You are on page 1of 4

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Penderita gawat darurat adalah penderita yang oleh karena suatu penyebab (penyakit,
trauma, kecelakaan, tindakan anestesi) yang bila tidak segera ditolong akan mengalami
cacat, kehilangan organ tubuh atau meninggal. (Sudjito, 2003).

Berdasarkan Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI), pasal 2, setiap dokter harus
senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi yang
tertinggi, yaitu sesuai dengan perkembangan IPTEK kedokteran, etika umum, etika
kedokteran, hukum dan agama, sesuai tingkat/jenjang pelayanan kesehatan dan situasi
setempat. (MKEK, 2002).

Berikut ini adalah permasalahan dalam skenario 2:

Korban kecelakaan seorang wanita muda tanpa identitas dibawa penolong ke RS.
Korban dalam keadaan tidak sadar, dimasukkan imstalasi gawat darurat. Dokter
bersama paramedik dengan profesional memberikan pertolongan sesuai standar profesi.
Usaha penyelamatan pasien gagal, setelah dilakukan pertolongan di IGD selama 10
menit korban meninggal. Korban dibawa ke kamar jenasah untuk dilakukan otopsi untuk
mengetahui sebab kematian.

Autopsi (otopsi) adalah pemeriksaan terhadap tubuh mayat, dengan tujuan menemukan
proses penyakit dan atau adanya cedera, melakukan interpretasi atas penemuan-
penemuan tersebut, menerangkan penyebab kematian serta mencari hubungan sebab
akibat antara kelainan-kelainan yang ditemukan dengan penyebab kematian. (Mansjoer,
2000).

Dalam laporan ini, penulis mencoba menganalisis penatalaksanaan pasien gawat darurat
dari segala aspek yang terkait. Diharapkan mendatang apabila terdapat permasalahan
yang melibatkan berbagai aspek kehidupan, mahasiswa dapat menyelesaikan
permasalahan berdasarkan pengalaman yang telah diperoleh selama pembelajaran.

B. RUMUSAN MASALAH

• Bagaimana prosedur penatalaksanaan pasien gawat darurat sesuai standar profesi


kedokteran dan standar prosedur operasional?
• Bagaimana prosedur penatalaksanaan post-mortem pasien tanpa identitas?

C. TUJUAN PENULISAN

• Mengetahui prosedur penatalaksanaan pasien gawat darurat sesuai standar profesi


kedokteran dan standar prosedur operasional.
• Mengetahui prosedur penatalaksanaan post-mortem pasien tanpa identitas.

D. MANFAAT PENULISAN

• Mahasiswa dilatih untuk memecahkan berbagai macam kasus yang memerlukan


pertimbangan dari beberapa aspek terkait sesuai standar profesi.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Dokter dalam pelaksanaan praktiknya wajib memberikan pelayanan medis sesuai dengan
standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien. (UU
Pradok, 2004). Berdasarkan KODEKI pasal 13, setiap dokter wajib melakukan
pertolongan darurat sebagai suatu tugas perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang
lain yang bersedia dan lebih mampu memberikan. (MKEK, 2002).

Dalam UU No. 29 tahun 2004, pasal 45 ayat 1, setiap tindakan kedokteran atau
kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus
mendapat persetujuan. (UU Pradok, 2004). Pasal 11 Peraturan Menteri Kesehatan tentang
Informed Consent menyatakan, dalam hal pasien tidak sadar/pingsan serta tidak
didampingi oleh keluarga terdekat dan secara medik berada dalam keadaan gawat darurat
dan atau darurat yang memerlukan tindakan medik segera untuk kepentingannya, tidak
diperlukan persetujuan dari siapapun. (Per. Menkes, 1989).

Dalam penanganan penderita gawat darurat yang terpenting bagi tenaga kesehatan adalah
mempertahankan jiwa penderita, mengurangi penyulit yang mungkin timbul,
meringankan penderitaan korban, dan melindungi diri dari kemungkinan penularan
penyakit menular dari penderita. (Sudjito, 2003).

Seorang tenaga kesehatan yang melakukan tindakan medik tanpa persetujuan apapun
dapat dianggap melakukan penganiayaan, diatur dalam pasal 351 KUHP. Apabila
mengakibatkan matinya orang, maka yang bersalah dipidana penjara paling lama tujuh
tahun. (KUHP, 2008). Namun, dokter dalam melaksanakan praktik kedokteran juga
memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar
profesi dan standar prosedur operasional. (UU Pradok, 2004).

Autopsi forensik/medikolegal dilakukan terhadap mayat seseorang yang diduga


meninggal akibat suatu sebab yang tidak wajar seperti pada kasus kecelakaan,
pembunuhan, maupun bunuh diri. Tujuannya antara lain untuk mengidentifikasi mayat,
menentukan sebab pasti kematian, mekanisme kematian, dan saat kematian. (Mansjoer,
2000).

Secara yuridis, persetujuan keluarga jenazah tidak diperlukan dalam prosedur autopsi
forensik. Dokter hanya merupakan pelaksana permohonan penyidik (dalam hal ini
Kepolisian) untuk melakukan autopsi, sehingga apabila keluarga keberatan atas
pelaksanaan autopsi, keberatan dapat disampaikan pada penyidik. (Hamdani, 1992).

Menurut Majma Fiqih Islami tahun 1987, tindakan autopsi diperbolehkan, untuk
mengetahui penyebab kematian, kepastian tentang penyebab suatu penyakit, dan untuk
pengajaran kedokteran. (Sarwat, 2008).

BAB III

PEMBAHASAN

Sesuai dengan kaidah dasar bioetik, kewajiban menolong pasien gawat darurat termasuk
dalam konsep beneficence. Dalam penanganan pasien gawat darurat, dokter harus
memperhatikan standar profesi dan standar prosedur operasional. Pelayanan terhadap
pasien gawat darurat harus dilaksanakan sesegera mungkin, mengingat jiwa pasien
mungkin saja gagal diselamatkan apabila penanganan terlambat.

Apabila pasien tidak sadar dan tidak disertai keluarganya, maka dokter berhak untuk
memutuskan tindakan medik yang akan diambil tanpa persetujuan siapapun, dan
didasarkan pada kebutuhan medik pasien.

Apabila setelah dilakukan tindakan medis pasien meninggal, berarti hal ini merupakan
suatu kejadian yang tidak diinginkan (KTD). Perlu analisis lebih lanjut, apakah kejadian
ini akibat dari medical error atau tidak. Mungkin saja KTD terjadi akibat risiko tindakan
medis yang telah dianggap paling aman dan efektif dalam pengobatan pasien. Dalam hal
seperti ini, KTD tidak dapat digolongkan sebagai malpraktik.

Dokter dan tenaga kesehatan lain juga memperoleh perlindungan hukum, sepanjang
tindakan yang diambil sudah didasarkan pada standar profesi dan standar prosedur
operasional yang sesuai. Berbagai macam aspek dapat menjadi dasar pertimbangan
keputusan medis, dari etika, hukum (yuridis─pemerintah dan instansi, maupun agama),
dan disiplin profesi.

Autopsi, baik klinis, forensik, maupun anatomi memerlukan berbagai persyaratan


tertentu. Secara klinis, jenazah tanpa identitas dapat diautopsi jika diduga jenazah
menderita penyakit yang berbahaya bagi masyarakat, dan apabila dalam waktu 2×24 jam
tidak ada keluarga yang datang ke rumah sakit. Menurut prosedur autopsi forensik, dokter
dalam mengautopsi harus menerima surat perimtaan autopsi terlebih dahulu dari
penyidik, dalam hal ini Kepolisian.

Menurut agama Islam, autopsi dalam kasus ini diperbolehkan, karena untuk mengetahui
penyebab kematian. Namun menurut hukum, prosedur autopsi diatas masih memerlukan
beberapa syarat tertentu agar sesuai dengan hukum yang berlaku.

BAB IV
KESIMPULAN

Sesuai dengan sesuai standar profesi dan standar prosedur operasional kedokteran,
penatalaksanaan pasien gawat darurat dapat dilaksanakan tanpa persetujuan tindakan
medik (informed consent) dari siapapun. Tenaga kesehatan harus mengusahakan
seoptimal mungkin agar pasien dapat bertahan hidup dan pulih dari keadaan gawat
darurat. Dalam KTD, sepanjang dokter dan paramedis telah berpegang pada konsep
standar profesi dan prosedur operasional, tindakan medis yang dilakukan tidak dapat
disebut malpraktik, dan tenaga kesehatan terlindung dari sanksi hukum oleh peraturan
kesehatan yang berlaku.

Pelaksanaan autopsi untuk kasus diatas selanjutnya dapat dilakukan apabila : 1) ada surat
permintaan dari Kepolisian, 2) dalam waktu 2×24 jam tidak ada keluarga korban yang
datang ke rumah sakit, dan 3) diduga jenazah menderita penyakit yang berbahaya bagi
masyarakat.

BAB V

DAFTAR PUSTAKA

Dorland, W.A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta : EGC.

Sudjito, M.H. 2003. Dasar-dasar Pengelolaan Penderita Gawat Darurat. Surakarta : UNS Press.

Hamdani, Njowito. 1992. Ilmu Kedokteran Kehakiman Edisi Kedua. Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama.

Majelis Kehormatan Etika Kedokteran. 2002. Kode Etik Kedokteran Indonesia. Jakarta : Majelis
Kehormatan Etika Kedokteran.

Mansjoer, Arif. Suprohaita. Wardhani, Wahyu Ika. Setiowulan, Wiwiek. 2000. Kapita Selekta
Kedokteran Edisi Ketiga. Jakarta : Media Aesculapius.

Menteri Kesehatan RI. 1989. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 585/MENKES1PER/IX/1989


Tentang Persetujuan Tindakan Medik.

Presiden RI. 2004. UU no. 29 tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran.

Sarwat, Ahmad. 2008. Hukum Mengotopsi Mayat. http://ustsarwat.eramuslim.com/search.php,


akses tanggal 20 Oktober 2008, 19:45.

Wujoso, Hari. 2008. Kaidah Dasar Bioetik.

Wujoso, Hari. 2008. KUHP.

Wujoso, Hari. 2008. Medical Error.

You might also like