You are on page 1of 27

BAB I

PENDAHULUAN

1. Identifikasi pasien
Nama pasien : David
Umur : 24 tahun
MRS : 18 Juli 2010

2. Anamnesis
Keluhan utama :
Penurunan kesadaran setelah kecelakaan lalu lintas

Riwayat perjalanan penyakit :


± 2 jam sebelum masuk rumah sakit penderita ditabrak motor dari arah samping
saat menyebrang jalan, penderita terjatuh dengan kepala, dada, dan perut
membentur benda keras.

Riwayat Penyakit Dahulu


R/ asma (-), R/ penyakit hati (-), R/ penyakit jantung (-), R/ penyakit paru (-), R/
penyakit ginjal (-), R/ operasi sebelumnya (-), R/ alergi obat atau makanan (-), R/
merokok (-), R/ alkohol (-).

3. Pemeriksaan Fisik
Kesadaran : E3M4V3 = GCS 10
Nadi : 60 x/menit
Tekanan darah : 120/60 mmHg
RR : 20 x/menit
Suhu : 36,7°C

1
BB : 50 kg
Kepala : luka laserasi
Pupil : anisokor (kiri > kanan)
Leher : tidak ada kelainan
Dada / paru : luka lecet

Status lokalis :
1. Parietal dextra : luka robek 2 cm (sudah dijahit)
2. Mandibula dextra : luka lecet 2x1 cm dan 4x1 cm
3. Thorax : luka lecet 4x3 cm setinggi ICS VII – IX linea para
sternalis dextra sampai mid klavikula dextra.
o Perkusi : sonor kedua hemithorax
o Auskultasi : vesikuler kedua hemithorax, bunyi jantung normal
4. Abdomen :
o Inspeksi : luka lecet 5x2 cm kuadran kanan atas dan 3x2 cm
kuadran kanan bawah
o Palpasi : lemas
o Perkusi : timpani
o Auskultasi : bunyi usus (+)
5. Rectal toucher : TSA baik, mukosa lien ampula tidak kolaps

4. Pemeriksaan Penunjang
- Laboratorium
Darah rutin :
Hemoglobin : 11,7 (14-18 g/dL)
Hematokrit : 35 (40-48 %)
Leukosit : 13800 (5000-10.000 mm3/µL)
Trombosit : 246000

2
Kimia klinik :
Ureum : 32 (15-39 mg/dL)
Kreatinin : 0,7 (0,2-1,3 mg/dL)
Natrium : 144 (135-155 mmol/L)
Kalium : 3,9 4,6 mmol/L (3,5-5,5 mmol/L)
Klorida : 105
BSS : 140
- CT scan : epidural hematoma frontal sinistra

Kesan : ASA III E


Diagnosis prabedah : trauma kapitis sedang tertutup GCS 10 + epidural hematoma
lobus frontal sinistra
Rencana : craniotomy
Izin operasi : ada
Tanggal operasi : 18 Juli 2010
Jenis operasi : emergency
Premedikasi :-
Jenis anastesi :
- Induksi : propofol, fentanyl, dan ecron
- Pemeliharaan : O2, isoflurane

5. Keadaan Selama Anestesi


Penderita dipasang infus dengan cairan NaCl dua jalur di pergelangan tangan kiri
dan pergelangan tangan kiri pada pukul 22.25 WIB. Pasang semua peralatan untuk
memonitor saturasi, tekanan darah, nadi dan pernapasan pada tubuh penderita.
Sekrup pengatur oksigen dibuka. Nadi saat itu terukur 119/54 mmHg, pernapasan
12x/menit, dan saturasi oksigen 99%. Pasien kemudian diberikan bolus sulfas
atropine pada pukul 22.25 WIB dengan dosis 0,5 mg

3
Kemudian diinjeksikan fentanil 100 µg, dan dilakukan induksi anestesi dengan
bolus propofol 120 mg. Lalu diberikan oksigen dengan sungkup dan kemudian
diberikan injeksi ecron 5 mg. Setelah itu dilakukan pemeriksaan reflex bulu mata
dan hasilnya negatif lalu diberikan oksigen dengan menggunakan sungkup selama
3 menit

Kemudian dimasukkan laringoskopi dengan tangan kiri sampai terlihat epiglottis


dan rima glottis lalu dimasukkan endotracheal tube no 7 untuk ukuran penderita.
Setelah masuk balon pada ETT dikembangkan dengan syringe kemudian
disambungkan dengan konektor oksigen lalu diauskultasi thoraks kiri dan kanan
apakah sama. Bila bunyi auskultasi kedua paru sama berarti ETT masuk di tengah-
tengah trakea kemudian pasang goedel no 8 dan fiksasi ETT serta goedel dengan
plaster.

Isofluran diputar pada angka 2 volume %, O2, dan air secara inhalasi sebagai
maintenence anestesi sampai tindakan pembedahan selesai. Pada pasien ini tidak
diberikan N2O.

Operasi dilakukan pada pukul 22.40 WIB. Cairan yang diberikan antara lain NaCl
1500 cc, haemma cell 500 cc, dan whole blood 300 cc. . Pada pukul 22.35 WIB
infus NaCl diberi carbazochrome. Pada pukul 23.40 diberikan injeksi vitamin K.
Selama operasi tekanan darah, denyut jantung dan saturasi oksigen stabil. Operasi
berakhir pada pukul 00.25 WIB dengan catatan pembedahan didapatkan darah
dan bekuan darah ± 150 cc di epidural space. Anestesi berakhir pada pukul 00.35
dan tapi tidak dilakukan ekstubasi.

4
6. Penatalaksanaan Pasca anestesi
Setelah anestesi selesai penderita masih dalam keadaan penurunan kesadaran
GCS 8, nadi penderita terukur 96 x/menit, laju pernapasan 23 x/menit, tekanan
darah 120/70 mmHg, suhu badan 35°C. penderita diberikan oksigen kanul 2
L/menit, diberikan analgetik ketorolak dan tramadol didrip pada NaCl, penderita
diberikan selimut kemudian langsung dibawa ke ruang intensive care unit.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Trauma Kepala

1. Definisi

Cedera Kepala atau Traumatic Brain Injury (TBI) adalah salah satu dari
trauma yang paling serius dan mengancam jiwa. Terapi yang tepat dan cepat
diperlukan untuk mendapatkan outcome yang baik. Anestetist mengelola pasien
ini sepanjang periode perioperatif, dari ruang gawat darurat sampai ke tempat
pemeriksaan radiologi, kamar bedah, dan neuroICU.
Sasaran utama pengelolaan anestesi untuk pasien dengan cedera otak adalah
optimalisasi tekanan perfusi otak dan oksigenasi otak, hindari cedera sekunder dan
memberikan fasilitas pembedahan untuk dokter bedah saraf. Anestesi umum
dianjurkan untuk memfasilitasi fungsi respirasi dan sirkulasi.
Cedera kepala diklasifikasikan kedalam cedera primer dan cedera sekunder.
Klasifikasi ini berguna untuk pertimbangan terapi. Cedera primer adalah
kerusakan yang ditimbulkan oleh impak mekanis dan stres aselerasi-deselerasi
pada tulang kepala dan jaringan otak, mengakibatkan patah tulang kepala (tulang
kepala atau basis kranii) dan lesi intrakranial. Lesi intrakranial diklasifikasikan
kedalam dua tipe yaitu cedera difus dan fokal. Difus injuri ada dua kategori yaitu
brain concussion (bila hilangnya kesadaran berakhir < 6 jam) dan Diffus axonal
injury /DAI (bila hilangnya kesadaran berakhir > 6 jam). Fokal injury ada
beberapa macam antara lain brain contusion, epidural hematom, subdural
hematom, intracerebral hematom. Cedera sekunder berkembang dalam menit, jam
atau hari sejak cedera pertama dan menimbulkan kerusakan lanjutan dari jaringan
saraf. Penyebab paling umum dari cedera sekunder adalah hipoksia dan iskemi

6
serebral. Cedera sekunder dapat disebabkan hal-hal berikut : 1) disfungsi respirasi
(hipoksemia, hiperkarbia), 2) instabilitas kardiovaskuler ( hipotensi, curah jantung
rendah), 3) peningkatan tekanan intrakranial, dan 4) kekacauan biokimia.

2. Anatomi

2.1 Meninges dan Vasa Darah Otak


2.1.1 Meninges
Meninges adalah selubung jaringan ikat non sarafi yang membungkus otak dan
medulla spinalis yang barisi liquor cerebrospinal dan berfungsi sebagai schock
absorber. Meninges terdiri dari tiga lapisan dari luar kedalam yaitu : duramater,
arachnoidea dan piamater.
a. Duramater
Merupakan selaput padat, keras dan tidak elastis. Duramater pembungkus
medulla spinalis terdiri atas satu lembar, sedangkan duramater otak terdiri
atas dua lembar yaitu lamina endostealis yang merupakan jaringan ikat
fibrosa cranium, dan lamina meningealis. Membentuk lipatan / duplikatur
dibeberapa tempat, yaitu dilinea mediana diantara kedua hehemispherium
cerebri disebut falx cerebri , berbentuk segitiga yang merupakan lanjutan
kekaudal dari falx cerebri disebut Falx cerebelli, berbentuk tenda yang
merupakan atap dari fossa cranii posterior memisahkan cerebrum dengan
cerebellum disebut tentorium cerebelli, dan lembaran yang menutupi sella
tursica merupakan pembungkus hipophysis disebut diafragma sellae.
Diantara dua lembar duramater, dibeberapa tempat membentuk ruangan
disebut sinus ( venosus ) duramatris.
Sinus duramatis menerima aliran dari vv. Cerebri, vv. Diploicae, dan vv.
Emissari. Ada dua macam sinus duramatis yang tunggal dan yang
berpasangan. Sinus duramater yang tunggal adalah : sinus sagitalis superior,

7
sinus sagitalis inferior, sinus rectus, dan sinus occipitalis. Sinus sagitalis
superior menerima darah dari vv. Cerebri,vv. Diploicae, dan vv.
Emissari.Sinus sagitalis inferior menerima darah dari facies medialis otak.
Sinus rectus terletak diantara falx cerebri dan tentorium cerebelli, merupakan
lanjutan dari v. cerebri magna, dengan sinus sagitalis superior membentuk
confluens sinuum. Sinus occipitalis mulai dari foramen magnum, bergabung
dengan confluens sinuum.
Sinus duramater yang berpasangan yaitu sinus tranversus, sinus cavernosus,
sinus sigmoideus dan sinus petrosus superior dan inferior. Sinus tranversus
menerima darah dari sinus sagitalis superior dan sinus rectus, kemudian
mengalir ke v. jugularis interna. Sinus sigmoideus merupakan lanjutan sinus
tranversus berbentuk huruf S. Sinus petrosus superior dan inferior menerima
darah dari sinus cavernosus dan mengalirkan masing – masing ke sinus
traaanversus dan v. jugularis interna.

b. Aracnoidea
Membran halus disebelah dalam duramater, tidak masuk kedalam sulcus /
fissura kecuali fissura longitudinalis. Dari aracnoidea banyak muncul
trabecula halus menuju kepiamater membentuk bangunan seperti sarang laba
– laba.
Diantara aracnoidea dan piamater terdapat ruang spatium subaracnoidale,
yang dibeberapa tempat melebar membentuk cisterna. Sedangkan celah
sempit diantara duramater dan aracnoidea disebut spatium subdurale, celah
sempit diluar duramater disebut spatium epidurale.
Dari aracnoidea juga muncul jonjot – jonjot yang mengadakan invaginasi ke
duramater disebut granulasio aracnoidales terutama didaerah sinus sagitalis
yang berfungsi klep satu arah memungkinkan lalunya bahan – bahan dari
LCS ke sinus venosus.

8
c. Piamater
Piamater melekat erat pada otak dan medulla spinalis, mengikuti setiap
lekukan, mengandung vasa kecil. Ditempat tertentu bersama dengan
ependyma membentuk tela choroidea. Piamater berperan sebagai barrier
terhadap masuknya senyawa yang membahayakan.

2.1.2 Vasa Darah Otak


a. Arteri
Otak divaskularisasi oleh cabang – cabang a. carotis interna dan a.
vertebralis. A. carotis interna merupakan cabang dari a. carotis comunis
yang masuk ke kavum cranii melalui canalis caroticus, cabang- cabangnya
adalah a. optalmica, a. choroidea anterior, a. cerebralis anterior dan
a.cerebralis medialis. A. opthalmica mempercabang a. centralis retina, a.
cerebralis anterior mempercabangkan a. communicans anterior, sedangkan a.
cerebralis medialis mempercabangkan a. communican posterior.
Arteri vertebralis merupakan cabang a. subclavia naik ke leher melalui
foramina tranversalis. Kedua a. vertebralis di kranial pons membentuk a.
basillaris yang mempercabangkan aa. Pontis, a.labirintina (mengikuti n. V
dan n. VIII ), a. cerebellaris superior ( setinggi n. III dan n. IV ) dan a.
cerebralis posterior yang merupakan cabang terminal a. basilaris.
Cabang -.cabang a. carotis interna dan a. vertebralis membentuk circulus
arteriosus Willis yang terdapat disekitar chiasma opticum. Dibentuk oleh a.
cerebralis anterior, a. cerebralis media, a. cerebralis posterior, a. comunican
posterior dan a.communican anterior. Sistem ini memungkinkan suplai darah
ke otak yang adekuat terutama jika terjadi oklusi / sumbatan.

9
b. Vena
Vena diotak diklasifikasikan sebagai berikut :
- Vena cerebri eksterna, meliputi v. cerebralis superior / lateralis /
medialis / inferior dan vv. Basallles.
- Vena cerebri interna, meliputi v. choroidea dan v. cerebri magna.
- Vv. Cerebellaris
- Vv. Emissariae, yaitu vena yang menghubungkan sinus duralis dengan
vena superfisialis cranium yang berfungsi sebagai klep tekanan jika
terjadi kenaikan tekanan intrakranial. Juga berperan dalam penyebaran
infeksi ke dalam cavum cranii.
Vena yang berasal dari truncus cerebri dan cerebellum pada umumnya
mengikuti kembali aliran arterinya. Sedangkan aliran balik darah venosa di
cerebrum tidak tidak mengikuti pola di arterinya. Semua darah venosa
meninggalkan otak melalui v. jugularis interna pada basis cranii.
Anastomosis venosa sangat ektensif dan efektif antara vv. Superfisialis dan
vv. Profunda di dalam otak.

3. Manifestasi Klinis

Pada trauma kapitis dapat terjadi perdarahan intrakranial / hematom intrakranial


yang dibagi menjadi : hematom yang terletak di luar duramater yaitu hematom
epidural, dan yang terletak di dalam duramater yaitu hematom subdural dan
hematom intraserebral ; di mana masing-masing dapat terjadi sendiri ataupun
bersamaan.

10
4. Hematoma epidural

4.11 Definisi
Hematom epidural merupakan pengumpulan darah diantara tengkorak dengan
duramater (dikenal dengan istilah hematom ekstradural). Hematom jenis ini
biasanya berasal dari perdarahan arteriel akibat adanya fraktur linier yang
menimbulkan laserasi langsung atau robekan arteri-arteri meningens (a.
Meningea media). Fraktur tengkorak yang menyertai dijumpai pada 8% - 95%
kasus, sedangkan sisanya (9%) disebabkan oleh regangan dan robekan arteri
tanpa ada fraktur (terutama pada kasus anak-anak dimana deformitas yang
terjadi hanya sementara). Hematom epidural yang berasal dari perdarahan vena
lebih jarang terjadi.

4.1.2 Etiologi
Kausa yang menyebabkan terjadinya hematom epidural meliputi :
-   Trauma kepala
-    Sobekan a/v meningea mediana
-   Ruptur sinus sagitalis / sinus tranversum
-   Ruptur v diplorica
Hematom jenis ini biasanya berasal dari perdarahan arterial akibat adanya
fraktur linier yang menimbulkan laserasi langsung atau robekan arteri meningea
mediana.Fraktur tengkorak yang menyertainya dijumpai 85-95 % kasus, sedang
sisanya ( 9 % ) disebabkan oleh regangan dan robekan arteri tanpa ada fraktur
terutama pada kasus anak-anak dimana deformitas yang terjadi hanya
sementara.
Hematom jenis ini yang berasal dari perdarahan vena lebih jarang terjadi,
umumnya disebabkan oleh laserasi sinus duramatris oleh fraktur oksipital,
parietal atau tulang sfenoid.

11
4.1.3 Klasifikasi
Berdasarkan kronologisnya hematom epidural diklasifikasikan menjadi :
1. Akut : ditentukan diagnosisnya waktu 24 jam pertama setelah trauma
2. Subakut : ditentukan diagnosisnya antara 24 jam – 7 hari
3. Kronis : ditentukan diagnosisnya hari ke 7
 
4.1.4 Patofisiologi
Hematom epidural terjadi karena cedera kepala benda tumpul dan dalam waktu
yang lambat, seperti jatuh atau tertimpa sesuatu, dan ini hampir selalu
berhubungan dengan fraktur cranial linier. Pada kebanyakan pasien, perdarahan
terjadi pada arteri meningeal tengah, vena atau keduanya. Pembuluh darah
meningeal tengah cedera ketika terjadi garis fraktur melewati lekukan
minengeal pada squama temporal.

 4.1.5 Gejala klinis


Gejala klinis hematom epidural terdiri dari trias gejala;
a. Interval lusid (interval bebas)
Setelah periode pendek ketidaksadaran, ada interval lucid yang diikuti
dengan perkembangan yang merugikan pada kesadaran dan hemisphere
contralateral. Lebih dari 50% pasien tidak ditemukan adanya interval lucid,
dan ketidaksadaran yang terjadi dari saat terjadinya cedera.

12
Sakit kepala yang sangat sakit biasa terjadi, karena terbukanya jalan dura
dari bagian dalam cranium, dan biasanya progresif bila terdapat interval
lucid.
Interval lucid dapat terjadi pada kerusakan parenkimal yang minimal.
Interval ini menggambarkan waktu yang lalu antara ketidak sadaran yang
pertama diderita karena trauma dan dimulainya kekacauan pada diencephalic
karena herniasi transtentorial. Panjang dari interval lucid yang pendek
memungkinkan adanya perdarahan yang dimungkinkan berasal dari arteri.

b. Hemiparesis
Gangguan neurologis biasanya collateral hemipareis, tergantung dari efek
pembesaran massa pada daerah corticispinal. Ipsilateral hemiparesis sampai
penjendalan dapat juga menyebabkan tekanan pada cerebral kontralateral
peduncle pada permukaan tentorial.

c. Anisokor pupil
Yaitu pupil ipsilateral melebar. Pada perjalananya, pelebaran pupil akan
mencapai maksimal dan reaksi cahaya yang pada permulaan masih positif
akan menjadi negatif. Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan
bradikardi.pada tahap ahir, kesadaran menurun sampai koma yang dalam,
pupil kontralateral juga mengalami pelebaran sampai akhirnya kedua pupil
tidak menunjukkan reaksi cahaya lagi yang merupakan tanda kematian.

4.1.6 Terapi
Hematom epidural adalah tindakan pembedahan untuk evakuasi secepat
mungkin, dekompresi jaringan otak di bawahnya dan mengatasi sumber
perdarahan.

13
Biasanya pasca operasi dipasang drainase selama 2 x 24 jam untuk menghindari
terjadinya pengumpulan darah yamg baru.
- Trepanasi –kraniotomi, evakuasi hematom
- Kraniotomi-evakuasi hematom

4.1.7Komplikasi Dan Outcome


Hematom epidural dapat memberikan komplikasi :
-   Edema serebri, merupakan keadaan-gejala patologis, radiologis, maupun
tampilan ntra-operatif dimana keadaan ini mempunyai peranan yang sangat
bermakna pada kejadian pergeseran otak (brain shift) dan peningkatan
tekanan intrakranial
-   Kompresi batang otak – meninggal
Sedangkan outcome pada hematom epidural yaitu :
-   Mortalitas 20% -30%
-   Sembuh dengan defisit neurologik 5% - 10%
-   Sembuh tanpa defisit neurologik
-   Hidup dalam kondisi status vegetative

5. Penatalaksanaan Anestesi

5.1 Pemeriksaan prabedah


Pemeriksaan prabedah sama seperti pemeriksaan rutin untuk tindakan anestesi
lain, hanya ditambah dengan evaluasi tekanan intrakranial, efek samping
kelainan serebral, terapi dan pemeriksaan sebelumnya, hasil CT-scan, MRI dll.
CT scan menunjukkan adanya peningkatan tekanan intrakranial dengan adanya
midline shift, obliterasi sisterna basalis, hilangnya sulkus, hilangnya ventrikel
(atau pembesaran, dalam kasus hidrosefalus), dan edema (adanya daerah
hipodensitas).

14
Indikasi untuk pemasangan monitor tekanan intrakranial adalah 1) CT scan
abnormal dan GCS 3-8 setelah resusitasi syok dan hipoksia adekuat, 2) CT scan
normal dan GCS 3-8 dan disertai dua atau lebih : umur > 40 tahun, posturing,
tekanan sistolik < 90 mmHg. Pemantauan tekanan intrakranial menggunakan
kateter intraventrikuler lebih disukai karena selain dapat membaca tekanan
intrakranial juga dapat digunakan untuk terapi peningkatan tekanan intrakranial
dengan cara drainase cairan serebrospinal. Terapi untuk menurunkan tekanan
intrakranial umumnya dimulai pada level tekanan intrakranial 20-25 mmHg.
Tujuannya untuk mempertahankan tekanan perfusi otak > 70 mmHg.
Pengobatan hipertensi intrakranial adalah level kepala 150 sampai 300,
mengendalikan kejang, ventilasi PaCO2 normal rendah (35 mmHg), suhu tubuh
normal, tidak ada obstruksi drainase vena jugularis, optimal resusitasi cairan
dan semua homeostasis fisiologis, dan pemberian sedasi dan obat pelumpuh
otot bila diperlukan. Bila tindakan ini gagal untuk menurunkan tekanan
intrakranial, tambahan terapi diberikan dalam manuver first-tier dan second-tier
terapi.
First-tier terapi adalah : 1) drainase CSF secara inkremental melalui kateter
intraventricular, 2) Diuresis dengan mannitol, 0.25-1.5 g/kg diberikan lebih dari
10 menit, 3) hiperventilasi moderat. Mannitol menurunkan tekanan intrakranial
dengan cara mengurangi edema otak dan memperbaiki aliran darah otak. Akan
tetapi, mannitol dapat menyebabkan diuresis dan hipotensi, terutama pada fase
resusitasi awal bila tidak dipasang alat pantau invasif dan adanya cedera lain
tidak diketahui. Karena itu, dipertahankan euvolemia atau sedikit hipervolemia
selama terapi mannitol dan osmolaritas serum dipantau serta dipertahankan
dibawah 320 mOsm/L. Hiperventilatisi moderat untuk mencapai PaCO2 antara
35 sampai 40 mmHg juga menurunkan tekanan intrakranial dengan mengurangi
aliran darah otak. Hiperventilasi harus dilakukan dengan singkat untuk

15
mengobati gangguan neurologis akut atau peningkatan tekanan intrakranial
yang refrakter terhadap drainase cairan serebrospinal dan pemberian mannitol.
Second-tier terapi adalah: 1) hiperventilasi agressif, 2) dosis tinggi barbiturat
dan, 3) craniektomi decompresif. Hiperventilasi agressif untuk mencapai
PaCO2 < 30 mmHg mungkin diperlukan untuk peningkatan tekanan
intrakranial yang tidak berespon terhadap first-tier terapi. Bila digunakan
aggresif hiperventilasi, pemantauan jugular venous oxygen saturation (SJO2)
atau cerebral tissue oxygenation dianjurkan untuk menilai pengaruh penurunan
aliran darah otak pada metabolisme oksigen serebral.
Herniasi otak adalah satu hal yang paling ditakutkan sebagai akibat penyakit
intrakranial misalnya tumor otak atau cedera kepala. Dari pasien cedera kepala
yang berkembang menjadi herniasi transtentorial, hanya 18% mempunyai
outcome yang baik, didefinisikan sebagai good recovery atau moderate
disability.
Secara klasik, trias yang dihubungkan dengan herniasi transtentorial yaitu
penurunan kesadaran, dilatasi pupil, motor posturing timbul sebagai
konsekwensi adanya massa hemisperic. Tanda pertama dan ketiga akan hilang
bila pasien dianestesi dan yang kedua memerlukan pemantauan pupil yang
sering.
Pengelolaan klinis sindroma herniasi adalah sama dengan pengelolaan
hipertensi intrakranial yaitu dirancang untuk mengurangi volume otak dan
volume darah otak yaitu dengan cara: berikan mannitol, hiperventilasi.
Tambahan tindakan yang mungkin digunakan adalah posisi kepala head-up
(supaya drainase vena serebral baik), posisi leher netral (untuk menghindari
penekanan vena jugularis), pola ventilasi yang tepat, glukokortikoid (hanya
untuk tumor atau abses otak, tidak efektif untuk stroke dan kerusakan akibat
hipoksia), sedasi, pelumpuh otot dan terapi demam (lakukan hipotermi ringan).

16
Bila tekanan darah naik, harus dikurangi secara hati-hati karena hipertensi
umumnya sekunder bukan primer (merupakan komponen dari trias Cushing).
Pengelolaan pasien tanpa adanya tanda klinis herniasi otak. Bila tidak ada tanda
herniasi transtentorial, sedasi dan pelumpuh otot harus digunakan selama
transportasi pasien untuk kemudahan dan keamanan selama transportasi.
Agitasi, confus sering terdapat pada pasien cedera kepala dan memerlukan
pertimbangan pemberian sedasi. Pelumpuh otot mempunyai keterbatasan untuk
evaluasi pupil serta dalam pemeriksaan CT scan. Karena itu, penggunaannnya
pada pasien tanpa tanda herniasi otak adalah bila pemberian sedatif saja tidak
cukup untuk menjamin keamanan dan kemudahan transportasi pasien. Bila
akan digunakan pelumpuh otot, pakailah yang masa kerjanya pendek. Tidak
perlu mannitol karena dapat menimbulkan hipovolemia. Tidak perlu dilakukan
hiperventilasi tapi asal optimal oksigenasi dan normal ventilasi.
Pengelolaan pasien dengan adanya tanda klinis herniasi otak. Bila ada tanda
herniasi transtentorial atau perubahan progresif dari memburuknya neurologis
yang bukan disebabkan akibat ekstrakranial, diindikasikan untuk melakukan
terapi agresif peningkatan tekanan intrakranial. Hiperventilasi mudah dilakukan
dengan meningkatkan frekuensi ventilasi dan tidak tergantung pada sukses atau
tidaknya resusitasi volume. Disebabkan hipotensi dapat menimbulkan
memburuknya neurologis dan hipertensi intrakranial maka pemberian mannitol
hanya bila volume sirkulasi adekuat. Bila belum adekuat jangan dulu diberi
mannitol.
 
5.2 Anestesi
Neuroanestesi
Dalam bedah syaraf selain memfasilitasi dapat dilakukan tindakan pembedahan,
juga mengendalikan tekanan intrakranial dan volume otak, melindungi jaringan

17
syaraf dari cedera dan iskemia (melakukan brain protection) serta mengurangi
perdarahan selama pembedahan.
Miller (1985) mengatakan bahwa makin tinggi kenaikan tekanan intrakranial,
maka makin tinggi mortalitas

Prinsip-prinsip neuroanestesi
A : airway, jalan nafas harus bebas sepanjang waktu.
B : breathing, ventilasi kendali, PaCO2 Normokapni pada cedera kepala,
sedikit hipokapni pada tumor, PaO2 100-200 mmHg.
C : circulation, target normotensi (hindari lonjakan tekanan darah), cairan
isoosmoler, normovolemia, normoglikemia, tidak ada gangguan drainase vena
serebral/hindari peningkatan tekanan vena serebral.
D : drug, hindari obat dan teknik yang meningkatkan tekanan intra kranial,
berikan obat-obat yang mempunyai efek proteksi otak.
E : environment, pertahankan suhu permisive hipotermi : di OK (35˚C) di
ICU ( 35-36 ˚C).

Pasien dengan cedera kepala berat (GCS 3-8) biasanya telah dilakukan intubasi
di unit gawat darurat atau untuk keperluan CT-scan. Bila pasen datang ke
kamar operasi belum dilakukan intubasi, dilakukan oksigenasi dan bebaskan
jalan nafas. Spesialis anestesi harus waspada bahwa pasien ini mungkin dalam
keadaan lambung penuh, hipovolemia, dan cervical spine injury.
Beberapa teknik induksi dapat dilakukan dan keadaan hemodinamik yang stabil
menentukan pilihan teknik induksinya. Rapid sequence induction dapat
dipertimbangkan pada pasien dengan hemodinamik yang stabil walaupun
prosedur ini dapat meningkatkan tekanan darah dan tekanan intrakranial.
Selama pemberian oksigen 100%, dosis induksi pentotal 3-4 mg/kg atau
propofol 1-2 mg/kg dan succinylcholin1,5 mg/kg diberikan, lidokain 1,5 mg/kg

18
lalu dilakukan intubasi endotrakheal. Etomidate 0,2-0,3 mg/kg dapat diberikan
pada pasien dengan status sirkulasi diragukan. Pada pasien dengan
hemodinamik tidak stabil dosis induksi diturunkan atau tidak diberikan. Akan
tetap, depresi kardiovaskuler selalu menjadi pertimbangan, terutama pada
pasien dengan hipovolemia.
Succinylcholin dapat meningkatkan tekanan intrakranial. Pemberian dosis kecil
pelumpuh otot nondepolarisasi dapat mencegah kenaikkan tekanan intrakranial,
akan tetapi keadaan ini tidak dapat dipastikan. Succinylcholin tetapi merupakan
pilihan, terutama, untuk memfasilitasi laringoskopi dan intubasi yang cepat.
Rocuronium 0,6 -1 mg/kg merupakan alternatif yang memuaskan disebabkan
karena onsetnya yang cepat dan sedikit pengaruhnya pada dinamika
intrakranial.
Bila pasien stabil dan tidak ada lambung penuh, induksi intravena dapat
dilakukan dengan titrasi pentotal atau propofol untuk mengurangi efeknya pada
sirkulasi. Berikan dosis intubasi pelumpuh otot tanpa diberikan priming terlebih
dulu. Sebagai contoh, dengan rocuronium 0,6-1 mg/kg diperoleh kondisi
intubasi yang baik dalam watu 60-90 detik. Fentanyl 1-4 ug/kg diberikan untuk
menumpulkan respon hemodinamik terhadap laringoskopi dan intubasi.
Lidokain 1,5 mg/kg intravena diberikan 90 detik sebelum laringoskopi dapat
mencegah kenaikan tekanan intrakranial.
Intubasi dengan pipa endotrakheal sebesar mungkin yang bisa masuk, dan
pasang pipa nasogastrik untuk aspirasi cairan lambung dan biarkan mengalir
secara pasif selama berlangsungnya operasi. Jangan dipasang melalui nasal
disebabkan kemungkinan adanya fraktur basis kranii dapat menyebabkan
masuknya pipa nasogastrik ke dalam rongga cranium.
Pemeliharaan anestesi dipilih dengan obat yang ideal yang mampu menurunkan
tekanan intrakranial, mempertahankan pasokan oksigen yang adekuat ke otak,
dan melindungi otak dari akibat iskemia. Pemilihan obat anestesi berdasarkan

19
pertimbangan patologi intrakranial, kondisi sistemik, dan adanya multiple
trauma.
Tiopental dan pentobarbital menurunkan aliran darah otak, volume darah otak,
dan tekanan intrakranial. Penurunan tekanan intrakranial oleh obat ini
berhubungan dengan penurunan aliran darah otak dan volume darah otak akibat
depresi metabolisme. Obat-obat ini juga mempunyai efek pada pasien yang
respon terhadap CO2nya terganggu. Tiopental dan pentobarbital mempunyai
efek proteksi melawan iskemia otak fokal. Pada cedera kepala, iskemia
merupakan sequele yang umum terjadi. Walaupun barbiturat mungkin efektif
pada brain trauma, tapi tidak ada penelitian Randomized Controlled Trial yang
menunjukkan secara definitif memperbaiki outcome setelah cedera otak
traumatika. Sebagai tambahan, tiopental dapat mempunyai efek buruk bila
tekanan darah turun.
 
5.3 Pascabedah
Bila pasien prabedah GCS 8 kebawah, pasca bedah tetap diintubasi. Bila masih
tidak sadar, pasien mungkin dilakukan ventilasi mekanik atau nafas spontan.
Harus diperhatikan bahwa pasien dalam keadaan posisi netral-head up, jalan
nafas bebas sepanjang waktu, normokapni, oksigenasi adekuat, normotensi,
normovolemia, isoosmoler, normoglikemia, normotermia (35-360C). Berikan
fenitoin sampai 1 minggu pascabedah untuk profilaksis kejang. Nutrisi enteral
dimulai dalam 24 jam pascabedah.
 

20
BAB III
PEMBAHASAN

Seorang laki-laki usia 24 tahun dengan berat badan 50 kg datang dengan penurunan
kesadaran setelah mengalami kecelakaan lalu lintas.

Primary survey

Airway
Pasien dapat berbicara, dengan demikian biasanya airway dalam keadaan bagus
(clear), namun terdapat penurunan kesadaran dengan GCS 10, yaitu E3M4V3,
artinya:
1. mata terbuka dengan rangsang suara, seperti kita memanggil nama klien (E3)
2. klien menghindar/menarik extremitas atau tubuh yang diberikan stimulus
dengan menjauhi stimulus saat diberi rangsang nyeri) (M4)
3. klien berbicara tidak jelas (tapi kata-kata masih jelas, namun tidak dalam satu
kalimat) dan hanya mengungkapkan kata singkat seperti “aduh…, bapak…”.
(V3)
Hal ini menunjukkan telah terjadi cedera kepala sedang pada penderita.

Breathing
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan ventilasi nafas masih baik.

Circulation
Tanda tidak adekuatnya sirkulasi yaitu takikardi, lemah atau tak terabanya arteri
perifer, hipotensi, ekstremitas yang pucat, dingin dan sianosis. Dari hasil pemeriksaan
fisik didapatkan vital sign dalam batas normal. Dan pemeriksaan darah rutin

21
menunjukkan penurunan kadar hemoglobin dan hematokrit, dengan demikian harus
direncanakan transfuse darah karena telah terjadi kehilangan darah yang banyak.

Terapi cairan
Dilakukan pemasangan cairan infuse menggunakan cairan NaCl dua jalur. Diberikan
NaCl dengan alasan karena cairan hipertonik seperti NaCl 3% atau 7% efektif untuk
resusitasi cairan dan menyebabkan edema cerebral lebih sedikit dari pada RL dan
NaCl fisiologis pada kasus cedera otak. Dan pemberian kecil cairan NaCl hipertonis,
akan cepat meningkatkan volume plasma, penggunaannya dibatasi jangan sampai
terjadi hipernatremi.

Cairan dextrose bisa memperhebat kerusakan otak iskemik dan sebaiknya dihindari
bila tidak ditemukan hipoglikemi. Dan cairan ringer laktat pun sedikit hipotonik dan
apabila diberikan dalam jumlah besar bisa memperberat edema cerebral.

Kekurangan cairan interstitial karena shok hipovolemik, lebih baik diterapi dengan
cairan kristaloid, atau kombinasi cairan koloid dan kristaloid. Cairan koloid menjaga
tekanan oncotic koloid plasma dan sebagian besar ada di intravascular dan defisit
cairan intravascular yang berat dapat dikoreksi dengan cepat dengan menggunakan
cairan koloid sedangkan cairan kristaloid dapat dengan cepat didistribusikan ke
seluruh ruang cairan extracellular. Albumin terpilih digunakan daripada dextran atau
hetastarch, karena dikhawatirkan terjadi induksi koagulopati.

Secondary survey
CT scan menunjukkan epidural hematoma frontal sinistra, sehingga direncanakan
operasi craniotomy. Hasil CT scan menunjukkan adanya peningkatan tekanan
intracranial, sehingga seharusnya dilakukan pemantauan dengan pemasangan monitor
tekanan intracranial.

22
Dari temuan klinis dan penunjang di atas maka pasien ini tergolong dalam ASA 3,
pasien dengan penyakit sistemik berat dengan aktivitas terbatas.

Pertimbangan Ilmu Anestesi

1. Tindakan Preoperasi
Pemeriksaan fisik vital sign dilakukan secara cepat di ruang induksi. Hal ini
dilakukan karena penderita dalam keadaan darurat yang membutuhkan tindakan
pembedahan segera akibat pengumpulan darah di antara tengkorak dengan
duramater yang dilihatkan dari gambaran CT scan yang menunjukkan hematoma
epidural lobus frontalis sinistra. Tindakan pembedahan ini untuk evakuasi secepat
mungkin, dekompresi jaringan otak di bawahnya dan mengatasi sumber
perdarahan yang dapat menyebabkan edema serebri dan penekanan batang otak
yang dapat menimbulkan kematian.

Pasien diberikan premedikasi dengan sulfas atropine dengan dosis 0,5 mg. Pasien
yang dicurigai trauma kepala, tidak diperbolehkan untuk mendapatkan
premedikasi obat yang dapat mempengaruhi status mental pasien (seperti, sedatif,
analgesik) atau pemeriksaan neurologis (misal, dilatasi pupil yang diinduksi obat
antokolinergik).

2. Tindakan anestesi
Anestesi yang dikerjakan pada penderita ini adalah anestesi umum dengan teknik
intubasi napas kendali dikarenakan penderita gelisah dan trauma yang di alaminya
adalah trauma kepala yang melibatkan intracranial. Sedikit peninggian kepala akan
meningkatkan drainase vena dan menurunkan tekanan intrakranial.

Penderita diberikan injeksi fentanyl 100 µg iv yang merupakan kelompok


analgesik opioid agonis yang mempunyai kekuatan 100 kali morfin, lebih larut

23
dalam lemak dibanding petidin dan menembus sawar jaringan dengan mudah.
Hipertensi atau takikardi pada saat intubasi dapat dikurangi dengan pemberian
fentanyl intravena.

Kemudian diinjeksikan propofol 120 mg iv untuk efek hipnotik sedasi. Obat


anestesi yang dapat meningkatkan tekanan intrakranial sebaiknya tidak
dipergunakan (contohnya, ketamin). Obat anestesi intervena seperti propofol
menurunkan CBF dan cerebral metabolisme. Menurunnya CBF maka ICP juga
akan menurun. Peningkatan CBV disebabkan oleh peningkatan tekanan darah
akibat stimulasi simpatis dan peningkatan Pa CO2 pada pasien yang nafas spontan.

Autoregulasi aliran darah cerebral biasanya terganggu pada daerah yang cedera,
hipertensi arteri bisa memperburuk edema cerebral dan menyebabkan tekanan
tinggi intrakranial. Dan hipotensi arteri akan menyebabkan iskemik serebral
regional. Umumnya tekanan perfusi cerebral/cerebral perfusion pressure (selisih
MABP di otak dengan CVP atau tekanan intrakranial) harus dijaga > 60 mmHg.

Obat pelumpuh otot yang diberikan adalah ecron 5 mg yang merupakan golongan
muscle relaxant non depolarization. Setelah itu diberikan kembali oksigen dengan
sungkup sesuai onset kerja ecron selama 3-5 menit.

Intubasi dengan ETT no 7 cuff, menggunakan laringoskop. Untuk operasi di


daerah kepala dan leher dibutuhkan pipa yang tidak bisa ditekuk yang mempunyai
spiral nilon atau besi (non kinking). Untuk mencegah kebocoran jalan nafas, pipa
endotrakheal mempunyai balon (cuff) pada ujung distalnya. Pada orang dewasa
biasa dipakai pipa dengan balon karena bagian tersempit adalah trachea. Pipa pada
orang dewasa biasa digunakan dengan diameter internal untuk laki-laki berkisar
8,0 – 9,0 mm dan perempuan 7,5 – 8,5 mm.

24
Isofluran diberikan untuk maintanence anestesi selama operasi berlangsung karena
mempunyai efek minimal terhadap depresi jantung, meskipun sedikit mengiritasi
jalan nafas, isofluran merupakan bronkodilator yang baik. Isofluran menurunkan
kebutuhan metabolisme oksigen serebral, dan pada 2 MAC isofluran dapat
menghasilkan supresi EEG yang mungkin dapat melindungi otak selama episode
iskemia serebral.

Selama operasi diberikan injeksi vitamin K untuk pembentukan prothrombin di


hati yang penting dalam pembekuan darah. Diberikan pula infus NaCl diberi
carbazochrome tujuannya adalah untuk menghambat peningkatan permeabilitas
kapiler dan memperkuat resistensi kapiler. Carbazochrome sodium sulfonate
bekerja dengan memperpendek waktu perdarahan (hemostatik), tetapi tidak
mempunyai efek pada koagulasi darah atau sistem fibrinolitik.

3. Tindakan Pasca anestesi

Setelah anestesi selesai penderita masih dalam keadaan penurunan kesadaran


GCS 8. Bila GCS < 8, pipa endotrakeal tetap dipertahankan, dan bila keadaan
tetap > 1 minggu, sebaiknya ditrakeostomi untuk memudahkan pengelolaan jalan
nafas. Bila intubasi masih diperlukan dosis kecil narkotik atau pentotal dapat
diberikan supaya tidak terangsang oleh endotrakeal tube.

Diberikan analgetik ketorolak dan tramadol didrip pada NaCl, penderita diberikan
selimut karena hipotermi memperburuk ketidakseimbangan asam basa ,
koagulopati, dan disfungsi miokard.

25
Pasien harus dipindahkan dengan posisi kepala flat atau naik 0-5 derajat dengan
tetap dimonitor dan diberi oksigen, kemudian langsung dibawa ke ruang intensive
care unit.

26
DAFTAR PUSTAKA

1.   Bisri T. Dasar-Dasar Neuroanestesi. Olah Saga Citra; 2008.


2.    Bisri T. Penentuan Jugular Bulb Oxygen Saturation (SJO2) dan Cerebral
Extraction of Oxygen (CEO2) sebagai indikator utama proteksi otak pada teknik
anestesi untuk operasi cedera kepala. Disertasi. Universitas Padjadjaran 2002.
3.    Newfield P, Cottrell JE. Handbook of Neuroanesthesia, 4th ed. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins; 2007:91-110.
4. A. Said, dkk. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Ed 2. Jakarta : Bagian
Anestesiologi dan terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia;2002.

27

You might also like