Professional Documents
Culture Documents
Oleh:
WIDYA AIRLANGGA
BANDUNG
2004
2
BAB 1
PENDAHULUAN
wilayah Eropa barat. Di awal tahun 1800-an, Napoleon I dari kekaisaran Perancis
kekuasaannya. Semasa Perang Dunia II (1939 – 1945), Adolf Hitler nyaris sukses
disebutkan di atas pada akhirnya mengalami kegagalan karena lebih bersifat ingin
1993, pondasi dari pendirian kerjasama ini dimulai tahun 1950 ketika Menteri
Luar Negeri Perancis saat itu, Robert Schuman, dalam pidatonya menyerukan
Proposal kerjasama yang dikenal dengan nama The Schuman Plan ini berupa
integrasi industri baja dan batubara Perancis dan Jerman serta mengajak negara-
negara lain untuk berpartisipasi. Bentuk dari integrasi ini adalah pembentukan
persenjataan.
1
Derek W. Urwin, European Union. Microsoft Encarta Reference Library, 2003.
3
1951 oleh Perancis, Jerman Barat, Italia, Belgia, Belanda, serta Luksemburg, dan
mulai berlaku efektif di tahun berikutnya. Pada tahun 1957 partisipan ECSC
negosiasi alot selama hampir dua tahun, pada tahun 1972 disetujui adanya
negara tersebut adalah Inggris, Irlandia, dan Denmark. Satu negara lain,
Community.
bekas negara komunis berpaling pada EC untuk mendapat dukungan politik dan
2
Mark R. Amstutz, International Conflict and Cooperation: An Introduction to World Politics,
Brown & Benchmark Publishers, Dubuque, 1995, hlm. 370.
4
keanggotaan EC.
Atas dasar perkembangan politik yang sangat cepat itulah Perancis dan
yang membahas rencana pembentukan suatu monetary union, yang menjadi dasar
bagi penerapan mata uang tunggal Eropa oleh negara-negara anggota EC. Ketika
usaha penyatuan Eropa, namun keadaan berubah ketika John Major -dengan
memulai proses menuju terciptanya kohesi politik yang lebih erat di antara
negeri dan keamanan bersama, serta mata uang tunggal Eropa. Setelah melalui
diskusi yang panjang, pada bulan Desember 1991 di kota Maastricht, Belanda,
Uni Eropa dibentuk dan diterima oleh Dewan Eropa melalui Traktat Uni Eropa
(Treaty on European Union). Melalui traktat ini Economy and Monetary Union
3
Konferensi antarnegara, atau biasa disebut Intergovernmental Conference (ICG), adalah
pertemuan di antara negara anggota EC yang dimaksudkan untuk memulai proses formal menuju
perubahan atau revisi Traktat EC.
4
Derek W. Urwin, Op. Cit.
5
Uni Eropa secara resmi mulai berlaku sejak tanggal 1 November 1993, setelah
Luksemburg, Belanda, Portugal, dan Spanyol. Perjanjian ini terdiri dari 7 Titel
dilengkapi oleh 14 Protokol dan 33 Deklarasi.5 Ketujuh Titel beserta Protokol dan
Deklarasi itu pada dasarnya dapat disimpulkan dalam tiga area utama: penyatuan
ekonomi, penyatuan politik, dan kerjasama politik luar negeri dan keamanan
kekuatan untuk memainkan peran politiknya dalam skala regional maupun global.
Cita-cita itu kini dirumuskan dalam Perjanjian Maastricht, terutama dengan Titel
CFSP), yang menjadi landasan bagi pemberlakuan CFSP Uni Eropa terhitung
Representatives untuk CFSP. Pada bulan Oktober 1999, Javier Solana Madariaga,
mantan Menteri Luar Negeri Spanyol dan Sekretaris Jenderal NATO, menjadi
5
Ketujuh Titel penting itu adalah: Titel I tentang Ketentuan Umum, Titel II Amandemen
Perjanjian EEC, Titel III Amandemen Perjanjian ECSC, Titel IV Amandemen Perjanjian Euratom,
Titel V Kebijakan Luar Negeri dan Keamanan Bersama (Common Foreign and Security Policy),
Titel VI Ketentuan Kerjasama dalam Masalah Keadilan dan Urusan Dalam Negeri, dan Titel VII
Ketentuan Penutup.
6
orang pertama yang memegang jabatan tersebut untuk periode lima tahun.6
Melalui perjanjian ini pula pada akhirnya mampu tercipta proses pembuatan
kepentingan.
dalam pidato kenegaraannya menyebutkan bahwa Irak, bersama Iran dan Korea
6
The European Union and The World: Europe on the Move, Office for Official Publications of the
European Communities, Luxembourg, 2001, hlm. 34.
7
Utara, sebagai “axis of evil”.7 Sejak saat itu terlihat jelas niat Amerika Serikat
langsung terlontar dari sejumlah politisi di Eropa yang mengkritik kebijakan luar
negeri Amerika Serikat. Komisioner Uni Eropa untuk masalah luar negeri, Chris
tanpa dukungan negara lain. Ia juga menambahkan bahwa sudah saatnya Uni
tindakan unilateral. Dalam komentarnya, Patten juga mengatakan bahwa saat ini
Amerika Serikat yang “gemar berperang”. Begitu pula dengan komentar Javier
Solana, yang mewakili kebijakan luar negeri Uni Eropa, mengatakan bahwa
Berbeda dengan oposisi AS, pada tanggal 24 Februari 2002 juru bicara
Amerika Serikat dalam perang melawan terorisme dan memahami sikap AS yang
memerangi terorisme global. Rusia, Jerman, Perancis, dan sejumlah negara Eropa
Presiden AS Dick Cheney di bulan Maret 2002 selama sepuluh hari di Timur
Tengah yang mengunjungi sembilan negara Arab serta Israel dan Turki,
Aksi ini langsung ditanggapi oleh Inggris, yang merupakan koalisi terbesar
pasukan Inggris tersebut adalah yang terbesar sejak berakhirnya Perang Teluk.
Dari reaksi di Afghanistan ini terlihat peran Inggris dalam rencana penyerangan
Irak menjadi faktor yang mendorong Amerika Serikat untuk tetap melaksanakan
misi tersebut, meskipun tidak mendapat tanggapan positif dari dunia internasional.
Jacques Chirac dalam pertemuan rutinnya dengan para duta besar menegaskan
Keamanan PBB.
Tony Blair tetap pada pendiriannya yang mendukung adanya pergantian rezim di
Baghdad. Dalam pembicaraan jarak jauhnya, Blair mendorong Bush untuk segera
resolusi resmi itu Menteri Luar Negeri Jerman Joschka Fischer menyatakan
menggulingkan suatu rezim. Ia juga mengatakan bahwa aksi militer hanya boleh
terduga yang dapat terjadi jika sampai meletus perang. Menurutnya perang di Irak
selain mengancam kestabilan kawasan Timur Tengah juga akan berdampak pada
di antara negara-negara Uni Eropa mengenai krisis Irak. Pertentangan paling jelas
lain lebih memilih berada di antaranya. Menteri Luar Negeri Inggris Jack Straw
Menteri Luar Negeri Spanyol Ana Palacio, Jack Straw menyatakan bahwa untuk
skenario ancaman melalui aksi militer.11 Italia menjadi negara Eropa berikutnya
keluarnya Resolusi Dewan Keamanan PBB no. 1441 pada tanggal 8 November
2002 yang memberi kesempatan terakhir bagi Irak untuk menyelesaikan krisis
dengan jalan damai. Resolusi ini sekaligus memaksa Baghdad untuk kembali
menerima kehadiran tim inspeksi PBB untuk senjata pemusnah massal setelah
Januari 2003 mengatakan bahwa serangan militer terhadap Irak tidak dapat
11
European Union Foreign Ministers Divided on Iraq War,
http://www.wsws.org/articles/2002/sep2002/euro-D3%2.shtml, diakses pada tanggal 23 September
2003.
12
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0212/23/opini/57245.htm, diakses pada tanggal 23
September 2003.
11
bahwa perang dengan Irak adalah tidak perlu dan lebih memilih memberi
Hanya berselang sehari setelah ketua Tim Inspeksi Senjata PBB Hans Blix
massalnya. Bush juga menyatakan bahwa lebih dari duabelas tahun Saddam
Januari 2003, PM Inggris Tony Blair dan PM Spanyol Jose Maria Aznar
Polandia, dan Ceko, untuk memperkuat posisi AS. Lebih dari itu, PM Italia Silvio
surat itu tidak secara khusus ditujukan kepada Jerman dan Perancis yang dengan
13
AS Bersitegang dengan Perancis dan Jerman soal Serangan ke Irak,
http://www.kompas.com/kompas%2Dcetak/0301/24/ln/95622.htm, diakses pada tanggal 21
September 2003.
14
http://www.suaramerdeka.com/harian/0301/30/nasl.htm, diakses pada tanggal 23 September
2003.
15
Sikapi Rencana Serangan AS ke Irak Eropa Terpecah, http://www.kompas.com/kompas
%2Dcetak/0301/31/ln/107391.htm, diakses pada tanggal 21 September 2003.
12
tegas menentang rencana AS tersebut. Dalam hal ini Jerman dan Perancis terus
mendesak Uni Eropa untuk tetap menjaga posisi bersama dalam hal Irak.
adalah bahwa krisis di kawasan teluk akan sangat mempengaruhi situasi dunia
hingga sepuluh tahun mendatang. Oleh karena itu Uni Eropa tetap menganggap
PBB sebagai institusi yang bisa menjadi jembatan tatanan dunia. Sidang juga
berpendapat bahwa tanggung jawab utama untuk perlucutan senjata Irak terletak
pada Dewan Keamanan PBB. Uni Eropa kembali menegaskan komitmen akan
PBB.16
mengusulkan suatu rancangan resolusi PBB baru yang akan memuluskan jalan
alasan Irak telah gagal melakukan kompromi dalam hal perlucutan senjata. Usulan
tersebut muncul dalam sebuah sesi pertemuan tertutup di Dewan Keamanan PBB.
Masih dalam forum yang sama, Perancis, Jerman bersama Rusia menanggapi
16
Extracts from the Conclusions of the European Council,
http://europa.eu.int/comm/external_relations/iraq/intro/ec170203.htm, diakses pada tanggal 21
September 2003.
13
tandingan ini membuat pasukan koalisi semakin sulit untuk melegitimasi perang
suara dari sedikitnya 9 dari 15 anggota PBB, di mana Perancis, Rusia maupun
12 Maret 2003 Komisioner UE untuk urusan luar negeri, Chris Patten, dalam
kebijaksanaan luar negeri Uni Eropa terhadap Irak. Meski demikian Patten,
sebagai salah satu penentang perang, tetap bersikap optimis. Menurutnya negara-
menghormati institusi internasional, dan harus melihat seberapa jauh mereka telah
Perserikatan Bangsa-Bangsa.
17
Germany, France, Russia offer Alternative to War,
http://www.cnn.com/2003/WORLD/meast/02/24/sprj.irq.iraq.germany.france/, diakses pada
tanggal 23 September 2003.
18
EU: Patten Says Rift Over Iraq Threatens EU Cohesion, Reconstruction Aid not Guaranteed,
http://www.rferl.org/nca/features/2003/03/12032003175541.asp, diakses pada tanggal 2
September 2003.
14
kebijakan luar negeri dan keamanan, baik negara-negara anggota Uni Eropa
maupun Uni Eropa itu sendiri sebagai sebuah aktor Hubungan Internasional,
negara-negara Uni Eropa yang akan diteliti adalah hanya negara-negara yang
menjadi aktor utama dalam krisis Irak, yaitu Inggris sebagai pendukung rencana
aksi militer terhadap Irak, serta Perancis dan Jerman sebagai pihak yang menolak
tanggal 20 Maret 2003 dengan tujuan menelaah penelitian ini secara lebih
dicetuskan yang menandai terbentuknya tiga pilar utama Uni Eropa yaitu
penyatuan ekonomi, penyatuan politik, dan kerjasama politik luar negeri dan
keamanan bersama Eropa. Sementara itu dipilihnya tanggal 20 Maret 2003 karena
Irak 2003? ”
Lebih lanjut penelitian ini diharapkan dapat menjadi suatu acuan bagi
kasusnya adalah krisis Irak yang menimbulkan pertentangan kebijakan luar negeri
bahwa setiap manusia selalu memiliki keinginan untuk berkuasa (will to power).19
pada suatu anarki internasional, yaitu suatu sistem tanpa otoritas tunggal, atau
tidak adanya pemerintahan dunia. Negara merupakan aktor utama dalam politik
dunia. Oleh sebab itu hubungan internasional pada dasarnya merupakan hubungan
antarnegara. Poin utama dari politik luar negeri realisme adalah untuk mencapai
Namun demikian kedudukan negara tidaklah seimbang, atau dengan kata lain
negara lain dalam sistem internasional. Negara-negara penting dalam politik dunia
adalah negara-negara yang memiliki kekuasaan dan kekuatan yang besar, atau
biasa disebut the great powers. Kaum realis memahami hubungan internasional
sebagai persaingan di antara the great powers demi mencapai dominasi dan
terciptanya keamanan.
dan cara hidupnya yang dianggap berharga dan berbeda dari negara lain.
nasionalnya berarti bahwa negara dan pemerintahan lain tidak akan pernah dapat
19
Robert Jackson, Georg Sørensen, Introduction to International Relations, Oxford University
Press, New York, 1999, hlm. 68.
17
sementara sejauh negara yang bersangkutan masih ingin untuk mematuhinya. Hal
Dalam studi kasus ini, penulis mengidentifikasikan ada dua macam aktor
yang terlibat, yaitu aktor negara anggota Uni Eropa, serta Uni Eropa itu sendiri
yang dikategorikan menjadi aktor non negara atau dalam kasus ini tergolong
sebagai aktor global governance. Aktor negara akan dilihat melalui kacamata
bangsa, di mana dalam hal ini Couloumbis dan Wolfe mendefinisikannya sebagai:
“ bangsa merupakan konsep yang merujuk kepada identitas etnik dan kultur yang
sama, dimiliki oleh orang-orang tertentu. Sedangkan negara merupakan unit
politik yang didefinisikan menurut teritorial, populasi dan otonomi pemerintah,
yang secara efektif mengontrol wilayah dan penghuninya tanpa menghiraukan
homogenitas etnis. ”21
Aktor lainnya dalam penelitian ini adalah Uni Eropa yang akan dilihat
kasus ini Uni Eropa dikategorikan sebagai aktor global governance. Bila
bersifat kompleks.22 Hal ini disebabkan dari sifat-sifat yang melekat di dalamnya.
memiliki sifat supranasional yang relatif lebih nyata, di mana dalam UE dapat
20
Ibid., hlm. 69.
21
Theodore A. Couloumbis, James H. Wolfe, Pengantar Hubungan Internasional: Keadilan dan
Power, terj. Marcedes Marbun, , edisi ketiga, Abardin, Bandung, 1986, hlm. 66.
22
Maksudnya bersifat kompleks di sini adalah suatu organisasi internasional yang mempunyai
sifat baik sebagai organisasi internasional antarpemerintah maupun organisasi internasional non
pemerintah. Sehingga hal ini menjadi salah satu alasan mengapa Uni Eropa tidak dikategorikan
sebagai organisasi internasional semata, karena yang dapat berperan dalam UE ini tidak hanya dari
pihak pemerintah negara-negara anggota.
18
negara-negara anggota.23
biasanya terdapat dalam pemerintah nasional. Uni Eropa sebagai satu institusi
Justice. Dengan kata lain institusi UE ini sudah seperti satu pemerintahan dalam
satu negara, dan sudah menjadi satu entitas supranasional. Struktur lembaga
yang dilakukan secara berulang yang terorganisir secara formal maupun informal
23
Charles W. Kegley Jr., Eugene R. Wittkopf, World Politics: Trends and Transformation, 6th
ed., St. Martin Press, New York, 1997, hlm. 163.
24
Mark R. Amstutz, Op. Cit. hlm. 74.
25
Paul R. Viotti, Mark V. Kauppi, International Relations and World Politics: Security, Economy,
Identity, Prentice Hall, New Jersey, 1997, hlm. 187.
19
antara anggotanya yang saat ini dirasa paling efektif. Keefektifan Uni Eropa dapat
politik, ekonomi dalam komunitas Eropa. Integrasi hanya dapat tercipta dengan
mengatur tindakan individu, kelompok, atau negara melalui prosedur dan hukum
dan institusional. Integrasi adalah hasil akhir, bukan suatu proses, yang bertujuan
berdaulat.
adalah suatu proses ujicoba terus menerus. Aliran yang lebih mengutamakan
integrasi sektor per sektor ini berpendapat bahwa di antara beberapa masyarakat
yang paling serasi sekalipun, tidak akan dapat mengintegrasikan semua fungsi-
harapan, dan kegiatan politik mereka ke institusi pusat baru dan lebih besar; yang
26
Mark R. Amstutz, Op. Cit. hlm. 79.
20
Proses integrasi Eropa Barat pada akhirnya menuju pada suatu integrasi
politik, yang merupakan konsekuensi logis yang tidak bisa dihindarkan sebagai
tujuan akhir dari masyarakat Eropa. Suatu integrasi politik membutuhkan adanya
suatu pergeseran loyalitas, harapan dan aktivitas politik dari negara-negara yang
berintegrasi kepada suatu pusat yang baru.28 Di dalam proses integrasi UE ini juga
pada akhirnya akan melakukan suatu penyesuaian – atau suatu adaptasi – pada
ini dianggap sebagai faktor penting dalam pembuatan kebijakan luar negeri
tidak hanya terletak pada peranannya dalam resolusi konflik, namun lebih dilihat
sebagai agen sosialisasi jangka panjang yang secara bertahap dapat membuat para
dunia internasional.29
27
Mohtar Mas’oed, Studi Hubungan Internasional: Tingkat Analisis dan Teorisasi, PAU Studi
Sosial UGM, Yogyakarta, 1989, hlm. 173-174.
28
Leon Linberg, Stuart Scheigold, Europe’s World Policy, Prentice Hall, New Jersey, 1971, hlm.
6.
29
Lloyd Jensen, Explaining Foreign Policy, Prentice Hall, New Jersey, 1982, hlm. 249.
21
yang berdaulat. Pembuatan kebijakan luar negeri dalam suatu institusi seperti
kebijakan luar negeri dan keamanan bersama oleh negara tunggal yang harus
ini negara mempunyai fungsi dan peran yang tetap penting dalam setiap zaman.
Secara formal, manifestasi fungsi internal dan eksternal sebuah negara dilakukan
oleh politik (atau kebijakan) luar negeri. Oleh karena itu politik luar negeri
namun politik luar negeri dapat didefinisikan sebagai “...explicit and implicit
tujuan, strategi, dan instrumen yang dipilih oleh para pembuat keputusan di suatu
negara.32
30
Christopher Hill (ed.), The Actors in Europe’s Foreign Policy, Routledge, London, 1996, hlm. 1.
31
Mark R. Amstutz, Op. Cit., hlm. 146.
32
Jerel A. Rosati, The Politics of United States Foreign Policy, Harcourt Brace Jovanovich,
Orlando, 1993, hlm. 2.
22
mendasar sebuah negara, menjadi pondasi bagi politik luar negeri. Kepentingan
nasional suatu negara berakar dari nilai-nilai dan cara pandang serta
nasional tidak hanya penting sebagai panduan, namun juga menjadi dasar bagi
pembentukan tujuan nasional yang lebih konkret dan spesifik. Jika keamanan
luar negeri harus dibuat berdasarkan tujuan yang realistis dan melihat pada
kreatif dalam menggunakan sumber daya politik, ekonomi, dan militer untuk
negeri suatu negara.34 Politik luar negeri dalam perumusannya sangat dipengaruhi
oleh aspek domestik dan internasional yang saling berinteraksi, atau bisa juga
33
Mark R. Amstutz, Op. Cit., hlm. 147.
34
Mohtar Mas’oed, Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi, LP3S, Jakarta, 1990,
hlm. 139.
23
dikatakan dipengaruhi oleh lingkungan internal dan eksternal. Muncul dua faktor
rasa aman, kondisi sumber daya alam, ideologi yang dimiliki, dan sebagainya;
negara, misalnya nilai yang dimiliki oleh negara lain, perkembangan suatu negara
atau kawasan, sumber daya yang dimiliki oleh negara lain, kondisi keamanan
Konsep politik luar negeri dipakai karena merupakan salah satu instrumen
dengan negara lain dalam Hubungan Internasional. Ada tiga konsepsi tentang
kondisi eksternal yang muncul dari adanya rencana invasi Irak oleh
Amerika Serikat;
24
luar negeri yang sesuai dengan orientasi pokok suatu negara. Fase ini
sering disebut sebagai strategi keputusan, terdiri dari tujuan yang spesifik
dan alat-alat untuk mencapai tujuan yang dipakai untuk menjawab peluang
kejadian dan situasi di luar negeri. Disebut pula sebagai kelanjutan dari
sasaran dan komitmen yang bersifat spesifik.35 Fase ini dapat dikatakan
Dari ketiga konsep di atas, yang mendukung penelitian ini adalah politik
luar negeri sebagai suatu bentuk tindakan, bahwa keputusan mendukung atau
35
James N. Rosenau, Kenneth W. Thompson dan David Boyd, World Politics: An Introduction,
Collier MacMillan Publishing Company, London, 1976, hlm. 16-17.
25
Pertimbangan yang diambil sebagai suatu strategi juga tidak terlepas dari
persepsi ancaman yang dianut oleh negara-negara anggota UE. Dalam hal ini
persepsi dan tindakan. Ada lima hal yang mempengaruhi persepsi ancaman.36
Pertama, dimensi struktural. Maksudnya yaitu mengacu pada tipe sistem politik,
struktur rezim, dan ideologi yang dianut oleh suatu negara. Kedua, sistem
geopolitik, yang mengacu pada luas negara dan lokasi geografisnya. Ketiga,
dimensi kesejarahan. Dalam hal ini sejarah atau pengalaman masa lalu menjadi
hal yang dapat mempengaruhi persepsi suatu negara akan ancaman. Keempat,
(national security policy). Dalam penelitian ini nantinya dapat dilihat bagaimana
nasional itu sendiri merupakan suatu istilah yang sangat ambigu dan dapat berarti
hal yang berbeda bagi individu yang berbeda. Namun secara tradisional keamanan
36
Reading materials for Strategic Studies Course, compiled by Anak Agung Banyu Perwita, Ph.D,
Department of International Relations, Parahyangan Catholic University, Bandung.
26
eksternal.37
ruang lingkup yang lebih sempit dan hanya terfokus pada keamanan dan
dengan militer. Komponen militer hanya menjadi salah satu elemen yang
keamanan nasional yang dikehendaki, ada dua pendekatan yang dapat dilakukan.39
37
Sam Sarkesian, US National Security: Policymakers, Processes and Politics, Westview Press,
Boulder, 1989, hlm. 8.
38
Ibid.
39
Frederic Pearson, The Global Spread Arms, Westview Press, Boulder, 1994, hlm. 15 dari bahan
perkuliahan Kajian Strategis oleh Anak Agung Banyu Perwita, Ph.D.
27
timbul.
adalah metode kualitatif dengan jenis penelitian analisa deskriptif. Metode ini
bertujuan mendeskripsikan apa yang telah terjadi. Dalam hal ini bagaimana
kebijakan luar negeri dan keamanan negara-negara Uni Eropa dalam menyikapi
sekunder melalui studi kepustakaan. Data yang digunakan penulis berasal dari
buku, jurnal, internet, dan media ensiklopedi elektronik interaktif yang relevan
BAB 2
lembaga memiliki peranan tersendiri dan berfrungsi seperti lembaga dalam suatu
pemerintahan negara. Struktur Uni Eropa dapat dilihat melalui sistem pilar (pillar
system). Negara-negara anggota Uni Eropa bekerjasama dalam 3 area, yang biasa
disebut sebagai pilar. Sebagai pusat dari sistem ini adalah pilar European
Justice (ECJ).40 Pilar ini terhubung dengan dua pilar lainnya berdasarkan
(CFSP) dan Justice and Home Affairs (JHA).41 Kedua pilar ini merupakan hasil
mana keputusan yang diambil haruslah berdasar mufakat. CFSP merupakan forum
atau wadah bagi diskusi-diskusi politik luar negeri, deklarasi bersama, dan aksi
CFSP sendiri akan dibahas pada akhir bab ini. Sementara itu JHA merupakan
Desember 1974 berdasarkan Artikel D dari Perjanjian Uni Eropa. Lembaga ini
secara rutin mengadakan pertemuan dengan frekuensi minimal dua kali setahun,
di Eropa Barat pada tahun 70-an, 80-an, dan awal 90-an. Institusi ini membawa
Single European Act (SEA) dan Perjanjian Uni Eropa.42 European Council
negara anggotanya dan dapat langsung diterapkan. Selain itu juga dapat
politik umum untuk Community dan Union, serta berperan penting dalam
dewan ini pula disetujui perundingan yang berdasarkan usulan dari Commission.
Keputusan biasanya dapat diperoleh melalui jumlah suara terbesar, namun dalam
42
Werner Weidenfeld, Wolfgang Wessels, Europe From A to Z: Guide to European Integration,
Office for Official Publications of the European Communities, Luxembourg, 1997, hlm. 114.
30
keputusan yang memiliki relevansi dengan kebijakan luar negeri dan keamanan
bersama.
Berdasarkan Artikel 137 -144, 158, dan 198b dari Perjanjian European
626 anggota dari 15 negara anggota. Prosedur voting yang berlaku yaitu suara
terbanyak (majority).
Sejak tahun 1979, anggota parlemen dipilih secara langsung dengan sistem
seorang ketua dan 12 wakil ketua yang dipilih dari negara anggota untuk masa
tidak duduk dan memilih sebagai kelompok nasional, tetapi sebagai kelompok
43
European Commission didirikan dengan dasar perjanjian : Artikel 155-163 (EC Treaty); dalam
konteks CFSP : Artikel J.5(3), J.6, J.7, J.8(3), J.9 (Treaty of European Union); dalam konteks
Justice and Home Affairs Cooperation : Artikel K.3(2), K.4(2), K.6 dan K.9 (Treaty of European
Union).
31
eksternal.
Perjanjian Roma (1958). Tugas lembaga ini adalah pembuat sekaligus pelaksana
diobservasikan.
dari Perancis, Jerman, Inggris, Italia dan Spanyol, dan satu orang dari sisa negara
anggota) yang dipilih untuk 4 tahun dalam satu periode. Peran mereka adalah
Policy dan The Common Commercial Policy – tidak bisa dilaksanakan dengan
pola isolasi negara-negara anggota, dengan pertimbangan bahwa bisa saja terjadi
pertentangan dari masalah-masalah yang ada akibat persaingan subsidi ekspor dan
proteksi terselubung.44
44
Christopher Hill, The Foreign Policy of the European Community: Dream or Reality?, dalam
Foreign Policy in World Politics, Roy C. Macridis (ed.), Prentice Hall Inc., London, 1995, hlm.
108-142.
32
kepentingan Uni Eropa, hanya parlemen yang memiliki hak untuk mensahkan
yang baru. dalam bidang kerjasama antar pemerintahan komisi memiliki hak yang
dalam struktur kelembagaan Uni Eropa. Hal ini dapat dilihat dari aktivitas
perjanjian dan mengelola alokasi anggaran yang dimaksudkan bagi kegiatan Uni
Eropa. Bagian terbesar dari anggaran kegiatan meliputi: Dana Penuntun dan
Jaminan Pertanian Eropa, Dana Sosial Eropa, Dana Pembangunan Daerah Eropa
Commission seringkali dituntut untuk meminta pendapat komite para pejabat dari
negara-negara anggota.
pelaksanaan hukum ini dibentuk atas dasar Artikel 165-168 (EC Treaty) dan
Majelis ini terdiri dari 13 orang hakim utama, masing-masing 1 dari setiap
sistem rotasi, dalam rangka membuat odd members. Mereka didominasi oleh
pemerintah nasional dan disetujui oleh Council of Ministers untuk jangka waktu 6
Sidang Majelis Peradilan adalah pengadilan tinggi Uni Eropa yang telah
memainkan peranan yang sangat penting dalam proses integrasi Eropa. Keputusan
negara anggota Uni Eropa, Economic and Social Committee memiliki dasar
yang mempengaruhi masalah ekonomi dan sosial. Komite ini murni sebagai
Agricultural Policy merupakan salah satu area kebijakan komite yang harus
waktu 6 tahun oleh Council dan bertugas setelah berkonsultasi dengan European
Luxembourg.45
Pada tahun 1977 lembaga ini mulai beroperasi dan bertugas untuk
mengawasi pengeluaran Uni Eropa dan diberi status lembaga melalui Perjanjian
Maastricht.
(penyelesaian).
2.2.1 Enlargement
Uni Eropa telah melakukan perluasan keanggotaan sebanyak 4 kali, yaitu pada
Jerman Barat dan Italia. Kemudian menjadi 9 negara pada tahun 1973 dengan
masuknya Inggris, Denmark, dan Irlandia (ME9). Pada tahun 1986, Yunani,
terakhir yaitu pada tahun 1995 dengan masuknya 3 negara lagi: Austria,
45
Werner Weidenfeld, Wolfgang Wessels, Op. Cit., hlm. 118.
35
Uni Eropa juga memiliki daya tarik tersendiri bagi negara-negara Eropa
Barat untuk bergabung. Hal tersebut dapat dilihat dari keinginan semua negara
bahwa dengan menjadi anggota Uni Eropa mereka akan dapat mengeruk
faktor yang harus dipertimbangkan oleh Uni Eropa, antara lain faktor politik
dan lebih penting lagi adalah faktor budget yang harus disediakan untuk anggaran
2.2.2 Deepening
Aspek kedua dari strategi pembangunan jangka panjang Uni Eropa adalah
tugas, kewenangan, peran dan tanggung jawab yang lebih besar dan kuat pada
kesemuanya itu bersumber pada penguatan birokrasi dalam institusi itu sendiri.
46
“Britain, Maastricht, and Europe”, Survey of Current Affairs, Vol. 22, No. 7, Agustus, 1992,
hlm. 195.
36
peraturan yang dibuat oleh institusi-institusi Uni Eropa memberikan akibat hukum
yang mengikat, baik bagi negara anggota maupun bagi institusi yang
bentuk regulation and directive memiliki validitas hukum yang kuat sebagai suatu
produk kelembagaan.
Ide tentang pendalaman ini tidak dapat dipisahkan dari perluasan (baik
konsep pendalaman ini daat dilihat dari kompleksnya usaha untuk mencapai
2.2.3 Completion
Yang disebut completion dalam hal ini adalah batas penyelesaian suatu
program yang telah diagendakan dalam program integrasi Uni Eropa. Contohnya
adalah program penyatuan mata uang Eropa yang sudah direncanakan sejak tahun
1979, jika hingga tanggal 1 Januari 1997 pemberlakuan European Monetary Unit
(EMU) belum dapat dilaksanakan, maka tahun 1999 merupakan batas akhir untuk
Completion merupakan keputusan politik suatu negara untuk ikut serta dalam
negara anggota merasa bahwa keputusan yang ada adalah hasil kesepakatan
bersama.
dua segi. Di satu sisi, kebijakan-kebijakan yang muncul dipengaruhi oleh sistem
47
Neill Nugent, The Government and Politics of the European Union, Duke University Press,
Durham, 1994, hlm. 244.
38
mulai berlaku pada tahun 1987, terdapat dua aturan dalam pembuatan keputusan
Procedure.
masalah yang terjadi, bisa berasal dari Council atau dari Commission. Jika berasal
dari dari Commission, hal ini dikarenakan perannya sebagai badan formal yang
anggota. Selain itu, proposal perundang-undangan juga juga dapat berasal bukan
dari kedua institusi tersebut, namun kemungkinannya sangat kecil untuk terwujud
kecuali Commission merasa perlu untuk mengangkat isu tersebut untuk diajukan
sebelum diadopsi oleh Council. Jika amandemen disetujui dan diterima oleh
39
tetapi bila beberapa dari seluruh amandemen yang diajukan tidak disetujui,
Parliament bisa mengembalikan proposal tersebut. Hal ini sangat berguna bagi
Parliament untuk berunding dan merupakan alat untuk menekan penundaan suatu
proposal.
berdasar pada Artikel 7 SEA dan diratifikasi di dalam Artikel 149 EEC Treaty.48
48
Ibid., hlm. 293.
40
and Security Policy (CFSP) adalah suatu sistem kerjasama antara sesama negara-
negara anggota Uni Eropa dalam setiap hubungan politik internasional. Kebijakan
41
ini juga merupakan sarana yang sangat penting untuk melindungi kepentingan
tentang tujuan, kerangka kerja institusi tunggal, ketetapan akhir, serta empat
Saat ini CFSP tidak saja dipandang sebagai perangkat institusional semata,
akhirnya menghasilkan politik luar negeri yang berbeda pula, sehingga nantinya
kerjasama di bidang politik ini, negara-negara anggota Uni Eropa berharap akan
memperbesar kapabilitas power negara mereka sendiri dan Uni Eropa secara
umum dan juga akan meningkatkan kekuatan nasional mereka apabila berhadapan
digunakan oleh Uni Eropa dalam kerjasama bidang politik ini adalah Common
Foreign and Security Policy. Ancaman-ancaman serta tuntutan baru yang muncul
49
Werner Weidenfeld, Wolfgang Wessels, Op. Cit., hlm. 41.
50
Knud Erik Jørgensen, Making the CFSP Work, dalam The Institutions of the European Union,
John Peterson, Michael Shackleton (ed.), Oxford University Press, New York, 2002, hlm. 211.
51
Christopher Hill, William Wallace, Introduction: Actors and Actions, dalam The Actors in
Europe’s Foreign Policy, Christopher Hill (ed.), Routledge, London, 1996, hlm. 2.
42
lama memaksa para pemimpin negara-negara Eropa untuk melengkapi diri dengan
sumber daya seperti CFSP. Sasaran dari CFSP seperti yang tertuang dalam Artikel
Uni Eropa;
azasi manusia.
“to assert its identity on the international scene, in particular through the
implementation of a common foreign and security policy including the
progressive framing of a common defence policy, which might lead to a
common defence...”53
Perjanjian tersebut juga mengidentifikasikan beberapa cara yang seharusnya
tercapai54:
52
The European Union and The World: Europe on the Move, Office for Official Publications of
the European Communities, Luxembourg, 2001, hlm. 33.
53
The Common Foreign and Security Policy: Introduction,
http://europa.eu.int/scadplus/leg/en/lvb/r00001.htm, diakses pada tanggal 8 November 2003.
54
http://europa.eu.int/comm/external_relations/iraq/intro/council200303.htm, diakses pada tanggal
9 September 2003.
43
masa berlaku, serta sumber daya apa saja yang perlu disediakan oleh Uni
kerja bagi setiap tindakan di bawah tiga pilar Uni Eropa, yang menjamin
pertengahan 2001 tercatat ada 3 strategi umum yang telah diadopsi oleh
Timur Tengah.
3. Mengadopsi Joint Actions dan Common Positions. Hal ini berarti setiap
sesuai posisi dan aksi tertentu, yang ditetapkan oleh General Affairs
Council di CFSP.56 Istilah yang hanya terdapat di Uni Eropa ini dapat
55
The ‘common strategy’ is one of the new foreign policy instruments introduced by the Treaty of
Amsterdam. Common strategies are adopted unanimously by the European Council ‘in areas
where member states have major common interests’. They are at the top of the hierarchy of
instruments in the sense that, once the European Council has adopted a common strategy, the
Council can adopt decisions, common actions, or common positions by means of qualified
majority voting.
56
Generally, common positions are declaratory statements -saying something as opposed to doing
something- directed towards the areas of the world where Europe has ‘special interests’.
Nevertheless, when the Council adopts common positions, member states are formally more
committed to the Euro-level policy and, hence, more constrained in national policy-making, than
than they ever were under EPC. Joint actions are operational actions with financial means. Since
1993, the Council has adopted more than 100 joint actions.
44
tertentu.57
luar negeri negara-negara anggota - secara langsung terlibat dalam proses kerja di
dalam CFSP. Setiap negara anggota memiliki hak untuk mempengaruhi setiap
fase yang harus dijalani dalam pembuatan kebijakan: setting agenda, pembuatan
Maastricht Treaty, setiap negara anggota secara legal terikat untuk ‘give active
‘ensure that their national policies conform to the common positions’; serta untuk
(GAC), yang dipimpin oleh seorang Presiden dengan sistem rotasi. Pembuatan
Coreper, the Political Committee, dan sebuah working group yang beranggotakan
ahli dari negara-negara anggota. Dari sinilah kemudian prosesnya dapat menyebar
57
Knud Erik Jørgensen, Op. Cit., hlm. 218.
58
Ibid., hlm. 217.
45
disebutkan bahwa:
“The Union shall ensure (...) the consistency of its external activities as a
whole in the context of its external relations, security, economic and
development policies. The Council and the Commission shall be responsible
for ensuring such consistency. They shall assure the implementation of these
policies, each in accordance with its respective powers”.59
proposal keuangan.
Ada sejumlah aktor atau badan yang berbeda yang terlibat di dalam
European Council
Council of Ministers
Menteri-menteri luar negeri Uni Eropa dan Komisaris Uni Eropa untuk
yang dapat menyelesaikan kesulitan. Ini adalah peran kunci dalam CFSP
Sekretaris Jenderal.
European Parliament
yang baru:
Sementara itu struktur-struktur CFSP dalam level tinggi adalah sebagai berikut61:
60
The European Union and The World: Europe on the Move, Office for Official Publications of
the European Communities, Luxembourg, 2001, hlm. 34.
49
Nice yang dengan jelas menyatukan fungsi komite politik dan PSC,
memiliki peran sentral dalam pemberian arti dan tindak lanjut Uni Eropa
terhadap suatu krisis. PSC terdiri dari wakil-wakil negara pada tingkat
perwakilannya.
juga persiapan aspek-aspek CFSP dalam General Council. Lebih jauh lagi,
di dalam sebuah krisis, PSC adalah Dewan yang menangani situasi krisis
61
http://europa.eu.int/comm/external_relations/cfsp/intro/index.htm, diakses pada tanggal 9
September 2003.
50
ini.
Kelompok kerja ini terdiri atas para ahli dari negara-negara anggota Uni
Asia, Afrika, Amerika Latin) dan batas fungsional (isu-isu PBB, obat-
BAB 3
3.1 Jerman
reunifikasi di antara dua Jerman (Barat dan Timur), hubungan antara Jerman dan
normalisasi dalam politik luar negeri Jerman yang dapat dilihat dari munculnya
keinginan dan itikad dari para politisi generasi baru Jerman yang lebih terbuka
Keterbukaan Jerman juga dapat dilihat dari tawaran ‘unique relationship’ antara
Jerman dengan Amerika Serikat yang diajukan oleh mantan Presiden AS Bill
pertama kalinya Presiden Perancis saat itu François Mitterand mengundang 294th
Élysées pada perayaan hari Bastilles tanggal 14 Juli 1994.. Hal tersebut sekaligus
mana Jerman saat ini memainkan posisi yang secara strategis benar-benar baru.64
jika melihat kuatnya kepentingan Jerman di kawasan timur Eropa. Jerman merasa
62
Stanley Hoffman, Towards a Common European Foreign and Security Policy, dalam Journal of
Common Market Studies, Vol. 38, No. 2, Blackwell Publishers Ltd., Oxford, Juni 2000, hlm. 191.
63
Christian Schweiger, The Impact of the Iraq Crisis on British-German Relations, Derby, 2003,
hlm. 6-7, http://www.psa.ac.uk/cps/2003/christian%20schweiger.pdf, diakses pada tanggal 19
Desember 2003.
64
Reinhardt Rummel, Germany’s Role in the CFSP: ‘Normalitat’ or ‘Sonderweg’? dalam The
Actors in Europe’s Foreign Policy, Christopher Hill (ed.), Routledge, London, 1996, hlm. 40.
53
bahwa saat ini sangatlah penting untuk menggalang partner internasional yang
kembalinya politik luar negeri Jerman ke jalur yang benar pasca reunifikasi,
otomatis Jerman menjadi pemain penting dalam proses enlargement Uni Eropa di
kawasan Eropa Timur, yang diharapkan akan menyatukan kembali benua Eropa
yang sempat terpecah akibat konfrontasi antar ideologi semasa perang dingin.
tanggung jawab dalam hal menjaga stabilitas pertahanan dan keamanan di benua
apabila Jerman lebih memiliki kepentingan di kawasan Eropa Tengah dan Timur
65
Stanley Hoffman, Op. Cit., hlm. 193-4.
66
Christian Schweiger, Op. Cit., hlm. 6.
67
Ibid., hlm. 6-7.
68
Reinhardt Rummel, Op. Cit. hlm. 52.
54
Eropa yang mencerminkan kekuaaan legislatif dan eksekutif dalam suatu negara
basis kerangka kerja Uni Eropa secara federal, yang akan mempertegas pemisahan
kekuasaan antara level Eropa dan level nasional. Menurut Fischer, Eropa yang
federal hanya akan sukses terbentuk jika didasari atas pembagian kedaulatan yang
Kepentingan utama Jerman saat ini adalah sejauh mana kesiapan mereka
dan negara-negara partner Eropa untuk menerima Uni Eropa yang lebih besar
serta mengembangkan kesatuan Eropa yang lebih efisien. Jerman tidak lagi
kebudayaan.
luar negeri, Jerman merasa bahwa sudah saatnya untuk lepas dari pengaruh
Amerika Serikat. Jerman sat ini lebih memilih untuk memainkan strategi ganda, di
mana prioritas utama yaitu melaksanakan aktivitas melalui kerangka Uni Eropa.
Namun jika ternyata dalam jangka waktu tertentu mengalami kebuntuan, Jerman
atau dengan partner lain dari luar Uni Eropa. Strategi diplomasi Jerman ini
69
Ibid., hlm. 8-9.
55
Mantan Menlu Jerman Klaus Kinkel pada suatu kesempatan pernah mengatakan
bahwa aktivitas unilateral sama sekali tidak memiliki masa depan. Begitu pula
menambahkan bahwa Jerman harus menghindari strategi politik dan partner yang
tidak bisa mengikuti perkembangan jaman. Pemikiran Ruhe ini didasari atas
pemikirannya yang menyebutkan bahwa tidak ada satupun negara di dalam Uni
power hanya akan membawa politik global kembali ke masa lalu. Ia juga
legitimasi demokratis Uni Eropa.70 Jerman melihat gagasan Uni Eropa yang
kepentingan yang sangat beragam dari berbagai level yang berbeda dalam suatu
sistem politik. Bagi Jerman konsep Eropa federal tidak dilihat sebagai usaha untuk
jelas antara Uni Eropa dan tingkat nasional.72 Pemerintah Jerman tidak
mengharapkan terjadinya transfer sistem politik ke Uni Eropa, tapi ingin untuk
Jerman juga mengusulkan suatu cara untuk memisahkan antara politik luar
negeri nasional dengan politik luar negeri Uni Eropa melalui rancangan perjanjian
konstitusional tertulis yang akan membuat Uni Eropa lebih transparan dalam
dalam Uni Eropa dengan level nasional dari negara-negara anggota. Oleh sebab
itu pada tahun 1993 para diplomat Jerman memperkenalkan ide untuk
menciptakan institusi CFSP yang lebih kuat dan menguntungkan bagi semua
pihak, suatu konsep yang menggabungkan sejumlah kriteria untuk kerjasama dan
koordinasi yang lebih baik daripada PBB, CSCE, WEU, NATO, maupun
krisis.73
CFSP Uni Eropa sangat bergantung pada pandangan umum dan kebijakan-
kebijakan yang sangat luas, bukan sekedar pandangan atau pengaruh satu negara
71
Menurut Encarta Dictionary Tools, subsidiarity diartikan sebagai ‘prinsip pembagian kekuasaan
politik kepada unit-unit terkecil dari suatu sistem pemerintahan’.
72
Christian Schweiger, Op. Cit., hlm. 11-12.
73
Reinhardt Rummel, Op. Cit., hlm. 56.
57
Saat ini di banyak bidang Jerman lebih memilih untuk berperan sebagai
kontributor yang loyal dan pendukung daripada sebagai pemain di garis depan.
Jerman kini lebih banyak terlibat dalam isu-isu non-militer. Keterlibatan mereka
Hak Azasi Manusia merupakan salah satu bidang di mana Jerman berusaha untuk
Jerman terhadap permasalahan di kawasan Eropa Tengah dan Timur dapat kita
lihat bahwa Jerman mempersepsikan bahwa ancaman yang mungkin terjadi dalam
arena global saat ini adalah ancaman terhadap proses integrasi Uni Eropa. Jerman
juga kini lebih memilih untuk aktif dalam area-area yang secara tradisi
bahwa dewasa ini tidak ada satupun institusi keamanan yang sanggup beroperasi
institusi keamanan seperti NATO dan Dewan Keamanan PBB. Oleh sebab itu di
74
Ibid., hlm. 54.
58
dalam German Basic Law tercantum bahwa Jerman tidak menghendaki adanya
suatu intervensi militer sepihak, namun lebih kepada misi penjaga perdamaian
wewenang NATO.
krisis terlihat bahwa Jerman menunjukkan semacam penolakan untuk terlibat pada
dikatakan bahwa menurut Jerman cara yang peling efektif dalam menciptakan
kawasan Eropa Tengah dan Timur serta menciptakan kondisi bagi ekonomi pasar
yang kompetitif. Hal ini merupakan lanhkah awal yang harus dilakukan negara-
negara di kawasan tersebut agar dapat memperdekat jarak dengan Eropa Barat.76
militer Aliansi Atlantik Utara yang terintegrasi serta telah dilakukan reformasi
pijakan demi terciptanya suatu konsep stabilitas Eropa. Bersama dengan Perancis
75
Ibid., hlm. 53.
76
Kata Pengantar oleh Kanselir Jerman Dr. Helmut Kohl dalam Buku Putih Pertahanan Jerman
1994, http://www.resdal.org/Archivo/alem-fword1.htm, diakses pada tanggal 20 Maret 2004.
59
3.2 Perancis
negara. Dengan tradisi demokrasi yang mengakar dengan kuat, diplomasi yang
sangat berpengaruh dan dinamis, serta perekonomian yang sangat sehat, Perancis
dari sekedar pemikiran abstrak, namun secara luas dipandang sebagai suatu
derajat kepentingan Perancis dalam perpolitikan dunia.79 Saat ini ketika Perancis
77
Kata Pengantar oleh Menteri Pertahanan Jerman Volker Ruhe dalam Buku Putih Pertahanan
Jerman 1994, http://www.resdal.org/Archivo/alem-fword2.htm, diakses pada tanggal 20 Maret
2004.
78
France, Defending Democracy: A Global Survey of Foreign Policy Trend 1992-2002,
Democracy Coalition Project, hlm. 1, http://www.demcoalition.org/pdf/France.pdf, diakses pada
tanggal 15 Maret 2004.
79
Lukas Pachta, France: Driving Force of the EU Common Foreign and Security Policy?, hlm. 6-
7, http://www.europeum.org/en/Analyses/France_Lukas_Pachta.pdf, diakses pada tanggal 23
60
merasa kesulitan untuk mendapatkan otonomi politik luar negeri dan keamanan,
Negeri Perancis
Semenjak abad ke-18, sejumlah tujuan politik luar negeri telah mewarnai
wilayah di Eropa; yang kedua yaitu kebijakan status-quo di Eropa atau balance of
macam bentuk; serta yang terakhir adalah upaya pencapaian status kekuatan
dunia. Konsep kebijakan status-quo di Eropa menurut Perancis berarti tidak boleh
ada satu kekuatan nasional yang mendominasi kawasan Eropa, serta keinginan
Perancis untuk menjadi pelindung bagi sejumlah negara kecil di Eropa dan
Perancis telah sejak lama menjadi motor dalam integrasi UE, terutama
yang menyangkut aspek politik dari integrasi. Perancis juga merupakan aktor
yang paling aktif dalam perpolitikan dan pembuatan kebijakan UE. Sejak tahun
1950-an, Perancis telah melihat proses integrasi Eropa sebagai sarana penting
pencapaian kepentingan nasional dan tujuan politik luar negeri, di mana Perancis
Desember 2003.
80
Roy C. Macridis, French Foreign Policy: The Quest for Rank, dalam Foreign Policy in World
Politics, Roy C. Macridis (ed.), Prentice Hall, London, 1995, hlm. 35.
61
dengan sangat tinggi, suatu prinsip yang mengilhami politik luar negeri Jenderal
besar Perancis Charles de Gaulle selama periode 1960-an. Semangat yang sama
terus dipegang teguh oleh Perancis selama beberapa dekade terakhir dan tidak
tidak melupakan segala upaya dalam menggalang rasa solidaritas antar negara.
Sejak tahun 1945, konstruksi Eropa menjadi prioritas politik luar negeri Perancis.
Ambisi serta prinsip Perancis tersebut terus berlanjut setelah era perang dingin
berakhir, dan berhasil membentuk sejumlah tujuan utama politik luar negeri
81
Lukas Pachta, Op. Cit., hlm. 3-6.
82
http://www.france.diplomatie.fr/france/gb/politiq/01.html, diakses pada tanggal 24 Maret 2004.
62
istimewa, baik secara politis maupun kebudayaan, yang telah berperan dalam
dari kebudayaan lain, terutama kebudayaan yang baru muncul seperti Amerika.84
Oleh karena itu Perancis kini memainkan peran sebagai sebuah negeri yang
Amerikanisasi.
saat itu, François Mitterand, menyatakan bahwa fokus politik luar negeri meliputi
beberapa kekuatan militer besar, konstruksi Eropa, hak untuk menentukan nasib
83
Roy C. Macridis, Op. Cit., hlm. 3.
84
Ibid., hlm. 52.
63
Perancis dalam upayanya memperkuat komunitas Eropa yang juga didasari oleh
filosofi umum mantan Menteri Luar Negeri Perancis Claude Cheysson yang
menjadi basis bagi pola baru kebijakan luar negeri Perancis, yaitu bahwa Perancis
tidaklah memiliki politik luar negeri selain translasi politik dalam negeri kepada
melalui UE. Integrasi Eropa juga diharap memberi pilihan-pilihan bagi politik luar
negeri Perancis yang didukung oleh negara tetangga Eropa, serta Perancis akan
kekurangan yang harus dibenahi. Oleh karena itulah Perancis berpendapat bahwa
negara-negara Eropa harus saling membantu terutama ketika salah satu dari
85
Françoise de la Serre, France: The Impact of François Mitterand, dalam The Actors in Europe’s
Foreign Policy, Christopher Hill (ed.), Routledge, London, 1996, hlm. 20.
86
Ibid., hlm. 21.
87
Ibid., hlm. 23.
64
menjadi anggota tetap Dewan Keamanan PBB sejak pertama kali didirikan, oleh
karenanya Perancis memiliki posisi yang sangat kuat dalam menentukan prioritas-
keempat dalam hal kontribusinya terhadap badan utama dan pendukung loyal
terpisahkan dari NATO, terlibat dalam seluruh operasi militer, terutama yang
sebagai politik luar negeri yang sangat berhati-hati dalam mengeluarkan kebijakan
dan strategi tradisional. Secara umum Perancis terus berupaya untuk memperkuat
German serta pengembangan ESDP sebagai pondasi bagi setiap usaha memajukan
Adenauer, Eropa tidak akan pernah dapat terwujud tanpa rekonsiliasi antara
dalam setahun, pertemuan antar menteri luar negeri tiap tiga bulan sekali, serta
unik kedua negara telah menghasilkan sejumlah kerjasama yang sukses dalam
akan pembentukan federasi Eropa. Di satu sisi Jacques Chirac mendukung usulan
Bundestag (Dewan Federal Jerman) pada bulan Juni 2000, namun ia tidak
menguak kontradiksi lama dalam kebijakan Eropa Perancis, yaitu di satu sisi
Perancis menginginkan Eropa yang kuat, namun di sisi yang lain Eropa juga
dapat dicapai sendirian, serta berguna sebagai pelengkap bagi segenap usaha
Perancis pada level nasional. Kehadiran UE menjadi sangat berguna bagi Perancis
ketika pengaruh Perancis mulai melemah dan meningkatnya hegemoni AS, serta
ketika kerjasama ekonomi dan investasi tidak bisa hanya dilakukan oleh
AS. Pasca perang dingin ditandai dengan hasrat Perancis untuk kembali menjadi
91
http://www.france.diplomatie.fr/france/gb/politiq/03_2.html, diakses pada tanggal 24 Maret
2004.
92
Kirsty Hughes, et al., France, Germany and the UK in the Convention: Common Interests or
Pulling in Different Directions?, EPIN Working Paper no. VII, Brussels, Juli 2003, hlm. 2.
93
Kirsten Flynn, European Security: French and UK Perspectives, The EU Policy Network, hlm.
3, http://www.eupolicynetwork.org.uk/research/flynn2.pdf, diakses pada tanggal 24 Maret 2004.
67
negara yang sangat berpengaruh, yang menurut Perancis hanya dapat diperoleh
reformasi angkatan bersenjata pada tahun 1996 serta ditetapkannya hukum yang
meliputi tiga dimensi, yaitu tentang konsep dari keamanan, pendekatan kerjasama
keamanan Eropa.96
putih pertahanan. Panduan baru ini menegaskan prioritas akan persenjataan nuklir
94
Stanley Hoffman, Op. Cit., hlm. 192.
95
http://www.france.diplomatie.fr/france/gb/politiq/08.html, diakses pada tanggal 24 Maret
96
Lisbeth Aggestam, Europe Puissance: French Influence and European Independence, dalam
Redefining Security?: The Role of the European Union in European Security Structures, Helene
Sjursen, ARENA report, No. 7, 2000, hlm. 67-82.
68
hingga 30 persen dalam jangka waktu enam tahun.97 Terpilihnya Chirac sekaligus
Saat ini kebijakan pertahanan Perancis terfokus pada tiga tujuan yang
berdekatan seperti Timur Tengah dan Mediterania, serta daerah yang dapat
komprehensif yang tidak dibatasi oleh ruang lingkup militer dan strategis semata,
Timur.101
terciptanya stabilitas, Dan pencapaian tujuan keamanan tersebut paling baik jika
difasilitasi secara kolektif.102 Sebagai salah satu dari lima kekuatan nuklir di dunia
pertahanan dan keamanan Perancis. Legitimasi atas kebijakan ini didasari oleh
3.3 Inggris
100
France, Defending Democracy: A Global Survey of Foreign Policy Trend 1992-2002,
Democracy Coalition Project, hlm. 3-4, http://www.demcoalition.org/pdf/France.pdf, diakses pada
tanggal 15 Maret 2004.
101
Peter Schmidt, Germany, France, and NATO, 1994,
http://www.carlisle.army.mil/ssi/pubs/1994/nato/nato.pdf, diakses pada tanggal 22 Maret 2004.
102
Kirsten Flynn, Op. Cit., hlm. 2.
103
http://www.france.diplomatie.fr/france/gb/politiq/08.html, diakses pada tanggal 24 Maret 2004.
104
http://www.arena.uio.no/publications/wp01_4.htm, diakses pada tanggal 7 April 2004
70
pergantian dukungan terhadap blok yang lebih lemah maupun pihak yang dapat
Amerika Serikat.
menurunnya ancaman dari Uni Soviet, mundurnya AS secara perlahan dari Eropa,
serta tidak adanya kemungkinan kekuatan tunggal yang akan mendominasi Eropa.
Kebijakan Inggris yang berasal dari perjuangan Partai Konservatif dalam kaitan
memadai.106
105
http://ciaonet.org/isa/doa01/, diakses pada tanggal 15 Maret 2004.
106
Ibid.
71
dari Partai Buruh yang secara fundamental lebih pro-integrasi di bulan Mei 1997.
yang baru membuat sejumlah kebijakan yang lebih mendukung integrasi Eropa
Blair menunjukkan bagaimana secara pertahanan Inggris ingin menjadi salah satu
Politik luar negeri Inggris dapat dilihat sebagai politik luar negeri yang
dengan partnernya yang berasal dari seberang samudera atlantik, Amerika Serikat.
Inggris cenderung ingin untuk memiliki kekuatan terlepas dari kekuatan yang
luar negeri Inggris dengan karakteristik yang ditentukan oleh kondisi geografis
yang memiliki negara-negara koloni yang tersebar di seluruh dunia, oleh sebab
ia merombak pola pandang Inggris lama dan menggantinya dengan sesuatu yang
baru pada EU Summit di kota Portschach bulan Oktober 1998.112 Inggris mulai
kooperatif di dalam Uni Eropa. Blair juga menegaskan bahwa Inggris sama sekali
Eropa - AS.113
111
kalimat pertama 1907 Crowe Memorandum dalam bahasa aslinya yaitu: “The general
character of England’s foreign policy is determined by the immutable conditions of her
geographical situation on the ocean flank of Europe, as an island state with vast overseas colonies
and dependencies, whose existence as an independent community is inseparably bound up with the
possession of sea power”, seperti dikutip dari tulisan Brian P. Withe, British Foreign Policy:
Tradition and Change, dalam Foreign Policy in World Politics, Roy C. Macridis (ed.), Prentice
Hall Inc., London, 1995, hlm. 8.
112
Stanley Hoffman, Op. Cit., hlm. 193.
113
Pidato Tony Blair dalam Konferensi Tahunan Partai Buruh, 28 September 1999,
http://www.guardian.co.uk/Print/0,3858,3906870,00.html, diakses pada tanggal 19 Desember
2003.
73
negara, hanya bisa disaingi oleh AS.114 Inggris juga memiliki angkatan bersenjata
kebudayaannya yang sangat banyak dibantu oleh bahasa Inggris sebagai bahasa
yang paling universal. Inggris juga merupakan anggota tetap Dewan Keamanan
politik luar negeri yang mereka inginkan, terutama dalam menciptakan kondisi
yang lebih baik pasca runtuhnya tembok Berlin. Namun demikian tidak ada
jaminan runtuhnya Uni Soviet akan menjadikan dunia lebih baik, hal ini
ditunjukkan di banyak bagian dunia seperti Afrika dengan tingkat kelaparan dan
kooperatif. Inggris sekarang tidak melihat adanya prospek akan terjadinya konflik
Menurut Menteri Luar Negeri Inggris Jack Straw, tujuan politik luar
negeri Inggris adalah mencapai kepentingan Inggris di dunia yang aman, stabil
dan sejahtera. Untuk mencapainya, menurut Straw politik luar negeri Inggris
dapat dibagi menjadi tiga pilar yaitu keamanan, keadilan, dan kesejahteraan, di
114
http://www.foreignpolicy.org.tr/eng/articles/straw_060103.htm, diakses pada tanggal 15 Maret
2004.
115
Ibid.
74
mana sebagai pemersatu ketiga pilar ini dipilihlah keadilan sebagai poros
utamanya.116
Jika melihat pada tradisi Inggris, maka menurut Tony Blair karakter antar
reformasi mendasar akan tugas European Council sebagai agenda-setter bagi UE,
isu, berbeda dengan Jerman yang tidak mempermasalahkan jika QMV diterapkan
di seluruh isu Uni Eropa termasuk masalah-masalah kebijakan luar negeri dan
keamanan. Inggris masih menolak jika QMV tersebut akan diterapkan pada area
krusial Inggris seperti masalah perpajakan serta kebijakan luar negeri dan
116
Ibid.
117
Christian Schweiger, Op. Cit., hlm. 10.
118
http://www.publications.parliament.uk/pa/cm200102/cmselect/cmfaff/698/2031303.htm,
diakses pada tanggal 19 Desember 2003.
75
dalam pidatonya di Polish Stock Exchange, Warsawa pada bulan Oktober 2000
Tony Blair mengakui bahwa pemerintahannya akan menolak model pasar bebas
Eropa yang pernah diajukan Partai Konservatif. Namun Inggris akan bekerjasama
secara lebih mendalam dengan negara-negara Eropa lain dalam hal kerjasama
hubungan luar negeri dan keamanan. Sebagai hasilnya Inggris berharap dapat
tercipta Eropa yang secara ekonomi dan politik ‘a superpower, but not a
superstate’.119
Inggris yang meragukan prospek usulan konstitusi tertulis dan perjanjian yang
mengikat secara legal sebagai basis kerjasama konstitusional UE. Inggris lebih
suatu piagam kompetensi, yang sama sekali tidak mengikat. Tanggung jawabnya
Inggris bahwa suatu debat konstitusional tidaklah perlu untuk diakhiri dengan
suatu perjanjian yang mengikat secara legal, yang dinamakan Konstitusi, demi
kerja UE, sekaligus menjelaskan tujuan UE, bagaimana UE dapat menjadi lebih
119
Pidato Tony Blair di Polish Stock Exchange, 6 Oktober 2000,
http://www.number-10.gov.uk/news.asp?NewsId=1341&Section=32, diakses pada tanggal 15
Maret 2004.
120
Ibid.
76
bernilai, seta memberi garis pemisah yang jelas antara wewenang UE dan hak
superstate.121
sebuah kesempatan emas untuk lebih memperkuat keamanan dan stabilitas bagi
Eropa secara keseluruhan.122 Seperti yang pernah dikatakan Blair, bahwa tanpa
Menurut William Wallace dalam salah satu artikelnya yang dimuat oleh
The Observer, berakhirnya perang dingin serta runtuhnya Uni Soviet menjadikan
Inggris sebagai: ‘a government which has no clear sense of its place in the world
bahwa posisi strategis Inggris saat ini sangat bergantung pada NATO.
121
Christian Schweiger, Op. Cit., hlm. 13-14.
122
Ibid., hlm. 16.
123
Tony Blair, Op. Cit.
124
William Wallace, “Britain’s Search for a New Role in the World”, dalam The Observer, No.10,
531, Agustus 1993, hlm. 16.
77
tindakan.125
sekaligus menguak konflik antar etnis dan antar agama yang lama terpendam, dan
juga pertentangan ideologi antara apa yang biasa disebut Timur dan Barat.
Serangan 11 September 2001 membuat Inggris merasa tidak dapat begitu saja
militan, dan juga potensi ancaman lain terhadap keamanan Inggris. Kelompok
tatanan keamanan dan perdamaian internasional. Oleh sebab itu Inggris membuat
125
Tony Blair, Speech at the Lord Mayor’s Banquet, London, 22 November 1999, seperti dikutip
dari situs http://www.ciaonet.org/isa/doa01/, diakses pada tanggal 15 Maret 2004.
126
http://www.foreignpolicy.org.tr/eng/articles/straw_060103.htm, diakses pada tanggal 15 Maret
2004.
127
Ibid.
78
Membangun Uni Eropa yang kuat dalam suatu lingkungan yang aman.
Inggris juga merasa bahwa saat ini dibutuhkan suatu angkatan bersenjata
yang efektif yang memiliki kapabilitas untuk mengatasi segala ancaman terhadap
kelompok teroris yang dicurigai memiliki senjata pemusnah massal. Tanpa adanya
dimiliki oleh Inggris maupun negara lain dalam kerangka internasional yang
legal.128
Strategic Defence Review (SDR) baru yang dikeluarkan bulan Juli 2002
dengan judul ‘A New Chapter’ menjadi pedoman bagi Inggris dalam menentukan
ancaman, namun tidak cukup kuat untuk mengatasi ancaman seperti yang terjadi
pada menara kembar WTC. Untuk itulah Inggris memutuskan untuk membuat
suatu pedoman baru yang akan membuka wacana tentang persepsi ancaman yang
untuk dapat melakukan operasi melawan terorisme global, seperti operasi untuk
baru ini.
128
Ibid.
129
Ministry of Defence, The Strategic Defence Review: A New Chapter, Cm 5566 Vol. I, The
Stationary Office, Norwich, 2002, hlm. 29.
80
BAB 4
AS KE IRAK
Irak 2003
Uni Eropa dapat kita lihat sebagai ambisi kaum neo-fungsionalisme yang
baru dan lebih besar; yang lembaga-lembaganya memiliki atau mengambil alih
Uni Eropa yang mendapatkan perannya sebagai salah satu kekuatan politik
global di awal 90-an mendasari kerjasama antarnegara melalui tiga area utama
atau sistem pilar, yaitu European Community termasuk EMU dan institusi lain,
Justice and Home Affairs, serta Common Foreign and Security Policy (CFSP).
institusi memiliki kebijakan domestik/internal, dalam hal ini adalah Justice and
Home Affairs (JHA). CFSP merupakan wadah yang dibentuk sebagai pedoman
European Council terlebih dahulu. Oleh sebab itulah Uni Eropa menunjuk Javier
Solana Madariaga, sebagai perwakilan tinggi Uni Eropa untuk CFSP yang
memiliki tugas untuk memastikan kelangsungan dan efisiensi dari politik luar
130
Mohtar Mas’oed, Studi Hubungan Internasional: Tingkat Analisis dan Teorisasi, PAU
Studi Sosial UGM, Yogyakarta, 1989, hlm. 173-174.
131
Global governance di sini dapat diartikan sebagai suatu organisasi internasional yang
mempunyai sifat baik sebagai organisasi internasional antarpemerintah maupun
organisasi internasional non pemerintah. Sehingga hal ini menjadi salah satu alasan
mengapa Uni Eropa tidak dikategorikan sebagai organisasi internasional semata, karena
yang dapat berperan dalam UE ini tidak hanya dari pihak pemerintah negara-negara
anggota.
82
perwakilan kepada dunia eksternal yang saat ini dijabat oleh Chris Patten.
diharap mampu untuk mewakili Council atas permintaan Presiden UE, serta
11 September 2001 terhadap menara kembar WTC di New York. Uni Eropa
muncul sebagai sebuah institusi yang diharapkan oleh dunia untuk menjembatani
satunya pihak yang dapat memberikan tekanan terhadap Amerika Serikat setelah
perdamaian antara Israel dan Palestina, namun kemudian meluas kepada topik
yang dapat dilakukan adalah pelucutan secara efektif dan menyeluruh atas senjata
mendukung usaha yang dilakukan oleh PBB agar Irak mau bekerjasama dalam
mematuhi resolusi Dewan Keamanan yang relevan, dalam hal ini adalah Resolusi
DK PBB no. 1441 tertanggal 8 November 2002. Resolusi ini sendiri sebenarnya
sangat ambigu karena dikatakan bahwa Irak masih memiliki kesempatan terakhir
pemerintah Irak untuk bersikap terbuka dan jujur dalam menerima kehadiran tim
memberikan informasi utama dan tambahan dengan rinci serta tidak ditunda-tunda
lagi tentang data kepemilikan senjata mereka. Uni Eropa juga menghargai serta
sepenuhnya mendukung pekerjaan berat yang dipikul oleh Dr. Hans Blix serta Dr.
internasional yang relevan. Dalam hal ini Dewan Keamanan masih dianggap
sebagai instrumen utamanya. Oleh karena itu pula European Council menyatakan
bahwa seharusnya setiap pihak menghormati tanggung jawab yang dipikul oleh
84
internasional.133
perang di Irak. Atas dasar itulah pada tanggal 17 Februari 2003 di kota Brussels
digelar pertemuan tingkat tinggi luar biasa Uni Eropa untuk membahas
Romano Prodi dan perwakilan tinggi UE untuk CFSP Javier Solana. Pertemuan
tersebut juga mempertemukan Sekretaris Jenderal PBB Koffi Annan dan Presiden
European Parliament Pat Cox, serta perwakilan 13 negara calon anggota Uni
Eropa.134
diemban oleh tim inspeksi senjata PBB dan mendukung diberikannya waktu lebih
banyak bagi mereka. Simitis lebih lanjut mengatakan bahwa pertemuan European
Council tersebut menghasilkan dua poin utama. Pertama, Uni Eropa, dalam
perang nampaknya tak bisa dihindari. Kedua, seluruh negara anggota UE telah
kawasan konflik lain. European Council menegaskan bahwa Uni Eropa siap untuk
hal pelucutan senjata Irak, demi terciptanya perdamaian dan stabilitas di kawasan
teluk.136
ke Irak
4.2.1 Jerman
dimanfaatkan oleh Schröder untuk membawa masalah Irak ke dalam debat dan
dirinya setuju untuk memberikan tekanan terhadap pihak Saddam, namun dirinya
136
Extracts from the Conclusions of the European Council, 17 Februari 2003
http://europa.eu.int/comm/external_relations/iraq/intro/ec170203.htm, diakses pada
tanggal
2 September 2003.
86
sama sekali tidak setuju akan adanya perang atau intervensi militer. Dalam
terjadi peperangan. Jerman dan Eropa menjamin akan bekerja sama dengan PBB
menganggap, bergabung dalam kekuatan militer itu jelas tidak bisa dipaksakan ke
Jerman menggunakan hak veto jika PBB mengeluarkan resolusi baru yang
dan menghindari konflik internasional. Tetapi, jika ada keputusan lain, lanjut
Schröder, Jerman akan menggunakan posisi dasarnya yang jelas dan tegas dalam
pernyataan dan pengambilan suara, yaitu Jerman tidak akan mengambil peran apa
137
Marta Dassu, How to Deal with Iraq : the European Perceptions,
http://www.eusec.org/dassu.htm, diakses pada tanggal 23 Desember 2004.
138
“Jerman Desak PBB Keluarkan Resolusi II Sebelum Perang Irak Terjadi”, Kompas, 15
Januari 2003.
87
pandangan Jerman, yakni segala upaya penyelesaian krisis Irak haruslah melalui
pemilihan umum dulu, yakni Jerman tidak akan ambil bagian dalam serangan
4.2.2 Perancis
Dalam deklarasi bersama yang dikeluarkan oleh Jerman dan Perancis pada
pertemuan bilateral Schwerin tanggal 30 Juli 2002, kedua negara menyadari perlu
Perancis, yang terpenting saat ini adalah bagaimana menciptakan koalisi untuk
Jerman - untuk berpartisipasi dalam melucuti Irak, namun harus terlebih dahulu
139
“Schroeder: Irak Bisa Dilucuti Tanpa Perang”, Kompas, 14 Februari 2003.
140
Patrick E. Tyler, “Europeans Split with U.S. on Need for Iraq Attack”, The New York
Times, 21 Juli 2002.
88
militer seharusnya tetap sesuai dengan tujuan terdahulu, yaitu pelucutan senjata,
aksi militer hanya boleh dilakukan sebagai pilihan terakhir jika sampai upaya
pelucutan senjata mengalami jalan buntu. Jika sampai aksi militer juga gagal, DK
PBB harus segera mengambil keputusan agar pihak yang bertikai dapat
tidak bisa dibenarkan, dan tujuan pelucutan senjata Irak bisa dicapai melalui
pemeriksaan yang ditetapkan dalam Resolusi 1441, yang disetujui dengan suara
4.2.3 Inggris
141
Marta Dassu, Op. Cit.
142
“Perancis, Rusia, dan Jerman Keluarkan Deklarasi Tolak Perang”, Kompas, 11
Februari 2003.
89
global. Inggris mencanangkan satu dekade mendatang sebagai suatu babak baru
yang harus dihadapi tidak hanya oleh Inggris, namun juga oleh seluruh negara-
akhirnya mengganti SDR lama tahun 1998 dengan SDR baru yang memiliki
cakupan ruang lingkup persepsi ancaman yang lebih luas, terutama dalam
kantornya, Downing Street, Blair mengatakan, kini tinggal Presiden Irak Saddam
kredibilitasnya, maka PBB harus bertindak tegas jika Saddam Hussein tidak
memenuhi tuntutan PBB. Blair sekaligus berharap seluruh negara Uni Eropa akan
berpendapat bahwa ada ikatan kesejarahan yang amat kuat antara AS dan UE.
143
Ministry of Defence, The Strategic Defence Review : A New Chapter, Cm 5566 Vol. I,
The Stationary Office, Norwich, 2002, hlm. 6-7.
90
100 pesawat tempur ke kawasan Teluk untuk digunakan memerangi Irak jika
Pada hari Rabu tanggal 12 Maret 2003, Tony Blair mengajukan enam butir
pemikiran terhadap Irak. Ada enam butir yang tercakup dalam Blair's
seluruh senjatanya melalui televisi Irak dan berjanji akan menyerahkan seluruh
senjatanya. Kedua, Irak juga harus melaporkan simpanan bibit antraks serta
senjata kimia dan biologi lainnya. Ketiga, Irak harus menerbangkan 30 ilmuwan
dan keluarganya ke Siprus sehingga bisa ditanyai tentang program senjata Irak
secara bebas. Keempat, Irak harus mengungkapkan seluruh pesawat capung, yang
oleh AS dan Inggris dicurigai bisa dimodifikasi menjadi pesawat penyebar racun.
produksi senjata biologi yang bisa dengan mudah dipindahkan. Keenam, Irak
Menurut James A. Caporaso, ada tiga dilema yang dihadapi oleh Uni Eropa saat
144
“Perangi Irak adalah Pilihan Uni Eropa yang Terakhir”, Kompas, 19 Februari 2003.
145
“Perancis Tolak Tegas Usulan Blair soal Irak”, Kompas, 14 Maret 2003.
91
ini.146 Pertama, tentang bentukan dari Uni Eropa, apakah merupakan bentukan
yang tertutup atau suatu institusi yang terbuka terhadap dunia luar. Kedua, dilema
seputar dilema apakah UE harus lebih luas melalui enlargement dengan menerima
negara yang sudah lebih dahulu bergabung. Fakta menunjukkan bahwa ketika
kebijakan luar negeri dan keamanan bersama (CFSP). Kerjasama politik luar
negeri memiliki tingkat kesulitan yang sangat tinggi serta sejumlah hambatan.
yang tidak seimbang antara negara anggota dengan anggota lain sistem
ditambah lagi kedekatan antara kebijakan luar negeri dan kebijakan keamanan149,
pada area CFSP dibanding pada bidang kerjasama lain seperti EMU.
146
James A. Caporaso, The European Union: Dilemmas of Regional Integration,
Westview Press, Boulder, 2000, hlm. 9.
147
Christian Schweiger, The Impact of the Iraq Crisis on British-German Relations, Derby,
2003, hlm. 11, http://www.psa.ac.uk/cps/2003/christian%20schweiger.pdf, diakses pada
tanggal 19 Desember 2003.
148
James A. Caporaso, Op. Cit., hlm. 9.
149
Sam Sarkesian, US National Security: Policymakers, Processes and Politics,
Westview Press, Boulder, 1989, hlm. 8.
92
dalam ruang lingkup UE.150 Konsep ‘eksternal’ tersebut dapat memiliki dua
pengertian yang berbeda. Pertama, istilah tersebut dapat mengacu pada hubungan
luar negeri dan aktivitas internasional yang dilakukan oleh masing-masing negara
anggota UE. Kedua, dapat juga berarti hubungan internasional yang dilakukan
oleh UE sebagai sebuah entitas, terhadap aktor negara atau non-negara lain di
seluruh dunia.
suatu negara diwakili oleh seorang pemimpin yang dapat berbicara mewakili
komunitasnya. Akan sangat sulit untuk melakukan negosiasi dengan negara yang
tidak memiliki pemimpin yang jelas. Asumsi yang dipertanyakan inilah yang saat
ini menghinggapi Uni Eropa sebagai suatu unitary actor.151 Pihak-pihak yang
banyak. Tentu saja di sana ada negara-negara anggota sebagai aktor individual,
negeri. Negara masih dianggap sebagai sumber utama di mana kebijakan luar
negeri dan aspek keamanan serta militer dari politik luar negeri dibuat.
para menteri luar negeri negara anggota, European Council yang beranggotakan
Prodi menjabat Presiden European Commission di tahun 1999, tercatat ada empat
150
James A. Caporaso Op. Cit., hlm. 85.
151
Ibid., hlm. 113.
93
orang yang memiliki wewenang untuk menangani berbagai aspek politik luar
negeri. Chris Patten pada hubungan luar negeri, Pascal Lamy menangani
awal tahun 2000 untuk mengisi jabatan baru sebagai perwakilan tinggi Council
Dalam kasus Irak, maka kita dapat melihat adanya dua aspek dalam CFSP
secara khusus, maupun Uni Eropa secara umum. Pertama, belum adanya suatu
perangkat konstitusional yang legal. Hal tersebut masih berupa wacana yang
institusional antara tugas komisioner urusan eksternal UE yang dijabat oleh Chris
Patten, dengan perwakilan tinggi CFSP Javier Solana. Meskipun dualitas fungsi
selama ini berjalan dengan lancar, sistem yang ada sebenarnya membuat tugas
luar negeri bersama serta manajemen kerjasama dan struktur politik yang telah
demikian Solana hanya dapat melakukan tindakan jika mendapat otoritas dari para
menteri luar negeri negara anggota UE. Ia juga harus menghadapi kenyataan
kurun waktu lima tahun. Solana juga berhadapan langsung dengan kebijakan luar
Hal ini tentu saja mengarah kepada sejumlah masalah koordinasi. Bahkan pada
erat antara dirinya dengan Chris Patten hanya didasari oleh rasa pertemanan,
menciptakan kerjasama politik luar negeri. Pada akhirnya yang terjadi adalah
154
Kirsty Hughes, European Foreign Policy Under Pressure, dalam The Brown Journal of
World Affairs, Centre for European Policy Studies, Vol.IX, Issue 2, Winter/Spring 2003,
hlm. 128.
155
James A. Caporaso, Op. Cit., hlm. 121-122.
95
yaitu kenyataan sangat sulitnya, atau bahkan nyaris tidak mungkin, untuk
kapasitas untuk aksi militer bersama dalam ruang lingkup yang lebih luas. Hal ini
diakibatkan oleh minimnya antusias negara anggota untuk melakukan aksi militer
bersama secara kolektif. Padahal Eropa memiliki sumber daya, baik manusia,
bahan baku, dan kapasitas industri, untuk menciptakan suatu kekuatan militer
yang kuat. Problema dalam menciptakan suatu kebijakan luar negeri bersama
begitu saja muncul pada institusi bersama seperti Uni Eropa. Ketika kepentingan-
kepentingan yang ada sangat beragam, ditambah aktor yang bermain di dalamnya
kepada institusi kebijakan luar negeri dan keamanan bersama Eropa sebagai suatu
unit yang dapat dikatakan masih bersifat abstrak.156 Ambiguitas yang muncul
156
Ibid., hlm. 129.
157
Marta Dassu, Roberto Menotti, Why Europe is Divided on Foreign Policy: Learning
Lessons from the Iraq Debate, Aspen European Dialogue, Aspen Institute Italia,
http://www.aspeninstitute.it/icons/imgAspen/pdf/news/n22_dassu&menotti_e.pdf, diakses
pada tanggal 23 Desember 2003.
96
Kita dapat melihat bahwa krisis Irak telah menunjukkan kegagalan CFSP
Uni Eropa lebih memilih untuk mengambil posisi nasional.158 Jarak yang tercipta
antara pro-invasi dengan anti-invasi, maupun dengan pihak yang memilih untuk
bersikap netral, terlalu lebar untuk dijembatani.159 Perbedaan yang timbul di antara
bidang kerjasama kebijakan luar negeri dan keamanan. Krisis Irak menunjukkan
bahwa dalam Uni Eropa belum tercipta suatu prinsip akomodatif dan adaptif. Uni
kebijakan keamanan bersama mereka jika hanya didasari oleh pernyataan sikap
semata.
Di sisi lain negara besar seperti Perancis dan Jerman memilih untuk menentang
invasi. Mereka lebih memilih untuk tetap berada dalam kerangka UE serta PBB
timbul.
Negara seperti Inggris nampaknya setuju dengan konsep ‘Barat’ yang unipolar
Jerman menginginkan suatu konsep ‘Barat’ yang bipolar dengan Uni Eropa
atau tidak ingin, untuk menciptakan posisi bersama terhadap isu-isu yang
dianggap vital. Uni Eropa sebagai sebuah institusi tidak mendapatkan posisi
konsultasi oleh negara anggota, karena UE sendiri belum memiliki sarana untuk
negara anggota yang beranggapan bahwa UE belum bisa bergerak cepat dalam
kepada dunia internasional bahwa dalam suatu struktur internasional seperti UE,
nilai-nilai realisme yang dianut oleh negara-negara anggota masih sangat kental
strategi politik luar negeri dan keamanan masing-masing negara juga berbeda. Hal
ini sesuai dengan poin utama dari politik luar negeri realisme, yaitu mencapai dan
BAB 5
KESIMPULAN
seiring berakhirnya perang dingin dan reunifikasi yang terjadi di Jerman. Impian
Eropa Barat bersatu menjadi kenyataan melalui Perjanjian Maastricht tahun 1991.
antara negara anggotanya melalui tiga pilar utama, yaitu pilar European
Community, Justice and Home Affairs, serta Common Foreign and Security
Policy (CFSP).
tengah mencari kapabilitasnya ketika krisis Irak terjadi. Keinginan Uni Eropa
untuk suatu saat dapat berbicara di panggung internasional dengan satu suara di
bidang kebijakan luar negeri dan keamanan masih sangat jauh dari yang
berintegrasi kepada suatu pusat yang baru. Idealnya, dalam proses integrasi Uni
anggota Uni Eropa pada akhirnya akan melakukan suatu penyesuaian – atau suatu
sejumlah perbedaan mendasar yang terjadi di dalam Uni Eropa serta menguak
kelemahan Uni Eropa dalam pembuatan kebijakan luar negeri. Meskipun Uni
antara negara anggota, namun perbedaan yang terjadi di antara kubu Franco-
Jerman, kubu Inggris beserta Italia dan Spanyol yang lebih ‘atlantis’, maupun
dengan kubu Yunani dan negara kecil yang memilih untuk bersikap netral, terlalu
Suatu kebijakan luar negeri dan keamanan bersama Uni Eropa yang kuat
dan efektif hanya akan terwujud jika negara-negara anggota, terutama negara
menggunakan strategi tersebut. Saat terjadinya krisis Irak, tidak terlihat tanda-
strategi bersama tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa dalam menghadapi suatu
tantangan dan krisis internasional yang besar, Uni Eropa gagal dalam
posisi terhadap krisis Irak dikarenakan Eropa tidak memiliki strategi yang sama
terhadap kawasan teluk yang dapat menjadi titik awal pendekatan yang sama
anggota Uni Eropa dapat disimpulkan sebagai kegagalan institusional Uni Eropa
berada pada tahap kelahirannya. CFSP yang diadopsi oleh European Council
101
melalui Perjanjian Maastricht di tahun 1991 hingga saat in masih berjuang dalam
dilakukan oleh Uni Eropa di satu sisi merupakan keberhasilan tersendiri di bidang
kebijakan luar negeri, namun di sisi lain akan menimbulkan kendala dalam
menghasilkan Eropa dengan suara tunggal. Predikat yang disandang oleh Uni
Eropa sebagai sebuah unitary actor ternyata dihadang oleh hambatan struktural,
Tanpa adanya garis otoritas yang tegas, kesepakatan tidak akan menjadi
negeri di dalam Uni Eropa sangat banyak. Negara anggota sebagai aktor yang
komisioner hubungan eksternal Uni Eropa, hingga perwakilan tinggi untuk CFSP,
semuanya dapat menjadi sumber pembuat kebijakan luar negeri. Tidak adanya
semacam ‘Menteri Luar Negeri Uni Eropa’ membuat dualitas fungsi yang dijalani
oleh Chris Patten dan Javier Solana sangat tidak efektif. Hal ini berarti Uni Eropa
belum dapat menentukan ruang lingkup tanggung jawab kebijakan luar negeri dan
seharusnya memiliki mandat untuk bertindak secara kolektif dengan suara tunggal
Kedua, Uni Eropa masih harus menghadapi kenyataan klasik akan sulitnya
memisahkan ‘high politics’ dengan ‘low politics’. CFSP yang dibentuk sebagai
Saling berbagi kepentingan, apalagi dalam bidang keamanan, tidak dapat begitu
saja muncul pada institusi bersama seperti Uni Eropa. Kebijakan keamanan akan
selalu bersinggungan dengan kebijakan luar negeri dan kebijakan domestik yang
dihadapi oleh Uni Eropa, bahwa anggotanya terdiri atas negara-negara berdaulat,
yang masing-masing dapat memilih untuk mengambil posisi nasional atas suatu
isu vital. Belum adanya suatu konstitusi tertulis yang diharapkan dapat mengatur
negara anggotanya membuat Uni Eropa tidak memiliki kekuatan untuk memaksa
seperti Uni Eropa tidak dikatakan gagal tercipta, contohnya penggunaan Euro
sebagai mata uang tunggal Eropa. Namun ketika berbicara masalah kebijakan luar
negeri dan keamanan, apalagi jika dihadapkan pada krisis besar seperti Irak,
kebijakan bersama.
103
DAFTAR PUSTAKA
Hill, Christopher, ed. The Actors in Europe’s Foreign Policy, London: Routledge,
1996.
Howorth, Jolyon, and Anand Menon, ed. The European Union and National
Defence Policy. London: Routledge, 1997.
Jensen, Lloyd. Explaining Foreign Policy. New Jersey: Prentice Hall, 1982.
Kegley, Charles W. Jr., and Eugene R. Wittkopf. World Politics: Trends and
Transformation. 6th ed. New York: St. Martin Press, 1997.
Linberg, Leon, and Stuart Scheigold. Europe’s World Policy. New Jersey:
Prentice Hall, 1971.
Macridis, Roy C., ed. Foreign Policy in World Politics. London: Prentice Hall
Inc., 1995.
Nugent, Neill. The Government and Politics of the European Union. Durham:
Duke University Press, 1994.
Pearson, Frederic. The Global Spread Arms. Boulder: Westview Press, 1994.
Peterson, John, and Michael Shackleton, ed. The Institutions of the European
Union. New York: Oxford University Press, 2002.
Rosati, Jerel A. The Politics of United States Foreign Policy. Orlando: Harcourt
Brace Jovanovich, 1993.
Rosenau, James N., Kenneth W. Thompson, and David Boyd. World Politics: An
Introduction. London: Collier MacMillan Publishing Company, 1976.
Viotti, Paul R., and Mark V. Kauppi. International Relations and World Politics:
Security, Economy, Identity. New Jersey: Prentice Hall, 1997.
105
“Britain, Maastricht, and Europe”, Survey of Current Affairs, Vol. 22, No. 7,
Agustus, 1992.
Journal of Common Market Studies, Vol. 38, No. 2, Blackwell Publishers Ltd.,
Oxford, Juni, 2000.
Hughes, Kirsty. European Foreign Policy Under Pressure, dalam The Brown
Journal of World Affairs, Centre for European Policy Studies, Vol. IX,
Issue 2, Winter/Spring, 2003.
Reading materials for Strategic Studies Course, compiled by Anak Agung Banyu
Perwita, Ph.D, Department of International Relations, Parahyangan
Catholic University, Bandung.
The European Union and The World: Europe on the Move. Luxembourg: Office
for Official Publications of the European Communities, 2001.
Wallace, William. “Britain’s Search for a New Role in the World”, dalam The
Observer, No.10, 531, Agustus, 1993.
EU: Patten Says Rift Over Iraq Threatens EU Cohesion, Reconstruction Aid not
Guaranteed,
http://www.rferl.org/nca/features/2003/03/12032003175541.asp.
http://europa.eu.int
http://ue.eu.int
108
http://www.arena.uio.no
http://www.ceps.be
http://www.ciaonet.org
http://www.essex.ac.uk
http://www.foreignpolicy.org.tr
http://www.france.diplomatie.fr
http://www.guardian.co.uk
http://www.kompas.com
http://www.number-10.gov.uk
http://www.publications.parliament.uk
http://www.resdal.org
http://www.suaramerdeka.com