You are on page 1of 2

Ahli fikih dan pemikir Muslim klasik ini nama lengkapnya adalah Muhammad bin al-Hasan bin Zufar

al-
Syaibani dengan julukan Abu Abdullah. Beliau lahir pada tahun 132H (750M) di kota Wasith, ibukota Irak
pada masa akhir pemerintahan Bani Umawiyyah. Ayahnya berasal dari negeri Syaiban di wilayah jazirah
Arab. Bersama kedua orang tuanya, Al-Syaibani pindah ke kota Kufah yang ketika itu merupakan salah
satu pusat kegiatan ilmiah. Di kota tersebut ia belajar fikih, sastra, bahasa dan hadits kepada para ulama
setempat, seperti Mus’ar bin Kadam, Sufyuan Tsauri, Umar bin Dzar dan Malik bin Maghul. Pada periode
ini pula, Al-Syaibani yang baru berusia 14 tahun berguru kepada Abu Hanifah selama 4 tahun. Setelah itu
ia berguru kepada Abu yusuf, salah seorang murid terkemuka dan pengganti Abu Hanifah, hingga
keduanya tercatat sebagai penyebar mazhab Hanafi.

Dalam menunutut ilmu, Al-Syaibani tidak hanya berinteraksi dengan para ulama ahl al-ra’yi, tetapi juga
ulama ahl al-hadits. Ia layaknya para ulama terdahulu, berkelana ke berbagai tempat, seperti Madinah,
Makkah, Syria, Basrah dan Khurasan untuk belajar kepada para ulama besar, seperti Malik bin Anas,
Sufyan bin ‘Uyainah dan Auza;i. ia juga pernah bertemu dengan Al-Syafi’I ketika belajar al0Muwatta
pada Malik bin Anas. Hal tersebut memberikan nuansa baru dalam pemikiran fiqihnya. Al-Syaibani
menjadi lebih banyak mengetahui berbagai hadis yang luput dari perhatian Abu Hanifah.

Setelah memperoleh ilmu yang memadai, Al-Syaibani kembali ke Baghdad yang pada saat itu telah
berada dalam kekuasaan Daulah Bani Abbasiyah. Di tempat ini ia mempunyai peranan yang penting
dalam majelis ulama dan kerap didatangai para penuntut ilmu. Hal tersebut semakin mempermudahnya
dalam mengembangkan mazhab Hanafi, apalagi ditunjang kebijakan pemerintah saat itu yang
menetapkan mazhab Hanafi sebagai mazhab Negara. Berkat keluasan ilmunya tersebut, setelah Abu
Yusuf meninggal dunia, Khalifah Harun Al-Rasyid mengangkatnya sebagai hakim di kota Riqqah, Irak.
Namun, tugas ini hanya berlangsung singkat karena ia kemudian mengundurkan diri untuk lebih
berkonsentrasi pada pengajaran dan penulisan fiqih. Al-Syaibani meninggal dunia pada tahun 189H
(804M) di kota al-Ray, dekat Teheran, dalam usia 58 tahun.

al-Syaibani merumuskan aspek insan kepada tiga elemen penting. Pertama, insan diciptakan dari
segumpal darah “al-Alaq” berasaskan kepada firman Allah s.w.t yang bermaksud:

“Dia menciptakan manusia dari segumpal darah”


(al-Alaq : 2)

Kedua, insan mempunyai daya dan kecenderungan untuk berilmu. Fakta ini bersandarkan kepada ayat
al-Quran yang pertama sekali diturunkan dengan “Iqra’”. Berpegang kepada konsep Iqra’ menunjukkan
secara semulajadi (natural), fitrah manusia dahagakan ilmu pengetahuan. Begitu juga dalam surah al-
`Alaq, Allah s.w.t berfirman yang bermaksud:

“Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”


(al-Alaq: 5)
Ketiga, insan boleh menjadi diktator apabila ia bersifat sombong dan merasa tidak perlu lagi dengan
pencipta-Nya atau menurut ajaran Ilahi. Kenyataan ini digambarkan oleh Allah s.w.t dalam firmannya
yang bermaksud:

“Ketahuilah! Sesungguhnya manusia melampaui batas”


(al-Alaq: 6)

You might also like