You are on page 1of 5

Hampala On Fly

Oleh Adi Wisaksono

Heran, ikut kursus apa hingga ikan jadi pintar, bisa tahu umpan uang dikejar Cuma
tipuan? Rasanya dulu hampala lebih gampang ditipu. Setelah minnow dan lure lainnya,
serta belakangan popper, spinner dan akhirnya thin spoon tak ampuh lagi, jengkel dan
penasaran saya coba pakai fly.
Padahal semula tak pernah terpikir akan mancing hampala memakai umpan yang populer
untuk mancing dengan cara lecut itu.

Kebetulan September pas masuk awal musim penghujan, masa-masa puncak hampala
banyak ke pinggir untuk mencari makanan. Tahu kenapa ? Karena saat itu sedang musim
laron, rayap terbang yang menjadi kesukaan semua ikan. Di semua titik yang ada lampu
penerangannya, disitulah hot spot hampala paling yahud.

Pertama saya harus tentukan dulu umpan fly yang akan dibawa. Saya berencana untuk
menyiapkan saja tipe-tipe buh, yaitu popper buh dan slidder, dry fly dan minnow
imitation. Popper buh dan slidder saya ambil karena kemiripannya dengan ikan kecil dan
katak yang mencari makanan di permukaan, sementara dry fly lantaran persis laron,
sedangkan minnow imitation tentunya karena sesuai diet hampala, yakni ikan kecil alias
minnow.

Problem yang kemudian muncul, saya tidak punya joran dan reel khusus unuk mancing
cara lecut. Jadi bagaimana cara melontarkan umpan enteng ini ke sasaran yang jauh ?
Setelah membaca buku referensi, ternyata semua persoalan itu ada jalan keluarnya.

Khusus untuk popper bug dan slidder yang bentuknya lumayan gede – walau tetep lebih
kecil dari lure tipe minnow terkecil, problem dipecahkan dengan memakai kenur paling
halus, kelas 1 kg (2lb). Memang resiko putus tinggi, namun bukankah kepuasan menipu
ikan lebih utama daripada ngotot pakai kenur besar tapi tidak dapat ikan ? Kenur kecil
tentu akan membuat hambatan udara minimal sehingga jarak lontaran bisa maksimal.
Semula saya mau pakai kenur merek Maxima, karena di Magelang tidak ada yang jual,
terpaksa saya memakai Goldstring saja.

Berikutnya dry fly dan minnow imitation. Bentuknya yang super kecil dan banyak bulu-
bulunya pasti tidak dapat diatasi hanya dengan kenur kecil. Nah pemecahannya di kenur
utama saya pasang pelampung bening yang bisa diisi air. Air dalam pelampung tentu
membuat umpan bisa dilempar cukup jauh, sementara pelampung yang bening
diharapkan tidak akan membuat ikan jadi takut.

Sebenarnya ada satu teknik lain, yaitu umpan diikatkan di belakang poper model pensil
(pencil popper). Tapi karena kenur umumnya sering terbelit ke kail pencil popper,
metode ini tidak saya pakai.
Setelah semua siap, kini saya tinggal mencari teman yang mau diajak mancing. Saya
berniat berangkat hari Senin, ternyata hari itu yang bisa berangkat cuman Mamik yang
justru belum punya SIM (buat jadi sopir pengganti). Daripada harus menjadi sopir
Magelang Wadas lintang yang jaraknya cukup jauh, takut terlalu lelah dan mengantuk di
jalan, saya putuskan untuk naik bis umum saja. Mamik terpaksa setuju meski sebenarnya
ia kurang suka naik mobil umum lantaran sering mabuk.

Bis meninggalkan Terminal Soekarno-Hatta Magelang pukul 6.30. Gara-gara cukup lama
berhenti di terminal Purworejo, sampai di Prembun waktu sudah menunjukkan pukul
9.00. Dari Prembun selanjutnya kami pindah ke bis kecil menuju Wonosobo. Nah, disini
situasinya mulai membikin jengkel. Walau semua tempat duduk telah terisi, ternyata bis
masih belum mau berangkat juga dan kernet terus memanggil calon penumpang lain.
Setelah menunggu 30 menit lagi dan ada sepuluh penumpang berdiri – yang salah
satunya membawa kambing dan ayam, baru bisa meninggalkan terminal. Untung kami
kebagian duduk paling belakang, jadi kaki masih agak leluasa bergerak.

Jarak Prembun ke Waduk Wadaslintang kira-kira 30km. Pada 10 km pertama jalan lurus
dan rata, namun 20 km kemudian jalan mulai berkelok-kelok naik-turun dan banyak yang
rusak, maklum daerah pegunungan. Kasihan Mamik. Ketika jalan masih mulus saja
wajahnya sudah pucat, apalagi ketika mobil mulai terseok-seok !
“Ngerti bakal lungguh mbek wedhus aluwung aku turu nang ngomah (Tahu bakal duduk
dengan kambing lebih baik saya tidur di rumah),” gerutunya tak habis-habis. Saya Cuma
bisa terkekeh. Meski iba, saya tetap tak tahan untuk tertawa melihat ia menyumpah-
nyumpah sembari membenamkan muka ke plastik.
Ia memang mabuk berat dan berulangkali muntah-muntah.

Derita Mamik berakhir ketika kami tiba di Pintu Air waduk. Waktu itu sudah pukul
10.30. Karena mendung, kami tidak menyangka waktu sudah begitu siang. Sebenarnya
sempat muncul kekuatiran perjalanan kami bakal sia-sia, sebab setahu saya hampala
biasanya makan pagi-pagi sekali. Namun mustahil saya balik lagi, apalagi Mamik !

Pintu Air atau Pelimpahan istilah penduduk setempat adalah tempat tujuan wisata,
sehingga setiap pengunjung ditarik tiket masuk. Kekecualian bagi orang yang mau
mancing. Karena membawa joran, kami juga dapat langsung masuk tanpa membayar
karcis.
Kekuatiran saya kian bertambah ketika tiba di lokasi ternyata hujan rintik-rintik. Saya
tanya Mamik mau terus atau pulang saja ? Meski kelihatan agak teler, ternyata ia masih
bisa galak, “Mulih wae dewe !” (Pulang saja sendiri !). Tentu saja saya langsung tergelak.
Mungkin ia pikir sudah kepalang basah dan saat itu kami memang betul-betul basah.

Di lokasi kami menjumpai banyak sekali bambu di tepian yang dilengkapi kenur dengan
kail menyentuh permukaan air. Ternyata itu adalah joran milik penduduk untuk mancing
ikan gabus dan hampala. Karena posisinya di permukaan, ikan yang menyambar umpan
laron tentu akan terkait dengan sendirinya. Saya lihat sudah ada beberapa hampala
setelapak tangan dan gabus yang terkail.
Walau sedikit kesiangan ternyata waktu kami masih tepat. Ketika melewati pinggiran, di
sela sampah-sampah kayu dan daun yang hanyut oleh hujan semalam muncul hampala
kecil-kecil yang lari serabutan. Tanpa dinyana dari bawah sekonyong-konyong ada yang
menyambar. Itu dia ‘grander’ hampala !

Di pintu air yang di atasnya terdapat lampu jalan, saya berniat mencoba dry fly.
Sementara Mamik seperti biasa tetap fanatik dengan minnow. Piranti yang saya siapkan
ialah ril spining Banax seri Zeus 600W dengan 11 ball bearing yang saya isi kenur
Goldstring kelas 1kg berdiameter 0,12 mm, serta joran Tornado dua batang kelas 1-3kg.

Pelampung bening yang dipasang satu meter di atas umpan saya isi dengan air hingga
seperempatnya, kuatir jika terlalu berat malah membuat kenur terbebani berlebihan.
Setelah ditambah kili-kili kecil saya sambungkan kenur kelas 3kg sebagai lider dan dry
fly langsung diikat ke lider tanpa peniti atau snap swivel lagi.

Kasting pertama ke sekitar sampah kayu tidak langsung mendapat sambutan. Tapi ketika
kenur mau hanis digulung, seekor hampala setelapak tangan mendadak muncul
menyambar umpan. “Wow !”.

Serunya bukan main. Ikan sekecil itu ternyata bisa menarik kenur demikian panjang.
Sampai agak lama saya bahkan tak berani menegakkan joran. Tak terbayang apa yang
akan terjadi jika kelak umpan disambar `grander`.

Setelah mengajar selama lima menit baru hampala bisa dipinggirkan. Begitu seterusnya,
hampir setiap kali kasting pasti ada yang menyambar. Lain halna dengan Mamik, ia
justru sangat penasaran karena minnow-nya bolak-balik Cuma diikuti ikan namun tidak
pernah disambar.

Kekuatiran saya terjadi pada suatu lemparan agak ke tengah. Umpan yang cuman separuh
korek api itu menarik perhatian sang grander ! Semula mungkin ia mau menyambar
hampala kecil yang mengikuti umpan, tetapi karena ikan kecil itu kemudian kabur, ia
beralih menyambar fly.

Seketika irama detak jantung saya kacau-balau. Bulu kuduk pun merinding mendengar
desir suara ril saat ikan tanpa kesulitan membawa umpan ke tengah lalu
membenamkannya ke kedalaman. Drag yang cuman dipasang tiga ons agaknya sama
sekali tak dirasa sebagai beban.

Mendadak ikan muncul lagi dan berenang sangat cepat menyusuri tepian menuju ke
onggokan sampah. Sedetik kemudian joran tiba-tiba menjadi ringan. Ternyata kenur
putus karena pelampung tersangkut ranting.

Aduh, padahal saya tidak bawa pelampung cadangan. Terpaksa percobaan memakai dry
fly dihentikan. Meskipun grander tidak terangkat, saya anggap percobaan pertama ini
cukup sukses.
Saat Mamik mendekat dan usul untuk pindah tempat – lantaran katanya ikan tidak mau
makan, dengan terkekeh saya setujui permintaannya. Mamik mengusulkan untuk pindah
ke lokasi bibit karamba dinaikkan. Itu berarti kami harus menyusuri waduk lewat jalan
beraspal dengan naik ojek.

Tiba di lokasi kebetulan bibit nila baru diturunkan dari truk dan langsung dimasukkan ke
karamba penampungan. Ada pula yang dimasukkan ke drum-drum terapung untuk
nantinya dibawa ke karamba di tengah waduk.

Pada saat begini biasanya akan banyak hampala besar datang menanti bibit nila yang
jatuh. Dan betul, di antara kejernihan air memang tampak hampala ukuran dua kiloan
berenang mondar-mandir.

Segera saya siapkan popper bug, yaitu dengan mengikatkannya ke lider panjang satu
meter dan lewat kili-kili disambung lagi ke kenur utama yang tadi sempat putus.

Kastin pertama popper bug dilempar jauh ke sisi keramba, tidak ada sambutan sampai
umpan diangkat. Saya coba lagi. Pada lemparan kelima ada ikan berusaha menyambar
umpan tapi tidak strike. Lemparan berikutnya saya ulang ke tempat yang sama. Baru
beberapa gulung, tiba-tiba spul berputar sangat kencang dan popper bug hilang dari
pandangan mata. “Hook up!”.

Saya berteriak memanggil Mamik. Saya memang butuh bantuan dia untuk memandu,
karena dari samping akan terlihat jelas arah larinya kenur dibanding posisi saya yang
vertikal ke kenur.

Ikan masih lari ke tengah. Alamak, merdu nian suara ril terdengar di telinga. Sekitar lima
menit, tiba-tiba Mamik bilang ikan berbalik arah ke pinggir. Wah gawat. Kejadian seperti
tadi bisa terulang. Tapi untunglah di lokasi ini tidak banyak sampah dan di bagian tepi
justru dangkal.

Sungguh repot mengajar dengan kenur halus. Baru masuk dua meter, sebentar keluar
keluar lagi sampai tiga meter. Begitu terjadi berulangkali sampai hampir 15 menit.
Rasanya hampir putus asa untuk meminggirkannya.

Setengah jam baru ikan mulai menurut dan mau ditarik pelan-pelan, walau sesekali tetap
berusaha lari lagi. Tanpa diduga, di samping saya ternyata ada belukar yang semula tak
terlihat karena terendam. Ketika ikan mulai mendekat dan tampak semakin lemas, dengan
sisa-sisa tenaganya ia berusaha masuk ke sela belukar. Usahanya berhasil.

Waaah, jadi bingung. Kalau saya paksa pasti kenur putus lagi. Saat itulah tiba-tiba
Mamik hanya dengan celana kolor dan kacamata renang di kepala jalan melenggang. He-
he, cerdik juga dia. Mamik memang pandai menyelam dan selalu siap dengan kacamata
untuk mengambil minnow yang kadang tersangkut di dasar waduk.
Begitu Mamik menyelam ternyata ikan menjadi ketakutan dan lari lagi ke tengah.
Celaka ! Kenur bisa putus karena masih terbelit di ranting. Untunglah Mamik cerdik tidak
mencoba melepas kenur yang tersangkut, tetapi cuman menekan kenur ke bawah dengan
jari agar tidak menggesek ranting.

Upaya pelarian tersebut ternyata yang terakhir. Karena setelah itu ikan tak berontak,
termasuk sewaktu semakin ke pinggir mendekati Mamik yang masih tetap menekan
kenur. Karena tidak membawa serok, Mamik dengan tangannya langsung menangkap
ikan yang keadaannya sudah sangat lemas.

Wuaduh, pertarungan yang luar biasa dan pasti akan menjadi kenangan yang sangat
manis. Setelah membuat foto-foto, akhirnya kami putuskan untuk pulang saja dan
membawa hampala yang satu itu. Percuma ikan dirilis karena pasti akan diambil orang
mengingat kondisinya sudah sangat lemah.

Mamik yang meskipun tidak mendapat ikan dan jarinya bagai terbakar saat tergesek
kenur turut merasa puas, karena untuk pertama kali ia bisa menyaksikan manuver
hampala di dalam air. Seperti nonton tayangan video mancing secara live katanya.

Ternyata bukan Cuma pemancing yang suka mode. Kalau kita kenalkan mode baru,
terbukti ikan pun ingin pula mencobanya.

You might also like