You are on page 1of 5

Religiusitas dan Komunikasi di Indonesia

Religiusitas merupakan tingkah laku manusia yang sepenuhnya dibentuk oleh


kepercayaan terhadap alam gaib. Dalam hal ini religiusitas lebih melihat aspek yang ada di
dalam lubuk hati dan tidak dapat dipaksakan. Religiusitas adalah kegiatan-kegiatan yang
berkaitan dengan agama. Religiusitas bukan hanya penghayatan terhadap nilai-nilai agama saja
namun juga perlu adanya pengamalan nilai-nilai tersebut. Kebermaknaan hidup adalah kualitas
penghayatan individu terhadap seberapa besar ia dapat mengembangkan dan mengaktualisasikan
potensi-potensi serta kapasitas yang dimilikinya, dan terhadap seberapa jauh ia telah berhasil
mencapai tujuan-tujuan hidupnya, dalam rangka memberi makna dan arti dalam hidupnya.

Agama memiliki makna sebagai ajaran yang membebaskan dan memberikan pencerahan
kepada umat manusia. Posisi agama dalam kehidupan tidaklah statis dan konstan. Kadang ia
disanjung, dihormati, dan dibela. Tapi ia terkadang juga dicurigai, dicaci dan kalau perlu
dimusnahkan. Agama hadir dalam rangka merespon masalah atau sesuatu yang menyimpang
dalam masyarakat. Dalam menghadapi arus globalisasi budaya, perlu adanya penguatan
religiusitas dan pemahaman nilai-nilai keagamaan. Agama memiliki “tanggung jawab sosial”
(global responsibility) untuk menyelesaikan berbagai problematika yang terjadi ditengah
masyarakat multikultural seperti Indonesia.

Agama dalam hal ini memiliki peranan dalam menanamkan nilai-nilai ajaran yang
mengacu pada tatanan sosial dengan berpegang teguh pada nilai-nilai luhur kebudayaan. Agama
dan budaya harus saling sinkron dalam menanamkan nilai-nilai kehidupan masyarakat. Sehingga
pergeseran budaya yang terjadi kini dapat terminimalisir dengan adanya pemahaman dan
penerapan nilai-nilai agama. Salah satunya adalah dengan memainkan peranan agama melalui
penanaman nilai-nilai agama sebagai acuan tatanan hidup yang baik. Perlu ada sinkronisasi nilai-
nilai budaya dengan nilai-nilai agama sehingga penerapan budaya dapat tercermin dengan cara-
cara yang benar.

Komunikasi antar agama sering gagal di Indonesia

Sebagai sebuah negara yang dihuni oleh penduduk dengan latar belakang agama yang
berbeda-beda, konflik antaragama di Indonesia sangat berpotensi untuk terus terjadi. Komunikasi
diyakini merupakan satu dari banyak faktor kunci yang mampu untuk mereduksi konflik
antaragama tersebut. Namun pada kenyataannya, komunikasi antar agama yang terjadi di
Indonesia seringkali gagal dalam menjembatani konflik tersebut. Oleh karena itu, adalah hal
yang sangat imperatif untuk ditanyakan mengenai keefektifan sebuah komunikasi antar agama
yang selama ini dibangun di Indonesia. Ada satu hal penting yang patut untuk dicatat tentang
kegagalan komunikasi antar agama impoten untuk menengahi konflik yang terjadi. Hal itu adalah
karena komunikasi yang dibangun memang ditujukan untuk tidak memiliki akhir.

Komunikasi semacam ini dapat dilihat dengan jelas ketika sebuah tema yang diusung
adalah tema yang tidak pernah bisa ditemukan. Konsep tentang Tuhan adalah contoh nyata
sebuah tema yang seringkali diperdebatkan antar agama. Akhirnya, yang timbul hanyalah
arogansi dan ketidakterbukaan antar peserta komunikasi untuk mempertahankan konsepnya
sendiri. Pada akhirnya, komunikasi antaragama tersebut memilki hasil yang nihil. Oleh karena
itu, yang perlu dicatat pertama kali adalah bahwa komunikasi antar agama harus bebas dari tema
yang memang tidak akan pernah usai.

Sebuah komunikasi antaragama dapat berlangsung dengan baik, pertama-tama ada dua
hal yang perlu untuk diperhatikan dalam membangun sebuah komunikasi yang baik. Jurgen
Habermas menyatakan bahwa komunikasi yang baik ditandai ketika komunikasi tersebut
dilakukan dalam keadaan yang ideal sehingga komunikasi tersebut dapat menghasilkan suatu
konsensus yang disepakati oleh semua orang yang terlibat di dalamnya. Oleh karena itu, faktor
pertama adalah bahwa komunikasi tersebut harus bisa meghasilkan konsensus yang mengikat.
Lebih jauh lagi, prosedur dalam komunikasi pun juga harus diatur. Dalam hal ini, setiap orang
yang terlibat bebas untuk mengeluarkan pendapat dan juga mempertanyakan esensi dari
pendapat orang lain. Selanjutnya, tidak ada satu orang pun yang berhak melarang hal tersebut
terjadi (Hardiman: 2009). Dari hal ini, dapat ditarik syarat kedua komunikasi, yakni keterlibatan
semua pihak. Dalam hal komunikasi antaragama ini berarti melibatkan umat yang berkonflik.

Selain itu, terlepas dari yang sudah diberikan Habermas, hal-hal lainnya yang sangat
dibutuhkan dalam komunikasi antaragama di Indonesia khususnya adalah sikap keterbukaan dan
toleransi. Sayangnya Indonesia belum memenuhi ketiga criteria tersebut. Hingga saat ini,
komunikasi antaragama yang terjadi yang juga melibatkan semua pihak tanpa terkecuali masih
merupakan barang langka. Nyatanya, komunikasi yang terjadi hanyalah sebatas komunikasi antar
imam (pemimpin) tanpa pengikutnya.

Hal ini tentu saja akan menimbulkan masalah. Pertama yakni opini para pengikut agama
tersebut yang tidak bisa disampaikan di forum dan yang kedua akhirnya para jemaah tersebut
akhirnya hanya mampu bergerak seturut insting dengan apa yang terjadi di lapangan tanpa
memperhatikan lagi konsensus apa yang tercapai pada komunikasi antar para pemimpinnya.
Oleh karena itu, pengikut jemaah harus dilibatkan dalam setiap forum antaragama. Masing-
masing menyatakan pendapat dan keinginannya sehingga ketika terbit sebuah konsensus, mereka
dapat juga menjalankannya.

Masalah kedua adalah karena masih banyak orang Indonesia yang melihat eksistensi
orang lain sebagai objek. Dengan paradigma ini, mereka dapat dengan mudah menyatakan
bahwa orang lain itu lebih rendah. Paradigma berbahaya semacam ini akan berdampak buruk
bagi komunikasi antar agama.

Pertama, karena dengan mempertahankan paradigma seperti itu, mereka dapat juga
dengan mudah enggan untuk mendengarkan pendapat orang lain. Kedua, sikap keterbukaan dan
toleransi mereka akan tertutup sehingga yang terjadi hanyalah sebuah komunikasi satu arah
hanya saja bermuka dua arah. Sudah seharusnya komunikasi antar agama dijalankan
sebagaimana Sokrates berbincang dengan lawan bicaranya. Sokrates dalam hal ini selalu
mendasarkan dirinya pada sikap keterbukaan terhadap sesuatu hal yang baru dan memandang
orang lain setara dengannya. Dengan demikian, tidak ada lagi arogansi dalam sebuah
komunikasi.

Inilah yang menyebabkan mengapa komunikasi antar agama selalu gagal dalam
menjembatani konflik yang ada. Hal ini disebabkan karena ketidakterlibatan langsung serta
egoisme internal yang selalu menyelubungi setiap pribadi dalam melakukan komunikasi tersebut.
Jika komunikasi dipercaya sebagai salah satu jalan keluar terbaik dalam memecahkan
permasalahan antar agama, maka sudah seharusnya komunikasi tersebut dijalankan juga dengan
sebuah prosedur yang memadai. Lebih jauh lagi, konsensus yang dihasilkan harus mampu untuk
mengikat keseluruhan elemen masyarakat yang sebelumnya terlibat konflik. Satu hal yang perlu
diingat, yakni bahwa komunikasi ditujukan untuk menciptakan perdamaian melalui dialog
resiprokal dan bukan untuk menunjukkan bahwa “aku” yang paling benar.

(H:\SKI\agama dan komunikasi\Mengapa Komunikasi Antar-agama Seringkali Gagal.htm)

Sistem Komunikasi berasaskan Kereligiusitasan

Interfaith Dialogue telah cukup lama diselenggarakan oleh Kemlu RI sebagai bagian dari
"total diplomasi" yang bertujuan untuk memperkenalkan Indonesia sebagai model masyarakat
majemuk yang menempatkan pluralitas agama dan kereligiusitasan sebagai peluang untuk
memberdayakan ‘civil society’. Dalam dunia yang kuat bermentalitas sekularis dewasa ini,
Interfaith Dialogue menjadi sebuah kesempatan untuk membuka mata pemerintah bangsa-
bangsa, bahwa pengalaman akan Ketuhanan merupakan pengalaman pribadi yang dilembagakan
dalam agama-agama. Tentunya ini memang berada dalam ruang private, ruang religiositas,
namun sekaligus juga harus berdampak pada pembangunan ruang publik di atas dasar nilai-nilai
moral dan etika global, yaitu hormat pada martabat pribadi manusia.

Relasi antara ruang religiusitas dan ruang publik ini harus dijaga sedemikian rupa agar
jangan sampai campur-aduk dan tumpang-tindih karena kekuasaan dari masing-masing ruang
tersebut. Namun demikian, memisahkan ruang religiusitas dari ruang publik bisa membuat
agama-agama menjadi tidak bermakna dalam kehidupan masyarakat. Indonesia telah memilih
bukan sebagai negara agama (theocratic state), dan bukan pula sebagai negara sekularistik
(secularistic state), tetapi sebagai negara berdasarkan Pancasila. Kalau pemahaman negara
berdasarkan Pancasila dimengerti secara benar, maka Indonesia dapat ditawarkan sebagai suatu
model bermasyarkat, berbangsa dan bernegara.

Sebutan Interfaith Dialogue itu sendiri mengandaikan para peserta dialog telah
mengalami pengalaman iman yang sungguh, pengalaman akan Tuhan sejati. Buah-buah dari
pengalaman akan Tuhan itu adalah kerendahan hati, kedamaian, solidaritas, persaudaraan sejati,
pengampunan dan rekonsiliasi, serta keutamaan-keutamaan pokok seperti iman, harapan dan
kasih. Dengan demikian pada kesempatan Interfaith Dialogue ini kita tidak hanya
memperkenalkan wajah Indonesia tetapi juga hati Indonesia yang tampak pada wajah Indonesia.
Kata-kata yang kita sampaikan pada kesempatan dialog ini mengungkapkan pengalaman iman
kita, dan selanjutnya kata-kata itu menjadi imperatif bagi kita untuk mengamalkan apa yang kita
katakan itu di bumi Indonesia. Isi hati itulah yang menjadi bahan dalam Interfaith Dialogue
tersebut.
Sementara itu dampak yang diharapkan dari pelaksanaan Interfaith Dialogue terhadap
masyarakat Indonesia sendiri, sebenarnya cukup berat, karena yang kita tawarkan itu bukan kata-
kata kita, tetapi teladan yang nyata. Orang mengatakan bahwa satu teladan nyata lebih berdaya
seribu kata. Apa artinya kalau kita mengatakan bahwa Pancasila adalah dasar negara kita bagi
kerukunan hidup beragama? Apa artinya kalau kita mengatakan ada kebebasan beragama yang
dijamin oleh UUD 1945 di negeri kita?

Orang luar tidak akan dengan mudah mempercayai kata-kata kita, kalau kemudian ada
berita tentang terjadinya konflik antar warga, entah dengan alasan perbedaan agama, suku, ras
ataupun golongan. Orang tidak akan percaya dengan kata-kata indah yang kita ucapkan di forum-
forum internasional, bila masih terdengar berita terjadinya terorisme di Indonesia, terjadinya
kekerasan dari yang kuat terhadap yang lemah, dan peristiwa-peristiwa kejahatan lainnya yang
melawan kemanusiaan, demi sebuah agama.

Oleh karena itu untuk mendukung pelaksanaan Interfaith Dialogue ini, di dalam negeri
sendiri kita perlu terus mengembangkan kegiatan silaturahmi antar pemeluk berbagai agama,
tidak hanya pada saat-saat hari raya, tetapi juga pada hari-hari biasa dan tidak hanya pada tingkat
pemuka-pemuka agama, tetapi juga pada tingkat masyarakat akar rumput. Kita harus sungguh-
sungguh melaksanakan Interfaith Dialogue ini, yang dapat di pahami sebagai pembicaraan
mendalam untuk berbagai pengalaman rohani, pengalaman iman, pengalaman akan Allah,
sumber kasih sejati, yang mempersatukan bangsa-bangsa yang berbeda-beda ini.

Upaya lain yang perlu kita lakukan untuk mengembangkan Interfaith Dialogue,
sebagaimana diketahui bahwa berkat perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi dalam
komunikasi, dunia ini menjadi seperti apa yang disebut dengan “global village” yang
mengupayakan untuk mengubah globalisasi menjadi komunikasi, “to turn globalization into
communication”. Komunikasi horisontal pada tingkat nasional, regional, maupun international,
serta komunikasi vertikal di antara tingkat-tingkat tersebut dapat diibaratkan sebagai jejaring
komunikasi yang membangun persaudaraan sejati antar bangsa-bangsa. (www.833-bukan-
menawarkan-kata-kata-tapi-teladan-nyata.html)

You might also like