You are on page 1of 65

1993

85. Hepatitis Juni 1993 International Standard Serial Number: 0125 – 913X

Daftar Isi :
2. Editorial

4. English Summary

5. Pengobatan Hepatitis B Kronik dengan Interferon – H. Achmad


Hassan
11. Virus Hepatitis C pada Hepatitis Menahun dan Sirosis Hati di
Surabaya – Widawati Soemarto
14. Virus Hepatitis C pada Penyakit Hati Menahun Pasca Transfusi – H.
Achmad Hassan
17. Hepatoma Sekunder sebagai Manifestasi Klinik Adenokarsinoma
Sigmoid – Putu Suharta Putra, Harijono Achmad
Karya Sriwidodo WS 21. Diagnosis dan Pengelolaan Edema Paru Kardiogenik Akut – Budi
Susetyo Pikir
26. Farmakologi Obat Anti Hiperlipidemia – Muhammad Totong
Kamaluddin

33. Perubahan Kadar Kompleks Imun pada Penderita Malaria Ter-


infeksi Plasmodium falciparum – M. Hasyimi
36. Pembuatan dan Evaluasi Antisera Golongan Darah ABO – Yovita
Lisa wati
43. Pengaruh Kortikosteroid terhadap Sistem Imun – Ngakan Putu
Sutarman, Julius Roma
47. Penanggulangan Gangguan Akibat Kckurangan Iodium di Indonesia
– Yuyus Rusiawati, Sumengen Sutomo
52. Etiologi Mikrobiologi Diare Kronik pada Anak Balita di Jakarta –
PudjarwotoTriatmojo,Cyrus H. Sim anjuntak, A gus Firmansyah,
Suharyono
58. Aspek Sosial Budaya dalam Pemberantasan Penyakit Demam
Berdarah di Kota Madya Pontianak, Kalimantan Barat – Kasno-
dihardjo

61. Pengalaman Praktek


62. Abstrak
64. RPPIK
Untuk kedua kalinya Cermin Dunia Kedokteran mengambil topik
Hepatitis sebagai masalah utama, kali ini lebih terarah kepada Hepatitis C.
Dan untuk lebih memperluas pembahasan, kali ini disertakan juga masalah
Hepatoma dan makalah lain mengenai Edema Paru Kardiogenik.
Artikel lain yang juga menarik ialah mengenai golongan darah ABO,
peranan kortikosteroid terhadap sistim imun, kekurangan yodium dan
masalah diare kronik di kalangan anak-anak balita.
Selamat membaca,

Redaksi

2 Cermin Dunia Kedokteran No. 85, 1993


1992

International Standard Serial Number: 0125 – 913X

REDAKSI KEHORMATAN
KETUA PENGARAH
– Prof. DR. Kusumanto Setyonegoro – Prof. DR. B. Chandra
Dr Oen L.H Guru Besar Ilmu Kedokteran Jiwa Guru Besar Ilmu Penyakit Saraf
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga,
KETUA PENYUNTING Jakarta. Surabaya.
Dr Budi Riyanto W – Prof. Dr. R. Budhi Darmojo
PELAKSANA – Prof. Dr. R.P. Sidabutar Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam
Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro,
Sriwidodo WS Sub Bagian Ginjal dan Hipertensi Semarang.
Bagian Ilmu Penyakit Dalam – Drg. I. Sadrach
TATA USAHA Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Lembaga Penelitian Universitas Trisakti,
Sigit Hardiantoro Jakarta. Jakarta
ALAMAT REDAKSI – DR. Arini Setiawati
– Prof. Dr. Sudarto Pringgoutomo Bagian Farmakologi
Majalah Cermin Dunia Kedokteran Guru Besar Ilmu Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
P.O. Box 3105 Jakarta 10002 Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta,
Telp. 4892808 Jakarta.
Fax. 4893549, 4891502
NOMOR IJIN
151/SK/DITJEN PPG/STT/1976 REDAKSI KEHORMATAN
Tanggal 3 Juli 1976
– DR. B. Setiawan – Drs. Victor S Ringoringo, SE, MSc.
PENERBIT
Grup PT Kalbe Farma
– DR. Ranti Atmodjo – Dr. P.J. Gunadi Budipranoto
PENCETAK
PT Midas Surya Grafindo

PETUNJUK UNTUK PENULIS

Cermin Dunia Kedokteran menerima naskah yang membahas berbagai sesuai dengan urutan pemunculannya dalam naskah dan disertai keterangan
aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, juga hasil penelitian di bidang- yang jelas. Bila terpisah dalam lembar lain, hendaknya ditandai untuk meng-
bidang tersebut. hindari kemungkinan tertukar. Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan
Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untuk pemunculannya dalam naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated
diterbitkan oleh Cermin Dunia Kedokteran; bila telah pernah dibahas atau Index Medicus dan/atau Uniform Requirements for Manuseripts Submitted
dibacakan dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan menge- to Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9). Contoh:
nai nama, tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut. Basmajian JV, Kirby RL. Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore. London:
Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan William and Wilkins, 1984; Hal 174–9.
bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang Weinstein L, Swartz MN. Padaogenetic properties of invading microorganisms.
berlaku. Istilah media sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Padaologic physiology: Mecha-
yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi berhak nisms of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974; 457-72.
mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah harus di- Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin
sertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia. Untuk memudahkan para pem- Dunia Kedokt. l990 64 : 7-10.
baca yang tidak berbahasa Indonesia lebih baik bila disertai juga dengan abstrak Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau lebih,
dalam bahasa Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk.
berbahasa Inggris untuk karangan tersebut. Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran
Naskah diketik dengan spasi ganda di atas kertas putih berukuran kuarto/ P.O. Box 3105
folio, satu muka, dengan menyisakan cukup ruangan di kanan-kirinya, lebih Jakarta 10002
disukai bila panjangnya kira-kira 6 - 10 halaman kuarto. Nama (para) pe- Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk diterbitkan, akan diberitahu
ngarang ditulis lengkap, disertai keterangan lembaga/fakultas/institut tempat secara tertulis.
bekerjanya. Tabel/skema/grafik/ilustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelas- Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan bila disertai dengan
jelasnya dengan tinta hitam agar dapat langsung direproduksi, diberi nomor amplop beralamat (pengarang) lengkap dengan perangko yang cukup.

Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulis


dan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga/bagian tempat
kerja si penulis.
Cermin Dunia Kedokteran No. 85, 1993 3
English Summary
HEPATITIS C VIRUS IN PATIENTS PRODUCTION AND EVALUATION THE INFLUENCE OF CORTICOS-
WITH CHRONIC HEPATITIS AND OF ABO BLOOD GROUP ANTISERA TEROIDS ON THE IMMUNE SYSTEM
WITH LIVER CIRRHOSIS IN SURA-
BAYA Yovita Lisawati Ngakan Putu Sutarman, Yulius
Faculty of Mathematics and Sciences, Roma
Andalas University, Padang, Indonesia
Widawati Soemarto Dept. of Child Health, Faculty of Medi-
HepatogastroenterologySubdiv. Dept. of cine, Hasanuddin University, Ujungpan-,
Internal Medicine, Faculty of Medicine, Examination of production and Bang, Indonesia
Airlangga University, Surabaya, Indo- evaluation of antisera for fixation
nesia of ABO system of immunized Corticosteroid is the hormone
rabbit blood has been performed. that was produced by adrenal
To assess the role of HCV in From blood of immunized rabbit cortex. The immune system is a
chronic liver diseases, a study has with human blood cell-A, we got defence mechanism which in-
been done on 60 cirrhosis, 55 antisera-A which gives a specific dude specific and non-specific
chronic hepatitis and 39 non-liver reaction to human blood cell-A immune system. Corticosteroid
disease patients in the period and fulfill minimum requirement that was given by topical or sys-
between October and Decem- that is defined by WHO, with temic route can depress the
ber 1990. Sera samples were average activity equals to 3,440 specific and non-specific
examined for C-100 antibodies second and titre level was 1/128. immune system.
using the Abbott HCV EIA kit. We got antisera-B which gives a Cermin Dunia Kedokt. 1993; 85: 43-6
In non-liver disease patients all specific reaction to human blood nps/yr
samples were negative for Anti- cell-B from blood of immunized
HCV. In cirrhosis patients Anti- rabbit with human blood cell-B,
HCV was positive in 63.3%, in but it didn't fulfill minimum require-
one of which HBsAg was also ment of titre level that required
positive. Samples from chronic by WHO, titre level was 1/8.
hepatitis patients were positive
for Anti-HCV in 49.1% with no Cermin Dunia Kedokt. 1993; 85: 36-42
yl
one showing mixed infection.
These data demonstrated the
important role of HCV in the
padaogenesis of chronic liver
diseases, beside the wellknown
HBV.
The prevalence of mixed in-
fection with HBV and HCV is low 1
in this study, as are also reported
by other authors.
Cermin Dunia Kedokt. 1993; 85: 11-3
ws

4 Cermin Dunia Kedokteran No. 85, 1993


Artikel

Pengobatan Hepatitis B Kronik


dengan Interferon
Dr H Achmad Hassan
Seksi Hepatologi, Laboratorium Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga/RSUD Dr. Sutomo, Subaraya

Secara fungsional sistim imun terdiri dari 2 kelompok, – Hepatitis B kronik persisten sebesar 97%
sistim kekebalan alamiah (innate immunity) dan sistim kekebal- – Hepatitis kronik aktif sebesar 86%
an yang didapat (acquired immunity). Sistim kekebalan alamiah – Hepatitis kronik aktif plus sirosis hati sebesar 55%.
merupakan mekanisme pertahanan yang telah dimiliki tubuh Penyebab kematian terbanyak akibat kegagalan fungsi hati.
sejak lahir, terdiri dari : lisosim, komplemen, protein fase akut, Ditambahkan pula, pada suatu penelitian masal di Taiwan di-
interferon, fagosit serta sel Natural Killer (NK). Agen luar yang dapatkan pengidap VHB berpotensi untuk terkena kanker hati
masuk ke tubuh, pertama kali akan berhadapan dengan elemen- sebesar 200 kali lebih besar dibanding dengan yang tidak
elemen tersebut. Bila sistim pertama ini gagal, akan berfungsi mengidap VHB.
Sistim Kekebalan Yang Didapat yang komponen utamanya Di samping itu juga dijumpai beberapa faktor yang ikut
terdiri dari antibodi dan limfosit T. Di antara kedua sistim berperan :
tersebut selalu terjadi interaksi(1). • Adanya beberapa episode spontan dari VHB yang meng-
Suatu unsur penting dalam Sistim Kekebalan Alamiah ada- alami eksaserbasi dan replikasi yang menjurus ke arah dekom-
lah interferon (IFN), yang juga ikut mengatur Sistim Kekebalan pensasi dan progresivitas penyakit hati pada penderita yang se-
Yang Didapat. Sistim IFN terdiri dari sejumlah protein yang belumnya hanya menderita penyakit hati yang ringan dan stabil.
disekresi oleh beberapa jenis sel sebagai respon terhadap virus • Bentuk yang ringan dari hepatitis kronik persisten,
atau rangsangan lain. Sejak ditemukan oleh Isaac dan Lindenann sewaktuwaktu dapat progresif menjadi hepatitis kronik aktif
(1957), IFN dikenal memiliki daya antivirus. Dalam perkem- bahkan sirosis hati.
bangannya, ternyata IFN juga memiliki daya antiproliferatif • Pengidap hepatitis B dapat bertindak sebagai reservoir atau
serta imunomodulasi. Pengaruh IFN telah nyata beberapa jam sumber infeksi bagi sekitarnya.
setelah infeksi virus, jauh lebih cepat sebelum mekanisme imun • Ketidakmampuan kortikosteroid dalam pengobatan hepati-
lainnya berfungsi(1,2). Kemampuan IFN telah dimanfaatkan pada tis B kronik; disamping dalam kurun waktu yang lama dapat
berbagai bidang, antara lain untuk mempelajari patofisiologi meningkatkan replikasi VHB dan mencegah menghilangnya
serta pengobatan penyakit hati akut maupun kronik. HBeAg dalam serum penderita(3).
Dalam makalah ini akan dibahas rasionalisasi pengobatan
hepatitis B kronik dan tinjauan umum tentang IFN terutama MEKANISME KERJA INTERFERON
mengenai mekanisme kerja serta peranan IFN dalam hepatitis B A. Jenis-jenis Interferon
dan penggunaannya dalam bidang terapi. Sampai kini telah diketahui 3 jenis IFN : alfa, beta dan gama.
Ketiganya memiliki efek biologik yang sama pada sel, namun
RASIONALISASI PENGOBATAN berbeda dalam struktur, berat molekul serta daya antivirus dan
Hepatitis B kronik adalah suatu penyakit hati serius yang imunomodulasinya.
dapat berakibat sirosis hati, kanker hati dan bahkan kematian. 1) IFN alfa
Dalam suatu penelitian multisentral(3) didapatkan bahwa angka a) IFN Leukosit
ketahanan hidup 5 tahun : Leukosit manusia dapat memproduksi IFN setelah diinduksi

Cermin Dunia Kedokteran No. 85, 1993 5


dengan virus Sendai; IFN terbentuk lengkap dalam 18 jam. berapa jalan :
Dari 450 ml darah dihasilkan sekitar 5 juta unit (MU) IFN(2). a) Meningkatkan fagositosis makrofag dan daya sitotoksik sel
b) IFN limfoblastoid (Lymphoblastoid IFN) NK(2).
Limfosit B manusia yang mengalami transformasi bila di- b) Meningkatkan ekspresi HLA pada permukaan sel yang
induksi dengan virus Sendai dapat menghasilkan IFN. Karena terinfeksi oleh virus. HLA tersebut bersama antigen virus pada
sel-sel tersebut dapat dibiakkan, maka dapat diproduksi IFN permukaan sel akan dikenali oleh limfosit T sitotoksik yang
dalam jumlah besar dengan derajat kemumian 80-95%. Kondisi menyebabkan lisis sel(5,6,7).
ini memungkinkan dilakukannya pengobatan interferon jangka c) Ikut dalam lymphokine cascade dan produksi Interleukin 1,
panjang dan uji klinik yang luas(2,4). Interleukin 2.
c) IFN rekombinan (Recombinant IFN) d) Menginduksi produksi Prostaglandin (PGE2) oleh hipota-
Sedikitnya 16 gen IFN alfa telah dibuat secara rekayasa lamus dan menimbulkan demam(2).
genetik menggunakan ragi dan bakteri Escherichia coli. 3) Efek antiproliferatif
Yang sering dipakai untuk terapi adalah IFN alfa-2 IFN menghambat proliferasi sel tumor dengan mekanisme
(rekombinan A) dan IFN an-1 (rekombinan D). Dengan cara ini ,,yang masih belum jelas. Dalam pengamatan pada biakan ja-
dihasilkan IFN dalam jumlah besar dengan derajat kemumian ringan ternyata sifat contact inhibition sel dipulihkan. Efek ini
yang amat tinggi(5). menekan daya metastasis tumor(2).
2) IFN beta
IFN beta dibuat oleh fibroblas, 40% susunan gennya mirip TARGET INTERFERON DALAM TERAPI ANTI VIRUS
IFN alfa. IFN beta dan IFN alfa mempunyai reseptor yang sama; Tujuan utama pengobatan hepatitis B kronik adalah me-
keduanya disebut IFN Tipe i(2). nekan dan mengeliminasi virus hepatitis B sekaligus dapat
3) IFN gama mengindusir kesembuhan penyakit hati; sedang target pengobat-
IFN gama dihasilkan oleh limfosit T akibat paparan antigen an interferon pada kasus-kasus hepatitis B kronik yang dida-
berulang; dapat pula diinduksi oleh mitogen nonspesifik seperti patkan pada beberapa percobaan klinik adalah menghilangnya
Lectin atau enterotoksin stafilokokus. IFN gama bekerja pada beberapa petanda virus fase replikatif yakni HBeAg, HBV-
reseptor yang berbeda dengan IFN alfa dan beta, dan telah di- DNA dan HBV-DNA polimerase.
gunakan untuk pengobatan beberapa jenis neoplasma atau ke- Serokonversi HBeAg biasanya akan diikuti dengan meng-
lainan darah; pemakaian untuk Hepatitis B sedang dalam per- hilangnya HBV-DNA dalam serum penderita; eliminasi HBV-
cobaan; IFN Gama disebut pula IFN Tipe Imun/Tipe II(2). DNA dalam jaringan hati diikuti dengan normalisasi aminotrans-
ferase serum dan pada akhirnya terjadi resolusi komplit jaringan
MEKANISME KERJA hati yang sebelumnya mengalami proses radang nekrosis(3).
Seperti yang disebut di atas IFN terjadi karena rangsangan Suatu studi histologik jangka panjang sangat dibutuhkan
virus, di samping itu sebagai akibat induksi oleh beberapa untuk mendapatkan konfirmasiadanya perubahan ke arah kanker
mikroorganisme, asam nukleat, antigen, mitogen dan polimer hati, atau suatu keadaan radang yang minimal dan stabil. Suatu
sintetik. Proses induksi yang berlangsung berturut-turut kenyataan bahwa dengan menghilangnya HBsAg dari serum
menyebabkan depresi gen pembuat IFN, transplasi warna IFN penderita berarti berakhirnya suatu status karier HBV, tapi keadaan
dan transplasi protein IFN; keseluruhan proses berlangsung ini masih meninggalkan problematik pengobatan dengan anti
hanya dalam beberapa jam(2,6). virus, karena bila sekali terjadi intergrasi DNA virus ke dalam
Setelah dihasilkan, IFN bekerja melalui beberapa meka- genome host, keadaan tersebut sudah tidal( mungkin dihambat
nisme utama sebagai berikut : dengan cara apapun. Oleh karena itu dari beberapa observasi
1) Efek antivirus klinik dikemukakan pendapat bahwa pengobatan pada saat
IFN segera terikat pada reseptor spesifik pada permukaan awal sebelum terjadinya integrasi (HBV-DNA virus ke genome
sel; ikatan ini mengaktifkan 2 macam ensim, yaitu : host) lebih mempunyai makna ketimbang pada fase integrasi,
a) protein kinase, yang membantu fosforilasi 2 macam dan ini dapat berakibat menghilangnya HBsAg(3).
protein protein Alfa 1 dan elf-2 alfa. Kedua protein ini
menghambat sintesis protein virus. INTERFERON DAN HEPATITIS VIRUS
b) 2', 5' oligoadenylate (2' 5' A) synthetase, yang membentuk IFN tak terdeteksi dalam serum individu sehat, sebaliknya
oligonukleotida rantai pendek. Oligonukleotida ini selanjutnya pada fase akut beberapa penyakit virus kadarnya mencapai
merangsang ensim ribonuklease, yang akan menyebabkan beberapa ratus unit/ml. Sebelum tahun 1980 dinyatakan bahwa
degradasi RNA virus(6). IFN tidak diproduksi pada hepatitis virus akut(2), namun Levin
Beberapa ensim lain, seperti sitokrom P450, juga diaktifkan dan Hahn (1981) menemukan IFN alfa pada 75% kasus hepatitis
oleh IFN. Ini berarti IFN bekerja pada beberapa tempat dalam virus akut baik karena virus A, B atau virus C, tetapi tak terdapat
fungsi antivirus ini(2). pada hepatitis fulminan akut(8). Chousterman (1988) mempertegas
2) Efek imunomodulasi : hal ini dengan bukti bahwa sel mononuklear berada dalam status
IFN memperbaiki sistim imun, baik Sistim Kekebalan antivirus pada hepatitis B akut yang tidak fulminan(9). IFN
Alamiah maupun Sistim Kekebalan Yang Didapat melalui be- diproduksi pada fase prodromal hepatitis B, yaitu ketika terjadi

6 Cermin Dunia Kedokteran No. 85, 1993


mialgia, demam dan sakit kepala. Ketika ikterus timbul, terjadi harus dijelaskan dengan jujur, karena dapat mempenga-
transaminase serum meningkat dan kadar virus telah berkurang, ruhi hasil terapi. Efek samping tersebut hilang dengan penghen-
selanjutnya tak terjadi lagi peningkatan IFN(2,10). tian terapi, sedangkan obat-obatan tidak banyak membantu(2,15).
Pada hepatitis kronik, khususnya hepatitis B, IFN tak ter-
deteksi dalam serum penderita maupun partikel tuboretikuler Tabel 1. Beberapa efek samping interferon(2).
(yang lazim terbentuk akibat rangsangan IFN)(2). Dalam analisis Saat Umum terjadi Jarang terjadi
invitro, Kato et al. menemukan bahwa sel monosit penderita
tersebut mampu memproduksi IFN setelah diinduksi dengan Dini Demam (40°C), menggigil, Hipotensi, sianosis, bingung,
sakit kepala, anoreksia, perubahan EEG.
virus Sendai, di samping ensim 2'5'a synthetase mempunyai nausea, kelelahan, nyeri otot,
aktivitas normal (dikutip dari 3). Ikeda mendapatkan bahwa insomnia.
IFN dari luar dapat bereaksi dengan reseptor secara normal(11). Lambat Kelelahan, nyeri otot, me- Agitasi, depresi, nausea,
Semua ini menunjukkan adanya cacad dalam mekanisme (≥ 2 minggu) ngantuk, berat badan turun, diare, hidung tersumbat,
rambut rontok, gangguan nyeri tenggorok, sindrom
produksi IFN pada penderita hepatitis B kronik, namun belum emosi, supresi sumsum nefrotik.
diketahui pasti letak gangguan yang terjadi(10,11,13). tulang.
Dengan memakai antibodi monoklonal, diketahui bahwa
IFN alfa menginduksi munculnya HLA Kelas 1 pada membran Respon terhadap pengobatan IFN
sel hati. HLA Kelas 1 tersebut bersama HBcAg pada permuka- Terdapat tiga jenis respon hepatitis B kronik terhadap IFN(5).
an sel hati memberi isyarat pada limfosit T sitotoksik untuk 1) Respon sementara (Transient Response)
melakukan lisis sel yang mengandung virus(7,11,14). Terjadi inhibisi replikasi virus yang ditandai hilangnya
Pengaruh IFN terhadap replikasi virus hepatitis B (VHB) HBV-DNA dan DNA/a, tetapi dalam serum tetap terdapat
dapat diketahui dengan melihat kadar HBV-DNA atau ensim HBeAg dan HBeAg. Beberapa saat setelah pengobatan
DNA polymerase (DNA/p). Kadar kedua petanda tersebut berku- dihentikan, semua petanda tersebut muncul kembali.
rang 12 jam setelah pemberian IFN dan mencapai titik terendah 2) Respon tak lengkap (Incomplete Response)
setelah 48 jam, yaitu 15%-35% dari kadar awal. Jumlah IFN Terjadi inhibisi permanen replikasi virus, ditandai hilangnya
yang diperlukan untuk inhibisi maksimal adalah 3-20 juta unit HBV-DNA dan DNA/a serta serokonversi dari HBeAg menjadi
(MU); peningkatan dosis tidak memberikan inhibisi yang lebih Anti-HBe selama pengobatan dan bertahan setelah pengobatan
besar. Lama inhibisi VHB berlangsung 2-4 hari. Terhentinya dihentikan. Dalam serum penderita tetap terdapat HBsAg;
replikasi VHB ditandai oleh berkurangnya produksi HBeAg diduga telah terjadi integrasi DNA virus B dengan sel hati.
dan HBsAg serta timbulnya antibodi spesifik(2,6,10). 3) Respon lengkap (Complete Response)
Terjadi inhibisi permanen replikasi virus, ditandai
PERANAN INTERFERON PADA PENGOBATAN HE- hilangnya HBV-DNA dan DNA/p serta serokonversi dari
PATITIS B HBeAg dan HBsAg menjadi Anti-HBe dan Anti-HBs.
Tujuan Pengobatan IFN Hasil-hasil pengobatan IFN
1) Menghambat replikasi virus hepatitis B, baik melalui efek Merigan dick. pada tahun 1976 pertama kali memberikan
langsung atau melalui stimulasi sistim imun penderita. IFN Lekosit pada kasus hepatitis kronik aktif; dengan dosis
2) Menghentikan/menghambat nekrosis sel hati akibat reaksi sedang (5-10 MU/m2/hari) selama 3-6 bulan terjadi hambatan
radang. replikasi virus. Ternyata supresi terhadap replikasi hanya ber-
3) Mencegah transformasi maligna sel-sel hati. sifat sementara jika terapi dilakukan kurang dari 10 minggu.
Dan beberapa studi ternyata angka keberhasilan IFN Leko-
Indikasi(3,5)
sit 17-43%"0. Respon permanen lebih banyak didapatkan pada
a) Penderita dengan HBeAg dan HBV-DNA positif.
kasus hepatitis kronik aktif dibanding pada hepatitis kronik
b) Penderita Hepatitis Kronik Aktif, dibuktikan dengan pe-
persisten(2,17).
meriksaan histopatologi.
Banyak hal terungkap dengan penggunaan IFN Limfo-
Dapat dipertimbangkan pemberian IFN pada Hepatitis Ful-
blastoid. Lok mendapatkan bahwa pemberian IFN limfoblastoid
minan Akut, meskipun belum banyakpenelitian yang dilakukan
10 MU/m2 3 kali per minggu sama efektifnya dengan pemberian
di bidang ini.
setiap hari, disertai efek samping yang lebih kecil, meskipun
Cara pemberian dan Efek samping diberikan 3 bulan lebih"g). Alexander pertama kali melaporkan
IFN harus diberikan secara parenteral karena merupakan terjadinya serokonversi HBsAg/AntiHBs pada 22% (5/23)
polipeptida. IFM alfa dapat diberikan intravena, intramuskular kasus hepatitis aktif kronik setelah terapi IFN limfoblastoid(19).
ataupun subkutan, sehingga dapat dilakukan secara rawat jalan; Alberti melaporkan hasil penelitian pendahuluan pada kasus
sebaliknya IFN beta dan IFN gama harus diberikan intravena anti-HBe dan HBV-DNA positif, bahwa HBV-DNA menjadi
untuk mencapai kadar optimal dalam serum(6). negatif dan SGOT menjadi normal pada 57%, 9 bulan setelah
Efek samping IFN tergantung pada dosis yang dipakai, terapi IFN limfoblastoid(20).
dapat timbul dini maupun lambat. Kemungkinan yang dapat Adanya IFN rekombinan memungkinkan dilakukannya pe-

Cermin Dunia Kedokteran No. 85, 1993 7


nelitian secara luas. Omata melaporkan bahwa IFN alfa dengan Eropa (Kaukasia) dan di Asia (Cina dan Jepang). Pada kelompok
dosis di atas 9–18 MU/hari umumnya disertai efek samping yang Eropa terdapat defisiensi IFN; mereka dapat memberi respon
serius tanpa peningkatan hasil(13); dosis tertinggi yang masih terhadap pemberian IFN alfa. Pada kelompok Asia ternyata
dapat diterima adalah 36 MU/hari(10). Caremo melaporkan bahwa produksi IFN normal; pemberian IFN alfa tak bermanfaat.
IFN rekombinan dapat diberikan pada penderita anak-anak selama Diduga telah terjadi toleransi imun pada kelompok yang
6 bulan dengan dosis 10–20 MU/m2 2 kali/minggu dengan efek terinfeksi pada masa bayi/kanak-kanak; hipotesis lain adalah
samping minima1(21). Porres mendapatkan bahwa efek antivirus telah terintegrasinya HBV-DNA ke dalam genom sel hati,
timbul dengan dosis 2,5 MU/m2 3 kali/minggu, namun perbaik- dibuktikan dengan pemeriksaan biopsi hati(3,4.12,18,22).
an histologis secara nyata terjadi dengan dosis 10 MU/m2 3
3) Jenis kelamin(17)
kali/ minggu(11)
Scullard mendapatkan wanita memberi respon lebih baik
Beberapa hasil uji klinik pengobatan IFN yang telah di-
terhadap pengobatan IFN dibandingkan pria (66% : 44%) oleh
lakukan secara terkontrol :
sebab yang masih belum jelas.
• Sepertiga penderita hepatitis B kronik memberi respon ter-
hadap terapi IFN, ditandai hilangnya HBV-DNA dan serokon- 4) Kadar transaminase serum sebelum dan selama peng-
versi HBeAg/Anti-HBe, serokonversi HBsAg/Anti-HBs terjadi obatan
pada sekitar 7% penderita(3). Penderita dengan kadar transaminase rendah sebelum
• Keberhasilan terapi memerlukan masa pengobatan sedikit- terapi kurang memberi respon terhadap IFN(3). Kuroki (1990)
nya 3 bulan(3). mendapatkan bahwa respon yang balk terdapat pada penderita
• Penderita sirosis kompensata (Prothrombin time 3 detik; dengan SCOT di atas 200 U. Kenaikan transaminase selama
albumin > 3,5 g/dl; kadar bilirubin normal) masih mempunyai terapi pada minggu 8-12, yang dapat mencapai 10 kali harga
toleransi terhadap efek samping pemberian IFN dosis rendah(15) normal, disertai keluhan seperti hepatitis akut (Hepatitis-like
• 5-15% kasus hepatitis B kronik mengalami konversi spon- syndrome) menunjukkan respon yang baik(19). Pola respon de-
tan HBeAg/Anti-HBe dan hilangnya HBV-DNA, karena itu mikian tak terdapat pada kasus dengan AntiHBe dan HBV-
semua calon sasaran IFN perlu diikuti 3–6 bulan (dikutip dari 3). DNA positif(20).
5) Kadar HBV-DNA sebelum pengobatan
BEBERAPA HAL YANG DAPAT MEMPENGARUHI Penderita dengan HBV-DNA titer rendah lebih responsif
HASIL PENGOBATAN IFN dibandingkan penderita dengan HBV-DNA titer tinggi(3,4,5).
1) Saat pemberian IFN dalam tahap pērjalanan hepatitis 6) Penderita dengan antibodi terhadap HIV dan HDV memberi
B kronik respon yang kurang balk terhadap pengobatan IFN(3,12,24).
Fase replikatiftinggi HVB : Dalam darah terdapat titer
tinggi HBsAg, HBeAg, DNA/p, dalam sel hati terdapadaBsAg, USAHA UNTUK MENINGKATKAN RESPON TER-
HBcAg dan DNA/p; HBV DNA masih dalam keadaan bebas, HADAP PENGOBATAN IFN
sehingga terjadi replikasi virus lengkap. Terdapat hepatitis
ringan/asimtomatik, transaminase agak naik, gambaran 1) Kombinasi steroid jangka pendek diikuti IFN
histologis menunjukkan inflamasi ringan. Penghentian steroid (steroid withdrawal) setelah pemberian
Fase replikatif rendah VHB : Titer HBsAg, HBeAg dan jangka pendek pada penderita hepatitis B kronik menimbulkan
DNA/p mulai turun, demikian juga HBcAg, HBsAg dan DNA/ eksaserbasi hepatitis ditandai peningkatan transaminase dan
p dalam sel hati. diikuti hilangnya DNA/p@). Bodcky melaporkan peningkatan
Klinis menunjukkan periode remisi/eksaserbasi, ditandai IgG, IgM dan IgA setelah penghentian prednison yang
peningkatan transaminase; gambaran histologis menunjukkan diberikan selama 6 minggu(2). Kombinasi steroid dan IFN alfa
inflamasi makin luas. di negara Banat memberi respon 45-67%(3,25), sedangkan pada
Fase non replikatif VHB : Hampir semua HBV-DNA telah penderita Asia (Cina dan Jepang) dewasa, pemberian
terintegrasi ke dalam genom sel hati sehingga tak mampu me- kombinasi ini menghasilkan respon yang lebih baik (56%)
replikasi virus lengkap, kecuali HBsAg. HBc dalam sel hati dibanding pemberian IFN tunggal; namun pada anak-anak tak
juga tak terdeteksi. Fase ini terjadi 3–10 tahun setelah fase terjadi respon yang memuaskan(8,18,22).
replikasi aktif, ditandai serokonversi spontan HBeAg/Anti- Umumnya protokol terapi kombinasi ini terdiri dari : steroid
HBe, sering diawali eksaserbasi akut kemudian remisi. selama 6 minggu berupa prednison 60 mg, 40 mg dan 20 mg/hari,
Pemberian sedini mungkin pada fase replikasi aktif mem- atau prednisolon 45 mg, 30 mg dan 15 mg/hari, masing-masing
beri hasil terbaik, karena klon-klon sel hati yang mengandung dosis untuk 2 minggu, disusul istirahat selama 2 minggu, di-
integrasi genom VHB belum sempat terbentuk. lanjutkan dengan IFN 5-10 MU 3x/minggu(3.8.26).
Pemberian steroid dan IFN alfa2 di Indonesia pada 18
2) Usia terjadinya infeksi VHB untuk pertama kali penderita hepatitis B kronik mendapatkan HBV-DNA negatif,
Pengobatan IFN lebih berhasil pada pengidap VHB yang HBeAg negatif dan anti-HBe positif berturut-turut pada 94%,
terinfeksi pada usia dewasa dibandingkan pengidap yang ter- 56% dan 50% setelah terapi 6 bulan(26).
infeksi pada masa bayi/kanak-kanak, seperti hasil penelitian di Seleksi kasus untuk steroid withdrawal harus dilakukan

8 Cermin Dunia Kedokteran No. 85, 1993


ketat, karena pada kasus tertentu seperti sirosis dapat terjadi sedini mungkin, yaitu pada fase replikasi aktif virus B. IFN lebih
gagal hati progresif(15). efektif pada pengidap yang terinfeksi pada masa dewasa di-
banding yang terinfeksi pada masa bayi/kanak-kanak. Faktor
2) Kombinasi dengan anti virus yang lain lain yang ikut berperan adalah jenis kelamin, kadar transaminase
a) Terapi Adenine Arabinoside Monophosphate (ARA-MP) serum sebelum dan selama terapi, kadar HBV-DNA sebelum
atau Adenine Arabinoside (ARA-A) satu siklus (5–15 mg/kg/ terapi dan adanya antibodi terhadap HIV dan HDV. Untuk
hari selama 7 hari) atau lebih, diikuti IFN alfa selama 90 hari meningkatkan respon terapi, dilakukan kombinasi IFN dengan
memberi respon yang lebih baik dibanding pengobatan tunggal anti-virus seperti ARA-A, ARA-AMP maupun Acyclovir.
ARA-MP, ARA-A atau IFN saja. Efek samping yang timbul Penggunaan IFN beta dan gama, baik secara tunggal, kombinasi
lebih besar; saat ini masih dalam penelitian lebih lanjut(4,5,7,17). keduanya maupun dengan steroid sedang dalam evaluasi.
b) Kombinasi IFN alfa dengan Acyclovir atau Descyclovir
menunjukkan efek sinergistik dengan sedikit efek samping me- KEPUSTAKAAN
lalui mekanisme yang belum jelas; kombinasi ini masih dalam 1. Roitt I, Brostoff J, Male D. Immunology. 2nd Ed. London-New York:
penelitian yang terbatas(27). Gover Medical Publishing. 1989.
2. Peters M, Davis GL, Dooley IS, Hoffnagle JH. The Interferon System in
PROSPEK KINI DAN MENDATANG Acute and Chronic Viral Hepatitis. In : Progress in Liver Diseases Vol.
VIII. Eds.: Popper H and Schaffner F. Grune & Stratton, Inc. New York,
Usaha saat ini diarahkan untuk mendapat protokol terapi 1986, p. 453.
yang baku dan kombinasi dengan obat lain dengan efek 3. Perillo RP. Treatment of Chronic Hepatitis B with Interferon: Experience
samping minimal. Perillo mengusulkan suatu strategi pemilihan in western countries, Sem. Liver Dis. 1989; 9: 240.
regimen, berdasarkan variabel yang dapat mempengaruhi hasil 4. Thomas HC, Scully LI, Lever AML, Yap I, Pignatelly M. A Review of the
efficacy of Adenine Arabinoside and Lymphoblastoid Interferon in the
terapio.10) Telah dicoba pemakaian IFN beta dan gama untuk Royal Free Hospital Studies of Hepatitis B Virus Carrier Treatment.
hepatitis B kronik. Penelitian IFN beta di Korea menghasilkan Infection 1987; 15 (Suppl.l); 26.
konversi negatif HBV-DNA 53,3%06.1s), sedangkan kombinasi 5. Thomas HC. Treatment of Hepatitis B Viral Infection. In : Viral Hepatitis
IFN beta dan steroid menghasilkan konversi negatif HBV- and Liver Diseases. Ed.: Zuckermann. Alan R. Liss, Inc. New York, 1988,
p. 817.
DNA 72,7%06.2s1 dan 100% (8/8), namun 37,5% (3/8) kasus 6. Peters M. Mechanism of action of Interferons. Sem. Liver Dis. 1989; 9:
menunjukkan HBVDNA kembali 6 bulan setelah terapi 235.
selesaP,291. IFN gama dapat menginduksi ekspresi HLA kelas 7. Thomas HC, Shipton U, Mantano. The HLA system : Its relevance to the
2, yang bersama HLA kelas 1 lebih merangsang sitolisis oleh padaogenesis of liver disease. In : Progress in Liver Diseases Vol VII. Eds.:
Popper H and Schaffner F. Grune & Stratton, Inc. New York, 1982, p. 517.
limfosit T dan proses imun lainnya. Dibandingkan IFN alfa, 8. Levin S, Hahn T. Interferon in Acute Viral Hepatitis. Lancet 1982; I: 592.
IFN gama memiliki efek anti-virus yang lebih kecil dan efek 9. Chousterman S, Chousterman M, Hagege H, Poitrine A, Thang MN.
samping yang lebih besar. Kombinasi IFN beta dan IFN gama Chaput JC. Interferon System in Acute Viral Hepatitis B : Pattern of
belum menunjukkan kelebihan yang nyata dan masih diteliti activations during progress to complete recovery. In : Viral Hepatitis and
Liver Diseases. Ed.: Zuckermann. Alan R. Liss, Inc. New York, 1988,
lebih lanjut. Belum ada laporan tentang hasil kombinasi IFN p. 831.
alfa dengan IFN beta maupun gama(3). 10. Dooley IS, Davis GL, Peters M, Waggoner JG, Goodman Z, Hoofnagle
Pada beberapa penderita ditemukan antibodi terhadap IFN JH. Pilot study of recombinant human alpha-Interferon for chronic type B
dan adanya antiidiorype setelah terapi. Sampai saat ini belum Hepatitis. Gastroenterology 1986; 90: 150.
11. Ikeda T, Lever AML, Thomas HC. Evidence for a deficiency of Interferon
tampak pengaruh terhadap hasil terapi. Hal ini masih dalam production in patients with Chronic Hepatitis B Virus Infection acquired in
penelitian lebih lanjut(3,6,25). adult life. Hepatology 1986; 6: 962.
12. Liaw YF, Lin SM, Sheen IS, Chen TJ, Chu CM. Treatment of Chronic
RINGKASAN Type B Hepatitis in Southeast Asia. JAMA 1988; 85 (Suppl. 2A): 147.
13. Unata M, Inazeki M, Yokuosura 0, Ito Y, Uchiumi, Mori J, Okuda K.
Interferon (IFN) merupakan suatu unsur Sistim Kekebalan Recombinant Leucocyte A Interferon treatment in patients with Chronic
Alamiah yang mempunyai daya antivirus, antiproliferatif dan Hepatitis B Virus infection : Pharmacokinetics, tolerance and biologic
imunomodulasi, yang terbentuk oleh rangsangan virus atau effects. Gastroenterology 1985; 88: 870.
mitogen lain. Pada hepatitis virus akut terjadi peningkatan IFN, 14. PignatelliM, Waters J, Brown D. HLA Class I Antigens on the hepatocyte
membrane during recovery from Acute Hepatitis B Virus Infection and
namun hal ini tak terjadi pada hepatitis fulminan akut dan during Interferon therapy in Chronic Hepatitis B Infection. Hepatology
hepatitis kronik, khususnya hepatitis B. 1986; 6: 349.
Terapi IFN pada hepatitis B bertujuan menghambat repli- 15. Di Bisceglie AM. Interferon therapy of complicated Hepatitis B Infection.
kasi virus hepatitis B, menghambat nekrosis dan mencegah Son. Liver Dis. 1989; 9: 254.
16. Greenberg HB, Pollard RB, Lutwick LI, Gregory PB, Robinson WS,
transformasi maligna sel hati. IFN diberikan dengan indikasi Merigan TC. Effect of Human Leucocyte Interferon on Hepatitis B Virus
utama HBeAg dan HBV-DNA positif serta adanya hepatitis infection in patients with Chronic Active Hepatitis. N. Eng. J. Med. 1976;
kronik aktif. Respon terhadap IFN dapat berupa respon se- 295: 517.
mentara, respon tak lengkap dan respon lengkap. IFN efektif 17. Scullard GH, Pollard RB, Smith JL, Sacks SL, Gregory PB, Robinson WS,
Merigan TC. Antiviral treatment of Chronic Hepatitis B Virus infection.
pada dosis 5–10 MU/kali 3 kali/minggu sedikitnya diberikan Changes in viral markers with Interferon combined with Adenine Arabi-
selama 3 bulan. Keberhasilan terapi IFN terjadi pada sepertiga noside J. Infect. Dis. 1981; 143: 772.
kasus hepatitis B kronik. Hasil terbaik terjadi bila IFN diberikan 18. Lok ASF, Wu PC, Lau JYN, Leung EKY, Wong LSK. Treatment of

Cermin Dunia Kedokteran No. 85, 1993 9


Chronic Hepatitis B with Interferon; Experience in Asian patients, Sem. 26. Lesmana LA, Soewignyo, Akbar HN, Sulaiman HA, Noer HNS. Steroid
Liver Dis. 1989; 9: 249. Withdrawal dan Interferon Alfa Rekombinan pada Hepatitis B Kroniik.
19. Alexander GIN, Brahm J, Fagan EA dkk. Loss of HBsAg with Interferon Dalam : Buku Abstrak Kongres Nasional IV PGI-PEGI Pertemuan Iln.;.th
Therapy in Chronic Hepatitis B Virus infection, Lancet 1987; II: 66. V PPHI, Jakarta, 17–18 Pebntari 1990. hal. 100.
20. Alberti A, Fauovich G, Pontisso P, Brollo, Bellusi L, Ruol A. Interferon 27. Schalm SW, Heytink RA, Van Buuren HR, De Man RA. Acyclovir
treatment of anti-HBe positive and HBV-DNA positive chronic hepatitis. enhances the antiviral effect of Interferon in Chronic Hepatitis B. Lancet
Chemotherapia 1988; 3 (Supp. 1): 15. 1985; II: 358.
21. Hashida T, Sawada T, Esuni N, Kinugasa A, Kusunoki T, Kishida T. 28. Kim KH, Han KH, Chon CY, Lee SI, Choi HI. Prednisolone withdrawal
Therapeutic effects of Human Leucocyte Interferon on Chronic Active followed by B-Interferon in the treatment of Chronic Type B Hepatitis
Hepatitis B in children. J. Ped. Gastroenterol. Nutr. 1985; 4: 20. (Abstract). In : VIIth Biennial Scientific Meeting of the Asian Pacific
22. Lai CL, Lok ASF, Lin HJ, Wu PC, Yeoh EK, Yeung CY. Placebo Association for the Study of the Liver, Jakarta, Indonesia, February 19–21,
controlled trial of recombinant alpha2-Interferon in Chinese HBsAg carrier 1990, p. 84.
children. Lancet 1987; II: 877. 29. Chang DL, Byune NA, Nam IH dkk. Interferon Beta Therapy in patient
23. Kuroki T, Takeda T, Nishiguchi S, Nakajima, Shiomi, Kobayashi K. Re- with Chronic Active Hepatitis, Type B (Abstract). In : VIIth Biennial
lationship between changes of serum ALT before Interferon treatment and Scientific Meeting of The Asian Pasific Association for the Study of the
the therapeutic effect for HBeAg positive Chronic Hepatitis B (Abstract). Liver. Jakarta, Indonesia, February 19–21, 1990, p. 58.
In : VII th Biennial Scientific Meeting of the Asian Pacific Association for 30. Perillo RF, Regenstein FG, Peters M, Bodicky CJ, Campbell CR. Predni-
the Study of the Liver, Jakarta, Indonesia, February 19–21, 1990, p. 110. sone withdrawal followed by recombinant alpha interferon in the treatment
24. McDonald JA, Caruso L, Karayuannis P, Scully LI, Harris JRW, Forster of Chronic Hepatitis B. A randomized, controlled trial. Ann. Intern. Med.
GE, Thomas HC. Diminished responsiveness of male homosexual HBV 1988; 109: 95.
carriers with HTLV-III Antibodies to recombinant alpha A-Interferon. 31. Porres JC, Carreno V, Mora I dkk. Different doses of Recombinant Alpha
Hepatology 1986; 6: 1149 (Abstract 179). Interferon in the treatment of Chronic Hepatitis B patients without anti
25. Craxi A, Di Marco V, Volpes R, Palazzo U. Anti-alpha Interferon Anti bodies against the Human Immunodeficiency Virus. Hepato-gastroenterol.
bodies after Alpha Interferon treatment in patients with Chronic Viral 1988; 35: 300.
Hepatitis. Hepato-gastroenterol. 1988; 35: 304.

10 Cermin Dunia Kedokteran No. 85, 1993


Virus Hepatitis C pada
Hepatitis Menahun dan Sirosis Hati
di Surabaya
Widawati Soemarto
Seksi Hepatogastroenterologi, Lab/UPF Pēnyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga/RSUD Dr Soetomo, Surabaya

PENDAHULUAN radiologi seperti foto esofagus dan pemeriksaan USG.


Sejak dikembangkannya sistim diagnostik untuk mende- Pemeriksaan faal hati dan petanda virus dilakukan di UPF
teksi antibodi terhadap virus C oleh kelompok Chiron pada Patologi Klinik, sedangkan foto esofagus dan USG diperiksa di
tahun 1988, maka terbuka kesempatan untuk mempelajari lebih Laboratorium Radiologi RSUD Dr Soetomo. Pemeriksaan anti-
dalam peran virus ini dalam patogenesis berbagai penyakit hati. HCV dengan menggunakan reagens C-100 dari Abbott HCV
Tes yang dipakai ialah tes yang mendeteksi antibodi terhadap EIA Kit dilakukan di laboratorium klinik Prodia Surabaya.
protein C-100 dari VHC. Antibodi yang positif (Anti-HCV)
berarti bahwa donor/penderita terinfeksi oleh VHC dan dapat HASIL
menularkannya. Selama kurun waktu 3 bulan telah terkumpul serum dari 55
Sejak itu bermunculanlah laporan-laporan prevalensi anti- penderita hepatitis menahun, 60 penderita sirosis hati dan 39
bodi ini pada beberapa penyakit hati. Laporan dari Taiwan penderita bukan penyakit hati (non liver disease = NLD).
misalnya mendapatkan prevalensi anti-HCV pada penyakit hati Distribusi umur dan kelamin dari ketiga kelompok penderita itu
menahun Non B sebesar 65%, sedangkan pada sirosis hati Non dapat dilihat pada tabel 1.
B sebesar 43%. Di sini prevalensi penyakit hati karena HCV
lebih tinggi daripada yang disebabkan oleh HBV.
Penelitian ini dimaksudkan untuk mendapatkan data pre- Tabel 1. Distribusi umur dan kelamin
valensi HCV pada penyakit hepatitis menahun dan sirosis hati,
sebagai tambahan data dari Surabaya yang sudah pernah di- Hepatitis Sirosis
NLD
menahun hati
laporkan, di samping laporan dari beberapa kota besar di n=55 n=60
n=39
Indonesia.
Kelamin : pria 35 40 26
BAHAN DAN CARA wanita 20 20 13
Rentang umur (tahun) 22 – 70 19 – 75 16 – 62
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium/UPF Penyakit Rerata umur (tahun) 45.5 55.6 34.6
Dalam RSUD Dr Soetomo pada penderita penyakit hati me-
nahun dan sirosis hati yang berobat jalan maupun yang dirawat
inap selama kurun waktu 3 bulan mulai bulan Oktober sampai Pada penderita dilakukan pemeriksaan petanda virus B dan
dengan bulan Desember 1990. anti-HCV. Hasil dari pemeriksaan anti-HCV dapat dilihat pada
Diagnosis penyakit hati menahun ditegakkan bila terdapat tabel 2.
gangguan faal hati lebih dari 6 bulan. Sebagian besar dari Pada tabel 2 di atas terlihat bahwa prevalensi Anti-HCV
mereka telah mengidap penyakit hati beberapa tahun lamanya. bcrsamaan dengan HBsAg frekuensinya rendah (8.3%). Rupa-
Tidak dilakukan pemeriksaan histopatologi pada penderita- nya infeksi ganda pada penyakit hati menahun dan pada sirosis
penderita ini. Diagnosis sirosis hati ditegakkan berdasarkan hati pada seri ini tak banyak didapatkan. Pada kelompok NLD
temuan pemeriksaan fisik, laboratorium, dan pemeriksaan tidak ditemukan Anti-HCV.

Cermin Dunia Kedokteran No. 85, 1993 11


Tabel 2. Prevalensi Anti-HCV dikaitkan dengan HBsAg Perbedaan hasil yang menyolok dari penelitian di Ujung
HBsAg + HBsAg – Jumlah Pandang memerlukan penelitian lanjutan dengan sampel yang
HCV+ HCV+ HCV+
lebih besar, sebelum dapat ditarik kesimpulan bahwa memang
N N N ada perbedaan prevalensi yang nyata.
n % n % n %
Apabila dibandingkan dengan data dari luar negeri, maka
hepatitis mcnahun 8 0 0 47 27 57.4 55 27 49.1 untuk sirosis hati didapatkan data seperti yang tercantum dalam
Sirosis hati 4 1 25 56 37 66 60 38 63.3
NLD 0 0 39 0 0
tabel 5 berikut ini.

Jumlah 12 8.3 103 64 62 Tabel 5. Prevalensi Anti-HCV pada sirosis hats dikaitkan dengan HBsAg

HBsAg + HBsAg – Jumlah


PEMBAHASAN
Anti-HCV Anti-HCV Anti-HCV Ref.
Pada penelitian ini untuk mendapatkan prevalensi Anti- n n n
HCV pada penyakit hati menahun dan sirosis had, telah dipakai + % % + %
tes skrining yang mendeteksi antibodi terhadap protein C-100. Yoshiko M 50 28 56 2
Hal ini perlu diberitahukan, oleh karena pengembangan tes Shiro lino 30 8 26.6 33 24 73 63 32 50 3
antibodi dengan menggunakan protein yang lain masih tetap Naomi Tanaka 13 0 0 176 128 73 189 128 67.7 4
bcrlanjut, seperti misalnya dengan CP-9 dan CP-10 di Jepang, Gotaro Yamada 30 25 85 5
Ding Shin Chen 31 3 9.7 30 13 43.3 61 16 26.2 6
walaupun maknanya belum jelas. Pada umumnya dalam laporan- Penulis 4 1 25 56 37 66.1 60 38 63.3 –
laporan prevalensi yang ada dipergunakan protein C-100.
Prevalensi Anti-HCV pada kasus-kasus sirosis hati seperti Prevalensi Anti-HCV pada penyakit hati menahun yang
yang pernah dilaporkan oleh beberapa penulis di Indonesia dilaporkan oleh beberapa peneliti di luar negeri adalah seperti
umumnya berkisar antara 40% – 80%, yang menunjukkan yang dapat dilihat pada tabel 6 di bawah ini.
bahwa peran HCV sebagai kemungkinan faktor penyebab
sirosis hati perlu diperhatikan dengan lebih seksama. Penulis Tabel 6. Prevalensi Anti-HCV pada penyakit hati menahun dikaitkan
sendiri pada seri ini mendapatkan prevalensi sebesar 63.3%. dengan HbsAg
Di bawah ini dicantumkan data prevalensi Anti-HCV pada HBsAg + HBsAg – Jumlah
sirosis had seperti yang dilaporkan oleh beberapa penulis di
Indonesia (tabel 3) : Anti-HCV Anti-HCV Anti-HCV Ref.
n n n
+ % + % + %
Tabel 3. Prevalensi Anti-HCV pada Sirosis Hati
Yoshiko M 58 45 78 2
n % Anti-HCV + Shiro lino 55 4 7.2 46 36 78.3 101 40 39.6 3
Naomi Tanaka 70 0 0 211 144 69 281 144 51.2 4
Sulaiman A. Jakarta 1990 37 89.2 Ding Shin Chen 78 6 7.6 43 28 65 121 34 28 6
Sulaiman A. Jakarta 1990 176 73.9 Gotaro Yamada 50 36 72 5
Budihusodo U. Jakarta 1990 80 45 Penulis 8 0 0 47 27 57.4 55 27 49.1 –
Amirudin U. Pandang 1990 58 43.1
Hemomo K. Surabaya 1990 54 48.1
Dari data di atas dapat dilihat, bahwa prevalensi Anti-HCV
Hassan A. Surabaya 1990 15 73.3
Penelitian ini 1990 60 63.3 pada penyakit hati menahun dan sirosis had, baik di Indonesia
maupun di negara-negara Asia ternyata cukup tinggi. Hal ini
Dikutip dari Sulaiman A.(1) menunjukkan, bahwa peran HCV sebagai penyebab hepatitis
tidak dapat diabaikan, di samping HBV. Angka prevalensi yang
Seperti juga pada sirosis hati, peran HCV pada penyakit hati agak berbeda di tiap negara mungkin disebabkan oleh karena
menahun perlu diwaspadai, oleh karena frekuensi Anti-HCV sampel pemeriksaan tidak cukup besar untuk menarik kesim-
pada penyakit hati menahun tidak dapat dikatakan rendah. pulan dengan makna epidemiologik yang mantap. Oleh karena
Berikut disampaikan tabel frekuensi Anti-HCV pada penya- itu laporan penelitian prevalensi Anti-HCV masih tetap diper-
kit hati menahun seperti yang pernah dilaporkan oleh beberapa lukan dengan populasi sampel yang makin lama makin meluas.
penulis di Indonesia (tabel 4) : Sayang hal ini sangat terhalang oleh masih mahalnya biaya
pemeriksaan, sehingga tidak terjangkau oleh seluruh lapisan
Tabel 4. Prevalensi Anti-HCV pada Sirosis Hati masyarakat.
n % Anti-HCV +
Pada penelitian ini didapatkan pula data adanya petunjuk
virus ganda, walaupun dengan prosentase yang rendah. Pada
Sulaiman A. Jakarta 1990 ? 80.4 laporan penelitian yang lainpun didapatkan kenyataan, bahwa
Amirudin U. Pandang 1990 ? 16.3 Anti-HCV dapat ditemukan bersama dengan HBsAg yang posi-
Hassan A. Surabaya 1990 22 77.2
Penelitian ini 1990 55 49.1 tif. Arti dari keadaan bersama-sama ini belum jelas, oleh karena
arti dari Anti-HCVpun sebetulnya belum jelas. Ada yang

12 Cermin Dunia Kedokteran No. 85, 1993


mengkaitkannya dengan kemampuan menularkan infeksi, jadi juga belum jelas.
dengan adanya HCV aktif, tetapi sebagian sarjana membantah- Penclitian yang mencakup kalangan masyarakat yang lebitl
nya. Namun semua peneliti melaporkan hal yang kurang lebih luas nampaknya masih diperlukan untuk mendapatkan data
sama, yaitu pada kasus-kasus dengan HBsAg yang negatif, epidemiologik yang lebih mantap, namun biaya yang masih
prevalensi Anti-HCV cukup tinggi. Selanjutnya menurut pene- tinggi merupakan kendala yang masih ada saat ini.
litian beberapa sarjana didapatkan bahwa tidal( semua kasus
dengan RNA HCV positif disertai dengan Anti-HCV yang
positif pula. Jadi data di atas hendaknya juga dibaca dengan KEPUSTAKAAN
pengertian bahwa pada kasus yang Anti-HCV negatif tidal( 1. Sulaiman A, Budihusodo U, Noer HMS. Infeksi Hepatitis C virus pada
tertutup kemungkinan HCV berperan di dalamnya. Penelitian donor darah dan penyakit had di Indonesia, Simposium Hepatitis C,
dengan reagensia generasi berikut yang lebih peka mungkin Surabaya, Desember, 1990.
dapat mempersempit lahan yang negatif ini. Kemungkinan lain 2. Yoshiko M, Akahane Y, Okuyama H, Yamadaka T, Fujino M, Suzuki H.
Clinical significance of anti-HCV (Chiron) in the sera from patients with
yang dapat dipertimbangkan tentulah faktor penyebab yang lain Non-A Non-B Hepatitis, Abstracts Vllth Biennial Scientific Meeting of the
dari VHB dan VHC. APASL, Jakarta, February, 1990. p. 78.
Dari uraian di atas jelas bahwa masih diperlukan penelitian 3. Shiro lino, Kurai K, Hino K et al. Clinical significance of anti-Hepatitis C
yang lebih dalam lagi untuk menyimak misteri di sekitar HCV Virus antibody in acute and chronic liver diseases, Abstracts Vllth Biennial
Scientific Meeting of the APASL, Jakarta, February, 1990. p. 128.
serta arti dari Anti C-100 yang sekarang diinterpretasikan se- 4. Naomi Tanaka, Nishi M, Matsuzaki Y et al. Etiological significance of
perti Anti-HCV. Di samping itu masih pula dikembangkan_ Hepatitis C Virus (HCV) for Liver Diseases, Abstracts Vllth Biennial
pereaksi-pereaksi yang lain untuk mendeteksi HCV untuk men- Scientific Meeting of the APASL, Jakarta, February, 1990. p. 141.
dapatkan tes yang lebih spesifik, lebih sensitif dan mudah- 5. Gotaro Yamada, Takahashi M, Endo H et al. Clinical and epidemiological
study of Anti-HCV positive patients with Chronic Liver Diseases,
mudahan juga lebih murah. Abstracts VIIth Biennial Scientific Meeting of the APASL, Jakarta,
February, 1990. p. 117.
RINGKASAN DAN KESIMPULAN 6. Chen DS, Kuo G, Sung J–L et al. Hepatitis Virus C infection in an area
Selama kurun waktu 3 bulan antara bulan Oktober dan hyperendemic for Hepatitis B and Chronic Liver Diseases. The Taiwan
Experience, J. Infect. Dis. 1990; 162: 817–22.
Desember 1990 telah diperiksa sebanyak 154 sampel darah, 7. Abbott Diagnostics Educational Services : HCV Journal Articles,
yang terdiri dari 60 sampel dari penderita sirosis hati, 55 February, 1990.
sampel dari penderita penyakit hati menahun dan 39 sampel 8. Abbott Diagnostics : Hepatitis C Virus Reference Articles, January, 1991.
dari bukan penderita penyakit hati terhadap Anti-HCV dengan 9. Amintddin R, Akil MH, Marsel N. Antibodi Virus Hepatitis C pada
kalangan medic dan donor darah di Ujung Pandang. Simposium Hepatitis
memakai tes C-100 dari Abbott HCV EIA. C, Surabaya, Desember, 1990.
Pada penderita bukan penyakit hati, semua sampel 10. Hasan F, Lennox J, Jeffers, et al. Hepatitis C-Associated Hepatocellular
darahnya negatif terhadap Anti-HCV. Pada penderita sirosis Carcinoma, Hepatology 1990; 12: 589.
hati, sebanyak 63.3% darahnya positif terhadap Anti-HCV, satu 11. Hassan A. Prevalensi Hepatitis C pada Penyakit Hati Menahun, Sim-
posium Hepatitis C, Surabaya, Desember, 1990.
di antaranya juga dengan HBsAg yang positif. Pada penyakit 12. Kusumobroto H. Prevalensi Hepatitis C dan B pada penderita Sirosis Hati
hati menahun didapatkan bahwa sebanyak 49.1% menunjukkan dan Karsinoma Hati. Suatu studi pendahuluan. Abstrak. Komunikasi
Anti-HCV yang positif, dan tidak seorangpun menunjukkan Ilmiah Antar cabang, Konferensi Kerja Nasional PGI, PEGI, PPHI,
infeksi ganda dengan HBsAg yang positif. Surakarta, Desember, 1990.
13. Soewignjo S. Hepatitis Virus C, Jumal RSU Mataram, Suplemen Hepato-
Data di atas menunjukkan besarnya peran HCV dalam logi, Oktober, 1990, hal. 1-22.
penyakit hati menahun dan sirosis hati, di samping HBV yang
sudah banyak diteliti dan dilaporkan. CATATAN
Pada penelitian ini kasus dengan infeksi ganda dengan HCV Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Pt Abbott Diagnostics
dan HBV tidak banyak didapatkan, seperti juga yang didapatkan Division dan Laboratorium Klinik Prodia Surabaya yang telah membantu
reagensia Abbott HCV EIA dan membantu pemeriksaannya.
oleh penulis-penulis lain. Selain itu arti dari infeksi ganda ini

Listen a hundred times, ponder a thousand times, speak once

Cermin Dunia Kedokteran No. 85, 1993 13


Virus Hepatitis C pada Penyakit Hati
Menahun Pasca Transfusi
H. Achmad Hassan
Seksi Hepatogastroenterologi Laboratorium UPF Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RSUD Dr. Sutomo, Surabaya

PENDAHULUAN Berikut ini akan dilaporkan beberapa penemuan antibodi


virus hepatitis C (anti HCV) pada berbagai penyakit hati me-
Diperkirakan 100 juta penduduk dunia telah tercemar virus
nahun.
hepatitis C (HCV), suatu jenis virus yang sebelumnya dikenal
sebagai penyebab hepatitis NANB pasca transfusi. Kini para ahli
BAHAN DAN CARA
di Chiron Corporation – California berhasil mengisolasi agen
Penelitian ini dilakukan secara prospektif pada kasus-kasus
atau virus yang berasal dari penderita hepatitis NANB pasca-
penyakit hati menahun, mulai dari hepatitis menahun, sirosis hati
transfusi yang selanjutnya diberi nama virus hepatitis C(1,2).
dan kanker hati selama 3 bulan (Agustus s/d Oktober 1990).
Dan bekerja sama dengan Ortho Diagnostic System
Penderita yang diteliti sebagian rawat jalan dan lainnya
dihasilkan suatu test ELISA menggunakan monoklonal
menjalani rawat inap. Test faal hati dan pemeriksaan petanda
konyugat yang dapat mendeteksi antibodi pada penderita
serologis terhadap virus hepatitis B dan virus hepatitis C, di-
hepatitis NANB – HCV. Test ini bersifat spesifik dan sensitif,
lakukan pada 3 laboratorium klinik swasta di Surabaya.
dapat dipakai sebagai test penyaring untuk para donor darah
Diagnosis penyakit hati didasarkan atas: anamnesis, pe-
sehingga dapat mencegah kejadian hepatitis NANB – HCV.
meriksaan fisik, adanya gangguan faal hati melebihi 6 (enam)
Beberapa penelitian akhir-akhir ini menunjukkan bahwa
bufhn, gambaran ultrasonografi dan beberapa dikonfinnasi
HCV -bukan hanya merupakan penyebab terbanyak hepatitis
dengan biopsi hati. Riwayat penggunaan transfusi darah mau-
NANB pascatransfusi saja, tetapi juga sebagai penyebab dari
pun tindakan pembedahan merupakan prioritas utama dalam
kasus-kasus hepatitis NANB sporadik atau community
wawancara dengan penderita.
acquired(1,2).
Saat ini berbagai upaya dilakukan untuk mendeteksi pe-
HASIL
nyebab hepatitis NANB – HCV karena beberapa alasan(3,4) :
Selama awal Agustus 1990 hingga akhir Oktober 1990
• Sembilan puluh persen hepatitis pascatransfusi merupakan
dilakukan pemeriksaan pada 46 penderita penyakit hati me-
hepatitis NANB – HCV.
nahun. Usia berkisar antara 15 tahun hingga 76 tahun, rerata
• Sembilan puluh persen penerima derivat darah yang men- 47,5 tahun. Perincian 46 penderita adalah sebagai berikut :
dapat hepatitis adalah penderita hepatitis NANB – HCV. 1. Hepatitis menahun – 22 penderita
• Lima puluh persen hepatitis akut NANB akan berkembang 2. Sirosis hati – 15 penderita
menjadi hepatitis menahun dan pengidap. 3. Kanker hati – 9 penderita
• Dua puluh persen dari penderita menjadi sirosis hati. Dari46penderitapenyakithati menahun dengan peningkatan
• Waktu rata-rata yang diperlukan untuk berkembang transaminase serum melebihi 2 kali batas atas normal, dijumpai
menjadi sirosis hati adalah 17 tahun. 35 penderita (76%) positif terhadap anti HCV.
• Waktu rata-rata yang diperlukan untuk berkembang men Dari 22 penderita hepatitis menahun (C A H dan C P H), 17
jadi kanker hati adalah 20 tahun. penderita (77,2%) positif terhadap anti HCV. Dari 15 penderita

14 Cermin Dunia Kedokteran No. 85, 1993


sirosis hati, 11 (73,3%) positif terhadap anti HCV, sedang dari 9 Tabel 1. Penyakit hati menahun dengan and HCV positif
penderita kanker hati, 7 penderita (77,7%) positif terhadap anti Positif anti HCV
HCV. Dari 35 penderita yang positif terhadap anti HCV, hanya Jenis N
n %
22 penderita (47,8%) yang ada hubungannya dengan transfusi
darah maupun pembedahan, dengan perincian sebagai berikut : Hepatitis menahun 22 17 77,2
1. Kanker hati 7 penderita (100%) Sirosis hati 15 11 73,3
2. Sirosis hail 9 penderita (82%) Kanker hati 9 7 77,7
3. Hepatitis menahun 6 penderita (35%)
Peningkatan transaminase serum dijumpai pada keseluruh- 46
an 35 kasus. Dan 7 kasus kanker hati : SGOT berkisar 64 U/L
hingga 76 U/L, rerata 69 U/L (N 31–37 U/L), dan SGPT Tabel 2. Hubungan transfusi darah/pembedahan dengan anti HCV po-
berkisar 24 U/L hingga 46 U/L, rerata 40 U/L (N 31–40 U/L). sitif
Pada 11 kasus sirosis hail SGOT berkisar 76 U/L hingga 86 Anti HCV Riwayat transfusi/pembedahan
Jenis
U/L, rerata 79 U/L (N 31–37 U/L), dan SGPT berkisar 62 U/L positif n %
hingga 81 U/ L, rerata 69 U/L (N 31–40 U/L); dan dari 17
penderita hepatitis menahun, SGOT berkisar 118 U/L hingga Hepatitis menahun 17 6 35
Sirosis had 11 9 82
139 LW, rerata 121 U/L (N 31–37 U/L), dan SGPT berkisar Kanker hati 7 7 100
146 U/L hingga 216 U/L, rerata 162 U/L (N 31–40 U/L).
Hubungan dengan petanda virus hepatitis B :
Dari 7 kasus kanker hati dengan anti HCV positif didapat- Tabel 3. Hubungan peningkatan transaminase dengan penyakit hati
menahun dengan anti HCV positif
kan 5 penderita dengan HBs Ag (+), anti HBs (–), anti HBc (+),
dan 2 penderita dengan HBs Ag (–), anti HBc (–), anti HBs (+). SCOT SGPT
Jenis N rerata rerata
Dari 11 kasus sirosis hati dengan anti HCV positif didapat- (N 31-37 U/L) (N 31-40 U/L)
kan infeksi ganda dengan virus hepatitis B sebagai berikut : 2
Hepatitis menahun 17 118-139 121 146-216 162
penderita dengan HBs Ag (+) dan anti HBc (+), anti HBs (–), 7 Sirosis hati 11 76-88 79 62-81 69
penderita dengan HB s Ag (–) dan anti HBc (+), anti HB s (+) Kankerhati 7 64-76 69 34-46 40
dan 2 penderita dengan anti HBc (–).
Dari 17 kasus hepatitis menahun yang positif anti HCV, 35
didapat infeksi ganda dengan hepatitis virus B sebagai berikut :
1 penderita dengan HBs Ag (+), anti HBs (–), anti HBc (+); 9 Tabel 4. Hubungan petanda virus hepatitis B dengan penyakit hati
penderita dengan HBs Ag (–), anti HBs (+), anti HBc (+), dan 7 menahun
penderita dengan anti HBc (–).
HBs Ag (+)/ HBs Ag ()/
Jenis N=35 anti HBs (-)/ anti HBs (+)/ and HBc ( )
anti HBc (+) anti HBc (+)
PEMBAHASAN
Dengan makin berkembangnya sarana diagnostik yang Hepatitis menahun 17 1 9 7
spesifik untuk menegakkan diagnosis hepatitis A dan hepatitis Sirosis hati 11 2 7 2
Kanker hati 7 5 2 -
B pada sekitar tahun 1970-an, makin kuat bukti bahwa hepatitis
pasca transfusi menahun disebabkan oleh agent atau virus yang
tidak ada kaitannya dengan virus hepatitis B maupun virus he- punyai riwayat transfusi darah dan pembedahan; 13 kasus lain-
patotropik lainnya(1,2,5). Hepatitis NANB dikatakan bertanggung nya tanpa riwayat transfusi darah. Ini memberi petunjuk ke-
jawab pada lebih dari 90% kasus hepatitis pasca transfusi, yang mungkinan adanya kasus hepatitis NANB sporadik.
insidensnya berkisar antara 1-10%(2,6). Berdasarkan atas meningkatnya kadar serum transaminase
Gambaran Minis hepatitis NANB pasca transfusi dapat ber- dikenal ada 3 tipe dari hepatitis NANB akut :
sifat akut, sering kali subklinis, 50% di antaranya dapat menjadi 1. Monofasik, SGPT meningkat, setelah mencapai puncak
menahun dan selanjutnya 20% dapat berkembang menjadi si- tertentu kemudian menurun.
rosis had yang berpotensi untuk menjadi kanker hati(2,6). Dari 2. Bifasik, peningkatan SGPT membentuk 2 puncak selama
beberapa penelitian belakangan ini, diketahui pulaperanan virus perjalanan penyakit.
hepatitis NANB - HCV sebagai penyebab hepatitis NANB 3. Plateau, sifat peningkatan landai begitu pula penurunannya.
sporadik yang tidak ada sangkut pautnya dengan transfusi da- Dan 35 kasus penyakit hati menahun dengan anti HCV
rah(1,2). Penelitian yang kami lakukan claim kurun waktu yang positif yang diteliti adalah 17 penderita dengan hepatitis me-
pendek melibatkan 46 kasus penderita penyakit hati menahun, 35 nahun, 11 penderita dengan sirosis hati, dan 7 penderita dengan
penderita (76%) di antaranya menunjukkan anti HCV positif. kanker hati. Kasus penderita hepatitis menahun terdiri atas : 7
Dan 35 kasus yang positif anti HCV, 22 (62,8%) kasus mem- penderita dengan hepatitis menahun persisten, dan 10 penderita

Cermin Dunia Kedokteran No. 85, 1993 15


dengan hepatitis menahun aktif. RINGKASAN
Kedua tipe ini sebagian besar dibedakan secara klinis, labo- Dilaporkan suatu penelitian jangka pendek selama 3 bulan
ratorium, ultrasonografi dan beberapa lainnya dikonfirmasikan dan 46 kasus penyakit hati menahun, 35 (76%) penderita me-
dengan biopsi hati. SGOT dan SGPT meningkat pada semua nunjukkan anti HCV yang positif dengan perincian : 17
kasus hepatitis menahun. Rerata peningkatan mencapai 4–5 x penderita dengan hepatitis menahun, 11 penderita dengan
nilai normalnya, ratio SCOT dan SGPT kurang dari satu. Pe- sirosis hati dan 7 penderita dengan kanker hati.
tanda virus hepatitis B tidal( didapatkan pada 7 penderita Dan 35 kasus yang positif anti HCV, 26 di antaranya me-
dengan hepatitis menahun persisten, sedang pada 10 penderita nunjukkan infeksi campuran dengan petanda hepatitis virus B.
lainnya dengan hepatitis menahun aktif, kesemuanya disertai Temyata riwayat transfusi darah dan pembedahan hanya
dengan petanda virus hepatitis B. Jadi dapat diambil kesan dijumpai pada 22 (62,8%) kasus dari 35 kasus yang positif anti
bahwa suatu infeksi gabungan antara virus hepatitis B dan virus HCV. Jadi kemungkinan suatu hepatitis NANB sporadik tetap
hepatitis C memberikan manifestasi klinik yang lebih berat. ada pada kasus yang diteliti di samping keterlibatan virus hepa-
Pada kelompok kedua, 11 penderita sirosis hati disertai titis B yang memberikan gejala klinis yang lebih berat.
dengan peningkatan SCOT dan SGPT yang bervariasi antara
KEPUSTAKAAN
76–88 U/L dan 62–81 U/L dengan ratio SGOT dan SGPT lebih
dan satu. Keterlibatan petanda virus hepatitis B pada kasus 1. Abbott Diagnostic Educational Service. HCV learning guide. Illinois:
Abbott Lab. 1990, pp. 1-41.
sirosis hati yang positif anti HCV adalah 9 kasus, sedang 2 2. Alter HJ, Purcell RH, Shih JW et al. Detection of antibody to hepatitis C
kasus lainnya tidak. virus in prospectively followed transfusion recipient with acute and
Pada kelompok terakhir, 7 kasus kanker hati yang positif anti chronic Non A, non B hepatitis. N. Engl. J. Med. 1989; 321: 1494-500.
HCV didapatkan peningkatan serum transaminase yang tidak 3. Gambino R. NANB hepatitis. A new antibody test for the hepatitis C virus.
Lab. Report for Physicians. 1988; 10: 89-93.
begitu menyolok, tetapi ratio SCOT dan SGPT menjadi lebih 4. Kecfetz. Hepatitis C screen imperfect. Far East Health. Nov, 1989.
besar antara 1,5 sampai 2 kali. Demikian pula infeksi ganda 5. Dienstag JL. Non A, non B hepatitis. I. Recognition, epidemiology and
dengan virus hepatitis B nampak pada semua kasus kanker hati. clinical features. Gastroenterology. 1983; 83: 439-62.
Selama periode penelitian antara Agustus 1990 hingga 6. Gitnick G. Non A, non B hepatitis etiology and clinical course. Med. Clin.
N. Am. 1984; 73: 979-80.
akhir Oktober 1990 dari 35 kasus yang positif anti HCV hanya 7. Koretz RL, Suffin 0, Gitnick GL. Liver physiology and disease. Post-
satu yang meninggal dunia yakni kasus kanker hati. transfusion chronic liver disease. Gastroenterology. 1976; 71: 797-803.

16 Cermin Dunia Kedokteran No. 85, 1993


Hepatoma Sekunder sebagai Manifestasi
Klinik Adenokarsinoma Sigmoid
Putu Suharta Putra, Harijono Achmad
Lab/UPF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya,
RS Saiful Anwar Malang

PENDAHULUAN menyumbat lumen atau berdarah(2,8,9).


Karsinoma kolorektal sering dijumpai pada dekade 6 dan Berikut ini akan dilaporkan kasus adeno karsinoma sigmoid
7, merupakan penyakit yang banyak menyebabkan kematian. pada penderita laki-laki berumur 26 tahun dengan struma
Di Amerika Serikat menempati urutan kedua untuk kanker nodosa, dengan hepatoma sekunder sebagai manifestasi klinik
organ visceral dan 20% dari kematian karena penyakit kanker pertamanya.
adalah akibat kanker kolorektal(1,2).
Kejadian karsinoma kolorektal pada usia muda tidak banyak
dijumpai. Selma 20 tahun Roa mendapatkan 30 penderita yang
terdiri dari 171aki-laki dan 13 wanita(3). Ibrahim di Beirut pada KASUS
kurun waktu 40 tahun mendapatkan 32 penderita di bawah usia Seorang penderita laki-laki tuan R (26 tahun), suku Jawa,
30 tahun (5,8%)(°). Odone selama 11 tahun mendapatkan 24 agama Islam, pekerjaan petani, masuk rumah sakit tanggal 14
penderita anak-anak(5). Dari penelitian yang dilakukan olēh April 1992, dengan keluhan utama perut kanan atas merongkol.
Harijono Achmad di RSSA Malang, didapatkan bahwa kasus Perut kanan atas merongkol sejak satu bulan sebelum
karsinoma kolorektal sebanyak 97 penderita selama 5 tahun, dirawat, terasa penuh dan sebah. Perut di bagian kanan atas
terdiri dari penderita di bawah 30 tahun sebanyak 14 penderita makin lama makin membesar, disertai mual tapi tidak muntah.
(14,26%). Sejak satu tahun yang lalu penderita mengeluh nafsu makan
Menurut Petrek, lokasi keganasan kolorektal terbanyak menurun, badan terasa lemah dan berat badan menurun.
pada rektum (22%), rekto sigmoid (8%), sigmoid (20%), kolon Selama ini penderita tidak pernah mengeluh adanya
desenden (12%), flexura lienalis (8%), kolon tranversum (6%), perubahan defikasi, penderita biasanya buang air besar satu kali
flexura hepatika (4%), kolon asenden (6%), cecum (12%), dalam sehari, tidak pernah bercampur darah ataupun dengan
appendix (2%)(6). lendir, tidak pernah mengeluh nyeri perut, buang air kecilnya
Karsinoma kolorektal banyak terdapat di Eropa Barat, biasa. Penderita makan tiga kali dalam sehari, dengan lauk-
.Amerika Utara. Di Asia, banyak terdapat di Jepang, diduga pauk tempe, tabu, ikan, daging jarang, tidak suka makan sayur
karena perbedaan pola hidup dan makanan. Beberapa faktor dan buah-buahan. Penderita bukan perokok.
antara lain lingkungan, genetik dan immunologi merupakan Sejak umur 14 tahun, penderita merasakan adanya benjolan
faktor predisposisi tumbuhnya kanker kolon, di samping bahan pada leher, mula-mula kecil, terus semakin membesar. Penderita
karsinogen, bakteri dan virus(7). tidak mengeluh sesak nafas, tidak berdebar-debar, tangan tidak
Gejala klinik karsinoma kolorektal tergantung dari lokasi gemetar, tidak merasakan linu-linu pada tulang, tidak batuk-
tumor. Kanker cecum dan kolon asenden biasanya tidak mem- batuk. Penderita tinggal di pegunungan dengan sumber air
berikan gejala obstruksi, sedangkan kanker rekto sigmoid dapat minum dari sumur atau sungai.

Laporan kasus Lab JUPF Ilmu Penyaki Dalam FK. UNIBRAW – RSSA
Malang, tangga1 17 Juni 1992.

Cermin Dunia Kedokteran No. 85, 1993 17


Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan USG tiroid tangga128-4-1992 : Tiroid mem-
Dari pemeriksaan fisik didapatkan seorang penderita de- besar pada lobus kanan dan kiri, kontur lobulated diameter 5,9
ngan gizi kurang, kesadaran kompos mentis, tidak ikterus, tidak cm x 5,1 cm dan 6,6 cm x 4 cm, solid dan tampak bagian yang
anemis, tidak sianotik. Tinggi badan 165 cm, berat badan 47 hyperechoic di tengahnya. Kesan : tumor solid tiroid.
kg. Tekanan darah 130/90 mmHg, nadi 80 kali/menit, suhu Dari hasil pemeriksaan rektosigmoidoskopi didapatkan :
badan aksiler 36,8°C, frekuensi pernafasan : 24 kali/menit. Rektosigmoid menyempit, penonjolan anular, rapuh dan mudah
Pada leher teraba kelenjar tiroid dengan penampang 10 x 5 berdarah, sekitar 15 cm dari anus.
cm, padat kenyal, multi noduler, tidak nyeri tekan, tidak ada Pemeriksaan colon inloop tanggal 13-5-1992 mendapatkan
bruit. Tidak didapatkan peningkatan tekanan vena yugularis, : Passage kontras balk, mukosa balk, haustra normal, tampak
tidak didapatkan pembesaran kelenjar di tempat lain. penyempitan lumen sigmoid dengan gambaran apple core
Pemeriksaan dada : paru tidak didapatkan wheezing dengan batas yang irreguler. Talc tampak gambaran additional
maupun ronkhi, jantung tidak membesar, tidak ada bising, tidak s,'iadow. Kesan : karsinoma sigmoid tipe annular, spina bifida
ada gallop. Tidak didapatkan kolateral, spider nevi maupun lumbal V.
ginekomasti. Hasil pemeriksaan histopatologi hati : diterima jaringan
Pemeriksaan perut : hepar teraba 6 cm di bawah lengkung kecil coklat; pada pemeriksaan mikroskopik didapatkan suatu
iga, konsistensi padat, berdungkul-dungkul, tidak nyeri tekan. mucoid adenocarcinoma yang sangat mungkin berasal dari usus.
Limpa tidak teraba, tidak ada cairan bebas, bising usus dalam Hasil pemeriksaan histopatologi tiroid: tampak sel-
batas normal, tidak ada kolateral. selepitel kelenjar tiroid dengan ukuran kecil, inti vesikuler,
Pemeriksaan anggota gerak : tidak ada tremor, tidak ada anak inti tidak nampak, ukuran sel hampir sama. Sebagian sel-
pembengkakan, tidak ada eritema palmaris, tidak ada nyeri sel tersebut ada di antara jaringan ikat. Pada bagian lain dengan
tulang. Tidak didapatkan pembesaran kelenjar getah bening infiltrasi sel-sel radang PMN. Kesimpulan : kemungkinan suatu
ingunal, aksila maupun di tempat lain. adenomatous goiter.
Pemeriksaan rectal toucher : tidak terdapat penyempitan, Pemeriksaan histopatologi terhadap sigmoid : diterima ja-
mukosa licin, sphincter ani normal, tidak ada darah ataupun ringan sangat kecil; pada pemeriksaan mikroskopik didapatkan
lendir. suatu mucoid adenocarcinoma.
Diagnosis :
Pemeriksaan Laboratorium
1) Adenokarsinoma sigmoid dengan metastasis ke hati.
Pemeriksaan laboratorium tanggal 15-4-1992 didapatkan :
2) Struma nodosa.
Hb : 11,2 g/dl, lekosit : 7500/mm3, LED : 85 mm jam I, 105 mm
Selama perawatan penderita mendapatkan terapi diit TKTP
jam II, diff count : 2/-4/4/76/18/–, hapusan darah : normal. Gula
dan roboransia.
darah acak : 98 mg/dl, ureum : 35,5 mg/dl, serum kreatinin : 0,9
mg/dl, SGOT : 28 mu/ml, SGPT : 29 mu/ml, bilirubin total : 0,49
PEMBAHASAN
mg/dl, bilirubin direk : 0,17 mg/dl, bilirubin indirek : 0,32 mg/dl.
Menurut Petrek, karsinoma sigmoid merupakan 20% dari
Protein total : 7,9 g/dl, albumin : 4,0 g/dl, globulin : 3,9 g/dl.
kēganasan kolorektal, terbanyak adalah karsinoma rektum
Pemeriksaan urine : albumin : +1, reduksi : –, lekosit : +
(22%)(6). Penderita usia muda tidak banyak dijumpai. Ibrahim
(0-1), eritrosit : –, epitel : +, kristal kalsium oksalat : +.
selama 40 tahun mendapatkan 32 penderita di bawah usia 30
Pemeriksaan faal hemostasis : dalam batas normal, throm-
tahun (5,8%). Harijono Achmad selama 5 tahun mendapatkan
bosit : cukup. Pemeriksaan HbsAg : –, CEA : lebih dui 100 mg/
penderita usia muda di RSSA sebanyak 14,2%(1).
ul.
Keluhan penderita karsinoma kolorektal tergantung dari
Pemeriksaan Radiologi beberapa faktor, salah satunya adalah asal/lokasi dan besarnya
Pemeriksaan foto dada tanggal 19-4-1992: Trachea deviasi tumor. Karsinoma kolon kanan tumbuh polypoid fungating,
ke kanan, densitas massa paratracheal kiri, densitas massa para- biasanya tidak menimbulkan obstniksi(29). Sedangkan karsi-
tracheal kanan, batas tegas asalnya dari mediastinum superior. noma kolon bagian membentuk napkin ring, biasanya me-
Lamellar pleural effusion kanan, elevasi hemidiafragma kanan. nimbulkan obstruksi.
Jantung dan paru dalam batas normal. Kesimpulan : struma Di samping gejala tersebut di atas, karsinoma sigmoid juga
intratorakal, suspek intratorakal kanan, pleural effusion kanan dapat memberikan keluhan seperti berikut : abdominal pain
bisa oleh karena metastasis atau inflamasi, disertai hepatomegali. (60,5%), anemia (21,3%), berat badan menurun (28,8%), per-
Pemeriksaan USG abdomen tanggal 20-4-1992 : Hepar ubahan defikasi (48,0%), diare (12,7%), darah dalam tinja
tampak membesar, berdungkul-dungkul, parenkim heterogen, (48,5%), hemorrhoid (10,4%), massa di perut (24,2%), massa di
intensitas ekho pada nodul meningkat, tampak nodul tersebar di rektum (7,9%), obstruksi (17,0%) dan asimtomatik (2,5%)(2).
seluruh lobus dextra dan sinistra. Kandung empedu, lien, Kadang-kadang tumor dapat menembus dinding usus, ter-
pankreas : normal, gin jal kanan dan kiri normal. Tidak ada jadi perforasi dan dapat menyebabkan peritonitis, sehingga mem-
cairan bebas dalam abdomen. Kesimpulan : Suatu tumor hati berikan gejala septikemia. Bila tumor berulserasi dan mengenai
karena proses metastasis. pembuluh darah, dapat menyebabkan perdarahan(5). Odone

18 Cermin Dunia Kedokteran No. 85, 1993


mendapatkan saat timbulnya gejala sampai terdiagnosis antara berikut(7,12,14,15,16) :
3 – 12 bulan. a) Familial polyposis; pada keluarga ini hampir 100% akan
Pada kasus ini penderita datang dengan keluhan perut kanan menderita karsinoma.
atas merongkol sejak satu bulan sebelum dirawat, nafsu makan b) Kolitis ulserosa; mereka yang menderita ini dalam 20 tahun,
menurun sejak satu tahun yang lalu, sehingga penderita merasa 50% akan menjadi karsinoma terutama bila diderita sejak lama.
lemah, berat badan semakin menurun. Perut kanan atas terasa c) Penderita polip colon dan rektum, terutama bila polipnya
sebah dan cepat penuh, semakin lama semakin membesar, tapi besar.
tidak nyeri. Penderita tidak mengeluh adanya perubahan dalam d) Penderita dengan riwayat keluarga menderita karsinoma
defikasi, tidak pernah berak darah dan tidak berlendir. payudara atau ovarium (8%).
Dari pemeriksaan fisik hati teraba 6 cm di bawah lengkung e) Penderita dengan uretrosigmoidestomi (8%).
iga kanan, konsistensi padat, berdungkul-dungkul, tidak nyeri f) Faktor diit juga memegang peranan; dikatakan bahwa ba-
tekan. Penderita juga mengalami pembesaran pada kelenjar nyak daging dan rendah serat akan meningkatkan timbulnya
tiroidnya, konsistensi padat kenyal, tidak nyeri tekan, bernodul- karsinoma kolon.
nodul. Dari data ini, pada waktu itu penderita diduga menderita g) Bahan karsinogenik, bakteri, virus juga berperan dalam
hepatoma sebagai proses metastasis dari tiroidnya. tumbuhnya karsinoma kolon.
Dari pemeriksaan USG abdomen, disimpulkan penderita Pada penderita ini tidak didapatkan riwayat sakit perut
dengan hepatoma sekunder akibat proses metastasis. Hal ini sebelumnya, tidak ada keluarga yang mempunyai riwayat karsi-
sesuai pula dengan gambaran histopatologis had, yaitu suatu noma. Penderita tidak suka makan sayur ataupun buah-buahan.
mucoid adenocarcinoma yang sama dengan gambaran histopa- Untuk mengetahui prognosis penderita, Duke membagi
tologis sigmoid. Sedangkan hasil sitologi tiroidnya menunjuk- beberapa stage, yaitu(2,14) :
kan gambaran adenomatous goiter. Dari pemeriksaan colon A : Tumor di mukosa, tidak ada pembesaran kelenjar getah
inloop tampak apple core di daerah sigmoid; kesan : suatu bening.
karsinoma sigmoid tipe annular. B1 : Tumor menembus tunika muskularis, tapi tunika serosa
Berdasarkan pemeriksaan tersebut di atas, penderita disim- dan kelenjar getah bening belum diserang.
pulkan mengidap karsinoma sigmoid yang bermetastasis ke hati. B2 : Tumor menembus tunika muskularis sampai tunika se-
Adanya metastasis karsinoma sigmoid ke hepar menyebabkan rosa, tapi kelenjar getah bening regional belum diserang.
hepar membesar sebagai suatu nodul yang single atau dapat juga Cl : Terdapat penyebaran ke kelenjar getah bening mesen-
bernodul-nodul, hingga beratnya dapat mencapai 5 kilogram terika proksimal.
atau lebih. Hepar yang bernodul tersebut dapat memproduksi C2 : Penyebaran sampai pada kelenjar getah bening lebih
mucin yang berlimpah(10,11). Domorgue mendapatkan bahwa jauh.
karsinoma sigmoid pada penderita muda lebih agresif dari pada D : Metastasis jauh.
penderita tua dan lebih banyak bentuk undifferentiated dan Pada penderita ini, oleh karena sudah terdapat metastase ke
tumor mucinous. Penderita sering datang sudah Duke's stage C hati, maka termasuk stage D.
atau D sehingga prognosisnya lebih jelek(8). Petrek mendapatkan Prognosis karsinoma kolon berdasarkan temuan patolo-
wanita muda mempunyai kemampuan hidup lebih dari penderita gisnya :
laki-laki muda(6). Pada penderita ini dari histopatologisnya terdapat bahan
Untuk mengetahui tumor secara dini, pada laki-laki atau mucoid, jadi prognosanya jelek.
wanita yang berumur lebih dari 40 tahun, harus dilakukan pe- Pengobatan penderita, pada stadium awal operasi merupa-
meriksaan tinja, barium enema, dan circulating antigen yang kan terapi utama dengan mengambil tumor dan kelenjar getah
ditemukan oleh Gold dan Freedman(12). bening sekitarnya(2). Griem mengatakan bahwa terapi radiasi
CEA dideteksi pada 72 – 92% dari pasien dengan karsinoma sebelum operasi dapat menurunkan kemungkinan metastasis
kolon. CEA yang tinggi terdapat pada neoplasma yang poorly saat operasi dan mengurangi kemungkinan kambuh(17).
differentiated dan pada tumor yang ada hubungannya dengan
pembuluh darah, pembuluh getah bening dan invasi ke peri- Temuan patologis Prognosis
neum(12). Pada kasus ini CEA-nya lebih dari 100 mg/ul. CEA
kurang baik untuk tes shining; CEA penting untuk mengetahui Karsinoma pada polip tanpa invasi ke tangkainya. Baik sekali
Karsinoma pada vinous adenoma terbatas pada mukosa
aktivitas penyakit, bila pada awal CEA tinggi dan menurun dan sub mukosa.
setelah operasi, berarti pengobatan operasinya berhasil baik, Karsinoma terbatas pada dinding tanpa metastasis ke Baik
tetapi bila CEA pada awalnya normal dan pada pemeriksaan kelenjar getah bening.
ulangan meningkat, berarti kemungkinan residif atau metastasis Karsinoma dengan metastasis ke kelenjar getah bening Cukup
sekitar tumor.
besar sekali. Kadang-kadang CEA meningkat 6 – 10 bulan Signet ring mucin secreting carcinoma. Buruk
lebih dulu daripada gejala metastasis atau residif(13,14). Metastasis luas ke kelenjar getah bening.
Ada beberapa faktor yang berhubungan dengan karsinoma Adanya invasi ke pembuluh vena.,
kolorektal; dikatakan, bahwa karsinoma kolorektal lebih banyak Adanya invasi ke perineural.
Retrograde lymph node metastasis.
didapat pada mereka yang mempunyai riwayat seperti

Cermin Dunia Kedokteran No. 85, 1993 19


Pada stadium lanjut, terapi utama adalah sitostatika. Peng- KEPUSTAKAAN
obatan sitostatika dapat tunggal maupun kombinasi. Obat tung- 1. Harijono A. Gambaran klinis penderita karcinoma kolon yang dirawat di
gal misalnya : 5-FU, beta interferon, interleukin-2, cisplatin. RSSA selama bulan Juli 1985 – Juni 1990. Malang, Lab./UPF Ilmu
Dari bermacam-macam obat tunggal itu 5-FU masih memberi Penyakit Dalam FK UNIBRAW 1990: 10-2.
response rate yang terbesar, antara 8Q – 85%(18). Untuk 2. Jones RS, Sleisenger MH. Cancer of colon and rectum. In: Sleisenger MH,
Fardtran IF (eds). Cancer colon and rectum. Philadelphia: W.B. Saunders,
memberikan 5-FU menurut cara Ansfiel yang dimodifikasi, 1978: 1784–1799.
penderita dibagi dalam tiga golongan : 3. Roa BN, Pratt FCB, Flering ID, Dilawari RA, Green AA, Austin BA.
1) Baik : Hb lebih dari 10 g/dl, serum albumin lebih dari 3,5 Colon carcinoma in children and adolescents. Cancer 1985; 55: 1322.
g/ dl, lekosit lebih dari 4000/ml, trombosit lebih dari 100000, 4. Ibrahim NK, Abdul Karim FW. Colorectal adenocarcinoma in young
Lebanese adult. Cancer 1986; 58: 816.
serum bilirubin total kurang dari 1,0 mg/dl, gizi baik. 5. Odone V, Chang L, Caces J, George SL, Pratt CB. The natural history of
2) Sedang : Hb 8 – 10 mg/dl, trombosit lebih dari 100000, colorectal carcinoma in adolescents. Cancer 1982; 49: 1716.
bilirubin total 1 – 3 mg/dl, serum albumin 2,5 – 3,5 g/dl, gizi 6. Petrik JA,Sanberg WA. The role of cancer and other factor in the
sedang. prognosis of young patients with colorectal cancer. Cancer 1985; 56: 952.
7. Karlin AA. Multifocal carcinoma of the colon. Surg Clin North America
3) Jelek : Hb kurang dari 8 g/dl, lekosit lebih dari 4000/dl, 1986 : 793-8.
trombosit lebih dari 100000, serum bilirubin total lebih dari 3 8. Domergue, Ismail M, Artree, Saint-Anbat BJH, Solassole PH. Colorectal
mg/dl, albumin kurang dari 2,5 g/dl, gizi kurang. carcinoma: patient younger than 40 year of age. Cancer 1988; 61: 835.
Untuk penderita golongan satu, dosis permulaan 15 mg/ 9. Robbins SL, Cotran RS, Kumar V. Metastatic tumors. Padaologic basis of
disease. University Book Publ Comp., 1984: 939-940.
kgbb. 5 FU/hr selama 3 – 5 hari, kemudian dilanjutkan 10. Ackerman. Metastatic tumor of liver. In: Rosai J (ed). Ackennan's Surgical
maintenance. Padaology. St. Louis: Mosby, 1981 : 635-6.
Untuk golongan dua, diberikan dosis 10 mg/kgbb. 5 FU 11. Anderson R. Secondary tumour of liver. In: Muir's Textbook of Surgical
selama 3 – 5 hari kemudian dilanjutkan dengan maintenance. Padaology. London: The English Language Book Society and Edward
Arnold, 1976 : 640.
Untuk golongan tiga, tanpa dosis permulaan dan hanya 12. Ackerman. Carcinoma colon. In: Rossi J (ed). Ackerman's Surgical Padao-
diberikan 500 – 750 mg 5 FU per hari dilanjutkan mainten- logy. St. Louis: Mosby, 1981 : 531-41.
ance(18). 13. Hoover HC. Colorectal cancer. In: Baless TMBC (ed) Current therapy in
Pada penderita ini sitostatika belum diberikan karena gastroenterology and liver disease 3. Toronto: Decker Inc., 1990 : 392-5.
14. Simadibrata. Karsinoma kolon rektum. Dalam: Suparman (ed) Ilmu Pe-
alasan tidak mampu dan prognosis penderita yang jelek. Pada nyakit Dalam jilid II. Jakarta: Balai Penerbit FKUI : 145–8.
penderita yang mengalami rasa nyeri dapat diberikan analgetik. 15. Anderson R. Carcinoma of the large intestine. In: Muir's Textbook of
Pemberiannya dengan cara bertingkat, mulai dengan analgetik Padaology. London: The English Language Book Society and Edward
non opiat dan selanjutnya opiat kuat, misalnya morphin(19). Arnold, 1976: 593-6.
16. Casciato DA, Lowitz BB. Gastrointestinal cancers. In: Manual of Bedside
Oncology. Boston: Little Brown, 1983: 169–76.
RINGKASAN 17. Griem KL. Radiation therapy. The management of rectal cancer. Hematol/
Telah dilaporkan seorang penderita laki-laki muda yang Oncol Clin North America 1989; 3: 108.
sebelumnya diduga hepatoma, ternyata suatu adenokarsinoma 18. Ramming KP, Hassbell CM. Colorectal malignancies. In: Hassbell CM
(ed) Cancer treatment. Philadelphia: WB Saunders, 1985 : 275-307.
sigmoid yang manifestasinya sebagai hepatoma sekunder dan 19. Foley KH, Intunisi CE. Analgesic therapy in cancer pain; Principles and
tidak disertai perubahan defikasi. Penderita juga menderita practice. Med Clin North America 1987; 71: 207.
suatu struma nodosa; pengobatan sitostatika belum diberikan.

Lots of things are more important than money,


the trouble is – you need money to buy them

20 Cermin Dunia Kedokteran No. 85, 1993


Diagnosis dan Pengelolaan Edema
Paru Kardiogenik Akut
Budi Susetyo Pikir
Laboratorium/UPF Kardiologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
Rumah Sakit Dr Sutomo, Surabaya

PENDAHULUAN (unilateral).
Edema paru terjadi oleh karena adanya aliran cairan dari 2. Tekanan pleura yang sangat negatif oleh karena obstruksi
darah ke ruang intersisial paru yang selanjutnya ke alveoli paru, saluran napas akut bersamaan dengan peningkatan end-expira-
melebihi aliran cairan kembali ke darah atau melalui saluran tory volume (asma).
limfatik(1). D. Peningkatan tekanan onkotik intersisial.
Edema paru dibedakan oleh karena sebab Kardiogenik dan 1. Sampai sekarang belum ada contoh secara percobaan mau-
NonKardiogenik. Hal ini penting diketahui oleh karena peng- pun klinik.
obatannya sangat berbeda. Edema Paru Kardiogenik disebabkan
II. Perubahan permeabilitas membran alveolar-kapiler
oleh adanya Payah Jantung Kiri apapun sebabnya. Edema Paru
(Adult Respiratory Distress Syndrome)
Kardiogenik yang akut disebabkan oleh adanya Payah Jantung
A. Pneumonia (bakteri, virus, parasit).
Kiri Akut. Tetapi dengan adanya faktor presipitasi, dapat
B. Bahan toksik inhalan (phosgene, ozone, chlorine, asap
terjadi pula pada penderita Payah Jantung Kiri Khronik(1).
Teflon®, NO2, dsb).
Pada makalah ini akan dibahas Diagnosa dan Pengelolaan
C. Bahan asing dalam sirkulasi (bisa ular, endotoksin bakteri,
penderita dengan Edema Paru Kardiogenik.
alloxan, alpha-naphthyl thiourea).
D. Aspirasi asam lambung.
KLASIFIKASI
E. Pneumonitis radiasi akut.
Edema Paru dapat terjadi oleh karena banyak mekanisme
F. Bahan vasoaktif endogen (histamin, kinin).
yaitu :
G. Disseminated Intravascular Coagulation.
I. Ketidak-seimbangan Starling Forces : H. Imunologi : pneumonitis hipersensitif, obat nitrofurantoin,
A. Peningkatan tekanan kapiler paru : leukoagglutinin.
1. Peningkatan tekanan vena paru tanpa adanya gangguan I. Shock Lung oleh karena trauma di luar toraks.
fungsi ventrikel kiri (stenosis mitral). J. Pankreatitis Perdarahan Akut.
2. Peningkatan tekanan vena paru sekunder oleh karena
III. Insufisiensi Limfatik :
gangguan fungsi ventrikel kiri.
A. Post Lung Transplant.
3. Peningkatan tekanan kapiler paru sekunder oleh karena
B. Lymphangitic Carcinomatosis.
peningkatan tekanan arteria pulmonalis (over perfusion pulmo-
C. Fibrosing Lymphangitis (silicosis).
nary edema).
B. Penurunan tekanan onkotik plasma. IV. Tak diketahui/tak jelas
1. Hipoalbuminemia sekunder oleh karena penyakit ginjal, A. High Altitude Pulmonary Edema.
hati, protein-losing enteropaday, penyakit dermatologi atau B. Neurogenic Pulmonary Edema.
penyakit nutrisi. C. Narcotic overdose.
C. Peningkatan tekanan negatif intersisial : D. Pulmonary embolism.
1. Pengambilan terlalu cepat pneumotorak atau efusi pleura E. Eclampsia.

Cermin Dunia Kedokteran No. 85, 1993 21


F. Post Cardioversion. Diagnosis Banding Edema Paru Kardiak dan Nonkardiak(1)
G. Post Anesthesia.
H. Post Cardiopulmonary Bypass. Edema paru kardiak Edema paru nonkardiak
Dari klasifikasi di atas edema paru dapat disebabkan oleh
Riwayat Penyakit :
banyak penyakit. Untuk pengobatan yang tepat tentunya harus Penyakit Jantung Akut Penyakit Dasar di luar Jantung
diketahui penyakit dasamya(1).
Pemeriksaan Klinik :
MANIFESTASI KLINIK EDEMA PARU KARDIOGENIK Akral dingin Akral hangat
S3 gollop/Kardiomegali Pulsasi nadi meningkat
Manifestasi dapat dicari dari keluhan, tanda fisik dan per- Distensi vena jugularis Tidak terdengar gallop
ubahan radiografi (foto toraks). Gambaran dapat dibagi 3 sta- Ronkhi basah Tidak ada distensi vena jugularis
dium, meskipun kenyataannya secara klinik sukar dideteksi dini. Ronkhi kering
Stadium 1. Adanya distensi dan pembuluh darah kecil paru Terdapat penyakit dasar (peritonitis,
dsb.)
yang prominen akan memperbaiki pertukaran gas di paru dan Tes Laboratorium :
sedikit meningkatkan kapasitas difusi gas CO. Keluhan pada EKG : Iskhemia/infark 7 EKG : biasanya normal
stadium ini mungkin hanya berupa adanya sesak napas saat Ro : distribusi edema perihiler Ro : distribusi edema perifer
bekerja. Pemeriksaan fisik juga tak jelas menemukan kelainan, Enzim jantung mungkin meningkat Enzim jantung biasanya normal
Tekanan Kapiler Pasak Pam > 18 Tekanan Kapiler Pasak Paru < 18
kecuali mungkin adanya ronkhi pada saat inspirasi karena ter- mmHg mmHg
bukanya saluran napas yang tertutup pada saat inspirasi. Intrapulmonary shunting : mening- Intrapulmonary shunting : sangat
Stadium 2. Pada stadium ini terjadi edema paru intersisial. kat ringan meningkat
Batas pembuluh darah paru menjadi kabur, demikian pula hilus Cairan edema/protein serum < 0,5 Cairan edema/serum protein > 0,7
juga menjadi kabur dan septa interlobularis menebal (garis
Kerley B). Adanya penumpukan cairan di jaringan kendor inter-
sisial, akan lebih memperkecil saluran napas kecil, terutama di
daerah basal oleh karena pengaruh gravitasi. Mungkin pula DIAGNOSIS EDEMA PARU KARDIOGENIK AKUT
terjadi refleks bronkhokonstriksi. Sering terdapat takhipnea.
Meskipun hal ini merupakan tanda gangguan fungsi ventrikel Edema Paru Kardiogenik Akut merupakan keluhan yang
kiri, tetapi takhipnea juga membantu memompa aliran limfe paling berat dari penderita dengan Payah Jantung Kiri. Ganggu-
sehingga penumpukan cairan intersisial diperlambat. Pada an fungsi sistolik dan/atau fungsi diastolik ventrikel kiri,
pemeriksaan spirometri hanya terdapat sedikit perubahan saja. stenosis mitral atau keadaan lain yang menyebabkan pening-
Stadium 3. Pada stadium ini terjadi edema alveolar. Per- katan tekanan atrium kiri dan kapiler paru yang mendadak dan
tukaran gas sangat terganggu, terjadi hipoksemia dan tinggi akan menyebabkan edema paru kardiogenik dan mem-
hipokapnia. Penderita nampak sesak sekali dengan batuk pengaruhi pula pemindahan oksigen dalam paru sehingga te-
berbuih kemerahan. Kapasitas vital dan volume paru yang lain kanan oksigen arteri menjadi berkurang. Di lain pihak rasa
turun dengan nyata. Terjadi right-to-left intrapulmonary shunt. seperti tercekik dan berat pada dada menambah ketakutan pen-
Penderita biasanya menderita hipokapnia, tetapi pada kasus derita sehingga denyut jantung dan tekanan darah meningkat
yang berat dapat terjadi hiperkapnia dan acute respiratory yang menghambat lebih lanjut pengisian ventrikel kiri. Adanya
acidemia. Pada keadaan ini morphin hams digunakan dengan kegelisahan dan napas yang berat menambah pula beban
hati-hati (Ingram and Braunwald, 1988). jantung yang selanjutnya lebih menurunkan fungsi jantung oleh
Edema Pam yang terjadi setelah Infark Miokard Akut karena adanya hipoksia. Apabila lingkaran setan ini tidak
biasanya akibat hipertensi kapiler paru. Namun percobaan pada segera diputus penderita akan meninggal(1).
anjing yang dilakukan ligasi arteriakoronaria, terjadi edema paru Edema Paru Kardiogenik Akut berbeda dengan orthopnea
walaupun tekanan kapiler paru normal, yang dapat dicegah de- dan paroxysmal nocturnal dyspnea pada Edema Paru Kardio-
ngan pemberian indomethacin sebelumnya. Diperkirakan bahwa genik Khronik akibat Payah Jantung Kiri Khronik, karena tim-
dengan menghambat cyclooxygenase atau cyclic nucleotide bulnya hipertensi kapiler paru sangat cepat dan tinggi. Pada
phosphodiesterase akan mengurangi edema' paru sekunder Edema Paru Kardiogenik Akut sesak timbul mendadak, pende-
akibat peningkatan permeabilitas alveolar-kapiler; pada ma- rita sangat gelisah, batuk berbuih kemerahan, penderita merasa
nusia masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Kadangkadang seperti tenggelam. Posisi penderita biasanya lebih enak duduk,
penderita dengan Infark Miokard Akut dan edema paru, kelihatan megap-megap. Terdapat napas yang cepat, pernapasan
tekanan kapiler pasak parunya normal; hal ini mungkin dise- cuping hidung, retraksi interkostal dan fosa supraklavikularis
babkan lambatnya pembersihan cairan edema secara radiografi saat inspirasi yang menunjukkan adanya tekanan intrapleura
meskipun tekanan kapiler paru sudah turun atau kemungkinat yang sangat negatif saat inspirasi. Penderita sering berpegangan
lain pada beberapa penderita terjadi peningkatan permeabilitas pada samping tempat tidur atau kursi supaya dapat menggunakan
alveolar-kapiler paru sekunder oleh karena adanya isi sekuncup otot pernapasan sekunder dengan balk. Penderita mengeluarkan
yang rendah seperti pada cardiogenic shock lung (Ingram and banyak keringat dengan kulit yang dingin dan sianotik menun-
Brauhwald, 1986). jukkan adanya isi semenit yang rendah dan peningkatan rang-

22 Cermin Dunia Kedokteran No. 85, 1993


sang simpatik(1). sistolik. Contohnya ialah Hipertensi dan Stenosis Aorta.
Auskultasi pada permukaan terdengar ronkhi basah basal
B. Peningkatan preload (Volume overload) :
halus yang akhimya ke seluruh paru-paru apabila keadaan ber-
Terjadi beban yang berlebihan saat diastolik. Contohnya
tambah berat: mungkin terdengar pula wheezing. Auskultasi jan-
ialah Insufisiensi Mitral, Insufisiensi Aorta, dan penyakit
tung mungkin sukar karena suara napas yang ramai, tetapi sering
jantung dengan left-to-right shunt (Ventricular Septal Defect).
terdengar suara 3 dengan suara pulmonal yang mengeras(1).
Penderita mungkin merasa nyeri dada hebat terdapat edema C. Gangguan Kontraksi Miokardium Primer :
paru sekunder akibat Infark Miokard Akut. Bila tidak terdapat Pada Infark Miokard Akut jaringan otot yang sehat berku-
Cardiogenic Shock, biasanya tekanan darah melebihi normal rang, sedangkan pada Kardiomiopati Kongestif terdapat ganggu-
akibat kegelisahan dan peningkatan rangsang simpatik. Karena an kontraksi miokardium secara umum(2).
itu sering keliru diduga edema paru disebabkan Penyakit Jantung
Hipertensi. Untuk mengetahui hal ini pemeriksaan fundoskopi DIAGNOSIS FAKTOR PRESIPITASI
mata sangat membantu. Apabila tak cepat diobati akhirnya Penderita Payah Jantung Khronik yang mendapat faktor
tekanan darah akan turun sebelum penderita meninggal(1). presipitasi akan dapat menderita Payah Jantung Kiri Akut de-
ngan tanda-tanda Edema Paru Kardiogenik Akut(1).
DIAGNOSIS BANDING DENGAN ASMA BRONKHIAL
Kadang-kadang sulit membedakan Edema Paru Kardio- PENGOBATAN
genik Akut dengan Asma Bronkhiale yang berat, karena pada Ditujukan terhadap 3 hal yaitu :
keduanya terdapat sesak napas yang hebat, pulsus paradoksus, A. Pengobatan non-spesifik Payah Jantung Kiri Akut.
lebih enak posisi duduk dan wheezing merata yang menyulitkan B. Pengobatan faktor presipitasi.
auskultasi jantung. Pada Asma Bronkhiale terdapat riwayat se- C. Pengobatan penyakit dasar jantungnya.
rangan asma yang sama dan biasanya penderita sudah tahu A. Pengobatan Payah Jantung Kiri Akut :
penyakitnya. Selama serangan akut penderita tidak selalu banyak 1. Oksigen berguna untuk pengobatan Edema Paru Kardio-
berkeringat dan hipoksia arterial kalau ada tidak cukup menim- genik, kadang-kadang diberikan bersama dengan ventilasi
bulkan sianosis. Sebagai tambahan, dada nampak hiperekspansi, mekanik.
hipersonor dan penggunaan otot pemapasan sekunder nampak 2. Posisi setengah duduk.
nyata. Wheezing nadanya lebih tinggi dan musikal, suara tam- 3. Morphine 2-5 mg diencerkan dengan dektrose atau larutan
bahan lain seperti ronkhi tidak menonjol. Penderita Edema Pam elektrolit diberikan titrasi intravena selama 3 menit, sambil
Kardiogenik Akut sering mengeluarkan banyak keringat dan dilihat respon klinik berupa berkurangnya keluhan dan gejala
sianotik akibat adanya desaturasi darah arteri dan penurunan edema paru maupun efek samping depresi pernapasan. Dosis
aliran darah ke kulit. Perkusi paru sering redup, tidak ada hi- dapat diulang 2-3 kali lagi dengan interval 15 menit apabila
perekspansi, pemakaian otot pernapasan sekunder juga tidak diperlukan. Apabila keadaan tidak begitu gawat, dapat diberikan
begitu menonjol dan selain wheezing terdengar ronkhi basah. 8-15 mg subkutan atau intramuskuler dan dosis dapat diulang
Gambaran radiologi paru menunjukkan adanya gambaran edema setiap 3-4 jam. Sebaiknya selalu tersedia antagonis morphine
paru yang membedakan dengan asma bronkhiale. Setelah pende- yaitu naloxone.
rita sembuh, gambaran edema paru secara radiologi menghilang Morphine harus dihindari pada edema paru yang dihubungkan
lebih lambat dibandingkan penurunan tekanan kapiler pasak dengan :
Paru(1). − perdarahan intrakranial
− gangguan kesadaran
DIAGNOSIS BANDING − asma bronkhiale
Untuk membedakan edema paru kardiogenik dengan edema
− penyakit paru khronik
pare nonkardiogenik secara pasti ialah dengan mengukur tekan-
− ventilasi yang kurang (pCO2 meningkat) (1).
an kapiler pasak pare dengan memasang kateter Swan-Ganz.
4. Diuretik :
Pada penderita dengan tekanan kapiler pasak paru atau tekanan
Furosemid atau asam etakrinat 40-60 mg intravena selama
diastolik arteri pulmonalis melebihi 25 mmHg (atau melebihi 30
2 menit. Dengan pemberian furosemid diuresis terjadi dalam 5
mmHg pada penderita yang sebelumnya terdapat peningkatan
menit, yang mencapai puncak dalam 30 menit dan berakhir
khronik tekanan kapiler pant) dan dengan gambaran klinik
setelah 2 jam. Tetapi biasanya Edema Paru sudah berkurang
edema paru, sangat mencurigakan edema paru kardiogenik(1).
sebelum efek diuresis terjadi, sehingga diduga efek permulaan
furosemid menyebabkan dilatasi vena. Sebagai tambahan, fu-
DIAGNOSIS PENYAKIT DASAR
rosemid juga mengurangi afterload sehingga memperbaiki
Secara patofisiologi penyakit dasar penyebab edema paru
pengosongan ventrikel kirio).
kardiogenik dibagi menjadi 3 kelompok :
5. Penurunan Preload :
A. Peningkatan Afterload (Pressure overload) : Cara yang dapat dilakukan ialah dengan Rotating
Terjadi beban yang berlebihan terhadap ventrikel pada saat Torniquet dan Phlebotomy sebanyak 500 ml.

Cermin Dunia Kedokteran No. 85, 1993 23


6. Vasodilator : kadang-kadang cukup 0,5 ug/kg/menit, tetapi dapat pula sampai
Pada Edema Paru Kardiogenik Akut sering terjadi pening- 40 ug/kg/menit. Yang perlu diperhatikan ialah tidak terdapat
katan tekanan darah arteri dan peningkatan tekanan akhir hipovolemia(3,4,5).
diastolik ventrikel kid, sedangkan Isi Semenit menurun dan Amrinone dosis awal bolus intravena 0,75 mg/kg selama
tahanan pembuluh darah sistemik meningkat. Diuretik meskipun 2-3 menit, dilanjutkan 5-10 mcg/kg/menit. Apabila diperlukan
berguna untuk menurunkan tekanan kapiler paru tetapi berguna dapat ditambah bolus lagi 0,75 mg setelah 30 n,enit. Dosis total
sedikit saja untuk meningkatkan isi semenit. Vasodilator segera tidak boleh melebihi 10 mg/kg(3,4).
menurunkan tekanan darah sistemik dan pulmonalis dan meng- Milrinone, Enoximone dan Piroximone sedang dalam pe-
hilangkan keluhan edema paru. Vasodilator yang paling tepat nelitian(4).
ialah Nitroprusid karena menurunkan tahanan pembuluh darah 9. Aminophylline :
sistemik (afterload) sehingga meningkatkan isi semenit dan Berguna apabila edema paru disertai bronkhokonstriksi
menyebabkan pula venodilatasi (menurunkan preload) sehingga atau pada penderita yang belum jelas edema paru oleh karena
menurunkan tekanan kapiler para. Dosis awa140-80 ug/menit, Asma Bronkhiale atau Asma Kardiale, karena selain bersifat
dinaikkan 5 ug/menit setiap 5 menit sampai edema paru meng- bronkhodilator juga mempunyai efek inotropik positif, venodi-
hilang atau tekanan sistolik arteri turun di bawah 100 mmHg. latasi ringan dan diuretik ringan. Dosis biasanya 5 mg/kg BB
Obat lain yang dapat diberikan ialah Nitrogliserin 0,3–0,6 mg intravena dalam 10 menit, dilanjutkan drip intravena 0,5 mg/kg
sublingual yang menimbulkan venodilatasi sehingga dapat me- BB/jam. Dosis dikurangi pada orang tua, penyakit hati dan
nurunkan preload. Hati-hati pada penderita Infark Miokard Akut gangguan fungsi ginjal. Setelah 12 jam dosis dikurangi menjadi
karena dapat menyebabkan hipotensi(1). Dapat pula diberikan 0,1 mg/kg BB/jam. Kadar dalam darah yang optimal ialah 10-20
Isosorbide Dinitrate 2,5-10 mg sublingual setiap 2 jam(3). mg/liter. Efek samping yang dapat terjadi sakit kepala, muka
Prazosin mungkin dapat dipakai apabila tidak ada obat lain. merah, palpitasi nyeri dada, hipotensi dan sangat jarang kejang-
Efek maksimum tercapai dalam 45 menit dan menetap selama 6 kejang. Efek samping yang paling berbahaya ialah kematian
jam. Dosis mulai dengan 0,5-1 mg, maksimal 3 x 10 mg/hari(3). mendadak oleh karena aritmia ventrikel dan hipotensi(1).
Dengan kombinasi morphine, rotating tourniquet, diuretik
B. Diagnosis dan Pengobatan Faktor Presipitasi :
dan nitrogliserin sublingual, sudah didapatkan penurunan pre-
Pada penderita dengan edema paru akut sering dapat di-
load yang cukup besar untuk menghindarkan flebotom(1).
ketemukan beberapa faktor presipitasi yaitu antara lain infark/
7. Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor :
iskhemia miokard akut, takhiaritmia/bradiaritmia, kelebihan
Dengan pemberian kaptopril oral, efek sudah timbal dalam
cairan, infeksi berat, emboli paru, tirotoksikosis (krisis tiroid)
0,5 jam, maksimal setelah 1-1,5 jam dan menetap selama 6-8
atau anemia yang berat, dan sebagainya. Faktor presipitasi ini
jam. Dosis dapat dimulai dengan 6,25 mg, efek maksimal ter-
juga harus diobati(1).
capai dengan dosis 3 x 25-50 mg/hario).
8. Inotropik C. Diagnosis dan Pengobatan Penyakit Dasar Jantungnya
Pada penderita yang belum pernah mendapatkan, dapat di- Apabila tindakan-tindakan darurat telah dikerjakan, harus
berikan digitalis. Untuk digitalisasi dapat diberikan Deslano- segera dicari diagnosis penyakit dasar jantungnya. Dengan
side (Cedilanide-D) 0,8 mg intravena diteruskan 0,2-0,4. setiap Anamnesis yang baik, pemeriksaan fisik yang teliti, pemeriksa-
2-4 jam dengan maksimum 1,6-2,0 mg/24 jam atau Digoxin an Elektrokardiogram dan Foto dada, biasanya diagnosis sudah
0,25-0,5 mg intravena diteruskan 0,25 mg setiap 4-6 jam dapat ditegakkan. Ekhokardiogram mungkin berguna pada pen-
dengan dosis total 0,75-1,0 mg/24 jam. Untuk dosis pertahanan derita dengan Mitral Stenosis, Miksoma Atrium Kiri, Kardio-
diberikan Digoxin oral 0,25-0,5 mg/hari (AMA, 1986; Opie, miopati Kongestif dan Kardiomiopati Hipertropik Obstruktif.
1980; Smith et a1,1988). Digitalis biasanya tidak boleh Tapi perlu diperhatikan bahwa diagnosa ekhokardiogram pada
diberikan dalam waktu 48 jam pertama setelah Infark Miokard penderita dalam keadaan gawat sukar dilakukan karena pen-
Akut. Kalau terdapat Takhiaritmia Supraventrikuler yang cepat derita biasanya gelisah.
dapat diobati dengan kardioversi(4). Pemeriksaan Kateterisasi Jantung Kanan dengan kateter
Obat lain yang dapat dipakai ialah golongan simpatomi- Swan-Ganz berguna selain untuk membedakan Edema Paru
metik (Dopamine, Dobutamine) dan golongan inhibitor phos- Kardiogenik dengan Nonkardiogenik, juga untuk mengetahui
phodiesterase (Amrinone, Milrinone, Enoximone, Piroximone). komplikasi Defek Septum Interventrikuler dan Insufisiensi
Dopamine dosis 2-5 ug/kg/meuit, menunjukkan efek inotropik Mitral pada penderita Infark Miokard Akut. Pemeriksaan
positif tanpa perubahan denyut jantung atau tahanan perifer biakan darah pada endokarditis infeksi dan enzim CK-MB
yang berarti. Pada dosis 5-10 ug/kg/menit mulai terjadi (MB-CPK) pada kecurigaan Infark Miokard Akut penting
peningkatan tekanan darah, denyut jantung dan tahanan perifer untuk dikerjakan. Angiografi radioisotop mungkin berguna
dan aliran darah ke ginjal mungkin menurun. Efek samping untuk menilai fungsi ventrikel kiri(1).
aritmia mulai timbal pada dosis 10 ug/kg/menit, sedangkan Kadang-kadang diperlukan tindakan pembedahan untuk
efek vasokon-striksi timbul pada dosis 15 ug/kg/menit(3,4,5). menghilangkan Edema Para pada penderita dengan Endokardi-
Dobutamine - dosis biasanya antara 2,5 - 10 ug/kg/menit, tis Infeksi, Gangguan Fungsi Katup Protese, Miksoma Atrium

24 Cermin Dunia Kedokteran No. 85, 1993


Kiri yang prolaps, Stenosis Aorta atau-Mitral yang berat, Defek none, Milrinone, Enōximone tan Piroximone).
Septum Interventrikuler atau Insufisiensi Mitral akibat Infark Tindakan yang lain dapat membantu ialah oksigen, posisi
Miokard Akut. Apabila memungkinkan keadaan penderita di- duduk, rotating tourniquet, atau phlebotomy.
buat stabil dulu. Balloon valvuloplasty mungkin dapat dikerja-
kan pada penderita S tenosis Aorta atau Mitral yang berat
apabila pembedahan mempunyai risiko yang tingg(1). KEPUSTAKAAN

1. Ingram RH Jr., Braunwald E. Pulmonary edema : cardiogenic and non-


RINGKASAN cardiogenic. In: Han Disease. Textbook pf Cardiovascular Medicine.
Edema Paru terjadi akibat aliran cairan dari darah ke ruang Braunwald E. (Ed). 3rd ed. Philadelphia : WB Saunders Co. 1988, pp.
intersisial melebihi aliran cairan kembali ke darah dan saluran 544-60.
2. Ruggie N. Congestive heart failure. Med. Clin. North Am. 1986; 70:
limfe. 829-851.
Edema Paru Kardiogenik Akut akibat Payah Jantung Kiri 3. Smith TW, Braunwald E, Kelly RA. The management of heart failure. In:
Akut atau Payah Jantung Khronik yang mendapatkan faktor Heart Disease. Textbook of Cardiovascular Medicine. Braunwald E. (Ed).
presipitasi. 3rd ed. Philadelphia: WB Saunders Co. 1988. pp. 485-543.
4. AMA. Agents used to treat hart failure. In: AMA Drug Evaluations, 6th
Edema Paru Kardiogenik Akut (Asma Kardiale) harus di- ed. Chicago: American Medical Association. 1986, pp 419-34.
bedakan dengan Edema Paru Nonkardiogenik dan Asma Bron- 5. Opie LH. Drugs and the heart. Lancet, London, 1980, pp 58-76.
khiale. 6. Braunwald E. Padaophysiology of hart failure. In: Heart Disease. Textbox
Diagnosis penderita dengan Edema Paru Kardiogenik Akut of Cardiovascular Medicine. Braunwald E. (Ed). 3rd ed. Philadelphia: WB
Saunders Co. 1988, pp. 426-448.
meliputi a) diagnosis edema kardiogenik akut, b) diagnosis 7. Braunwald E. Clinical manifestation of heart failure. In: Heart Disease.
faktor presipitasi, c) diagnosis penyakit dasar jantungnya. Textbook of Cardiovascular Medicine. Braunwald E. (Ed). 3rd ed. Phila-
Pengobatan Edema Paru Kardiogenik Akut meliputi Mor- delphia: WB Saunders Co. 1988, pp. 471-484.
phine 2-5 mg titrasi intravena, Furosemid 40-60 mg intravena; 8. Schism RC, Sannenblick EH. Padaophysiology of heart failure. In: The
Hart. Arteries and Veins. Hurst JW, Logue RB, Rackley CE, et al. (eds.)
sebagai vasodilator digunakan Nitroprusside atau Nitrogliserin. 6th New York: McGraw-Hill Book Company. 1986, pp. 319-45.
Dapat pula dipakai Prazosin atau Captopril. 9. Spann JF Jr., Hurst JW. The recognition and management of hart failure.
Obat inotropik yang dapat diberikan ialah Digitalis pada In: The Heart. Arteries and Veins. Hurst JW, Logue RB, Rackley CE. et
penderita yang belum pernah mendapat digitalis. Obat lain yang aL (eds.). New York: McGraw-Hill Book Co. 1986, pp. 345-69.
10. Stone JH. Pulmonary edema. In: Principle and Practice of Emergency
dapatdiberikan ialah gplongan simpatomimetik (Dopaminedan Medicine. Scwartz GR, Safar P, Stone JH, Storey PB, Wagner DK (eds.)
Dobutamine) dan golongan inhibitor phosphodiesterase (Amri- 2nd ed. Philadelphia: Saunders Co. 1986, pp. 944-9.

Life's greatest tragedy is to lose God and not to miss Him

Cermin Dunia Kedokteran No. 85, 1993 25


Farmakologi Obat Anti Hiperlipidemia

Muhammad Totong Kamaluddin


Laboratorium Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, Palembang

ABSTRAK
Penggunaan alat anti hiperlipidemia mempunyai arti klinis penting dan strategis
dalam mengendalikan kemungkinan timbulnya aterosklerosis dan penyakit jantung
koroner, sebab usaha menurunkan kadar kolesterol dan trigliserida darah terbukti dapat
menurunkan kecenderungan mengidap kelainan tersebut. Pada umumnya obat antihiper-
lipidemia ini digunakan untuk memperkuat efek diet ketat lipid dalam usaha menurunkan
kadar lipid darah. Oleh karena obat yang tergolong sebagai antihiperlipidemia mem-
punyai mekanisme kerja yang berbeda antara satu dengan lainnya, maka pengetahuan
mendalam tentang fanmakologi obat ini tentu akan sangat penting dalam menunjang
suksesnya terapi hiperlipidemia.
Dalam makalah ini dibahas faktor-faktor penyebab kelainan metabolisme dan
transportasi lipid yang dikaitkan dengan mekanisme kerja obat anti hiperlipidemia serta
penggunaan yang rasional sebagai obat tunggal atau kombinasi pada kasus-kasus
hiperlipoproteinemia dan efek samping yang mungkin timbul akibat pemakaian jangka
panjang

PENDAHULUAN digunakan obat-obat antihiperlipidemia yang mampu mengen-


Hiperlipidemia adalah suatu keadaan patologis akibat dalikan kadar plasma kolesterol, trigliserida atau keduanya dengan
kelainan metabolisme lemak darah yang ditandai dengan baik. Pengendalian ini dituntut seumur hidup, sehingga obat
meningginya kadar kolesterol darah (hiperkolesterolemia), anti-hiperlipidemiapun digunakan dalam jangka panjang pula.
trigliserida (hipertrigliseridemia) atau kombinasi keduanya. Sebenarnya inti dari kelainan patologis pada hiperlipidemia
Dari beberapa penelitian, hiperkolesterolemia dapat mempertinggi ini adalah kegagalan transportasi dan pengelolaan lipid yang
risiko morbiditas dan mortalitas penyakit jantung koroner (PJK), terdiri dari kolesterol; trigliserida, fosfolipid dan asam lemak
sedangkan hipertrigliseridemia meningkatkan kasus nyeri perut bebas. Dalam hal ini kolesterol dan trigliserida memegang peran
dan pankreatitis. Sebaliknya usaha menurunkan kadar kolesterol kunci, karena pengaturankadar fosfolipid dan asam lemak bebas
dan trigliserida darah menunjukkan turunnya kemungkinan ter- tergantung padanya; selain itu pada ateroma pembuluh darah
kena serangan penyakit jantung koroner(1,2,3,5,6). sedang dan besar ditemukan timbunan kolesterol(2,6) pada tunika
Pada umumnya hiperkolesterolemia atau hipertrigliseride- intima dengan manifestasi klinis berupa PJK, strok dan se-
mia ringan masih dapat dikendalikan dengan hanya melakukan bagainya. Selain itu transportasi lipid dalam darah sebagian besar
diet rendah lemak jenuh dan rendah kalori. Namun pada kasus terikat dengan protein (apoprotein) yang membentuk kompleks
berat dan/atau bersifat herediter yang sering menyerang pada berbentuk sferis dengan berbagai densitas dan sifatnya (lipopro-
usia muda, maka diet saja tentu kurang adekuat dan seharusnya tein). Perbedaan ini secara Minis dapat menolong dalam menen-

Dipresentasikan dalam Simposium Hiperlipidemia, Permasalahan dan Pe-


nanggulangannya Masa Kini, Palembang, 11 luli 1992.

26 Cermin Dunia Kedokteran No. 85, 1993


tukan pilahan hiperlipidemia. Tingginya kadar low density Dalam keadaan normal konsumsi lemak (fat) sekitar 80-120
lipoprotein (LDL) selalu ditemukan pada PJK. Oleh sebab itu g/hari. Lemak ini akan dihidrolisis oleh enzim lipase dari pankreas,
pemahaman metabolisme lipid dan mekanisme kerja obat anti- diserap oleh sel mukosa usus halus dan disekresikan ke dalam
hiperlipidemia yang memungkinkan penggunaan obat secara saluran limfe mesenterikus dalam bentuk kilomikron. Kemudian
rasional sangat menolong dalam terapi hiperlipidemia beserta kandungan trigliserida (TG) - kilomikron ini dihidrolisis menjadi
penyulitnya. asam lemak, gliserol dan kolesterol dengan perantaraan enzim
Dalam tulisan ini akan dibahas secara mendetil fisiologi lipoprotein lipase (LPL) yang terdapat pada permukaan endotel
metabolisme lipid dan faktor penyebab kelainannya yang dikait- kapiler, sehingga menjadi kilomikron remnan. Karena permuka-
kan dengan intervensi obat antihiperlipidemia dengan menjelas- an kilomikron remnan ini mengandung apo B-48 dan apo E yang
kan mekanisme kerja obat terpilih untuk masing-masing jenis mempunyai affmitas tinggi dengan reseptor membran hepatosit,
hiperlipidemia serta efek samping yang dapat timbul akibat maka kilomikron ini akan terikat dengan hepatosit, mengalami
pemakaian jangka panjang. internalisasi dan degradasi oleh enzim lisosom dengan melepas-
kan kandungan kolesterolnya ke dalam hepatosit. VLDL ber-
HIPERLIPOPROTEINEMIA fungsi mengangkut TG dan sejumlah kolesterol (sintesa de novo)
Transportasi lipid dalam plasma darah membutuhkan suatu yang dilepaskan oleh hepatosit dan masuk sirkulasi. Kandungan
protein khusus (apoprotein) dengan membentuk suatu kompleks TGnya juga mengalami degradasi oleh LPL dan dilepaskan ke
partikel yang berbentuk sferis, lipoprotein. Inti partikel ini jaringan tepi sehingga VLDL berubah menjadi VLDL remnan
mengandung trigliserida atau ester kolesterol. Permukaannya (β VLDL) atau IDL. Permukaan IDL ini mengandung apo B-100
terdiri dari fosfolipid, kolesterol dan apoprotein (apo-). Dari ber- dan apo E yang juga beraffinitas tinggi dengan hepatosit. Tetapi
macam apoprotein ini, hanya apo B-100 dan ape E yang dapat hanya sedikit sekali IDL yang mengalami internalisasi, sebagian
dikenal oleh reseptor membran sel jaringan yang memungkinkan besar diubah menjadi LDL dan tetap beredar dalam sirkulasi.
lipoprotein tersebut berikatan dengan sel jaringan. Dalam keadaan normal f; VLDL ini beredar dalam darah
dengan kadar yang rendah, namun pada kelainankandungan ape
Tabel 1. Sifat dan fungsi apoprotein E-nya, kadarnya dapat meningkat dan bersifat aterogenik (tipe
Diproduksi oleh III hiperlipoproteinemia).
Hama Fungsi LDL sendiri tetap mengandung banyak kolesterol dan apo
jaringan
B-100 yang beraffmitas tinggi dengan reseptor LDL jaringan
Apo A-1 hepar, usus halus Structurlipoprotein, mengaktifltan LCAT
Apo A-2 hepar, usus halus Stmkturlipoprotein,mengaktiflcanhepatic hepar dan diluar hepar, dan melepaskan kolesterolnya ke jaring-
lipase an tadi. Karena bersihan LDL ini berjalan lambat, maka sebagian
Apo A-4 usus halos Tidak diketahui besar kolesterol yang beredar terikat dalam LDL ini. Pada keada-
Apo B-100 hepar Struktur lipoprotein, sekresi VLDL, ber- an kekurangan reseptor LDL akan timbul kelainan tipe IIa hiper-
ikatan dengan LDL reseptor
Apo B-48 usus halus Struktur lipoprotein, sekresi kilomikron lipoproteinemia yang bersifat aterogenik; selain itu prekursor
Apo C-1 hepar mengaktiflcan LCAT HDL dibentuk oleh hepatosit dan menjadi matang selama me-
Apo C-2 hepar mengaktifkan LPL masuki sirkulasi dengan menarik kolesterol dan kelengkapan
Apo C-3 hepar menghambat pelepasan lipoprotein kart apoprotein (C-2). Apo C-2 inilah yang menyebabkan pecahnya
trigliserida
Apo D hepar, usus halus, pertukaran ester kolesterol kandungan TG kilomikron dan VLDL dalam hepatosit oleh
pankreas, ginjal, dll. LPL. Subpopulasi HDL (HDL2) berfungsi mengangkut
Apo E hepar, makrofag berikatan dengan reseptor LDL dan re- kolesterol jaringan tepi (terutama dari dinding uteri) kembali ke
septor kilanikron remnan hepar, sehingga lipoprotein ini berguna untuk mencegah
timbulnya PJK. Individu dengan kadar HDL tinggi mempunyai
Partikel lipoprotein dalam plasma dapat dibedakan sesuai korelasi positif terhindar PJK(2,3,5).
dengan ukuran, dan kandungan lipidnya (Tabel 2). Ketidakseimbangan antara produksi lipoprotein yang dile-

Tabel 2. Pilahan lipoprotein

Identifikasi Ultrasentrifuse Elektroforesis Ukuran (A) Densitas (g/mI) Kandungan Lipid Utama Apoprotein
Kilamikron original 800-5000 < 0,95 TG diet & ester Kol. A-1, A-2, A-4, B-48, C-1, C-2, C-3, E
Kilamikron remnan original > 500 < 1,006 Ester Kol. diet B-48, E
Very Low Density (VLDL) Pre-I3 300-900 < 1,006 TG endogen B-100, C-1, C-2, C-3, E
Intermediate Density (IDL) Pre-I3-(3 250-350 1,006 -1,019 Ester Kol & TG B-100, E
Low Density (LDL) β 180-280 1,019 - 1,063 Ester Kol B-100
High Density (HDL=) a 90-120 1,063 - 1,125 Ester Kol A-1, A-2, C
High Density (HDL,) a 50-90 1,125 - 1,210 Ester Kol A-1, A-2, C

Kol = kolesterol
TG = trigliserida

Cermin Dunia Kedokteran No. 85, 1993 27


pas oleh jaringan tertentu dengan bersihan lipoprotein itu sendiri faktor yang meningkatkan katabolisme dan ekskresi kolesterol
dari plasma akan menimbulkan hiperlipoproteinemia dengan dari tubuh atau mempercepat bersihan partikel LDL dari
manifestasi klinik tertentu (Tabel 3). sirkulasi akan menurunkan kadar kolesterol dalam plasma
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi langsung kadar karena menurunnya kandungan kolesterol dalam hepar dapat
lipoprotein adalah : merangsang pembentukan reptor LDL hepatosit yang berujung
1) Diet : kalori total perhari, jumlah kalori dari lemak, asupan pada peningkatan bersihan LDL plasma ke dalam hepar.
kolesterol.
2) Antropometrik : ratio berat - tinggi badan (obesitas). OBAT ANTIHIPERLIPIDEMIA
3) Kebiasaan merokok, kurang gerak, asupan alkohol. Pada umumnya intervensi obat antihiperlipidemia ini adalah
4) Ras untuk memperkuat diet ketat lemak, atau individu yang memang
5) Genetika tidak memberikan respon dengan diet saja. Sebelum dimulai
6) Seks : kadar estrogen (endogen/eksogen). pengobatan, harus dipastikan dulu penyebab timbulnya hiper-
7) Penyakit lain : diabetes mellitus, hipotiroidea, uremia, sin- lipidemia. Sebab hiperlipidemia sering terjadi akibat keadaan
droma nefrotik. patologis lainnya seperti diabetes mellitus, hipotiroidea atau
Sifat aterogenik LDL dan VLDL telah banyak dibuktikan. alkoholisme. (hiperlipidemia sekunder) (tabel 4).
Peninggian kadar salah satu atau keduanya mempunyai korelasi
positif menyebabkan aterosklerosis(2,3,4,5). Kadar LDL meninggi Tabel 4. Hiperlipidemia sekunder
karena adanya defisiensi reseptor LDL pada hepatosit atau Kelainan Lipoprotein Kolesterol Trigiberida
membran sel jaringan lainnya, sehingga apo B-100 LDL tidak
dapat terikat pada sel jaringan tadi dan tetap bebas beredar dalam Diabetes mellitus VLDL (+) meningkat
plasma. Pada keadaan normal genesis reseptor LDL ini diatur Hipotiroidisme LDL meningkat (+)
Sindroma nefrotik VLDL, LDL meningkat meningkat
oleh langsung kadar kolesterol. Apabila kadar kolesterol meninggi, Uremia VLDL (+) meningkat
hal ini akan menghambat transkripsi messenger RNA (m-RNA) Sirosis bilier primer abnormal naik –
yang akan membentuk reseptor LDL, demikian pula sebaliknya. Peminum alkohol VLDL (+) meningkat
Pil kontrasepsi VLDL (+) meningkat
KONSEP DASAR PENGATURAN KADAR LIPID
Kadar lipid dalam plasma setiap saat tergantung pada ke- Berdasarkan jenis lipid yang diturunkan kadar plasmanya,
cepatan transport lipoprotein ke dalam sirkulasi dan kecepatan obat antihiperlipidemia dapat digolongkan men jadi :
bersihannya dari sirkulasi. Oleh karena itu prinsip obat 1) Antihiperkolesterolemia :
antihiperlipidemia secara rasional ditujukan baik pada Resin (kolestiramin, kolestipol),
pentuunan asupan lipoprotein ke dalam plasma atau Niacin,
mempercepat bersihannya dari plasma. Neomisin sulfat,
Jumlah dan kecepatan kolesterol atau TG dari hepar atau Probukol,
usus halus masuk ke dalam sirkulasi tergantung pada suplai lipid Fibrat,
dan apoprotein masing-masing dalam membentuk kompleks Lovastatin,
lipoprotein. Walaupun apoproteinnya harus disintesis, lipidnya Dekstrotiroksin.
dapat berasal dari diet atau sintesis de novo di dalam hepar atau 2) Antihipertrigliserida :
usus halus. Sudah tentu manipulasi diet atau obat yang meng- Fibrat (Klofibrat, Gemfibrozil, Fenofibrat, Bezafibrat),
hambat biosintesa lipid atau apoprotein ini dapat menurunkan Niacin,
kadar lipoprotein yang akan masuk ke dalam sirkulasi. Fish Oil,
Sekresi lipoprotein ini juga ditentukan oleh aktifitas enzim Kombinasi.
lipoprotein lipase (LPL). Perangsangan LPL dapat meningkatkan Masing-masing antihiperlipidemia di atas hanya mampu
bersihan kilomikron dan trigliserida-VLDL dari sirkulasi. Faktor- menurunkan kadar kolesterol atau trigliserida saja, kecuali niacin

Tabel 3. Mahan hiperiipoproteinemia

Tipe Peningkatan lipoprotein Peningkatan lipid Klasifikasi Insiden Hubungan risiko PJK
I Kilomikron TG Familial (exogenous) hyper-
triglyceridemia (LPL deficiency) 1 : 10s tidak ada
IIa LDL Kol Familial hypercholesterolemia 1 : 500 +
(LDL receptor defects)
IIb LDL + VLDL Kol & TG Familial multiple-type
hyperlipoproteinemia 1 : 300 +
III 3 VLDL (IDL) Kol & TG Familial dysbetalipoproteinemia 1 : 100 +
IV VLDL TG Familial (endogenous) hyper-
triglyceridemia 1:500 ?
V VLDL & Itilomikron TG Mixed hypertriglyceridemia ? ?

28 Cermin Dunia Kedokteran No. 85, 1993


yang dapat menurunkan kadar kedua lipid tersebut. ramin mampu memobilisasi kolesterol dan menurunkan kadar
Tujuan pemberian antihiperlipidemia ini adalah menurunkan LDL sebagai efek sekunder dari aktifnya pula reseptor LDL
kadar LDL atau VLDL yang bersifat aterogenik. Sedangkan hepatosit karena mobilisasi kolesterol oleh hepar akan me-
obat, baik yang tergolong antihiperkolesterolemia atau anti- rangsang pembentukan reseptor LDL lebih banyak lagi oleh
hipertrigliseridemia keduanya mampu menurunkan kadar LDL hepatosit itu sendiri.
ataupun VLDL. Patokan dimulainya terapi antihiperlipidemia Indikasi klinis : merupakan obat pilihan tipe IIa
biasanya berdasarkan kadar LDL kolesterol yang ditemukan hiperkolesterolemia; menunmkan sampai 25% kadar kolesterol
(Tabel 5). plasma dan menghilangkan santomata. Jika dikombinasikan
dengan niacin, efeknya makin kuat. Sayang efeknya untuk tipe
Tabel 5. Pengobatan berdasarkan Kadar LDL Kolesterol (LDLc) IIa yang homozigot sedikit sekali, karena tipe ini tidak
Kadar LDLc (mg/dl) Penatalaksanaan
memiliki reseptor LDL.
Jangan diborikan pada tipe IV dan V, karena makin
< 130 tidak ada meningkatkan VLDL.
130 - 160 diet Efek samping : hanya minimal berupa konstipasi yang
160 - 190 diet, pertimbangan obat antihiperlipidemia bila di-
terrtui faktor resiko PJK dapat diatasi dengan pemberian laksansia, flaws yang dapat
> 190 diet dan obat antihiperlipidemia dicegah dengan banyak minum dan makanan berserat,
Bila kadar TG < 400 mg/dl, maka LDLc dapat dihitung dengan rumus : hipokloremik metabolik asidosis, peningkatan ringan alkali
LDLc =Total kolesterol – (HDLc + VLDLc) = Total kolesterol – (HDLc+ TG/5). fosfatase dan transaminase, pembentukan batu empedu tetapi
tidak signifikan, steatore karena meningkatnya buangan asam
Peningkatan kadar HDL menunjukkan indikasi proteksi lemak rantai panjang, hilangnyapenyerapan vitamin A, D,
PJK sehingga tidak memerlukan terapi. Sedangkan penurunan Kpada dosis tinggi (30 g/hari).
kadar HDL merupakan petunjuk meningkatnya risiko PJK dan Interaksi obat : dapat mengganggu penyerapan digitoksin,
harus segera diobati walaupun kadar LDL nya sekitar 130 mg/dl. fenobarbital, klorotiazid, fenilbutazon, warfarin, asam flufena-
mat, asam mefenamat dan tetrasiklin. Dianjurkan obat-obat ini
Tabel 6. Patokan kadar lipid darah (mg/dl) yang memerlukan pengobatan diberikan 1 jam sebelum atau 4-6 jam sesudah pemberian ko-
lestiramin.
Lipid Tanpa risiko Batas Perlu pengobatan
Dosis : 16 - 32 g/hari dibagi dalam 4 dosis sebelum
Trigliserid < 150 150 - 200 > 200 makan. Biaya perhari cukup mahal.
Kolesterol total < 220 220 - 260 > 260
Kolesterol LDL < 150 150 - 190 > 190
Kolesterol HDL (L) > 55 35 - 55 < 35 Kolestipol
(P) > 65 45 - 65 < 45 Obat ini juga merupakan suatu anion penukar resin, se-
hingga efikasi, mekanisme kerja, dan toksisitasnya sama
Keterangan : dengan kolestiramin. Hanya menurunkan kadar kolesterol.
Uji Diri IDI,1988.
Dosis perhari dapat diberikan antara 12-25 g peroral dibagi
dalam 4 dosis.
OBAT ANTIHIPERKOLESTEROLEMIA
Kolestiramin Niasin (Asam Nikotinat)
Kolestiramin adalah suatu anion ammonium kuartener Obat ini dapat menurunkan kolesterol dan trigliserida, de-
penukar resin dengan inti stiren. Gugus klorida kolestiramin ngan penurunan sangat nyata untuk trigliserida. Efek ini
dapat ditukar dengan anion lainnya, seperti garam empedu dan berbeda dengan efeknya sebagai vitamin.
lain-lain. Mekanisme kerja : efek hipolipidemiknya karena obat ini
Mekanisme kerja : Karena kolestiramin tidak diserap, mampu menekan sekresi VLDLakibatberkurangnyasintesaTG.
maka setelah pemberian peroral, kolestiramin akan mengikat Karena VLDL menurun, maka secara tidak langsung LDL juga
garam empedu di dalam usus halus dan siap diekskresikan ke menurun, dan HDL yang mengandung apo A meningkat. TG
dalam feces, sehingga ekskresi garam empedu meningkat 10 menurun setelah 4 - 6 jam minum obat, sedangkan kolesterol
kali lipat (1-2 g/hari). Ekskresi garam dan asam empedu menurun setelah beberapa hari kemudian. Sintesa TG oleh
menurunkan kadar asam empedu yang kembali ke hepar, yang hepar menunun karena asupan asam lemak bebas dari sirkulasi
berfungsi menghambatenzim 7a-hidroksilase – enzim yang berkurang akibat penekanan niasin terhadap jaringan adiposa.
mengkonversi kolesterol menjadi asam empedu; sehingga Obat ini mudah diserap di semua bagian saluran cerna.
kolesterol banyak dipecah oleh hepar. Ekskresi utama melalui urin.
Akibat meningkatnya katabolisme kolesterol di dalam hepa- Indikasi klinis : sangat baik untuk tipe fib hiperlopiprotein-
tosit ini, enzim β-hidroksi-, β-metilglutaril-CoA-reduktase (HMG emia yang ditandai dengan peningkatan kadar VLDL dan LDL.
CoA reduktase) yang mensintesa kolesteroi terangsang pula; Kolesterol dapat diturunkan 30%, sedangkan TG menurun
tetapi pada keadaan normal sintesa kolesterol ini lebih lambat sampai 60%. Efek ini semakin baik bila dikombinasi dengan
dibanding pemecahannya, sehingga kolesterol dalam plasma dan kolestiramin atau klofibrat.
jaringan lain ditarik ke dalam hepar. Dengan demikian kolesti- Efek samping : Kulit panas dan gatal sangat mengganggu

Cermin Dunia Kedokteran No. 85, 1993 29


sekali pada pemakaian setelah 1-2 jam obat ini, sehingga sering obat ini dapat merangsang pembentukan reseptor LDL hepar.
kali pasien berhenti minum obat. Sebenarnya efek ini menghi- Kombinasinya dengan kolestiramin cukup baik untuk pengobatan
lang sendiri setelah beberapa lama; disebabkan oleh pelepasan hiperkolesterolemia heterozigot familial yang sudah resisten.
prostaglandin El yang dapat dicegah dengan penambahan aspi-
rin. Efek lain berupa perut kembung, gangguan fungsi hati, me-
OBAT ANTIHIPERTRIGLISERIDEMIA
nurunkan toleransi terhadap glukosa, glikosuria, hiperurisemia
dan ikterus. Juga dapat membangkitkan serangan disritmia jan- Niasin
tung dengan fibrillasi atrial. Obat ini dapat pula menekan kadar VLDL, sehingga dapat
Obat ini dikontraindikasikan pada penderita penyakit hati, menurunkan kadar TO.
ulkus peptikum dan diabetes mellitus.
Klofibrat
Dosis : Dimulai dengan 50 -100 mg/hari dibagi dalam 3
Adalah suatu derivat asam isobutirat, yang oleh esterase
dosis. Dosis ini dapat ditingkatkan bertahap sampai 2,5 g/hari
serum menjadi asam klofibrat.
pada bulan I, 5 g/hari pada bulan II dan 7,5 g/hari pada bulan
Mekanisme kerja : Obat ini dapat merangsang enzim LPL
III. Dengan dosis 5 g/hari diharapkan dapat mengatasi kasus
sehingga bersihan VLDL meningkat yang berarti menurunkan
famili hiperkolesterolemia yang heterozigot.
kadar TO. Selain itu karena menghambat sintesa kolesterol da-
Neomisin Sulfat lam hepar dan merangsang sekresi kolesterol ke dalam empedu
Obat ini adalah antibiotika golongan aminoglikosid yang dan feces, obat ini dapat pula menurunkan kadar kolesterol dan
dapat meningkatkan ekskresi sterol netral dan sedikit asam menarik cadangan kolesterol dalam jaringan. Efek ini terbukti
empedu ke dalam feces, sehingga juga menurunkan penyerapan dari berkurangnya ukuran santoma pada kulit. Dengan dosis 2
kolesterol. Menurunnya asupan kolesterol akan merangsang X 500 mg kadar puncak plasma 50-60 µg/ml dicapai dalam 6
pembongkaran kolesterol yang terikat di jaringan yang jam. Masa paruh obat ini berkisar 15-20 jam.
akhirnya menurunkan kadar LDL. Efek obat ini meningkat jika Indikasi klinis : sebagai obat terpilih untuk hiperlipopro-
diberikan bersama kolestiramin atau kolestipol. Dengan dosis 2 teinemia tipe III karena dapat menghancurkan partikel ~
g/hari, kadar kolesterol menurun sekitar 25%. VLDL, sehingga kadar TG dan kolesterolnya menurun.
Efek samping berupa gangguan pencernaan dan Kemampuan menurunkan kadar kolesterol bervariasi, oleh
enterokolitis akibat meningkatnya pertumbuhan bakteri yang karena itu penggunaan untuk hiperkolesterolemia familial
resisten terhadap neomisin. Jangan diberikan pada penderita masih dibatasi. Karena obat ini dapat pula meningkatkan LDL,
dengan gangguan faal ginjal. Obat ini juga mengganggu jangan digunakan untuk hiperlipoproteinemia tipe IV.
penyerapan digitalis jika diberikan bersamaan. Efek samping : berupa nyeri lambung, mual muntah, diare
dan bertambahnya berat badan. Obat ini dapat meningkatkan
Probukol
insiden kolelitiasis (2-3 X lipat) dan kematian akibat karsinoma
Pemberian 2 X 500 mg probukol dapat diharapkan
karena efek perangsangan sekresi empedu, sehingga penggunaan-
penurunan sedang kadar kolesterol.
nya sangat dibatasi. Juga pernah dilaporkan timbulnya trombosis
Mekanisme penurunan LDL tidak jelas, mungkin karena
dan klaudikasio pada penderita yang menggunakan klofibrat.
perubahan struktur LDL akibat efek probukol. Bentuk LDL ini
Interaksi obat : dapat meningkatkan aktifitas koumanin,
lebih mudah menghilang dari sirkulasi dibanding LDL normal.
sehingga dosis koumarin hams diberikan separuhnya dan selalu
Sayangnya obat ini juga menurunkan HDL, sehingga obat ini
diperiksa kadar protrombin.
tidal( efektif untuk kasus hiperkolesterolemia familial.
Probukol tidak menurunkan kadar trigliserida. Gemfibrozil
Efek samping berupa dispepsia, nyeri abdominal, mual Obat ini juga merupakan derivat asam fibrat dengan me-
muntah, flatulen, diane karena peningkatan aliran empedu. Juga kanisme kerja yang mirip klofibrat. Peningkatan bersihan VLDL
dapat memperpanjang interval Q-T dalam EKG. Kombinasinya dan penghambatan sintesa VLDL dalam hepar dapat menurunkan
dengan klofibrat tidak begitu menguntungkan. kadarTG sampai 50%. Efek ini timbul karena menurunnya
kadar asam lemak bebas dan meningkatnya aktifitas enzim
Dekstrotiroksin
LPL. Pembentukan LDL dicegah dan bersihannya ditingkatkan.
Obat ini berefek primer sebagai antihiperlipidemia. Pada do-
Se-lain itu gemfibrozil juga dapat meningkatkan HDL yang
sis 4-8 mg/hari akan merangsang enzim 7-a kolesterol hidroksi-
penting pada proteksi timbulnya PJK.
lase yang memecah kolesterol menjadi asam empedu, sehingga
Obat ini mudah diserap oleh saluran cerna dan diekskresikan
kadar kolesterol menurun. Juga merangsang pembentukan re-
ke dalam urin secara utuh. Masa paruhnya sekitar 1,5 jam. Dosis
septor LDL. Namun karena kasus kematian kardiovaskuler juga
yang dianjurkan sekitar 1200 mg/hari dibagi dalam 2 dosis.
meningkat, maka penggunaan obat ini dilarang.
Indikasi klinis : Sebaiknya obat ini diberikan bila ditemui
Kompaktin & Mevinolin hipertrigliseridemia berat, peninggian VLDL seperti untuk tipe
Obat ini adalah suatu metabolit fungi yang sangat kuat III, IV dan V hiperlipoproteinemia. Obat ini dapat juga me-
menghambat HMG CoA reduktase, sehingga dapat menekan nurunkan LDL kolesterol pada hiperkolesterolemia.
sintesa kolestero120-30%; oleh karena itu diasumsikan bahwa Efek samping : sama dengan klofibrat.

30 Cermin Dunia Kedokteran No. 85, 1993


TERAPI KOMBINASI 6. Gotto AM. The Role of Lipids in Coronary Heart Disease, Current con-
cepts. Kalamazoo: Upjohn Co., 1991.
Walaupun terapi awal dimulai dengan satu jenis obat, tetapi 7. Asdie AH. Penatalaksanaan Hiperlipidemia, Berkala Ilmu Kedokteran,
pemberian kombinasi sangat memuaskan dengan penurunan 1991; XXII1(3).
LDL > 15% dan TG > 30%, terutama untuk tipe IIa yang hetero- 8. Katzung BG. Basic and Clinical Pharmacology, Fourth Ed., Norwalk:
zigot. Niasin dan kolestiramin sangat efektif pada hiperkoleste- Appleton & Lange, 1989. pp. 419-430.
9. Odegaard OR. Drugs affecting lipid metabolism, Meyler's Side Effects of
rolemia familial (tipe IIb) dengan penurunan LDL sampai 55%. Drugs, 11th Ed., Elsevier Science Publisher B.V. 1988. pp 916-927.
Penderita yang tidak tahan dengan niasin dapat diganti dengan 10. Katzung BG, Trevor AJ. Examination and Board Review Pharmacology,
kombinasi neomisin dan kolestiramin. Kombinasi HMD CoA Second Ed., a Lange Medical Book, 1990. pp. 184-188.
reduktase mevinolin dengan kolestiramin sangat efektif untuk 11. Gilman AG, Goodman LS, Gilman A. The Pharmacological Basis of
Therapeutics, Seventh Ed., New York: Macmillan Publishing Co., Inc.
tipe IIa, tapi efek kombinasi ini masih terus diteliti. Niasin dan 1985. pp. 834-847.
klofibrat atau gemfibrozil sangat efektif untuk hiperlipoprotein-
emia tipe IV dan V. Pada kasus dysbetalipoproteinemia dengan
kelainan konversi VLDL ke LDL dan tertimbunnya ji VLDL
yang aterogenik sebaiknya hanya diberikan klofibrat atau gem-
fibrozil saja.

Tabel 7. Rekomendasi pengobatan hiperlipidemia(2)


Lampiran 1.
Fenotipe Efek samping Kolestiramin(2)
Obat terpilih Kombinasi Pilihan lain
lipoprotein
Lipid Res. Clinics Brenike et al.
I – – –
Efek samping
IIa Kolestiramin/ Lovastatin Niasin, Lovastatin, Kolesterol Plasebo Kolesterol Plasebo
Kolestipol Niasin Neomisin, Probukol, (%) (%) (%) (%)
Neomisin Sitosterol, PAS.
IIb Niasin Kolestiramin Kolestiramin, Nyeri abdomen 7 7 3,4 0
Gemfibrozil Kolestipol Kolestipol, Klofibrat. Penn kembung 6 9 5,1 5,3
III Niasin Klofibrat Konstipasi 4 8 5,1 3,5
Gemfibrozil Diare 8 4 – –
IV Niasin Gemfibrozil Klofibrat Gas 12 12 5,1 7
V Niasin Klofibrat, Oksandrolon, Nyeri uluhati 7 12 5,1 0
Gemfibrozil Noretisteron, Fish Oil. Mual, muntah 7 5 – –
Kantuk – – 8,5 1,8
Gatal–gatal – – 1,7 0
KESIMPULAN Kejang kaki – – 8,5 1,8
Telah dibicarakan patofisiologi metabolisme lipid dan akibat Gugup – – 8,5 5,3
klinis yang dapat timbul, efek aterogenik positif dengan pilahan Ruam kulit – – 1,7 0
Leman – – 5,1 0
sesuai dengan jenis lipoprotein yang meninggi dalam plasma
darah. Intervensi obat pada umumnya baru diberikan apabila
N=1906 N=1920 N=59 N=57
ditemui keadaan hiperlipidemia berat yang tidak dapat diatasi
lagi hanya dengan diet saja. Keberhasilan terapi hiperlipidemia
didasari atas pilihan yang tepat dari obat antihiperlipidemia
dengan mekanisme kerjanya yang unik yang disesuaikan dengan Lampiran 2
jenis kelainan hiperlipidemia yang ditemui. Kombinasi dua obat
Efek samping Asam Nikotinat (Niasin) (2)
antihiperlipidemia yang cocok bersifat sinergistik, sehingga dapat
memberikan efek terapi yang lebih besar. Selama pengobatan Coronary Drug Project
harus diwaspadai beberapa efek samping yang merugikan karena Efek samping
Niasin (%) Plasebo (%)
obat antihiperlipidemia ini harus digunakan dalam jangka panjang.
Nyeri lambung 13,9 7,9
KEPUSTAKAAN Nyeri abdomen 25,7 20,1
Rasa panas 92,0 4,3
Gatal-gatal 48,9 6,2
1. Craig CR, Stitzel RE. Modern Pharmacology, Boston/Toronto: Little,
Brown and Co, 1986. pp 329-344. Urtikaria 7,2 1,5
2. DiPiro TT, Talbert RL, Hayes PE, Yee GC, Posey LM. Phannacotherapy Ruam kulit 19,8 5,9
Disuria 2,9 1,2
and A Padaophysiologic Approach, New York: Elsevier, 1989. pp. 300-
323. Menekan nafsu makan 4,1 1,5
3. Andreoli TE, Carpenter CCJ, Plum F, Smith LH. Cecil Essentials of Berat badan tun= 2,7 0,9
Berkeringat 3,4 1,8
Medicine, Second Ed., W.B. Saunders Co., 1990. pp. 431-435.
4. Famnakologi dan Tempi, Edisi 3, FKUI, 1987. pp. 324-333. Ikhtiosis 3,1 0,8
5. Wingard LB, Brody TM, Lamer J, Schwartz A. Human Pharmacology Akantosis nigrikan 3,6 0,7
Molecular-to-Clinical, St. Louis: Mosby Year Book, 1991. pp. 266-282. Gout residif 11,4 6,1
N=1073 N = 2695

Cermin Dunia Kedokteran No. 85, 1993 31


Lampiran 3.
Efek samping Klotlbrat(2) 1. 2. 3. 4. 5.

Coronary Drug Project WHO Gangguan – – 6,0 (p<0,01) 4,6


Efek samping penoamaan
Klof. (%) Plasebo (%) Kiof. (%) Plasebo (%) Pacu efek 13,7 (p<0,01) 10,0 – –
antikoagulan
1. 2. 3. 4. 5. Gallop diastolik 14,6 (p<0,01) 11,7 – –
Splenomegali 2,4 (p<0,01) 1,1 – –
Hepatamegali 19,7 (p<0,01) 15,9 – –
Disfungsi seks 14,1(p<0,01) 10,0 1,1 (p<0,01) 0,6 Kolelitiasis 3,0 (p<0,01) 1,3 – –
Sulk menelan 1,5 (p<0,01) 0,5 – – Kematian ;
Nafsumakan 5,3 (p<0,01) 3,1 0,4 0,1 Total 3,0 (p<0,05) 2,4
meningkat Kanker 0,57/1000 th 0,21/1000 th
Tambah gemuk – – 1,9 (p<0,01) 0,8

32 Cermin Dunia Kedokteran No. 85, 1993


Perubahan Kadar Kompleks Imun pada
Penderita Malaria Terinfeksi
Plasmodium falciparum
M. Hasyimi
Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan RI, Jakarta

PENDAHULUAN 2) Mempelajari perbedaan hasil pengukuran kadar KI dengan


Kompleks imun (KI) adalah ikatan antara molekul antibodi teknik ELISA sel Raji dan dengan uji PEG.
dengan molekul antigen terlarut dalam cairan tubuh mamalia.
KI dapat terbawa peredaran darah ke seluruh tubuh(1), dan BAHAN DAN CARA KERJA
kemudian dapat terjadi penumpukan pada organ tertentu. Sampel
Penumpukan KI dapat menimbulkan gangguan autoimun, Sera untuk sampel penelitian ini diperoleh dari 12 orang
seperti kebutaan, infertilitas, dan lain-lainnya. penderita malaria yang terinfeksi P. falciparum. Sera disimpan
Pada kasus infeksi akut, KI merupakan konsekuensi logis pada freezer (–20°C s/d –70°C) sampai saat pengujian. Untuk
dari proses eliminasi antigen terlarut oleh sistem imunitas(2). setiap penderita, sera diambil berpasangan, yakni sebelum dan
Kehadiran KI dalam darah selalu berhubungan dengan kenaikan sesudah pengobatan. Untuk kontrol dipergunakan 15 sera dari
kadar imunoglobulin dan penurunan molekul C3 dan C4 dalam orang yang bebas malaria (normal). Kadar KI dalam sera
darah. Dengan demikian kehadiran KI dalam darah selalu dapat diukur dengan ELISA sel Raji dan uji PEG.
dikaitkan dengan kejadian infeksi akut. Di lain fihak, arti
Uji pengendapan dengan PEG
kehadiran KI pada infeksi kronik seperti malaria masih
Pada uji pengendapan ini digunakan modifikasi metode
menimbulkan perdebatan(3).
Creighton dkk(1975): 0,2 ml serum ditambahkan pada 2
Kehadiran KI pada kasus infeksi malaria telah banyak di-
m13,3% PEG (Polyethylene glycol 6000, BDH, England).
teliti. Infeksi Plasmodium berghei pada mencit ternyata dapat
Pelarut PEG berupa larutan borat, kekuatan ionik 0,1, pH 8,3 –
menyebabkan timbulnya KI dalam serumnya, meskipun derajat
8,5. Lanttan ini disiapkan dengan penambahan 450 m10,025
parasitemianya terlihat rendah(2). Di Gambia dan Nigeria, cara
mol/l boraks pada 550 m10,1 mol/l asam borat. Campuran sera
difusi gel telah dipergunakan untuk membuktikan kehadiran KI
dan PEG ini kemudian diinkubasi selama 2 jam pada
pada anal( yang terinfeksi akut oleh P. falciparum dengan para-
temperatur kamar. Kemudian dengan menggunakan pemusing
sitemia yang tinggi(1,4)
(IEC-DPR 6000) diputar selama 30 menit dengan kecepatan
Kadar KI pada sera manusia dapat diukur dengan teknik
3250 – 3300 rpm pada temperatur 4°C. Setelah supernatan
ELISA menggunakan sel Raji yang dikembangkan dari limfo-
dibuang, endapan dicuci 3 kali dengan 3% PEG, menggunakan
blastoid sālāh satu penderita limfoma Burkitt(5). Perubahan so-
pemusing selama 15 menit. Akhirnya endapan dilarutkan
lubilitas KI dengan penambahan polietilen glikol (uji PEG) juga
dengan 0,2 ml akuades dan kemudian ditipiskan dengan NaOH
dapat dipergunakan untuk mengukur kadar KI dalam darah(6).
menjadi 2,0 ml. Konsentrasi protein ditaksir dengan
menggunakan Bio-rad Protein assay kit II (BIO-RAD).
TUJUAN PENELITIAN
1) Mengamati perubahan kadar KI sesudah dan sebelum peng- Pengukuran protein dengan Bio-rad Protein kit II
obatan pada penderita terinfeksi dengan P. falciparum. Panama perlu disiapkan larutan penera kadar protein mulai

Dibawakan pada Kongres Nasional ke VII PERDOSKI (Perkurnpulan Dokter


Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia) di Bukittinggi, 9 -12 Nopember 1992

Cermin Dunia Kedokteran No. 85, 1993 33


dari 5 ug/ml sampai dengan 25 ug/ml (lampiran 1). Kemudian pada suhu 37°C di dalam inkubator CO2 (5%). Plat kemudian
sampel disiapkan dengan memasukkan sejumlah 0,8 ml pada dicuci 3 kali dengan cara memasukkannya ke dalam PBS
tabung reaksi, lalu 0,2 ml konsentrat zat warna ditambahkan Tween (0,5%) sebagaimana sebelumnya.
pada tiap-tiap tabung. Sampel pada semua tabung dikocok Konjugat antara anti-IgG manusia (dipersiapkan pada
beberapa kali. Setelah 5 menit, dibaca dengan spektrofotometer domba) dengan peroksidasa diencerkan dengan diluen ELISA
pada panjang gelombang 595 nm. Hasil pembacaan sampel (5% Chick serum PBS dengan 0,1% Tween 20). Sejumlah 100
dikoreksi dengan pembacaan larutan kontrol berupa campuran ul konjugat ditambahkan pada tiap sumur platkemudian
garam fisiologis dan zat warna saja. Peneraan kadar protein dieramkan di tempat yang gelap selama 15 menit.
pada sampel dilakukan dengan pendekatan regresi linier. Dari tiap-tiap sumur plat dipindahkan 100 ul ke dalam
Polistiren;,reaksi dihentikan dengan menambahkan 50 u1 2,5 M
Teknik ELISA dengan sel Raji H2SO4 di dap sumur plat.
Sel Raji : Nilai absorbsi sebagai gambaran kadar protein ditaksir dengan
Sel Raji ditumbuhkan pada medium RPMI dengan tam- menggunakan ELISA reader (MR 600, Dynatech) pada gelom-
bahan 10% FBS, 100 IU penisilin dan 100 ug streptomisin. bang 490 nm. Nilainya diambil dari rata-rata tiga sumur tersebut.
Hanya sel Raji berumur 3 hari yang dipergunakan dalam peng-
ujian ini. HASIL DAN BAHASAN
Fiksasi sel : Duabelas pasang serum (sebelum dan sesudah pengobatan)
Sel Raji difiksasi pada plat PVC khusus untuk ELISA dari penderita yang terinfeksi P. falciparum telah diuji. Dili-
(Dynatech immunolon II) sesuai dengan metode Hensen 1981: batkan 15 sampel serum orang sehat (tanpa malaria) sebagai
Poli-L-lisin dengan BM 30000 – 50000 (Sigma) dilarutkan kontrol. Keberadaan KI diukur dengan menggunakan uji PEG
pada larutan PBS, pH 7,2 konsentrasi 10 ul/ml; sejumlah 0,1 ml dan teknik ELISA sel Raji. Tabel 1 memperlihatkan hasil dari
kemudian dimasukkan pada tiap sumur dan diinkubasikan 1 KI (ug/ml) dan globulin (ug/ml) yang terukur.
jam pada 37°C. Kemudian plat dicuci pada PBS selama 5 Pada uji PEG, terlihat bahwa kadar KI sebelum pengobatan
menit, dengan hati-hati. 311,92 ± 169,1 ug/ml. Bila dibandingkan pada serum sesudah
Sel-sel yang sudah berumur 3 hari tersebut dicuci tiga kali, pēngobatan (374,88 ± 149,53 ug/ml), ternyata lebih rendah dan
diencerkan pada PBS menjadi 1 x 107 sel/ml;0,1 ml sel dimasuk- secara statistik tidak bermakna (t = 1,6; P > 0,05). Sementara
kan pada tiap-tiap sumur. Setelah mengendap dengan cara kontrol sedikit lebih rendah dari penderita sebelum dan sesudah
dibiarkan selama setengah sampai satu jam pada suhu kamar, pengobatan, sekalipun secara statistik tidak bermakna terhadap
sel-sel tersebut difiksasi dengan cara : plat tersebut dimasukkan sera sebelum pengobātan (t = 0,281; P > 0,05) dan terhadap
ke dalam bejana yang berisi larutan PBS-glutaraldehida selama sera sesudah pengobatan (t = 1,659; P > 0,5).
30 menit pada4°C secara pelan-pelan. Setelah 30 menitplat Dengan ELISA sel Raji, sera sesudah pengobatan menun-
tersebut dibalik pada tumpukan kertas pengering untuk jukkan kadar globulin 84,52 ± 66,72 ug/ml, sementara sebelum
menuangkan PBS-glutaraldehida tersebut. Sejumlah 0,20 ml pengobaūln kadarnya 78,52± 59,24 ug/ml, secara statistik
0,5% kasein dal= PBS kemudian ditambahkan pada tiap-tiap perbedaan ini bermakna (t = 10,11; P < 0,05), sedangkan
sumur. Setelah dieramkan 1 jam pada temperatur kamar, plat kontrol menunjukkan kadar globulin 27,19 ± 14,09 ug/ml.
kemudian disimpan pada 4°C. Antara kontrol terhadap sera sebelum pengobatan dan kontrol
Persiapan molekul Globulin (AHG) terhadap sera sesudah pengobatan terdapat sedikit perbedaan
Molekul Globulin (Cappel labs) diencerkan dalam 1 ml PBS kadarglobulin, berturut-turut sebagai berikut t = 3,27; P < 0,05
pH 7,4, sehingga tercapai konsentrasi 50 mg/ml. Setelah dipanas- dan t = 3,25; P < 0,05.
kan pada62,5°C selama40 menit, globulin dijadikan 5 ml
dengan penambahan PBS. Globttlin yang tidak terlarut dibuang Tabel 1. Kadar KI diukur dengan Uji PEG dan ELISA sel Raji pada sera
sebelum dan sesudah pengobatan dari penderita yang terinfeksi
dengan pemusingan 2000 rpm selama 30 menit. Konsentrasi
P. fakiparum (n = 12)
globulin diukur dengan menggunakan spektrofotometer,
kemudian diencerkan menjadi 1 mg/ml dan disimpan dalam Sebelum Sesudah
Kontrol
botol kecil pada – 70°C. pengobatan pengobatan
Pengukuran kadar KI dengan teknik ELISA Uji PEG 311,92 ± 169,13* 374,88 ± 149,24 297,6 ± 89,4
Plat-plat dicuci cukup sekali saja, dengan cara memasukkan O.D. 595
plat tersebut ke dalam PBS dengan sekali-kali digoyang, se- ELISA
Sel Raji 78,74± 59,24 84,52 ± 66,72 27,19 ± 14,09
bagaimana pada ELISA pada umumnya. (O.D.490
Sejumlah 50 ul dap-dap sampel diencerkan dalam PBS
untuk mendapatkan volume 150 ul.Sejumlah 25 ul serum normal Keterangan : * Rata-rata ± deviasi baku
yang telah diencerkan (1/4 dalam PBS), ditambahkan pada 150
ul Globulin (lampiran 2) sebagai kontrol. Setelah 30 menit Meskipun hasil uji PEG terhadap sera sebelum pengobatan
diinkubasi pada 37°C, 50 ul tiap-tiap sampel dimasukkan dalam dan terhadap kontrol tidak berbeda bermakna, hasil ELISA sel
sumur plat, masing-masing sampel 3 sumur (sehingga tiap Raji memperlihatkan perbedaan bermakna, baik pada sera sebe-
sampel perlu 150 ul). Kelnudian dibiarkan bereaksi selama 1 jam lum ataupun sesudah pengobatan bila dibandingkan terhadap

34 Cermin Dunia Kedokteran No. 85, 1993


kontrol, begitu pula an tara sebelum terhadap sesudah pen KEPUSTAKAAN
gobatan ; hal ini berarti ELISA sel Raji lebih sensitif. 1. World Health Organization Scientific Group. The role of Immune
Tabel 2 menunjukkan hubungan antara hasil PEG dan complexes in diseases. Technical report series 606. World Health
ELISA sel Raji untuk mengukur kadar KI. Dua di antara 12 Organization. 1977.
(16,6%) sera teranalisis dengan uji PEG, sementara dengan 2. Alder JD, Kreier JP. Immune complexes in serum of rats during infection
with Plasmodium berghei. Parasitol Res 1989; 72: 2.
ELISA sel Raji teranalisis 5 dari 12 (41,66%). 3. Makmin S, Ayed K, Ben Said M, Ben Rachid MS. Study of circulating
Pada penelitian ini, sera setelah pengobatan memberikan immune complexes during the evolution of visceral Mediterranean Leish-
41,66% positif dengan ELISA sel Raji dan 16,6% positif maniasis. Ann Trop Med Parasitol 1989; 84.4: 349-55.
dengan uji PEG. Perbedaan ini bermakna (t = 3,39; p > 0,05) 4. Houba V, Lambert PH, Voller A, Soyanwo MAO. Clinical and experiment
investigation of Immune Complexes in Malaria. Clin Immune and
disebabkan karena kedua cara tersebut mempunyai pendekatan Immunol 1976; 6: 1–12.
teknis yang berbeda. ELISA sel Raji dikembangkan dari 5. Coyle PK, Banks N, Schutzer SE. A micro ELISA Raji cell assay to detect
kemampuan reseptor sel Raji untuk mengikat molekul KI immune complexes. J Immunol Methodol 1984; 74.
tersebut°l. Sedangkan uji PEG dikembangkan berdasarkan pada 6. Digeon M, Laver M, Riza J, Bach J. Detection of circulating Immune
complexes in Human sera by simplified assay with Polyethylene glycol. J
perubahan solubilitas (kelarutan)(4). Immunol Method 1977; 16: 165-183.
Ada faktor lain, bahwa KI muncul segera setelah eritrosit 7. Cohen S, Lambert PH. Malaria. In: Immunology of Parasitic Infection
terkena parasit dan mencapai maksi mal setelah 5 – 9 [bah. Blackwell Scient Publ 1982; 422–71.
Puncak kadar KI sesuai dengan berkurangnya kadar molekul
C4, C3 dan pemunculan C3d dalam darah penderita(7). Lampiran 1. Persiapan larutan penera kadar Protein dengan Bio-rad
Protein kit II
Tabel 2. Kehadiran KI sebagai hasil uji PEG dan ELISA sel Raji pada sera – Ditipiskan 1 ml (1 mg/ml) untuk mendapatkan 50 ug/mI
yang terinfeksi P. falciparum, sebelum dan sesudah pengobatan
Konsentrasi Larutan persediaan Garam Zat warna
ELISA sel Raji Tabung Protein (50 ug/mi) fisiologis Bio-rad
Uji PEG (595 nm)
(49- nm) (ug/ml) (ul) (ul) (ul)
Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah
A 5 : 80 720 200
pengobatan pengobatan pengobatan pengobatan
B 10 : 160 640 200
C 15 : 240 560 200
2 (16,69%)* 4 (33,3%) 5 (41,6%) 5 (41,6%) D 20 : 320 480 200
E 25 : 400 400 200
Keterangan : F Blank 800
* Nilai absorbsi yang lebih dari 2 kali dari deviasi baku absorbsi kontrol,
dinyatakan sebagai positif
Lampiran 2. Persiapan molekul Globulin (AHG)
KESIMPULAN
Dari penelitian ini dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: Konsentrasi Serum
Larutan Dikeluar-
Globulin PBS normal Hasil
1. KI sera yang terinfeksi P. falciparum dapat diukur dengan (ug)
persedlaan kan
(1:4)
uji PEG dan ELISA sel Raji.
2. ELISA sel Raji lebih sensitif dibandingkan uji PEG. 10 2 ug 200 ug 340 ug 50 ug 0,959
20 4 ug 200 ug 340 ug 50 ug 1,391
3. Dengan ELISA sel Raji dapat diperlihatkan bahwa kadar
40 8 ug 200 ug 340 ug 50 ug 1,303
KI sebelum dan sesudah pengobatan berbeda. nyata, sedangkan 80 16 ug 200 ug 340 ug 50 ug 1,582
dengan uji PEG tidak beda nyata. 100 20 ug 200 ug 340 ug 50 ug 1,538

Cermin Dunia Kedokteran No. 85, 1993 35


Pembuatan dan Evaluasi Antisera
Penentuan Golongan Darah ABO

Dra. Yovita Lisawati


Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Andalas, Padang

ABSTRAK

Telah dilaksanakan penelitian pembuatan dan evaluasi antisera penentuan golongan


darah sistim ABO dari darah kelinci terimunisasi. Dari darah kelinci yang diimunisasi
dengan sel-A darah manusia diperoleh antisera-A yang memberikan reaksi spesifik
dengan sel-A darah manusia dan memenuhi persyaratan minimum yang ditetapkan oleh
WHO, dengan aktifitas rata-rata 3,440 detik dan tingkat titer 1/128. Dari darah kelinci
yang diimunisasi dengan sel-B dari darah manusia diperoleh antisera-B yang memberikan
reaksi spesifik dengan sel-B darah manusia namun tidak memenuhi persyaratan minimum
tingkat titer yang disyaratkan oleh WHO, tingkat titer yang diperoleh adalah 1/8.

PENDAHULUAN penetapan golongan darah tersebut digunakan reagen yang di-


Darah merupakan medium transportasi di dalam tubuh sebut antisera(1,4).
terdiri atas plasma dan sel-sel darah. Fungsi utama darah dalam Antisera untuk reagen penentuan golongan darah umumnya
tubuh adalah untuk membawa oksigen dan bahan-bahan ma- dibuat dari serum darah manusia yang memiliki titer tinggi,
kanan ke jaringan serta mengekskresikan sisa-sisa metabolisme walaupun dewasa ini telah diketahui bahwa antisera tersebut juga
dan CO2 dari jaringan(1). dapat diisolasi dari jenis tumbuh-tumbuhan tertentu, seperti
Manusia dewasa yang normal memiliki jumlah darah lebih dari biji Dolichos biflorus dan dari hewan yang diimunisasi(4,5).
kurang 12% dari berat badan, atau lebih kurang 5.000 ml untuk Mengingat arti penting reagen antisera dalam penggolong-
laki-laki dan 4.000 ml untuk wanita. Bila volume darah dalam an darah dan dalam usaha untuk mendapatkan alternatif lain
tubuh berkurang akan mengakibatkan terganggunya fungsi da- sebagai sumber antisera yang lebih efektif dan berkualitas di
rah di dalam tubuh. Dalam keadaan tertentu kekurangan darah samping sumber konvensional yang selama ini digunakan,
dalam tubuh dapat berakibat fatal bila tidak segera diatasi, di maka dicoba untuk membuat reagen antisera dari kelinci yang
antaranya melalui usaha transfusi darah(2,3). diimunisasi dengan antigen sel darah merah manusia. Dalam
Dalam transfusi darah, penetapan golongan darah meru- penelitian ini juga diadakan evaluasi terhadap antisera yang
pakan persyaratan yang mutlak di samping persyaratan lainnya. diperoleh untuk mengetahui apakah antisera tersebut memenuhi
Ketidaksesuaian golongan darah donor dengan golongan darah persyaratan WHO, serta tingkat kualitasnya dibandingkan
resipien akan mengakibatkan reaksi-reaksi alergi dan yang pa- dengan antisera yang beredar di pasaran.
ling fatal adalah syok anafilaktik(3,4,5).
Ada beberapa sistim penggolongan darah, namun yang RANCANGAN PENELITIAN
terpenting untuk tujuanklinis adalah sistim penggolongan darah 1. Penyiapan kelinci penelitian.
ABO dan Rhesus. Menurut sistim penggolongan darah ABO, 2. Pemeriksaan pendahuluan reaksi antigen-antibodi serum
darah dibagi 4 golongan, yakni golongan A, B, AB dan O; untuk kelinci terhadap sel darah golongan A, B, 0 dan AB.

36 Cermin Dunia Kedokteran No. 85, 1993


3. Pembuatan suspensi sel darah 50% golongan A dan B. 4) Imunisasi Kelinci
4. Imunisasi kelinci. Proses imunisasi kelinci dilakukan sebagai berikut :
5. Pemantauan kenaikan titer antibodi dalam serum kelinci – Ambil 1 ml Adjuvan Freund masukkan ke dalam tabung
yang telah diimunisasi. reaksi.
6. Defibrinasi plasma. – Tambahkan ke dalam tabung reaksi tersebut 9 ml suspensi
7. Pemberian pengawet. darah A 50% dalam larutan NaCl fisiologis.
8. Evaluasi spesifikasi, aviditas dan titer antisera. – Kocok hingga homogen.
– Ambil 1 ml campuran tersebut dan injeksikan ke dalam tu-
PELAKSANAAN PENELITIAN buh kelinci secara peritoneal pada kelinci IA, IIA, dan IIIA.
– Pada hari ke tiga dan ke lima setelah penginjeksian, pada
1) Penyiapan Kelinci Penelitian
masing-masing kelinci dilakukan lagi injeksi secara intravena
Disediakan enam ekor kelinci di dalam kandang seminggu
dengan menggunakan suspensi darah 50%.
sebelum pelaksanaan penelitian untuk adaptasi lingkungan. Di-
– Ulangi prosedur tersebut di atas dengan menggunakan sus-
berikan makanan sayuran yang cukup. Masing-masing kelinci
pensi darah B terhadap kelinci IB, IIB, dan IIIB.
diberi inisial dengan angka romawi.
5) Pemantauan Kenaikan Titer Antibodi dalam Serum Ke-
2) Pemeriksaan pendahuluan reaksi antigen-antibodi se-
linci yang Diimunisasi
rum kelinci terhadap sel darah golongan A, B, 0, dan AB
A. Anti-A
Dengan menggunakan jarum suntik 10 ml diambil sampel
Pada hari ke 10, 17, 24 dan 31 terhadap masing-masing
darah dari masing-masing kelinci, kemudian pisahkan sel da-
kelinci IA, IIA dan IIIA dilakukan prosedur sebagai berikut :
rahnya dengan jalan mengsentrifus selama 15 menit pada ke-
– Ambi15 ml darah dari kelinci dengan menggunakan jarum
cepatan 2000 rpm. Plasma darah yang diperoleh kemudian
suntik 5 ml.
diinkubasikan selama 1 jam pada suhu 56°C. Kemudian pada
– Masukkan ke dalam tabung dan sentrifus selama 20 menit
masing-masing plasma darah kelinci dilakukan sebagai berikut :
pada kecepatan 2000 rpm.
– Masukkan 0,2 ml plasma darah kelinci yang dimaksudkan
– Ambil lapisan plasma dengan menggunakan pipet.
di atas ke dalam tabung reaksi 5 ml.
– Masukkan ke dalam tabung reaksi lain yang bersih dan
– Buat suspensi sel darah golongan A 5% dalam NaCl fisio-
kering.
logis.
– Inkubasikan cairan plasma dalam tabung reaksi tersebut
– Tambahkan 0,2 ml suspensi darah tersebut ke dalam
selama 1 jam pada suhu 56°C.
tabung reaksi yang telah berisi 0,2 ml plasma darah kelinci.
– Buat suspensi 5% sel darah golongan A dalam larutan
– Sentrifus campuran tersebut selama 15 menit pada ke-
fisiologis.
cepatan 2000 rpm.
– Para rak letakkan 10 buah tabung reaksi pada baris
– Amati di bawah cahaya lampu, amati apakah terjadi proses
pertama dan satu tabung reaksi masing-masing pada baris ke
aglutinasi.
dua dan ke tiga untuk kontrol.
– Lakukan seperti prosedur di atas dengan menggunakan
– Tabung reaksi pertama dari masing-masing baris ditandai
suspensi golongan darah B, AB, dan O.
dengan golongan A, B, dan O.
3) Pembuatan suspensi darah 50% golongan darah A – Pada tabung reaksi ke dua, ke tiga dan seterusnya dari
dan B baris pertama tambahkan 0,2 ml larutan NaCl fisiologis.
– Ambil 20 ml darah segar golongan A dan B. – Pengerjaan dilakukan dari kiri ke kanan, masukkan 0,2 ml
– Masukkan masing-masing golongan darah dalam tabung plasma hasil inkubasi ke dalam dua tabung reaksi pertama pada
reaksi 50 ml. baris pertama dan ke dalam tabung reaksi kontrol.
– Sentrifus selama 20 menit pada kecepatan 2000 rpm. – Campur plasma dengan larutan NaCl fisiologis pada tabung
– Pisahkan plasma darah yang berada di lapisan atas pada reaksi ke dua, pipet 0,2 ml dari campuran ini dan masukkan pada
tabung reaksi dengan menggunakan pipet. tabung reaksi ke tiga, kocok homogen campuran yang ada pada
– Tambahkan sejumlah NaCl fisiologis ke dalam sel darah tabung reaksi ke tiga tersebut dan masukkan pada tabung reaksi
merah yang tersisa dalam tabung. Jumlah NaCl fisiologis yang ke empat. Lakukan pengenceran tersebut sampai pada tabung
ditambahkan lebih kurang sama banyak dengan volume sel reaksi ke 10, sehingga pada tabung 1 sampai 10 pada baris
darah merah yang tersisa. pertama berisi 0,2 ml hasil pengenceran dari 1/1 sampai 1/512.
– Tutup mulut tabung dengan plester, tabung dibalik-balik – Pipet 0,2 ml suspensi 5% dari sel darah merah A, masukkan
perlahan-lahan beberapa kali. pada masing-masing tabung pada baris pertama. Kemudian pipet
– Sentrifus kembali tabung tersebut pada kecepatan 2000 0,2 ml suspensi 5% dari set darah merah golongan B, 0 dan ma-
rpm selama 10 menit. sukkan pada tabung-tabung kontrol di baris ke dua dan ke tiga.
– Ulangi prosedur di atas sebanyak dua kali. – Masukkan tabung reaksi ke dalam alat sentrifus dan putar
– Ambil 5 ml set darah hasil sentrifus terakhir, tambahkan 5 selama 10 menit dengan kecepatan 2000 rpm, amati gumpalan
ml NaCl fisiologis, kocok pertahan-lahan hingga rata. yang terjadi.

Cermin Dunia Kedokteran No. 85, 1993 37


– Tambahkan 1 volume dari kosentrasi 400 g/liter larutan
CaCl2 ke dalam 100 volume plasma.
– Campuran tersebut diputar selama 2 jam, kemudian
biarkan selama semalam. Dan saring dengan menggunakan
kertas saring.
7) Penambahan Pengawet
Ke dalam serum yang diperoleh, tambahkan Natrium azida
sebanyak 0,1% b/v.
B. Anti-B 8) Evaluasi
Pada hari ke 10, 17, 24 dan 31 terhadap masing-masing 1. Spesifikasi
kelinci IB, IIB dan IIIB dilakukan prosedur sebagai berikut : Dilakukan dengan mereaksikan antisera (serum) dengan sel
– Ambi15 ml darah kelinci dengan menggunakan jarum darah merah. Dalam percobaan ini evaluasi spesifikasi dilakukan
suntik 5m1. terhadap 30 sampel darah yang diperoleh dari PMI cabang Pa-
– Masukkan ke dalam tabung dan sentrifus selama 20 menit dang; terdiri dari 10 sampel darah golongan A, 10 sampel darah
pada kecepatan 2000 rpm. golongan B, dan 10 sampel darah golongan O.
– Ambil lapisan plasma dengan menggunakan pipet. Evaluasi dilakukan sebagai berikut :
– Masukkan ke dalam tabung reaksi lain yang bersih dan a) Terhadap sampel darah golongan A
kering. – Teteskan di sebelah kiri, kanan dan tengah dari objek gelas
– Inkubasi cairan plasma dalam tabung reaksi tersebut 1 tetes darah sampel golongan A.
selama 1 jam pada suhu 56°C.
1 = Anti-A B
– Pada rak letakkan 10 buah tabung reaksi pada bans
pertama dan satu tabung reaksi masing-masing pada bans ke 2 = Anti-B B
dua dan ke tiga untuk kontrol.
3 = Anti-A Hasil
– Tabung reaksi pertama dari masing-masing bans ditandai
Percobaan
dengan golongan B, A dan O.
– Pada tabung reaksi ke dua, ke tiga dan seterusnya dan bads – Teteskan di atas tetesan darah tersebut secara berurutan
pertama tambahkan 0,2 ml larutan NaCl fisiologis. dari kiri ke kanan dengan anti-A B, anti-B B dan serum anti-A
– Pengerjaan dilakukan dari kiri ke kanan, masukkan 0,2 ml hasil percobaan.
plasma hasil inkubasi ke dalam kedua tabung reaksi pertama – Aduk dengan ujung lidi secara melingkar perlahan-lahan,
pada bans pertama dan ke dalam tabung reaksi kontrol. lalu kaca digoyang-goyangkan.
– Campur plasma dengan larutan NaCl fisiologis pada tabung – Amati terjadinya aglutinasi di bawah mikroskop.
reaksi ke dua dan pipet 0,2 ml dan campuran ini dan masukkan b) Terhadap sampel darah golongan B
pada tabung reaksi ke tiga. Kocok homogen campuran yang – Teteskan di sebelah tengah dan kanan dari objek gelas 1
ada pada tabung reaksi ke tiga tersebut, dan masukkan pada tetes darah sampel golongan B.
tabung reaksi ke empat. Lakukan pengenceran tersebut sampai
1 = Anti-B B
pada tabung reaksi ke 10, sehingga pada tabung 1 sampai 10
padabaris pertama berisi 0,2 ml hasil pengenceran dan serum, 2 = Anti-A B
yaitu pengenceran dari 1/1 sampai 1/512.
3 = Anti-A Hasil
– Pipet 0,2 ml dari suspensi 5% dari sel darah merah B,
Percobaan
masukkan pada masing-masing tabung pada bads pertama. Ke-
mudian pipet 0,2 ml suspensi 5% dari sel darah merah – Teteskan di atas tetesan darah tersebut secara berurutan
golongan A dan 0 dan masukkan ke dalam tabung-tabung dari kiri ke kanan dengan anti-B B, anti-A B dan anti-A hasil
kontrol di bans ke dua dan ke tiga. percobaan.
– Masukkan masing-masing tabung ke dalam alat sentrifus – Aduk dengan ujung lidi secara melingkar perlahan-lahan
dan putar selama 10 menit dengan kecepatan 2000 rpm. Amati lalu kaca digoyang-goyangkan.
gumpalan yang terjadi. – Amati terjadinya aglutinasi di bawah mikroskop.
6) Defibrinasi Plasma c) Terhadap sampel darah golongan O
Plasma yang digunakan sebagai reagen agar tidak terjadi – Teteskan di sebelah kanan dan tengah dari objek gelas 1
bintik-bintik dalam penyimpanannya perlu didefibrinasi. tetes darah sampel golongan O.
Plasma didefibrinasi dengan menggunakan CaC12 berlebih.
1 = Anti-A B
Dalam penelitian ini defibrinasi dilakukan sebagai berikut :
– Plasma di dalam beker gelas diletakkan di atas water bath 2 = Anti-B B
pada suhu 37°C.
3 = Anti-A Hasil
– Masukkan magnet pemutar ke dalam beker gelas.
Percobaan

38 Cermin Dunia Kedokteran No. 85, 1993


– Teteskan di atas tetesan darah tersebut secara berurutan lakukan prosedur tersebut pada tabung berikutnya sampai pada
dari kiri ke kanan dengan anti-A B, anti-B B dan serum anti-A tabung reaksi ke-10 pada baris pertama, sehingga pada tabung
hasil percobaan. ke-1 sampai pada tabung ke-10 pada baris pertama berisi 0,2
– Aduk dengan ujung lidi secara melingkar perlahan-lahan ml hasil pengenceran dari antisera, yakni pengenceran dari 1/1
lalu kaca digoyang-goyangkan. sampai 1/512.
– Amati terjadinya aglutinasi di bawah mikroskop. – Pipet 0,2 ml suspensi 5% dari sel darah merah A,
2. Aviditas masukkan pada masing-masing tabung reaksi di baris pertama.
Evaluasi aviditas antisera dilakukan dengan menghitung – Pipet 0,2 ml suspensi 5% dari sel darah merah golongan B
waktu yang diperlukan antisera untuk beraglutinasi dengan go- dan 0, masukkan pada tabung kontrol di baris ke dua dan ke tiga.
longan darah yang sesuai. Evaluasi ini dilakukan terhadap 30 – Masukkan tabung ke dalam alat sentrifus, putar selama 10
sampel darah golongan A, menggunakan pembanding antisera menit dengan kecepatan 2000 rpm.
P dan antisera B. – Amati gumpalan yang terjadi.
Dalam penelitian tersebut evaluasi aviditas dilakukan se- – Catat pada tabung pengenceran ke berapa tidak lagi terben-
bagai berikut : tuk penggumpalan.
– Teteskan di sebelah kiri, tengah dan kanan dari objek gelas – Lakukan juga prosedur tersebut pada pembanding (anti-A)
secara berurutan dari kiri ke kanan 1 tetes antisera anti-A B, produksi B dan anti-A produksi P.
anti-A P dan anti-A hasil penelitian.
HASIL DAN DISKUSI
Hasil
Setelah dilakukan pembuatan dan evaluasi antisera penen-
tuan golongan darah ABO yang disintesis dari darah kelinci
terimunisasi, diperoleh hasil sebagai berikut :
A. Kelinci yang diimunisasi dengan sel-A darah manusia
Keterangan : 1. Anti-A B Diperoleh antisera anti-A yang memberikan reaksi spesifik
2. Anti-A hasil produksi P dengan sel-A darah manusia. Perbandingan kenaikan titer anti-
3. Anti-A hasil penelitian sera anti-A terhadap waktu imunisasi dapat dilihat pada lam-
piran II. Tingkat spesifik dan aviditas antisera anti-A yang
– Teteskan 1 tetes suspensi 50% sel darah A di atas tetesan diperoleh dapat dilihat pada lampiran V dan VII.
antisera tersebut. B. Kelinci yang diimunisasi dengan sel-B darah manusia
– Aduk dengan ujung lidi secara melingkar, amati di bawah Diperoleh antisera anti-B yang memberikan spesifik
cahaya lampu, catat waktu yang dibutuhkan untuk terjadinya dengan sel-B darah manusia. Perbandingan kenaikan titer
aglutinasi dengan menggunakan stop watch. antisera anti-B terhadap waktu dapat dilihat pada lampiran III.
– Ulangi perlakuan tersebut di atas sampai tiga kali untuk se-
tiap sampel darah. Diskusi
3. Titer Antisera Kelinci yang akan diberi perlakuan dengan antigen sel
Evaluasi ini dilakukan terhadap 10 sampel darah golongan darah merah manusia, sebelumnya diadakan pemeriksaan
A. Dengan menggunakan pembanding anti-A B dan anti-A pendahuluan untuk mengetahui bahwa di dalam serum darah
produksi P. kelinci tersebut tidak terdapat antigen yang dapat
Pelaksanaan evaluasi adalah sebagai berikut : mengaglutinasi sel darah merah manusia, dengan cara
– Di atas rak tabung reaksi letakkan 10 tabung reaksi pada mereaksikan serum darah kelinci percobaan dengan sel darah
bans pertama dan satu tabung reaksi lagi masing-masing pada A, B dan 0 dari darah merah manusia. Dari hasil pemeriksaan
bans ke dua dan ke tiga. tersebut terbukti tidak ada satupun serum darah dari kelinci
– Tabung reaksi pertama dari masing-masing baris ditandai tersebut memberikan reaksi aglutinasi.
dengan golongan A, B, dan O. Dalam penelitian ini proses imunisasi terhadap masing-
– Pada tabung reaksi ke dua, ke tiga dan seterusnya dari bans masing kelinci dilakukan dengan memberikan antigen sel darah
pertama tambahkan 0,2 ml larutan NaCl fisiologis. merah manusia ke dalam tubuh kelinci tersebut sebanyak tiga
– Tambahkan 0,2 ml antisera hasil penelitian ke dalam dua kali, yakni pada hari ke 1, 3, dan 5. Pemberian antigen sel darah
tabung reaksi pertama dari sebelah kiri pada bans pertama dan merah manusia pada hari ke 1 dan 3 masing-masing berfungsi
pada tabung reaksi kontrol. untuk membentuk respon primer dan respon sekunder. Sedang-
– Campur ratakan antisera dengan larutan NaCl fisiologis kan pemberian antigen sel darah merah manusia pada hari ke 5
yang ada pada tabung reaksi ke dua. Kemudian pipet 0,2 ml adalah untuk menjamin bahwa respon sekunder pada tubuh
dari campuran tersebut dan campurkan ke dalam tabung reaksi kelinci percobaan tersebut benar-benar telah terjadi. Digunakan
ke tiga yang ada di sebelah kanannya. Adjuvan Freund bersama-sama dengan antigen sel darah merah
– Dari tabung reaksi ke tiga tersebut kemudian pipet lagi 0,2 manusia untuk membentuk rangsangan primer pada tubuh ke-
ml campuran dan campurkan ke dalam tabung reaksi ke empat, linci, karena Adjuvan Freund dapat mengaktifkan makrofaga di

Cermin Dunia Kedokteran No. 85, 1993 39


dalam sistim imunisasi tubuh kelinci, sehingga respon yang 29–31.
6. Sukantini S. Sistim Golongan Darah ABO, Bul Transfusi Darah (Mar)
ditimbulkan oleh kelinci tersebut lebih maksimal. Pada hari ke 1982; X (103): 9–12.
5 setelah pemberian antigen (imunisasi), diadakan pemantauan 7. Martin EW, Fullerton C. Remington's Practice of Pharmacy, 12th ed. Penn-
pertama terhadap kelnungkinan terbentuknya antibodi di dalam sylvania: Mack Publ Co. 1961, hal. 760.
tubuh kelinci percobaan. Pada pemantauan tersebut tidak
ditemukan adanya antibodi yang diharapkan, hal ini mungkin Lampiran I. Pemeriksaan Pendahuluan
Tabel 1
disebabkan oleh kadar antibodi yang terbentuk di dalam tubuh
Pemeriksaan Pendahuluan Reaksi Antigen Antibodi Serum Kelinci
kelinci percobaan tersebut masih sangat rendah sehingga tidak terhadap Sel Darah Golongan A, B dan 0
terdeteksi dengan metoda aglutinasi yang digunakan. Dan hasil
evaluasi terhadap tingkat titer anti-A hasil penelitian diperoleh Kelinci ATA ATB ATO
tingkat titer sebesar 1/128. Tingkat titer ini lebih baik jika di- IA – – –
bandingkan dengan tingkat titer antisera anti-A produksi B
maupun P yang besarnya 1/64. Penentuan tingkat titer ini di- IIA – – –
lakukan dengan menggunakan metoda pengenceran. Pada ting- IIIA – – –
kat titer 1/64, yakni tingkat titer minimal yang disyaratkan oleh IB – – –
badan WHO untuk suatu reagen antisera anti-A hasil penelitian
memiliki tingkat aviditas rata-rata sebesar 3,44, sedangkan IIB – – –
tingkat aviditas anti-A produksi P dan produksi B masing- IIIB – – –
masing adalah 3,48 dan 3,50. Dari uji statistik didapatkan
bahwa perbedaan tingkat aviditas rata-rata ketiga antisera Keterangan : ATA = Aglutinasi Terhadap Sel Darah A
ATB = Aglutinasi Terhadap Sel Darah B
tersebut tidak signifikan.
ATO = Aglutinasi Terhadap Sel Darah O
– = Tidak Terjadinya Aglutinasi
KESIMPULAN
Lampiran II. Kenaikan Titer Antisera-A
1) Dapat diperoleh suatu antisera untuk penentuan golongan Tabel 2
Hasil Pemantauan Kenaikan Titer Antisera-A dalam Serum Kelinci
darah sistim ABO dari kelinci yang terimunisasi oleh antigen terhadap Waktu Setelah Imunisasl dengan Sel Darah A Manusia
sel darah merah manusia.
2) Antisera anti-A yang diperoleh dari hasil penelitian me- IA II A III A
menuhi persyaratan tingkat titer dan aviditas minimum yang Hari ke
ATA ATB ATO ATA ATB ATO ATA ATB ATO
ditetapkan oleh badan WHO. Antisera anti-A yang diperoleh
memiliki tingkat titer 1/128 dan aviditas rata-rata 3,440 detik. 1 – – – – – – – –
3) Antisera anti-B yang diperoleh dari hasil penelitian tidal( 5 – – – – – – – – –
memenuhi persyaratan tingkat titer dan aviditas minimum yang
10 1/16 – – 1/16 – – 1/16 – –
ditetapkan oleh badan WHO. Antisera anti-B yang diperoleh
memiliki tingkat titer maksimal 1/8. 17 1/16 – – 1/32 – – 1/16 – –
4) Pada tingkat titer lama, antisera anti-A yang diperoleh dari 24 1132 – – 1/32 – – 1/64 – –
hasil penelitian mempunyai aviditas rata-rata yang tidak
berbeda secara signifikan dengan aviditas rata-rata antisera 31 1/128 – – 1/128 – – 1/128 – –
anti-A produksi B dan produksi P. Pada tingkat titer 1/64, 38 1/128 – – 1/128 – – 1/64 – –
aviditas rata-rata antisera anti-A yang diperoleh dari penelitian
adalah 3,44 detik sedangkan aviditas rata-rata antisera anti-A B 45 1/64 – – 1/64 – – 1/32 – –
adalah 3,48 detik dan aviditas rata-rata antisera anti-A produksi Keterangan : ATA = Aglutinasi Terhadap Sel Darah A
P adalah 3,50 detik. ATB = Aglutinasi Terhadap Sel Darah B
ATO = Aglutinasi Terhadap Sel Darah O
Lampiran HI. Kenaikan Titer Antisera-B
KEPUSTAKAAN Tabel 3
Hasil Pemantauan Kenaikan Titer Antisera B dalam Serum Kelinci
1. Ganong WF. Review of Medical Physiology. 7th ed. San Francisco, Penelitian terhadap Waktu setelah Imunisasi dengan Sel Darah B Manusia
California: Lange Medical Publ Manizen C, Ltd. 1975. Hal. 378–80.
2. Martin, Mayer PA, Rod weel VW. Harpers Review of Biochemistry, 20th IB II B III B
ed. Diterjemahkan oleh Adji Dhannawan, Andreas Sanusi Kurniawan. Bio- Hari ke
kimia. Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran, 1985. Hal. 707–11. ATA ATB ATO ATA ATB ATO ATA ATB ATO
3. Mollison PL. Blood Transfusion in Clinical Medicine, 6th ed. Oxford,
London, Edinburgh: Blackwell Scient Publ 1979. Hal. 211–63.
1 – – – – – – – – –
4. Masri R. Almanak PMI. Jakarta: Palang Merah Indonesia, 1979. Hal.21–25. 5 – – – – – – – – –
32.
5. Ortho Diagnostic Inc. Blood Group Antigens and Antibody as Applied to 10 – 1/4 – – 1/4 – – – –
The ABC) and Rh System. New Jersey: Raritan 1969. Hal. 13,21–22,24–26,
17 – 1/4 – – 1/4 – – 1/4 –

40 Cermin Dunia Kedokteran No. 85, 1993


24 – 1/8 – – 1/8 – – 1/4 – 11 – + – B
31 – 1/4 – – 1/8 – – 1/8 – 12 – + – B

38 – 1/4 – – 1/4 – – 1/4 – 13 – + – B

45 – 1164 – – 1/64 – – 1/32 – 14 – + – B


15 – + – B
Keterangan : ATA = Aglutinasi Terhadap Sel Darah A
ATB = Aglutinasi Terhadap Sel Darah B
16 – + – B
ATO = Aglutinasi Terhadap Sel Darah 0 17 + + + AB

Lampiran IV. 18 + + + AB
Diagram Kenaikan Titer Antisera versus Waktu Setelah Imunisasi
19 + + + AB
20 + + + AB
21 + + + AB
22 + + + AB
23 – – – 0
24 – – – 0
25 – – ~ 0
26 – – – 0
27 – – – 0
28 – – –– 0
29 – – – 0
30 – – – 0

Keterangan : + = Terjadi Aghainasi


– = Tidak Terjadi Aglutinasi
Lampiran VI. Evaluasi Tingkat Titer Antisera-A
Tabel 5
Hasil Evaluasi Tingkat Titer Antisera-A Hasil Penelitian Dibandingkan
dengan Antisera-A Produksi B dan P

Lampiran V. Evaluasi Spesititas Antisera Antisera-A Titer


Tabel 4
Hasil Evaluasi SpesiPisitas Antisera yang Didapatkan terhadap Hasil Penelitian 1/128
Pemeriksaan Golongan Darah A B 0 dengan Menggunakan Pembanding
Antisera Produksi B Produksi B 1/64
Antisera B Produksi P 1/64
Nomor Sampel Anti–A Golongan
Darah Anti A Anti B Hasil Penelitian Darah Lampiran VII. Evaluasi Aviditas Antisera-A
Tabel 6
1 + – + A Hasii Evaluasi Aviditas Antisera-A Hasil Penelitian Dibandingkan
dengan Antisera-A Produksi B dan Produksi P terhadap
2 + – + A Darah Golongan A pada Tingkat Titer 1/64
3 + – + A Aviditas H.P Aviditas P.B Aviditas P.P
No.
4 + – + A (detik) (detik) (detik)
1 3,0 3,1 3,9
5 + – + A 2 3,1 3,0 3,5
6 + + A 3 3,8 4,0 4,0
4 3,0 2,8 3,0
7 + – + A 5 3,7 2,8 2,8
6 3,2 3,5 4,2
8 + – + A 7 3,9 4,1 3,5
9 – + – B 8 4,2 4,3 3,8
9 3,8 3,2 2,9
10 – + – B 10 3,0 3,7 4,1

Cermin Dunia Kedokteran No. 85, 1993 41


11 3,1 3,5 2,9 Lampiran VIII. Perhitungan Statistik Hasil Evaluasl Aviditas Antisera-A
12 3,4 3,0 3,5 Tabel 7
13 3,2 2,9 2,9 Perhitungan Statistik Hasil Evaluasi Aviditas Antisera-A Hasil Penelitian
14 2,8 2,9 3,0 Dibandingkan dengan Antisera-A Produksi B dan Produksi P terhadap
15 3,2 4,0 3,0 Darah Golongan A pada Tingkat Titer 1/64
16 3,9 4,0 3,9
17 3,9 2,9 4,3 No. X X X X X X
18 3,3 3,0 2,8 1 3,0 9,00 3,1 9,61 3,9 15,21
19 3,3 3,2 2,9 2 3,1 9,61 3,0 9,00 3,5 12,25
20 3,1 3,1 4,0 3 3,8 14,44 4,0 16,00 4,0 16,00
21 3,4 3,1 3,0 4 3,0 9,00 2,8 7,84 3,0 9,00
22 3,4 3,3 4,0 5 3,7 13,69 2,8 7,84 2,8 7,84
23 3,1 3,9 3,1 6 3,2 10,24 3,5 12,25 4,2 17,64
24 3,4 4,0 3,3 7 3,9 15,21 4,1 16,81 3,5 12,25
25 3,5 4,3 3,7 8 4,2 17,64 4,3 18,49 3,8 14,44
26 3,5 3,5 3,5 9 3,8 14,44 3,2 10,24 2,9 8,41
27 2,9 3,1 3,5 10 3,0 9,00 3,7 13,69 4,1 16,81
28 3,9 3,7 3,8 11 3,1 9,61 3,5 12,25 2,9 8,41
29 4,1 4,2 4,0 12 3,4 11,56 3,0 9,00 3,5 12,25
30 4,1 4,2 4,1 13 3,2 10,24 ' 2,9 8,41 2,9 8,41
14 2,8 7,84 2,9 8,41 3,0 9,00
Jumlah 103,2 104,3 104,9
15 3,2 10,24 4,0 16,00 3,0 9,00
Rata-rata 3,44 3,48 3,50 16 3,9 15,21 4,0 16,00 3,9 15,21
17 3,9 15,21 2,9 8,41 4,3 18,49
Keterangan : H.P = Hash Penelilian 18 3,3 10,89 3,0 9,00 2,8 7,84
P.B = ProduksiB 19 3,3 10,89 3,2 10,24 2,9 8,41
P.P = Produksi P 20 3,1 9,61 3,1 9,61 4,0 16,00
No. = Nomor Sample 21 3,4 11,56 3,1 9,61 3,0 9,00
22 3,4 11,56 3,3 10,89 4,0 16,00
23 3,1 9,61 3,9 15,21 3,1 9,61
24 3,4 11,56 4,0 16,00 3,3 10,89
25 3,5 12,25 4,3 18,49 3,7 13,69
26 3,5 12,25 3,5 12,25 3,5 12,25
27 2,9 8,41 3,1 9,61 3,5 12,25
28 3,9 15,21 3,7 13,69 3,8 14,44
29 4,1 16,81 4,2 17,64 4,0 16,00
30 4,1 16,81 4,2 17,64 4,1 16,81
Jumlah 103,2 359,60 104,3 370,13 104,9 373,81

Life is what actually happens, not what we plan

42 Cermin Dunia Kedokteran No. 85, 1993


Pengaruh Kortikosteroid
terhadap Sistem Imun
Ngakan Putu Sutarman, Julius Roma
Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin
Rumah Sakit Umum Ujung Pandang, Ujung Pandang

PENDAHULUAN faktor fisik (radiasi, operasi), kemik (obat-obatan seperti kor-


Kortikosteroid adalah hormon yang dihasilkan oleh korteks tikosteroid, sitostatika) atau faktor biologik (immunologic
adrenal. Hormon ini dapat mempengaruhi volume dan tekanan tolerance, antigen competition, antilymphocyte serum, feedback
darah, kadar gula darah, otot dan resistensi tubuh. Berbagai jenis inhibition dan genetic immunodeficiencies)(7). Komponen yang
kortikosteroid sintetis telah dibuat dengan tujuan utama untuk berperan untuk terjadinya imunitas spesifik adalah limfosit-T
mengurangi aktifitas mineralokortikoidnya dan meningkatkan dan limfosit-B. Pada umumnya terdapat interaksi antara sel-T
aktifitas antiinflamasinya, misalnya deksametason yang dan sel-B dalam mengatur sintesis antibodi(4).
mempunyai efek antiinflamasi 30 kali lebih kuat dan efek Sistem imun non-spesifik mempunyai beberapa komponen
retensi natrium lebih kecil dibandingkan dengan kortisol(1). yang terdiri atas pertahanan fisik/mekanik, pertahanan biokimia,
Kortikosteroid banyak digunakan dalam pengobatan radang sistem komplemen, interferon, C Reactive Protein (CRP) dan
dan penyakit imunologik. Hormon ini penting untuk fungsi pertahanan seluler (fagosit)(5). Mekanisme pertahanan non-
fisiologik dan metabolik dalam tubuh. Pemberian hormon ini spesifik merupakan sistem pertahanan yang kompleks dan ter-
dalam dosis farmakologik tidak hanya memberi efek antiinfla- integrasi yang terdiri dari 2 sistem utama yaitu : sistem
masi dan imunosupresif tetapi juga mempunyai efek yang pertahanan perifer (mukokutaneus) dan sistem pertahanan
merugikan. Efek antiinflamasi dan imunosupresifnya sukar di- dalam tubuh (reaksi radang)(8).
pisahkan secara tegas oleh karena respon inflamasi merupakan Tujuan makalah ini adalah membahas secara singkat penga-
bagian dari respon imun. Efek antiinflamasi dan imunosupresif ruh kortikosteroid terhadap sistem imun.
kortikosteroid dapat dilihat pada tabel 1(2). Efek imunosupresif
kortikosteroid bersifat non-spesifik sebab di samping menekan PENGARUH KORTIKOSTEROID TERHADAP SISTEM
respon imun humoral juga menekan respon imun seluler(3). IMUN SPESIFIK
Perlu diketahui bahwa beberapa informasi tentang efek Pada umumnya kortikosteroid lebih banyak mempengaruhi
kortikosteroid terhadap berbagai jenis sel ditemukan dari hasil distribusi lekosit daripada fungsinya dan juga lebih banyak ber-
penelitian terhadap binatang yang derajat kepekaannya terhadap pengaruh terhadap respon imun seluler daripada respon imun
kortikosteroid berbeda dibandingkan dengan manusia(2). humoral(4).
Respon imun merupakan mekanisme pertahanan tubuh ter- Kortikosteroid dapat mempengaruhi sel-sel,melalui resep-
hadap benda asing yang berupa/terikat pada protein, polipeptida tor-reseptor glukokortikoidnya dengan mekanisme kerja sebagai
atau polisakarida(4). Sistem imun adalah sistem pertahanan berikut: kortikosteroid berdifusi ke dalam sel melewati membran
tubuh yang terdiri dari sistem imun spesifik dan non-spesifik(5). sēl dan selanjutnya berikatan dengan reseptor. Kompleks kor-
Sistem imun (imunitas) tubuh dipengaruhi oleh keadaan tikosteroid-reseptor masuk ke dalam nukleus dalam bentuk aktif,
nutrisi, umur, infeksi dan ada tidaknya ASI yang diterima(6), dan akan mengikat DNA serta meningkatkan sintesis messenger

Dibacakan di Bagian Ilmu Kesehatan AnakFK Universitas Hasanuddin Ujung


Pandang.

Cermin Dunia Kedokteran No. 85, 1993 43


RNA (mRNA). Messenger RNA ini akan menimbulkan sintesis tidak ditemukan setelah pemberian kortikosteroid. Limfositopeni
protein yang baru. Protein baru ini akan menghambat fungsi akan mencapai puncaknya 4-6 jam setelah pemberian 20 mg
selsel limfoid dengan penghambatan uptake glukosa. Mengenai prednison intravena dan kembali ke nilai normal setelah 24 jam.
pengaruh kortikosteroid terhadap sel-sel tersebut di atas dapat Berat dan lamanya limfositopeni tidak berbeda apabila dosis
dilihat pada gambar 1(3). prednison ditingkatkan sampai 40 mg atau 80 mg(9l. Mengenai
pengaruh kortikosteroid terhadap sirkulasi limfosit dapat dilihat
Tabel 1. Anti-Inflammatory and Immunosuppressive Effects of Cortico pada gambar 2(9) dan 3(2).
steroids

I. Anti-inflammatory effects
1. Stabilization of vascular bed with decrease in leakage of fluid and
cells into inflammatory sites
2. Decreased granulocyte and monocyte accumulation in inflammatory
loci
3. Impairment of various granulocyte and monocyte functional capabi
lities
4. Suppression of various steps in immediate hypersensitivity reactions
II. Immunosuppressive effects
1. Decrease in circulating lumphocytes and monocytes
2. Decrease in certain lumphocyte and particularly monocyte functional
capabilities
3. Decrease in immunoglobulin and complement levels

Gambar 2.

Gambar 1. Molecular mechanism of steroid hormone action.

Sehubungan dengan pengaruh kortikosteroid ini kita kenal


dua golongan spesies yaitu golongan yang resisten dan sensitif
terhadap kortikosteroid. Spesies yang resisten terhadap kortiko-
steroid adalah manusia dan kera sedangkan yang sensitif adalah Gambar 3.
tikus dan kelinci(2).
Apabila kortikosteroid diberikan kepada golongan resisten Apabila kortikosteroid diberikan kepada golongan sensitif
akan menyebabkan limfositopeni akibat redistribusi limfosit ke akan menyebabkan penurunan berat kelenjar timus karena sin-
luar sirkulasi darah menuju organ-organ limfoid lainnya ter- tesis protein berkurang, piknositis inti sel dan kematian sel-sel
utama sumsum tulang(3). Redistribusi ini lebih banyak mem- kelenjar timus(1).
pengaruhi limfosit-T daripada limfosit-B(9). Mekanisme yang Wollheim (1967) melaporkan bahwa pengobatan dengan
mendasari terjadinya redistribusi limfosit belum diketahui secara kortikosteroid dapat menurunkan kadar imunoglobulin (Ig) dalam
pasti. Secara teoritis limfositopeni dapat terjadi melalui dua me- serum manusia, terutama IgG dengan penurunan maksimum
kanisme yaitu: migrasi hebat keluar dari pembuluh darah dan 22% dua minggu setelah pengobatan. Pengaruh ini terutama
blok perifer. Mekanisme blok perifer ini ditunjang oleh pene- terjadi pada respons primer IgG(3).
muan bahwa aktifitas fisik pada orang normal menyebabkan Dilaporkan pula bahwa IgM dan IgA juga menurun, namun
limfositosis akibat mobilisasi cadangan perifer, tetapi hal ini dalam jumlah minimal, sedangkan terhadap IgE efeknya tidak

44 Cermin Dunia Kedokteran No. 85, 1993


jelas. Levy dan Waldmann (1970) menemukan bahwa penurun- Penggunaan kortikosteroid selang sehari telah dapat me-
an kadar Ig serum setelah pengobatan dengan kortikosteroid ngembalikan akumulasi netrofil pada hari bebas pemberian obat,
terutama terjadi oleh karrena peningkatan katabolisme IgM, tetapi akumulasi makrofag pada hari tersebut masih rendah.
IgG dan IgA(3). Menurut laporan Posey dkk (1978) perubahan Hal ini menunjukkan bahwa makrofag lebih sensitif daripada
kadar Ig ke nilai normal tampak setelah 3 sampai 8 minggu netrofil terhadap pengaruh antiinflamasi kortikosteroid(4).
pengobatan dihentikan(3). Dilaporkan pula bahwa penggunaan kortikosteroid selang
sehari tidak disertai peningkatan angka infeksi. Kortikosteroid
PENGARUH KORTIKOSTEROID TERHADAP SISTEM mungkin juga mengurangi pelepasan enzim-enzim lisosom,
IMUN NON-SPESIFIK tetapi hanya sedikit mempengaruhi stabilitas membran lisosom
Pengaruh kortikosteroid yang terpenting pada manusia pada kadar farmakologik(4).
adalah penghambatan akumulasi makrofag dan netrofil di Kortikosteroid mempunyai pengaruh terhadap aktifitas bio-
tempat radang. Selain itu kortikosteroid juga menyebabkan logik komplemen. Pengaruh tersebut berupa penghambatan fiksasi
berkurangnya aktifitas makrofag baik yang beredar dalam C3b terhadap reseptornya pada fagosit mononuklear, dan peng-
darah (monosit) maupun yang terfiksir dalam jaringan (sal hambatan pengaruh C3a, C5a dan C567 pada lekosit PMN.
Kupffer). Pengaruh tersebut diperkirakan akibat penghambatan Pengaruh non-spesifik ini hanya terjadi pada pemberian kor-
kerja faktor-faktor limfokin yang dilepaskan oleh sel-T sensitif tikosteroid dosis tinggi. Hal ini telah dibuktikan secara invitro
pada makrofag, karena tempat kerja kortikosteroid diperkirakan dengan pemberian metilprednisolon dosis 30 mg/kgbb. intra-
pada membran makrofag. Penghambatan akumulasi netrofil di vena atau secara invivo dengan hidrokortison dosis 120
tempat radang adalah akibat kerja kortikosteroid mengurangi mg/kgbb intravena(9).
daya lekat netrofil pada dinding endotel pembuluh darah, Kepustakaan lain melaporkan bahwa kortikosteroid topikal
bukan akibat penghambatan kemotaksis yang hanya dapat juga berpengaruh terhadap sistem imun. Pengaruh tersebut
dihambat oleh kortikosteroid pada kadar suprafarmakologik(4). berupa atrofi kulit sehingga kulit tampak tipis, mengkilat dan
Leonard melaporkan bahwa pemberian 10 mg prednison per keriput seperti kertas sigaret. Hal ini dapat memperberat dan
oral pada orang sehat sudah cukup untuk meningkatkan netrofil mempermudah terjadinya infeksi oleh karena terjadi gangguan
dan menurunkan jumlah limfosit, monosit dan eosinofil dalam mekanisme pertahanan kulit(11). Beberapa efek samping lain
darah, sesuai dengan yang dilaporkan oleh Saavedra-Delgado yang mungkin terjadi adalah diabetes melitus, osteoporosis,
dkk yang menggunakan 35–70 mg prednison per oral(10). Ke- gangguan psikologik dan hipertensi(2).
pustakaan lain melaporkan bahwa kortikosteroid mempunyai Berdasarkan efek antiinflamasi dan iumunosupresif maka
pengaruh yang kompleks terhadap distribusi netrofil. Kortiko- kortikosteroid digunakan secara luas pada penyakit radang dan
steroid meningkatkan pelepasan netrofil muda dari sumsum penyakit-penyakit yang didasari oleh proses imunologik seperti
tulang ke sirkulasi. Di samping itu kortikosteroid juga me- penyakit-penyakit jaringan ikat (lupus eritematosus sistemik,
ningkatkan masa paruh netrofil dalam sirkulasi. Kombinasi kedua demam rematik akut), radang usus (kolitis ulseratif), keadaan
pengaruh ini menyebabkan terjadinya netrofilia, walaupun fungsi alergi atau hipersensitifitas (vaskulitis alergika, reaksi obat),
bakterisidanya menurun. Hasil akhir pengaruh kortikosteroid penyakit ginjal (sindroma nefrotik idiopatik), penyakit darah
adalah menghambat migrasi dan akumulasi netrofil pada daerah yang disebabkan oleh proses imunologik (anemia hemolitik
radang. (Gambar 4)(2). Mungkin pengaruh kortikosteroid pada autoimun), asma berat, penyakit kulit (dermatitis kontak) dan
makrofag dan netrofil inilah yang menyebabkan peningkatan penyakit mata (blefaritis alergika).
kejadian infeksi pada penggunaan kortikosteroid setiap hari(4). Pada penyakit radang atau penyakit-penyakit imunologik
yang aktif sebaiknya pengobatan dimulai dengan kortikosteroid
dosis tinggi terbagi per-hari sampai tercapai fase subklinik, pada
saat ini diberikan dosis tunggal sehari dan selanjutnya dosis
tunggal selang sehari yang akan dihentikan secara bertahap(2).
Ponticelli C dick. melaporkan bahwa efek samping peng-
obatan dengan kortikosteroid pada penderita-penderita trans-
plantasi ginjal dapat ditekan dengan pemberian kortikosteroid
dosis terbagi yaitu 2/3 dosis diberikan pagi hari dan 1/3 dosis
diberikan sore hari yang dihentikan secara bertahap(12).

RINGKASAN
Kortikosteroid adalah hormon yang dihasilkan oleh korteks
adrenal. Sistem imun adalah sistem pertahanan tubuh yang ter-
diri dari sistem imun spesifik dan non-spesifik. Kortikosteroid,
baik yang diberikan secara topikal maupun sistemik dapat me-
Gambar 4 nekan sistem imun spesifik dan non-spesifik.

Cermin Dunia Kedokteran No. 85, 1993 45


KEPUSTAKAAN oleh gelar Doktor dalam Ilmu Kedokteran pada Universitas Airlangga.
Surabaya: Airlangga University Press, 1987: 14-32.
1. Siregar H. Aspek fisiologis dari kortikosteroid. Dalam: Simposium kor- 7. Barrett if, ed. Textbook of Immunology: An introduction to immuno
tiknsteroid sebagai obat penyelamat. Ujung Pandang: IKAFI dan Fakultas chemistry and immunobiology. fifth ed. St. Louis: CV Mosby Co, 1988:
Kedokteran Unhas, 1984: 1-8. 155-64.
2. Fauci AS. Clinical aspects of immunosuppression : Use of cytotoxic agents 8. Lagrange PH. Antibiology: Practical and theoretical evaluation of anti-
and corticosteroids. In: Bellanti JA ed. Immunology III. Philadelphia: WB biotics on the immune defense mechanisms in infected hosts. Dalam:
Saunders Co, 1985: 546-57. (kutipan). Simposium peranan antibiologi pada infeksi. Surakarta: Perhimpunan
3. Sabbele NR, ed. Effects of immunosuppressive drugs upon the murine Alergi Imunologi Indonesia (Peralmuni), 1989: 31-49.
immune system: A dissertation submitted for the degree of doctor in 9. Delespesse G, ed. Corticotherapy. Jakarta: PT Upjohn Indonesia, 1984:
Medical Science, Faculty of Graduate Studies, Hasanuddin University. 12-6. (kutipan).
Ujung Pandang: Hasanuddin University, 1987: 28-40. (kutipan). 10. Leonard EJ. Two populations of human blood basophils: Effect of predni-
4. Setiawati A. Mekanisme kerja imunosupresif. Dalam: Tjokronegoro A, sone on circulating numbers. J. Allerg. Clin. Immunol. (May) 1987:
Comain S, eds. Imunologi: Diagnosis dan terapi. Jakarta: Fakultas Ke- 775-80.
dokteran Universitas Indonesia, 1982: 81-94. (kutipan). 11. Amiruddin MD. Kortikosteroid topikal.Dalam: Umar, SarunguST, Syawal
5. Baratawidjaja K. Mekanisme sistem imun. Dalam: Baratawidjaja, Konthen R, Setyawati H, Waspodo N, eds. Kumpulan Makalah Kursus Penyegar
PG, Halpem GM, (eds). Simposium alergi klinik. Surakarta: Perhimpunan dan Penambah Ilmu Kedokteran (KPPIK-VIII). Ujung Pandang: Fakultas
Alergi Imunologi Indonesia (Peralmuni), 1987: 1-6. Kedokteran Universitas Hasanuddin, 1989: 1-6. (kutipan).
6. Soeparto P, ed. Saudi mengenai gastroenteritis akuta dengan dehidrasi 12. Ponticelli C, Vecchi AF, Tarantino A et al. A search for optimizing
pada anak melalui pendekatan epidemiologik klinik: Disertasi untuk corticosteroid administration to renal transplant patients. Kidney Interna-
memper- tional 1983; 23: 85-9.

46 Cermin Dunia Kedokteran No. 85, 1993


Penanggulangan Gangguan Akibat
Kekurangan Iodium di Indonesia

Yuyus Rusiawati, Sumengen Sutomo


Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta

ABSTRAK

Gangguan akibat kekurangan iodium (Gaki) masih merupakan masalah kesehatan


masyarakat yang perlu ditanggulangi karena menghambat pembangunan nasional. De-
wasa ini penanggulangan Gaki melalui program distribusigaram beriodium dan suntikan
lipiodol. Program tersebut masih belum mcncapai hasil optimum karena mengalami
banyak masalah.
Sehubungan dengan itu masih perlu dicari alternatif lain untuk meningkatkan
program Gaki. Beberapa upaya yang masih dalam penelitian dan pengembangan yaitu
pemberian minyak beriodium melalui oral dan distribusi iodium melalui air. Upaya ini
diharapkan dapat mendukung program Gaki dengan efektif dan efisien.

PENDAHULUAN suntikan minyak beriodium (lipiodol) di daerah endemik berat


Gangguan akibat kekurangan iodium (Gaki) merupakan dan program jangka panjang, distribusi garam beriodium.
salah saw masalah kesehatan masyarakat yang perlu ditang- Walaupun demikian program masih belum mencapai hasil yang
gulangi secara sungguh-sungguh. Penduduk yang tinggal di optimum. Di beberapa propinsi terdapat kenaikan prevalensi
daerah kekurangan iodium akan mengalami Gaki kronis yang gondok dan kretin.
menyebabkan pertumbuhan fisik terganggu dan keterbelakang- Mengapa program Gaki di Indonesia masih belum mencapai
an mental yang tidak dapat disembehkan sehingga menjadi hasil yang optimum? Masalah dan hambatan apa yang timbul
beban masyarakat. Gaki mengakibatkan penurunan kecerdasan dalam penyelenggaraan program Gaki? Upaya apa yang dapat
dan produktivitas penduduk sehingga menghambat pengem- dilakukan untuk dapat meningkatkan pelaksanaan program
bangan sumber daya manusia. Penyebab, teknologi dan cara Gaki?
penanggulangan Gaki telah diketahui. Pengalaman di berbagai Pada kesempatan ini disampaikan informasi mengenai
negara seperti Amerika, Perancis, Italia dan Thailand program Gaki secara garis besar. Beberapa topik yang dibahas
membuktikan bahwa Gaki dapat ditanggulangi. Oleh karena itu termasuk macam Gaki, penyebab, prevalensi dan penanggulang-
Gaki harus segera dibasmi agar bangsa Indonesia dapat annya. Selain itu informasi mengenai beberapa altematif untuk
memasuki tahapan tinggal landas. meningkatkan upaya penanggulangan Gaki.
Upaya penanggulangan Gaki sudah dimulai sejak jaman
penjajahan Belanda, akan tetapi masih sangat terbatas. Pada GAKI
jaman kemerdekaan upaya ditingkatkan dan dewasa ini men- Gangguan akibat kekurangan iodium (iodine deficiency
dapat prioritas yang lebih memadai. Upaya penanggulangan disorder) adalah gangguan tubuh yang disebabkan oleh keku-
Gaki dilaksanakan melalui program jangka pendek, dengan rangan iodium sehingga tubuh tidak dapat menghasilkan hormon

Cermin Dunia Kedokteran No. 85, 1993 47


tiroid. Kekurangan hormon tiroid mengakibatkan timbul gon- rugikan penduduk.
dok, hipotiroid, kretin, gangguan reproduksi, kematian bayi dan
keterbelakangan sosial. PENYEBAB GAKI
Gondok adalah pembesaran kelenjar timid yang melebihi Tubuh manusia membutuhkan unsur kimia seperti iodium,
normal. Penduduk yang kekurangan iodium tidak dapat mem- kalsium, oksigen, sodium dan hidrogen. Iodium dibutuhkan oleh
buat cukup honnon tiroid. Untuk mencukupi kebutuhan hormon tubuh untuk membentuk hormon tiroid. Hormonini dihasilkan
tiroid, kelenjar hipofisis membuat hormon yang disebut thyroid oleh kelen jar tiroid yang bentuknya seperti kupu-kupu terletak
stimulating hormone (TSI-I) untuk merangsang kelenjar tiroid di bagian depan leher terdiri dari dua benjolan di sebelah kanan
supaya bekerja lebih aktif menghasilkan hormon tiroid. Penam- dan kiri saluran napas yang dihubungkan oleh isthmus.
bahan hormon TSH merupakan proses adaptasi yang normal, Hormon tiroid yang dihasilkan masuk ke dalam darah dan
akan tetapi kondisi yang kronis mengakibatkan gondok. Pen- mengawasi banyak proses kimia di berbagai bagian tubuh.
duduk yang menderita gondok menandakan bahwa mereka Hormon ini sangat penting untuk pertumbuhan serta fungsi
mengalami kekurangan iodium. otak, sistem saraf dan memelihara panas tubuh. Kelenjar tiroid
Hipotiroidi adalah kondisi di mana tubuh tidak memperoleh di dalam darah mempengaruhi reaksi kimia di otak, hati, jantung,
cukup hormon tiroid. Kondisi ini mengakibatkan penderita ginjal dan untuk pertumbuhan otak. Hormon tiroid juga mem-
menjadi malas, mengantuk, kulit kering, tidal( tahan dingin dan pengaruhi kelenjar hipofisis yang menghasilkan hormon TSH.
konstipasi. Honnon tiroid berperan dalam proses pertumbuhan Apabila tubuh kekurangan hormon tiroid, kelenjar hipofisis
otak dan sistim saraf. Oleh karena itu anak penderita hipotiroidi bekerja lebih aktif untuk menghasilkan hormon tiroid.
mengalami hambatan dalam pertumbuhan fisik dan keterbe- Unsur iodine terdapat dalam jumlah relatif besar di air laut.
lakangan mental. Keterbelakangan fisik dan mental yang berat Di daerah pedalaman yang jauh dari lautan memiliki risiko lebih
mudah dikenal, akan tetapi seringkali kondisi ini ringan se- banyak kemungkinan untuk kekurangan iodium. Kekurangan
hingga sulit diketahui, kecuali dengan diagnosis yang baik. iodium biasanya terjadi di daerah pegunungan dimana iodium
Kretin merupakan akibat yang lebih berat daripada hipo- di dalam tanah tersapu oleh hujan, erosi dan banjir. Ini tidak
tiroidi yang terjadi selama bayi masih dalam kandungan atau hanya terjadi di daerah pegunungan akan tetapi dapat juga di
permulaan kelahiran. Kretin mengakibatkan keterbelakangan daerah lain, misalnya di daerah yang sering banjir.
mental yang tidak dapat disembuhkan. Selain itu terdapat gejala
seperti buta, tuli dan gangguan dalam pertumbuhan otot. Se- PREVALENSI GAKI
bagian kretin disertai gondok dan yang lain tidak. Kekurangan Di Indonesia gondok sudah dikenal sejak zaman dahulu
iodium yang menyebabkan kemunduran kecerdasan tetapi be- melalui tulisan tertua yang terdapat pada prasasti di Bangli,
lum seberat kretin disebut subkretin akibat dari hipotiroidi. Bali. Gondok dilaporkan sering ditemukan di pulau Jawa dan
Wanita yang tinggal di daerah kekurangan iodium lebih luar Jawa. Sebelum zaman kemerdekaan banyak penelitian
sering mengalami keguguran daripada mereka yang tinggal di yang melaporkan gondok endemik di berbagai daerah baik di
daerah tidak kekurangan iodium. Keguguran dan kematian dini pulau Jawa maupun di pulau Sumatera.
yang sering terjadi membahayakan kesehatan ibu dan menu- Pada permulaan tahun 1900 seorang dokter melaporkan
runkan fertilitas penduduk. gondok endemik tinggi di Aceh. Pada tahun 1922 dilaporkan
Gald mengakibatkan kematian anak. Anak-anak yang bahwa dari pasien yang datang di poliklinik Alas Sumatera
menderita Gaki kurang memiliki daya tahan tubuh terhadap Utara 60% di antaranya menderita gondok. Di berbagai daerah
infeksi dan derajat nutrisinya lebih rendah. Ibu hamil yang dilaporkan gondok dengan prevalensi yang tinggi balk pada
memperoleh iodium melahirkan anak yang lebih berat, sehat pria maupun wanita. Di antara anak-anak umur 1-12 tahun
dan kemungkinan hidup lebih besar daripada ibu yang tidak banyak yang menderita kretin.
memperoleh iodium. Ibu hamil yang memperoleh iodium Pada tahun 1927 di daerah transmigrasi Deli dilaporkan
melahirkan anak yang lebih besar kemungkinannya mencapai bahwa 66,2% anak Batak dan 7,7% anak transmigran asal Jawa
umur 15 tahun daripada anak dari ibu yang tidak memperoleh menderita gondok. Kadar iodium dalam air di daerah Batak 0-
iodium (Dunn & Van Der Haar 1990). 0,8 ugI/1, rata-rata 0,25 ugI/l. Air dari rumah sakit mengan-
Gaki mengakibatkan masalah sosial dan kerugian ekonomi. dung iodium 0-0,2 ugI/1, beras 0-10 ugI/kg dan ikan asin 0-333
Penduduk menjadi bodoh, lamban dan kurang semangat bekerja. ugI/kg. Survai penduduk di Deli, Langkat dan Serdang pada
Mereka sulit dididik untuk menjadi cerdas dan sulit dimotivasi 4154 orang dari 48 desa mendapatkan 88% pria dan 92,5%
untuk bekerja sehingga tidal( produktif. Gaki mengakibatkan wanita menderita gondok dan 1,1% kretin.
lebih banyak penduduk menderita cacat sehingga menjadi Pada tahun 1930 dilaporkan di Alas terdapat 61% pria, 83%
beban masyarakat. Di daerah yang kekurangan iodium sektor wanita gondok dan 57% anak-anak }cretin. Pada tahun 1933 di
pertanian merupakan sumber perekonomian penduduk. Bina- Gayo dan Alas dilaporkan 90% gondok, insiden kretin 0,73%
tang piaraan seperti kerbau, sapi, ayam dan kambing mengalami dan 60% dari kretin menderita bisu dan tuli. Di Bengkulu
kekurangan iodium dan pertumbuhannya terganggu sehingga Sumatera Selatan 41-90% menderita gondok. Kadar iodium air
kurang menghasilkan daging, telur dan makanan yang bergizi. minum di Gayo-Loeos 0,6-2,8 ugI/1; dalam beras, 10 ugI/kg.
Mereka juga lebih banyak menderita keguguran sehingga me- Di Kediri dilaporkan 49-88% gondok pada anak sekolah

48 Cermin Dunia Kedokteran No. 85, 1993


pada tahun 1928-1932. Survai di Kediri, Tulung Agung dan PENANGGULANGAN GAKI
Blitar dari beberapa ribu anak sekolah 60% gondok, di beberapa Upaya penanggulangan Gaki di Indonesia sudah dimulai
desa di Pulosari 88% gondok. Prevalensi gondok di Wonosobo, sejak pemerintah Belanda. Pemerintah menanggulangi Gaki
Dieng dan Garung, Jawa Tengah 40-56% pria dan 71-87% melalui distribusi garam iodium di daerah endemik berat. Pada
wanita. Kadar iodium dalam urine yang diperiksa di Wonosobo tahun 1927 dimulai distribusi dan pembagian garam beriodium
43,5-55 ugI/l, sedangkan di daerah non gondok di Dieng 135 di pegunungan Tengger dan dataran tinggi Dieng. Kemudian
ugI/l. Pada tahun 1932 diperiksa kadar iodium dalam urine pada tahun 1940 distribusi garam beriodium dengan dosis yang
penduduk di daerah gondok Garung, Siwaran, Kuripan dan lebih tinggi dilakukan di Kediri.
Kejajar di Jawa Tengah terdapat 41-58 ugI/1; di daerah non Sesudah kemerdekaan upaya penanggulangan Gaki men-
gondok 135 ugI/1. dapat perhatian yang lebih baik. Prioritas pcnanggulangan Gaki
Gondok endemik juga dilaporkan di kepulauan lain ter- dimulai sejak tahun 1972 dengan melaksanakan program jangka
masuk Bali, Sulawesi, Kalimantan dan Irian Jaya. Di Bali pendek melalui suntikan larutan minyak beriodium di daerah
adanya gondok sudah diketahui sejak lama dan ditemui pre- endemik berat dan pelaksanaannya oleh Departemen Kesehatan.
valensi yang tinggi di berbagai daerah. Di Sulawesi ditemui di Program jangka panjang dilaksanakan melalui fortifikasi dan
Majene, Maros, Pangkajene, Kotamobagu, Mojang dan Popo. distribusi garam beriodium di semua daerah endemik dan pe-
Di Kalimantan Barat, Tengah dan Tenggara ditemukan gondok laksanaannya oleh Departemen Perindustrian.
endemik di daerah Kapuas, lembah Malawi sepanjang sungai
Sekayan dan Sepauk, dataran tinggi Apokayan, sepanjang Distribution Garam Beriodium
sungai Kutai, Mahakam dan Martapura. Distribusi garam beriodium dilaksanakan sejak Pelita II,
Dengan demikian dapat diperoleh gambaran bahwa pre- tahun 1976/77 melalui proyek iodisasi garam oleh Dit. Jen.
valensi gondok endemik di berbagai kepulauan baik di Jawa Perindustrian Kimia. Tujuan proyek adalah untuk menanggu-
maupun di luar Jawa sangat tinggi berkisar antara 41-90%. langi Gaki melalui distribusi garam beriodium. Menurut SK
Sesudah kemerdekaan semakin bertambah informasi Menteri Kesehatan No. 165/MenKes/SK/II/1986 bahwa garam
mengenai gondok endemik. Survai anak sekolah di Jawa Timur konsumsi yang beredar harus mengandung iodium 40 ppm ±
melaporkan prevalensi gondok 25-95% pada 1966. Pada tahun 25%. Kegiatan yang dilakukan terdiri dari produksi, distribusi,
1971, Djumadias dkk. melaporkan dari 6703 anak sekolah pada pemasaran dan pengawasan mutu garam beriodium baik di
46 sekolah dasar di 39 desa di Sumatera Utara, Barat, Jawa tingkat produsen maupun konsumen. Kegiatan ini dilakukan
Timur terdapat 62,2-89,4% menderita gondok. Hasil survai Dit. oleh PN Garam dengan bantuan dari Unicef berupa mesin iodi-
Gizi tahun 1980-82 di 966 kecamatan, ditemukan 660 (68,3%) sasi dan kalium iodat. Pada tahun 1978/88 program iodisasi
merupakan daerah endemik gondok, dengan perincian 386 diserahkan kepada Dit. Jen. Aneka Industri. Dalam Pelita III
(39%) daerah endemik berat, 120 (12,4%) daerah endemik 1981/82 pihak swasta dan koperasi/KUD diikutsertakan dalam
sedang dan 155 (16%) daerah endemik ringan. program iodisasi garam untuk menjamin tersedianya garam
Pemetaan gondok endemik pertama dilakukan oleh Direk- beriodium yang cukup dan memenuhi standard mutu. Pihak
torat Gizi, Departemen Kesehatan pada tahun 1980-82 di 25 swasta dibantu dalam biaya proses iodisasi, tepung KI03, larut-
propinsi tidak termasuk DKI Jakarta dan Irian Jaya. Prevalensi an penguji dan latihan tenaga. Pada tahun 1985/85 bantuan di-
gondok endemik di banyak desa 80%, kretin lebih dari 10% kurangi secara bertahap.
dan di beberapa desa mencapai 15% merupakan angka yang Dalam rangka menunjang pengadaan dan distribusi garam
tertinggi di dunia. Berdasar pemetaan ini diperkirakan 30 juta beriodium kepada masyarakat, pemerintah menerbitkan SKB 3
penduduk tinggal di daerah kekurangan iodium, l0 juta di Menteri yaitu Menteri Perindustrian, Perdagangan dan Ke-
antaranya menderita gondok, 750 kretin endemik dan 3,5 juta sehatan tanggal 23 Maret 1982 tentang tata niaga garam ber--
menderita Gaki lain. iodium di 15 propinsi. Di samping itu diadakan kegiatan
Pada tahun 1987/88 Direktorat Bina Gizi Masyarakat program pemasyarakatan garam beriodium melalui promosi,
mengadakan evaluasi prevalensi gizi di 12 propinsi termasuk informasi dan edukasi menggunakan film, ceramah, siaran
Sumatera Utara,Lampung,Jawa Barat,Jawa Tengah,Yogyakarta, radio dan lain-lain.
Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Pada akhir Pelita III diadakan evaluasi program dan di-
Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara dan Timor Timur. temukan banyak masalah antara lain garam tidak beriodium
Evaluasi menggunakan kriteria total goiter rate (TGR) dan masih banyak ada di pasaran, garam konsumsi di pasaran belum
visible goiter rate (VGR). Pada tahun 1980-1982 TGR berkisar memenuhi kadar iodium yang ditentukan, kemasan plastik
17,3-59,3% dengan rata-rata 37,2%, VGR 1,9-24,2% rata-rata bar-label gamin beriodium tetapi isinya tidak, masyarakat lebih
9,2%. Survai gondok pada tahun 1987/88 pada 46401 dari 585 menyukai garam tidak beriodium karena harganya relatif murah.
sekolah dasar di 363 desa, 39 kecamatan, 12 propinsi diperoleh Pada Pelita IV diikutsertakan Departemen Dalam Negeri
prevalensi gondok TGR berkisar antara 5,9-59,3% rata-rata untuk lebih mensukseskan program iodisasi garam sampai pada
23,2%, VGR berkisar 0,2-31,5% dengan rata-rata 4,6%. Dari tingkat kecamatan dan dew. Pemerintah menerbitkan SKB 4
data tersebut terlihat penurunan prevalensi gondok endemik rata- Menteri termasuk Menteri Perindustrian No. 185/M/SK/5/85,
rata TGR 37,6% dan VGR 4,6% (Dit. Bina Gizi Masy. 1988). Menteri Kesehatan No. 242 a/MenKes/SKB/, Menteri No. 756 a/

Cermin Dunia Kedokteran No. 85, 1993 49


KPB/V/85 dan Menteri Dalam Negen No. 22 tahun 85 tentang garam tidak praktis untuk dilakukan. Ini merupakan proyek
garam beriodium yang diberlakukan di seluruh propinsi. Se- jangka pendek dalam rangka menanggulangi Gaki. Tujuannya
hubungan dengan ini Menteri Perindustrian mengeluarkan pe- adalah untuk memberantas dan mencegah Gaki. Sasaran suntik-
doman pelaksanaan No. 444/M/SK/11/86 tangga122 November an adalah pria umur 0–14 tahun dan wanita umur 0–35 tahun.
1985 tentang petunjuk pelaksanaan dalam rangka pengaturan, Preparat yang digunakan adalah minyak beriodium yang me-
pembinaan dan pengembangan industri garam beriodium. Men- ngandung kadar iodium 0,48 gram per 1 ml. Preparat ini me-
teri Perindustrian juga menerbitkan SK No. 323/M/SK/8/1986 miliki sifat yang unik dan efek depotnya dapat memberikan
tanggal 20 Agustus 1986 membentuk tim pengarah dan tim perlindungan 3 – 4 tahun dengan satu kali suntikan. Di daerah
teknis iodisasi garam beriodium yang anggotanya terdiri dari endemik berat memiliki efektifitas yang dapat menghilangkan
para eselon I dan II dari masing-masing instansi terkait SKB 4 dan mencegah kretin serta cacat bayi yang dilahirkan. Sampai
menteri. dengan tahun 1987/88 suntikan ini telah diberikan pada sekitar
Pada tahun 1987 program iodisasi garam dialihkan kepada 11,3 juta penduduk.
DitJen Industri Kimia Dasar. Selama Pelita IV telah Berbagai masalah yang dihadapi dalam penyuntikan ter-
dilaksanakan peningkatan pengawasan mutu garam beriodium, masuk biaya obat suntik relatif mahal, tenaga penyuntik yang
peningkatan kemampuan aparat pelaksana iodisasi untuk profesional kurang, alat suntik dan biaya operasional mahal,
pembinaan produsen dan pengawasan mutu. Sampai akhir daerah terpencil sulit dicapai petugas, biaya sterilisasi jarum dan
Pelita IV ditemui masalah berikut. Perusahaan industri garam alat suntik tidak sedikit. Kondisi ini diperburuk dengan lokasi
beriodium terdaftar 238 buah dengan kapasitas produksi daerah yang sulit dan kesadaran penduduk yang masih rendah
900.600 ton/tahun. Kebutuhan garam konsumsi nasional pada (Pada 1989, Dit Jen Pem Kes Mas 1989). Masalah ini menye-
akhir Pelita IV 510.000 ton. Kuantitas kebutuhan dapat babkan target yang ditentukan dalam Pelita IV untuk penyuntik-
dipenuhi, akan tetapi kualitas kandungan kalium iodat belum an 10 juta penduduk tidak tercapai karena hanya tersedia larutan
memenuhi syarat yang ditentukan. Larangan produksi garam minyak beriodium sebanyak 6 juta dosis dan dari jumlah ini
briket belum sepenuhnya diikuti oleh produsen karena hanya tercakup 80%. Dalam Pelita V penyuntikan dilanjutkan
pennintaan pasar cukup tinggi, pengangkutan dan penyimpanan di daerah endemik berat. Pengalaman dari Pelita sebelumnya,
mudah dilaksanakan. Di lain pihak stabilitas KI03 dalam garam nampak perlu adanya alternatif cara intervensi lain sehingga
briket kurang terjamin. Selain itu belum semua produsen tujuan program penanggulangan Gaki dapat dicapai dalam
memiliki laboratorium untuk test kadar iodium. Proses iodisasi waktu yang tidak terlalu lama (Dit Jen Pem Kes Mas 1989).
memerlukan biaya mahal karena adanya proses pembersihan
dan pengeringan dari bahan baku dalam negeri, sedang bahan Alternatif Lain
baku impor harganya mahal. Produsen masih belum semuanya Penanggulangan Gaki tidak hanya berharap dari kedua
menyadari pentingnya misi garam beriodium. Sampai dengan upaya yang sedang dilaksanakan, akan tetapi juga dicari alter-
Pelita V masalah tersebut masih berlanjut dan belum dapat natif lain; beberapa altematif yang masih dalam penelitian dan
diatasi dengan efektif (DitJen Industri Kimia Dasar 1989). pengembangan adalah pemberian minyak beriodium oral dan
Dengan demikian masalah pelaksanaan program iodisasi iodisasi air minum.
garam dapat berasal dari produsen, konsumen dan penyelenggara Pemberian minyak beriodium oral dapat mengganti suntik-
program. Masalah pada produsen antara lain mutu bahan baku an minyak beriodium. Penanggulangan Gaki di Cina dilaksana-
garam belum memenuhi syarat, penyediaan KIO3 belum merata kan menggunakan minyak yang mengandung iodium 38%. PT
ke seluruh industri, dan sebagian masih diimpor dari Jepang, Kimia Farma sedang mengembangkan minyak beriodium
teknologi iodisasi garam belum memenuhi standar, pungutan yodiol berasal dari kacang tanah, dengan kadar 25% iodium.
PPn 10% menjadi beban industri, belum ada landasan hukum dan Sasaran distribusi minyak beriodium sementara adalah daerah
kurang kesadaran produsen. Masalah pada konsumen terutama yang belum terjangkau oleh suntikan lipiodol atau untuk
karena kurang adanya pengetahuan manfaat garam iodium, mempertahankan status iodium yang normal; dalam jangka
kesulitan untuk mengenal garam beriodium atau tidak, kesulitan panjang dapat menggantikan suntikan iodium.
untuk mendapatkan garam beriodium dan harga yang relatif Dosis yang perlu diberikan masih perlu dikaji. Pengalaman
mahal. Masalah pada pengelola program terutama di tingkat di Cina dan kajian sementara di Semarang menggunakan 1,0
pusat belum ada tenaga profesional yang fulltime memimpin gram minyak beriodium per tahun dan sasaran daerah endemik
program penanggulangan Gaki, koordinasi dan kerjasama berat. Di daerah endemik ringan dan sedang dapat diberikan 2
antara pelaksana program di daerah belum efektif, perencanaan tahun sekali. Studi ini masih dilakukan untuk menguji dampak
program kurang efektif, penyuluhan Gaki belum dilaksanakan biologis dan efek samping yang mungkin timbul.
secara terencana, kurang adanya fasilitas penyuluhan terutama Studi iodisasi air minum di daerah endemik telah dilak-
di tingkat daerah dan dukungan hukum belum ada. sanakan oleh Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan bersama
Direktorat Bina Gizi Masyarakat. Studi dilaksanakan di 3 desa
Penyuntikan Minyak Beriodium yang terletak di daerah endemik berat di propinsi Jawa Barat,
Penyuntikan dengan minyak beriodium dilaksanakan mulai Jawa Timur dan Sumatera Barat. Tujuannya adalah mencoba
Pelita.II, tahun 1974 di daerah hiperendemik di mana iodisasi apakah pelaksanaan iodisasi air minum di daerah endemik dapat

50 Cermin Dunia Kedokteran No. 85, 1993


dilakukan dan diterima penduduk atau tidak. Kesehatan Masyarakat 1988; 1-27.
6. Dept of Industry, Dept of Health, Dept of Trade, Dept of Home Affairs
Penduduk diberi larutan iodium untuk dimasukkan ke dalam Unicef and W1IO. The Results of The Interdepartmental Consultative
air yang sudah siap diminum. Iodium diberikan melalui 2 tetes Meeting of Iodine Deficiency Disorders Control 1985; 1-36.
larutan iodium (150 ug 1/0,03 ml) dimasukkan ke dalam 10 7. Dircktorat Bina Gizi Masyarakat. Pros Pertemuan Nasional Gaki Jakarta
liter air minum. Sebelum diberikan larutan penduduk diberi pe- 7–10 Agustus 1989.
8. Djokomoeljanto Sri RRJ. Akibat Defisiensi Yodium Berate Suatu Pene-
nyuluhan mengenai manfaat iodium dalam mencegah Gaki, dan litian pada Sekelompok Penduduk di Jawa Tengah, Indonesia. Disertasi
untuk melaksanakan sendiri dengan supervisi petugas. Dalam untuk Memperoleh Gelar Doktor dalam L Kedokteran UNDIP, PAPDI
beberapa minggu kemudian diadakan evaluasi mengenai kadar Semarang 1974; 1-60.
iodium dalam air yang telah diberi larutan iodium. Kesimpulan 9. Djumadias Abunain dkk. Tinjauan Masalah Gizi di Indonesia Sampai
Dewasa Mi. Widyakarya Pangan dan Gizi. UPI 1989; 144-8.
penelitian adalah iodisasi air minum dapat diterima dan di- 10. Dunn IT, Fritz Van Der Haar. A Practical Guide to the Correction of
lakukan oleh penduduk. Selanjutnya perlu dikembangkan Iodine Deficiency. Technical Manual No. 3. ICCIDD, UNICEF, WHO,
program iodisasi air minum di beberapa daerah sebelum di- ICCIDD, Nederland 1990; 1–51.
terapkan secara luas. Dewasa ini pengembangan program ter- 11. Dunn H. Alternatives to Salt and Oil for Iodine Suplementation. Depart-
ment of Internal Medicine, University of Virginia Medical Center. Cha-
sebut sedang dilaksanakan di propinsi Bali, Jambi, Sumatera lottesiville VA USA 1987; 135–138.
Barat dan Sulawesi Tengah. 12. Dunn IT, Medeiros-Neto GA. Endemic Goiter and Cretinism: Continuing
Selain itu perlu dipikirkan cam lain karena masyarakat me- Threats to World Health. Report of the Meeting of the PAHO Technical
miliki budaya makan beraneka ragam. Dalam mencari cam ini Group on Endemic Goiter. PAHO Washington DC 1974.
13. Government of Indonesia – Unicef. Situation Analysis of Children and
perlu dipertimbangkan berbagai faktor termasuk faktor sosial Woman in Indonesia. Unicef 59-62. 1989.
budaya penduduk dan persyaratan tertentu sehingga iodium 14. Hetzel BS. The Story of Iodine Deficiency. An International Challenge in
yang ditambahkan dapat mencapai sasaran yang dituju tanpa Nutrition. Oxford University Press Delhi Bombay 3–84; 1989; 105–145.
mengganggu pola kehidupan yang sudah ada. 15. Yasin F. Evaluation of an Iodization Program in Pregnant Women and
Their Babies in Dukun Subdistrict Java, Indonesia. A Thesis Submitted to
the University of Western Australia for the Degree of MSc Med. 1989;
KEPUSTAKAAN
31–41.
16. Program for Appropriate Technology in Health, Departemen Kesehatan
1. Hetzel BS, Dunn JT, Stanbury JB. Major Health Issues. The Prevention
RI. Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (Gaki). Teknologi Taps' Guna
and Control of Iodine Deficiency Disorders. Amsterdam: Elsevier 1987.
Sehat 1989; 1(1): 1–12.
2. Beckers CH, Delange F. Iodine Deficiency. Endemic Goiter and Endemic
17. Squatrito S dkk. Prevention and Treatment of Endemic Iodine Deficiency
Cretinism. New Delhi: Wiley Eastern Ltd. 1985.
Goitre by Iodination of Municipal Water Supply. J Clin Endocrin Meta-
3. Departemen Perindustrian RI. Program Iodisasi Garam dalam Pelita V.
bolism 1986; 63: 386-75.
Pertemuan Nasional Gaki Jakarta 7–10 Agustus 1989. Dit Jen Industri
18. Stanbury JB, Hetzel S. Endemic Goiter and Endemic Critinism. Iodine
Kimia Dasar, Dit Jen Industri Kimia Organik; 1989: 1–10.
Nutrition in Health and Disease. A Wiley Medical Publ John Wiley &
4. Departemen Kesehatan RI (1989). Program Penanggulangan Gaki. Per-
Sons, Inc. 1980.
temuan Nasional Gaki. Dit Jen Pembinaan Kesehatan Masyarakat. Jakarta
19. Sutomo S, Maspaitella FJ, Kumoro Palupi, Hemo Sukirno, Djasmidar,
7–10 Agustus 1989; 1–7.
Sudarsono. Studi Kelayakan Iodisasi Air Minum di Beberapa Desa Ke-
5. Departemen Kesehatan, FK Undip, FKM UI & Unicef. Hasil Evaluasi
kurangan Indium di Indonesia. Puslit Ekologi Kesehatan dan Direktorat
Dampak Program Penanggulangan Gaki di Indonesia. Dit Jen Pembinaan
Bina Gizi Masyarakat, Departemen Kesehatah Jakarta 1990; 1–54.

Kalender Kegiatan llmiah


5 – 9 Juli 1993 – SEMILOKA GENETIKA KLINIK
RSAB Harapan Kita,
Jakarta, Indonesia
Pembicara : A.l. Prof. YE Hsin MD, Uni-
versity of Hawaii, Prof. Grant
Sutherland DSc, Australia,
Yuliet Yuen, University of
Hawaii
Secr.: Unit Diklat RSAB Harapan Kita
Jl. S. Parman kay. 87, Slipi
Jakarta 11420 INDONESIA
Tel. 5668284 ext. 418, 425
Fax. 5601816

Cermin Dunia Kedokteran No. 85, 1993 51


Etiologi Mikrobiologi Diare Kronik
pada Anak Balita di Jakarta
Pudjarwoto Triatmojo*, Cyrus M. Simanjuntak*, Agus Firmansyah**, Suharyono**
* Pusat Penelitian Penyakit Menular Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan RI, Jakarta
** Bagian Gastroenterologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

ABSTRAK

Untuk mengetahui etiologi mikrobiologi diare persisten pada anak balita di Jakarta,
maka telah diteliti 136 responden penderita diare berlanjut dan diare persisten yang
berobat ke beberapa rumah saki' di Jakarta yaitu rumah sakit Cipto Mangunkusumo,
rumah sakit Karantina, rumah sakit Islam Jakarta dan Sint Carolus. Terhadap responden
ini antara lain dilakukan observasi klinik, wawancara terhadap orang tua penderita dan
pengambilan spesimen rectal swab dan feses untuk identifikasi mikro organisme (virus,
bakteri dan parasit) serta dilakukan uji resistensi terhadap 6 jenis antibiotik.
Hasil penelitian menunjukkan, beberapa jenis mikro organisme yang terdeteksi
sebagai penyebab diare persisten pada anak balita antara lain adalah Rotavirus, Salmo-
nella, Shigella, Campylobacter, ETEC, Entamuba histolytica, serta infeksi ganda antara
Rotavirus + Salmonella, Rotavirus + ETEC, Rotavirus + Trichuris trichiura dan Salmo-
nella + ETEC. Infeksi Rotavirus tercatat paling tinggi dibandingkan dengan infeksi oleh
mikroba yang lain yakni sebesar 21,6%. Kemudian menyusul berturut-turut adalah infeksi
ETEC = 8,5%, Salmonella 3,6%, Shigella dan E. histolytica masing-masing 2,4%,
Campylobacter = 1,2%. Infeksi ganda sebagaimana tersebut di atas adalah sebesar 4,8%.
Uji resistensi terhadap antibiotik hanya dilakukan terhadap Salmonella, Shigella dan
E. coli. Hasil uji resistensi terhadap 7 isolat Salmonella menunjukkan bahwa terdapat 1
isolat yang multi resisten terhadap 6 jenis antibiotik yang lazim digunakan yaitu
Ampisilin, Tetrasiklin, Khloramphenikol, Streptomisin, Kanamisin dan Sulfametoxazol-
Trimetoprim. Pada pengujian terhadap 41 isolat E. coli hasilnya adalah 7 isolat (14,2%)
bersifat multi resisten terhadap ke 6 jenis antibiotik tersebut. Kernudian dari 2 isolat yang
diuji terdapat 1 isolat yang multi resisten terhadap 6 jenis antibiotik yang sama.
Ditinjau dari keadaan umum, 79,4% penderita diare persisten tampak sakit ringan,
11,8% tampak sakit berat dan 8,8% tampak normal. Beberapa penyakit penyerta/kom-
plikasi yang diketahui di antaranya adalah malnutrisi, ISPA, faringitis, febris, ma-
labsorpsi, hiperbilirubin. Kemudian bila ditinjau dari faktor umur menunjukkan bahwa
sebagian terbesar penderita diare persisten adalah dari kelompok umur 1 tahun ke bawah
yakni sebesar 71,2%.

PENDAHULUAN beberapa bulan atau tahun dan lebih sering terjadi pada anak
Diare kronik adalah diare yang berlangsung lama sampai anak kecil terutama pada umur 6 bulan pertama. Berdasarkan

Dibiayai oleh : DIP 1991/1992 SK. No. HK. 00.0620-1

52 Cermin Dunia Kedokteran No. 85, 1993


kesepakatan pada Pertemuan ke IX Badan Koordinasi Gastro- b) Pengambilan spesimen
enterologi Anak Indonesia (BKGAI) di Palembang (1984), be- Spesimen berupa rectal swab (usap dubur) diambil dari
berapa keadaan yang masih dianggap diare kronik adalah penderita diare yang datang ke klinik tersebut di atas. Rectal
meliputi: diare persisten, protracted diarrhoea, intractable swab yang telah diambil segera dimasukkan ke dalam transport
diarrhoea, diare rekuren dan prolonged diarrhoea. Dalam tu- medium Carry & Blair. Selama itu dari tiap orang diambil juga
lisan ini selanjutnya hanya akan dikemukakan mengenai diare sampel feses sebanyak ± 10 gram yang dimasukkan ke dalam
persisten dan prolonged diarrhoea (diare berlanjut). Diare per- botol plastik steril. Pengambilan sampel dilakukan pada saat/
sisten adalah diare yang berlangsung berkepanjangan selama hari penderita berobat ke rumah sakit dan diusahakan sebelum
14 hari atau lebih. Prolonged diarrhoea (diare berlan jut) penderita makan obat/antibiotik. Sampel berasal dari penderita
adalah diare yang berlanjut sampai 7 s/d kurang dari 14 hari(1,2). diare yang sudah berlangsung antara 7 -14 hari dan lebih dari 14
Seperti diketahui, penyakit diare sebagian besar merupakan hari. Spesimen diambil hanya 1 kali dengan memperhatikan dua
diare akut yang berlangsung 2-7 hari dan pada umumnya dise- alternatip yaitu pertama setelah penderita diperiksa dokter dengan
babkan oleh infeksi mikro organisme. Di negara-negara berkem- hasil diagnosis diare persisten/kronik dan yang kedua adalah
bang 3-20% kasus diare akut berlanjut menjadi diare persisten, berdasarkan hasil wawancara dengan orang tua penderita yaitu
sedangkan di Indonesia angka kejadian diare persisten diare yang terjadi sudah berlangsung selama 7 hari/lebih.
dilaporkan sebesar 1-9%(3,4,5). Diperkirakan bahwa di Indonesia Spesimen segera dibawa ke laboratorium untuk selanjutnya
terdapat sekitar 500-600 ribu anak balita per tahun menderita dilakukan pemeriksaan terhadap virus, bakteri dan parasit.
diare persisten yang bila tidak ditangani dengan saksama sangat c) Pemeriksaan mikrobiologi dan uji resistensi
mungkin akan menjadi Malnutrisi Energi Protein (MEP) dan Dalam pemeriksaan ini dilakukan identifikasi terhadap
dapat meninggal akibat komplikasi dengan penyakit lain(6). Rota-virus, Salmonella, Shigella, Campylobacter, ETEC,
Patogenitas diare persisten sangat kompleks karena Entamuba histolytica, Giardia lamblia, Cryptosporidium dan
kejadian diare persisten merupakan gabungan gejala berbagai lain-lain. Pemeriksaan terhadap Rotavirus dan ETEC dilakukan
faktor dan penyebab yang sating terkait, sehingga sering secara ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay),
dijumpai kesulitan dalam menangani penderita diare persisten, sedangkan pemeriksaan bakteri yang lain seperti Salmonella,
walaupun berbagai pemeriksaan telah dilakukan dan berbagai Shigella, Campylobacter, dilakukan dengan cara konvensional
obat telah diberikan. Hal ini merupakan salah satu faktor termasuk test biokimia dan test serologi dengan antisere).
penyebab tingginya angka kematian karena diare persisten Adapun identifikasi parasit dilakukan dengan metode Kato. Uji
yang dilaporkan mencapai 20,3%(2). resistensi bakteri Enterobacteriaceae dilakukan dengan Disk
Diare persisten masih merupakan masalah yang perlu di- Diffusion Method (Kirby Bauer, 1966).
upayakan pemecahannya terutama diare persisten pada bayi dan
2) Observasi klinik
anak, karena masih banyak hal yang belum jelas, terutama bila
Dalam observasi ini dilakukan dua macam studi yaitu
ditinjau dari sudut etiologi mikrobiologi, epidemiologi, pato-
pemeriksaan keadaan umum penderita dan pengamatan ka-
genitas, faktor-faktor risiko dan lain-lain. Dalam kepustakaan
rakteristik feses.
disebutkan bahwa beberapa faktor penyebab utama diare
a) Keadaan umum penderita
persisten antara lain adalah intoleransi laktosa, alergi protein
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mendapatkan data apakah
susu sapi, alergi protein kedele, menetapnya patogen penyebab,
penderita dalam keadaan normal, sakit ringan ataupun sakit
sindrom usus halus terkontaminasi (CSBS) dan malnutrisi(7).
berat berdasarkan pengamatan terhadap status gizi, turgor kulit,
Besar kasus-kasus diare persisten pada anak balita ditinjau
mata, lidah/mulut, aktifitas/gerak, dan lain-lain. Data ini
dari sudut etiologi mikrobiologik merupakan masalah yang
diambil pada saat penderita datang berobat ke rumah sakit dan
telah diteliti dan hasilnya dikemukakan dalam tulisan ini.
belum mendapat pengobatan. Di samping itu dilakukan pula
pemeriksaan ada tidaknya penyakit penyerta/komplikasi.
BAHAN DAN CARA
Dalam penelitian ini dilakukan tiga macam studi terhadap b) Karakteristik feses
kasus-kasus diare berlanjut dan diare persisten, yaitu studi etio- Dilakukan pengamatan terhadap konsistensi feses dengan
logi mikrobiologi, observasi klinik dan wawancara/anamnesis. memperhatikan penampakan feses secara makroskopis dan
mikroskopis; apakah bersifat cair, lembek, berlendir, berbusa,
1. Studi etiologi mikrobiologi
berdarah atau campuran dari faktor tersebut di atas serta
Studi ini mencakup tiga faktor penelitian yang meliputi
melihat ada tidaknya eritrosit, lemak dan lain-lain.
pemilihan responden, pengambilan spesimen dan pemehksaan
spesimen di laboratorium mikrobiologi. 3) Wawancara terhadap orang tua penderita
a) Pemilihan responden Wawancara ini dimaksudkan untuk mendapatkan informasi
Responden yang masuk studi ini adalah anak balita pen- tentang umur penderita, lama diare, perkembangan penyakit
derita diare yang berlangsung 7 hari atau lebih yang berobat ke yang dialami selamaini apakah membaik, memburuk atau dalam
rumah sakit Cipto Mangunkusumo, rumah sakit Karantina, keadaan stabil yang ditentukan berdasarkan pada frekuensi (ke-
rumah sakit Islam Jakarta dan rumah sakit Sint Carolus. kerapan) buang air besar/hari, konsistensi feses dan lain-lain

Cermin Dunia Kedokteran No. 85, 1993 53


setelah diare berlangsung selama 7 hari atau lebih dibandingkan Tabel 2. Distribusi mikrobiologi penyebab diare persisten pada anak balita yang
berobat ke beberapa rumah sakit di Jakarta, tahun 1991-1992 (n = 136)
dengan hal yang sama pada awal kejadian diare.
Diare berlanjut Diare persisten
Total
HASIL Mikro organisme (n = 53) (n = 83)
Selama 6 bulan penelitian (Agustus 1991 - Januari 1992) Jml % Jml % n %
telah berhasil diperiksa 136 spesimen rectal swab dan feses I. Infeksi tunggal :
dari anak balita penderita diare persisten dan diare berlanjut 1. Rotavirus 9 16,9 15 18,1 24 17,6
yang berobat ke beberapa rumah sakit di Jakarta. Asal 2. Salmonella sp 2 3,8 1 1,2 3 2,2
spesimen adalah dari rumah saldt Cipto Mangunkusumo (109 3. ETEC 2 3,8 5 6,1 7 5,1
spesimen), rumah sakit Karantina Tanjung Priok (16 4. Campylobacter 1 1,9 0 0,0 1 0,7
5. Shigella 0 0,0 2 2,4 2 1,4
spesimen), rumah sakit Islam Jakarta (5 spesimen) dan dari
6. Entamuba histolytica 1 1,9 2 2,4 3 2,2
rumah sakit Sint Carolus 6 spesimen. Dari sejumlah 136 7. Vibrio cholera 0 0,0 0 0,0 0 0,0
spesimen tersebut, 83 spesimen berasal dari penderita diare 8. Giardia lamblia 0 0,0 0 0,0 0 0,0
persisten, 53 spesimen dari penderita diare berlanjut. 9. Cryptosporidium 0 0,0 0 0,0 0 0,0
Ditinjau dari faktor umur dan jenis kelamin (tabel 1) dapat Jumlah 15 28,3 25 30,1 40 29,4
dilaporkan bahwa spesimen yang berasal dari jenis kelamin IL Infeksi ganda :
lakilaki lebih besar dari perempuan, tapi secara statistik tidak 1. Rotavinrs + Salmonella 2 3,8 1 1,2 3 2,2
bermakna. Ella ditinjau dari faktor umur, sebagian terbesar 2. Rotavirus + ETEC 0 0,0 1 1,2 1 0,7
penderita diare persisten adalah dari kelompok umur kurang 3. Rotavirus+Trichuris 1 1,9 1 1,2 2 1,4
dari 1 tahun (71,2%), selebihnya (28,8%) dari kelompok umur trichiura
di atas 1 tahun. 4. Salmonella + ETEC 0 0,0 1 1,2 1 0,7
Jumlah 3 5,6 4 4,8 7 5,1
Tabel 1. Distribusi umur dan jenis kelamin penderita diare persisten dan diare
berlanjut pada anak balita yang berobat ke beberapa rumah sakit di Jumlah semua 18 33,9 29 34,9 47 34,5
Jakarta, dinyatakan dalam %
Gambar 1. Perkembangan penyakit diare pada anak balita yang berobat
Diare berlanjut Diare kronik ke beberapa rumah sakit di Jakarta setelah kejadian diare
Umur berlangsung 14 hari atau lebih
Pria Wanita Pria Wanita
(tahun) N N
n % n % n % n %
0 -1 30 20 66,6 10 33,4 59 35 59,3 24 40,7
> 1- 2 16 11 68,7 5 31,3 11 6 54,5 5 45,5
>2-5 7 5 71,4 2 28,6 13 10 76,9 3 23,1
Jumlah 53 36 67,9 17 32,1 83 51 61,4 '32 38,6

Keterangan : N = Jumlah penderita

Distribusi mikrobiologi disajikan dalam tabel 2. Di sini


tampak bahwa infeksi mikroba pada penderita diare persisten
dalam penelitian ini adalah sebesar 34,9% yang terdiri dari
infeksi virus, bakteri dan protozoa. Paling tinggi adalah infeksi
oleh Rotavirus yakni sebesar 18,2%, kemudian menyusul
ETEC 6,1%, Entamuba histolytica 2,4%, Salmonella 1,2%,
Shigella 2,4% dan Campylobacter 1,2%. Tidak ditemukan
adanya infeksi oleh Giardia lamblia ataupun Cryptosporidium.
Keterangan :
Di samping infeksi tunggal (single infection), didapatkan pula A = Membaik; B = Memburuk; C = Stabil
adanya infeksi ganda (double infection) sebesar 4,8% pada
kasus-kasus diare persisten dan 5,6% pada kasus-kasus diare 22,2% diare yang terjadi berangsur membaik, 25,9% memburuk
berlanjut. Adapun infeksi ganda yang dimaksud adalah infeksi dan 51,9% dalam keadaan stabil (gambar 2).
Rotavirus + Salmonella, Rotavirus + ETEC, Rotavirus + Penampakan feses penderita diare persisten anak balita
Trichuris trichiura dan Salmonella + ETEC. bervariasi, yakni dari yang bersifat cair, lembek, berlendir ber-
Hasil pemeriksaan fisik klinik tertera dalam Gambar 1; busa atau berdarah (tabel 3).
tampak bahwa sebagian besar penderita tampak sakit ringan Uji resistensi bakteri penyebab diare persisten pada anak
(79,4%) dan hanya 11,8% yang termasuk dalam kategori sakit balita yang berhasil dideteksi terhadap beberapa jenis antibiotik
berat, sedangkan sisanya (8,8%) dalam kondisi normal. pilihan disajikan dalam tabel 4 s/d 7. Tabel 4 dan 5 memberikan
Perkembangan penyakit setelah diare yang terjadi ber- informasi tentang hasil uji kuman Salmonella, sedangkan tabel
langsung selama 14 hari/lebih menunjukkan bahwa sebesar 6 dan 7 adalah hasil uji terhadap kuman E. coli. Tidak dilakukan

54 Cermin Dunia Kedokteran No. 85, 1993


Tabel 3. Karakteristik feses penderita diare persisten pada anak balita Kanamisin, Sulfametoxazol-Trimetoprim,Khloramphenikoldan
yang berobat ke beberapa rumah sakit di Jakarta
Tetrasiklin.
Jumlah spesimen Dalam tabel 4 tampak bahwa terhadap Kanamisin dan
Karakteristik feses
(%) Sulfametoxazol-Trimetoprim, Salmonella masih menunjukkan
1. Cair 25,9 tingkat resistensi yang rendah yaitu sebesar 28,5%. Terhadap
2. Cair + berbusa 7,4 antibiotik yang lain tingkat resistensinya cukup tinggi yaitu
3. Cair + berlendir 11,1
4. Cair + berlendir + berbusa 18,5
42,8% terhadap Khloramphenikol, 71,4% terhadap Tetrasiklin
5. Cair + berlendir + berdarah 11,1 dart Streptomisin, 57,1% terhadap Ampisilin. Tingkat multi-
6. Lembek + berlendir 14,8 resisten yang terjadi pada kuman Salmonella terhadap berbagai
7. Lembek + berlendir + berbusa 3,7 jenis antibiotik terlukis dalam tabel 5; terdapat 1 strain Salmo-
8. Lembek + berlendir + berdarah 3,7
nella yang multiresisten 6 antibiotik.
Gambar 2. Keadaan umum anak balita penderita diare persisten yang Tabel 5. Tingkat multi resisten isolat Salmonella penyebab diare khronik
berobat ke beberapa rumah sakit di Jakarta, tahun 1991-1992. pada anak balita terhadap 6 jenis antiblotik yang diujikan
secara in-vitro dengan metode Disk Diffusion (n = 7)
Jumlah isolat
Antibiotik
resisten
1. Am, S, Te , 1
2. Am, S, SxT 1
3. Am, S, C, Te 1
4. S, K, C, Te 1
5. Am, S, K, SxT, C, Te 1

Tabe1 6 memberi petunjuk bahwa pada pengujian kuman E.


coli terhadap 6 jenis antibiotik,ternyata hanya terhadap Kanamisin
saja kuman E. coli masih menunjukkan tingkat resistensi yang
rendah, sedangkan terhadap 5 jenis antibiotik lain yang
diujikan sudah menunjukkan tingkat resistensi yang tinggi.

Tabel 6. Bola resistensi E. coli yang berasal dari penderita diare khronik
pada anak balita terhadap beberapa jenis antibiotik dengan
metode Disk Diffusion (n = 41)

Resisten (R)
Antibiotik
Jml %
1. Ampisilin 29 70,7
2. Streptomisin 25 60,9
3. Kanamisin 8 19,5
4. Sulfametaxazol-Trimetoprim 18 43,9
5. Khloramphenikol 19 46,3
Keterangan: 6. Tetrasiklin 28 68,2
A = Normal; B = Tampak sakit berat; C = Tampak sakit ringan
Tabel 7. Tingkat multi resisten isolat E. coli yang berasal dart penderita
Tabel 4. Bola resistensi Salmonella penyebab diare khronik pada anak diare khronik anak balita terhadap 6 jenis antibiotik secara in-
balita terhadap beberapa jenis antibiotik pilihan dengan vitro dengan metoda Disk Diffusion (n = 41)
metode Disk Diffusion (n = 7)
Jumlah isolat
Antibiotik
Resisten (R) resisten
Antiblotik
Jml % 1. Am,C,Te 1
2. Am, S, Te 2
1. Ampisilin 4 57,2 3. Am, S, SxT 1
2. Streptomisin 5 71,4 4. Am, Te, SxT 1
3. Kanamisin 2 28,5 5. S, Te, SxT 1
4. Sulfametoxazol-Trimetoprim 2 28,5 6. Am, S, Te, C 5
5. Khloramphenikol 3 42,8 7. Am, S, Te, SxT 3
6. Tetrasiklin 5 71,4 8. Am, S, C, Te, SxT 6
9. Am, S, Te, C, K, SxT 7
Keterangan : n = Jumlah isolat Salmonella yang diuji
Keterangan : K = Kanamisin
Am = Ampisilin Te = Telrasiklin
uji resistensi terhadap Campylobacter, Rotavirus dan Protozoa. C = Khloramphenikol SxT = Sulfametoxazol-TrimetopriN
Enam jenis antibiotik penguji adalah Ampisilin, Streptomisin, S = Streptomisin n = JUnlah isolat yang diuji

Cermin Dunia Kedokteran No. 85, 1993 55


PEMBAHASAN tidak dilakukan. Di sini terlihat bahwa 7 isolat (17,1%) di
Ditinjau dari faktor umur, jumlah penderita diare persisten antaranya bersifat multiresisten terhadap semua antibiotik yang
paling banyak dari kelompok umur 1 tahun ke bawah. Bila diujikan.
dilihat dari faktor etiologinya ternyata Rotavirus merupakan Infeksi Entamuba histolytica pada diare persisten adalah
patogen yang paling banyak ditemukan (21,6%). Pada berbagai sebesar 2,4%. Hasil pemeriksaan fisik menunjukkan bahwa
penelitian yang telah dilakukan terhadap penderita diare akut, penderita infcksi Entamuba histolytica tampak sakit ringan dan
rotavirus memang merupakan infektor utama terutama pada penyakit yang dialami dalam keadaan stabil. Karakteristik feses
penderita diare akut dari umur 5–12 bulano). Dengan demikian terlihat bersifat cair, berlendir dan berdarah. Timbulnya diare
dapatlah dikemukakan bahwa Rotavirus merupakan patogen yang ditandai oleh feses bersifat cair dan berdarah ini adalah
penyebab utama baik pada diare akut maupun diare persisten akibat patogenitas E. histolytica yang menyerang bagian
teristimewa pada kelompok umur di bawah 1 tahun (batuta). mukosa usus besar yang menyebabkan kerusakan sehingga
Kondisi umum penderita diare persisten yang disebabkan menimbulkan rangsangan neurohumoral yang mengakibatkan
oleh infeksi Rotavirus, sebagian besar (83%) tampak sakit ri- intestin mengeluarkan sekretnya dan timbul diare dengan
ngan; oleh karena itu pengobatan yang dilakukan di rumah spesifikasi feses seperti tersebut di atas.
sakit lebih banyak bersifat rawat jalan. Kemudian bila dilihat Infeksi Shigella hanya sebesar 2,4%. Keadaan umum pen-
dari perkembangan penyakitnya, diare yang dialami oleh derita akibat infeksi Shigella setelah diare berlangsung 14 hari
sebagian besar penderita akibat infeksi Rotavirus berada dalam tampak sakit ringan, tetapi diare yang terjadi dalam keadaan
keadaan stabil dalam anti tidak membaik ataupun memburuk. memburuk, dengan status gizi kurang. Seperti halnya pada E.
Karakteristik feses tampak bersifat cair, berlendir dan berbusa. histolytica, karakteristik feses pada penderita diare persisten
Pada diare persisten akibat infeksi Rotavirus yang tampak sakit karena infeksi Shigella bersifat cair, berlendir dan berdarah. Hal
berat tercatat adanya komplikasi dengan malabsorpsi lemak, ini disebabkan karena Shigella bersifat invasif, yakni menyerang
dengan status gizi penderita termasuk dalam kategori buruk. sel-sel epitel usus besar sehingga menyebabkan kerusakan sel
Diane persisten yang disebabkan oleh infeksi Salmonella usus dan terjadi perdarahan. Uji resistensi terhadap beberapa
dalam penelitian ini tercatat sebesar 3 responden (3,6%) terma- jenis antibiotik menunjukkan adanya tingkat resistensi yang
suk infeksi tunggal dan infeksi ganda. Infeksi ganda yang di- tinggi pada antibiotik ampisilin, khloramphenikol, streptomisin,
maksud adalah infeksi Salmonella + Rotavirus dan Salmonella tetrasiklin dan kanamisin. Hanya terhadap sulfametoxazol-tri-
+ ETEC. Pada beberapa pasien diare persisten yang terinfeksi metoprim masih menunjukkan tingkat resistensi yang rendah
ganda tersebut keadaan umum fisik penderita tampak sakit (data tidak ditampilkan).
berat, karakteristik feses bersifat cair + berlendir. Secara Campylobacter ditemukan pada 1,9% kasus diare berlanjut
mikrokopis ditemukan leukosit dan lemak yang melimpah, (7 hari), sedangkan pada kasus diare persisten dalam penelitian
terutama pada infeksi ganda Rotavirus + Salmonella. ini tidak ditemukan; hal ini bukan berarti tidak ada infeksi
Jenis Salmonella yang terdeteksi adalah Salmonella Group Campylobacter pada kasus diare persi~ten. Kuman Campylo-
B dan Salmonella Group C. Hasil uji resistensi terhadap bacter bersifat anaerob dan di luar tubuh hospes (manusia)
beberapa jenis antibiotik menunjulflcan terdapat beberapa lebih cepat mati dalam waktu sekitar 2 jam, sehingga deteksi
isolat Salmonella yang bersifat multi resisten terhadap berbagai kuman ini sulit. Hasil penelitian di luar negeri mencatat infeksi
jenis antibiotik, bahkan terdapat 1 isolat Salmonella yang Campylobacter pada diare persisten adalah 4,7%0).
multiresisten terhadap semua jenis antibiotik yang diujikan Vibrio cholera, Cryptosporidium dan Giardia lamblia
(tabel 5). Penderita diare persisten yang terinfeksi oleh tidak ditemukan dalam penelitian ini baik pada diare berlanjut
Salmonella yang telah resisten terhadap semua antibiotik yang (prolonged) maupun pada diare persisten.
diujikan tersebut telah berobat ke rumah sakit lebih dari 3 kali Karakteristik feses merupakan unsur penunjang yang
namun belum menunjukkan tanda-tanda sembuh; jadi sangat penting untuk membantu menegakkan diagnosis. Arasu
menetapnya diare ini diduga akibat dari infeksi kuman yang dick. (1979) menyebutkan bahwa klasifikasi diare kronik ber-
telah resisten terhadap berbagai jenis antibiotik. dasarkan karakteristik feses adalah meliputi: 1). Watery stools
Infeksi ETEC termasuk single infection dan double infection (= feses cair), 2). Fatty stools (= feses berlemak), 3). Bloody
tercatat sebesar 9 (8,6%). Penelitian di luar negeri (India, 1986) stools (= feses berdarah). Feses bersifat cair antara lain dapat
melaporkan bahwa infeksi ETEC pada diare persisten mencapai disebabkan oleh malnutrisi, alergi protein susu sapi, alergi pro-
9,3%, EPEC = 2,3%, EIEC = 0,0%, EHEC = 0,0%(3). Dalam tein kedele, defisiensi disakaridase, CSBS (Contaminated
survai ini identifikasi terhadap EPEC, EIEC dan EHEC tidak Small Bowel Syndrome), infeksi mikroorganisme dan lain-lain.
dilakukan. Konsistensi feses pada penderita diare persisten ka- Feses berlemak dapat disebabkan oleh hipoplasi pankreas,
rena infeksi ETEC adalah bersifat cair dan berlendir serta secara limfangiektasi usus, kolestasis/hepatitis neonatal. Feses
mikroskopis banyak ditemukan lemak. Dari 41 isolat E. coli yang berdarah antara lain disebabkan oleh infeksi mikroba, radang.
terdeteksi, semua isolat diuji resistensinya terhadap berbagai Dalam hal karakteristik feses yang disebabkan oleh infeksi
jenis antibiotik mengingatkemungkinan banyak terdapat EPEC, mikroba termasuk virus, bakteri dan parasit, terkesan adanya
EIEC' maupun EHEC karena dalam pemeriksaan ini memang kombinasi ketiga sifat feses tersebut di atas.

56 Cermin Dunia Kedokteran No. 85, 1993


KESIMPULAN DAN SARAN persisten dengan antibiotik atau obat-obatan, infeksi dan imuni-
1) Sebagian terbesar penderita diare persisten pada anak tas, faktor-faktor risiko terjadinya diare persisten.
balita adalah dari kelompok umur 1 tahun ke bawah (71,2%).
2) Etiologi diare persisten pada anak balita meliputi Rotavirus KEPUSTAKAAN
= 18,2%, kemudian menyusul berturut-turut ETEC = 6,1%, 1. Candy D. Diare persisten. Warta Diare 1990; IV(1): 1-3.
Salmonella = 1,2%, Shigella = 2,4%, Entamuba histolytica = 2. Budiarso A. Pendekatan diagnostik-etiologik diare kronik. Warta Diare
2,4% dan infeksi ganda antara Rotavirus + Salmonella, Rota- Oktober) 1988; II(5): 1–3.
virus + ETEC, Rotavirus + Trichuris trichiura serta Salmonella 3. Levine MM et al. Descriptive epidemiology of persistent diarrhoea among
young children in rural Northern India. Bull WHO 1989; 67(3): 281–8.
+ ETEC semuanya sebesar 5,8%. 4. WHO. Persistent Diarrhoea in Children in Developing Countries:
3) Beberapa jenis penyakit penyerta yang diketahui antara Memorandum from a WHO meeting. Bull WHO 1988; 66(6): 709-17.
lain adalah malnutrisi, malabsorpsi lemak, asidosis, 5. Oka Lely AA, Sunoto. Diare Persisten. Warta Diare 1990; IV(6): 4-7.
hiperbilirubin, ISPA, faringitis. 6. Sunoto. Penggunaan glukosa polimer, MGT dan protein hidrolisat pada
diare kronik. Maj Kes Mas Indon (Januari) 1988; XVII(4): 219-27.
4) Kuman-kuman penyebab diare persisten secara in-vitro 7. Firmansyah A. Beberapa aspek penting pemberantasan diare di
menunjukkan tingkat resistensi yang cukup tinggi dan beberapa Puskesmas. Maj Kes Mas Indon (Juli) 1990; XIX(4): 236-40.
isolat Salmonella E. coli bersifat multiresisten terhadap anti- 8. WHO/CDD/83.3, REV. 1 (1987). Manual for Laboratory Investigation of
biotik ampisilin, kanamisin, khloramphenikol, streptomisin, Acute Enteric Infection.
9. Suharyono, Iskak Koiman. Penelitian penyebab mikrobiologi (Rotavirus +
tetrasiklin dan sulfametoxazol-trimetoprim. Enterobakteri) penyakit diare akut di klinik (1974–1982). Proc Pertemuan
5) Masih diperlukan penelitian epidemiologi diare persisten di Ilmiah Penelitian Penyakit Diare di Indonesia, Jakarta, 21–23 Oktober
masyarakat untuk dapat memberikan informasi hubungan diare 1982. Hal. 199-211.

Cermin Dunia Kedokteran No. 85, 1993 57


Aspek Sosial Budaya
dalam Pemberantasan
Penyakit Demam Berdarah di
Kot a Madya Pontianak, Kalimantan Barat
Kasnodihardjo
Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
Departemen Kesehatan RI, Jakarta

PENDAHULUAN Pengembangan design tempat penampungan air hujan yang


Demam berdarah adalah suatu penyakit menular yang di- mosquito proof untuk mencegah demam berdarah dengue di
tandai demam mendadak, perdarahan baik di kulit maupun Kotamadya Pontianak, Kalimantan Barat tahun 1988.
bagian tubuh lainnya, serta dapat menimbulkan shock (renjatan)
dan kematian(1). Penyakit ini terutama menyerang anak-anak BAHAN DAN CARA
termasuk bayi dan angka kematiannya tergolong tinggi. Dalam studi ini data dikumpulkan melalui wawancara
Penyebab penyakit demam berdarah adalah virus Dengue menggunakan daftar pertanyaan. Wawancara dilakukan dengan
yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti atau cara mengunjungi rumah responden. Sebagai responden adalah
Aedes albopictus. Penyakit ini biasanya berjangkit di daerah kepala keluarga (KK) yang diasumsikan mengetahui kebiasaan
perkotaan. anggota keluarganya dan dapat memberikan penjelasan atau
Di Kotamadya Pontianak, penyakit demam berdarah per- menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepadanya.
tama kali ditemukan pada tahun 1977 yang menyerang 230 Jumlah sampel 340 orang, berasal dari 4 daerah strata, yaitu :
orang, 21 (9,1%) di antaranya meninggal. Pada tahun-tahun 1) Strata I merupakan daerah pemukiman yang sebagian
berikutnya hingga tahun 1983 jumlah kasus maupun kematian besar rumah dan pekarangan berukuran relatif kecil. Strata ini
cenderung menurun. Namun pada tahun 1985 terjadi letusan diwakili oleh Kelurahan Benua Melayu, Kecamatan Pontianak
dengan jumlah kasus mencapai 160 penderita, 19 (11,8%) di Selatan. Dari kelurahan ini secara proporsional jumlah respon-
antaranya meninggal. Selanjutnya pada tahun 1986 ditemukan den 34% dari sampel atau 117 orang.
kasus sebanyak 520 penderita, 46 (8,8%) di antaranya me- 2) Strata II merupalcan daerah pemukiman yang sebagian
ninggal. Kemudian pada tahun 1987 ditemukan kasus sebanyak besar rumah dan pekarangan berukuran relatif sedang. Strata
112 penderita, 5 (4,1%) di antaranya meninggal (Laporan ini diwakili oleh Kelurahan Bangka Belitung, Kecamatan
Ditjen PPM & PLP, Depkes RI). Pontianak Selatan. Dari kelurahan ini secara proporsional
Pada hakekatnya penularan dan pemberantasan penyakit jumlah responden 33% dari sampel atau 109 orang.
demam berdarah tidak terlepas dari aspek sosial budaya dari 3) Strata III merupakan daerah pemukiman yang sebagian
masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena itu tulisan ini besar rumah dan pekarangan berukuran relatif besar. Strata ini
membahas masalah sosial budaya dalam kaitannya dengan diwakili oleh Kelurahan Sie Bangkong, Kecamatan Pontianak
upaya pemberantasan penyakit demam berdarah di Kotamadya Bazar.. Dan kelurahan ini secara proporsional jumlah respon-
Pontianak, Kalimantan Barat. Masalah dari aspek tersebut ter- den 22% dari sampel atau 75 orang.
utama menyangkut sikap dan perilaku/kebiasaan masyarakat 4) Strata IV merupakan daerah pertokoan dan pasaz. Strata
yang erat kaitannya dengan penularan penyakit demam berdarah; ini diwakili oleh Kelurahan Benua Melayu Darat, Kecamatan
dengan perkataan lain sikap dan perilaku/kebiasaan masyarakat Pontianak Selatan. Dan kelurahan ini secara proporsional
yang kurang menunjang upaya pemberantasan penyakit demam jumlah responden 11% dari sampel atau 39 orang.
berdarah. Tulisan ini merupakan bagian dari hasil studi tentang Besarnya persentase (proporsi) tiap strata didasarkan pada

58 Cermin Dunia Kedokteran No. 85, 1993


perhitungan dengan rumus sebagai berikut : sebagian besar responden (penduduk) kurang sempurna. Arti-
nya, meskipun sarana tersebut sudah ditutup atau dalam keada-
Jumlah KK tiap stratax an tertutup, namun nyamuk masih bisa masuk dan selanjutnya
X 100%
Jumlah KK seluruh daerah sampel berkembang biak di dalamnya. Hal ini terbukti dengan banyak
ditemukan jentik nyamuk di dalam sarana penampungan air yang
HASIL DAN PEMBAHASAN dimiliki penduduk, balk di daerah pemukiman maupun tempat-
Jumlah responden yang berhasil diwawancarai 340 orang. tempat umum.
Jumlah ini diharapkan dapat mewakili dan memberikan gam-
baran mengenai aspek sosial budaya masyarakat Kotamadya Tabel 2. Kebiasaan menutup sarana penampungan air
Pontianak, terutama mengenai sikap dan perilaku/kebiasaan No. Kebiasaan menutup Jumlah %
yang ada kaftan dengan upaya pemberantasan penyakit demam
1 Tidak pemah – –
berdarah. 2 Tidak selalu 48 14,0
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 7,3% dari se- 3 Selalu 292 86,0
luruh responden biasanya membersihkan sarana penampungan
Jumlah 340 100,0
air hanya seminggu sekali. Sedangkan 29,8% biasa membersih-
kan sarana penampungan air 2 minggu sekali dan 62,9% biasa
membersihkan sarana tersebut lebih dari 2 minggu sekali Hasil survai tentang tempat-tempat perindukan nyamuk
(tabel 1). yang dilakukan Direktorat Jenderal PPM & PLP Depkes RI
pada tahun 1986 menunjukkan bahwa Aedes aegypti tersebar
Tabel 1. Kebiasaan (frekuensi) menguras/membersihkan sarana penam luas dengan densitas tinggi balk di daerah pemukiman maupun
pungan air tempat-tempat umum. Tempat umum yang dimaksud dalam
No. Frekuensi pengurasan Jumlah % kaitan ini adalah pasar, daerah pertokoan dan sejenisnya. Dan
1 1 minggu sekali 24 7,3 survai tersebut diketahui bahwa 1 dan 2 rumah penduduk ter-
2 2 minggu sekali 97 29,8 dapat jentik Aedes aegypti dengan Population Index (PI) = 58,9%
3 > 2 minggu sekali 205 62,9 dan Container Index (CI) = 32,9%; CI di tempat umum = 31,8%.
Jumlah 326 100,0 Berdasarkan pengamatan diketahui bahwa rata-rata setiap
rumah mempunyai 5 sarana penampungan air. Sarana penam-
Missing data = 14 pungan air hujan paling banyak mengandung jentikAedes
aegypti. Bentuk penampungan yang digunakan oleh penduduk
Gambaran di atas mengenai kebiasaan menguras/member- pada umumnya drum dan tempayan. Sedangkan di tempat
sihkan sarana penampungan air menunjukkan bahwa sebagian umum adalah bak yang dibuat dari semen. Dan 3 sarana
besar penduduk belum menunjang upaya pemberantasan pe- penampungan air yang menggunakan tutup, ditemukan satu
nyakit demam berdarah. Hal ini tentunya akan membantu ber- mengandung jentik Aedes aegypti (CI penampungan air yang
kembang biaknya nyamuk Aedes aegypti yang berperan me- menggunakan tutup = 32,7%).
nyebarluaskan virus dengue di dalam masyarakat.
Berkembangbiaknya nyamuk Aedes aegypti tidak hanya
karena frekuensi pengurasan sarana penampungan air relatif
kurang, akan tetapi juga disebabkan sarana tersebut tidak kedap
Untuk segala surat-surat, pergunakan alamat :
nyamuk. Keadaan demikian boleh jadi karena kondisi sarana Redaksi
penampungan air kurang sempurna, sehingga nyamuk mudah
masuk. Dengan demikian meskipun sarana penampungan air Majalah Cermin Dunia Kedokteran
selalu dalam keadaan tertutup, akan tetapi nyamuk masih tetap
bisa masuk dan berkembang biak di dalam sarana tersebut. P.O. Box 3105, Jakarta 10002
Nyamuk tidak akan mempunyai kesempatan untuk berkembang
biak jika saranapenampungan air sering dikuras/dibersihkan
dan kedap nyamuk. Kedap nyamuk artinya selalu dalam dan cantumkan
keadaan tertutup dan kondisinya sempuma yaitu tidak adacelah kodepos pada alamat lengkap anda
sedikitpun untuk jalan nyamuk.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar
responden (86,0%) selalu menutup sarana penampungan air.
Tabel 2 menggambarkan kebiasaan dalam menutup sarana
penampungan air.
Walaupun sebagian besar menyatakan selalu menutup
sarana penampungan air, namun menutupnya tidak selalu rapat.
Di samping itu, sarana penampungan air yang digunakan oleh

Cermin Dunia Kedokteran No. 85, 1993 59


Pada umumnya sarana penampungan air oleh penduduk penampungan air lebih dari 2 minggu sekali. Hal ini tentunya
masa penggunaannya relatif cukup lama. Rata-rata digunakan menunjang berkembang biaknya nyamuk Aedes aegypti yang
lebih dari 3 tahun. Berdasarrkan hasil pengamatan dapat dikata- berperan menularkan penyakit demam berdarah. Kurangnya
kan bahwa pada umumnya sarana penampungan air kondisinya frekuensi pengurasan tempat penampungan air memberi ke-
sudah tidak sempurna. Hasil wawancara menunjukkan bahwa sempatan nyamuk jenis Aedes aegypti berkembang biak di
sekitar 40% responden menyatakan ingin mengganti sarana dalam sarana tersebut.
penampungan air yang mereka miliki/gunakan. Kelompok Di samping frekuensi pengurasan kurang, pada umumnya
responden ini menginginkan suatu contoh sarana penampungan sarana penampungan air yang dimiliki oleh penduduk kondisi-
air yang tidak mudah bocor dan kedap nyamuk. nya tidak memenuhi syarat kesehatan, karena sudah tidak sem-
Adanya keinginan tersebut menunjukkan sikap yang positip purna lagi. Meskipun sarana penampungan air dilengkapi
terutama terhadap upaya pemberantasan penyakit demam ber- dengan tutup dan selalu dalam keadaan tertutup, kenyataannya
darah. Dengan sikap positip tersebut, diharapkan tumbuhnya nyamuk masih dapat masuk dan berkembang biak di dalamnya.
peran serta mereka dalam upaya pemberantasan penyakit demam Hal ini memungkinkan penularan penyakit demam berdarah
berdarah, karena secara potensial kecenderungan bertindak/ akan terus berlangsung di dalam masyarakat.
berperilaku dui seseorang terkandung dalam sikapnya.

KESIMPULAN
Dan apa yang telah diuraikan maka dapat disimpulkan KEPUSTAKAAN
bahwa di Kotamadya Pontianak, Kalimantan Barat sebagian
besarpenduduknya masih melakukan kebiasaan-kebiasaan yang 1. Suroso T. Demam Berdarah Pencegahan dan Pemberantasannya di Indo-
nesia, Maj. Kes. Mas. Indon. 1984; 15(4).
kurang positif dalam kaitannya dengan upaya pemberantasan 2. Departemen Kesehatan RI, Ditjen PPM & PLP, Survai Tempat Perindukan
penyakit demam berdarah. Relatif masih banyak di antara pen- Aedes aegypti dan Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Masyarakat terhadap
duduk melakukan kebiasaan menguras/membersihkan sarana Demam Berdarah dan Pencegahannya di Kodya Pontianak, 1986.

60 Cermin Dunia Kedokteran No. 85, 1993


Pengalaman Praktek

Tablet Multi Colour


Ini kisah terjadi pada saat saya baru beberapa hari tiba di lokasi. Suatu sore lepas
magrib ketika sedang asyik duduk santai di teras rumah jabatan, sembari mendengarkan
siaran radio transistor kecil, datang 2 orang mendekat dengan langkah ragu. Ternyata Pak
guru SD yang sudah saya kenal mengantar seorang bapak yang katanya sakit dan minta
disuntik. Setelah anamnesis, bapak ini seorang nelayan suku Bajo di seberang pulau,
menderita kencing berwarna kemerahan (hematuri. Dia pernah terjatuh dari perahunya
4 hati lalu; karena mengira bersalah (kualat) terhadap larangan setempat dia berobat ke
dukun kampung, tapi belum ada perbaikan.
Akibat datang di luar jam kerja, petugas obat/gudang tidak bisa dihubungi karena
rumahnya jauh dan suasana sekitar gelap, maklum belum kena proyek listrik masuk desa.
Apa akal ?? . . . setelah saya suntik analgesik, segera bongkar koper dan mulai kumpulkan
obat sample yang mengandung campuran trimetoprim dengan sulphametoxazole untuk
orang dewasa. Setelah terkumpul untuk diminum/dosis 5 hari dengan aneka bentuk dan
berwarna-warni, dimasukkan ke dalam kantongan, saya serahkan kepada pasien disertai
penjelasan cara minumnya, juga keterangan bahwa ini obat khusus dan hanya diberikan
kepadanya agar tidak bosan minum obat dan kelupaan, serta tidak perlu dibayar.
Seminggu kemudian ketika hari pasar, pak nelayan ini muncul, saya melihatnya
penuh tanda tanya . . . . ? setibanya di hadapan saya, dia mengucap syukur karena sudah
sembuh. Lalu pak nelayan ini memberikan seikat cumi-cumi kering yang ditentengnya
sebagai tanda terima kasih karena obat beraneka warna tersebut. Sehingga sampai saat
bila saya ber'puskesmas keliling' di desanya, pasti akan dijemput bak seorang teman
lama dan diberi oleh-oleh seperti ikan asin tangkapannya atau kerang laut penambah
koleksi di puskesmas.

Dr. Aryawan Wichaksana


Puskesmas Ulunambo-Poso
Sulawesi Tengah

Cermin Dunia Kedokteran No. 85, 1993 61


ABSTRAK
PROFILAKSIS MALARIA VAKSIN DENGUE VIRUS apendisitis akut di sebuah rumah sakit
di Inggris. Ternyata dari 578 kasus
Efektivitas beberapa cara profilaksis Suatu uji klinik fase III untuk me- tersebut, 347 menderita apendisitis non
malaria telah diteliti di kalangan su- lawan 4 strain dengue virus – (vaksin komplikata, 73 kasus apendisitis de-
karelawan Peace Corps yang bertugas demam dengue) diharapkan akan se- ngan komplikasi, 14 kasus menderita
di Afrika. Cara profilaksis yang di- gera dimulai pada tahun 1993. Vaksin penyakit lain yang memerlukan pem-
gunakan oalah meflokuin sekali se- ini dikembangkan di Universitas bedahan; sisanya 144 kasus menjalani
minggu, meflokuin sekali dua minggu, Mahidol, Bangkok – Thailand dengan pembedahan yang sebenarnya tidak
klorokuin sekali seminggu atau klo- bantuan dana dari WHO, pemerintah perlu.
rokuin sekali seminggu plus proguanil Thailand, Italia, Australia dan Pembedahan yang tidak perlu terse-
setiap hari. Dosis yang dipakai ialah Rockefeller Foundation. but terutama terjadi atas kasus-kasus
200 mg. meflokuin, 300 mg. klorokuin Uji klinik fase I dan II sudah di- yang datang antara pk. 24.00 dan pk.
dan 200 mg. proguanil. lakukan pada 200 sukarelawan dewasa 06.00 (30/83 kasus – 36% ) dibanding-
Ternyata meflokuin sekali seminggu di Thailand yang menunjukkan bahwa kan dengan yang datang di luar waktu
94% lebih efektif daripada klorokuin vaksin ini aman dan imunogenik. Be- tersebut. Dan di antara kasus-kasus ter-
(95%CI:86–97%), 86% lebih efektif lum diketahui pasti apakah vaksin ini sebut,,presentase tertinggi terdapat
daripada klorokuin plus proguanil akan memberikan efekproteksi pada operasi yang dilakukan dalam 3
(95%CI:67–94%) dan 82% lebih terhadap demam dengue seumur hidup, jam setelah pasien diperiksa (18/39
efektif daripada meflokuin tiap dua namun antibodi terhadap dengue virus kasus - 46%).
minggu (95%CI:68–90%). masih dideteksi setelah 9 tahun. Uji Penelitian ini menunjukkan bahwa
Selama percobaan tidak di jumpai klinik fase III ini akan dilakukan pada para residen masih harus lebih hati-hati
efek samping yang serius. 15.000 anak berisiko tinggi terhadap dalam menentukan diagnosis, terutama
Lancet 1993; 341: 848-51 dengue virus. di saat-saat dini hari, saat yang paling
Brw Demam dengue merupakan penyakit rawan karena keinginan cepat istirahat,
yang disebabkan dengue virus yang rasa segan minta konsultasi atau ku-
PROGNOSIS SETELAH RESUSI- ditransmisikan melalui nyamuk dan rangnya pengawasan para senior.
TASI merupakan penyakit endemik di
banyak negara yang beriklim tropis BMJ 1993; 306:307
Hk
Meramalkan hasil resusitasi meru- dan subtropis. Insiden penyakit
pakan masalah yang pelik di dunia meningkat dengan cepat dan hampir
medik, selain juga di bidang etik. mencapai tingkat epidemi di PIRITINOL UNTUK DEMENSIA
Peneliti di Austria mencoba meng- kebanyakan negara Asia, Pasifik,
gunakan gelombang N70 pada Afrika dan Amerika selatan. Penyakit Penelitian multisenter dengan kon-
potensial cetusan (cortical evoked ini umumnya menyerang anak dan trol plasebo yang dilaksanakan di Aus-
potential) sebagai salah satu parameter. berakibat sampai fatal 20% kasus. tria menunjukkan bahwa piritinol 3 dd
Ternyata dari 17 pasien dengan ka- 200 mg. selama 12 minggu telah ter-
tegori CPC 1 dan CPC 2, N70 dideteksi Drug News (March) 1993; 2 (a) bukti bermanfaat pada kasus-kasus
V S O.
antara 74–116 milidetik, sedangkan pada demensia.
49 pasien yang lebih buruk (kategori Penelitian ini dilakukan atas 156 pas
CPC 4 dan CPC 5), N70 tidak ien demensia senilis dan evaluasinya
DIAGNOSIS APENDISITIS DI
terdeteksi pada 35 pasien dan dideteksi menggunakan Clinical Global Impres-
RUANG GAWAT-DARURAT
lambat antara 121–171 milidetikpada sion, Short Cognitive Ferformance Test
14 pasien lainnya (p < 0,05). dan Sandoz Clinical Assessment Geriat-
Diagnosis apendisitis akut terutama
Dari perhitungan selanjutnya dida- ric Scale. Selain itu pemakaian brain
berdasarkan gejala klinis dan peng-
patkan bahwa nilai cut-off adalah pada mapping juga memperlihatkan adanya
alaman untuk menafsirkannya.
118 milidetik. peningkatan kewaspadaan (vigilance).
Penelitian dilakukan atas catatan
Lancet 1993; 341: 855-8 medis 578 dari 587 pasien yang lnpharma 1993; 872: 16
Brw
menjalani operasi darurat atas indikasi Brw

62 Cermin Dunia Kedokteran No. 85, 1993


ABSTRAK
FIBRILASI ATRIUM PADA dapat anti-HCV dalam serum. ginjal; juga ditemukan adanya hu-
STROKE Sampai saat ini hepatitis C diobati bungan dengan kejadian penyakit sa-
Suatu studi di Inggris yang melibat- dengan recombinant interferon-alpha; luran napas, penyakit jantung pulmonal
kan 675 pasien stroke pertama me- telah banyak percobaan klinis dengan dan aneurisma aorta.
nunjukkan bahwa fibrilasi atrium dosis yang berlainan, hasilnya semua Kebiasaan merokok lebih dari 25
ditemukan pada 17% (95% CI: 14-20%) memuaskan; pemberian 1,2 dan 3 MU batang sehari meningkatkan kematian
pasien stroke semua jenis (115 dari 675 tiga kali seminggu selama 6 bulan telah akibat penyakit jantung iskemik dari
kasus), 18% (95% CI: 15-21%) pasien menormalkan kadar aminotransferase 553 per 100000 orang pertahun di ka-
infark serebral (97/545 kasus),11%(95% serum pada 27%, 35% dan 41,5% pasien, langan bukan perokok menjadi 999 per
CI: 4-11%) pasien perdarahan intra- dibandingkan dengan penurunan sebesar 100000 orang pertahun. Orang-orang
serebral(7/66 kasus)dan 0% pada pasien 2,6% pada kelompok kontrol. Sayang yang mulai merokok pada usia 35 tahun,
perdarahan subarakhnoid (0/33 kasus). sekali, sedikitnya separuhnya akan re- setengahnya telah meninggal dunia
Pasien infark serebralmempunyai30- laps bila pengobatan dihentikan; sampai sebelum usia 79 tahun, dibandingkan
day case fatality rate yang lebih besar saat ini belum diketahui manfaat pem- dengan sepertiga di kalangan perokok
bila juga menderita fibrilasi atrium berian ulangan. Penggunaan interferon- ringan dan hanya seperlima di kalangan
(23%) bila dibandingkan dengan yang alpha pada sirosis berat, penerima bukan perokok. Hanya 3 dari 200
tidak (8%); sebaliknya risiko stroke transplantasi organ, anak-anak dan perokok berat yang diharapkan mele-
berulang dalam 30 hari sebesar 1% pasien infeksi ekstrahepatik belum wati 90 tahun, dibandingkan dengan 9
pada pasien dengan fibrilasi atrium, jelas bermanfaat; ada laporan yang me- orang di kalangan perokok ringan dan
dibandingkan dengan 4% pada pasien nyatakan bahwa penggunaannya pada 30 orang di kalangan bukan perokok.
dengan ritme sinus. pasien terinfeksi HIV cukup aman.
Pada pasien-pasien yang hidup se- Ribavirin juga dilaporkan berman- BMJ 1993; 306:478-9
Hk
telah 30hari, risiko berulang rata-rata faat, meskipun efeknya lebih lambat
pertahun adalah sebesar 8,2% (5,9% – daripada interferon alfa, tetapi mempu-
10,9%) pada pasien dengan ritme sinus nyai keuntungan karena dapat diberikan
dan sebesar 11% (6,0 – 17,3%) pada per oral. HATI-HATI DENGAN SALEP
psein dengan fibrilasi atrium. Karena sampai saat ini terapi yang MATA
tepat masih dalam penelitian, cara-cara
BMJ 1992; 305: 1460-5 pencegahan juga perlu dipahami; risiko Telah dilaporkan satu kasus salah
Hk
transmisi seksual agaknya rendah bila pemberian obat salep mata pada bayi
dibandingkan dengan hepatiris B, lebih 18 bulan; ibunya keliru memberikan
HEPATITIS C rendah lagi bila menggunakan kondom; lem ke mata bayinya.
Adanya hepatitis C mtylai dideteksi partner dari pasien HIV positif berisiko Setelah 6 hari pengobatan konser-
sejak tahun 1989,sejak tahun 1989, lima kali lebih besar daripada populasi vatif tidak berhasil, kelopak mata bayi
pada saat penelitian atas Hepatitis non umum. tersebut dipisahkan melalui tindakan
A non B mulai gencar dilakukan. bedah dengan anestesi umum.
Meskipun sebagian besar hepatitis C BMJ 1993; 306:469-70 Kasus ini dilaporkan menyusul satu
kronis bersifat indolen, pengamatan Hk kejadian lain pada pria dewasa yang
menunjukkan bahwa sedikitnya se- salah memasukkan lem ke dalam
perlima akan menjadi sirosis dan MEROKOK DAN HARAPAN lubang hidungnya.
seperempat dapat berkembang menjadi HIDUP
gagal hati; hal ini menunjukkan bahwa Penelitian atas 35000 dokter di Ing- BMJ 1992; 305:1514
Hk
virus hepatitis C tidak sejinak seperti gris selama 40 tahun kembali menun-
yang diperkirakan semula; apalagi jukkan hubungan antara kebiasaan
penyakit ini juga dihubungkan dengan merokok dengan kematian prematur.
terjadinya karsinoma hati. Penelitian ini menunjukkan kaitan-
Penyakit ini dapat dideteksi melalui nya dengan kematian akibat kanker
pemeriksaan enzyme-immunoassay dan paru, laring, bibir, mulut, faring, eso-
beberapa cara lain untuk mengetahui fagus, pankreas, kandung kencing dan

Cermin Dunia Kedokteran No. 85, 1993 63


Ruang
Penyegar dan Penambah
Ilmu Kedokteran
Dapatkah saudara menjawab
pertanyaan-pertanyaan di bawah ini?
1. Yang tidak termasuk dalam sistim kekebalan alamiah : 6. Interferon tidak dapat diberikan secara :
a) Lisosom. a) Intravena.
b) Limfosit T. b) Intramuskular.
c) Interferon. c) Subkutan.
d) Fagosit. d) Oral.
e) Sel NK. e) Semua bisa.
2. Mekanisme imun yang pertama bereaksi atas masuknya 7. Hepatitis NANB pasca transfusi dikenal juga dengan
virus : nama :
a) Lisosom. a) Hepatitis C.
b) Limfosit T. b) Hepatitis D.
c) Interferon. c) Hepatitis E.
d) Fagosit. d) Hepatitis F.
e) Sel NK. e) Semua salah.
3. Limfosit T menghasilkan : 8. Keganasan daerah kolorektal paling sering terjadi di :
a) IFN leukosit. a) Rektum.
b) IFN limfoblastoid. b) Rektosigmoid.
c) IFN rekombinan. c) Sigmoid.
d) IFN beta. d) Kolon desendens.
e) IFN gamma. e) Kolon transversum.
4. Fibroblas menghasilkan : 9. Obat yang tidak digunakan pada edema paru kardiogenik
a) IFN leukosit. akut:
b) IFN limfoblastoid. a) Morfin.
c) IFN rekombinan. b) Furosemid.
d) IFN beta. c) Aminofilin.
e) IFN gamma. d) Digitalis.
5. Efek samping interferon yang mungkin ditemukan : e) Semua digunakan.
a) Demam. 10. Faktor presipitasi terjadinya edema paru kardiogenik akut :
b) Nausea. a) Infark miokard
c) Insomnia. b) Overhidrasi.
d) Hipotensi. c) Krisis tiroid.
e) Semua benar. d) Anemi.
e) Semua benar.

64 Cermin Dunia Kedokteran No. 85, 1993

You might also like