You are on page 1of 5

Memang Semua Laki - Laki Brengsek??

Fajar Gilang Irsadhi


F1C007029

Suatu ketika ada seorang wanita berumur cukup matang mendatangi sebuah

penginapan mewah dengan teman kencannya. Bisa dikatakan itu sebuah hubungan

affairs. Walaupun sang wanita sudah cukup matang umurnya namun ia masih terlihat

cantik dan memang penampilannya cukup menarik perhatian orang sekitarnya.

Sedang teman kencannya terlihat masih muda belia dan berpenampilan cukup necis.

Setelah menyelesaikan administrasi untuk check in, pasangan ini pun kemudian

melenggang menuju kamarnya tanpa ditemani oleh Roomboy yang membawakan

barang karena memang barang bawaan mereka tidak begitu banyak. Kebetulan front

office pihak hotel tersebut hari itu seorang lelaki dan seorang perempuan. Melihat

kejadian tersebut pegawai laki – laki berkata, “kasihan ibu itu, pasti suaminya jarang

pulang kerumah. Nafkah bathinnya kurang terpenuhi oleh suaminya.” Rekan kerjanya

yang perempuan pun hanya terdiam dan tersenyum simpul.

Tak lama kemudian kejadian yang sama terulang namun kondisinya terbalik,

lelaki berumur menggandeng seorang wanita belia. Setelah urusan di front office

selesai, pegawai front office yang perempuan pun sedikit memaki,”dasar laki – laki

dimana – mana sama aja, uda punya istri masih aja cari selipan. Apa enggak mikirin

anak istrinya? Emang laki – laki semua itu bre*****.” Rekan kerjanya yang lelaki

pun diam dan senyumnya tertekan.


Dari cerita tadi kita dapat melihat bahwa bias – bias gender hanya meliputi

perspektif wanita. Padahal dari penjelasan – penjelasan sebelumnya telah kita ketahui

bahwa sebenarnya permasalahan gender adalah menginginkan kesetaraan antara laki

– laki dan perempuan baik perilaku, peran, maupun persepsi.

Ada kejadian lain yang mungki bisa membuka mata kita. Jika seorang

perempuan memakai pakaian laki – laki maka yang laki – laki akan berkata, “wah,

dia tomboy, wajarlah.” Tapi bagaimana sebaliknya, laki – laki memakai pakaian

perempuan, kira – kira yang akan dikatakan perempuan adalah,” banci tu, dia homo

ya.” Lucu memang, jika perempuan melakukan hal yang tidak semestinya maka

persepsi yang terbesit di pihak lelaki adalah empati atau sebuah kewajaran,

sedangkan jika sebaliknya maka persepsi yang terbesit dari pihak perempuan adalah

keheranan, generalisasi yang negatif, atau bahkan caci maki.

Kita patut merasa aneh dengan situasi yang seperti ini. Sebenarnya apa yang

terjadi di masa lampau sehingga ini seolah – olah fenomena ini menjadi sebuah

budaya yang berakar dalam masyarakat Indonesia. Hal ini seolah menggambarkan

bahwa perempuan menjustifikasi negatif laki – laki sehingga dapat mensejajarkan

kaumnya. Tapi kita mengetahui bahwasanya hakekat kesejajaran tidak demikian.

Perempuan dan laki – laki punya peran yang sama, persepsi yang sama, dan bahkan

sanksi dan justifikasi yang sama saat melakukan pelanggaran norma.


Kemudian akan terbesit beberapa pertanyaan seperti, apakah sejak dari dulu

kita telah ditanamkan bahwa kesetaraan peran gender itu tidak pernah ada? Kaum

lelaki punya lebih banyak porsi peran strategis, sedangkan perempuan tidak

demikian. Kondisi seperti itu kemudian menimbulkan kemarahan dalam diri kaum

perempaun sehingga kemudian ditanamkan kepada anaknya agar mempunyai

persepsi yang sama? Mari kita lihat fenomena ini lewat interaksi simbolik.

Interaksi simbolik adalah hasil dari pemikiran seorang sosiolog bernama

George Herbert Mead. Teori milik Mead ini memandang bahwa manusia memiliki

kelebihan atau bekal terlebih dahulu sebelum berinteraksi, setelah interaksi

berlangsung manusia bisa mempunyai pemikiran dan kemudian pemikiran tersebut

disetujui secara kolektif oleh masyarakat.

Menurut Ralph Larossa dan Donald C. Reitzes (1993) dalam West-Turner

(2008: 96), interaksi simbolik pada intinya menjelaskan tentang kerangka referensi

untuk memahami bagaimana manusia, bersama dengan orang lain, menciptakan dunia

simbolik dan bagaimana cara dunia membentuk perilaku manusia.

Lewat proses interaksi inilah seorang individu kemudian memperoleh

pemikirannya terhadap sesuatu. Dalam paragraf sebelumnya, dijelaskan bahwasanya

manusia memiliki bekal sebelum berinteraksi, bekal itu adalah kemampuan berpikir

atau kognisi. Ketika sebuah interaksi berlangsung, tentunya yang mengenai tema

kesetaraan gender, maka bekal – bekal tersebut ikut berproses dengan interaksi
tersebut. Dalam proses tersebut maka kemudian akan menciptakan kerangka pikir

bahwa laki – laki akan seperti ini dan perempuan akan seperti itu.

Sayangnya proses interaksi ini terjadi lewat referensi yang kadang terbilang

kurang seimbang. Anak lelaki biasanya akan lebih sering berbagi dengan ayah dan

anak perempuan akan lebih sering dengan ibunya. Porsi yang kadang kurang

seimbang ini kemudian yang membentuk jenjang antara laki – laki dan perempuan.

bila di ibaratkan yang laki – laki kemudian menanamkan bahwa laki – laki memiliki

porsi satu seperempat, dan yang perempuan menanamkan bahwa porsinya hanya dua

per tiga atau bahkan hanya setengah.

Setelahnya tidak menutup kemungkinan jika sang perempuan akan merasakan

kecemburuan karena perbedaan porsi tersebut. Disinilah kemudian kemampuan

berpikir seorang individu mengembangkan konsep yang tertanam tersebut menjadi

sebuah kerangka refrensi. Dan unfortunately, ini yang menciptakan rangka

kecemburuan dan keberjenjangan yang membuat pergolakan amarah dalam diri

seorang individu perempuan. lebih parahnya lagi kerangka referensi tersebut akan

pasti terus terngiang-ngiang selama hidupnya dan kemungkinan tanpa sadar

menyebabkan sensitifitas tersendiri. Pertanyaan selanjutnya apakah kejadian ini

terjadi dalam keluarga kita dulu?

Satu hal lagi kemudian adalah mengenai konsep diri yang akan terbentuk dari

referensi tersebut. Mead menjelaskan bahwa konsep diri terbentuk melalui interaksi
dengan manusia lain dalam masyarakat dan itu lewat komunikasi. Hal ini diperkuat

oleh Coley dengan konsep looking glass self. Berdasarkan konsep ini, manusia

memikirkan apa yang akan dipikirkan orang lain tentang dirinya.

Sudah memiliki kerangka pikir yang seperti telah dijelaskan, maka selanjutnya

pengalaman kognitif, afektif, dan psikologis selama hidup yang niscaya tidak akan

setara. Otomatis konsep diri dalam masing – masing individu akan terbentuk bahwa

memang tidak ada kesetaraan di antara keduanya.

Dari penjelasan tersebut dapat kita ambil bahwa sebenarnya peran – peran

lingkungan social, mulai dari yang paling mikro yaitu keluarga sampai lingkungan

makro, media massa, memang mengenalkan adanya perbedaan peran gender.

Pengenalan – pengenalan tersebut kemudian menciptakan konstruksi referensi bahwa

memang lelaki dan perempuan memiliki peran strategis yang berbeda. Nah dari

konstruksi tersebut bisa saja menciptakan persepsi – persepsi berbeda atau bahkan

yang negatif bagi masing – masing kaum perempuan dan lelaki.

Sepertinya memang dibutuhkan sebuah paradigma baru untuk menyelesaikan

masalah klasik ini. Sebuah paradigma baru yang benar – benar mengedepankan

kesetaraan peran dan persepsi sehingga perempuan dan laki – laki bisa memiliki

kebebasan dalam bekerja sama dalam kehidupan sosial.

You might also like