You are on page 1of 9

“SUBYEK DAN OBYEK SENGKETA TUN”

RESUME INDIVIDU ini disusun untuk memenuhi nilai


Mata kuliah: Hukum Acara PTUN
Dosen pengampu : Arif Hidayat, S.H., M.H.

Disusun Oleh :
Nama : Agustina Banjarnahor
Nim : 8150408180

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

2010
SUBYEK DAN OBYEK SENGKETA TUN

Sebelum mengartikan mengenai subyek dan obyek sengketa TUN maka lebih baik kita
mengerti dulu pengertian dari Sengketa TUN itu sendiri. Sengketa Tata Usaha Negara adalah
Sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata
dengan Pejabat Tata Usaha Negara baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat
dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara.

1. SUBYEK SENGKETA TUN

a.      Penggugat

Penggugat adalah seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingan
dirugikan oleh suatu keputusan tata usaha negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada
pengadilan yang berwenang yang berisi tata usaha Negara tutan agar Keputusan tata usaha
negara yang disengketakan dinyatakan batal atau tidak sah dengan atau disertai tata usaha
Negara tuntutan ganti rugi dan rehabilitasi. (Pasal 53 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9
Tahun 2004).

Jika disimpulkan maka Penggugat adalah:


a. Orang yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara
b. Badan Hukum Perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata
Usaha Negara dapat bertindak dalam lalu lintas Hk
c. kecuali minderjarig, curratele, cacat mental
Menurut Indroharto, pengertian kepentingan disini adalah:
a. Menunjuk kepada nilai yang harus dilindungi oleh hukum
b. Kepentingan proses, artinya apa yang hendak dicapai dengan melakukan suatu proses
gugatan yang bersangkutan.

Selain itu pula Penggugat dapat mengajukan permohonan penundaan pelaksanaan


keputusan tata usaha negara yang dijadikan obyek gugatan selama pemeriksaan sengketa tata
usaha negara sedang berjalan sampai ada putusan Pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap
sebagaimana diatur dalam Pasal 67 ayat (2) UU No.5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 4 UU No. 5 Tahun 1986 UU No. 9 Tahun 2004
maka hanya seseorang atau badan hukum perdata yang berkedudukan sebagai subyek hukum
saja yang dapat mengajukan gugatan ke PTUN untuk menggugat keputusan tata usaha negara.
Untuk mengajukan gugatan diperlukan alasan-alasan yang mendasarinya terhadap
Keputusan tata usaha negara yang digugat, pengadilan memerlukan dasar pengujian apakah
keputusan tata usaha negara tersebut rechtmatig (absah) atau tidak. pasal 53 ayat 2 UU No. 5
Tahun1986 UU No. 9 Tahun 2004 menggariskan alasan mengajukan gugatan bagi penggugat
yang merupakan dasar pengujian oleh pengadilan.
Alasan mengajukan gugatan menurut Pasal 53 ayat 2 UU No. 5 Tahun 1986 UU No. 9 Tahun
2004 adalah  :

a.       Keputusan tata usaha negara tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan


yang berlaku.

b.      Keputusan tata usaha negara tersebut bertentangan dengan Asas-Asas Umum Pemerintah
yang Baik (AAUPB).

Aspek yang bertentangan itu menyangkut wewenang, prosedur, dan substansi keputusan tata
usaha negara tersebut.

b.      Tergugat

Yang dimaksud dengan tergugat adalah:

a. Badan TUN yang mengeluarkan Keputusan TUN berdasarkan wewenang yang ada
padanya atau yang dilimpahkan kepadanya yang digugat oleh orang atau badan hukum
perdata. (Tergugat adalah jabatan pada Badan TUN).
b. Pejabat TUN yang mengeluarkan keputusan TUN berdasarkan wewenang yang ada
padanya atau yang dilimpahkan kepadanya yang digugat oleh orang atau badan hukum
perdata.
Dalam kepustakaan hukum administrasi terdapat dua cara utama untuk memperoleh
wewenang pemerintahan yaitu atributif dan delegasi. Kadang-kadang juga mandat, ditempatkan
sebagai cara tersendiri untuk memperoleh wewenang, namun apabila dikaitkan dengan gugatan
tata usaha negara (gugatan ke PTUN), mandat tidak ditempatkan secara tersendiri karena
penerima mandat tidak bisa menjadi tergugat di PTUN.
Ketentuan hukum yang menjadi dasar dikeluarkan keputusan yang disengketakan itu
menyebutkan secara jelas Badan atau Pejabat tata usaha negara yang diberi wewenang
pemerintahan. Jadi dasar wewenang yang diberikan oleh suatu peraturan perundang-undangan
sendiri itu dinamakan bersifat atributif. Dan manakala Badan atau Pejabat tata usaha negara
memperoleh wewenang pemerintahan secara atributif itu mengeluarkan Keputusan tata usaha
negara yang kemudian disengketakan, maka yang harus digugat adalah badan atau pejabat tata
usaha negara yang memperoleh wewenang pemerintahan secara atributif tersebut.
Ada kalanya ketentuan dalam peraturan dasarnya menyebutkan bahwa badan atau pejabat
yang mendapat kewenangan atributif mendelegasikan wewenangnya kepada Badan atau Pejabat
lain. Apabila Badan atau pejabat tata usaha negara yang menerima pendelegasian ini
mengeluarkan keputusan tata usaha negara yang kemudian disengketakan, maka Badan atau
Pejabat tata usaha negara inilah yang menjadi tergugat.

 c.       Pihak Ketiga yang berkepentingan

Dalam Pasal 83 UU No. 5 / 1986 jo UU No. 9/ 2004 disebutkan :


(1).     Selama pemeriksaan berlangsung, setiap orang yang berkepentingan dalam sengketa
pihak lain yang sedang diperiksa oleh Pengadilan, baik atas prakarsa sendiri dengan
mengajukan permohonan, maupun atas prakarsa hakim, dapat masuk dalam sengketa
tata usaha negara, dan bertindak sebagai:

-       pihak yang membela haknya, atau

-       peserta yang bergabung dengan salah satu pihak yang bersengketa.

(2).     Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat l dapat dikabulkan atau ditolak oleh
Pengadilan dengan putusan yang dicantumkan dalam berita acara.
(3).     Permohonan banding terhadap putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam
ayat 2 tidak dapat diajukan tersendiri, tetapi harus bersama-sama dengan
permohonan banding terhadap putusan akhir dalam pokok sengketa.
 Pasal ini mengatur kemungkinan bagi seseorang atau badan hukum perdata ikut serta dalam
pemeriksaan perkara yang sedang berjalan.

2. Obyek Sengketa

Obyek sengketa di PTUN adalah Keputusan tata usaha negara sebagaimana dimaksud Pasal 1
angka 3 dan Keputusan fiktif negatif berdasarkan Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9
Tahun 2004. 

Tipologi KTUN menurut Hukum Administrasi Negara (dan UU PTUN) terdapat 3 yaitu;
1. Faktual (berupa tindakan),
2. Tertulis dan
3. Sikap Diam (hal ini terdapat dalam pasal 3 UU 5/86.
Tidak semua KTUN yang tertulis dapat menjadi obyek sengketa TUN karena harus
KTUN yang dikualisir yaitu yang dikeluarkan oleh badan/pejabat TUN, bersifat final, Konkret
Individual dan Menimbulkan Akibat Hukum. Makna tertulis dalam suatu KTUN ditujukan pada
“isi” dan bukan formatnya

a. Keputusan Tata Usaha Negara :

Pengertian Keputusan tata usaha negara menurut pasal 1 angka 3 uu No. 5 Tahun 1986
UU No. 9 Tahun 2004 ialah  Suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat
tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku yang bersifat konkret, individual, final, yang menimbulkan
akibat hukum bagi Seseorang atau Badan Hukum Perdata.

Dari rumusan keputusan tersebut di atas, dapat ditarik unsur-unsur yuridis keputusan
menurut hukum positip sebagai berikut  :
1)      Suatu penetapan tertulis.
2)      Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat tata usaha negara.
3)      Berisi tindakan hukum tata usaha negara.
4)      Bersifat konkret, individual dan final.
5)      Menimbulkan akibat hukum bagi Seseorang atau Badan Hukum Perdata.

 b. Keputusan tata usaha negara fiktif negatif

Obyek sengketa PTUN termasuk keputusan tata usaha Negara yang fiktif negatif sebagai mana
dimaksud Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004, yaitu :

(1)      Apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan
hal itu menjadi kewajibannya maka hal tersebut disamakan dengan Keputusan Tata Usaha
Negara.

(2)      Jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan yang
dimohon, sedangkan jangka waktu sebagai mana ditentukan dalam peraturan perundang-
undangan dimaksud telah lewat, maka badan atau penjabat tata usaha negara tersebut
dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud.

(3)      Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka


waktu maka setelah lewat jangka waktu 4 bulan sejak diterimanya permohononan, badan
atau penjabat tata usaha negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan
keputusan.

Jadi jika jangka waktu telah lewat sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-
undangan atau setelah lewat empat bulan sejak diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat tata
usaha negara itu tidak mengeluarkan keputusan yang dimohonkan, maka Badan atau Pejabat tata
usaha negara tersebut dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan.
Sikap pasif Badan/Pejabat tata usaha negara yang tidak mengeluarkan keputusan itu dapat
disamakan dengan keputusan tertulis yang berisi penolakan meskipun tidak tertulis. Keputusan
demikian disebut keputusan fiktif-negatif. Fiktif artinya tidak mengeluarkan keputusan tertulis,
tetapi dapat dianggap telah mengeluarkan keputusan tertulis. Sedangkan negatif berarti karena isi
keputusan itu berupa penolakan terhadap suatu permohonan.  Keputusan fiktif negatif merupakan
perluasan dari keputusan tata usaha negara tertulis yang menjadi objek dalam sengketa tata usaha
negara.
Contoh Kasus

SENGKETA LAHAN

PTUN Tolak Gugatan terhadap Buana Estate

Senin, 30 April 2007

JAKARTA (Suara Karya): Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta menolak gugatan
Direktur PT Genta Pranata yang diwakili direkturnya Drs Dolok F Sirait terhadap Kepala BPN
(tergugat I), Kepala Kantor Pertanahan Bogor (tergugat II) dan PT Buana Estate selaku tergugat
II intervensi.

Dolok Sirait selaku penggugat I dan HM Sukandi penggugat II yang diwakili kuasa hukum-nya
Denny Kailimang menggugat Surat Keputusan Kepala BPN Nomor 9/HGU/ BPN/2006 tentang
Pemberian Jangka Waktu HGU atas tanah yang terletak di desa Hambalang, Keca-matan
Citeureup, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Dalam penjelasannya kepada wartawan, kemarin, kuasa tergugat II intervensi Drs Anim San-
joyo Romansyah mengatakan, sejak awal pihaknya yakin akan dimenangkan PTUN dalam
gugatan tersebut karena berada dalam posisi yang benar. Terbukti, PTUN menolak gugatan pihak
penggugat," katanya menanggapi putusan PTUN Jakarta, Kamis lalu.

Adapun obyek gugatan dalam perkara tersebut adalah SK Kepala BPN No 9/HGU/BPN/2006
tentang Pemberian Jangka Waktu HGU atas tanah yang terletak di Kabu-paten Bogor atas na-ma
PT Buana Estate yang diterbitkan tergugat 1 Juni 2006. Sertifikat HGU No 149/Ham-balang atas
nama PT Buana Estate yang diterbitkan oleh tergugat II pada 15 Juni 2006 atas tanah seluas
4.486.975 M2.

Dalam gugatannya, penggugat menyatakan selaku pemilik/pemegang hak atas tanah seluas
2.117.500 meter persegi yang terletak di desa Hambalang, termasuk dalam bagian tanah obyek
Surat keputusan N0 9/HGU/BPN 2006 tentang Jangka Waktu HGU atas tanah yang ter-letak di
Kabupaten Bogor atas nama PT Buana Estate.Penggugat juga menyatakan pihak paling yang
berhak atas tanah seluas 211,75 Ha karena te-lah memiliki/menguasai tanah tersebut dari
penguasaan penggarap yang telah menguasai dan menggarap lokasi tanah tersebut sejak sekitar
tahun 1960.

Namun majelis hakim yang diketuai oleh Kadar Slamet menyatakan penerbitan HGU PT Bu-ana
Estate telah sesuai dengan prosedur, demikian juga penerbitan sertifikat tidak cacat hu-kum.
Majelis hakim juga tidak menemukan fakta-fakta penelantaran lahan oleh PT Buana Estate. Atas
dasar tersebut majelis hakim menolak gugatan penggugat.Majelis hakim juga menghukum
penggugat untuk membayar biaya perkara dan diberi waktu 14 hari untuk menentukan apakah
banding atau menerima putusan tersebut.
Para pihak dalam kasus ini yaitu:

1. Direktur PT Genta Pranata sebagai penggugat I yang diwakili direkturnya Drs Dolok F
Sirait
2. HM Sukandi sebagai penggugat II yang diwakili kuasa hukumnya Denny Kailimang

MELAWAN

1. Kepala BPN sebagai tergugat I


2. Kepala Kantor Pertanahan Bogor sebagai tergugat II
3. PT Buana Estate sebagai tergugat II intervensi.

Menurut S. Prajudi Atmosudidjo, birokrasi (bureavcracy) atau Administrasi Negara atau tata
Usaha Negara (TUN) meliputi tiga hal, yaitu:
1. aparatur negara, aparatur pemerintah, atau institusi politik (kenegaraan)
2. fungsi atau aktivitas melayani atau sebagai kegiatan pemerintah operasional
3. proses teknis peyelenggaraan undang-undang.

Ketiga unsur tersebut dapat diwujudkan dalam kenyataan melalui aktivitas pejabat birokrasi atau
aparatur negara yang menjalankan tugas administrasi melalui pengambilan keputusan-keputusan
administratif yang bersifat individual, kasual, faktual, teknis penyelenggaraan, dan tindakan
administratif, yang bersifat organisasional, manajerial, informasional, atau operasional.
Keputusan maupun tindakan pejabat birokrasi itu dapat dilawan melalui berbagai bentuk
peradilan Administrasi Negara.

Adapun yang dikategorikan pejabat birokrasi atau pejabat Tata Usaha Negara (TUN) menurut
ketentuan pasal I angka 8 UU No 51 tahun 2009, adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
adalah badan atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian yang menjadi patokan bukanlah
kedudukan struktural pejabat atau organ yang bersangkutan dalam jajaran pemerintahan dan
bukan pula nama resminya, melainkan fungsi urusan pemerintah, maka oleh Undang-undang
Pengadilan Tata Usaha Negara dianggap sebagai badan atau Pejabat Tata Usaha Negara/ pejabat
birokrasi.

Menurut ketentuan Pasal 53 UU No 5 Tahun 1986 tentang PTUN, menyatakan bahwa Orang
atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata
Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi
tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak
sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau direhabilitasi.

Sumber Referensi:

1. http://www.dostoc.com/ subyek dan obyek sengketa TUN


2. http://www.alexa.com/siteinfo/http://www.alytehmardian.blogspot.com

You might also like