Professional Documents
Culture Documents
Suatu ketika ada seorang wanita berumur cukup matang mendatangi sebuah
penginapan mewah dengan teman kencannya. Bisa dikatakan itu sebuah hubungan
affairs. Walaupun sang wanita sudah cukup matang umurnya namun ia masih terlihat
Sedang teman kencannya terlihat masih muda belia dan berpenampilan cukup necis.
Setelah menyelesaikan administrasi untuk check in, pasangan ini pun kemudian
barang karena memang barang bawaan mereka tidak begitu banyak. Kebetulan front
office pihak hotel tersebut hari itu seorang lelaki dan seorang perempuan. Melihat
kejadian tersebut pegawai laki – laki berkata, “kasihan ibu itu, pasti suaminya jarang
pulang kerumah. Nafkah bathinnya kurang terpenuhi oleh suaminya.” Rekan kerjanya
Tak lama kemudian kejadian yang sama terulang namun kondisinya terbalik,
lelaki berumur menggandeng seorang wanita belia. Setelah urusan di front office
selesai, pegawai front office yang perempuan pun sedikit memaki,”dasar laki – laki
dimana – mana sama aja, uda punya istri masih aja cari selipan. Apa enggak mikirin
anak istrinya? Emang laki – laki semua itu bre*****.” Rekan kerjanya yang lelaki
perspektif wanita. Padahal dari penjelasan – penjelasan sebelumnya telah kita ketahui
Ada kejadian lain yang mungki bisa membuka mata kita. Jika seorang
perempuan memakai pakaian laki – laki maka yang laki – laki akan berkata, “wah,
dia tomboy, wajarlah.” Tapi bagaimana sebaliknya, laki – laki memakai pakaian
perempuan, kira – kira yang akan dikatakan perempuan adalah,” banci tu, dia homo
ya.” Lucu memang, jika perempuan melakukan hal yang tidak semestinya maka
persepsi yang terbesit di pihak lelaki adalah empati atau sebuah kewajaran,
sedangkan jika sebaliknya maka persepsi yang terbesit dari pihak perempuan adalah
Kita patut merasa aneh dengan situasi yang seperti ini. Sebenarnya apa yang
terjadi di masa lampau sehingga ini seolah – olah fenomena ini menjadi sebuah
budaya yang berakar dalam masyarakat Indonesia. Hal ini seolah menggambarkan
Perempuan dan laki – laki punya peran yang sama, persepsi yang sama, dan bahkan
kita telah ditanamkan bahwa kesetaraan peran gender itu tidak pernah ada? Kaum
lelaki punya lebih banyak porsi peran strategis, sedangkan perempuan tidak
demikian. Kondisi seperti itu kemudian menimbulkan kemarahan dalam diri kaum
persepsi yang sama? Mari kita lihat fenomena ini lewat interaksi simbolik.
George Herbert Mead. Teori milik Mead ini memandang bahwa manusia memiliki
(2008: 96), interaksi simbolik pada intinya menjelaskan tentang kerangka referensi
untuk memahami bagaimana manusia, bersama dengan orang lain, menciptakan dunia
manusia memiliki bekal sebelum berinteraksi, bekal itu adalah kemampuan berpikir
atau kognisi. Ketika sebuah interaksi berlangsung, tentunya yang mengenai tema
kesetaraan gender, maka bekal – bekal tersebut ikut berproses dengan interaksi
tersebut. Dalam proses tersebut maka kemudian akan menciptakan kerangka pikir
bahwa laki – laki akan seperti ini dan perempuan akan seperti itu.
Sayangnya proses interaksi ini terjadi lewat referensi yang kadang terbilang
kurang seimbang. Anak lelaki biasanya akan lebih sering berbagi dengan ayah dan
anak perempuan akan lebih sering dengan ibunya. Porsi yang kadang kurang
seimbang ini kemudian yang membentuk jenjang antara laki – laki dan perempuan.
bila di ibaratkan yang laki – laki kemudian menanamkan bahwa laki – laki memiliki
porsi satu seperempat, dan yang perempuan menanamkan bahwa porsinya hanya dua
seorang individu perempuan. lebih parahnya lagi kerangka referensi tersebut akan
Satu hal lagi kemudian adalah mengenai konsep diri yang akan terbentuk dari
referensi tersebut. Mead menjelaskan bahwa konsep diri terbentuk melalui interaksi
dengan manusia lain dalam masyarakat dan itu lewat komunikasi. Hal ini diperkuat
oleh Coley dengan konsep looking glass self. Berdasarkan konsep ini, manusia
Sudah memiliki kerangka pikir yang seperti telah dijelaskan, maka selanjutnya
pengalaman kognitif, afektif, dan psikologis selama hidup yang niscaya tidak akan
setara. Otomatis konsep diri dalam masing – masing individu akan terbentuk bahwa
Dari penjelasan tersebut dapat kita ambil bahwa sebenarnya peran – peran
lingkungan social, mulai dari yang paling mikro yaitu keluarga sampai lingkungan
memang lelaki dan perempuan memiliki peran strategis yang berbeda. Nah dari
konstruksi tersebut bisa saja menciptakan persepsi – persepsi berbeda atau bahkan
masalah klasik ini. Sebuah paradigma baru yang benar – benar mengedepankan
kesetaraan peran dan persepsi sehingga perempuan dan laki – laki bisa memiliki