You are on page 1of 36

ILMU DASAR KEPERAWATAN VII

KESEHATAN LINGKUNGAN, KESELAMATAN


KERJA DAN PERMASALAHAN GIZI DI
INDONESIA

OLEH :
MIFTAHUL HUSNA (0910321003)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ANDALAS

2010
PEMBAHASAN

2. 1 KESEHATAN LINGKUNGAN

(Soebagio Reksosoebroto,1990)
UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
BAB XI
KESEHATAN LINGKUNGAN
Pasal 162
Upaya kesehatan lingkungan ditujukan untuk mewujudkan kualitas lingkungan
yang sehat, baik fisik, kimia, biologi, maupun sosial yang memungkinkan setiap orang
mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
Pasal 163
(1) Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat menjamin ketersediaan
lingkungan yang sehat dan tidak mempunyai risiko buruk bagi kesehatan.
(2) Lingkungan sehat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup
lingkungan permukiman, tempat kerja, tempat rekreasi, serta tempat dan fasilitas
umum.
(3) Lingkungan sehat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bebas dari unsur-
unsur yang menimbulkan gangguan kesehatan, antara lain:
a. limbah cair;
b. limbah padat;
c. limbah gas;
d. sampah yang tidak diproses sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan
pemerintah;
e. binatang pembawa penyakit;
f. zat kimia yang berbahaya;
g. kebisingan yang melebihi ambang batas;
h. radiasi sinar pengion dan non pengion;
i. air yang tercemar;
j. udara yang tercemar; dan
k. makanan yang terkontaminasi.
(4) Ketentuan mengenai standar baku mutu kesehatan lingkungan dan proses
pengolahan limbah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dan ayat (3), ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah.(WHO)

Pengertian Lingkungan & Kesehatan Lingkungan


Lingkungan

 UU 23/1997, tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup ; kesatuan


ruang dgn semua benda,daya,keadaan dan mahluk hidup, termasuk manusia dan
prilakunyayang mempengaruhi kelangsungan peri kehidupan dan kesehahteraan
manusia dan mahluk lainnya

Encyclopedia of Science and Technology (1960) : sejumlah kondisi diluar dan


mempengaruhi hal-hal yang hidup termasuk manusia.
Otto Soemarwoto ; jumlah semua benda yang dalam ruang yang kita tempati yang
mempengaruhi kehidupan kita.

WHO Expert Committee (1972) ; suatu keseimbangan ekologi antara manusia dan
lingkungannya agar dapat menjamin sehat dari manusia.

Purdom ; Environmental health is that aspect of public health that is concerned with
those forms of life, forces, and condition in the surroundings of man that may exert an
influenceof human health and well being.

Numenklatur Bidang Kesehatan ; penerapan prinsip kesehatan dalam perubahan dan


penyusunan sifat-sifat fisik, kimia dan biologis dari lingkungan untuk kepentingan
kesehatan, kenyamanan dan keejahteraan manusia.

Sanitasi Lingkungan usaha mengendalikan dari semua faktor-faktor fisik manusia


yang mungkin menimbulkan hal-hal yang merugikan bagi perkembangn fisik kesehatan
dan daya tahan hidup manusia.

Hygiene usaha kesehatan masyarakat yang mempelajari pengaruh kondisi lingkungan


thd kesehatan manusia upaya mencegah timbulnya penyakit karena pengaruh
lingkungan kesehatan tsb, serta membuat kondisi lingkungan sedemikian rupa sehingga
terjamin pemeliharaan kesehatan (Azrul Azwar).

Ruang Lingkup Kesehatan Lingkungan :

1.Penyediaan air bersih

2.Air limbah, sampah dan tinja

3.Sanitasi makanan dan minuman

4.Pencemaran udara, air dan tanah

5.Pengawasan vektor

6.Perumahan dan bangunan lainnya

7.Kesehatan kerja

1. Penyediaan Air Bersih

Air kebutuhan vital bagi manusia, hewan dan tumbuhan.

80 % tubuh manusia terdiri dari air

Dalam air terdapat mineral

Digunakan di bidang pertanian, industri, sumber energi dan penyediaan air domestik
WHO : kebutuhan tiap orang negara maju 60 – 120 lt. Kebutuhan tiap orang negara
berkembang 30 – 60

Istilah dalam Hidrologi :

Precipitation : pengembunan uap air menjadi hujan

Evaporation : penguapan dr daratan/laut menuju atmosfer

Transpiration : penguapan dari tanaman

Percolation : masuknya air ke tanah via pori-pori tanah

Surface runoff : aliran air ke sungai lalu ke laut

Interflow : aliran masuk ke dalam tanah lalu keluar ke sungai

Ground water : air dalam tanah/antar lapisan tanah

Sumber-sumber air

Air permukaan : air laut, sungai, rawa-rawa, dam, sawah, dll.

Air tanah :air tanah dangkal dan air tanah dalam

Air angkasa :air di atmosfer seperti hujan, salju dan embun

Syarat-syarat air bersih :

Kualitas

Syarat Fisik : suhu, warna, bau, rasa dan kekeruhan

Syarat Kimia : kimia organik dan anorganik

Syarat Mikrobiologi : kuman patogen / parasit, E.coli

Syarat Radioaktif : sinar alfa dan sinar beta

Kuantitas :

Kebutuhan air perkotaan : 150-300 lt/org/hr

Kebutuhan air pedesaan : 100-150 lt/org/hr

2. Sanitasi Makanan

Kebutuhan dasar : tumbuh, berkembang dan reproduksi

Berasal dari lingkungan kajian pakar lingkungan


Makanan dpt sbg harmful elements :

media perkembangbiakan kuman

media perantara penyebaran penyakit

mudah terkontaminasi ; m.o atau racun

Sanitasi makanan

kebersihan dan kemurnian makanan agar tdk menimbulkan penyakit sehingga tidak
merugikan konsumen.

Usaha sanitasi : tindakan saniter sejak makanan dibeli, disimpan, diolah dan disajikan.

Makanan harus bersih, sehat, menarik dan bebas bahan berbahaya.

EFEK TOKSIK MIKROBIAL PD MAKANAN

Intoksikasi makanan oleh racun mikroba

Infeksi makanan oleh m.o via makanan

Racun Makanan Mikroba

Staphyllococcus (75-85%)GK : mual, muntah, sakit kepala dan keringat dinginKuman


keluar saat direbus dan matiPertahankan kondisi makanan < 40 0 C

Clostridium botulinum (exotoxin)GK : ggn saraf, lever, konstipasi dan gagal nafas
Gejala timbul 12 jam – 10 hari stlh kontak.Prevensi : proses yg benar, panaskan
makanan kaleng, kontrol pabrikasi

-Aspergelluspd tempat pengolahan makanan ternak ayamtdk ada laporan pd manusia

SalmonellaInfeksi krn konsumsi makanan terkontaminasiPembawa kumannya :


insekta, ternak, piaraan & manusia

Racun Makanan Non Mikroba

-.Zat Goitrogenik :lobak cina (rutabaga), kubis (hyocianat), kulit kacang merah
(glycoside).via susu sapi yg makan makanan tsb panaskan

-.LatyphusKacang polong genus latyphus lathyrism.

-.HaemaglutiminFovisum ; tanda anemia hemolitic, “rawfava beans”

-.Hidrogen Cianida oleh singkong

-.Bumbu-bumbuMyristicin (pala), ummelulone (daun salam), capsaican (merica merah),


dll
Kontaminasi Mikroba Dlm Makanan Segar

Jarang makanan mentah bebas m.o

Jenis bakteri dipengaruhi : sifat makanan, derajat pH, kadar zat cair, temp lingk,
prosedur pengolahan, dsb.

Rusaknya makanan tergantung : aktifitas mikroba dan aktifitas enzim makanan itu
sendiri.

Tanda kerusakan ; berubah warna, tekstur, bau dan rasa

Penanggulangan : penanganan hati-hati, hygiene/sanitasi, suhu/temperatur yang


rendah, transportasi harus cepat

Kontaminasi Mikroba Dlm Makanan Segar

Jarang makanan mentah bebas m.o

Jenis bakteri dipengaruhi : sifat makanan, derajat pH, kadar zat cair, temp lingk,
prosedur pengolahan, dsb.

Rusaknya makanan tergantung : aktifitas mikroba dan aktifitas enzim makanan itu
sendiri.

Tanda kerusakan ; berubah warna, tekstur, bau dan rasa

Penanggulangan : penanganan hati-hati, hygiene/sanitasi, suhu/temperatur yang


rendah, transportasi harus cepat

Kontaminasi Cacing

Cacing pita dan cacing gilig (trichinella)

Cacing pita dibasmi dengan memanaskan

Cacing gilig (trichinella) pada daging babi tahan panas.

Teknik Pengawetan Makanan

1.Moisture-solid balance : dehidrasi, penggulaan, penggaraman.

2.Peragian : KH + m.o =pH rendah (asam), mis : tape

3.Penambahan zat kimia : pengasapan, pengasaman, kendalikan kelembaban, kontrol


pH, dst

4.Pengalengan suhu tinggi

5.Penggunaan suhu rendah : kurangi aktifitas enzim/rx kimia


4. Pengendalian Tinja, Limbah & Sampah

I. TINJA

Pengelolaan tinja yang tidak saniter berdampak negatif

A.Sebagai sarang vektor

B.Sebagai sumber pencemaran lingkungan (air minum)

C.Situasi lingkungan kurang baik

D.Menimbulkan bau busuk

E.Hubungan langsung

F.Hubungan tidak langsung

Karakteristik Tinja

Kuantitas tinja dipengaruhi makanan, kebiasaan, kepercayaan, suhu, kelembaban, dsb.

HB Gotaas : berat basah tinja+urine 1135-1570 gr/hari/org, sedang berat kering 85-
140 gr/hari/org.

Komposisi : benda padat, zat organik (> 20%), dan zat anorganik (nitrogen, sulfat,
sulfur, dsb)

Komposisi zat kimia : Ca, C, N, P2O5, K2O & bahan organik

Komposisi bakteri : E.coli, S.paratyphii, S.typhii, S.ssp, S.sonei, S.hexneri, S.dysentriae,


V.cholera

Komposisi virus : adenovirus, enterovirus, virus Hep.A, reo virus, virus diare.

Komposisi cacing : A.duodenale, A.lumbricoides, S.japonicum, T.saginata, T.solium,


T.trichuria.

Pembuangan TinjaMemenuhi syarat : kesehatan dan estetika

1.Cara pembuangan dry system :

Di permukaan tanah

WC lubang

Beerput = night soil

WC ember
2.Cara pembuangan water carried system :

Air mengalir ; septic tank, comberan, kolam ikan

Air tidak mengalir ; drops method, barput

II. AIR LIMBAH

Cairan buangan dari RT, industri atau tempat umum yang mengandung bahan/zat
berbahaya bagi manusia serta mengganggu kelestarian lingkungan.

Sumber air limbah : domestic waste, commercial waste, industrial waste dan air yg
berasal dr air hujan yang bercampu air comberan

Karakteristik fisik : air (99,9 %) + bahan padat dlm suspensi

Karakteristi kimiawi : zat anorganik dr air bersih, dan zat organik dr penguraian tinja,
urine & sampah lainnya

Karateristik bakteriologis : bakteri pathogen, organisme golongan coli.

Sarana pembuangan air limbah, tampak

1.Tidak mencemari sumber air bersih

2.Tidak menimbulkan genangan air

3.Tidak menimbulkan bau

4.Tidak timbul tempat berlindung & tempat kembang biak

Penyakit yang ditimbulkan oleh air limbah

a.Penyakit infeksi : poliomyelitis, cholera, T.abdominalis, D.basiller, tubercullosis,


antraks, dsb

b.Penyakit non infeksi : anemia, kerusakan fungsi otak, ginjal, krom (otak), kanker pd
kulit & saluran pencernaan, timbul keracunan dan kerusakan pada organ hati.

III. SAMPAH

“sesuatu bahan/benda padat yang terjadi karena berhubungan aktifitas manusia yang
tak dipakai lagi, tak disenangi dan dibuang dengan cara-cara saniter terkecuali yang
berasal dari tubuh manusia” (FKM-UI)

Jenis Sampah :

-.Kandungan zat kimia :sampah organik dan sampah anorganik

-.Sifatnya :sampah basah dan sampah kering


-.Bisa terbakar :combustble waste dan noncombustable waste

-.Bisa membusuk :putrecible waste dan nonputrecible waste

-.Karakteristiknya :garbage, rubbish, ash, dead animal, street sweeping, household


refuse, abandon vehicle, industrial waste, construction waste, demolition waste, sewage
treatment residu, special waste.

Komposisi Sampah :

a.Komposisi fisik : sisa makanan, textil, kayu, plastik, gelas, karton, kertas, logam, dst

b.Komposisi kimia : H, C, N, O dll

Pengelolaan sampah perlu dipertimbangkan :

1.Mencegah terjadinya penyakit

2.Konservasi SDA

3.Mencegah gangguan estetika

4.Daur ulang/pemanfaatan

5.Kuantitas & kualitas sampah meningkat

Minimalisasi sampah :

a.Reduce : kurangi konsumsi

b.Reuse : pemanfaatan kembali

c.Recycling : mendaur-ulang / gunakan produk daur ulang

Cara Pembuangan Sampah :

1.Reduction garbage

2.Dumping sea

3.Open dumping

4.Grinding system

5.Open burning promises

6.Hog feeding

7.Sanitary landfill

Untuk bahan berbahaya :


a.Land disposal

b.Insinerasi

Sampah dan kesehatan :

a.Pengaruh langsung ; kontak langsung dgn sampah (bercun, korosif thd tubuh,
karsinogenik, kuman patogen dll.

b.Pengaruh tidak langsung ; pembusukan, pembakaran dan pembuangan sampah.


Efeknya berupa penyakit bawaan vektor.

Pengaruh Positif Pengelolaan Sampah

1.Thd kesehatan : kepadatan populasi vektor dan insiden penyakit berkurang.

2.Thd lingkungan : estetika lingkungan, sosial budaya, pariwisata, penghematan biaya


kesehatan

3.Manfaat lain : bahan timbunan, pupuk, pakan ternak dan recycling

5. Perumahan

“ Rumah adalah suatu struktur fisik dimana orang menggunakannya tempat


berlindung dimana lingkungan dari struktur tersebut termasuk semua fasilitas dan
pelayanan yang diperlukan, perlengkapan yang berguna untuk kesehatan jasmani dan
rohani serta keadaan sosialnya yang baik untuk keluarga dan individu ” (WHO)

Syarat Rumah Sehat (Winslow)

-.Memenuhi kebutuhan biologisa. penghawaan (ventilasi)b. pencahayaanc. suhu


ruangan

-.Memenuhi kebutuhan psikologisbebas, nyaman, senang, tenang dan tentram

-.Menghindarkan terjadinya kecelakaan ,Konstruksi/bahan harus kuat, pencegahan


kecelakaan, unflammable

-.Menghindarkan terjadinya penyakitair bersih/air minum, TPS, jamban, bebas


kontaminasi, hindari insanitary condition, hindari sarang vektor, dst

Pola Hidup Bersih dan Sehat

Hidup bersih dan sehat dapat diartikan sebagai hidup di lingkungan yang memiliki
standar kebersihan dan kesehatan serta menjalankan pola/perilaku hidup bersih dan
sehat. Lingkungan yang sehat dapat memberikan efek terhadap kualitas kesehatan.
Kesehatan seseorang akan menjadi baik jika lingkungan yang ada di sekitarnya juga
baik. Begitu juga sebaliknya, kesehatan seseorang akan menjadi buruk jika lingkungan
yang ada di sekitarnya kurang baik. Dalam penerapan hidup bersih dan sehat dapat
dimulai dengan mewujudkan lingkungan yang sehat. Lingkungan yang sehat memiliki
ciri-ciri tempat tinggal (rumah) dan lingkungan sekitar rumah yang sehat

Sampah dan air limbah mengandung berbagai macam unsur seperti gas-gas terlarut,
zat-zat padat terlarut, minyak dan lemak serta mikroorganisme. Mikroorganisme yang
terkandung dalam sampah dan air limbah dapat berupa organisme pengurai dan
penyebab penyakit. Penanganan sampah dan air limbah yang kurang baik seperti:

1. Pengaliran air limbah ke dalam saluran terbuka


2. Dinding dan dasar saluran yang rusak karena kurang terpelihara

Pembuangan kotoran dan sampah kedalam saluran yang menyebabkan penyumbatan


dan timbulnya genangan akan mempercepat berkembangbiaknya mikroorganisme atau
kuman-kuman penyebab penyakit, serangga dan mamalia penyebar penyakit seperti
lalat dan tikus.

Suatu badan air seperti sungai atau laut mempunyai kapasitas penguraian tertentu. Bila
air limbah langsung dimasukkan begitu saja kedalam badan air tanpa dilakukan suatu
proses pengolahan, maka suatu saat dapat menimbulkan terjadinya pencemaran
lingkungan. Pencemaran tersebut berlangsung bila kapasitas penguraian limbah yang
terdapat dalam badan air dilampaui sehingga badan air tersebut tidak mampu lagi
melakukan proses pengolahan atau penguraian secara alamiah. Kondisi yang demikian
dinamakan kondisi septik atau tercemar yang ditandai oleh:

1. Timbulnya bau busuk


2. Warna air yang gelap dan pekat
3. Banyaknya ikan dan organisme air lainnya yang mati atau mengapung.

6. Vektor Penyakit

“ vektor adalah golongan arthropoda seperti nyamuk, pinjal, caplak dll, yang dapat
menularkan jasad renik atau parasit darimanusia yang sakit kepada orang lainnya ”
(Nomenklatur Bidang Kesehatan)

Mekanisme Penularan Penyakit oleh Vektor

1.Dengan 2 faktor kehidupan (vektor-manusia)

2.Dengan 3 faktor kehidupan (infectious agent-vektor-manusia)

3.Dengan 4 faktor kehidupan (reservoir-infectious agent-vektor-manusia)

Mekanisme Lainnya

a.Mechanical transport (passive trans) : bibit penyakit dipindakan melalui bagian-


bagian tubuh vektor. Mis : dysentri, cacingan dll

b.Biological transmission (active trans ) : bibit penyakit pindah dari host/reservoir ke


host susceptible
Pengendalian Vektor Harus Perhatikan :

1.Siklus kehidupan vektor

2.Ekologi vektor

3.Tingkah laku vektor

4.Cara transmisi vektor

5.Cara vektor menularkan penyakit

Perencanaan Pengendalian Vektor :

1.identifikasi masalah

2.Studi kelayakan

3.Percobaan lapangan

4.Amdal

5.Usulan program

Cara Pengendalian Vektor

1.Pengendalian kimia : insektisida, tapi dapat rsisten dan persisten.

2.Pengendalian biologis : memelihara musuh alami dan mengurangi fertilitas insekta

3.Pengendalian rekayasa : pengelolan lingkungan dengan modifikasi dan atau


manipuasi faktor-faktor lingkungan atau interaksinya dengan manusia.

4.Pengendalian secara undang-undang

5.Pengendalian terintegrasi : meningkatkan partisipasi masyarakat, kerjasama sektoral


dll.

7. Pencemaran Lingkungan

I.Pencemaran lingkungan

II.Pencemaran udara

III.Pencemaran air

IV.Pencemaran tanahKandungan udara atmosfir :N, O, Argon, Asam arang, Ne, He,
Metana, Crypton, NO3, H2, Xenon, NO2, Ozone

Jenis Pencemaran Menurut Kejadiannya :


a.Antropogenic : industri, kendaraan bermotor, RT, pembakaran secara sengaja, dll

b.Natural : gempa bumi, letusan gunung berapi, banjir, tanah longsor, dllJenis

Pencemaran Menurut Sumbernya :

a.Pencemaran primer : zatnya hampir tidak berubah sejak dilepaskan di udara ; CO, Nox,
Sox, dsb

b.Pencemaran sekunder : zatnya sudah berubah karena hasil reaksi tertentu antar 2 atu
lebih kontaminan ; H2SO4, H2NO3, O3

Pengaruh Terhadap Kesehatan :

a.Oleh gas/uap : iritan thd saluran napas, mata

b.Oleh partikel : silicosis, asbestosis, bissinosis, antrakosis, biriliosis, dsb

c.Oleh zat cair : menular mis. diare, cholera, dysentri. Tidak menular mis. Kanker,
rematik.

Cara Penanggulangan Dampak Pencemaran Lingkungan :

A.Penanggulangan Non-Teknis

1. Penyajian informasi lingkungan

2. AMDAL

3. Perencanaan

4. Pengaturan dan pengawasan kegiatan

5. Menanamkan prilaku disiplin

B.Penanggulangan Teknis

1. Mengubah proses

2. Mengganti sumber energy

3. Mengelola limbah dan menambah alat bantu.

2.2 KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA

Penerapan Tehnik Pencegahan Umum di Pelayanan Kesehatan


Pencegahan umum atau dengan kata lain ”kewaspadaan universal (universal
precautions)” merupakan salah satu upaya pengendalian infeksi di sarana pelayanan
kesehatan yang telah dikembangkan pleh Departemen Kesehatan RI sejak tahun 1980-
an.
Penerapan pencegahan umum didasarkan pada keyakinan bahwa darah dan cairan
tubuh
sangat potensial menularkan penyakit baik yang berasal dari pasien maupun petugas
kesehatan. Prinsip utama prosedur kewaspadaan universal adalah menjaga higiene
individu, sanitasi ruangan, dan sterilisasi peralatan. Ketiga prinsip tersebut dijabarkan
menjadi lima kegiatan pokok yaitu:
1) Cuci tangan untuk mencegah infeksi silang
2) Pemakaian alat pelindung diri seperti sarung tangan, masker, kaca mata, dan barak
short.
3) Pengelolaan alat kesehatan bekas pakai
4) Pengelolaan jarum dan benda tajam untk mencegah perlukaan
5) Pengelolaan limbah dan sanitasi ruangan

2.2.1 Cuci Tangan


Cuci tangan yang dilakukan secara benar dapat menghilangkan mikroorganisme yang
menempel ditangan. Cuci tangan harus selalu dilakukan sebelum dan sesudah
melakukan tindakan perawatan ke pasien, memakai sarung tangan, menyentuh darah,
cairan tubuh, atau eksresi pasien. Tiga cara cuci tangan dilaksanakan sesuai kebutuhan
yaitu cuci tangan hygienis atau rutin untuk menghilangkan kotoran dengan
menggunakan sabun atau deterjen, cuci tangan aseptik yang dilakukan sebelum
melakukan tindakan aseptik ke pasien, cuci tangan ini dilakukan dengan menggunakan
zat antiseptik, dan cuci tangan bedah yang dilakukan sebelum melakukan tindakan
bedah cara aseptik. Sarana yang perlu dipersiapkan untuk melakukan cuci tangan
adalah air mengalir, sabun dan deterjen, larutan antiseptik, dan pengering dari mulai
handuk/lap bersih, lap kain atau handuk steril sampai alat pengering tangan listrik
(hand drier).
Adapun prosedur cuci tangan rutin adalah sebagai berikut:
1) Hidupkan kran air
2) Basahi tangan setinggi pertengahan lengan bawah dengan air mengalir.
3) Taruh sabun antiseptik di bagian telapak tangan yang telah basah. Buat busa
secukupnya tanpa percikan.
4) Buat gerakan cuci tangan terdiri dari gosokan kedua telapak tangan, gosokan telapak
tangankanan diatas punggung tangan kiri dan sebaliknya, gososk kedua telapak
tangan dengan jari saling mengait, gosok kedua ibu jari dengan cara menggenggam
dan memutar, gosok pergelangan tangan.
5) Proses berlangsung selama 10-15 detik.
6) Bilas kembali dengan air bersih.
7) Keringkan tangan dengan handuk atau kertas sekali pakai.
8) Matikan kran dengan kertas atau tisue.

2.2.2 Pemakaian Alat Pelindung Diri


Alat pelindung digunakan untuk melindungi kulit dan selaput lendir petugas dari resiko
pajanan darah, cairan tubuh, sekret, dan eksreta pasien. Jenis-jenis alat pelindung diri
yaitu; sarung tangan, pelindung wajah/masker/kaca mata, penutup kepala, gaun
pelindung (barak short), dan sepatu pelindung. Tidak semua alat pelindung diri harus
dipakai pada waktu yang bersamaan, tergantung pada jenis tindakan yang akan
dikerjakan.
Misalnya ketika akan menolong persalinan sebaiknya semua pelindung diri dipakai
untuk mengurangi kemungkinan terpajan darah/cairan tubuh pada petugas, namun
untuk tindakan menyuntik atau memasang infus, cukup dengan memakai sarung
tangan.

2.2.3 Pengelolaan Alat Kesehatan Bekas Pakai


Pengelolaan alat-alat kesehatan bekas pakai bertujuan untuk mencegah penyebaran
infeksi melalui alat kesehatan, atau untuk menjamin bahwa alat-alat tersebut dalam
kondisi steril dan siap digunakan. Semua alat yang akan dimasukan kedalam jaringan
bawah kulit pasien harus dalam keadaan steril. Proses pengelolaan alat-alat kesehatan
ini dilakukan melalui empat tahap kegiatan yaitu:
1) Dekontaminasi, yaitu menghilangkan mikroorganisme pathogen dan kotoran dari
suatu benda sehingga aman untuk pengelolaan selanjutnya. Cara dekontaminasi yang
lazim dilakukan adalah dengan merendam alat kesehatan dalam larutan desinfectan,
misalnya klorin 0,5%, selama 10 menit.2) Pencucian, dilakukan untuk menghilangkan
kotoran yang kasat mata dengan cara mencuci denga air, sabun/deterjen, dan sikat.
3) Sterilisasi, yaitu proses menghilangkan seluruh mikroorganisme termasuk
endosporanya dari alat kesehatan. Cara sterilisasi yang sering dilakukan adalah dengan
uap panas bertekanan, pemanasan kering, gas etilin oksida, dan zat kimia cair. Dengan
kata lain, penggolongan cara sterilisasi juga dapat dikategorikan cara fisik seperti
pemansan, radiasi, filtrasi, dan cara kimiawi dengan menggunakan zat kimia.
4) Penyimpanan, penyimpanan yang baik sama pentingnya dengan proses sterilisasi
atau desinfeksi itu sendiri. Ada dua metode penyimpanan yaitu cara terbukus dan tidak
terbungkus.

2.2.4 Pengelolaan Jarum dan Benda Tajam


Jarum suntik sebaiknya digunakan sekali pakai dan jarum bekas atau benda tajam
lainnya di buang ke tempat khusus (safety box) yang memiliki dinding keras atau tidak
tembus oleh jarum atau benda tajam yang dibuang kedalamnya. Kecelakaan yang sering
terjadi pada prosedur penyuntikan adalah ketika petugas berusaha memasukan
kembali jarum suntik bekas pakai kedalam tutupnya (recappping). Oleh karenanya
meurut rekomendasi tehnik kewaspadaan universal dari WHO (2004) penutupan
kembali jarum suntik setelah digunakan sebaiknya tidak perlu diperlukan, jadi jarum
suntik bersama syringnya langsung saja dibuang ke kotak khusus. Jika sangat
diperlukan untuk menutup kembali, misalnya karena masih ada sisa obat yang bisa
digunaka, maka penutupan jarum suntik kembali dianjurkan dengan menggunakan
tehnik satu tangan (single handedrecapping method).

2.2.5 Pengelolaan limbah dan sanitasi ruangan


Secara umum limbah dapat dibedakan menjadi limbah cair dan limbah padat, namun
lebih khusus lagi limbah yang berasal dari rumah sakit dibedakan menjadi:
1) Limbah rumah tangga atau limbah non medis
2) Limbah medis terdiri dari limbah klinis, laboratorium
3) Limbah berbahaya yaitu limbah kimia yang mempunyai sifat beracun misalnya
senyawa radioaktif dan bahan sitotoksik
Cara penanganan limbah di sarana pelayanan kesehatan harus dimulai dari tempat
dimana sampah diproduksi dengan cara:
1) Pemilahan, dilakukan dengan menyediakan wadah yang sesuai dengan jenis sampah,
misalnya hitam untuk limbah non medis, kuninga untuk limbah medis infectious, dan
merah untuk bahan beracun, dst.
2) Semua jenis limbah ditampung dalam wadah berupa kantong plastik yang kedap air.
3) Bila sudah terisi 2/3 volume kantong sampah, kantong sampah harus diikat secara
rapat, dan segera diangkut ke tempat penampungan sementara.
4) Pengumpulan sampah dari ruang perawatan atau pengobatan harus tetap pada
wadahnya jangan dituangkan pada gerobak yang terbuka.
5) Petugas yang menangani sampah harus selalu menggunakan sarung tangan dan
sepatu serta selalu mencuci tangan setiap selesai mengambil sampah.
6) Sampah dari tempat penampungan sementara diangkut ke tempat pemusnahan.
Sistem pemusnahan yang dianjurkan adalah dengan pembakaran (insenerasi) pada
suhu tinggi (>12000 C)

Hal-hal lain yang perlu diperhatikan perawat dan staff kesehatan lainnya adalah :
1) Langkah-langkah untuk mencegah atau meminimalkan kejadian cedera benda tajam
sebagai akibat resiko kerja, perlu segera diambil oleh para pengelola tenaga
keperawatan dan pihak terkait linnya karena pada akhirnya akan menjadi ancaman bagi
produktifitas pelayanan keperawatan di rumah sakit. Langkah-langkah yang bisa
diambil diantaranya meningkatkan kompetensi para perawat dengan pendidikan dan
pelatihan terkait, penyediaan fasititas pendukung, pengawasan, pengendalian serta
penagnan dini kasus-kasus kecelakaan kerja terutama tertusuk benda tajam.
2) Walaupun lebih dari setengah responden memiliki pengetahuan termasuk kategori
baik, namun mengingat aspek-aspek pengetahuan yang berkaitan dengan resiko cedera
benda tajam masih banyak yang tidak tahu atau menjawab salah, penyegaran
pengetahuan (updating knowledge) masih sangat diperlukan terutama yang berkaitan
dengan pengendalian resiko kecelekaan kerja dengan lebih fokus pada penerapan
kewaspadaan universal dalam pencegahan penularan HIV/AIDS.
3) Pembinan sikap yang positif terhadap perawatan pasien HIV/AIDS perlu terus
dilakukan mengingat hampir setengah responden masih menunjukan sikap negative
terhadap perawatan pasien HIV/AIDS. Pembinaan ini bisa ditempuh dengan cara
mensosialisasikan kemajuan yang positif dalam pengelolaan pasien HIV/AIDS
dukungan moril, fasilitas, dan kebijakan dari intitusi rumah sakit.
4) Mengingat masih banyak faktor lain yang belum terungkap yang turut berpengaruh
terhadap munculnya perilaku, penelitian lanjutan masih diperlukan untuk mengeksplor
faktor-faktor terkait serta menguji faktor mana yang paling kuat prediksinya sehingga
bisa dilakukan kontrol terhadap faktor tersebut.

2.3 KECELAKAAN KERJA PERAWAT

Tenaga keperawatan merupakan tenaga kesehatan terbanyak di rumah sakit dan


memiliki kontak yang paling lama dengan pasien. Pekerjaan perawat merupakan jenis
pekerjaan yang beresiko kontak dengan darah, cairan tubuh pasien, tertusuk jarum
suntik bekas pasien, dan bahaya-bahaya lain yang dapat menjadi media penularan
penyakit. Menurut laporan situs http://www.avert.org, di Amerika Serikat pada tahun
2001 terdapat 57 kasus tenaga kesehatan yang terinfeksi HIV akibat resiko pekerjaan.
Dari 57 kasus tersebut, 24 kasus diantaranya (terbanyak) dialami oleh perawat. Di
Indonesia, walaupun belum ada data yang pasti, namun jika melihat pengendalian
infeksi di rumah sakit yang masih lemah, maka resiko penularan infeksi termasuk HIV
terhadap perawat bisa dikatakan cukup tinggi.
Dari data karakteristik penelitian yang telah banyak di lakukan akhir-akhir ini,
diketahui bahwa mayoritas responden (70%)berusia antara 20 sampai 30 tahun,
sebagian besar (67,8%) adalah perempuan, seluruhnya bergama Islam, sebagian besar
bekerja di Unit Perawatan Anak, Dalam, dan Bedah, dengan lama bekerja sebagian besar
(70%) kurang dari lima tahun. Ketiga unit perawatan tersebut biasanya merupakan unit
yang tingkat kapasitas hunian pasiennya lebih tinggi dibanding unit-unit perawatan
lainnya, sehingga jumlah tenaga perawat pun biasanya lebih banyak dibanding di unit-
unit lainnya. Walaupun tingkat huniannya yang tinggi, namun pasien-pasien yang
dirawat di unit-unit tersebut umumnya mempuyai tingkat kompleksitas ringan sampai
moderat, karena untuk pasien-pasien yang tingkat kompleksitas tinggi umumnya
dirawat di ruang perawatan intensif. Hal ini berhubungan dengan pola ketenagaan
perawat yang ditempatkan di unit-unit tersebut umumnya perawat yang masih junior
atau belum banyak pengalaman dalam menangani pasien namun disisi lain mereka
harus berhadapah dengan beban kerja yang tinggi.
Sebagiaan besar responden (74%) melaporkan pernah mengalami kecelakaan kerja
cedera benda tajam, dengan jenis kecelakaan terbanyak adalah tertusuk jarum suntik
(32,8%) diikuti oleh tergores pecahan ampul (24,5%) dan teriris pisau (3,3%).
Kecelakaan tertusuk jarum suntik dialami responden terutama ketika menutup kembali
jarum suntik (36%). Temuan penelitian ini memperkuat hasil temuan terdahulu bahwa
seluruh tenaga kesehatan di dunia diperkirakan mengalami 2 juta kecelakaan kerja
cedera benda tajam yang menjadi perantara penularan hepatitis B, C, dan HIV (Wilburn
& Eijkemans, 2004).
Angka kejadian tersebut pun masih perkiraan kasar, angka sebenarnya bisa lebih besar
lagi karena beberapa kasus banyak yang tidak tercatat dan tidak dilaporkan. Data dari
survey keselamatan injeksi yang dilakukan oleh WHO mengungkap bahwa di Asia,
Afrika, dan Mediteran Timur, seorang tenaga kesehatan rata-rata mengalami cedera
benda tajam sebanyak 4 kali per tahun (WHO, 2003). Dua penyebab yang paling umum
dari cedera benda tajam ini yaitu penutupan kembali jarum suntik dengan dua tangan
dan pengumpulan dan pembuangan limbah benda tajam yang tidak aman (WHO, 2003).
Dari data tabel 5.4, Unit Perawatan Dalam, Anak, dan Bedah merupakan unit kerja yang
angka cedera benda tajamnya paling tinggi dibanding unit-unit lainnya. Seperti telah
diungkapkan di atas bahwa ketiga unit tersebut umumnya kapasitas hunian pasiennya
tinggi, beban kerja perawat terutama tindakan injeksi pun tinggi, dan perawat yang
bekerja
sebagian besar masih relatif baru (junior) sehingga potensi resiko kecelakaan kerja
cedera
benda tajam pun tinggi. Hal ini bisa menjadi bahan perhatian bagi pengelola tenaga atau
SDM keperawatan dalam merancang pola ketenagaan di ruangan hendaknya ada
komposisi
seimbang antara senior dan junior serta pelunya pembinaan atau pelatihan yang
berkelanjutan tentang pengendalian resiko kecelakaan kerja terutama cedera benda
tajam
yang berpotensi menularkan beberapa penyakit berbahaya termasuk HIV/AIDS. Hal ini
diperkuat oleh temuan yang tergambarkan pada diagram 5.2 bahwa hanya sebagian
kecil (12%) saja responden yang pernah mengikuti pelatihan pengendalian infeksi
termasuk prosedur kewaspadaan umum.
Dari data pengetahuan responden tentang penecegahan umum terhadap penularan
HIV/AIDS diketahui bahwa lebih dari setengahnya responden termasuk
berpengetahuan baik dengan rata-rata jumlah skor 24,06 (dari jumlah skor tertinggi
31). Hal ini menunjukan bahwa meskipun responden banyak yang belum mengikuti
pelatihan khusus tentang pengendalian infeksi, namun secara umum responden
mengenal pengetahuan tersebut mungkin ketika dalam proses pendidikan keperawatan
dan dengan pengalaman kerja yang relatif belum lama, pengetahuan tersebut masih
mudah untuk diingat kembali.
Namun demikian seiring dengan perkembangan ilmu dan pengetahuan, maka mengikuti
perkembangan ilmu pengetahuanterkini maerupakan keharusan agar tetap bisa
menjalani profesi secara baik. Hal ini terlihat dari kebanyakan responden (57,8%)
masih menjawab benar untuk pertanyaan ”jarum bekas suntik sebaiknya ditutup
dahulu sebelum dibuang ketempat sampah”, padahal hal tersebut tidak
direkomendasikan lagi oleh WHO (2003) yang menganjurkan tidak perlu lagi ditutup
dulu karena saat penutupan ulang itulah yang banyak menimbulkan kecelakaan
tertusuk.
Lebih dari setengahnya responden menujukan sikap mendukung (favorable) terhadap
perawatan pasien HIV/AIDS. Hal ini menunjukan secara mental responden menunjukan
kesiapan atau kemauan untuk merawat pasien HIV/AIDS. Namun demikian, hampir
setengahnya responden yang lainnya menunjukan sikap tidak mendukung
(unfavorable). Idealnya, semua perawat harus menunjukan kemauan untuk merawat
pasien HIV/AIDS karena perawat terikat sumpah profesi yang menyatakan akan tetap
berusaha memberikan pelayanan keperawatan yang berkualitas kepada semua pasien
tanpa membeda-bedakan suku bangsa, agama, sosial, politik, termasuk jenis penyakit
yang diderita. Namun disisi lain, perawat juga berhak mendapat perlindungan dari
berbagai dampak negatif sebagai resiko pekerjaan seperti kecelakaan kerja, tertular
penyakit, dan sebagainya. Oleh karenanya selama institusi tempat perawat bekerja
dapat melindungi dari kemungkinan dampak negatif akibat kerja, misalnya dengan
memberikan fasilitas yang cukup dan memenuhi standar keselamatan kerja serta
peningkatan kompetensi secara berkesinambungan, maka perawat pun harus selalu
siap untuk memberikan pelayanan keperawatan pada berbagai pasien dengan berbagai
kasus penyakit.
Dilihat dari mean jumlah skor praktik sebesar 75,74 (dari jumlah skor tertinggi 96)
menunjukan bahwa kebanyakan responden melaporkan sering dan selalu melakukan
halhal yang ditanyakan diangket. Jika dilihat dari urutan item yang paling sering atau
selalu
24 dilakukan oleh responden (tabel 5.8), ”mencuci tangan dengan menngunakan
antiseptik
setelah melakukan prosedur yang berhubungan dengan darah atau cairan tubuh pasien”
merupakan item yang paling sering dilakukan oleh responden dalam penelitian ini.
Pada urutan selanjutnya tampak bahwa kebanyakan responden mempraktikan mencuci
tangan sesuai indikasi yang diperlukan, kecuali sebagian kecil responden yang mencuci
tangan sebelum memakai sarung tangan. Responden masih banyak yang mempraktikan
menutup jarum bekas suntik sebelum dibuang ke tempat sampah (Mean = 3,78) dan
sedikit responden yang memakai sarung tangan ketika melakukan tindakan suntik
(Mean = 1,88).
Hal ini konsisten dengan data pengetahuan yang menunjukan sebagian besar responden
masih menganggap benar menutup kembali jarum suntik terlebih dulu sebelum
dibuang ke
tempat sampah, juga ditunjukan dengan sedikitnya responden yang membuang jarum
bekas suntik tanpa ditutup ke tempat khusus jarum suntik (Mean = 1,81).
Hasil uji statistik korelasi dengan menggunakan ”pearson product moment correlation”
menunjukan bahwa skor pengetahuan berhubungan positif secara bermakna dengan
skor praktik responden (r = 0,271 p = < 0,01), sedangkan pengetahuan dengan sikap,
dan sikap dengan praktik tidak berhubungan secara bermakna. Hal ini menunjukan
bahwa semakin tinggi skor pengetahuan semakin tinggi pula skor praktik. Penemuan ini
memperkuat teori ”social cognitive theory” yang menyatakan bahwa perilaku seseorang
(dalam konteks ini praktik pencegahan umum terhadap penularan HIV/AIDS)
dipengaruhi oleh aspek kognitif yang dibentuk dari pengetahuan tentang sesuatu yang
berkaitan dengan perilaku yang akan dimunculkan. Namun disisi lain, dalam penelitian
ini tidak terbukti adanya hubungan yang bermakna antar pengetahuan dengan sikap,
dan sikap dengan praktik, padahal baik secara teoritis maupun empiris keterkaitan
antara pengetahuan, sikap, dan perilaku sudah banyak diketahui keterkaitannya. Hal ini
bisa dijelaskan bahwa, sikap merupakan kecenderungan perilaku yang belum nyata
(overt behavior) dan sikap bukan satu-satunya penentu namun masih banyak faktor lain
yang berpengaruh terhadap munculnya perilaku (Azwar, 2003).

Tabel 5.1 Karakteristik responden berdasarkan usia, jenis kelamin, agama, pendidikan
terakhir, unit kerja, dan lama bekerja (N = 90)

Karakteristik Frekuensi Prosentase


1. Usia (tahun)
- 20 - 30 63 70,0
- 31 - 40 19 21,1
- 41 - 50 4 4,4
- >50 4 4,4
M = 29,3 SD = 6,89 R = 21 –
52
2. Jenis kelamin
- Laki-laki 29 32,2
- Perempuan 61 67,8
3. Agama
- Islam 90 100
4. Pendidikan terakhir
- SPK/Sederajat 4 4,4
- D.III Keperawatan 84 93,3
- Sarjana Keperawatan 2 2,2
5. Unit kerja
- UGD 6 6,7
- Perawatan Bedah 11 12,2
- Perawatan Dalam 17 18,9
- Perawatan Anak 18 20,0
- Perawatan Kebidanan 9 10,0
- Kamar Bedah 4 4,4
- ICU 5 5,6
- Neurologi 7 7,8
- Umum/Sementara 7 7,8
- VIP 6 6,7
6. Lama bekerja
- _ 5 tahun 63 70,0
- > 5 – 10 tahun 19 21,1
- > 10 tahun 8 8,9
M = 4 SD = 3,5 R = 1 – 13

Diagram 5.1 Distribusi frekuensi dan prosentase responden yang pernah mengalami
kecelakaan kerja cedera benda tajam (N=90)
Dari diagram 5.1 tampak bahwa sebagian besar responden (74%) melaporkan pernah
mengalami kecelakaan kerja cedera benda tajam. Sedangkan untuk jenis kecelakaan
cedera tersebut dan aktivitas yamg sedang dilakukan ketika cedara tersebut terjadi
seperti termuat dalam tabel 5.3 di bawah.

Tabel 5.2 Jumlah dan jenis kecelakaan kerja berdasarkan shif kerja selama setahun
Terakhir

Jenis kecelakaan Shift Kerja Jumlah (%)


Pagi (%) Sore (%) Malam(%)

Tertusuk jarum 41 (13,6) 32 (10,6) 26 (8,6) 99 (32,8)


suntik 2 (0,7) 7 (2,3) 1 (0,33) 10 (3,3)
Teriris pisau 28 (9,3) 25 (8,3) 21 (6,9) 74 (24,5)
Tergores pecahan
ampul/vial obat 59 (19,5) 31 (10,3) 29 (9,6) 119(39,4)
Terkena cipratan
darah/cairan tubuh
pasien
Jumlah (%) 130 (43) 95 (31,4) 77 (25,6) 302 (100)

Tabel 5.3 Jenis aktivitas pekerjaan yang sedang dilakukan ketika kecelakaan kerja
cedera
benda tajam terjadi
Frekuensi Prosentase
Menutup kembali jarum 45 36,0
suntik
Menusukan jarum suntik ke 14 11,2
botol obat
Membuka obat ampul 40 32,0
Merawat luka 21 16,8
Lainnya ; infus 5 4,0

Jumlah 125 100

2.4Permasalahan Gizi di Indonesia


2.4.1 Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Masalah Gizi
Masalah gizi dikenal sebagai maslah yang multikompleks karena disamping
banyaknya faktor satu dengan faktor lainnya. Faktor-faktor tersebut dapat
dikelompokkan kedalam 3 bidang yaitu: a. produksi pangan, b. distribusi pangan, dan c.
pemanfaatan pangan. Enam kelompok faktor dibawah bidang produksi dan distribusi
pangan yang terdiri dari: tenaga kerja pertanian, ekonomi, demografi, budaya, dan
kesehatan dapat mengakibatkan penurunan, ketidakseimbangan atau kelebihan
konsumsi zat gizi. Perubahan keseimbangan atau kelebihan konsumsi ini dan tiga faktor
lainnya yang berkaitan dengan pemanfaatan pangan (fisiologis, kegiatan dan infeksi
atau parasit) akan berpengaruh terhadap proses metabolism. Gizi kurang terjadi karena
defisiensi atau ketidakseimbangan energy atau zat gizi. Dinegara maju masalah yang
umum yang dihadapi adalah obesitas yang diakibatkan oleh konsumsi zat gizi yang
berlebihan, tetapi kurang aktivitas fisiknya. Gizi kurang menurunkan produktifitas kerja
sehingga pendapatan menjadi rendah, miskin dan pangan tidak tersedia cukup. Selain
itu, gizi kurang menyebabkan daya tahan tubuh atau resistensi terhadapa penyakit
menjadi rendah.
a. Faktor pertanian
Produksi pertanian rendah di hamper semua Negara berkembang
menjadikan pembatas bagi usaha-usaha untuk memperbaiki keadaan gizi penduduk.
Produksi per satuan luas tetap masih rendah dengan tanpa menerapkan panca usaha
pertanian termasuk penggunaan irigasi, bibit jenis unggul, pupuk, obat-obatan dan cara
tanam yang teratur. Sementara itu ketidakmerataan lahan pertanian juga merupakan
hambatan yang harus diperhitungkan dalam upaya perbaikan gizi penduduk.
Masalah yang sering dihadapi tentang kekurangan pangan adalah
kecendrungan para petani di Negara-negara bukan industry beralih ketanaman
perdagangan dan pada saat yang bersamaan jumlah penduduk makin meningkat.
Belakangan ini kebanyakan dari lahan sulit untuk diusahakan tanpa adanya biaya
produksi yang berarti. Selein itu karna pertambahan penduduk yang sangat cepat
mempersempit lahan, memperkecil produksi.
b. Faktor ekonomi
Kemiskinan sebagai penyebab gizi kurang menduduki posisi pertama pada
kondisi yang umum. Golongan miskin menggunakan bagian terbesar dari pendapatan
untuk memenuhi kebutuhan makanan, dimana keluarga lainnya hanya 2/3nya. Para
perencana pembangunan ahli ekonomi berpendapat bahwa dengan perbaikan taraf
ekonomi maka tingkat gizi penduduknya akan meningkat. Gizi yang baik akan
berdampak pada peningkatan keadaan ekonomi keluarga maupun Negara.
c. Faktor budaya
Unsur-unsur budaya mampu menciptakan suatu kebiasaan makan penduduk
yang kadang-kadang bertentangan dengan prinsip ilmu gizi. Misalnya bahan-bahan
makanan tertentu oleh sesuatu budaya masyarakat dapat dianggap tabu untuk
dikonsumsi karena alasan-alasan tertentu. Dalam beberapa budaya ada yang
memprioritaskan anggota keluarga tertentu untuk menkonsumsi hidangan keluarga
yang telah disiapkan yaitu umumnya kepala keluarga. Apabila keadaan tersebut
berlansug lama dapat berakibat timbulnya kekurangan gizi dalam keluarga.
d. Faktor fisiologis
Faktor fisiologis dalam kebutuhan gizi atau kemampuan dalam metabolism
zat gizi merupakan faktor utama yang berpengaruh dalam pemanfaatan pangan oleh
tubuh. Ibu hamil dan menyusui yang mangalami kurang gizi akan mempengaruhi janin
yang dikandungnya atau bayi yang disusuinya. Oleh karena itu kualitas bayi atau anak
akan sangat tergantung pada status gizi ibunya. Dengan demikian, upaya intervensi
terhadap golongan ibu hamil dan menyusui sangat penting dari segi pembinaan kualitas
hidup manusia dimasa mendatang.
Bagi anak kecil, periode sejak mulai disapih sampai umur 5 tahun merupakan
masa-masa rawan dalam siklus hidupnya. Pertumbuhan yang cepat dan hilanganya
kekebalan pasif berada dalam periode ini. Apabila dalam masa ini anak tidak
medapatkan perhatian khusus, maka sangat mudah jatuh kedalam jurang masalah gizi
kurang.

e. Faktor infeksi
Antara status gizi kurang dan infeksi terdapat interaksi bolak-balik. Infeksi
dapat menimbulakn gizi kurang melauli berbagai mekanismenya. Yang paling penting
efek lansung dari infeksi sistemik pada katabolisme jaringan. Walaupun hanya terjadi
infeksi jaringan sudah menimbulkan kehilangan nitrogen. (suhardjo, 2005).

Penyebab masalah gizi:

Penyebab langsung : Makanan dan penyakit dapat secara langsung menyebabkan gizi
kurang. Timbulnya gizi kurang tidak hanya dikarenakan asupan makanan yang kurang,
tetapi juga penyakit. Anak yang mendapat cukup makanan tetapi sering menderita sakit,
pada akhirnya dapat menderita gizi kurang. Demikian pula pada anak yang tidak
memperoleh cukup makan, maka daya tahan tubuhnya akan melemah dan akan mudah
terserang penyakit.

Penyebab tidak langsung : Terdapat tiga penyebab tidak langsung yang menyebabkan
gizi kurang yaitu :
1. Ketahanan pangan keluarga yang kurang memadai. Setiap keluarga diharapkan
mampu untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota keluarganya dalam
jumlah yang cukup baik jumlah maupun mutu gizinya.
2. Pola pengasuhan anak kurang memadai. Setiap keluarga dan mayarakat
diharapkan dapat menyediakan waktu, perhatian, dan dukungan terhadap anak
agar dapat tumbuh kembang dengan baik baik fisik, mental dan sosial.
3. Pelayanan kesehatan dan lingkungan kurang memadai. Sistim pelayanan
kesehatan yang ada diharapkan dapat menjamin penyediaan air bersih dan
sarana pelayanan kesehatan dasar yang terjangkau oleh setiap keluarga yang
membutuhkan.

2.4.2 Masalah-Masalah Gizi

Masalah gizi terbagi menjadi masalah gizi makro dan mikro. Masalah gizi makro adalah
masalah yang utamanya disebabkan kekurangan atau ketidakseimbangan asupan
energi dan protein. Manifestasi dari masalah gizi makro bila terjadi pada wanita usia
subur dan ibu hamil yang Kurang Energi Kronis (KEK) adalah berat badan bayi baru
lahir yang rendah (BBLR). Bila terjadi pada anak balita akan mengakibatkan marasmus,
kwashiorkor atau marasmic-kwashiorkor dan selanjutnya akan terjadi gangguan
pertumbuhan pada anak usia sekolah.
Anak balita yang sehat atau kurang gizi secara sederhana dapat diketahui dengan
membandingkan antara berat badan menurut umur atau berat badan menurut tinggi,
apabila sesuai dengan standar anak disebut Gizi Baik. Kalau sedikit di bawah standar
disebut Gizi Kurang, sedangkan jika jauh di bawah standar disebut Gizi Buruk. Bila gizi
buruk disertai dengan tandatanda klinis seperti ; wajah sangat kurus, muka seperti
orang tua, perut cekung, kulit keriput disebut Marasmus, dan bila ada bengkak terutama
pada kaki, wajah membulat dan sembab disebut Kwashiorkor. Marasmus dan
Kwashiorkor atau Marasmus Kwashiorkor dikenal di masyarakat sebagai “busung
lapar”. Gizi mikro (khususnya Kurang Vitamin A, Anemia Gizi Besi, dan Gangguan Akibat
Kurang Yodium).

Adapun secara umum masalah gizi yaitu :


A. Kekurangan Kalori Protein (KKP)
             KKP ini juga sering disebut sebagai KEP ( kekurangan energi protein)  atau dalam
bahasa inggris disebut PEM ( protein- energy malnutrition) .KKP  disebabkan karena
seseorang yang dalam waktu lama menu makanannya kekurangan zat sumber tenaga/
kalori  ( karbohidrat dan lemak) dan juga sumber zat pembangun  yaitu protein. Orang
yang menderita KKP akan bermanifestasi dalam bentuk kekurangan berat badan/
kurus. Sering kita sebut sebagai gizi kurang / gizi buruk . Kita dapat menentukan
seseorang dalam kategori gizi baik, gizi kurang atau gizi buruk setelah membandingkan
pada tabel antara umur dan berat badan sesuai jenis kelamin dan tabel perbandingan
panjang badan dan berat badan sesuai jenis kelamin.  

Penyebab
 Masukan makanan atau kuantitas dan kualitas rendah
 Gangguan sistem pencernaan atau penyerapan makanan
 Pengetahuan yang kurang tentang gizi
 Konsep klasik diet cukup energi tetapi kurang pprotein menyebabkan
kwashiorkor
 Diet kurang energi walaupun zat gizi esensial seimbang menyebabkan marasmus
 Kwashiorkor terjadi pada hygiene yang buruk , yang terjadi pada penduduk desa
yang mempunyai kebiasaan memberikan makanan tambahan tepung dan tidak
cukup mendapatkan ASI
 Terjadi karena kemiskinan sehingga timul malnutrisi dan infeksi

Gejala klinis KEP ringan


 Pertumbuhan mengurang atau berhenti
 BB berkurang, terhenti bahkan turun
 Ukuran lingkar lengan menurun
 Maturasi tulang terlambat
 Rasio berat terhadap tinggi normal atau menurun
 Tebal lipat kulit normal atau menurun
 Aktivitas dan perhatian kurang
 Kelainan kulit dan rambut jarang ditemukan
Pembagian
 Marasmus
 Kwashiorkor
 Marasmus-kwashiorkor
Marasmus adalah kekurangan energi pada makanan yang menyebabkan cadangan
protein tubuh terpakai sehingga anak menjadi “kurus” dan “emosional”. Sering terjadi
pada bayi yang tidak cukup mendapatkan ASI serta tidak diberi makanan penggantinya,
atau terjadi pada bayi yang sering diare.

Penyebab
 Ketidakseimbangan konsumsi zat gizi atau kalori didalam makanan
 Kebiasaan makanan yang tidak layak
 Penyakit-penyakit infeksi saluran pencernaan
Tanda dan gejala
 Wajah seperti orang tua, terlihat sangat kurus
 Mata besar dan dalam, sinar mata sayu
 Mental cengeng
 Feces lunak atau diare
 Rambut hitam, tidak mudah dicabut
 Jaringan lemak sedikit atau bahkan tidak ada, lemak subkutan menghilang
hingga turgor kulit menghilang
 Kulit keriput, dingin, kering dan mengendur
 Torax atau sela iga cekung
 Atrofi otot, tulang terlihat jelas
 Tekanan darah lebih rendah dari usia sebayanya
 Frekuensi nafas berkurang
 Kadar Hb berkurang
 Disertai tanda-tanda kekurangan vitamin
Kwashiorkor adalah penyakit yang disebabkan oleh kekurangan protein dan sering
timbul pada usia 1-3 tahun karena pada usia ini kebutuhan protein tinggi.
Meski penyebab utama kwashiorkor adalah kekurangan protein, tetapi karena bahan
makanan yang dikonsumsi kurang menggandung nutrient lain serta konsumsi daerah
setempat yang berlainan, akan terdapat perbedaan gambaran kwashiorkor di berbagai
negara.
Penyebab
 Kekurangan protein dalam makanan
 Gangguan penyerapan protein
 Kehilangan protein secara tidak normal
 Infeksi kronis
 Perdarahan hebat
Tanda dan gejala
 Wajah seperti bulan “moon face”
 Pertumbuhan terganggu
 Sinar mata sayu
 Lemas-lethargi
 Perubahan mental (sering menangis, pada stadium lanjut menjadi apatis)
 Rambut merah, jarang, mudah dicabut
 Jaringan lemak masih ada
 Perubahan warna kulit (terdapat titik merah kemudian menghitam, kulit tidak
keriput)
 Iga normal-tertutup oedema
 Atrofi otot
 Anoreksia
 Diare
 Pembesaran hati
 Anemia
 Sering terjadi acites
 Oedema
Kwashiorkor-marasmik memperlihatkan gejala campuran antara marasmus dan
kwashiorkor
B.  KVA (kekurangan vitamin A)
              Vitamin A berasal dari karoten yang banyak tedapat pada sayuran dan buah
buahan berwarna merah atau jingga misal wortel, tomat. Vitamin A berperan dalam
pembentukan dan pemeliharaan kulit, selaput lendir, tulang ,gigi, penglihatan dan
reproduksi. Gejala awal kekurangan vitamin A adalah rabun senja  atau rabun ayam
yaitu terjadi gangguan adaptasi melihat gelap, gejala lainnya adalah kulit yang sangat
kering, kurangnya sekresi lendir mukosa sehingga mudah terkena serangan bakteri,
kekeringan mata karena gangguan kelenjar air mata ( xeropthalmia) yang merupakan
penyebab utama kebutaan di negara berkembang. Untuk mengatasinya biasakan anak
untuk mengkonsumsi  sayuran/ buah berwarna merah misal wortel, tomat dll. Dan ikuti
program bulan kapsul vitamin A yaitu februari dan agustus dimana balita akan
mendapatkan kapsul vitamin A secara gratis.

Penyebab
 Intake makanan yang mengandung vitamin A kurang atau rendah
 Rendahnya konsumsi vitamin A dan pro vitamin A pada bumil sampai
melahirkan akan memberikan kadar vitamin A yang rendah pada ASI
 MP-ASI yang kurang mencukupi kebutuhan vitamin A
 Gangguan absorbsi vitamin A atau pro vitamin A (penyakit pankreas, diare
kronik, KEP dll)
 Gangguan konversi pro vitamin A menjadi vitamin A pada gangguan fungsi
kelenjar tiroid
 Kerusakan hati (kwashiorkor, hepatitis kronik

Tanda dan gejala


 Rabun senja-kelainan mata, xerosis konjungtiva, bercak bitot, xerosis kornea
 Kadar vitamin A dalam plasma <20ug/dl

Tanda hipervitaminosis
Akut
 Mual, muntah
 Fontanela meningkat
Kronis
 Anoreksia
 Kurus
 Cengeng
 Pembengkakan tulang

Upaya pemerintah
 Penyuluhan agar meningkatkan konsumsi vitamin A dan pro vitamin A
 Fortifikasi (susu, MSG, tepung terigu, mie instan)
 Distribusi kapsul vitamin A dosis tinggi pada balita 1-5 tahun (200.000 IU pada
bulan februari dan agustus), ibu nifas (200.000 IU), anak usia 6-12 bulan
(100.000 IU)
 Kejadian tertentu, ditemukan buta senja, bercak bitot. Dosis saat ditemukan
(200.000 IU), hari berikutnya (200.000 IU) dan 4 minggu berikutnya (200.000
IU)
 Bila ditemukan xeroptalmia. Dosis saat ditemukan :jika usia >12 bulan 200.000
IU, usia 6-12 bulan 100.000 IU,  usia < 6 bulan 50.000 IU, dosis pada hari
berikutnya diberikan sesuai usia demikian pula pada 1-4 minggu kemudian dosis
yang diberikan juga sesuai usia
 Pasien campak, balita (200.000 IU), bayi (100.000 IU)
Catatan
 Vitamin A merupakan nutrient esensial, yang hanya dapat dipenuhi dari luar
tubuh, dimana jika asupannya berlebihan bisa menyebabkan keracunan karena
tidak larut dalam air
 Gangguan asupan vitamin A bisa menyebabkan morbili, diare yang bisa berujung
pada morbiditas  dan mortalitas, dan pneumonia

C.  GAKY (Gangguan akibat kekurangan yodium)

                 Yodium adalah salah satu mineral yang sangat  penting untuk pertumbuhan dan
kecerdasan. Kekurangan yodium akan menyebabkan gangguan pertumbuhan kerdil,
keterbelakangan mental dan penyakit pembesaran kelenjar gondok. Untuk
menanggulangi nya pemerintah melaksanakan pemberian kapsul yodium dan jangka
panjang dengan program iodisasi garam. Karena sekarang ini masih ada garam yang
belum beryodium dan ada pula yang kandungan yodiumnya tidak sesuai persyaratan
sehingga menimbulkan dampak penyakit GAKY. Terjadi pada kawasan pegunungan dan
perbukitan yang tanahnya tidak cukup mengandung yodium. Defisiensi yang
berlangsung lama akan mengganggu fungsi kelenjar tiroid yang secara perlahan
menyebabkan pembesaran kelenjar gondok.
Dampak

 Pembesaran kelenjar gondok


 Hipotiroid
 Kretinisme
 Kegagalan reproduksi
 Kematian

Defisiensi pada janin

 Dampak dari kekurangan yodium pada ibu


 Meningkatkan insiden lahir mati, aborsi, cacat lahir
 Terjadi kretinisme endemis
 Jenis syaraf (kemunduran mental, bisu-tuli, diplegia spatik)
 Miksedema (memperlihatkan gejala hipotiroid dan dwarfisme)

Defisiensi pada BBL

 Penting untuk perkembangan otak yang normal


 Terjadi penurunan kognitif dan kinerja motorik pada anak usia 10-12 tahun
pada mereka yang dilahirkan dari wanita yang mengalami defisiensi yodium

Defisiensi pada anak

 Puncak kejadian pada masa remaja


 Prevalensi wanita lebih tinggi dari laki-laki
 Terjadi gangguan kinerja belajar dan nilai kecerdasan

Klasifikasi tingkat pembesaran kelenjar menurut WHO (1990)


 Tingkat 0 : tidak ada pembesaran kelenjar
 Tingkat IA : kelenjar gondok membesar 2-4x ukuran normal, hanya dapat
diketahui dengan palpasi, pembesaran tidak terlihat pada posisi tengadah
maksimal
 Tingkat IB : hanya terlihat pada posisi tengadah maksimal
 Tingkat II : terlihat pada posisi kepala normal dan dapat dilihat dari jarak ± 5
meter
 Tingkat III : terlihat nyata dari jarak jauh

Spektrum gangguan akibat kekurangan yodium


 Fetus : abortus, lahir mati, kematian perinatal, kematian bayi, kretinisme nervosa
(bisu tuli, defisiensi mental, mata juling), cacat bawaan, kretinisme miksedema,
kerusakan psikomotor
 Neonatus : gangguan psikomotor, hipotiroid neonatal, gondok neonatus
 Anak dan remaja : gondok, hipotiroid juvenile, gangguan fungsi mental (IQ
rendah), gangguan perkembangan
 Dewasa : gondok, hipotiroid, gangguan fungsi mental, hipertiroid diimbas oleh
yodium
Sumber makanan beryodium yaitu makanan dari laut seperti ikan, rumput laut dan sea
food. Sedangkan penghambat penyerapan yodium (goitrogenik) seperti kol, sawi, ubi
kayu, ubi jalar, rebung, buncis, makanan yang panas, pedas dan rempah-rempah.

D.  Anemia kekurangan zat Besi


         Anemia adalah keadaan kurangnya kadar hemoglobin dalam sel darah merah
manusia. Hemoglobin inilah yang memberikan warna merah pada darah kita.
Hemoglobin berfungsi mengikat dan menyalurkan oksigen dari paru paru ke seluruh
jaringan tubuh  dan mengikat CO2 sisa metabolisme dari jaringan tubuh  untuk dibuang
lewat paru paru serta berperan juga dalam transpor gas nitrit oksida yang berperan
dalam pengaturan tekanan darah. Hemoglobin ini merupakan komponen yang terbuat
dari zat besi dan protein. Karena hemoglobin inilah yang memberikan warna
merah,maka orang yang anemia kulit wajah dan  selaput matanya akan kelihatan
berwarna pucat.  Keadaan anemia ini akan menyebabkan kegagalan transport oksigen 
ke seluruh tubuh dan menumpuknya CO2 sisa metabolisme jaringan sehingga  sangat
berbahaya .
Anemia defisiensi adalah anemia yang disebabkan oleh kekurangan satu atau
beberapa bahan yang diperlukan untuk pematangan eritrosit.

Keadaan dimana kadar hemoglobin (Hb), hematokrit (Ht) dan eritrosit lebih rendah
dari nilai normal, akibat defisiensi salah satu atau beberapa unsur makanan yang
esensial yang dapat mempengaruhi timbulnya defisiensi tersebut.

Macam-macam anemia

Anemia defisiensi besi adalah anemia karena kekurangan zat besi atau sintesa
hemoglobin
Anemia megaloblastik adalah terjadinya penurunan produksi sel darah merah yang
matang, bisa diakibatkan defisiensi vitamin B12

Anemia aplastik adalah anemia yang berat, leukopenia dan trombositopenia,


hipoplastik atau aplastik

ANEMIA DEFISIENSI BESI


 Prevalensi tertinggi terjadi didaerah miskin, gizi buruk dan penderita infeksi
 Hasil studi menunjukan bahwa anemia pada masa bayi mungkin menjadi salah
satu penyebab terjadinya disfungsi otak permanen
 Defisiensi zat besi menurunkan jumlah oksigen untuk jaringan, otot kerangka,
menurunnya kemampuan berfikir serta perubahan tingkah laku.

Ciri
 Akan memperlihatkan respon yang baik dengan pemberian preparat besi
 Kadar Hb meningkat 29% setiap 3 minggu

Tanda dan gejala


 Pucat (konjungtiva, telapak tangan, palpebra)
 Lemah
 Lesu
 Hb rendah
 Sering berdebar
 Papil lidah atrofi
 Takikardi
 Sakit kepala
 Jantung membesar

Dampak
 Produktivitas rendah
 SDM untuk generasi berikutnya rendah

Penyebab
Sebab langsung
 Kurang asupan makanan yang mengandung zat besi
 Mengkonsumsi makanan penghambat penyerapan zat besi
 Infeksi penyakit

Sebab tidak langsung


 Distribusi makanan yang tidak merata ke seluruh daerah

Sebab mendasar
 Pendidikan wanita rendah
 Ekonomi rendah

Pada ibu hamil dan anak yang sedang dalam masa pertumbuhan terjadi peningkatan
kebutuhan akan zat besi , sehingga jika dalam makanannya kekurangan zat besi maka
akan terjadi anemia . Anemia pada ibu hamil dapat mengganggu janin yang
dikandungnya karena suplai makanan dan oksigen janin akan terganggu karena
kekurangan darah yang berfungsi sebagai media transport dan juga pada balita yang
kondisinya masih lemah, dan membutuhkan banyak zat besi untuk pertumbuhan
             Dalam mengatasi anemia karena kekurangan zat besi ini pemerintah telah
menggalakkan pemberian suplemen zat besi berupa tablet zat besi ( ferrous sulfat)
terutama kepada ibu hamil sejak awal kehamilan. Diharapkan setiap ibu hamil dapat
minum tablet besi setiap hari paling sedikit 90 tablet besi selama kehamilannya. Tablet
besi yang lama kurang disuka karena bau besinya menimbulkan efek mual dan pusing
Kini tablet besi baru  sudah diberi selaput gula untuk menghilangkan bau besinya  dan
sudah  diberi warna serta kemasan yang menarik dalam alumunium foil sehingga
diharapkan.

E. OBESITAS

 adalah penyakit gizi yang disebabkan kelebihan kalori dan ditandai dengan
akumulasi jaringan lemak secara berlebihan diseluruh tubuh.
 Merupakan keadaan patologis dengan terdapatnya penimbunan lemak yang
berlebihan dari yang diperlukan untuk fungsi tubuh
 Gizi lebih (over weight) dimana berat badan melebihi berat badan rata-rata,
namun tidak selalu identik dengan obesitas
BB >>> tidak selalu obesitas
Penyebab
 Perilaku makan yang berhubungan dengan faktor keluarga dan lingkungan
 Aktifitas fisik yang rendah
 Gangguan psikologis (bisa sebagai sebab atau akibat)
 Laju pertumbuhan yang sangat cepat
 Genetik atau faktor keturunan
 Gangguan hormon
Gejala
 Terlihat sangat gemuk
 Lebih tinggi dari anak normal seumur
 Dagu ganda
 Buah dada seolah-olah berkembang
 Perut menggantung
 Penis terlihat kecil
Terdapat 2 golongan obesitas
 Regulatory obesity, yaitu gangguan primer pada pusat pengatur masukan
makanan
 Obesitas metabolik, yaitu kelainan metabolisme lemak dan karbohidrat
Resiko/dampak obesitas
 Gangguan respon imunitas seluler
 Penurunan aktivitas bakterisida
 Kadar besi dan seng rendah

Penatalaksanaan
 Menurunkan BB sangat drastis dapat menghentikan pertumbuhannya. Pada
obesitas sedang, adakalanya penderita tidak memakan terlalu banyak, namun
aktifitasnya kurang, sehingga latihan fisik yang intensif menjadi pilihan utama
 Pada obesitas berat selain latihan fisik juga memerlukan terapi diet. Jumalh
energi dikurangi, dan tubuh mengambil kekurangan dari jaringan lemak tanpa
mengurangi pertumbuhan, dimana diet harus tetap mengandung zat gizi
esensial.
 Kurangi asupan energi, akan tetapi vitamin dan nutrisi lain harus cukup, yaitu
dengan mengubah perilaku makan
 Mengatasi gangguan psikologis
 Meningkatkan aktivitas fisik
 Membatasi pemakaian obat-obatan yang untuk mengurangi nafsu makan
 Bila terdapat komplikasi, yaitu sesak nafas atau sampai tidak dapat berjalan,
rujuk ke rumah sakit
 Konsultasi (psikologi anak atau bagian endokrin)

2.4.3 Solusi Permasalahan Gizi

Solusi Permasalahan Gizi Masyarakat harus melibatkan semua pihak yang terkait baik
pemerintah, wakil rakyat, swasta, unsur perguruan tinggi dan lain-lain. Indonesia
mengalami beban ganda masalah gizi yaitu masih banyak masyarakat yang kekurangan
gizi, tapi di sisi lain terjadi gizi lebih. Kabupaten Kota daerah membuat kebijakan yang
berpihak pada rakyat, misalnya kebijakan yang mempunyai filosofi yang baik
“menolong bayi dan keluarga miskin agar tidak kekurangan gizi dengan memberikan
Makanan Pendamping (MP) ASI (Hadi, 2005).
Sedangkan alternatif solusi lainnya yang dapat dilakukan antra lain (Azwar, 2004).
1. Upaya perbaikan gizi akan lebih efektif jika merupakan bagian dari kebijakan
penangulangan kemiskinan dan pembangunan SDM. Membiarkan penduduk
menderita masalah kurang gizi akan menghambat pencapaian tujuan
pembangunan dalam hal pengurangan kemiskinan. Berbagai pihak terkait perlu
memahami problem masalah gizi dan dampak yang ditimbulkan begitu juga
sebaliknya, bagaimana pembangunan berbagai sektor memberi dampak kepada
perbaikan status gizi. Oleh karena itu tujuan pembangunan beserta target yang
ditetapkan di bidang perbaikan gizi memerlukan keterlibatan seluruh sektor
terkait.
2. Dibutuhkan adanya kebijakan khusus untuk mempercepat laju percepatan
peningkatan status gizi. Dengan peningkatan status gizi masyarakat diharapkan
kecerdasan, ketahanan fisik dan produktivitas kerja meningkat, sehingga
hambatan peningkatan ekonomi dapat diminimalkan.
3. Pelaksanaan program gizi hendaknya berdasarkan kajian ‘best practice’ (efektif
dan efisien) dan lokal spesifik. Intervensi yang dipilih dengan
mempertimbangkan beberapa aspek penting seperti: target yang spesifik tetapi
membawa manfaat yang besar, waktu yang tepat misalnya pemberian Yodium
pada wanita hamil di daerah endemis berat GAKY dapat mencegah cacat
permanen baik pada fisik maupun intelektual bagi bayi yang dilahirkan. Pada
keluarga miskin upaya pemenuhan gizi diupayakan melalui pembiayaan publik.
4. Pengambil keputusan di setiap tingkat menggunakan informasi yang akurat dan
evidence base dalam menentukan kebijakannya. Diperlukan sistem informasi
yang baik, tepat waktu dan akurat. Disamping pelaksanaan monitoring dan
evaluasi yang baik dan kajian-kajian intervensi melalui kaidah-kaidah yang dapat
dipertanggung jawabkan.
5. Mengembangkan kemampuan (capacity building) dalam upaya penanggulangan
masalah gizi, baik kemampuan teknis maupun kemampuan manajemen. Gizi
bukan satu-satunya faktor yang berperan untuk pembangunan sumber daya
manusia, oleh karena itu diperlukan beberapa aspek yang saling mendukung
sehingga terjadi integrasi yang saling sinergi, misalnya kesehatan, pertanian,
pendidikan diintegrasikan dalam suatu kelompok masyarakat yang paling
membutuhkan.
6. Meningkatkan upaya penggalian dan mobilisasi sumber daya untuk
melaksanakan upaya perbaikan gizi yang lebih efektif melalui kemitraan dengan
swasta, LSM dan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

http://www.scribd.com/doc/19374542/Definisi-Kesehatan-Lingkungan

http://www.docstoc.com/docs/32527898/?
utm_source=docstoc&utm_medium=email&utm_content=downloadeddoc&utm_campai
gn=newreg

Vitols MP, du Plessis E, Ng’andu O. Mitigating the plight of HIV-infected and -affected
nurses in Zambia. International Nursing Review, 54(4): 375-382(8), 2007

Van Dyk AC. Occupational stress experienced by caregivers working in the HIV/AIDS
field in South Africa. African Journal of AIDS Research 6(1): 49–66, 2007

You might also like