloproteinases. matriks stroma tidak hanya merupakan penghalang mekanis, tetapi
adalah sebuah kompartemen dinamis kritis yang terlibat dalam proses pembentukan tumor,
kemajuan, invasi, dan metastasis .
Secara anatomis, pancreas merupakan kelenjar besar dalam tubuh, yang mulai dibentuk
sejak fetus ukuran 3 mm dari dinding dorsal duedonum, menghilkan enzim pencernaan serta
hormone insulin. Letaknya terfiksasi, menyilang dari lengkung duodenum ke hilus limpa tempat
dorsal lambung, di anterior vertebra lumbal pertama dan di kaudal pangkal trunkus coeliacus
melekat ke arteria-vena mesenterika superior dan dikenal sebagai organ retroperitoneal. Secara
anatomis pancreas dibagi menjadi 3 bagian, yaitu kaput, korpus, dan kauda (kepala, badan, dan
ekor). Kaput pancreas secara anatomis bersatu dengan duodenum tempat bermuara duktus
choledochus dan kelenjar eksokrin pancreas duktus wirsung. Sebanyak 70% keganasan pancreas
berasal dari kaput. Neoplasma pada bagian kaput menimbulkan obstruksi duodenum dan duktus
choledochus atau ductus pankreatikus. Neoplasma pada korpus dan kauda tampak sebagai massa
intraabdomen dengan atau tanpa perlekatan pada lambung, limpa, atau ginjal (kastomo, 2004).
Batu empedu
20
Carsinoma pancreas dan ampula
Striktur saluran empedu
Cholangiocarsinoma
Sklerosing Cholangitis primer atau sekunder
(Sherly, 2006)
MANIFESTASI KLINIS
Secara klinis gejala malnutrisi, anoreksia, turunnya berat badan dan diabetes mellitus
dijumpai pada 80% penderita. Gejala ikterus, sebagai komplikasi tersumbatnya duktus
Choledochus, dijumpai pada 70% kasus keganasan caput pancreas (Kastomo, 2004).
Pasien dengan karsinoma pankreas menampilkan gejala yang tidak spesifik dengan berat
badan dan nyeri perut bagian atas sebagai yang paling signifikan. Sedangkan penyakit kuning
tidak tampak sebagai gejala awal. Trombosis vena adalah manifestasi pertama dari karsinoma
pankreas. Memang, insiden penyakit tromboemboli pada pasien dengan karsinoma pankreas
telah diperkirakan setinggi 57%. Dalam analisis 66.000 pasien dengan kanker dan neutropenia,
ditemukan bahwa pasien dengan karsinoma pankreas memiliki risiko tertinggi penyakit
tromboemboli vena (Shanmugarajah, 2009).
Manifestasi klinis pada carcinoma pancreas adalah penurunan berat badan, jaundice, dan
mengeluhkan gejala perut, termasuk nyeri, mual, muntah, perdarahan, kembung, dan massa yang
teraba. Durasi gejala berkisar antara 1 sampai 27 bulan, dengan durasi rata-rata 5,4 bulan. Para
pasien dengan durasi gejala terpanjang, memiliki gejala nonspesifik kembung dan mual (Kardon,
2001).
Gejala kanker pankreas tergantung pada lokasi tumor di kelenjar dan pada tahap
penyakit. Mayoritas tumor berkembang di kepala pankreas dan menyebabkan kolestasis
obstruktif (Gambar 2 a). ketidaknyamanan yang tidak jelas perut dan mual juga umum. Lebih
jarang, tumor juga dapat menyebabkan obstruksi duodenal atau perdarahan gastrointestinal
pankreas. Kanker pankreas sering menyebabkan sakit perut tumpul, lebih dari itu melokalisasi
sebagian besar di wilayah tumor. Penyumbatan saluran pankreas dapat menyebabkan
21
pankreatitis. Pasien dengan kanker pankreas sering dysglycemia. Memang, kanker pankreas
harus dipertimbangkan dalam diagnosis diferensial pankreatitis akut dan diabetes. Selama
presentasi, kebanyakan pasien juga memiliki manifestasi penyakit sistemik seperti astenia,
anoreksia dan penurunan berat badan. Manifestasi lain yang kurang umum termasuk deep vein
thrombosis dan panniculitis, fungsi livier yang abnormal, obstruksi lambung, dan depresi
(hidalgo, 2010).
PENEGAKAN DIAGNOSA
Secara klinis gejala malnutrisi, anoreksia, turunnya berat badan dan diabetes mellitus dijumpai
pada 80% penderita. Gejala ikterus sebagai komplikasi tersumbatnya duktus choledochus,
dijumpai pada 70% kasus keganasan kaput pancreas. Kondisi ini dapat diidentifikasi dengan
pemeriksaan helical CT-scan generasi baru, sedangkan reseksabilitas tetap ditentukan secara
laparotomi. Selain itu OMD dan endoskopi dapat pula digunakan. Untuk tindakan operasi
diperlukan pemeriksaan penunjang berupa fungsi jantung paru, fungsi hati, fungsi ginjal dan
petanda tumor Ca 19-9. (Kastomo, DR & Soemardi, A, 2004)
Pada Pemeriksaan fisik bias didapatkan limfadenopati perifer, hepatomegali, dan ascites. Dengan
hasil rutin tes darah umumnya spesifik dan mungkin termasuk kelainan ringan dalam tes hati-
fungsi,hiperglikemia, dan anemia. (Hidalgo,M,2010)
Kanker pankreas dibedakan stage-nya sesuai dengan yang paling edisi terbaru dari
American Joint Committee klasifikasi tumor-node-metastasis Kanker, yang didasarkan pada
22
penilaian resectability oleh cara heliks CT. T1, T2, T3 dan tumor adalah berpotensi dioperasi,
sedangkan T4 tumor, yang melibatkan arteri mesenterika superior atau celiac sumbu, yang
dioperasi.(Hidalgo,M,2010)
PENATALAKSANAAN
Agen kemoterapi tunggal telah menjadi pengobatan utama kanker pankreas metastasis. Namun,
tingkat respon yang terkait dengan terapi agen tunggal yaitu < 10%, telah mengecewakan. 5-
Fluorourasil (5-FU) telah tersedia sejak akhir 1950-an dan tetap menjadi dasar pengobatan untuk
kebanyakan tumor gastrointestinal . Studi terbaru leucovorin-termodulasi FU 5 pada kanker
pankreas menunjukkan tingkat respon yang rendah (0% -9%) yang menggunakan infusional serta
jadwal administrasi bolus dan kelangsungan hidup rata-rata berkisar antara 10 sampai 24
minggu. (Hewitt, MR & Yu, K, 2006)
Untuk penggunaan gemcitabine, Uji klinis awal gemcitabine mengambil pendekatan baru
untuk menentukan manfaat pada penyakit metastatik. Meskipun rancangan penelitian
sebelumnya mengenai gemcitabine memiliki beberapa kelemahan, gemcitabine dikaitkan
23
dengan respon klinis yang lebih baik secara signifikan (24% vs 5%) dan kelangsungan hidup 1
tahun (18% vs 2%). Untuk memperbaiki manfaat yang telah diberikan oleh gemcitabine sendiri,
regimen berbagai doublet telah diajukan. Gemcitabine telah digabungkan dengan baik FU 5
bolus dan infusional-. Beberapa uji klinis telah gagal untuk menunjukkan keuntungan apapun
dalam kelangsungan hidup secara keseluruhan, yaitu kombinasi dibandingkan dengan
gemcitabine saja. (Hewitt, MR & Yu, K, 2006)
Saat ini, tidak ada peran terbukti untuk penggunaan terapi radiasi dalam pengobatan
kanker pankreas metastasis. Namun, pada pasien dengan stadium lanjut, penyakit dioperasi,
terapi radiasi dengan dan tanpa kemoterapi telah dieksplorasi untuk membantu memperpanjang
kelangsungan hidup secara keseluruhan pada pasien ini. Uji coba ini telah gagal untuk
menunjukkan manfaat kelangsungan hidup dari kemoradioterapi hingga kemoterapi saja.
(Hewitt, MR & Yu, K, 2006)
24
KOLELITIASIS
DEFINISI
Kolelitiasis adalah material atau kristal yang terbentuk dalam kandung empedu. Komposisi dari
kolelitiasis adalah campuran dari kolestrol, pigmen empedu, kasium dan matriks inorganic
(Gustawan, 2007).
EPIDEMIOLOGI
Kolelitiasis termasuk penyakit yang jarang pada anak. Di Amerika serikat dilaporkan hanya
sekitar 0,15 % – 0,22 %. Menurut Ganesh et al dalam pengamatannya dari tahun januari 1999
sampai desember 2003 di Kanchi kamakoti Child trust hospital, mendapatkan dari 13.675 anak
yang mendapatkan pemeriksaan USG, 43 (0,3 %) terdeteksi memiliki batu kandung kemih.
rasio laki-laki dan perempuan sekitar 2,3 : 1. Semua ukuran batu sekitar kurang dari 5 mm, dan
56 % batu merupakan batu soliter. Empat puluh satu anak (95,3 %) dengan gejala asimptomatik
dan hanya 2 anak dengan gejala (Gustawan, 2007).
Di Indonesia, pada penilitian di Jakarta didapatkan 73% penderita mengalami batu pigmen,
sedangkan 27% mengalami batu kolesterol (Lesmana, 2003).
Etiologi dan faktor resiko tidak dibedakan secara jelas. Dikatakan bahwa ada beberapa etologi
dan faktor resiko terbentuknya kolelitiasis; (Gustawan, 2007) (Lesmana; 2003)
1. Idiopatik
2. Genetic
Risiko menderita batu kandung empedu meningkat apabila memiliki keluarga dengan batu
kandung empedu. Insidens kolelitiasis tinggi pada penduduk asli di Chili dan Peru.
25
Perempuan Indian Pima di Amerika mempunyai resiko 80 % untuk menderita batu kandung
empedu.
3. Perempuan
4. Usia di atas 40 tahun
5. Penyakit haemolitik kronik (anemia sel sickle, sferositosis)
Insidensi kolelitiasis meningkat pada anak yang menderita penyakit anemia sel sickle. Umur
dan adanya haemolisis yang kronik diduga sebagai resiko terbentuk nya batu pigmen.
7. Kegemukan
Kejadian batu kandung empedu meningkat pada wanita yang obesitas. Hepar akan
meningkatkan produksi kolesterol yang berlebih sehingga konsentrasi kolestrol dalam
kandung empedu akan sangat jenuh.
8. Sindrom down
Risiko terjadinya kolelitiasis juga meningkat pada anak yang mengalami sindrom down. Dari
126 anak dengan sindrom down yang melakukan pemeriksaan USG, 4,7 % dijumpai adanya
kolelitiasis.
26
Karakteristik Batu kolesterol Batu pigmen hitam Batu pigmen coklat
Warna Kuning pucat putih Hitam Coklat-oranye
kecoklatan
Konsistensi Keras Keras
Kristal berlapis mengkilat lembek
Inti warna gelap kristal
Jumah, ukuran dan Multiple : 2-25 mm, Multiple : < 5 mm Multiple : 10-30 mm
ketegangan halus tidak teratur, halus. bulat halus
Soliter : 2-4 cm,
buat halus
Komposisi Kolestrol Polimer pigmen (40 Kalsium bilirubin (60
monohidrat > 50 % %) %)
lainnya : Garam kalsium-15 Calsium fatty acid
glikoprotein, garam % (Karbonat, spoas pamitat, stearat)-
kalsium Fosfat) 15 %
Koleterol (2 %) Kolesterol (15 %)
Lainnya (30 %) Lainnya (10 %)
Radiodensitas Lusen 50 % opaque Lusen
CT scan < 20-60 > 140 60-140
Lokasi dalam Kandung empedu Kandung empedu Duktus
system bilier Duktus Duktus intrahepatik
PATOGENESIS
Patogenesis terbentuknya batu telah diselidiki dalam tahun terakhir. Walaupun beberapa
aspek yang berperan sebagai penyebab belum diketahui sepenuhnya, namun komposisi kimia
dan adanya lipid dalam cairan empedu memegang peranan penting dalam proses terbentuknya
batu.
27
Faktor presipitasi
Peningkatan konsentrasi
empedu yang melebihi indeks
saturasi kolestrol
Empedu sangat
jenuh
Peningkatan kolestrol
dalam vesikel (vesikel
unilamelar)
Vesikel
multilamelar
Cluster (sebagai
inti kristal )
Batu
Inhibitor
Faktor presipitasi
1. Absorbsi air
2. Absorbsi garam empedu dan fosfolipid
28
3. Sekresi kolesterol yang berlebihan pada empedu
4. Adanya inflamasi pada epitel kandung empedu
5. Kegagalan pengosongan isi empedu
6. Adanya ketidakseimbangan antara sekresi kolesterol
7. Fosfoipid dan asam empedu, peningkatan produksi musin di kandung empedu dan
penurunan kontraktilitas kandung empedu.
Promotor
1. Protein normal dalam empedu : terdapat faktor antinukleasi yang menjaga kestabilan
vesikel kolesterol fosfoipid dan menghambat kristalisasi. Terdapat 2 jenis faktor nuclear
yaitu Apolipoprotein I dan Apolipoprotein II
2. Pergerakan kandung empedu yang bisa meningkatkan pengeluaran kristal batu.
Dibagi menjadi batu pigmen coklat dan batu pigmen hitam (Lesmana, 2003).
Batu pigmen coklat atau batu kalsium bilirubinat yang mengandung kalsium bilirubinat
sebagai komponen utama.
Batu pigmen hitam yang kaya akan residu hitam tak terekstraksi
29
Proses Polimearse sehingga Bilirubin tak
terbentuk polymers of cross- terkonjugasi
linked bilirubin tetrapyrroles
Presipitasi ion
kasium
Gejala klinik sangat bervariasi dari yang asimtomatik sampai yang simptomatik. Sekitar
80 % yang bersifat asimptomatik. Gejala yang sering muncul pada anak-anak adalah nyeri bilier
dan obstruktif jaundice (Gustawan, 2007).
1. Nyeri Bilier
Patofisiologi
Nyeri bilier
30
- kolik bilier
- nyeri berat dalam waktu 15 menit -5 jam
- lokasi : epigastrium, perut kanan atas, menyebar ke punggung
- sering pada malam hari dan kekambuhan tidak beraturan
- nyeri perut kanan atas yang berulang (tanda kolelitiasis)
- bisa juga diikuti dengan mual muntah
2. Obstruktif Jaundice
Sekresi cairan empedu (bilirubin
Batu Obstruksi terkonjugasi) tidak bisa menuju ke
duktus duodenum
Keluar ke vaskuler
Peningkatan di
Ikterus darah
Manifestasi pertama pada kolelitiasis seriing sama dengan Pada kolesistitis akut yang
biasanya ditandai dengan demam, nyeri perut tekan bagian atas yang dapat melebar ke
scapula dan sering teraba massa pada lokasi nyeri.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan pada region kanan atas dan dapat menyebar
ke epigastrium dan juga biasanya di temukan murphy’s sign.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium : pemeriksaan darah lengkap, tes faal hati, kadar lipase dan amylase
serum (Gustawan, 2007).
2. Radiologi :
USG
31
Biasanya menjadi pilihan yang paling umum dan paling banyak digunakan karena tidak
invasive serta aman dan efisien (Gustawan & Karyana, 2007). USG mempunyai
sensitivitas melebihi 95%. Sedangkan untuk mendiagnosis batu saluran empedu
sensitifitas USG relatif rendah yaitu berkisar antara 18-74% (Lesmana, 2003).
Kekurangan USG dalam mendeteksi koledokolitiasis adalah tertutupnya bagian distal
saluran empedu oleh gas usus dan adanya saluran empedu yang tidakmelebar pada
sejumlah kasus. Selain itu faktor lain yang juga berperan terhadap rendahnya sensitivitas
USG adalah sebagian batu tidak memberikan bayangan akustik dan absennya empedu
terutama bila ukuran saluran empedu normal sehingga tidak akan menciptakan akustik
yang kontras (Lesmana, 2003).
Foto polos abdomen
Dapat mengidentifikasi batu yang radioopak
Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)
ERCP sangat bermanfaat dalam mendeteksi batu saluran empedu dengan sensitivitas
90%, spesifisitas 98%, dan akurasi 96%. Kekurangannya, prosedur ini invasif dan dapat
menimbulkan komplikasi pangkreatitis dan kolangitis yang berakibat fatal (Lesmana,
2003).
Endoscopicultrasonography (EUS)
Endoscopicultrasonography (EUS) adalah suatu metode pemeriksaan dengan
memakai instrumen gastroskop dengan echoprobe diujung skop yang terus dapat
berputar. Dibandingkan dengan USG transabdominal, EUS akan memberikan gambaran
pencitraan yang jauh lebih lebih jelas sebab echoprobe ditaruh didekat organ yang
diperiksa. Dewasa ini EUS sudah menjadi bagian dari sarana diagnostik rutin dibidang
gastroenterologi dan hepatobilier dibanyak senter yang maju, khususnya untuk
menentukan stadiumkeganasa saluran empedu.
Pada sebuah studi, sensitivitas EUS dalam mendeteksi batu saluran empedu
adalah sebesar 97 % dibandingkan dengan USG yang hanya sebesar 25%, dan CT scan
75%. Selanjutnya EUS mempunyai nilai prediktif negatif sebesar 97% dibandingkan
dengan 56% untuk USG dan 75% untuk CT scan untuk batu dengan diameter < 1cm.
Beberapa studi telah membandingkan antara aplikasi EUS dengan ERCP dalam
mendiagnosis batu saluran empedu. Ternyata EUS dan ERCP tidak menunjukkan
32
perbedaan dalam hal nilai sensitivitas, spesifisitas, dan nilai prediktif negatif maupun
positif. Secara keseluruhan akurasi EUS dan ERCP untuk batu saluran empedu juga tidak
memperlihatkan perbedaan bermakna. Kesulitan pemeriksaan EUS dapat terjadi bila ada
striktur pada saluran cerna bagian atas atau pascareseksi gaste (Lesmana, 2003).
Magnetic Resonance Cholangio Pancreatography (MRCP)
Magnetic resonance cholangio pancreatography (MRCP) adalah teknik
pencitraan dengan gama magnet tanpa menggunakan zat kontras, instrumen, dan radiasi
ion. Pada MRCP saluran empedu akan terlihat sebagai struktur yang terang karena
mempunyai intensitas sinyal-tinggi sedangkan batu saluran empedu akan terlihat sebagai
intensitas sinyal rendah yang dikelilingi empedu dengan intensitas sinyal tinggi
(Lesmana, 2003).
MRCP mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan ERCP . salah satu
manfaat yang besar adalah pencitraan saluran empedu tanpa resiko yang berhubungan
dengan instrumentasi, zat kontras, dan radiasi. Oleh karena MRCP sama sekali
noninvasif, teknik tersebut dapat dikerjakan pada penderita diunit rawat jalan (Lesmana,
2003).
33
ALUR PENEGAKAN DIAGNOSIS
USG
Pemeriksaan
radiologist Pemeriksaan lanjutan
pada bilier-duodenum,
lambung, dan usus
halus
Batu Batu radiolusen
radioopaque
34
PENATALAKSANAAN
1. Non-Bedah
Penghancur batu dengan obat-obatan seperti chenodeoxycholic atau ursodeoxycholic,
extracorporeal shock-wave lithotrypsi.
Oral dissolution therapy adalah obat oral yang digunakan untuk memecahkan batu. Namun
karena obat ini memiiki efek samping yang berat. Maka, tidak dianjurkan pada anak kecuali
anak tersebut memiliki resiko yang tinggi jika diakukan operasi.
ESWL tidak direkomendassikan pada anak karena tingkat kekambuhannya yang tinggi
(Gustawan, 2007).
2. Bedah
Gold standar untuk terapi kolelitiasis adalah Cholecystectomy. Indikasi untuk tindakan ini
adalah jika anak mengalami gejala nyeri perut berulang karena dapat menyebabkan
kompikasi yang serius (Gustawan, 2007).
Pada anak yang mengalami sel sickle dengan kolelitiasi, laparoscopic Cholecystectomy
elektif merupakan pilihan utama (Gustawan, 2007).
Upaya penanggulangan terkini penyakit batu empedu telah banyak mengalami perubahan
bermakna seiring kemajuan dalam bidang endoskopi, khususnya ERCP dan laparoskopi
terapeutik (Lesmana, 2003).
1. Batu kandung empedu simtomatik
Untuk batu kandung empedu simtomatik, teknik kolesitektomi laproskopik yng
diperkenalkan pada akhir dekade 1980 telah menggantikan teknik operasi kolesistektomi
terbuka pada sebagian besar kasus. Kolesistektomi laparoskopik adalah teknik
pembedahan invasif minimal didalam rongga abdomen dengan menggunakan
pneumoperitonium, sistem endokamera, dan instrumen khusus melalui layar monitor
35
tanpa melihat dan menyentuh langsung kandung empedunya. Sejak pertama kali
diperkenalkan, teknik bedah laparoskopi telah memperlihatkan keunggulan yang
bermakna dibandingkan dengan teknik bedah konvensional. Rasa nyeri yang minimal,
masa pulih yang cepat, masa rawat yang pendek, dan luka parut yang sangat minimal.
36
KOMPLIKASI
Komplikasi yang umum dijumapai adalah batu saluran empedu, kolesistitis akut, pankreatitis
akut, empiema, dan perforasi kandung empedu (Gustawan, 2007).
PROGNOSIS
Batu besar : resiko karsinoma kandung empedu (ukuran > 2cm) (Gustawan, 2007).
37
SIROSIS HATI
DEFINISI
Sirosis hati merupakan perkembangan histology nodules regenerative yang dikeliling
oleh kumpulan serat (Fibrous) yang merupakan respon dari kerusakan hati kronis, yang
mengarah pada hipertensi portal dan tahap akhir dari penyakit (Schuppan,2009).
EPIDEMIOLOGI
Prevalensi sirosis tepatnya tidak diketahui seluruh dunia. Prevalensi sirosis diperkirakan
sebesar 0,15% atau 400.000 di Amerika Serikat, dimana lebih dari 25.000 kematian dan 373.000
pasien masuk rumah sakit pada tahun 1998. Dilaporkan terdapat jumlah yang serupa di Eropa,
dan bahkan jumlahnya lebih tinggi di sebagian besar negara Asia dan Afrika dimana dinegara
tersebut sering terjadi infeksi kronis dari hepatitis B dan C. terjadinya kompensasi sirosis dapat
terdeteksi dalam jangka waktu yang lama, hal ini menunjukkan bahwa sampai dengan 1% dari
populasi mungkin memiliki sirosis secara histologis (Schuppan,2009).
ETIOLOGI SIROSIS
Etiologi sirosis biasanya dapat diidentifikasi dari hasil anamnesis pasien yang dikombinasikan
dengan serologi dan evaluasi histologis. Penyakit hati yang disebabkan oleh Alkohol dan
hepatitis C adalah penyebab paling umum di dunia Barat, sedangkan hepatitis B berlaku di
sebagian besar Asia dan sub-Sahara Afrika. Beberapa factor etiologi yang sering berkontribusi
pada perkembangan sirosis, sebagaimana dicontohkan dalam studi epidemiologi yang
diidentifikasi antara lain kebiasaan mengkonsumsi alkohol, usia di atas 50 tahun, dan jenis
kelamin laki-laki sebagai faktor risiko hepatitis C kronis, atau obesitas di usia tua, resistensi
insulin / diabetes tipe 2, hipertensi dan hiperlipidemia (Semua fitur sindrom metabolik) pada
NASH (Schuppan,2009).
PATOFISIOLOGI
Fibrosis menggambarkan encapsulasi atau penggantian jaringan yang mengalami
kerusakan dengan jaringan scar kolagen. Fibrosis hati merupakan hasil dari perbaikan dari
penyembuhan luka yang berjalan secara normal yang berakibat abnormal yang merupakan
38
kelanjutan fibrogenesis ( produksi jaringan ikat dan pengendapan ). Fibrosis dapat berlanjut
dalam berbagai tingkat factor variable penyebab penyakit hati, lingkungan dan host. Sirosis
merupakan stadium lanjut dari fibrosis hati yang disertai dengan distorsi dari pembuluh darah
hati. Hal ini menyebabkan terjadi aliran balik darah portal dan arteri lansung kedalam hati keluar
dari vena sentral, mengorbankan pertukaran antara sinusoid hati dan parenkim hati yang
berdekatan yaitu hepatosit.
Sinusoid hati yang dibatasi oleh fenestrated endothelia yang bertumpu pada selembar
jaringan ikat permeabel (ruang Disse) yang mengandung sel-sel stellata hati (HSC) dan beberapa
sel mononuklear. Sisi lain dari ruang Disse dibatasi oleh hepatosit yang dikenal melaksanakan
sebagian besar fungsi hati. Dalam sirosis, ruang Disse penuh dengan jaringan parut dan
fenestrations endotel yang hilang, proses memasukkan capillarization sinusoidal. Histologi,
sirosis memiliki karakteristik vascularized septa fibrosis yang menghubungkan saluran portal
satu sama lain dan dengan vena sentral, terkemuka untuk hepatosit pulau yang dikelilingi oleh
septa fibrosis dan yang tanpa pusat pembuluh darah. Konsekuensi klinis utama dari sirosis adalah
gangguan fungsi hepatosit (hati) , resistensi intrahepatik meningkat (hipertensi portal) dan
perkembangan hepatocellular carcinoma (HCC). Secara umum kelainan sirkulasi sirosis
( Vasodilatasi splanknikus, vasokonstriksi dan hipoperfusi ginjal, retensi air dan garam,
peningkatan cardiac output) sangat erat terkait dengan perubahan vaskular di hati dan
menghasilkan hipertensi portal (Schuppan,2009).
MANIFESTASI KLINIS
Sirosis memiliki frekuensi sangat lamban, dan tak terduga tanpa gejala sampai terjadinya
komplikasi hati penyakit ini. Sebagian besar dari pasien ini tidak pernah menunjukkan gejala
klinis, dan sirosis tidak terdiagnosis awal tetapi sering ditemukan pada saat autopsi. Diagnosis
sirosis tanpa gejala biasanya dibuat ketika tes skrining isidental seperti transaminase hati atau
temuan radiologis yang menunjukkan penyakit hati dan pasien menjalani evaluasi lebih lanjut
dan biopsi hati. Dikatakan bahwa 20% pasien HCV dan mungkin sebanyak 10% pasien dengan
NASH dapat berkembang menjadi sirosis dapat menyebabkan penggunaan sering biopsi dalam
kelompok risiko tinggi sebelum perkembangan tanda-tanda klinis dari sirosis. Namun, awal
keadaan klinis pasien dengan sirosis dekompensasi masih umum dan dicirikan oleh adanya
39
komplikasi dramatis dan mengancam nyawa, seperti variceal hemorrhage, ascites, spontaneous
bacterial peritonitis, atau hepatic encephalopathy (Schuppan, 2009).
PENEGAKKAN DIAGNOSIS
Pemeriksaan Radiologis
CT scan dan MRI dijelaskan tidak terlalu peka untuk mendeteksi ada atau tidaknya serosis hati,
namun pemeriksaan ini banyak mengungkapkan pembesaran organ-organ lain di sekitar hati
ataupun kelainan-kelainan yang dapat menimbulkan sirosis hati. Komplikasi yang ditimbulkan
40
oleh sirosis hati juga seperti asites, HCC, thrombosis vena hepatica ataupun vena portal dapat
dideteksi oleh pemeriksaan ini (Schuppan, 2009).
Namun, untuk memastikan telah terjadi sirosis hati atau belum, perlu dilakukannya uji
pemeriksaan histology (Schuppan, 2009).
Pemeriksaan Laboratorium
(Schuppan, 2009).
41
Biopsy Hati
Biopsy hati merupakan gold standar untuk menegakkan sirosis hati serta dapat menilai keparahan
dari suatu sirosis hati. Namun biopsy rentan terhadap variabilitas sampling yang cukup besar
dalam semua penyakit hati. Jadi ketika kriteria fibrosis pada pasien hepatitis C dengan
menggunakan sistem METAVIR yang sederhana dan menggunakan hanya 4 tahap (tahap 4
sirosis sedang), sepertiga dari skor berbeda dengan setidaknya satu kriteria ketika biopsi dari
lobus kiri hati dibandingkan dengan yang dari lobus kanan, dan dengan hal yang serupa
menunjukkan hasil untuk grading dari peradangan. Pada hepatitis C, hasil yang benar hanya
dicapai 65% dan 75% dari kasus-kasus ketika biopsi yang masing-masing panjangnya15 mm dan
25 mm, sedangkan dalam praktek klinis hanya 16% dari biopsi mencapai 25mm panjang.
Meskipun biopsy mempunyai kekurangan seperti itu, biopsi masih diperlukan untuk
mengkonfirmasi sirosis hati masih terkompensasi atau tidak. Dan untuk mengetahui seberapa
besar fungsi hati yang ada mengindikasi penyebab dari sirosis hati. Konfirmasi Biopsi sirosis
tidak diperlukan bila tanda-tanda sirosis sudah jelas, seperti ascites, koagulopati, dan hati
membesar (Schuppan, 2009).
PENATALAKSANAAN
Walaupun sejak tahun 1990-an RAS dikenal sebagai suatu factor yang penting dalam
fibrogenesis, namun baru dalam tiga tahun terakhir peran RAS dalam fibrogenesis hati dipelajari
42
dan dibuktikan. Baik penelitian invitro maupun invivo menunjukkan bahwa RAS merupakan
mediator penting dalam fibrogenesis hati. Walaupun belum ada suatu uji coba klinik, namun
data-data klinis awal menunjukkan bahwa pemberian penyekat RAS dapat mencegah progresi
fibrosis pada penyakit hati kronik. Pemberian obat-obat penyekat RAS mempunyai prospek yang
sangat menjanjikan (Soemohardjo, 2004).
Berbagai macam obat baik penghambat ACE (Captopril, LIsinopril, Perindopril) maupun
penghambat Angiotensin I (Candesartan, Irbersartan, Losartan, Olmesartan) telah dicoba pada
binatang yang mengalami fibrosis hati akibat beberapa macam perlakuan, semua menunjukkan
manfaat yang mengarah ke penurunan fibrosis. Suatu penelitian retrospektif pada penderita-
penderita transplantasi hati akibat infeksi Hepatitis C yang mengalami re infeksi menunjukkan
bahwa penderita yang mendapat terapi penghambat RAS untuk pengobatan hipertensi ternyata
menunjukkan derajat fibrosis yang lebih rendah disbanding penderita lain yang tidak mendapat
terapi penghambat RAS (Soemohardjo, 2004).
43
- Sirosis akibat Hepatitis C
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa sirosis kompensata merupakan indikasi dari
pemberian interferon alfa dan Ribavirin. Banyak penelitian menunjukkan bahwa terapi
Pegylated interferon dan ribavirin pada sirosis kompensata dapat menghambat fibrosis, dan
bahkan mengurangi derajat fibrosis. dan karena itu terapi ini merupakan terapi lini pertama
untuk sirosis kompensata karena Hepatitis C. beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
terapi interferon pada sirosis hati karena Hepatitis C adalah bahwa interferon adalah
kontraindikasi. Di samping itu perlu dilakukan follow up ketat mengenai kadar trmbosit
karena interferon cenderung menurunkan kadar trombosit.
- Terapi sirosis dengan sebab yang tidak diketahui
Untuk sirosis yang sebabnya tidak diketahui tidak mungkin dilakukan terapi untuk
menghilangkan penyebab jejas. Dalam hal ini mungkin pemberian obat-obatan yang dapat
mengurangi fibrosis dapat dipakai, misalnya obat-obat penghambat RAS. Namun sampai
sekarang belum ada suatu uji klinik yang terkontrol.
44
45
Transplantasi hati (Schuppan, 2009).
KOMPLIKASI
Komplikasi lebih sering mengalami HCC, adapun factor resiko untuk mengalami Ca hepar
sebagai berikut: (Schuppan, 2009).
46
(Schuppan, 2009).
PROGNOSIS
Prognosis sirosis hati tergantung dari etiologi dan pengobatannya. Tingkat tahunan untuk sirosis
hati dekompensasi dari pasien HCV 4% dan HBV 10%. Kejadian HCC sekitar 2-7% pertahun.
Untuk sirosis alkoholik prognosisnya lebih buruk dibandingkan HCV dan HBV, setelah terjadi
sirosis dekompensasi tanpa transplantasi selama 5 tahun 85% akan meninggal (Schuppan, 2009).
47
Atresia biliaris Ca pancreas Kolelitiasis Sirosis
Hiperbilirubinemi Terkonjugasi Terkonjugasi Terkonjugasi Terkonjugasi
a
Epidemiologi Insidensi di Asia dan penyebab paling umum - Jarang pada anak Prevalensi sirosis diperkirakan
sebesar 0,15% atau 400.000 di
daerah Pasifik. keempat kematian kanker - Rasio LK:PR= 2,3:1
Amerika Serikat, dimana lebih
lebih sering ditemukan pada pria;
dari 25.000 kematian dan 373.000
pada bayi laki-laki penyebab paling umum pasien masuk rumah sakit pada
kelima kematian kanker tahun 1998;
pada wanita di Amerika Jumlahnya lebih tinggi di
sebagian besar negara Asia dan
Serikat
Afrika
Etiologi & Etiologi : belum - Obesitas secara 1. Idiopatik Etiologi: Penyakit hati yang
disebabkan oleh Alkohol dan
Faktor Resiko diketahui. keseluruhan, obesitas 2. Genetic
hepatitis C dan hepatitis B
Beberapa kasus terlihat perut, diabetes dan 3. Perempuan
memiliki hubungan merokok 4. Usia di atas 40 tahun
FR:
dengan abnormalitas - Perempuan dan laki- 5. Penyakit haemolitik
- kebiasaan mengkonsumsi
morfogenesis dari laki dengan BMI 30 kronik (anemia sel sickle,
alkohol;
duktus biliar yang kg/m2 atau lebih sferositosis) - usia di atas 50 tahun;
terjadi pada saat gestasi tinggi memiliki 81% 6. Nutrisi parenteral total
- jenis kelamin laki-laki;
peningkatan risiko yang lama
- obesitas di usia tua;
Faktor resiko: dibandingkan dengan 7. Kegemukan
- resistensi insulin / diabetes
- Lahir dari ibu yang mereka yang memiliki 8. Sindrom down tipe 2;
diabetes. BMI 20-25 kg/m2 9. Konsumsi kontrasepsi oral - hipertensi dan
Manifestasi klinis e. Ikterus sejak 2 a. gejala tidak spesifik; Bervariasi dari asimptomatik - Sebagian asimptomatik
minggu kehidupan berat badan dan sampai simptomatik.
karena peningkatan nyeri perut bagian atas Gejala yang sering : - Temuan umum:
bilirubin sebagai yang paling Nyeri bilier dan obstruktif Jaundice, Spider
terkonjugasi signifikan jaundice angiomata, nodular liver,
f. Feses pucat (karena b. Gejala malnutrisi, Splenomegaly, Ascites,
terjadi acholic) anoreksia, turunnya Caput medusae, Palmar
dengan urine gelap berat badan dan erythema, finger
g. Hepatomegali pada diabetes mellitus clubbing, Gynecomastia,
semua pasien dijumpai pada 80% Hypogonadism,
h. Limpa teraba penderita anorexia, fatigue, weight
c. Gejala ikterus, loss, muscle wasting
dijumpai pada 70%
kasus; dan tidak - Sirosis yang berkomplikasi
tampak sebagai gejala dicirikan, seperti variceal
hemorrhage, ascites,
awal
spontaneous bacterial
d. Trombosis vena
peritonitis, atau hepatic
adalah manifestasi encephalopathy
pertama yg muncul
e. mual, muntah,
perdarahan, kembung,
dan massa yang
teraba.
f. Manifestasi lain yang
kurang umum
termasuk deep vein
thrombosis dan
panniculitis, fungsi
livier yang abnormal,
obstruksi lambung,
dan depresi
Pemeriksaan - Ultrasonography - Helical CT-scan Laboratorium : pemeriksaan - CT scan dan MRI tidak
penunjang Kandung empedu generasi baru darah lengkap, tes faal hati, terlalu peka untuk
menyusut meskipun - OMD dan endoskopi kadar lipase dan amylase mendeteksi ada atau
berpuasa; liver hilum dapat pula digunakan serum tidaknya serosis hati
tampak - Endoscopic retrograde Radiologi : - Tes Fungsi Hati
hyperechogenic; ada Kolangiopankreatogra USG - Biopsy hati merupakan
kista di hilus hati; fi (ERCP) Foto polos abdomen gold standar untuk
Bayi BA dapat menunjukkan anatomi (dapat menegakkan sirosis hati
menunjukkan fitur pankreas mengidentifikasi batu serta dapat menilai
lain seperti multiple dan empedu-saluran yang radioopak) keparahan dari suatu
spleens, preduodenal dan dapat digunakan Endoscopicultrasonog sirosis hati
portal vein, absence untuk memandu raphy (EUS)
of retrohepatic vena membersihkan duktus Endoscopic
cava or abdominal dan lavage Retrograde
situs inversus. - CA 19-9 merupakan Cholangiopancreatog
- Tes fungsi hati biomarker yang raphy (ERCP)
(LFTs): Bilirubin menunjukkan Magnetic Resonance
total serum (terutama kegunaan klinis dan Cholangio
terkonjugasi) ; berguna untuk Pancreatography
protein serum pemantauan terapi dan (MRCP)
(terutama albumin) awal deteksi penyakit
; Alkaline fosfatase berulang stlh kanker
dan transaminase pancreas dikenali
(misalnya: SGOT ,
SGPT)
- Nuklir scanning
- Percutaneous needle
biopsy
- Uji drainase
duodenum
- Per-operative
cholangiogram
Terapi Tahap pertama: - Agen kemoterapi Non bedah: - Terapi Antifibrotik
melibatkan operasi tunggal - oral dissolution terapy - Transplantasi hati
Kasai - 5-Fluorourasil (5-FU) - ESWL
Tahap kedua: Jika - Gemcitabine Bedah:
sudah terjadi - Tindakan kuratif Gold standar untuk terapi
komplikasi yang pankreatikoduodenekt kolelitiasis adalah
mengancam nyawa omi Cholecystectomy
seperti sirosis.
Pertimbangan untuk
transplantasi hati.
Prognosis baik jika dilakukan - Batu kecil : biasanya hilang - Prognosis sirosis hati
transplantasi hati spontan tergantung dari etiologi
dan pengobatannya
Batu besar : resiko karsinoma - Sirosis alkoholik
kandung empedu (ukuran > prognosisnya lebih buruk
2cm) dibandingkan HCV dan
HBV, setelah terjadi
sirosis dekompensasi
tanpa transplantasi
selama 5 tahun 85%
akan meninggal
Komplikasi penghentian aliran empedu, - batu saluran empedu, Komplikasi lebih sering
kolangitis berulang,
kolesistitis akut, pankreatitis mengalami HCC
hipertensi portal, asites,
akut, empiema, dan perforasi
sindrom hepato-paru, dan
pembentukan danau empedu
kandung empedu
dalam hati dan sirosis
KESIMPULAN
- Jaundice atau ikterus dapat disebabkan karena disfungsi pada salah satu atau lebih dari
fase metabolisme bilirubin yaitu prehepatik, intrahepatik dan posthepatic.
- Gangguan pada prehepatik menyebabkan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi, sedangkan
pada intrahepatik dapat menyebabkan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi dan
terkonjugasi, dan pada posthepatik dapat menyebabkan hiperbilrubinemia terkonjugasi.
- Beberapa penyakit system gastrohepatobiliary yang dapat menyebabkan ikterus antara
lain: atresia biliaris, karsinoma pancreas, kolelitiasis, dan sirosis.
- Atresia biliaris merupakan penyakit yang terjadi pada neonatus, dengan obstruksi
kandung empedu. Menyebabkan ikterus karena terjadi gangguan pada posthepatik
- Ca caput pancreas merupakan keganasan yang terjadi pada pancreas, dan dapat
menyebabkan ikterus karena gangguan metabolism bilirubin posthepatik
- Kolelitiasis adalah material atau kristal yang terbentuk dalam kandung empedu, dapat
menyebabkan ikterus karena gangguan metabolism bilirubin posthepatik
- Sirosis hati merupakan perkembangan histology nodules regenerative yang dikeliling
oleh kumpulan serat (Fibrous) yang merupakan respon dari kerusakan hati kronis dan
dapat menyebabkan hiperbilirubinemia terkonjugasi.
DAFTAR PUSTAKA
Gustawan, I.W., Aryasa K.N., Karyana, I.P.G, Putra, S. 2007. Kolelitiasis pada Anak. Majalah
Kedokteran Indonesia, Volume: 57, Nomor: 10, hh.353-362. Bagian Ilmu Kesehatan
Anak Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/ RS Sanglah Denpasar, Bali.
Hewitt, MR & Yu, K, 2006. Treatment update for metastatic pancreatic cancer. Common
Oncology ; 3, hh. 428-430. Available at www.CommunityOncology.net
Kastomo, DR & Soemardi, A. 2004. Kanker Pankreas. Majalah Kedokteran Indonesia. vol. 54,
no. 12, hh. 524-528
Lesmana, L.A. 2003. Masalah Penyakit Batu Empedu, Upaya Penanggulangan Terkini. Majalah
Kedokteran Indonesia, Volum: 53, Nomor : 12, hh. 431-438. Bagian Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ Rumah Sakit Umum Pusat Nasional
Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Schuppan, D. Nezam. 2009. Liver Chirrosis. Division of Gastroenterology and Hepatology, Beth
Israel Deaconess Medical Center, Harvard. Medical School, Boston, MA: NIH Public.
Available at : http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2271178. Accessed at :
November 2 2010
Sinha & Davenport, Mark, 2008. Biliary Atresia. Available in :
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2788439/?tool=pubmed Accessed at
November 2 2010
Soemohardjo, S., Gunawan, S. 2004. Fibrogenesis Pada Sirosis Hati Prospek Terapi Antifibrotik.
Bagian ilmu penyakit dalam dan unit riset biomedik RSU mataram : Jurnal RSU Mataram