You are on page 1of 59

Kewirausahaan dari Perspektif Sosiologi

  

Seperti yang kita ketahui dalam artikel sebelumnya, peluang kewirausahaan


membutuhkan formulasi kerangka baru (Casson, 1982). Dalam artikel ini mari kita
mengajukan pertanyaan: kenapa seseorang dan bukan yang lain, dapat mengetahui
dan melihat adanya peluang? Rumus yang dapat kita ajukan adalah kepemilikan
orang tersebut akan informasi dan belief yang dapat mengantarkan seseorang untuk
berikir tentang ide-ide inovatif. Karena belief dan kepemilikan informasi tidak sama
antara satu orang dengan yang lain maka tidak setiap orang mampu mengenali setiap
peluang kewirausahaan yang tersedia (Shane, 2000). Penelitian telah menjelaskan
bahwa karakteristik psikologis dan non psikologis dari seseorang mempengaruhi
tendensinya untuk mengihat peluang kewirausahaan.

Secara umum, yang menyebabkan seseorang mampu melihat peluang usaha


dibandingkan yang tidak adalah pertama mereka memiliki akses yang lebih baik akan
informasi tentang keberadaan peluang. Kedua, mereka dapat mengenali peluang
lebih baik daripada yang lain, walaupun diberikan sejumlah informasi yang sama
tentang hal peluang. Biasanya, hanya orang yang memiliki kemampuan kognitif
superior yang memiliki kemampuan tersebut.

                                     

Akses informasi

Beberapa orang mampu mengenali peluang lebih baik karena mereka


memiliki informasi lebih dibandingkan orang lain (Hayek, 1945; Kirzner, 1973).
Informasi ini memungkinkan seseorang untuk mengetahui bahwa sebuah peluang
adalah sebuah anugerah ketika orang lain mengabaikan situasi tersebut. Informasi
pengalaman hidup yang spesifik, seperti pekerjaan atau kehidupan sehari-hari dapat
memberikan akses pada informasi dimana orang lain belum tentu mendapatkannya
(Venkataraman, 1997). Pengalaman hidup ini memberikan proses permulaan pada
informasi bahwa orang lain telah menggunakan sumberdaya secara tidak lengkap
atau tidak proporsional, seperti perubahan teknologi atau perkembangan peraturan
yang baru.

  

Pengalaman hidup

Aktivitas tertentu memberikan referensi pada pengatahuan yang dibutuhkan


untuk mengetahui peluang. Dalam faktanya, penelitian sebelumnya telah
menunjukkan kejadian dari dua aspek pengalaman hidup yang meningkatkan
probabilitas seseorang untuk mengetahui peluang yaitu pekerjaan dan pengalaman
yang berbeda.

Pekerjaan

Pekerjaan seseorang dapat mengantarkan seseorang untuk menemukan


peluang baru. Sebagai contoh, ahli kimia atau fisika lebih dulu dalam menemukan
teknologi dibandingkan ahli sejarah karena penelitian memberikan mereka akses
pada informasi tentang peluang dimana orang lain tidak mendapatkannya (Freeman,
1982). Diantara tipe-tipe pekerjaan yang menyediakan akses pada informasi, yang
paling signifikan adalah Research and Development (Klepper dan Sleeper, 2001).
Karena penelitian dan pengembangan menciptakan sebuah informasi baru yang
menyebabkan perubahan teknologi, sehingga menjadi sebuah sumber utama dari
peluang (Aldrich, 1999) maka orang yang bekerja dalam bidang penelitian dan
pengembangan akan lebih cepat mengetahui tentang adanya peluang dan
perkembangan teknologi dibandingkan orang lain.

Contoh yang paling dekat dengan kita adalah penemuan VCO oleh dosen
MIPA Kimia UGM, Bapak Bambang Prastowo. Beliau adalah seorang peneliti.
Beliau menemukan cara untuk mengambil minyak kelapa tanpa ada proses
pemanasan. Hasilnya, ternyata minyak tersebut memiliki khasiat yang banyak dan
lebih baik. Hasilnya penelitiannya beliau jual dan mendapatkan keuntungan banyak.

 
Variasi dalam pengalaman hidup

Variasi dalam pengalaman hidup menyediakan akses pada informasi yang


baru dan dapat membantu seseorang dalam menemukan peluang. Penemuan peluang
ini kadang seperti menyusun puzzle, karena sebuah kepingan informasi yang baru
kadang memiliki elemen yang hilang dan membutuhkan kecermatan bahwa peluang
baru telah hadir. Variasi dalam pengalaman menyebabkan seseorang akan menerima
informasi yang baru. Selanjutnya, dari hal tersebut individu dapat menemukan
kepingan peluang (Romanelli dan Schoonhoven, 2001) karena individu dengan
pengalaman hidup dan pekerjaan yang banyak akan memiliki akses dalam
pengalaman yang beranekaragam (Casson, 1995).

Delmar dan Davidsson (2000) telah membandingkan sampel secara acak dari
405 orang yang memiliki bisnis dengan sebuah kelompok kontrol yang juga dipilih
secara acak dan menemukan bahwa dalam proses memulai sebuah bisnis umumnya
mereka adalah orang yang sering berpindah-pindah kerja dibandingkan kelompok
kontrol.

Ikatan Sosial

Salah satu cara yang penting agar individu bisa mendapatkan akses informasi
tentang peluang kewirausahaan adalah melalui interaksi dengan orang lain atau
jejaring sosial mereka. Struktur dari jejaring sosial seseorang akan mempengaruhi
informasi apa yang mereka terima dan mengkategorikan informasi tersebut.

Ikatan yang kuat pada seseorang yang kita percayai sepenuhnya, juga sangat
menguntungkan dalam menemukan peluang. Dalam ikatan yang kuat, terdapat
kepercayaan sehingga individu dapat mempercayai sepenuhnya keakuratan informasi
yang datang dari orang tersebut. Kepercayaan dalam keakuratan informasi
merupakan hal yang penting untuk penemuan peluang karena wirausahawan
membutuhkan akses informasi, dan selanjutnya mensintesiskannya.
Beberapa penelitian mendukung pendapat ini bahwa ikatan sosial
meningkatkan kemungkinan seseorang dalam menemukan peluang kewirausahaan.
Sebagai contoh, Zimmer dan Aldrich (1987) mempelajari kelompok etnik yang
bekerja secara mandiri di tiga kota di Inggris dan menemukan bahwa kebanyakan
pemilik usaha mendapatkan informasi tentang peluang kewirausahaan melalui
channel mereka.

Sumber :

 http://avin.filsafat.ugm.ac.id
BELAJAR DARI INDIA DALAM

MENGEMBANGKAN
KEWIRAUSAHAAN

Oleh I Wayan Dipta

Pendahuluan  

Pada tanggal 19 s/d 23 April 2004 saya diberikan


kesempatan untuk mewakili Indonesia, cq     Kementerian Koperasi
dan UKM menghadiri “Workshop On Entrepreneurship
Development” di Entrepreneurship Development Institute Of India
di Ahmedabad. Enterpreneurship Development Institute (EDI) of
India didirikan pada tahun 1983 dan dikelola secara non-profit.
Sebanyak 21 orang yang hadir dalam workshop tersebut, yaitu
masing-masing 5 orang dari Laos PDR, 4 orang dari Cambodia, 4
orang dari Vietnam, dan 5 orang dari Myanmar, serta masing-
masing 1 orang dari Filipina, Singapura dan Indonesia. 

            Tujuan utama dari workshop adalah membangun kesadaran


dikalangan ASEAN tentang pentingnya pengembangan
kewirausahaan. Disamping belajar dari pengalaman India dalam
mengembangkan kewirausahaan, negara ASEAN – 6, yaitu Laos
PDR, Cambodia, Myanmar dan Vietnam diberikan kesempatan
untuk menyampaikan rencana pengembangan kewirausahaan di
negaranya masing-masing. 

            Selain presentasi dan diskusi dalam kelas, peserta workshop


juga diberikan kesempatan melakukan field visit ke National
Institute of Design (NID), Gujarat Council of Science City, Adalaj
Vav, Law Garden, National Bank for Agriculture and Rural
Development (NABARD), Grillankar Limited, dan Delta Electrical.

Kebijakan Yang Sistematik dan Integratif 

            Secara umum, India melakukan pendekatan secara


sistematik dan integratif dalam pengembangan kewirausahaan.
Pendekatan sistematik dilakukan melalui sistem kelembagaan 
mulai dari dibentuknya satu Kementerian Industri Kecil (Ministry
for Small Scale Industry), Small Industry Development Bank
(SIDBI), National Bank for Agriculture and Rural Development
(NABARD), Mutual Credit Guarantee Fund Corporation dan
berbagai lembaga pengembangan kewirausahaan seperti EDI serta
lembaga pendukung pengembangan industri kecil lainnya. 

            Kementerian Industri Kecil di tingkat pusat


mengkoordinasikan kebijakan dan program pengembangan usaha
kecil dan menengah di India. Secara kelembagaan, India yang
merupakan negara federal dengan 22 negara bagian dan 5 gabungan
teritori juga membentuk Kementerian Industri Kecil pada masing-
masing negara bagian. Dengan demikian, pengembangan usaha
kecil dan menengah dilakukan secara intergratif dan koordinatif. 

            Menyadari akan pentingnya pengembangan kewirausahaan


untuk meningkatkan daya saing UKM, maka pengembangan
kewirausahaan oleh berbagai lembaga kewirausahaan seperti EDI
juga dilakukan dengan pendekatan integratif. Di seluruh India
paling sedikit telah tumbuh 13 lembaga yang berkualitas seperti
EDI dalam mendukung kebijakan dan program pemerintah untuk
pengembangan kewirausahaan. Pengembangan kewirausahaan
secara integratif dilakukan dengan 2 premis dasar sebagai
pertimbangan, yaitu (1) memperhatikan 3 komponen  kunci untuk
proses pembangunan perusahaan, yakni : pengusaha, perusahaan,
dan lingkungan bisnis; dan (2) tahapan pengembangan
kewirausahaan dan keterkaitan intervensi.

Tahapan Pengembangan kewirausahaan dan keterkaitan


intervensi dapat digambarkan sebagai berikut :

Tingkat Pertumbuhan (Growth Stage)

Tingkat Survival (Survival Stage)

Tingkat Pemula (Start-Up)

Sosialisasi Awal (Early Socialization)

  
 

 Pada masing-masing tingkatan ini, program dan model


pengembangan kewirausahaan termasuk model intervensi dirancang
sedemikian rupa sesuai dengan kondisi dan kebutuhannya.

Dalam pengembangan kewirausahaan, beberapa komponen yang


diperhatikan adalah :

(1)  Mengidentifikasi, memilih dan memberikan dukungan kepada


pengusaha-pengusaha potensial untuk mengembangkan usaha
baru.

(2)  Memfasilitasi pertumbuhan pengusaha-pengusaha yang ada.

(3)  Memberikan kontribusi kearah pengembangan budaya


wirausaha.

(4)  Memfasilitasi terciptanya iklim usaha yang kondusif bagi UKM


pemula dan dalam pertumbuhan.

Secara umum, pemerintah India memberikan perhatian yang


cukup besar bagi pertumbuhan usaha mikro, kecil dan menengah.
Pada aspek perizinan, misalnya tidak seketat kepada usaha besar.
Kesempatan diberikan seluas-luasnya kepada setiap orang yang
tertarik mengembangkan usaha. Sistem perizinan satu atap
diberlakukan bagi usaha kecil dan menengah yang bergerak disektor
industri yang dipersyaratkan untuk memiliki izin karena berkaitan
dengan faktor kesehatan dan lingkungan. Disamping itu UKM juga
mendapat perkecualian dalam bidang perpajakan dan subsidi bunga
kredit perbankan yang secara umum lebih rendah 2 % dari tingkat
bunga pasar. Lingkungan bisnis yang kondusif dengan sosialisasi
yang intens untuk mendorong tumbuhnya pengusaha baru telah
mendorong semangat dikalangan generasi muda, khususnya yang
baru lulus dari sekolah lanjutan atas dan perguruan tinggi untuk
terjun menjadi pengusaha.

Sekilas tentang EDI 

Entrepreneurship Development Institute (EDI) yang terletak


di Ahmedabad, Gujarat merupakan lembaga kewirausahaan non-
profit (nirlaba) yang didirikan pada tahun 1983. Lembaga ini
didirikan oleh seorang pengusaha Gujarat yang sangat peduli akan
pentingnya penumbuhan jiwa kewirausahaan. Lembaga ini
didirikan dengan dukungan pihak pemerintah Gujarat dan lembaga
pendukung lainnya seperti Small Industry Development Bank of
India, National Bank for Agriculture and Rural Development, dan
berbagai lembaga pendukung pengembangan UKM di India.

            Dalam perjalanannya, EDI yang didukung kurang lebih 27


orang staf pengajar yang profesional menjalin berbagai kerjasama
dengan lembaga donor internasional dan nasional seperti ILO,
UNIDO, World Bank, dan ADB. Bersama UNIDO, EDI ikut
memfasilitasi pengembangan lembaga sejenis di banyak negara
seperti : Malawi, Bhutan, Nepal, Ghana, Malaysia, Uganda,
Bahrain, Saudi Arabia, Mozambique, dan pada tahun 2004 ini akan
membantu Laos PDR, Cambodia, Vietnam, dan Myanmar untuk
mengembangkan lembaga sejenis EDI di keempat negara anggota
ASEAN tersebut. 

Di India sendiri, EDI telah membantu tumbuhnya lembaga


sejenis EDI di 13 negara bagian. Kepada 13 lembaga EDI di
masing-masing negara bagian India, EDI memberikan dukungan
melalui Training of Trainers (TOT) dan peningkatan kapasitas
masing-masing lembaga tersebut termasuk dukungan tenaga ahli
dengan menempatkan satu orang tenaga pengajar sebagai anggota
dewan direksi. Disamping itu EDI juga ikut membantu dalam
pemupukan modal bagi ke – 13 lembaga di setiap negara bagian
tersebut dengan memberikan kesempatan penyelenggaraan program
pelatihan, berbagai studi, dan berbagai inisiasi jangka panjang yang
semestinya dilakukan sendiri oleh EDI. 

            Selama membantu negara berkembang lainnya, EDI


merasakan pengalaman yang sangat menarik di 3 negara dalam
penumbuhan lembaga sejenis EDI. Ketiga negara tersebut adalah di
Bahrain dalam pengembangan “Arab Regional Centre for
Entrepreneurship and Investment Training (ARCEIT)”, di
Mozambique dengan “Centro de Aconselhamento para
Desenvolvimento Industrial” dan di Jeddah, Saudi Arabia dengan
“Entrepreneurship Development Institute – Middle East (EDI-
ME)”. 

Keberhasilan EDI Ahmedabad dalam mengembangkan


kewirausahaan telah mendapat pengakuan bukan saja di dalam
negeri India, tetapi juga di berbagai negara berkembang. Di India
sendiri, peranan EDI dalam mengembangkan kewirausahaan untuk
menciptakan wirausaha baru telah mendapat pengakuan dari pihak
pemerintah, dunia usaha, dan pihak perbankan. Keberhasilan EDI
menumbuhkan wirausaha baru bukanlah diraih tanpa konsep. EDI
mengembangkan kewirausahaan dengan pendekatan yang integratif
sejak sebelum pelatihan (pre-training/preparatory phase), pada saat
pelatihan (training/skill development phase) dan setelah pelatihan
(post-training/support phase). 

Pada tahapan awal (pre-training), EDI terlebih dahulu harus


memahami faktor-faktor sosio-kultural, mengidentifikasi peluang
bisnis, menjalin hubungn dengan sistem pendukung, memasarkan
program, dan memilih pengusaha-pengusaha potensial. Upaya
seperti ini biasanya dilakukan antara 3 sampai 6 minggu. Pada
tahapan kedua (training), EDI memberikan perhatian pada masukan
informasi, identifikasi peluang bisnis, fasilitasi pada
penilaian/kajian pasar, pengembangan kompetensi kewirausahaan,
perumusan rancangan bisnis, masalah managerial, implementasi
masukan terkait dan masalah-masalah teknis. Upaya ini bisa
memakan waktu 4 sampai 12 minggu (3 bulan). Selanjutnya  pada
tahapan ketiga (post-training), EDI tetap memberikan bantuan pada
pemecahan masalah dan pengumpulan data tentang kinerja
pengusaha yang pernah dilatih. Tahapan terakhir ini bisa mencapai
6 minggu untuk dukungan yang bersifat terus-menerus setelah
pelatihan dan antara 4 sampai 6 bulan dukungan lanjutan.  

            Menyimak dari apa yang telah dilakukan oleh EDI dapat
dikatakan bahwa EDI tidak pernah henti memberikan dukungan
kepada pengusaha yang pernah dilatih. EDI memang telah
menunjukkan kinerjanya untuk membangun dan mengembangkan
UKM yang mampu berdaya saing baik di dalam dan luar negeri
India.

Peranan Pusat Desain

             Tidak kalah pentingnya dengan EDI, India juga sudah lama
merintis pengembangan desain. Sejak tahun 1961, India telah
mengembangkan The National Institute of Design (NID). NID ini
sangat dikenal secara internasional sebagai lembaga multidisiplin
dalam bidang pendidikan desain, penelitian terapan, pelatihan,
layanan konsultasi desain, dan berbagai program jangkauan yang
lain. Sejak didirikan telah memperoleh berbagai penghargaan
bertaraf nasional dan internasional. NID juga dikenal sebagai salah
satu lembaga perintis pendidikan desain industri setelah “Bauhaus
and Ulm” di Jerman dan diakui sebagai penghasil rancangan/desain
terbaik untuk membuat desain di India tetapi juga digunakan di
dunia. 

            Disamping itu, ada banyak lulusan dari NID telah berhasil
membuat desain terkenal untuk sektor perdagangan, industri dan
pengembangan sosial dengan mengambil peranan sebagai
katalis/penghubung dan melalui kepemimpinan yang tangguh. NID
juga sangat dikenal sebagai Lembaga Penelitian Industri dan Sains
oleh Departemen Sains dan Teknologi, India. 

            Peranan Pusat Desain (NID) ini mampu memberikan warna


terhadap berbagai produk dan jasa yang dihasilkan oleh India, baik
oleh industri kecil, menengah, maupun besar. Dalam kaitan dengan
pengembangan desain ini, NID memiliki visi dan misi sampai
dengan tahun 2020, yaitu mampu bersaing dengan negara-negara
maju di dunia seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Italia,
Jepang dan negara maju lainnya.

             Adapun tanggungjawab yang diemban oleh NID adalah


menawarkan pendidikan desain kelas dunia dan menyadarkan akan
pentingnya desain dan aplikasinya kearah peningkatan taraf hidup
dengan cara dan melalui :

Ø  Pendidikan kelas dunia untuk membuat desain professional


terbaik guna membantu kebutuhan berbagai desain di India,
dan melatih pelatih desain untuk lembaga desain lainnya.

Ø  Memperluas pengembangan desain profesional dan para guru


desain, melalui mekanisme kelembagaan yang sudah ada
dan baru;

Ø  Menjadi acuan pengetahuan desain, pengalaman dan


informasi produk, sistem, material, desain dan proses
produksi yang berkaitan dengan teknologi modern dan
tradisional.

Ø  Mendorong pemanfaatan/penggunaan desain produk dan


sistem setiap hari sesuai dengan  spirit kebersamaan sebagai
solusi desain asli;

Ø  Melaksanakan riset dasar dan terapan sejalan dengan


pemahaman dan perkembangan  pengguna;

Ø  Membantu para disainer dalam penetapan acuan standar


pendidikan desain dan praktek serta mendorong “berfikir
global dan bertindak lokal” atau “ thinking global and acting
local”.

Ø  Menawarkan layanan konsultasi desain terintegrasi


diberbagai bidang sebagai penugasan profesional, termasuk
layanan desain sesuai kebutuhan sektoral;

Ø  Menyediakan input desain dengan memanfaatkan desain


sebagai kekuatan integrasi diberbagai bidang seperti sains,
teknologi, manajemen dan lainnya untuk meningkatkan taraf
hidup melalui desain produk, layanan, proses dan sistem
yang baik;

Ø  Memanusiakan teknologi dan mengintegrasikan antara fisikal


dan virtual dan dunia digital melalui informasi yang lebih
baik dan desain interface dan aplikasi lain yang
multidimensi dengan menggerakkan kearah pembuatan
“kreasi”.

NID tumbuh menjadi pusat desain di India dengan


menerapkan motto “learning by doing” and “ learning by knowing”.
Dengan kedua motto ini, NID telah berperan besar dalam
menentukan arah desain bagi masa depan produk industri kecil dan
menengah India bekerjasama dengan berbagai lembaga terkait,
termasuk EDI. Disinilah, sekali lagi koordinasi dan keterkaitan
antar lembaga yang membangun sinergi bagi pembangunan masa
depan India.

Dari India untuk Indonesia 

            Sebagai sama-sama negara berkembang, barangkali India


ada banyak hal yang dapat ditiru dalam mengembangkan usaha
kecil dan menengah, khususnya kewirausahaan. Secara
kelembagaan, pengembangan UKM di India tampak lebih sistimatik
dan terintegratif. Mulai dari tingkat kementerian sampai dengan
lembaga pendukung lainnya seperti bank, penjaminan kredit,
inkubator, modal ventura, dan lembaga kewirausahaan terjadi
sinergitas yang sangat luar biasa. Entrepreneurship Development
Institute (EDI) di Ahmedabad yang nirlaba dikelola secara
professional dan mendapat pengakuan secara nasional dan
internasional diantaranya patut untuk ditiru dan diterapkan di
Indonesia. 

            Dimana kita bisa tiru dan kembangkan hal yang sama seperti
ini ? Indonesia secara kebetulan juga anggota G-15 seperti India.
Disamping itu, Indonesia juga ditunjuk dalam kerangka G-15
sebagai koordinator untuk pusat pengembangan UKM melalui CD-
SMEs (Center For Development of SMEs). CD-SMEs  selama ini
telah mengembangkan sekitar 18 SME-Center bekerjasama dengan
BRI dan SMEDI (Small and Medium Entrepreneurship
Development Institute) yang ditujukan kepada pengembangan
kewirausahaan. SME-Center sebagai sarana business networking
yang banyak didukung Bank Rakyat Indonesia dan juga diperkuat
hardware dan softwarenya oleh pemerintah Korea melalui KOICA
tampak sudah menunjukkan kinerja lebih baik. Sedangkan SMEDI
yang belum banyak mendapat dukungan, tampak kurang
berkembang. 

            Bagaimana caranya agar SMEDI ini tampak lebih bergairah


dan mendapat kepercayaan pelaku bisnis kecil dan menengah ? Ada
4 solusi yang harus ditempuh untuk memperkuat SMEDI. Pertama,
Dewan Pengurus SMEDI mungkin perlu ditambah dari unsur
perbankan, seperti Bank Mandiri, Bank Ekspor Indonesia,
Permodalan Nasional Madani, Bank BNI, Perum Sarana
Pengembangan Usaha, dan lembaga pendukung pengembangan
UKM lainnya. Para Dewan Pengurus ini haruslah memberikan
komitmen yang tinggi untuk mengembangkan SMEDI. Kedua,
Direktur SMEDI dan staf pengajarnya hendaknya orang-orang yang
professional dibidangnya dan mampu menciptakan pekerjaan yang
mendatangkan uang. Pekerjaan ini bisa bersumber dari proyek
pemerintah dan bantuan lembaga donor, seperti ADB, UNIDO,
JICA, ILO, USAID, World Bank, Swisscontact, GTZ, dan lainnya.
Di EDI-Ahmedabad setiap staf pengajar adalah pencipta uang
(create profit). Inilah mestinya dapat dikembangkan SMEDI.
Ketiga, sebagai langkah awal pemerintah dapat mendukung melalui
bantuan perkuatan untuk mengembangkan SMEDI sehingga
akhirnya mampu menjadi lembaga yang independent. Keempat,
pada tataran makro,  Bank Indonesia sebagai central Bank perlu
mengeluarkan Surat Edaran Gubernur BI untuk melakukan relaksasi
perbankan mengenai persyaratan penyaluran kredit. Persyaratan 5 C
(Character, Capability, Capacity, Capital, dan Collateral) kiranya
perlu direlaksasi, khususnya menyangkut collateral. Di India,
pemberian pinjaman kredit kepada UKM tidak mesti harus memiliki
jaminan asalkan usaha yang dijalankan layak (feasible).

            Dengan keempat solusi diatas, mudah-mudahan CD-SMEs


dengan SMEDI-nya mampu berkiprah lebih baik guna ikut
menumbuhkan wirausaha-wirausaha tangguh ke depan. Barangkali
upaya ini dapat memperkuat upaya penumbuhan wirausaha baru
sebanyak 20 juta orang sampai dengan tahun 2020.  

            Disamping keempat langkah diatas, barangkali ada baiknya


mengadakan lokakarya sehari dengan mengundang stakeholders
untuk memberikan apresiasi tentang pentingnya pengembangan
kewirausahaan di Indonesia.

   

Kewirausahaan Digalakkan di PTN-PTS

Jakarta, Kompas - Pendidikan kewirausahaan atau entrepreneurship akan semakin


digalakkan di perguruan tinggi negeri atau PTN dan perguruan tinggi swasta agar
lulusan perguruan tinggi mampu mandiri. Pada tahun 2009, pemerintah
mengalokasikan anggaran sekitar Rp 37 miliar untuk menjalankan pendidikan
kewirausahaan bagi mahasiswa.

 Hendarman, Direktur Kelembagaan Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan


Nasional di Jakarta, Senin (10/11), menjelaskan, pendidikan kewirausahaan di
perguruan tinggi ini diharapkan bisa menyiapkan mahasiswa untuk berani mandiri,
tidak lagi terfokus menjadi pencari kerja.

 ”Apalagi data pengangguran terdidik di Indonesia menunjukkan, semakin tinggi


pendidikan seseorang, semakin rendah kemandirian dan semangat
kewirausahaannya,” kata Hendarman.

 Data dari Badan Pusat Statistik soal jumlah penganggur menurut jenjang pendidikan
tinggi selama kurun 2004-2007 menunjukkan, pengangguran sarjana mencapai lebih
dari 50 persen jika dibandingkan dengan pengangguran lulusan diploma I/II dan
akademi/diploma III. Lebih dari 80 persen sarjana memilih bekerja sebagai buruh
atau karyawan, dan hanya sekitar 6 persen yang bekerja sendiri.

 Menurut Hendarman, sekitar 1.500 dosen dari PTN dan PTS akan menjalani
pendidikan kewirausahaan tahun depan. ”Para dosen ini perlu diperkaya wawasan dan
pengalamannya dalam bidang kewirausahaan karena mereka akan menjadi fasilitator
mahasiswa dalam menjalankan pendidikan kewirausahaan di kampus,” ujanya.

 Selain itu, pemerintah mengalokasikan dana untuk pendidikan kewirausahaan


masing-masing Rp 1 miliar untuk 12 kopertis dan masing-masing Rp 500 juta untuk
26 politeknik negeri. Adapun enam universitas yang masuk worldclass university,
seperti Universitas Gadjah Mada, Institut Teknologi Bandung, Universitas Indonesia,
Universitas Airlangga, Institut Pertanian Bogor, dan Universitas Diponegoro,
mendapat anggaran masing-masing Rp 2 miliar.

Antonius Tanan, Presiden Universitas Ciputra Entrepreneurship Center, mengatakan,


pendidikan kewirausahaan untuk mahasiswa harus sampai pada tahap mereka
mengalami sendiri. Oleh karena itu, pendidikan kewirausahaan ini perlu didampingi
dengan orang-orang yang berpengalaman sebagai wirausaha.

 
”Pendidikan kewirausahaan di kampus ini tidak lagi berhenti pada teori-teori, tetapi
harus tahu bagaimana cara menjalankan kewirausahaan, dan mengalami sendiri
menjadi wirausahawan,” kata Antonius.

Hendri Utama, alumnus Fakultas Hukum UGM, mengatakan bahwa pendidikan


kewirausahaan yang diikutinya di kampus setahun lalu memicu keberanian untuk
memulai usaha. Kini usahanya di bidang sportainment dan makanan berkembang
pesat. (ELN)

Sumber :

http://www.rumahilmuindonesia.net

Memulai Berwirausaha

Avin Fadilla Helmi

Pengantar

            Yang sering dikeluhkan oleh para mahasiswa ketika akan memulai
berwirausaha, harus memulai dari mana? Selain itu, sering kali mahasiswa bahkan
masyarakat umum, dijangkiti penyakit ‘jangan-jangan’ seperti ‘jangan-jangan saya
rugi’, ‘jangan-jangan tidak laku’ ketika akan memulai sebuah usaha. Selain itu,
muncul keraguan ‘waduh saingannya banyak’, bagaimana mungkin saya dapat
memenangkan persaingan?

            Berikut ini akan disajikan langkah-langkah dalam memulai sebuah usaha
berdasarkan kerangka teoritik modul kuliah 3,  4, 5,  7, dan 8.

Langkah-langkah memulai berwirausaha

1.         Mengenali peluang usaha

Dalam modul kuliah 3 mengenai peluang usaha dinyatakan bahwa peluang


sebenarnya ada di sekeliling kita, hanya saja ada beberapa individu yang mampu
melihat situasi sebagai peluang ada yang tidak. Hal ini disebabkan faktor informasi
yang dimilikinya Informasi memungkinkan seseorang mengetahui  bahwa peluang
ada sat orang lain tidak menghiraukan situasi tersebut. Akses terhadap informasi
dipengaruhi oleh pengalaman hidup dan hubungan sosial (Shane, 2003).

a.      Pengalaman hidup. Pengalaman hidup memberikan akses yang lebih


mengenai informasi dan pengetahun mengenai penemuan peluang. Dua aspek
dari pengalaman hidup yang meningkatkan kemungkinan seseorang menemukan
peluang yaitu fungsi kerja dan variasi kerja.

b.      Hubungan sosial. Sebuah langkah penting dimana seseorang mendapatkan


informasi dari interaksi dengan orang lain. Beberapa ahli menyarankan ketika
seorang takut berwirausaha secara sendirian, maka mengawali usaha secara
kelompok adalah alternative. Oleh karenanya, kualitas dan kuantitas dalam
interaksi sosial akan lebih memungkinkan individu akan membuat kelompok
dalam berwirausaha. Informasi yang penting ketika akan memulai usaha adalah
informasi mengenai lokasi, potensi pasar, sumber modal, pekerja, dan cara
pengorganisasiannya. Kombinasi antara jaringan yang luas dan kenekaragaman
latar belakang akan mempermudah mendapatkan informasi tersebut.

Beberapa sumber peluang usaha antara lain:


a.         Perubahan teknologi

b.         Perubahan kebijakan dan politik

c.         Perubahan sosial demografi

2.         Optimalisasi Potensi diri

Setelah mengenai peluang usaha maka harus dikombinasikan dengan potensi


diri. Keunggulan kompetitif apa yang saya miliki? Yang sering terjadi di masyarakat
kita adalah memilih usaha yang sedang trend saat itu. Hal ini sah-sah saja tetapi
ketika dalam proses perkembangan tidak membuat inovasi, maka akan sulit bersaing.
Counter HP di Yogyakarta merupakan bisnis yang menjamur dalam 3-4 tahun ini.
Jika mereka tidak mempunyai keunggulan kompetitif misalnya layanan purna jual,
harga yang bersaing, ataukah layanan secara umum baik, maka sulit akan
berkembang. Seseorang datang ke sebuah toko untuk membeli HP, sebagian besar
karena informasi yang telah didapatkan sebelumnya apakah dari mulut ke mulut
ataukah dari koran.

Hal ini sangat berbeda dengan ahli terapis untuk anak autis. Kenyataan
menunjukkan penderita autis  meningkat di masyarakat, sementara layanan atau
terapis autis belum terlalu banyak. Keahlian khusus yang ‘langka’ akan dicari orang
tanpa mempertimbangkan aspek lokasi usaha.

Usaha jasa berbasis pengetahuan (knowledge intensive service) merupakan


satu alternatif usaha yang memiliki keunggulan kompetitif. Biasanya mereka
mendirikan usaha misalnya konsultan keuangan, konsultan manajemen, konsultan
enjinering karena kemampuan pengetahuan yang dimilikinya. Oleh karenanya,
model usaha ini yang seharusnya dikembangkan dalam kewiarausahaan di Perguruan
Tinggi. Mahasiswa didorong untuk melakukan riset sesuai dengan bidang ilmunya
untuk memiliki pengetahuan baru dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.

            Selain potensi diri dalam arti pengetahuan yang kita miliki, maka masih perlu
mengoptimalkan aspek motivasi dan kepribadian. Dalam modul kuliah 5
kharakteristik kewirausahaan dari perspektif Psikologi maka dapat diperoleh
gambaran ada beberapa kaharakteristik yang mendorong kesuksesan usaha dan yang
tidak. Oleh karenanya, sejauh mana potensi psikologis anda mampu dioptimalkan
dalam memulai  sebuah usaha?

3.         Fokus dalam bidang usaha

Peter Drucker pakar dalam kewirausahaan menyatakan bahwa dalam dalam


memulai sebuah usaha atau inovasi dilakukan disarankan untuk terfokus –dimulai
dari yang kecil berdasarkan sumberdaya yang kita  miliki. Vidi catering di
Yogyakarta adalah salah satu contoh dimana pendirinya berlatar belakang sarjana
teknologi pertanian, jurusan pengolahan makanan. Memulai usaha rantangan untuk
anak kost karena tinggal di sekitar kampus, kemudian karena basic knowledge di
bidang pengolahan makanan, kemudian berkembang menjadi catering, hotel, dan
sekarang ini gedung pertemuan dan paket pernikahan (event organizer).

4.         Berani memulai.

Dunia kewirausahaan adalah dunia ketidakpastian sementara informasi yang


dimiliki oleh yang akan memulai usaha sedikit. Oleh karenanya, ‘sedikit agak gila’ 
(overconfidence) dan berani mengambil resiko adalah sangat perlu dilakukan.
Lakukan dulu. Jalan dulu. Jika ada kesulitan, baru dicari jelan keluarnya.
Sumber : 

Sumber Pustaka

Shane, S. 2003. A General Theory of Entrepreneurship.the Individual-


opportunity Nexus. USA: Edward Elgar

Kewirausahaan Mahasiswa mengubah Sampah


Menjadi Emas

Salah satu program strategis yang akan dikembangkan Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi mulai tahun 2008 ini adalah program kewirausahaan mahasiswa. Program ini
dimaksudkan untuk menjawab berbagai persoalan relevansi pendidikan tinggi yang
terjadi saat ini. Dikti juga melihat salah satu problem terberat juga adalah problem
ironi pendidikan Indonesia yang menunjukkan bahwa semakin lama seorang anak
bersekolah semakin tidak mandiri dia.
Opsi pengembangan kewirausahaan mahasiswa sebetulnya bukan tanpa preseden.
Beberapa kampus, institusi, dan pihak yang peduli akan urgensi kewirausahaan ini
sudah memulai bagaimana menjadikan kewirausahaan sebagai suatu budaya yang
menginternal pada setiap perguruan tinggi dan segenap civitas academika, terutama
mahasiswanya. Orientasi lulusan tidak lagi mencari kerja (job seeker), tapi
menciptakan lapangan kerja (job creator). Dalam konteks itulah, Dirjen Dikti, Dr.
Fasli Jalal pada Selasa (16/9) mengadakan pertemuan dengan Founder dan Chairman
Ciputra, Dr. Ir. Ciputra, model pengusaha yang sukses menapaki karirnya dari
wirausaha. Melalui University of Ciputra Enterpreneurshp centernya (UCEC) beliau
telah mengembangkan berbagai program pendidikan dan  pelatihan kewirausahaan,
seperti CROWN dan Trusty Worthy.

Dalam pertemuan yang dihadiri seluruh eselon II dan III lingkungan Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi itu, Bapak Ciputra memaparkan secara atraktif segala hal
yang terkait dengan kewirausahaan. Baginya sederhana, wirausahawan adalah
seseorang yang mampu mengubah sampah menjadi emas. Kompetensi kewirausahaan
ini baginya bukanlah ilmu magic yang tidak bisa dipelajari dan lembaga pendidikan
adalah tempat paling efektif untuk melakukan proses pembelajaran kewirausahan.

Menurut Ciputra ada tiga hal penting yang menjadi ciri pembeda seorang
wirausahawan yaitu pertama mampu menciptakan kesempatan (opportunity creator),
mampu menciptakan hal-hal atau ide-ide baru yang orisinil (innovator) dan berani
mengambil resiko dan mampu menghitungnya (calculated risk taker).

Segala kekayaan pengalaman yang dimiliki bapak Ciputra bagaimana menjadikan


mahasiswa seorang yang opportunity creator, innovator dan calculated risk taker,
akan dijadikan sebagai pengetahuan amat penting bagi Dikti untuk mengaplikasikan
program kewirausahan mahasiswa di perguruan tinggi yang ada di Indonesia. Semoga
lulusan perguruan tinggi kita adalah para inovator yang memiliki orientasi job creator
ketimbang job seeker.
Sumber :
By Irwandi
http://www.dikti.go.id

Menyadari dan Menghargai Kewirausahaan UKM

Oleh Bob Widyahartono MA


Jakarta (ANTARA News) - Kini makin perlu pelaku birokrasi Pemerintahan di pusat
sampai di daerah mereformasi sikap pandang mengenai Usaha Kecil dan Menengah
(UKM). Padahal, UKM kalau di banyak negara tetangga negeri ini diapresiasi secara
wajar. Sebut saja di Jepang, Korea Selatan, China, dan bahkan di negara tetangga
dekat layaknya Thailand, Malaysia, Vietnam dan Singapura.

UKM di negeri ini hendaknya oleh bank, terutama di daerah/desa, tidak dipandang
"sebelah mata, dinilai merepotkan dan kalau mau utang tidak bisa membawa
dokumen jaminan dan sebagainya". Apa tidak ada pendekatan yang berbeda dengan
segala formalitas, meskipun akhirnya ada sedikit formalitas dari kalangan birokrasi
dan perbankan terhadap kebanyakan UKM?

Secara konseptual, kewirausahaan meliputi kegiatan secara terarah atau urutan


keputusan yang dilakukan oleh orang perorangan atau suatu kelompok individu,
untuk memprakarsai, mengorganisasi atau meluaskan unit bisnisnya untuk
berproduksi, atau distribusi barang atau jasa yang dikategorikan ekonomis.

Jiwa kewirausahaan itu merupakan suatu aspirasi terhormat (noble aspiration) dan
lazimnya dimulai dari tekad, imajinasi dan informasi para pengambil prakarsan.
Dalam kenyataan terdapat suatu konsensus umum tentang proses kewirausahaan,
yakni: 1. persepsi peluang-peluang baru demi pencapaian laba, 2. memberdayakan
sumber daya bisnis dan penciptaan organisasi yang tepat guna (viable) untuk secara
kompeten dan kredibel menggarap peluang peluang itu, dan 3. tanggap terhadap
perubahan-perubahan dalam peluang-peluang tersebut.

Dalam setiap tahap tersebut, bagi kewirausahaan terbuka kemungkinan untuk


inovasi. Tentunya, harus senantiasa tanggap atas adanya peluang untuk inisiatif
berinovasi. Dalam motivasi yang dikenal sebagai motivasi berkarya dan berprestasi,
keberanian berisiko dengan menginvestasi yang memang ada dalam sifat dan sikap
pandang pelaku ekonomi UKM. Taruhan mereka adalah merugi atau mengkaji ulang
peluang baru secara sederhana dalam kondisi perubahan yang tidak menentu.

Motivasi berprestasi ini tidaklah merupakan bakat sejak lahir. Banyak dipengaruhi
oleh nilai-nilai sosio-kultural, kondisi lingkungan politis, geografis, infrastruktur,
serta ketersediaan Sumber Daya Manusia (SDM) yang mampu menghadirkan
sejumlah hal baru dilandasi pendidikan formal dan "co-curriculum" yang membuka
daya pikir di luar format menghafal dan "multiple choice" (pilihan berganda). Berani
berpikir lebih dari yang standar alias "thinking outside the box".

Setiap pelaku UKM walaupun tidak secara eksplisit dinyatakan "apa lagi yang
menjadi visi ke masa depan sambil memperbaiki mutu kerja dalam operasi yang
ada?" Dalam benak pelaku UKM sebagai wirausahawan masa depan, apa pun
motivasinya yang berkesinambungan dengan mengindahkan nilai nilai sosial,
menghasilkan uang atau profit yang beretika. Kehormatan termasuk pengakuan
lingkungan yang terhitung "stakeholders" karena kerja keras dan cerdas,
keingintahuan (curiosity) dan tanggungjawab sosial (social responsibility). Mereka
terhitung yang memiliki cita cita atau hasrat mencapai yang lebih bermutu (they aim
high and of values).

Secara lebih spesifik sekalipun tidak secara eksplisit terungkap, motivasi berprestasi
berarti membangun kepribadian berbisnis dengan tetap mematuhi aturan (rule of law
dan bukan law of the ruler) tanpa sejumlah hambatan buatan oknum yang tidak
bermoral.

Dalam masyarakat kita, pelaku UKM banyak yang masih milik tunggal (single
ownership). Bentuk formal, seperti PT (Perseroan Terbatas), CV (Commanditaire
Vennotschap) mereka terapkan sesuai dengan skala operasi dan tumbuhnya bisnis.
Kepemilikan tunggal tidak terlalu memperhatikan perlunya manajemen dan
keputusan baik prinsipiil termasuk administrasi berada di tangan pemilik. Bentuk
formal koperasi sesuai Undang Undang (UU) Koperasi perlu diketahui dan dalam
perkembangan operasi unit koperasi dipahami gerak langkahnya demi anggotanya.

Apa yang dikenal sebagai "owner cum manager" dalam UKM swasta masih eksis
dalam masyarakat di negeri ini secara umumnya. Artinya, fungsi bisnis yang terkait,
seperti produksi, marketing, administrasi (belum dipakainya sistem akuntansi),
pembelanjaan (financing) dan kepegawaian (belum dipakainya istilah sumber daya
manusia). Sekalipun demikian, mayoritas UKM itu harus diperlakukan secara
terhormat sebagai agen pembangunan.

Apa ada yang gagal atau mengecil atau alih usaha? Tentu ada dan serangkaian sebab
kegagalan itu bersumber pada kekakuan berpikir dalam arti ketidakterbukaan untuk
hal hal baru sementara pesaing melaju dengan menggergoti pangsa pasar (market
sgment).
Tujuan pisau analisis semacam ini adalah untuk menguraikan dan membuka
persepsi/sikap pandang dengan memahami fenomena fenomena yang eksis atau yang
akan berkembang. Suatu pemahaman bervariasi dalam pengalaman masa lalu, kini
dan ke masa depan tidak hanya di perkotaan tapi di pedesaan termasuk mutu sumber
daya bisnis: manusia, keuangan, pemasaran dan proses produksi langsdung di
palangan akan memberi visi (insght) karena heteroginitas masyarakat pelaku
ekonomi dalam masing-masing lingkungan, sekali pun dengan landasan berbangsa
dan bernegara Indonesia.

Kenyataan bahwa UKM, khususnya yang kecil itu dipersepsikan oleh banyak
ekonom kita sebagai "sederhana", tidak berarti bahwa mereka menolak kemajuan
berpikir dan boleh kurang mau maju. Modernisasi operasi yang bukan westernisasi
operasi dengan peningkatan mutu pengetahuan dan ketrampilan untuk menggapai
peluang baru bukan kemustahilan.

Oleh karena itu, fungsi birokrasi pemerintahan setempat yang terjun kelapangan
hendaknya tidak mencurigai dan mempersulit dan menghambat dengan segala
macam aturan. Tapi, justru tanpa menghambat, memotivasi untuk berprestasi secara
lebih baik dengan tanpa kenal lelah.

Sebelum mencuatkan konsep-konsep baru yang hanya birokrasi setempat memahami


seadanya (superficial knowledge and skill), hendaknya membenahi diri dengan
mendidik diri sesuai kebutuhan pelayanan pada masyarakat di lingkungan kerjanya.
Mutu infrasuktur di lingkungan kerja harus dipelihara secara konsisten sesuai misi
pelayanan yang sudah dianggarkan. Inilah pemahaman yang perlu kita sadari
semuanya, agar tidak terjebak dalam sikap pandang yang terlalu sempit.

*)Bob Widyahartono MA (bobwidya@cbn.net.id) adalah pengamat studi


ekonomi/bisnis pembangunan; Lektor Kepala Fakultas Ekonomu Universitas
Tarumanagara (FE Untar) Jakarta.

COPYRIGHT © 2007
Kewirausahaan Sosial Juga Punya Misi Pecahkan
Masalah Sosial

19 Maret 2009
Laporan oleh: Anton Sumantri

[Unpad.ac.id, 19/03] Kewirausahaan sosial tidak hanya memberi ikan atau cara
memancing ikan. Kewirausahaan sosial bahkan tidak akan berhenti meski akhirnya
terjadinya industri perikanan. Kewirausahaan sosial tidak hanya usaha mencari laba
semata-mata, namun juga mempunyai misi untuk menyelesaikan persoalan sosial.
Jadi, kewirausahaan sosial perlu dicermati untuk menumbuhkembangkan bangsa ini.
Narasumber meyakinkan pentingnya menumbuhkembangkan wirausaha sosial di
Indonesia (Foto: Dadan T.)

Demikian dikatakan Pembantu Rektor IV Unpad, Prof. Dr. Tb. Zulrizka Iskandar,
S.Psi., M.Sc., ketika memberikan sambutan pada Seminar Internasional
Kewirausahaan Sosial yang diselenggarakan Jurusan Kesejahteraan Sosial Fakultas
Ilmu Sosial Ilmu Politik (FISIP) Unpad di Bale Rumawat Padjadjaran Kampus
Unpad, Jl. Dipati Ukur 35 Bandung pada Kamis (19/03).

Acara yang mengambil tema Meningkatkan Semangat Kemandirian Bangsa ini


dihadiri oleh Pembantu Rektor Bidang Kerjasama, Prof. Dr. Tb. Zulrizka Iskandar,
S.Psi., M.Sc., Sekretaris Daerah Kota Bandung, Dr. H. Edi Siswadi, M.Si.,
perwakilan Warisan Global-Malaysia, Dhaksina Moorty dan Zulfikar M. Rachman,
Pembantu Dekan III FISIP Unpad, Dr. Soni A. Lukmanulhaqim, Drs. M.Si., Ketua
Jurusan Kesejahteraan Sosial, Drs. Budhi Wibhawa, M.S., perwakilan British
Council, Keith Davis, John Peppin dan Fajar Anugerah, serta sejumlah undangan dan
peserta.

Prof. Tb. Zulrizka mengatakan, Unpad kini mendorong mahasiswanya untuk tidak
hanya mencari pekerjaan, namun membuat lapangan kerja. Hal itu bisa terlihat dalam
beberapa usaha yang dilakukan Unpad. “Unpad mendidik para mahasiswanya
khususnya yang sedang dalam tingkat akhir untuk menjadi wirausahawan. Setelah
menjalani pendidikan dan pelatihan, mereka akan bisa membuat perencanaan bisnis
dan kemudian akan diberi modal secara bergulir sebagai stimulus”. Hal ini dilakukan
sebagai upaya menuju Unpad sebagai entrepreneur university.
Soni A. Lukmanulhaqim menambahkan, semangat membangun jiwa kewirausahaan
ini ditanggapi Jurusan Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
(FISIP) Unpad antara lain dengan adanya mata kuliah tentang kewirausahaan dan
mendorong mahasiswanya untuk menjadi wirausahawan sosial. Seminar
Internasional ini merupakan salah satu dari rangkaian acara Dies FISIP yang ke-50.

Sementara itu, Keith Davis mengatakan, Bandung diakui dunia sebagai kota kreatif
(creative city). Sedangkan Unpad sebagai institusi pendidikan yang memelopori dan
memberikan perhatian lebih terhadap kewirausahaan sosial dan kreativitas.

Sekda Kota Bandung, Edi Siswadi mengatakan, Indonesia merupakan negara yang
mempunyai potensi yang luar biasa. Namun kendala utama dalam pengelolaan
potensi tersebut ialah sumber daya manusia (SDM). Namun ia menambahkan,
sebenarnya SDM Indonesia jika dikelola dan diarahkan dengan baik maka akan
menghasilkan negara yang kuat. Hal ini tentunya didukung oleh pemerintah sebagai
regulator. Dengan membuat peraturan yang jelas, tegas dalam penegakannya dan
berpihak pada rakyat, niscaya Indonesia akan mengalami tahun-tahun keemasannya.
Sayangnya penduduk Indonesia tidak mendapatkan hal itu dengan maksimal. Bahkan
penduduk Indonesia cenderung konsumtif.

Sementara itu pembicara dari British Council, John Peppin mengatakan,


kewirausahaan sosial yang berkembang di Inggris memberikan perhatian dan solusi
pada permasalahan sosial dan sekaligus laba. Hingga saat ini terdapat sekitar 55.000
kewirausahaan sosial yang berkembang di Inggris. Menurutnya, orang-orang yang
berkecimpung di bidang ini haruslah ulet, teguh pada pendirian, berani menerima
tantangan dan resiko. Ia menambahkan, Indonesia sangat berpotensi terhadap tumbuh
kembangnya wirausaha sosial. Hal ini antara lain terlihat dengan penghargaan yang
diberikan kepada kota Bandung sebagai kota kreatif oleh British Council.

Seminar tersebut kemudian dilanjutkan dengan diskusi panel yang menghadirkan


Dhaksina Moorty dan Zulfikar M. Rachman dari Warisan Global-Malaysia, dan
Ketua Jurusan Kesejahteraan Sosial, Drs. Budhi Wibhawa, M.S., sebagai pembicara.
Setelah diskusi panel, peserta kemudian dibagi menjadi beberapa kelompok untuk
berdiskusi dengan pembicara dan praktisi wirausaha sosial.  (eh)*
Sumber :

http://www.unpad.ac.id

Kewirausahaan Bagi Mahasiswa dan Dukungan


Universitas

Wageningen University and Research Centre (WUR) di Belanda sangat


berambisi dalam mengembangkan bisnis di bidang Life Science and Agrotechnology
(mikrobiologi, industri makanan, minuman, proteksi lingkungan dan teknik
pertanian). Universitas ini mempunyai sejumlah lembaga riset dan juga mempunyai
lembaga permodalan (bekerjasama dengan pemerintah Belanda dan pemerintah
provinsi Gelderland) untuk membantu industri kecil  dan wirausahawan baru yang
ingin membangun bisnis baru berbasis Life Science dan Agrotechnology, dengan
atau tanpa memanfaatkan teknologi - teknologi WUR.

Sekarang banyak perusahaan terkait bidang ini tumbuh di sekitar WUR, dan
sampai saat ini boleh dibilang terbilang cukup sukses. Kompleks Food Valley cukup
berkembang. Mahasiswa di bidang Life Science maupun Agricultural Engineering
diarahkan untuk mengambil kuliah - kuliah bisnis (bahkan untuk Agricultural
Engineering kuliah Technology, Innovation and Strategy adalah kuliah wajib).
Dalam kuliah ini saya tergabung dalam kelompok yang mendapat tugas membangun
rencana bisnis dan pemasaran bagi sebuah perusahaan Jepang yang ingin
membangun bisnis teknologi membran di Uni Eropa. Tugas kelompok ini tugas
dunia nyata, bukan sekadar simulasi. Kelompok lain  mendapat tugas mengenai
rencana bisnis di sekitar Wageningen, seperti perusahaan - perusahaan di sekitar
Food Valley. Dengan mengerjakan tugas yang benar - benar nyata, tantangannya
serasa berbeda.

Untuk mendukung kuliah dan tugas, pembicara - pembicara di dunia usaha


diundang untuk sharing pengalaman. Seperti dijelaskan dalam postingan
sebelumnya, kemarin sore kami mendapat kuliah dari seorang broker. Hari ini kami
mendapat kuliah dari 3 pengusaha sekaligus. Mereka menceritakan kisah - kisah
sukses dan kisah - kisah pahit yang mereka alami. Dukungan modal di awal - awal
memang sangat krusial, karena bahkan di Belanda pun bank enggan mengucurkan
dana untuk bisnis - bisnis baru berbasis inovasi ini. WUR dan Pemerintah Belanda
membangun perusahaan khusus untuk pendanaan bisnis - bisnis ini. Akan tetapi
ketiga pengusaha tersebut bilang bahwa kuncinya adalah fokus, dan mencurahkan
perhatian kita pada bisnis yang kita bangun dan jangan patah semangat kalau banyak
hambatan menghadang. Sebelum tamat, mahasiswa diharapkan paling tidak punya
konsep bisnis dan rencana bisnis terkait dengan bidangnya.

Selain itu, kalau dia ingin bekerja pada orang lain sesudah tamat, WUR juga
mempersiapan kuliah simulasi bernilai 12 ECTS (setara 8 SKS di Indonesia) terdiri
dari Pelatihan Konsultasi Akademik (Academic Consultancy Training-/ACT 9
ECTS) dan Pengembangan Skill (3 ECTS, berupa modul - modul praktis seperti
pengembangan karir, komunikasi interkultural, perencanaan proyek dan sebagainya),
yang umumnya wajib bagi sebagian besar program Master di WUR. Pelatihan
konsultasi Akademik ini adalah berupa pengerjaan proyek dunia nyata oleh
mahasiswa, umumnya berupa pengembangan bisnis atau teknologi tertentu. Proyek
ini disediakan dan dicari oleh WUR. Pemberi proyek turut memberi nilai, begitu juga
teman - teman anda sekelompok turut memberi nilai kepada anda. Di sini, para
mahasiswa master bukan hanya bersimulasi menjadi konsultan, tetapi juga proyek
yang dikerjakan umumnya langsung dicari WUR dari industri. Kemampuan
berinteraksi dalam sebuah kelompok yang anggotanya berasal dari berbagai negara,
mengerjakan proyek sesuai target dan tenggat waktu dan mengelola anggaran proyek
langsung diasah. Hal ini ditopang dengan internship wajib (24 ECTS atau setara 18
SKS) yang durasinya 4 bulan, yang bisa diganti dengan minor thesis kalau mau.
Untuk yang belum punya pengalaman kerja, kombinasi ACT dan magang
(internship) sangat bermanfaat untuk mengenal dunia kerja. Untuk yang sudah punya
pengalaman kerja, kemampuan berinteraksi dalam tim yang berasal dari berbagai
bangsa diasah. Selain itu, sebagian besar mata kuliah mempunyai tugas kelompok.
Dengan demikian, keahlian yang diasah dan dipersiapkan untuk mahsiswa bukan
hanya untuk siap berkembang (aspek teoretis, seperti umumnya sarjana), tetapi juga
siap kerja atau membuka lapangan kerja. Social skill dikembangkan secara rutin dari
awal kuliah sampai tamat.

Kita sering mendengar bahwa Universitas - Universitas terkenal seperti MIT dan
Stanford di Amerika hampir semua bergerak kepada pengembangan model ini. Siapa
yang tidak pernah dengar Silicon Valley. Membuat cluster khusus seperti Silicon
Valley atau Food Valley ini sangat bermanfaat baik bagi industri maupun universitas.
Nah, untuk ini, universitas harus menjalin hubungan yang kuat dan erat dengan
industri, dan all out dalam mempersiapkan mahasiswanya. Kalau koneksi kurang
kuat dengan industri, dari mana bahan untuk simulasi dunia nyata bagi mahasiswa?
Selain itu, tampil all out dengan mempersiapkan mahasiswanya baik yang ingin kerja
untuk orang lain maupun membuka lapangan kerja sendiri.

Saya berharap universitas dengan tradisi alumni yang kuat di Indonesia


seperti ITB, UI, IPB dan UGM mempersiapkan diri ke arah ini. Uang yang diperoleh
dari jalur ‘jalan tol’ sebagian dipergunakan untuk pengembangan bisnis. Kalau perlu
anak pengusaha yang mau masuk ITB misalnya, bapaknya harus merekrut lulusan
ITB juga untuk kerja di perusahaannya, minimal membantu permodalan alumni yang
ingin membangun usaha. Kombinasi mahasiswa yang lancar otak dengan lancar dana
cukup bagus untuk membangun jaringan, yang merupakan salah satu modal utama
dalam bisnis. Mahasiswa yang berasal dari jalur umum (bukan jalan tol) harus
banyak kuantitasnya, untuk mempertahankan kualitas. Kawasan industri tentu
dikembangkan di sekitar kampus, yang berbasis ciri khas kampus tersebut (untuk
ITB adalah teknologi). Khusus ITB, industri berbasis teknologi bisa dikembangkan
di Jawa Barat. Alumni - alumni yang sukses sebagai profesional karir maupun
pengusaha direkrut, minimal memberi proyek dunia nyata bagi alumni ITB, sehingga
sebelum tamat sudah punya gambaran.

Bagaimana menurut teman - teman?

Sumber: http://muridkehidupan.blogdetik.com

Kewirausahaan Sejak Dini

Kajian menarik tentang kewirausahaan disampaikan tiga orang yang


berkompeten, yaitu CEO PT Graha Layar Prima   (pendiri Blitzmegaplex) Ananda
Siregar, pakar kepribadian sekaligus Presiden Direktur Lembaga Pendidikan Duta
Bangsa Mien Rachman Uno, dan Presiden Direktur Kiroyan Kuhon Partners/PT
Komunikasi Kinerja, Noke Kiroyan.

Gambaran singkatnya, menanamkan jiwa kewirausahaan adalah dengan


melakukan perubahan mental dan sikap yang dapat dilakukan sejak dini, tanpa
mempertentangkan apakah kemampuan berwirausaha itu berkat bakat (terlahir) atau
hasil pendidikan (terdidik). Selain itu, pendidikan dapat menjadi faktor pendorong
kesuksesan berwirausaha atau sebaliknya.
Kewirausahaan Dibina sejak Dini Dibutuhkan Perubahan Mental Jakarta, Kompas
- Jiwa kewirausahaan atau entrepreneurship dapat dibina atau ditanamkan sejak
kecil. Kewirausahaan lebih kepada menggerakkan perubahan mental. Tidak perlu
dipertentangkan apakah kemampuan wirausaha itu berkat bakat (terlahir) atau hasil
pendidikan (terdidik). Demikian antara lain terungkap dalam Parenting Seminar yang
diselenggarakan Universitas Paramadina, Sabtu (1/3). Hadir sebagai pembicara, CEO
PT Graha Layar Prima (pendiri Blitzmegaplex) Ananda Siregar, pakar kepribadian
sekaligus Presiden Direktur Lembaga Pendidikan Duta Bangsa Mien Rachman Uno,
dan Presiden Direktur Kiroyan Kuhon Partners/PT Komunikasi Kinerja, Noke
Kiroyan. Mien Uno mengatakan, untuk menjadi wirausahawan andal, dibutuhkan
karakter seperti pengenalan terhadap diri sendiri (self awareness), kreatif, mampu
berpikir kritis, mampu memecahkan permasalahan (problem solving), dapat
berkomunikasi, mampu membawa diri di berbagai lingkungan, menghargai waktu
(time orientation), empati, mau berbagi dengan orang lain, mampu mengatasi stres,
dapat mengendalikan emosi, dan mampu membuat keputusan. Karakter-karakter
tersebut dapat dibentuk melalui pendidikan sejak dini. ”Untuk mendidik anak
menjadi seorang wirausahawan tidak dalam hitungan satu, dua, dan tiga, melainkan
sebuah proses panjang. Dalam proses tersebut, orangtua perlu mengambil peranan,”
ujarnya. Orangtua perlu menyupervisi anak dengan memberikan contoh yang baik
dan menjaga agar ucapan sama dengan tindakan. Selain itu, orangtua ikut
memotivasi anak, mengevaluasi mereka, dan memberikan apresiasi atas kerja keras
anak. Selama proses tersebut, orangtua dapat mengamati kecenderungan sang anak.
Perubahan mentalHal senada diungkapkan Noke Kiroyan. Bagi Noke,
kewirausahaan lebih soal menggerakkan perubahan mental. Dia sendiri berpendapat
tidak perlu dipertentangkan kewirausahaan itu sesuatu yang dapat dipelajari atau
didapatkan sebagai bakat secara genetis. Pada dasarnya, apa yang disebut ”bakat”
sebetulnya dapat saja merupakan pengaruh lingkungan dan hasil pendidikan.
Pendidikan, bagi sebagian orang, bisa menjadi faktor pendorong kesuksesan
berwirausaha atau sebaliknya. ”Seseorang tidak perlu predikat sarjana untuk menjadi
pengusaha, tetapi dengan latar belakang pendidikan akademik, saya menduga banyak
peluang akan terbuka karena lebih luas wawasannya dalam melihat peluang,”
ujarnya. Sebaliknya, kata Noke, dengan pendidikan tinggi, seseorang dapat saja
malah enggan mengambil risiko. Dalam pendidikan bisnis, misalnya, individu justru
belajar menghindari risiko. Padahal, kewirausahaan itu sangat identik dengan
mengambil risiko, menciptakan hal-hal baru, baik berupa produk, proses, atau cara
pandang baru, serta melihat peluang yang belum dilihat orang lain. Negara
berkembang justru potensial sebagai tempat mengembangkan kreativitas dan usaha-
usaha baru. Terlebih lagi, Indonesia sangat kaya akan potensi sumber daya, baik
alam, budaya, maupun manusia. Pengusaha muda Ananda Siregar meyakini,
kewirausahaan diawali dengan sikap (attitude). Individu harus memiliki keyakinan
bahwa tak ada yang mustahil. ”Yang dibutuhkan ialah sikap can do. Menjadi
wirausahawan lebih merupakan cara pandang, pikir, dan sikap bahwa semua hal
dapat dipelajari. Kewirausahaan tidak sekadar keterampilan teknis,” ujarnya. Semasa
Ananda kecil, sang ayah suka bercerita tentang kesuksesan dan keberanian para
pengusaha membangun bisnisnya(INE)

Sumber: Kompas

Ciputra: Wirausaha Dituntut Kreatif Hadapi


Ekonomi Sulit

Di tengah kondisi pertumbuhan ekonomi


yang berjalan lambat akibat krisis ekonomi
global dan menimbulkan efek negatif, para
pengusaha dituntut menjadi lebih kreatif
untuk memanfaatkan peluang yang ada.
Pasalnya, di setiap kesulitan dan rintangan
disitu ada peluang emas, bagi mereka yang
jeli dan tidak berserah diri.

Presiden Komisaris PT Ciputra Tbk (CTRA)


Ciputra mengatakan, para pengusaha saat ini dituntut kreatif dan memanfaatkan
peluang yang ada, bilamana ingin bertahan atau survive. Namun sayangnya, para
pengusaha Indonesia bisa jeli memanfaatkan kondisi yang ada kecil jumlahnya .
"Seiring persaingan dan rintangan kedepan, pengusaha yang sejati dituntut untuk
lebih kreatif," katanya dalam sebuah talkshow di Jakarta pada akhir pekan lalu.

Kata Ciputra, negara ini butuh para entrepreneurship yang sejati untuk membantu
pertumbuhan ekonomi yang lebih pesat dan tidak hanya menjadi bangsa pekerja.
Karena saat ini lapangan kerja yang ada tidak lagi mampu menampung lulusan
perguruan tinggi yang jumlahnya jutaan setiap tahun.

Tak ayal, jiwa entrepreneurship di kalangan anak muda dinilai menjadi jalan keluar
untuk membuka lebih besar lapangan kerja. Di sisi lain, berkembangnya wirasusaha
muda di berbagai sektor mempunyai nilai tambah yang mampu meringankan beban
pemerintah mengatasi pengangguran.

Dia kembali menegaskan, upaya mengatasi masalah ketenagakerjaan, tidak ada cara
lain kecuali melahirkan wirausaha-wirausaha. Ini menjadi tantangan berat buat
Indonesia. "Dan pengusaha yang ada jangan melakukan pemutusan hubungan kerja,"
paparnya.

Penyerapan tenaga kerja, kata Ciputra tidak bisa hanya bergantung pada perusahaan
yang ada dan terlebih ditengah kondisi perekonomian yang memburuk serta
banyaknya perusahaan yang merumahkan karyawan dan potensi gulung tikar.
Setidaknya dibutuhkan 4,4 juta wirausaha sejati untuk membantu menyelesaikan
masalah tersebut.

Menurut Ciputra, seorang wirausaha atau entrepreneur adalah orang yang dapat
mengubah kotoran dan rongsokan menjadi emas. Wirausaha sejati tidak hanya
mampu mengubah rongsokan jadi emas, tetapi juga dapat melahirkan wirausaha
sukses lainnya. "Di Eropa, kewirausahaan sudah populer 6-7 tahun lalu, sementara di
Amerika 30 tahun lalu. Pemerintah di negara-negara Eropa aktif membantu dan
menjadikan entrepreneur sebagai gerakan nasional," ungkapnya.
Menjadi seorang wirausaha muda yang sejati, dinilainya tidak pernah ada ruginya
dan selalu membawa manfaat bagi orang lain. Dia pun menceritakan pendek
pengalamannya menjadi wirausaha, di mana berkat semangat entrepreneurship yang
dimilikinya, dia mampu pertama kalinya keluar negeri hingga memiliki asset tanah
seluas 400 hektar di Vietnam.

Seakan tidak bosan, lelaki yang di juluki bapak real estate Indonesia ini, selalu
menganjurkan pentingnya menumbuhkan semangat wirausaha muda sejak dini dan
perlunya dorongan pemerintah untuk memfasilitasi mereka. Pasalnya bangsa yang
maju bukanlah dicetak dari bangsa pekerja, namun pencipta pekerja.

Sebagai gambaran, Ciputra yang biasa disapa Pak Cik ini mengawali karirnya
sebagai konsultan arsitektur bangunan yang hanya bermodalkan garasi sebagai
kantor utamanya. Alumnus Institut Teknlogi Bandung (ITB) jurusan arsitektur pada
tahun 1960 ini sudah merintis karirnya sejak duduk di tingkat IV semasa kuliah.

Karirnya mulai melejit ketika hijrah ke Jakarta bersama teman-temannya dengan


menggarap proyek bergengsi untuk pembagunan pusat perbelanjaan di kawasan
Senen. Berhasil menjalankan proyek tidak membuat dirinya puas begitu saja. Dia
kemudian mendirikan Grup Jaya di tahun 1961 dengan modal Rp 10 juta.

Kesabaran dan keseriusannya menjadi enterpreneur, membuat nilai asetnya terus


beranak pinak dan hingga kini tercatat sekira Rp 5 triliun. Dengan dukungan
kemampuan lobinya, Ciputra secara bertahap juga mengembangkan jaringan
perusahaan di luar jawa, yakni Grup Metropolitan, Grup Pondok Indah, Grup Bumi
Serpong Damai dan terakhir Grup Ciputra.

Selain merambah properti dalam negeri, Ciputra juga merambah properti luar negeri.
Di mana saat ini Grup Ciputra sedang mengembangkan Citra Westlake City seluas
400 hektar di Ho Chi Minh City Vietnam.
Sumber :

http://www.pojokberita.web.id

Kewirausahaan dan Daya Saing Bangsa

Dunia saat ini tengah berada dalam era globalisasi yang membawa setiap
negara di dalamnya masuk ke dalam persaingan ketat dan intensif. Karena itu, setiap
negara termasuk Indonesia dituntut untuk membangun daya saing yang kuat agar
tetap bertahan.

Pengusaha nasional dan pendiri Universitas Sahid (Usahid), Prof Sukamdani Sahid
Gitosardjono dalam kuliah umum di universitas swasta itu belum lama ini
mengatakan, salah satu kunci untuk meningkatkan daya saing adalah dengan
meningkatkan kewirausahaan, baik sisi kualitas maupun kuantitasnya. Menurut
mantan pegawai Kementerian Dalam Negeri yang telah sukses membangun Sahid
Group itu, universitas yang didirikannya 20 tahun lalu tersebut, menanamkan
semangat kewirausahaan kepada mahasiswanya sebagai dasar pondasi dan jati diri.
Dalam kuliah umum yang diselenggarakan khusus untuk menyambut mahasiswa
baru tahun ajaran 2008/2009 tersebut, Sukamdani menekankan bahwa kewirausahaan
memegang peranan yang sangat kuat dalam meningkatkan daya saing bangsa.
"Setiap individu dalam bangsa ini harus memiliki pemikiran yang jauh ke depan,
pola pikir bahwa wirausaha adalah nilai yang harus dimiliki oleh setiap bangsa yang
modern dan maju," kata Sukamdani yang 14 Maret lalu genap berusia 80 tahun.

Dia menyebutkan, berdasarkan hasil penelitian seorang ilmuwan Amerika Serikat


(AS), David McClelland, suatu negara dapat dikatakan makmur, minimal harus
memiliki jumlah entrepreneur atau wirausahawan sebanyak dua persen dari jumlah
populasi penduduknya.

Hasil pemantauan menunjukkan, AS pada tahun 2007 memiliki 11,5 persen wira-
usahawan, kemudian Singapura 7,2 persen. Sementara Indonesia pada tahun 2007
diperkirakan hanya mencapai 400.000 orang atau hanya 0.18 persen dari yang
seharusnya 4,4 juta wirausahawan.

Alasan mengapa jumlah wirausahawan menjadi sangat penting untuk sebuah bangsa,
seperti dituturkan Sukamdani adalah karena wira- usahawan unggul dalam kualitas.
Kehadiran mereka membuat perekonomian negara akan semakin sejahtera dan kuat.

"Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh sebuah negara untuk menjadi
sejahtera dan kuat, yaitu terciptanya pemerintahan yang bersih dan berwibawa,
kemudian memiliki sejumlah wirausahawan yang memiliki dedikasi atau pengabdian
tinggi terhadap bangsa dan negara. Selain itu, suatu negara yang kuat juga harus
memiliki ilmuwan-ilmuwan yang siap menyumbangkan atau mempersembahkan
hasil penelitiannya, sebagai komoditas yang berharga untuk pasar global," tuturnya.

Tiga komponen tersebut, imbuh Sukamdani, harus dimiliki oleh rakyat Indonesia dan
tertanam dalam jiwa dan watak mereka. Dengan demikian, rasa bangga akan dimiliki
oleh segenap bangsa Indonesia.
Beberapa alasan yang diindikasikan oleh Sukamdani tentang kewirausahaan yang
belum berkembang di Indonesia adalah, karena budaya wirausahawan yang juga
belum mengakar dalam setiap masyarakat Indonesia terutama para kaum muda.
Mayoritas masyarakat Indonesia, masih berada dalam struktur dan alam pikiran
agraris.

"Nilai agraris pada umumnya masih didominasi oleh nilai-nilai yang lebih
bergantung pada alam daripada bertumpu pada kemampuan sendiri seperti
kemampuan inovasi dan kepandaian mengadopsi," ujarnya.

Selain itu, profesi wira- usahawan di Indonesia masih dianggap sebagai profesi yang
kurang terhormat. Budaya atau pemikiran masyarakat pada kenyataannya lebih
memandang profesi sebagai pegawai pemerintahan atau pegawai swasta sebagai
profesi yang lebih pantas dan terhormat, bukan sebagai pedagang.

Pencipta Lapangan Kerja

Sementara alasan yang kedua adalah konsep pendidikan yang menghasilkan


pekerja dan bukan pencipta lapangan kerja masih merupakan arus utama dalam
pendidikan nasional Indonesia. Menjadi karyawan adalah alasan utama mengapa
seseorang melanjutkan kuliah.

"Masyarakat Indonesia masih cenderung mencari gaya bekerja dengan zona nyaman,
sementara budaya itu sangat bertolak belakang dengan budaya seorang wirausa-
hawan yang menuntut semangat yang pantang menyerah, berani mengambil risiko,
kreatif, dan inovatif," kata Sukamdani.

Di samping itu, pembangunan kewirausahaan juga tidak lepas dari peran Kamar
Dagang dan Industri (Kadin) yang pada tahun 2005 yang mengungkapkan bahwa
keberhasilan pembangunan kewirausahaan ternyata tidak lepas dari peran serta
swadaya masyarakat. Peran serta masyarakat ternyata menjadi kunci penting dalam
membangun kewirausahaan yang berdaya saing global.
Masih banyak pula yang harus dikembangkan dan dibenahi dalam menciptakan
swadaya pembangunan kewirausahaan. Misalnya, dalam sistem pendidikan
kewirausahaan. Masih banyak yang harus ditingkatkan, misalnya kurangnya minat
para wira- usahawan sukses untuk mengajar, lalu kurikulum kewirausahaan yang
dianggap kurang menarik dan lebih indoktrinatif, mental pengajar yang formal dan
sekadar menyelesaikan sejumlah minggu pertemuan, dan kurang terciptanya pusat-
pusat pelatihan kewirausahaan.

Pembangunan kewirausahaan di Indonesia tidaklah mudah, berdasarkan penelitian


dari Entrepreneurship Working Group Asia Paci- fic Economic Cooperation (APEC)
pada tahun 2004, terlihat bahwa hanya sedikit wirausahawan yang berhasil menjadi
pengusaha menengah dan besar dalam siklus pola kewirausahaan. Gejala inilah yang
juga terjadi di Indonesia, seperti kenyataan bahwa mayoritas wirausahawan yang
sukses di Indonesia berasal dari keturunan atau etnis Tionghoa.

"Seharusnya, nilai dan semangat yang dimiliki oleh masyarakat etnis Tionghoa
dalam berwirausaha ini dapat ditularkan dan dicontoh oleh masyarakat Indonesia.
Misalnya, dengan belajar dari pengalaman negara yang telah sukses dengan
kewirausahaannya," ujar mantan ketua umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin)
Indonesia ini.

Identitas Usahid sebagai universitas berbasiskan kewirausahaan pun, dibangun bukan


dengan kebetulan atau tanpa proses sejarah. Sukamdani menguraikan, ada dua
pertimbangan mengapa kewirausahaan harus menjadi norma dan identitas Usahid,
pertama adalah karena Sukamdani yang juga sebagai pendiri Usahid adalah seorang
wirausahawan. Alasan yang kedua adalah karena kewirausahaan merupakan identitas
masyarakat modern.

Dalam bukunya yang berjudul Wirausaha Mengabdi Pembangunan pada tahun 2001,
jelas tergambar bagaimana Sukamdani membuat sejarah, mulai dari seorang pegawai
pemerintahan pada tahun 1952 hingga menjadi pencipta peluang kerja dengan
mendirikan perusahaan percetakan dari seorang pejuang nasional menjadi seorang
wirausahawan nasional.

Suara Pembaruan Daily

Sumber :http://alumnifatek.forumotion.com

100 Tahun Kebangkitan Nasional dengan


Kewirausahaan

Oleh senity

Tahun ini kita memperingati 100 tahun Kebangkitan Nasional. Momentum


ini menjadikan kita perlu memahami jika pergerakan modern perjuangan bangsa ini
yang dimotori oleh kaum berpendidikan telah memasuki usia satu abad.

Seabad Kebangkitan Nasional tampaknya tidak akan berarti apa-apa ketika


kita harus dihadapkan pada realitas sosial jika Indonesia tengah mengalami
perlambatan pertumbuhan (bila tak ingin disebut sebagai dekadensi) hingga
ketergantungan bangsa Indonesia terhadap kekuatan asing. Semuanya tidak ada yang
perlu disalahkan, karena inilah skenario global yang anehnya justru diamini oleh elite
bangsa ini yang menyeret kita semua ke persoalan multidimensi.
Sebagai bangsa yang mengaku menghargai jasa para pahlawannya, kita harus
malu terhadap arwah dr. Tjipto Mangunkusumo, Danudirdja Setiabudi, dr. Wahidin
Soedirohusodo, dan banyak tokoh lainnya yang mewarnai pergerakan pada dekade
awal abad 20 tersebut. Namun, rasa malu tak akan bermanfaat apa-apa bagi
kehidupan kita sekarang bila tidak dibarengi upaya nyata untuk membalikkan
keadaan kita sekarang.

Bila kita saat ini sangat tergantung pada impor bahan pangan, sudah saatnya
kita menjadi eksportir bahan pangan seperti era swasembada dulu. Bila kita saat ini
tergantung pada pasokan produk BBM dari luar, maka sekaranglah saatnya kita
merintis jalan untuk memiliki produk-produk BBM yang sepenuhnya bergantung
pada potensi lokal. Inilah saatnya kepada kita untuk melecut kemandirian!

Memandirikan bangsa ini tidak lain tidak bukan dengan memanfaatkan sebaik
mungkin potensi ekonomi yang ada di sekeliling kita. Kemandirian—di era
kapitalisme saat ini—sangat erat dengan kepemilikan kapital yang cukup untuk bisa
berbuat lebih dan lebih memberdayakan. Jadi, singkatnya kita harus mewujudkan
sebuah masyarakat yang kaya, memiliki kapital besar dan relatif terdistribusi dengan
baik di seluruh lapisan masyarakat. Masyarakat yang kaya tersebut bukan hanya
terkonsentrasi di satu lini sosial saja, tetapi merata dari semua lini.

Berbicara tentang masyarakat kaya, kita memang memiliki selapisan kecil


masyarakat kaya—bahkan sangat kaya—yang sudah jamak menduduki peringkat-
peringkat orang terkaya di Asia bahkan dunia. Namun, kenyataannya, karena
kekayaan mereka bersumber dari bisnis keluarga maka kekayaan tersebut hanya
terdistribusi di kalangan tertentu saja. Akibatnya, distribusi pendapatan berlangsung
tersendat dan dampaknya kesenjangan sosial semakin terbuka lebar.

Untuk mengantisipasi hal itu semua maka kita harus memaknai 100 tahun
Kebangkitan Nasional kali ini dengan sebuah gerakan moral untuk membangkitkan
kewirausahaan. Mengapa? Hanya kewirausahaan yang mampu menciptakan
masyarakat-masyarakat kaya sekaligus mendistribusikan pendapatan lebih besar dan
lebih banyak.

Kewirausahaan terbukti telah mampu mengantarkan pribadi-pribadi


menduduki ranking-ranking teratas dalam peringkat orang terkaya. Lihat saja 3 besar
peringkat orang terkaya dunia, Mukesh Ambani, Bill Gates, dan Carlos Slim Helu.
Ketiganya menduduki peringkat tersebut karena memiliki kekayaan yang didapat
dari sektor usaha. Ketiganya adalah wirausaha di ranahnya masing-masing. Jadi, kita
tinggal melakukan copy-paste pola sukses mereka dengan mengamplifikasi dan
melipatgandakan jumlah orang-orang dengan mental dan sikap seperti mereka.
Mental dan sikap seorang entrepreneur.

Membangkitkan kewirausahaan di bangsa Indonesia memang bukan


pekerjaan mudah. Ada stigma sosial yang kurang begitu mendukung keberadaan
”profesi” wirausaha di masyarakat. Tampaknya, sejalan dengan perkembangan
tingkat pendidikan kita, keinginan untuk bekerja di perusahaan-perusahaan besar
akan lebih menggiurkan ketimbang memilih menjadi wirausaha. Gaji menarik,
fasilitas yang serba dicukupi, hingga tunjangan pensiun di hari tua telah menjadi
alasan sebagian besar kelas terpelajar kita.

Tak percaya? Coba Anda tanyakan kepada kelas mahasiswa yang sekarang
tengah giatnya berkuliah, dari 10 orang yang Anda tanya mungkin hanya 2-3 orang
saja yang berani secara terbuka mengatakan akan menjadi wirausaha sebagai pilihan
masa depan mereka.
Membangkitkan kewirausahaan di Indonesia membutuhkan sebuah momentum
revolusioner. Jika momentum ini tidak diambil oleh pemerintah sebagai leading
sector, ada baiknya berbagai komunitas kewirausahaan yang saat ini mulai tumbuh
berjamuran mengambil peranan tersebut.

Secara konkret, momentum revolusioner tersebut bisa dilakukan dengan


kegiatan sosialisasi kewirausahaan yang akhir-akhir ini telah sering dilakukan di
berbagai kampus-kampus. Frekuensi dan kualitas sosialisasi tersebut mungkin dapat
ditingkatkan agar kewirausahaan terus menjadi gaung yang semakin menggema.
Upaya sosialisasi melalui media yang saat ini sudah terbentuk melalui ekspos
pemberitaan hingga jam khusus yang disediakan di media televisi perlu didukung
oleh kesigapan kantong-kantong komunitas untuk menyiapkan materinya. Sinergi
antara kantong komunitas kewirausahaan dengan media bisa menumbuhkan sebuah
simbiosis mutualisme. Di satu sisi, komunitas kewirausahaan secara langsung
maupun tidak langsung akan mendapatkan efek promosi dan di sisi yang lain media
mendapatkan materi untuk mengisi ruang publik mereka.
Keberadaan momentum revolusioner ini setidaknya juga akan menstimulasi
penerbit-penerbit buku untuk lebih banyak lagi menerbitkan buku-buku yang
bernuansa kewirausahaan. Frekuensi penerbitan buku kewirausahaan saat ini
memang cukup baik, tetapi bila momentum revolusioner ini tercipta, frekuensi
tersebut akan menciptakan ceruk pasar yang lebih besar. Rantai pengetahuan akan
terjadi ketika referensi semakin banyak maka minat orang untuk membaca juga
semakin banyak. Rantai pengetahuan ini akan terjadi setidaknya di lapisan
masyarakat urban yang sudah semakin melek terhadap budaya literasi.

Bila sosialisasi terus-menerus ini berlangsung, maka paradigma masyarakat


mengenai kewirausahaan kemungkinan besar akan perlahan berubah. Inilah yang
menjadi modal positif dan kuat untuk menciptakan sebuah komunitas berbasis
kewirausahaan. Bila komunitas kita sudah sudah entrepreneur minded, maka secara
perlahan ataupun cepat pemerintahan akan mulai melirik dengan sungguh-sungguh
kewirausahaan sebagai sebuah solusi masalah bangsa. Semoga!
Dua Pemuda Indonesia Raih Penghargaan
Wirausahawan di Inggris

Dua pemuda Indonesia yaitu Oscar Lawalata (32) dan Mahrizal


Paru (34) mendapat penghargaandan memenangkan International
Young Creative Entrepreneur Award (IYCE) 2009 di Inggris.

Oscar Lawalata (32)

"Dua pemuda Indonesia yaitu Oscar dan Mahrizal berhasil


memenangkan IYCE Award 2009 yang diselenggarakan oleh
British Council," kata Team Leader Learning and Creativity British Council, Yudhi
Soerjoatmodjo, di Jakarta, Rabu.Pihaknya menyelenggarakan IYCE untuk menjaring
entrepreneur muda berbakat di bidang sosial, lingkungan hidup, dan industri kreatif
tingkat dunia. Sejak 2006, British Council telah mengidentifikasi, memfasilitasi, dan
membangun jaringan bagi para wirausahawan.
Oscar Lawalata (32), salah satu contohnya. Ia meraih penghargaan IYCE
Fashion Award 2009 di London, Inggris. Pria kelahiran Riau itu mengalahkan
saingannya dari Brazil, India, Polandia, Srilanka, Saudi Arabia, Thailand, Tunisia,
dan Vietnam.

Berkat dia, Indonesia menjadi satu-satunya negara yang memenangkan


penghargaan tersebut sebanyak empat kali sejak 2005. Oscar mempekerjakan 20
orang dan memiliki omzet Rp100 juta per bulan. Ia memukau juri di Inggris berkat
kerjasamanya dengan sekitar 100 orang pembatik, penenun, dan pengrajin perhiasan
tradisional di Sulawesi Selatan, Bali, NTT, dan Jawa sejak 10 tahun terakhir.

"Semula apa yang saya lakukan hanyalah tuntutan untuk memenuhi misi dan
cita-cita pribadi saya," katanya. Namun, ternyata yang dilakukannya lebih dari
sekadar mewujudkan impian karena terbukti mampu mengangkat kain tradisional ke
tingkat internasional dengan melibatnya banyak orang dalam prosesnya.
Sementara itu, Mahrizal Paru sukses memenangkan Champion Asian Young
Leaders Climate Forum. Pria kelahiran Aceh itu membangun komunitas perkebunan
cokelat di Pidi, Aceh. Usaha itu menghasilkan 700 ribu dolar AS per tahun bagi 182
anggota desa yang kesulitan mencari kerja selama konflik. Upayanya sekaligus
melindungi 280 ha hutan hujan yang sebelumnya menjadi sasaran para penjarah.
"Keluarga saya bisa membiayai pendidikan saya. Tetapi saya ingin melihat
generasi yang lebih muda bisa mendapatkan hasil yang sama dari kakao dan sama
beruntungnya dengan saya," katanya. -ant
Sumber : http://www.pojokberita.web.id

Kewirausahaan dan Strategi Bisnis : Arti penting


sebuah logo merek usaha

Sejauh mana korelasi strategi bisnis, strategi marketing dengan ekuitas merek
yang dibangun dari ciri sebuah logo? Betapa hebatnya strategi bisnis Garuda
Airways dimata saya sewaktu saya masih SMP, karena orangtua saya pernah bilang
Logo itu senilai 1 milyar di tahun 80-90-an.Dalam hati saya, seberapa hebat sebuah
logo?

Logo perusahaan atau produk merupakan salah satu kebijakan manajemen,


juga representasi dari strategi bisnis yang mempunyai kaitan dengan bagaimana
dapat menimbulkan ciri dan persepsi kepada masyarakat dalam sebuah simbol yang
komunikatif, sehingga terjadi koneksi antara visualisasi/penglihatan  pelanggan
dengan benak pelanggan. Logo mampu menciptakan daya komunikasi walau hanya
berukuran beberapa sentimeter saja.

Di tahun 80-an saya begitu bangga dengan Celana Jin saya yang warna biru.
Bangga bukan karena warna dan style yang menawan, namun karena celana jin saya
dibelakangnya ada tempelan logo merek “TIRA”.  Strategi bisnis dan strategi
marketing yang dibangun dengan pencitraan logo yang begitu besar di setiap produk
celananya  cukup membuat saya percaya diri, saat kemana-mana dengan merek itu. 
Maklum seumuran itu.

 Setelah 2 tahun saya baru tahu ternyata celana merek TIRA yang saya pakai
adalah tiruan yang 99% benar-benar mirip, dan dibuat oelh sekelompok wirausaha
wan dari Tangerang. PErtanyaannya, apakah celana jin langsung saya buang?? 
Tidak saya tetap memakainya dengan bangga, walaupun dibuat bukan dari pabrikan
namun dari wirausaha wan kecil, namun merek yang melekat dibelakang masih tetap
melekat. dan 99% mirip.

 Bisnis di era sekarang berkembang dengan banyaknya waralaba. Secara


umum tidak semua pe waralaba itu mempunyai pengalaman bisnis dan marketing
yang bagus, mungin hanya mempunyai pengalaman wirausaha yang terbatas. Bahkan
mungkin strategi bisnisnya pun tidak terencana. Namun masyarakat begitu
mengidamkan bisnis berbasis waralaba, lalu apa sebenernnya yang dicari????
Salahsatu jawabnya adalah, bahwa dengan waralaba maka kita sebenernya beli Logo.
Namun yang kita beli adalah logo yang telah mampu masuk ke benak pelanggan
secara luas. Apakah ada garansi jika beli ayam goreng dari merek pewaralaba
nasional yang berada di Jakarta dengan di Yogya bisa sama 100%??? Tidak, karena
kondisi air, minyak goreng, tepung dan timing menggoreng yang berbeda. Namun
apakah perbedaan dipermasalahkan secara hebat oleh pembeli?? Jawabnya tidak,
karena ayam goreng itu berlogo tertentu, dan sudah berkesan. Soal rasa mungkin
nomor 2, walau jangka panjang mungkin akan berubah.

Keluarga pernah saya tes dengan menukar isi sebuah produk ayam goreng
produk waralaba internasional seharga 21ribu dengan yang seharga 8 ribu dari
wirausaha wan biasa. Dos tetap yang ayam goreng mahal, namun isi sya ganti denga
ayam yang 8 ribu milik wirausaha wan yg tetangga saya. Setelah makan,  saya coba
tanya apakah enak?. Jawabnya iya.  Kemudian, baru esok paginya  keluarga saya
kasih info bahwa ayam itu ditukar.  Apa jawab keluarga?? Ah masak, enaknya sama
kok sambil tidak percaya. 

Saya hanya terdiam, celana jin saya yang palsupun tidak mempengaruhi,
apalagi ayam goreng pinggir jalan pun tidak masalah, yang penting logo yang
melekat itu mampu mencitrakan nilai-nilai tertentu.

Logo atau merek sudah saatnya menjadi bagian dari strategi bisnis dan unsur-
unsur  wirausaha anda, sehingga seirama antara membangun kerajaan bisnis atau
wirausaha anda dengan membangun persepsi pelanggan terhadap merek. Setidaknya
kita tahu kalau bicara soal Kartu Perdana XL maka yang terbayang adalah  huruf XL
warna Hijau Putih background biru seperti dalam banyak iklan2 di TV dan Baleho.
Sumber : http://ipan.web.idpage2

Kewirausahaan dan Strategi Bisnis : 7 Penyebab


Kegagalan Usaha/Bisnis Secara Rata-Rata

Kewirausahaan saat ini menjadi aspek pendukung reformasi bisnis lokal dan
nasional yang skala pertumbuhannya mudah meningkat dan mudah menurun, bahkan
secara praktikal boleh dikatakan bisa cepat untung dan cepat rugi.

Strategi bisnis dalam menunjang kewirausahaan sangatlah penting mengingat


tidak semua wirausaha bisa dijalankan dengan konsep tradisiononal dan natural,
seiring perubahan ekonomi, kondisi negara dan teknologi. Contoh perubahan itu,
dahulu banyak usaha mikro di bidang cetak foto kilat 10 menit jadi, hampir di setiap
lokasi baik kantor dan lembaga pendidikan ada. Terutama ketika musim pendaftaran
ajaran baru. Namun apa yang terjadi dalam 2 tahun ini ketika Negara menurunkan
pajak-pajak impor untuk yang sebelumnya berstatus pajak barang mewah menjadi
barang konsumsi umum (Dari PPnBM mennjadi PPN, maka biaya impor barang-
barang cetak mencetak untuk foto semakin murah dan berdampak menjamurnya
kepemilikannya, semua berbasis digital. Sehingga pengusaha mikro Cetak Foto kilat
dengan lampu petromax bangkrut karena masyarakat lebih memilih  penggunaan
cetak digital baik  dari  kamera  digital yang praktis kemudian make over  foto 
dengan komputer kemudian cetak dan print pun bisa secara mandiri dan cepat,
ditinggal mandipun cetak foto 50 buah bisa selesai. Semua ini berkaitan dengan
pemahaman, kuangan, prediksi dan teknologi.

Berikut ada 7 hal yang penyebab kegagalan usaha/bisnis secara umum;

1.Kurangnya Pemahaman Usaha dan tempat usaha

Memahami secara kontekstual dan strategi bukan saja bagaimana produk itu
mempunyai nilai tambah dan dibuat. Namun perlunya pemahaman akan kebutuhan
masyarakat akan produk tersebut, baik secara frekuensi, kuantitas, bentuk/jenis dan
kualitasnya. Pemahaman usaha juga berkaitan terhadap sarana dan prasarana misal
lokasi usaha, info usaha, kondisi kelengkapan usaha. Misal saya ambil contoh,
seorang ibu yang pandai sekali memasak belum tentu berhasil dalam usaha rumah
makan karena bisnis tidak saja tentang pemahaman proses produksi saja. Misal lagi,
tempat usaha yang disewa ratusan juta belum tentu akan membawa keberhasilan
usaha, jika tidak mempunyai kedekatan pasar dan kemudahan akses (akses berbasis
jangkauan fisik dan teknologi). Kedekatan lokasi dengan sumber bahan baku/sumber
produksi juga menjadi bagian penting karena dapat mengefisiensikan biaya
transportasi dan produksi.

2. Kurangnya pengalaman dan strategi pemasaran

Kewirausahaan dalam kontek usaha masyarakat, tetap perlu ada pengalaman


usaha. Kalo sekiranya pemodal dan pemilik belum pengalaman maka belilah orang
untuk dijadikan staf atau patner usaha, baik secara aktif maupun konsultan.
Pengalaman berhubungan dengan bagaimana menjual, kepada siapa menjual,
mengikat pelanggan, menangkap reaksi pelanggan dll.

Secara umum masyarakat perilaku kewirausahaan, mampu dan giat dalam


produksi, baik dalam usaha kerajinan, makanan,  layanan jasa dan lain-lain namun
tidak mempunyai kekuatan dan metode dan konsep pemasaran yang sistematis,
ketika hari ini cukup laku maka tidak memperhitungkan kemungkinan bulan yang
akan datang bahkan tahun-tahun mendatang. Saya coba pernah terlibat dalam
penjauan beberapa UKM, rata-rata tidak mempunyai rencana pemasaran, bahkan
rencana usaha atau bisnis plan tidak punya, sehingga rencana peningkatan usaha juga
tidak bisa dijadwalkan dan dipacu untuk dicapai.

Pemasaran yang diterapkan masih tradisional dan rentan terhadap perebutan


pelanggan oleh pesaing. Tidak ada usaha untuk membangun loyalitas dan fanatisme.
BIsakah usaha mikro membangun fanatisme? Sangat bisa, ketika saya menambal ban
kendaraan yang bocor saya memilih satu tukang tambal ban dari 3 yang ada di
sekitar saya, karena memang kualitas alat pembakar yang menghasilan tambalan
yang bagus dan sosoknya pun yang komunikatif, menghargai dan rela mengulang
dan dikritik  bila kurang sempurna hasilnya.

3. Kurangnya pemahaman dalam pengadaan dan pemeliharaan bahan baku


dan sarana.

Pengadaaan bahan baku tidak serta merta sepreti logika membeli bahan baku
cabe, daging dalam rumaha makan atau logika semen, besi dalam usaha bangunan,
tetapi lebih kepada bagaimana bahan baku diperlakukan. Banyak pebisnis yang baru
membuka usaha membeli bahan baku sebanyak mungkin namun tidak dengan
pemahaman bagaimana bahan baku dipelihara, serta pemahaman frekuensi
penggunaan bahan baku harian, mingguan dan permintaan masyarakat .Contoh lain
lagi, pemahaman sarana, banyak pengusaha dalam bidang digital printing membeli
alat jutaan bahkan ratusan juga impor, namun tidak paham bagaimana memelihara
dan antisipasi hariannya secara rutin dan strategis, sehingga keseringan rusak
menimbulkan  ketergantungan teknisi dari luar kota dan luar negeri, membuat usaha
macet ketika alat rusak. Sehingga banyak order yang di batalkan, pelanggan pun lari.
Padahal ada beberapa penyedia sarana digital printing  yang memberikan layanan
garansi secara pasti sampai ke mendatangkan teknisinya dari China sana, walau
harga lebih mahal, ini semua hasil studi kasus di pebisnis digital printing di Yogya.

4. Kurang nya kehandalan pengelolaan administrasi dan keuangan

Kebijakan dalam menentukan keputusan strategi ber wirausaha hendaknya


tidak mengandalkan dari insting dan naluri saja. Namun histori dalam catatan
administrasi perlu di jadikan modal dalam menentukan keputusan.
Kebijakan/Keputusan berbasisis data. Begitu juga dalam hal keuangan, banyak kasus
usaha yang dirintis tidak mempunyai kekuatan data keuangan yang baik, sehingga
pemilik tidak paham akan pendapatan rutin bulanan, tidak bisa mengkorelasi antara
pendapatan, penjualan dan penggunaan bahan baku. Sehingga kemungkinan
penyalahgunaan di tingkat bawah bisa dijalankan tanpa diketahui.

5. Kurangnya kehandalan pengelolaan modal dan kendali kredit

Wirausaha-wan yang baik memahami modal tidak saja uang. Sehingga kredit
yang membabi buta ke bank-bank bukan salah satu solusi tunggal, apalagi
mengambil kredit maksimal dari plafon jaminannya, yang tidak diperhitungkan dari
kebutuhan operasional. Pengusaha mikro banyak menjadi kan kredit sebagai expansi
produksi dan pra investasi. Tidak akurasi dalam memperhitungkan kebutuhan
suntikan modal dengan kemampuan bayar bulanan dan skala likuditas nya.
Likuiditasnya misal apakah pelanggan anda selalu cash membayar atau menunda-
nunda pembayaran. Dengan kata lain, ketika anda memgajukan kredit ke bank, tentu
andapun  juga harus hati-hati dalam memberikan kredit atau pending payment
kepada pelanggan anda, pilah-pilah mana yang tertib dan tidak,lali tentukan sikap
skala prioritasnya.

Pemodalan yang semu dan tidak terpisah dengan kepentingan/kebutuhan  pribadi


juga menjadi awal kegagalan usaha, penarikan dana dari perusahaan/toko terlalu
sering dan cepat namun tidak memperhitungkan dengan arus pembayaran dan
pendapatan perusahaan/toko/usaha.

6. Kurangnya kehandalan SDM yang berwawasan wirausaha


Wirausahawan yang sejati tidak serta merta menjadikan seluruh keluarganya
adalan staf dari perusahaan/toko/usahanya. Kenapa? Karena hubungan yang terlalu
cair dalam keluarga dapat menghilangkan kinerja fungsi stuktural yang seharusnya.
Misal harusnya pimpinan berhak menegur proses pengelolaan pengadaaan barang
yang sesuai standar, namun karena staf yang bertanggungjawab adalah adik ipar,
maka segan untuk menegur, dan beranggapan bahwa nanti tentu akan berubah. SDM
yang berwawasan wirausaha maka akan membentuk jiwa yang kokoh, karena
beranggapan bahwa selain dia staf namun juga sosok yang yakin bahwa dengan
sukses di bidangnya maka dia terlah berhasil sebagai wirausaha wan layaknya
pemilik usaha, walau hanya dalam area kerjanya, seakan-akan bekerja sukses juga
kepuasan pribadi dan teamwork. Sehingga staf mempunyai daya tahan terhadap
masalah yang timbul, karena beranggapan bahwa masalah adalah bagian dari proses
berwirausaha. Caranya, jangan jadikan staf anda seorang robot yang harus turut pada
perintah namun juga diberikan tantangan untuk analisa perbaikan, dan ada reward
periodik, inilah hal yang tidak dilakukan penguasana secara umum, dan salah satu
kegagalan dalam skop SDM. Memasukkan nilai kewirausahaan menyatu dalam
motivasi kerja bawahan bukan hal yang mudah, tetapi jika anda memberikan
tantangan dan standar pencapaian per unit, maka itu salah satu bentuk
pendidikannya, tinggal metode harmonisasiny antara divisi.

KEkurangan dalam menentukan kualifikasi staf dalam rekrutmen merupakan


sebagian penyebab kegagalan dalam usaha peningkatan keberlangsungan usaha.
Sehingga perencaaan usaha yang baik selalu menyiapkan kriteria SDM masing-
masing divisi baru melakukan rekrutmen. Jangan terbalik.

7. Kekurangan pemahaman perubahan teknologi

Dalam awal tulisan ini disinggung masalah seorang pengusaha individu


bidang Cetak Foto Kilat, secara logika pengusaha Cetak Kilat 10 menit tad harusnya
i langsung bermigrasi ke bisnis cetak berbasis digital ketika ada perubahan teknologi
cetak foto, namun karena justru banyak keterbatasan pemahaman teknologi maka
pelarian usaha justru keluar dari bisang usaha sebelumnya. PEmahaman teknolgi
bagi SDM tidak serta merta harus berkaitan dengan computer dan internet, namun
juga berdasar kemudahan dari dampak teknologi yang ada, misal mengulek sambel
dari cobek beralih dengan blender, dari penghangat nasi dengan kompor beralih ke
magic jar. Sekarang kalo dalam bidang cetak mencetak, yang dahulunya dengan
mesin cetak warna yang mahal sekarang cukup dengan yang portable dan print
namun tetap dengan kualitas handal.

Kegagalan usaha pemahaman teknologi ini tidak semata karena pemahaman


pembelian namun juga pemeliharaan, misal banyak data keuangan, data nasabah
yang hilang karena virus, atau ketidakmampuan staf dalam melindungi data file
konsumen sehingga ada pesaing yang bisa mengambil melalui salah satu stafnya
yang hendak kena PHK atau pindah, sehingga data-data dengan mudah digunakan
oleh pesaing.

Teknologi juga berkaitan dengan prediksi kehandalan perangkat yang


digunakan saat ini agar tetap survive dalam 5 s.d 15 tahun mendatang. serta
hendaknya SDM harus mau belajar setiap saat untuk mengikuti perkembangan
teknologi.

Teknologi juga berakitan dengan keberhasilan pemasaran baik dalam


mendesain grafis, pubklikasi profil dalam cd, membuat website atau blog gratis.
Jangan berpikir bahwa usaha kecil pun tidak perlu website, karena beberapa waktu
lalu saya mendesain sistem sebuah web untuk promosi kecil usaha jahit baju, saat ini
order dari beberapa kota hasil promosi di website sudah mulai berdatangan. Yang
penting unik, entah harga, hasil, pengguna dan nuansa.

Sukses selalu

Ipan Pranashakti KIP


Sumber : http://ipan.web.idpage2

KATA PENGANTAR

Pertama penyusun panjatkan puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa,
karena berkat RahmatNyalah penyusun dapat menyelesaikan tugas kliping
kewirausahaan ini tepat pada waktunya.

Kliping tentang kewirausahaan ini dibuat untuk melengkapi tugas dari mata

kuliah Kewirausahaan. Dimana materi dari kliping ini diambil dari berbagai sumber

baik dari media cetak mapun internet yang berkaitan dengan kewirausahaan.
Semoga kliping ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan tentang

kewirausahaan bagi pembacanya. Sebagai akhir kata penyusun menyampaikan rasa

terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu didalam penyelesaian tugas

ini.

Denpasar , Juli 2009

Penyusun

You might also like