You are on page 1of 109

PANDANGAN TIGA TOKOH UTAMA WANITA TENTANG

EMANSIPASI DALAM NOVEL TIGA ORANG PEREMPUAN


KARYA MARIA A. SARDJONO

SKRIPSI

Untuk Meraih Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh :

Nama : Marfika Santiasih Isma

NIM : 2134990028

Program Studi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Jurusan : Bahasa dan Sastra Indonesia

FAKULTAS BAHASA DAN SENI


UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2005
SARI

Santiasih Isma, Marfika. 2005. Pandangan Tiga Tokoh Utama Wanita dalam Novel Tiga
Orang Perempuan Karya Maria A. Sardjono. Skripsi. Jurusan Bahasa dan
Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang.
Pembimbing I: Dra. Nas Haryati, M.Pd, Pembimbing II: Dra. L.M Budiyati
Kata kunci: tokoh utama, pandangan tokoh, emansipasi

Novel merupakan karya fiksi yang menyuguhkan peristiwa dengan berbagai


permasalahan yang dialami oleh tokoh-tokohnya. Peristiwa tersebut merupakan
perwujudan masalah yang ada di masyarakat baik pengalaman pribadi pengarang maupun
orang lain. Demikian juga dengan novel Tiga Orang Perempuan karya Maria A.
Sardjono yang menyuguhkan tokoh utama wanita di dalamnya yaitu tokoh Nenek, Ibu,
dan Gading. Ketiga tokoh utama wanita dalam novel tersebut berasal dari tiga generasi
yang berbeda. Mereka memiliki pandangan yang berbeda tentang emansipasi. Pandangan
yang berbeda tersebut mempengaruhi sikap dan tindakan ketiga tokoh dalam
memperjuangan hak-haknya sebagai seorang wanita yang ingin sejajar dengan kaum laki-
laki. Perjuangan tokoh utama dilakukan di bidang politik, hukum, ekonomi, pendidikan,
dan di lingkungan keluarga.
Berdasarkan latar belakang di atas maka masalah yang dibahas dalam skripsi ini
adalah struktur novel berupa tokoh penokohan, emansipasi dalam novel Tiga Orang
Perempuan karya Maria A. Sardjono, dan pandangan ketiga tokoh utama wanita
mengenai emansipasi.
Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk mengungkap struktur yang
berupa tokoh penokohan, emansipasi wanita dan pandangan ketiga tokoh utama wanita
tentang emansipasi yang terdapat dalam novel Tiga Orang Perempuan karya Maria A.
Sardjono.
Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode struktural
dengan pendekatan objektif. Penggunaan metode ini adalah untuk mendapatkan deskripsi
penokohan lewat pendekatan objektif. Unsur penokohan dianalisis untuk mengetahui
sejauh mana emansipasi yang dilakukan ketiga tokoh utama wanita dalam lingkungan
keluarga (domestik) dan masyarakat. Analisis penokohan yang dilakukan dengan metode
ini lebih ditekankan pada tokoh dan penokohannya yaitu pada watak atau karakter tokoh.
Hasil pembahasan skripsi ini adalah mengenai tokoh dan penokohan yaitu Nenek,
Ibu, dan Gading. Dari analisis penokohan ketiga tokoh utama wanita dalam novel ini
tokoh Nenek digambarkan sebagai sosok wanita Jawa yang sudah berumur lebih dari
delapan puluh empat tahun yang memegang teguh adat Jawa. Tokoh Ibu digambarkan
berumur lebih dari lima puluh tahun, sosok wanita modern yang cenderung tidak lagi
memegang teguh adat Jawa. Tokoh Ibu berani untuk memperjuangkan hak-haknya
sebagai seorang wanita. Tokoh Gading adalah generasi ketiga yang hidup di masa

i
modern, berpandangan sangat luas dan selalu menjunjung emansipasi wanita. Analisis
selanjutnya, membahas emansipasi wanita di bidang politik dimana tokoh Ibu dan Gading
memperjuangkan haknya untuk memilih, menimbang, dan memutuskan. Di bidang
hukum tokoh Ibu dan Gading memperjuangkan agar mendapatkan hak untuk memperoleh
keadilan. Di bidang ekonomi tokoh Ibu memperjuangkan hak mendapatkan kehidupan
yang layak dengan menjadi dosen, sedangkan tokoh Gading menjadi seorang wartawan.
Di bidang pendidikan tokoh Ibu dan Gading memperjuangkan haknya dengan
mendapatkan pendidikan yang tinggi. Di lingkungan keluarga tokoh Ibu
memperjuangkan haknya agar tidak diperlakukan sewenang-wenang oleh suami sehingga
cenderung otoriter. Pandangan ketiga tokoh utama wanita tentang emansipasi dalam
novel Tiga Orang Perempuan ada yang mendukung dan ada yang kurang mendukung.
Tokoh Ibu karena latar belakang pengalaman masa lalunya sewaktu dia kecil yang
mendorong Ibu untuk mendukung sepenuhnya emansipasi wanita. Beliau tidak ingin
mengalami apa yang dialami oleh ibunya yaitu Tokoh Nenek yang mendapat perlakuan
tidak adil dari suaminya. Tokoh Gading mendukung emansipasi wanita dilatarbelakangi
oleh lingkungan keluarga yang demokratis dan berwawasan modern serta pendidikan
yang tinggi. Tokoh Nenek cenderung kurang mendukung karena latar belakang
keluarganya yang mendidik sesuai nilai-nilai sosial yang berpedoman pada budaya dan
adat Jawa yang dipengaruhi oleh sistem patriarkat.
Bardasarkan hasil pembahasan di atas Penulis menyarankan agar hasil analisis
skripsi yang berjudul Pandangan Tiga Tokoh Wanita Tentang Emansipasi Dalam Novel
Tiga Orang Perempuan Karya Maria A. Sardjono ini dapat digunakan oleh peneliti sastra
yang lain untuk menganalisis dari segi sosiologi sastra atau segi ilmu sastra yang lain.

ii
PENGESAHAN KELULUSAN

Skripsi ini telah dipertahankan di dalam siding Panitia Ujian Skripsi Jurusan

Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang

pada :

hari : Rabu

tanggal : 7 September 2005

Panitia Ujian

Ketua Sekretaris

Prof. Dr. Rustono, M.Hum. Drs. Mukh. Doyin, M.Si.

NIP 131281222 NIP 132106367

Penguji I, Penguji II, Penguji III,

Drs. Agus Nuryatin, M.Hum. Dra. L.M. Budiyati, M.Pd. Dra. Nas Haryati, M.Pd.

NIP 131813650 NIP 130529511 NIP 131125926

iii
PERNYATAAN

Saya menyatakan bahwa yang tertulis di dalam skripsi ini benar-benar karya

saya sendiri, bukan jiplakan dari karya orang lain, baik sebagian atau seluruhnya.

Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk

berdasarkan kode etik ilmiah.

Semarang, 27 Januari 2005

Penulis

(Marfika Santiasih Isma)

iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Motto:

Kedisiplinan adalah kunci keberhasilan

Kesabaran dan pengendalian diri adalah kunci kesuksesan

Dorongan semangat dan doa dari keluarga adalah kunci dari segalanya

Persembahan:

Segala usaha yang telah menjadi sebuah karya cipta

kupersembahkan kepada Ibunda tercinta, kakak-

kakakku yang selalu memberikan dorongan

semangat dan doa yang tiada henti, dan semua yang

memberikan inspirasi.

v
PRAKATA

Puji syukur dipanjatkan ke hadirat Allah Swt karena atas limpahan rahmat dan

karunia-Nya, skripsi yang berjudul Pandangan Tiga Tokoh Wanita Tentang Emansipasi

Dalam Novel Tiga Orang Perempuan Karya Maria A. Sardjono telah selesai dibuat.

Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak

yang telah membantu memberikan bantuan, dorongan, semangat, dan doanya sehingga

skripsi ini dapat diselesaikan. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada

1. Dra. Nas Haryati, M.Pd. sebagai dosen pembimbing I yang dengan penuh

kesabaran memberikan bimbingan, masukan, dan arahan;

2. Dra. L.M Budiyati, M.Pd. sebagai dosen pembimbing II yang telah membimbing

penulis dengan kesabaran;

3. Rektor UNNES yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk

menimba ilmu di UNNES dan menyusun skripsi;

4. Ketua Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia beserta pejabat jurusan yang telah

memberikan fasilitas dan berbagai kemudahan dalam penyusunan skripsi;

5. Ibu dan Bapak Dosen Jurusan PBSI yang telah memberikan segenap dedikasi

berupa bekal ilmu pengetahuan yang menunjang pembuatan skripsi ini;

6. Pengelola Komunitas Baca 202 Bahasa dan Sastra Indonesia dan Perpustakaan

UNNES yang telah banyak memberikan kemudahan dengan menyediakan

vi
referensi buku-buku yang sangat bermanfaat bagi penyelesaian skripsi ini;

7. Keluargaku tercinta, ibu dan kakak-kakakku yang telah memberikan doa,

dorongan semangat dalam pembuatan skripsi;

8. Teman-teman PBSI ankatan 1999 terima kasih atas dorongan semangat dan

kerjasamanya selama ini;

9. Semua pihak yang telah banyak membantu namun tidak dapat disebutkan satu

persatu.

Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembacanya, terutama adik

kelas bisa menjadikan skripsi penulis sebagai bahan referensi. Semoga Allah Swt

memberikan limpahan rahmat dan hidayah-Nya pada semua pihak yang telah membantu,

Amin.

Semarang,

Penulis

vii
DAFTAR ISI

SARI ………………………………………………………………………………….i

PENGESAHAN KELULUSAN…… ………………………………………………….ii

PERNYATAAN…… ………………………………………………………………….iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN…. ………………………………………………….v

PRAKATA…. ………………………………………………………………………….vi

DAFTAR ISI…………………………………………………………………………...viii

DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………………………...xi

BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………………….1

1.1 Latar Belakang Masalah…………………………………………………...1

1.2 Rumusan Masalah………………………………………………………….8

1.3 Tujuan Penelitian…………………………………………………………..8

1.4 Manfaat Penelitian…………………………………………………………9

BAB II LANDASAN TEORETIS……………………………………………………..10

2.1 Tokoh dan Penokohan……………………………………………………...10

2.1.1 Pengertian Tokoh………………………………………………...11

2.1.2 Macam-macam Tokoh……………………………………………12

2.1.3 Pengertian Tokoh Utama…………………………………………13

2.1.4 Ciri-ciri Tokoh Utama……………………………………………14

2.1.5 Pengertian Penokohan……………………………………………15

2.1.6 Cara Mengenali Watak Tokoh……………………………………17

2.2 Gender………………………………………………………………………21

viii
2.2.1 Pengertian Gender………………………………………………..21

2.2.2 Perbedaan Gender………………………………………………..23

2.2.3 Munculnya Gerakan Emansipasi…………………………………24

2.3 Emansipasi…………………………………………………………………26

2.3.1 Pengertian Emansipasi…………………………………………...26

2.3.2 Gerakan Emansipasi di Berbagai Bidang………………………..27

2.3.2.1 Emansipasi di Bidang Politik………………………….27

2.3.2.2 Emansipasi di Bidang Hukum…………………………28

2.3.2.3 Emansipasi di Bidang Ekonomi……………………….29

2.3.2.4 Emansipasi di Bidang Pendidikan…………………….31

2.3.2.5 Emansipasi di Lingkungan Keluarga…………………..31

2.4 Pandangan Orang tentang Emansipasi…………………………………….33

BAB III METODE PENELITIAN……………………………………………………38

3.1 Sasaran Penelitian…………………………………………………………38

3.2 Pendekatan Penelitian……………………………………………………..38

3.3 Metode Analisis Data……………………………………………………..39

3.4 Teknik Analisis Data………………………………………………………40

3.5 Langkah Kerja……………………………………………………………..41

BAB IV DESKRIPSI EMANSIPASI DAN PANDANGAN TIGA TOKOH UTAMA

WANITA DALAM NOVEL TIGA ORANG PEREMPUAN……………...42

4.1 Tokoh dan Penokohan……………………………………………………42

4.1.1 Nenek…………………………………………………………...44

4.1.2 Ibu………………………………………………………………48

ix
4.1.3 Gading…………………………………………………………..53

4.2 Emansipasi dalam Novel Tiga Orang Perempuan ……………………….58

4.2.1 Emansipasi di Bidang Politik……………………………………60

4.2.2 Emansipasi di Bidang Hukum…………………………………..60

4.2.3 Emansipasi di Bidang Ekonomi…………………………………61

4.2.4 Emansipasi di Bidang Pendidikan………………………………63

4.2.5 Emansipasi di Lingkungan Keluarga……………………………65

4.3 Pandangan Tiga Tokoh Utama Wanita tentang Emansipasi dalam Novel Tiga

Orang Perempuan………………………………………………………..67

4.3.1 Pandangan Nenek tentang Emansipasi…………………………68

4.3.2 Pandangan Ibu tentang Emansipasi…………………………….73

4.3.3 Pandangan Gading tentang Emansipasi………………………..80

4.3.4 Persamaan dan Perbedaan Pandangan Tiga Tokoh Utama

Wanita………………………………………………………….83

BAB V PENUTUP…………………………………………………………………..87

5.1 Simpulan…………………………………………………………………87

5.2 Saran……………………………………………………………………..89

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………..90

x
xi
xii
xiii
BAB I

PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang Masalah

Indonesia saat ini memasuki era globalisasi yang ditandai dengan arus

informasi dan teknologi yang canggih yang menuntut masyarakat untuk lebih

berperan aktif dalam pembangunan. Tidak hanya kaum laki-laki saja yang

berperan aktif, perempuan dituntut untuk beperan aktif juga dalam mengisi

pembangunan. Mereka harus lebih mempunyai suatu sikap yang mandiri,

disamping kebebasan untuk mengembangkan dirinya sebagai manusia sesuai

dengan bakat yang dimilikinya. Perempuan banyak yang memiliki peran ganda

selain sebagai ibu rumah tangga, mereka juga berperan sebagai wanita yang

bekerja atau lebih dikenal dengan sebutan wanita karier. Oleh karena itu wanita

belum bisa berperan secara utuh di masyarakat. Di satu sisi perempuan ingin

berperan secara penuh baik di lingkungan keluarga maupun masyarakat, namun di

sisi lain perempuan tidak boleh melupakan kodratnya sebagai seorang wanita..

Menghadapi permasalahan di atas diperlukan adanya strategi yang tepat

yang mampu mendukung wanita dalam beperan aktif baik di lingkungan keluarga

maupun di luar sebagai wanita karier tanpa mendapat pandangan negatif dari

masyarakat. Strategi tersebut adalah dengan gerakan emansipasi wanita. Namun

pada umumnya masyarakat berprasangka bahwa gerakan emansipasi wanita

adalah gerakan pemberontakan terhadap kaum laki-laki, upaya melawan nilai-nilai

atau norma-norma sosial yang ada, misalnya lembaga/institusi rumah tangga,


2

perkawinan maupun usaha pemberontakan untuk mengingkari apa yang disebut

kodrat.

Tujuan yang sebenarnya dari gerakan ini adalah untuk meningkatkan

kedudukan dan derajat perempuan agar sama atau sejajar dengan kedudukan serta

derajat laki-laki, bukan untuk mengungguli atau mendominasi kaum laki-laki

sevagai balas dendam dengan menindas atau menguasai kaum laki-laki. Dengan

adanya pemahaman yang salah tentang gerakan emansipasi wanita banyak pihak

yang menentang gerakan ini terutama dari pihak laki-laki. Namun dari pihak

perempuan pun ada yang menentang terutama mereka yang masih memegang

teguh nilai-nilai budaya tradisional yang masih kuat yaitu ciri tradisional yang

mengharuskan wanita menjaga kesalehan serta kemurnian mereka, bersikap pasif

dan menyerah, rajin mengurus keluarga dan rumah tangga atau memelihara

domestisitas.

Beberapa orang ahli berpendapat mengenai gerakan emansipasi atau sering

disebut feminisme. Feminisme ialah teori tentang persamaan antara laki-laki dan

wanita di bidang politik, ekonomi, dan sosial; atau kegiatan terorganisasi yang

memperjuangkan hak-hak serta kepentingan wanita (Geofe 1986:837). Menurut

pendapat yang dikemukakan oleh Dzuhayatin (dalam Bainar 1998:16-17)

feminisme merupakan sebuah ideologi yang berangkat dari suatu kesadaran akan

suatu penindasan dan pemerasan terhadap wanita dalam masyarakat.

Pandangan yang menyatakan bahwa emansipasi wanita tidak hanya

menuntut kesamaan saja dan itu dianggap tidak begitu penting, yang penting di
3

sini adalah bagaimana wanita memiliki kesempatan untuk mengembangkan

potensi serta bakatnya agar lebih maju (Widoyo 1991:16).

Permasalahan yang dihadapi oleh wanita terutama yang menyangkut

emansipasi wanita ini merupakan kenyataan sosial yang dihadapi oleh wanita

tidak hanya di Indonesia tapi juga di seluruh dunia. Dari kenyataan sosial yang

dihadapi manusia khususnya wanita memberikan ilham kepada sastrawan untuk

menuangkannya ke dalam karya sastra yang akan dibuatnya. Karya sastra ini

merupakan buah pikiran seorang pengarang yang bersumber dari pengalaman

hidupnya sendiri maupun orang lain. Hal ini sesuai dengan pendapat Wellek

(dalam Budianta 1990:109) yang menyatakan bahwa sastra menyajikan kehidupan

dan kehidupan sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial, walaupun karya sastra

itu juga meniru alam dan dunia subyektif manusia. Suharianto (1982:11)

mengatakan bahwa karya sastra pada hakikatnya adalah pengejawantahan

kehidupan, hasil pengamatan sastrawan atas kehidupan sekitarnya. Pengarang

dalam menciptakan karya sastra didasarkan pada pengalaman yang telah

diperolehnya dari realitas kehidupan di masyarakat. Peran tokoh dari dunia nyata

kemudian dituangkan ke dalam bentuk karya sastra.

Permasalaha yang menjadi sorotan publik dan ide dalam sebuah karya

sastra saat ini adalah mengenai permasalahan gender. Adanya perbedaab gender

sesungguhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan

gender (gender inqualities). Namun yang menjadi persoalan ternyata perbedaan

gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan gender baik bagi kaum laki-laki

dan terutama kaum perempuan. Ketidakadilan gender merupakan sistem dan


4

struktur dimana baik kaum laki-laki dan perempuan menjadi korban dari sistem

tersebut (Fakih 2001:12). Permasalahan gender tersebut yaitu bahwa kehidupan

wanita di zaman dahulu sampai sekarang mengalami kegelapan dan sangat

diabaikan keberadaannya. Gambaran sosok wanita selalu berada dalam kekuasaan

laki-laki (Mukmin 1980:83). Menurut Fakih (2001:10) karena konstruksi sosial

gender, kaum laki-laki harus bersifat kuat dan agresif, maka laki-laki kemudian

terlatih dan tersosialisasi serta termotivasi untuk menjadi atau menuju sifat gender

yang ditentukan oleh suatu masyarakat, yakni secara fisik lebih kuat dan lebih

besar. Sebaliknya, karena perempuan harus lemah lembut, maka sejak bayi proses

sosialisasi tersebut tidak saja berpengaruh kepada perkembangan emosi dan visi

serta ideologi kaum perempuan, tetapi juga mempengaruhi perkembangan fisik

dan biologis selanjutnya. Dengan adanya permasalahan gender tersebut membawa

perkembangan baru bagi dunia sastra yaitu memberikan pengaruh terhadap cara

pandang sastrawan untuk menciptakan tokoh perempuan dalam karya sastranya.

Cara pandang sastrawan tersebut yang pertama adalah wanita sebagai

pelengkap suami atau wanita yang melihat perannya berdasarkan keadaan

biologisnya (baik sebagai isteri, ibu rumah tangga, nenek, dsb). Cara pandang

yang kedua, wanita sebagai sentral kapitalis. Artinya wanita mampu mandiri dan

berkarier di lingkungan luar (Mukmin 2001:13). Wanita yang mencoba

menembus batas stereotip kedudukan perempuan dan melihat diri sendiri sebagai

individu bukan hanya sebagai pendamping laki-laki. Tokoh perempuan seperti ini

adalah mereka yang disebut perempuan feminis yang berusaha mandiri dalam

berfikir dan bertindak, serta menyadari hak-haknya (Chudori 1991:28).


5

Berbicara mengenai karya sastra yang feminis dalam hubungannya dengan

emansipasi tokoh wanita di masyarakat, salah seorang pengarang wanita

Indonesia yang tertarik membicarakan masalah perempuan dalam dunia sastra

melalui karya-karyanya adalah Maria A. Sardjono. Sebagai pengarang Maria A.

Sardjono merupakan pengarang yang cukup poduktif membuat karya sastra yang

bertemakan wanita.

Maria A. Sardjono adalah pengarang wanita yang lahir di Semarang 22

April 1945 namun ia dibesarkan dan bersekolah di Jakarta. Ia menulis sejak

remaja, namun baru pada tahun 1974 karya-karyanya dipublikasikan. Ia sudah

menulis kurang lebih 80 novel, belasan novelet dan buku cerita anak-anak dan

kurang lebih 120 cerpen. Novel-novel karya Maria A. Sardjono di antaranya

adalah Langit di atas Merapi, Pengantin Kecilku, Sepatu Emas Untukmu, Daun-

daun yang Gugur, Menjolok Rembulan, Bintang Dini Hari, Kemuning, Ketika

Flamboyan Berbunga, Melati di Musim Kemarau, Gaun Sutra Warna Ungu,

Lembayung di Kaki Langit, Lembayung di matamu dan masih banyak lainnya. Di

antara novel-novel karya Maria A. Sardjono tersebut ada empat novel yang sudah

difilmkan dan beberapa kali dibeli rumah produksi untuk dibuat sinetron. Salah

satu sinetron tersebut adalah Tiga Orang Perempuan. Novel ini mengisahkan tiga

perempuan berbeda generasi terbentur oleh budaya yang diwarnai sistem

patriarkat. Akibatnya timbul gejolak dalam kehidupan masing-masing dan

kegiatannya mengalami kegamangan ketika harus mengungkapkan cinta terhadap

perasaan laki-laki yang mereka kasihi.


6

Sang nenek membentengi dirinya dari perasaan cinta pada suaminya yang

berpoligami. Sang Ibu lain lagi. Karena melihat rumah tangga orang tuanya, dia

bertekad sebagai wanita super terhadap suami.

Gading sebagai generasi ketiga yang hidup di masa sekarang pun

mengalami benturan nilai-nilai tersebut. Yoyok, kekasihnya, masih memiliki

pemikiran yang sama seperti kakek moyangnya, yaitu tempat yang paling pas bagi

perempuan adalah di dalam rumah. Gading sadar bahwa ada nilai lain yang

menyangkut kasih yaitu pengorbanan, Yoyok sudah pergi meninggalkannya ke

negeri orang. Kemana harus dicarinya lelaki itu? Dia yang akhirnya memberinya

kesadaran bahwa di rumah pun seorang wanita tetap bisa berkarya dan

mengungkapkan eksistensinya, setara dengan laki-laki. Apakah dia harus

menerima jodoh yang didesakkan neneknya, seorang lelaki ningrat modern yang

pikirannya jauh lebih kuno dari Yoyok.

Dari uraian cerita novel Tiga Orang Perempuan di atas dapat kita ambil

suatu permasalahan yang menyangkut masalah emansipasi wanita, sehingga

menarik untuk dibahas lebih lanjut dalam skripsi ini. Permasalahan yang sejenis

juga pernah dibahas oleh penulis lain tetapi merujuk pada peran tokoh wanita di

dalam keluarga dan masyarakat, bukan inti dari gerakan emansipasi yang

dilakukan oleh tokoh utama wanita. Yang menarik dari novel Tiga Orang

Perempuan ini adalah bagaimana pandangan tiga orang tokoh yang berbeda

generasi yaitu Nenek, Ibu, dan Gading yang terbentur oleh budaya yang diwarnai

sistem patriarkat, bisa menyatukan perbedaan tersebut dalam menghadapi

berbagai permasalahan.
7

Berdasakan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, penelitian ini akan

membahas secara lengkap dan utuh tentang tokoh wanita dalam sebuah karya

sastra (novel), khususnya ditinjau dari segi feminisme. Penelitian sejenis sudah

banyak. Penelitian yang menjadi landasan dalam penelitian skripsi ini diantaranya

skripsi berjudul Feminisme Dalam Novel Tumini (Perawan Onderneming) oleh

Suprapti Dewi Mahanani yang membahas masalah kedudukan wanita, tokoh

wanita dilihat dari perspektif gender. Dalam penelitian ini metode yang digunakan

adalah metode struktural dengan pendekatan objektif. Tokoh utama dalam novel

ini yaitu Tumini yang digambarkan selalu menderita dan dilihat dari perspektif

gender sebagai kaum perempuan ia mengalami ketidakadilan gender yang

termanifestasi kekerasan dalam bentuk pemerkosaan.

Kemudian skripsi Fitriani Nur Rahayu berjudul Perspektif Feminisme

Tokoh Utama Wanita Dalam Novel Canting Karya Arswendo Atmowiloto yang

membahas penentuan pola dan pendeskripsian feminisme. Penelitian ini

menggunakan pendekatan sosiologi sastra. Tokoh utama dalam novel ini Bu Bei.

Ia memperjuangkan wanita agar memiliki kedudukan yang sejajar dengan kaum

pria, persamaan hak atas rumah dan tanah serta persamaan hak untuk menikah

lagi. Penelitian sejenis tersebut sangat relevan dengan penelitian dalam kajian ini,

yang mencoba untuk melengkapi penelitian sejenis yang sudah ada. Perbedaannya

adalah pada permasalahan yang dikaji. Pada skripsi Suprapti (2001) yang berjudul

Feminisme Dalam Novel Tumini (Perawan Onderneming) dibahas masalah

kedudukan wanita, tokoh wanita dilihat dari perspektif gender. Sedangkan pada

skripsi Fitriani (2003) yang berjudul Perspektif Feminisme Tokoh Utama Wanita
8

Dalam Novel Canting Karya Arswendo Atmowiloto dibahas penentuan pola dan

pendeskripsian feminisme. Berbeda dengan skripsi Tri Rahmawati yang berjudul

Peran dan Emansipasi Tokoh Utama Wanita Pada Novel Jalan Bandungan Karya

Nh. Dini (2003) dibahas peran dan emansipasi tokoh utama wanita baik di

lingkungan keluarga maupun di masyarakat. Penelitian dalam skripsi ini

membahas pandangan tiga tokoh utama wanita yang berbeda generasi tentang

emansipasi. Perbedaan tersebut tidak hany dari segi umur tetapi juga menyangkut

latar belakang kehidupan sosial ketiga tokoh wanita itu.

1. 2 Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang masalah mengenai emansipasi wanita,

permasalahan yang muncul adalah sebagai berikut.

1. Bagaiamanakah watak tiga tokoh utama wanita dalam novel Tiga Orang

Perempuan karya Maria A. Sardjono?

2. Bagaimanakah deskripsi emansipasi tiga tokoh utama wanita dalam novel

Tiga Orang Perempuan karya Maria A. Sardjono?

3. Bagaimanakah pandangan tiga tokoh utama wanita tentang emansipasi

dalam novel Tiga Orang Perempuan karya Maria A. Sardjono?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini

dirumuskan sebagai berikut.


9

1. Mengungkapkan watak tiga tokoh utama wanita dalam novel Tiga

Orang Perempuan Karya Maria A. Sardjono.

2. Mengungkapkan deskripsi emansipasi tiga tokoh utama wanita

dalam novel Tiga Orang Perempuan Karya Maria A. Sardjono.

3. Mengungkapkan pandangan tiga tokoh utama wanita dari tiga

generasi yang berbeda tentang emansipasi Tiga Orang Perempuan

Karya Maria A. Sardjono.

1.4 Manfaat Penelitian

Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk

memberikan wawasan baru, pengetahuan, dan pemahaman yang benar tentang

emansipasi untuk digunakan sebagai referensi mahasiswa Jurusan PBSI dalam

membuat skripsi.
10

BAB II

LANDASAN TEORETIS

Pada bab ini akan dipaparkan mengenai teori yang mendukung

pembahasan pada BAB IV nanti sebagai landasan pokok dalam pengkajian. Teori

yang digunakan dalam skripsi ini adalah teori tentang tokoh utama yang meliputi

(1) tokoh penokohan meliputi pengertian tokoh, pengertian tokoh utama, cirri-ciri

tokoh utama, pengertian penokohan, cara mengenali tokoh utama, kemudian teori

yang berhubungan dengan emansipasi yang meliputi (2) teori gender meliputi

pengertian gender, perbedaan/bias gender, munculnya gerakan emansipasi; (3)

emansipasi yang meliputi pengertian emansipasi, berbagai bidang emansipasi,

berbagai tanggapan tentang emansipasi.

2.1. Tokoh dan Penokohan

Dalam sebuah karya fisik berupa novel terdapat tokoh dan penokohan

yang sebagian besar tokoh-tokoh tersebut adalah tokoh-tokoh rekaan. Kendati

berupa rekaan atau hanya imajinasi pengarang, masalah penokohan merupakan

satu bagian penting dalam membangun sebuah cerita, tetapi juga berperan untuk

menyampaikan ide, motif, plot, dan tema. Semakin berkembangnya ilmu jiwa,

terutama psiko-analisa, merupakan salah satu alasan pentingnya peranan tokoh

cerita sebagai bagian yang ditonjolkan oleh pengarang (Sumardjo 1986:63).

Cerita dapat ditelusuri dan diikuti perkembangannya lewat perwatakan

tokoh-tokoh cerita atau penokohan cerita. Konflik-konflik yang terdapat dalam


11

suatu cerita yang mendasari terjalinnya suatu plot, pada dasarnya tidak dapat

dilepaskan dari tokoh-tokohnya, baik yang bersifat protagonis maupun antagonis,

tokoh utama maupun tokoh bawahan. Karena itu, kemampuan pengarang

mendeskripsikan karakter tokoh cerita yang diciptakan sesuai dengan tuntutan

cerita dapat pula dipakai sebagi indikator kekuatan sebuah cerita fiksi.

Penelitian ini memfokuskan pada tokoh khususnya tokoh utama wanita.

Pada setiap cerita selalu terdapat tokoh utama yang memegang peranan penting

dalam cerita. Berbicara mengenai tokoh utama tidak terlepas dari segala tindakan

dan tingkah lakunya disetiap peristiwa.

Kita akan memulai landasan teori ini dengan menguraikan pengertian

tokoh penokohan dan pengertian tokoh utama.

2.1.1. Pengertian Tokoh

Cerita rekaan pada dasarnya mngisahkan seseorang ataun beberapa

orang yang menjadi tokoh. Menurut Sudjiman (1991:16) tokoh idividu adalah

rekaan yang mengalami peristiwa atau perlakuan didalam berbagai peristiwa

cerita. Jadi tokoh adalah orangnya. Pendapat senada juga dikemukakan oleh

Suyati (1996:43) tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau

perlakuan dalam tindakan. Badudu dan Zain (1996:152) mengartikan tokoh

sebagai pemegang peranan penting dalam cerita roman, novel dan cerita pendek.

Dari pendapat ketiga ahli tentang tokoh tersebut diatas, dapat

disimpulkan bahwa tokoh merupakan individu rekaan yang berperan sangat

penting dalam suatu karya sastra (novel) yang mengalami berbagai peristiwa atau

perlakuan. Dalam cerita rekaan terdapat berbagai peristiwa yang dialami tokohnya
12

dan peristiwa tersebut dialami tidak hanya satu tokoh saja tapi dialami oleh

beberapa tokoh sehingga dalam cerita rekaan terdapat beberapa tokoh. Tokoh

dalam cerita rekaan ini ada berbagai macam.

2.1.2. Macam-macam Tokoh

Menurut beberapa ahli tokoh rekaan dalam cerita terbagi menjadi

beberapa macam tokoh. Macam-macamnya adalah sebagai berikut :

1. Berdasarkan cara menampilkannya, tokoh cerita dibedakan menjadi tokoh

datar atau tokoh sederhana (simple atau flat character) dan tokoh bulat

atau tokoh kompleks (complex atau round character) (Nurgiyantoro 1998

:181). Menurut Forster (1970:750) didalam cerita rekaan tokoh datar

disoroti satu segi wataknya saja. Tokoh datar bersifat statis, wataknya

sedikit sekali atau bahkan tidak berubah dalam perkembangan lakuan

(Sudjiman 1991:20-21). Tokoh bulat adalah tokoh yang ditampilkan lebih

dari segi watak, kepribadian, dan jati dirinya secara berganti-gantian

(Nurgiyantoro 1998:183: (Sudjiman 1991:21). Dibandingkan dengan

tokoh sederhana, tokoh bulat lebih menyerupai kehidupan manusia yang

sesungguhnya karena selain memiliki berbagai kemungkinan sikap dan

tindakan, ia juga sering memberikan kejutan (Abrams 1981:20-21).

2. Berdasarkan peranan atau tingkat pentingnya (Nurgiyantoro 1998:176)

atau fungsinya (Sudjiman 1991:17-18) tokoh didalam cerita rekaan

dibedakan menjadi tokoh sentral atau tokoh utama (central character,

main character ) dan tokoh bawahan atau tokoh tambahan (peripheral

character). Tokoh sentral (dan tokoh tambahan) terdiri dari tokoh


13

protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh protagonis merupakan

pengejawantahan dari norma-norma dan nilai-nilai yang idela bagi

pembaca (Altenbernd dan Lewis 1966:59). Sementara itu, menurut

(Sudjiman 1991:17-18), tokoh protagonis adalah tokoh yang memegang

peran pimpinan didalam cerita. Dalam cerita rekaan juga terdapat tokoh

antagonis yaitu tokoh penyebab konflik (Nurgiyantoro 1998:179). Tokoh

antoganis adalah tokoh yang menjadi penentang utama atau yang

berposisi dengan protagonis (Nurgiyantoro 1998:179; Sudjiman 1991:

19). Tokoh bawahan, menurut Grimes (1975:43), adalah tokoh yang tidak

sentral kedudukannya didalam cerita, tetapi kehadirannya diperlukan

untuk menunjang atau mendukung tokoh utama. Ada tokoh tambahan

yang menjadi kepercayaan tokoh protagonis yang disebut tokoh andalan

(Sudjiman 1986:75; 1991:20).

2.1.3. Pengertian Tokoh Utama

Seperti yang sudah dipaparkan diatas, bahwa tokoh dalam cerita rekaan

ada bermacam-macam, salah satunya adalah tokoh sentral atau sering disebut

dengan tokoh utama.

Menurut Nurgiyantoro (2002:176-177), tokoh utama adalah tokoh yang

diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh

yang paling banyak diceritakan, baik sebagai kejadian maupun yang dikenai

kejadian. Tokoh utama menurut Nurgiyantoro digolongkan dari segi peranan atau
14

tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah cerita, disamping itu dalam kategori ini

juga terdapat tokoh tambahan.

Sudjiman (1998:71) mengatakan bahwa tokoh utama disebut juga tokoh

sentral. Tokoh ini memegang peranan penting dan selalu menjadi tokoh sentral,

dalam cerita yang menjadi sorotan kisahan dalam cerita yang menjadi sorotan

kisahan dalam cerita. Tokoh utama masuk kedalam jenis tokoh berdampingan

dengan tokoh bawahan.

Tokoh utama adalah tokoh yang mempunyai peranan penting didalam

cerita, lebih sering muncul dan juga sering dibicarakan oleh pengarangnya

(Aminuddin 2002:79). Tokoh utama disebut juga tokoh inti. Dari ketiga pendapat

ahli tersebut diatas, pendapat Aminuddin dan Nurgiyantoro yang lebih mendekati

pengertian tokoh utama yang sebenarnya karena mereka menambahkan adanya

tokoh yang sering muncul dan sering dibicarakan oleh pengarang atau paling

banyak diceritakan oleh pengarang.

2.1.4 Ciri-ciri Tokoh Utama

Dalam sebuah cerita rekaan, kita dapat melihat adanya berbagai macam

tokoh baik tokoh utama/sentral dan tokoh bawahan. Dalam membedakan antara

tokoh utama dengan tokoh bawahan terdapat ciri-ciri yang melekatinya. Ciri-ciri

yang akan dibahas adalah ciri-ciri tokoh utama.

Kriteria yang digunakan untuk menentukan cirri-ciri tokoh utama bukan

hanya frekuensi atu seringnya kemunculan tokoh itu didalam cerita, melainkan

intensitas keterlibatannya didalam peristiwa-peristiwa yang membangun cerita.


15

Tokoh utama ini yang paling tinggi intensitas keterlibatannya didalam peristiwa-

peristiwa yang membangun cerita, wktu yang digunakan untuk menceritakan

pengalaman tokoh utama lebih banyak dibandingkan dengan waktu yang

digunakan untuk mengisahkan tokoh-tokoh lain, tokoh utama selalu berhubungan

dengan semua tokoh yang ada didalam cerita sedangkan tokoh-tokoh lain tidak

saling berhubungan, menentukan perkembangan plot secara keseluruhan. Tokonj

ini selalu hadir sebagai pelaku atau yang dikenai kejadian dan konflik

(Nurgiyantoro 2002:177). Ditambahkan oleh pendapat Aminuddin (2002:89)

bahwa tokoh utama merupakan tokoh yang sering diberi komentar dan selalu

dibicarakan oleh pengarang. Tokoh utama juga daapt dirunut dari judul, misalnya

novel Siti Nurbaya yang secara langsung kita dapat mengetahuinya siapa tokoh

utamanya yaitu Siti Nurbaya.

2.1.5 Pengertian Penokohan

Penokohan berasal dari kata tokoh yang berarti pelaku. Karena yang

dilukiskan mengenai watak-watak tokoh atau pelaku cerita, maka disebut

perwatakan atau penokohan.

Dengan demikian perwatakan atu penokohan adalah pelukisan

tokoh/pelaku cerita melalui sifat-sifat, sikap dan tingkah lakunya dalam cerita.

Moh. Thani Ahmad (dalam Dewan Bahasa 1974:509) menyebutkan adalah sifat

menyeluruh dari manusia yang disorot, termasuk perasaan, keindahan ,cara

berpikir, cara bertindak, dan sebagainya. Badudu dan Zain (1996:152)

mengartikan tokoh sebagai pemegang peran penting dalam cerita-cerita roman,


16

novel dan cerita pendek. Pendapat senada juga dikemukakan oleh Sudjiman (1991

:16) bahwa tokoh utama adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa dalam

beberapa peristiwa cerita. Menurut Suyati (1996:43) tokoh adalah individu rekaan

yang mengalami peristiwa atau perlakuan dalam tindakan.

Tokoh dan penokohan merupakan unsur yang penting dalam karya

naratif. Suatu peristiwa terjadi oleh karena adanya aksi/reaksi tokoh-tokoh. Tanpa

tokoh tidak akan mungkin ada peristiwa cerita.

Penokohan atau perwatakan adalah cara penyajian tokoh dan penyajian

citra tokoh baik dalam keadaan lahir maupun batin. Sedangkan watak adalah

kualitas tokoh, kualitas nalar dan jiwanya yang membedakan tokoh dengan tokoh

lain (Suharianto 1982:31). Menurut Jones (dalam Nurgiyantoro 1995:165)

penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang

ditampilkan dalam sebuah cerita. Penokohan menurut Aminuddin (1995:79)

adalah cara pengarang menampilkan tokoh/pelaku itu dalam cerita.

Menurut Nurgiyantoro (2000:165) penokohan itu juga disamakan artinya

dengan karakter dan perwatakan menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu

dengan watak tertentu dalam sebuah cerita. Penokohan adalah penciptaan citra

tokoh dalam karya sastra (Kridalaksana 1997:165). Istilah penokohan lebih luas

pengertiannya daripada tokoh dan perwatakan, sebab mencakup masalah siapa

tokoh cerita, bagaimana perwatakan dan bagaimana penempatan dan pelukisannya

dalam cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada

pembaca.
17

Penyajian watak, penciptaan citra, atau pelukisan gambaran tentang

seseorang yang ditampilkan sebagai tokoh cerita disebut penokohan (Jones 1986 :

33; Sudjiman 1986:53; 1991:23). Watak adalah kualitas tokoh yang meliputi

kualitas nalar dan jiwa yang membedakannya dengan tokoh cerita yang lain

(Sudjiman 1986 : 80; 1991 : 23). Watak itulah yang menggerakkan tokoh untuk

melakukan perbuatan tertentu sehingga cerita menjadi hidup.

Beberapa pendapat diatas dapat dikatakan bahwa penokohan yang

berhasil menggambarkan tokoh-tokoh tersebut dan mengembangkan watak dari

tokoh-tokoh tersebut yang memiliki tipe-tipe manusia yang dikehendaki tema dan

amanat, perkembangan haruslah wajar dan dapat diterima berdasarkan hubungan

kausalitas.

2.1.6 Cara Mengenali Watak Tokoh

Seperti yang telah dikemukakan dalam uraian diatas bahwa cirri-ciri

tokoh utama adalah tokoh itu paling banyak diceritakan pengarang, selalu

berhubungan dengan tokoh lain, selaslu menjadi sorotan, diutamakan, berperan

penting, dan menentukan perkembangan plot secara keseluruhan. Tokoh ini selalu

hadir sebagai pelaku atau yang dikenai kejadian atau konflik (Nurgiyantoro 2002 :

177). Ditambahkan oleh Aminuddin (2002 : 89) bahwa tokoh utama merupakan

tokoh yang sering diberi komentar dan selalu dibicarakan oleh pengarang. Tokoh

utama juga dapat dirunut dari judul, misalnya novel Siti Nurbaya yang secara

langsung kita dapat mengetahui tokoh utamanya adalah Siti Nurbaya.


18

Setelah mengungkapkan ciri-ciri tokoh utama, kita beralih pada

bagaimana cara mengenali watak dari tokoh utama tersebut. Berdasarkan ciri

tokoh utama diatas, tokoh utama merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan

atau mendominasi peristiwa. Untuk mengetahui dominasi tokoh dalam cerita, kita

lebih dulu mendata peristiwa atau insiden diperlukan untuk menentukan tokoh

utama.

Menurut Luxemburg (dalam Nugiyantoro 2002 : 177), peristiwa adalah

peralihan dari suatu keadaan yang lain. Sedangkan Sukada ( 1987 : 57)

menggunakan istilah insiden untuk menyebut even sehubungan dengan peristiwa

atau kejadian yang terkandung dalam cerita, baik besar atau kecil dan didalam

insiden terkandung ide, tendens, amanat, motif, latar yang dituangkan pengarang.

Berdasarkan pendapat-pendapat diatas disimpulkan bahwa istilah insiden dan

peristiwa artinya sama, hanya istilah saja yang beda.

Untuk mengenali watak atau karakter tokoh utama dapat dilihat dari

apa yang dikatakan dan apa yang dilakuakan (Abrams 1981 : 20). Identifikasi

tersebut adalah didasarkan pada konsistensi atau keajegannya. Dalam artian

konsistensi sikap, moralitas pelaku, dan pemikiran dalam memecahkan,

memandang dan bersikap dalam menghadapi berbagai peristiwa. Dengan bahasa

yang berbeda, David Daiches menyebutkan bahwa karakter atau watak tokoh

utama cerita fiksi dapat muncul dari sejumlah peristiwa atau insiden dan

bagaimana reaksi tokoh utama itu pada peristiwa yang dihadapi (Daiches 1948 :

352). Oleh karena itu diperlukan cara atau teknik untuk mengenali watak tokoh.
19

Cara mengenali watak tokoh bisa juga dengan menggunakan metode

penokohan. Ada beberapa metode penokohan yang masing-masing memiliki

kelebihan dan kekurangannya. Pertama menurut Hudson (1963 : 146-147),

metode analitik atau metode langsung. Pengarang melalui narator memaparkan

sifat-sifat, hasrat, pikiran dan perasaan tokoh, kadang-kadng disertai komentar

tentang watak tersebut. Cara yang mekanis ini memang sederhana dan hemat,

tetapi tidak menggalakkan imajinasi pembaca. Pembaca tidak dirangsang untuk

membentuk gambarannya tentang si tokoh (Sudjiman 1991 : 24).

Kedua, metode tidak langsung yang disebut juga metode ragaan atau

metode dramatik. Watak tokoh dapat disimpulkan pembaca dari pikiran,

percakapan, cakapan, dan lakukan tokoh yang disajikan pengarang melalui

narrator. Bahkan watak juga dapat disimpulkan dari penampilan fisik tokoh, dari

gambaran lingkungannya, serta dari pendapat dan cakapan tokoh-tokoh yang lain

tentang tokoh utama. Metode ini lebih hidup dan menggalakkan pembaca untuk

menyimpulkan watak tokoh (Sudjiman 1991 : 26). Para kritikus modern pada

umumnya beranggapan bahwa secara intrinsik metode dramatik bermutu lebih

tinggi daripada metode analitik (Sudjiman 1991 : 27).

Metode yang ketiga, menurut Kenney (1996 : 36), adalah metode

kontekstual. Dengan metode ini watak tokoh dapat disimpulkan dari bahasa yang

digunakan narator didalam mengacu kepada tokoh cerita. Meskipun demikian

ketiga metode tersebut dapat dipakai secara bersama-sama dalam menggarap

sebuah novel.
20

Selain cara yang sudah disebutkan diatas, diperlukan juga teknik yang

digunakan dalam menampilkan tokoh dalam suatu cerita disebut teknik

penokohan yang digunakan oleh pengarang dalam menentukan karakteristik

tokoh-tokoh melalui tiga dimensi, yaitu :

a. Dimensi fisilogis, adalah ciri-ciri badan atau ragawi, misalnya usia,

jenis kelamin, keadaan tubuh, ciri muka, serta ciri fisik yang lain.

b. Dimensi psikologis, adalah ciri-ciri rohani atau jiwa, misalnya

mentalitas, temperamen, cipta, rasa, karsa, sikap, serta rohani yang

lain.

c. Dimensi sosiologis, adalah ciri kehidupan didalam masyarakat,

misalnya status sosial, pekerjaan atau jabatan dalam masyarakat,

jenjang pendidikan.

d. Pandangan hidup, agama, ideologi, aktivitas sosial, dan ciri sosiologis

yang lain.

Suardi Tasrif (dalam Lubis 1960 : 180), mengemukakan 7 macam cara

melukiskan perwatakan tokoh cerita, yaitu :

a. Physical description : menggambarkan bentuk lahir dari pelaku cerita.

b. Portroyal of throught streem of concius : pelukisan jalan pikiran atau

apa yang terlintas dalam pikiran tokoh.

c. Reaction to event : penggambaran tentang bagaimana reaksi pelaku

terhadap kejadian-kejadian.

d. Direct auther analysis : menganalisis langsung watak tokoh.


21

e. Discussion of environment : pelukisan keadaan sekitar lingkungan

pelaku, seperti keadaan kamar yang biasa memberi kesan jorok dan

sebagainya.

f. Reaction of others about to character : pelukisan mengenai bagaimana

pandangan pelaku lain terhadap tokoh utama.

g. Conversation of about to character : perbincangan pelaku-pelaku lain

terhadap tokoh utama, untuk memberi kesan terhadap tokoh utama.

2.2. Gender

2.2.1. Pengertian Gender

Gender menurut Fakih (1999 : 77) adalah perbedaan perilaku antara laki-

laki dan perempuan yang dokonstruksikan secara social, yakni perbedaan yang

bukan ketentuan Tuhan melainkan diciptakan oleh manusia (laki-laki dan

perempuan) melalui proses social dan kultur yang panjang.

Caplan (dalam Fakih 1999:72) menguraikan bahwa perbedaan perilaku

antara laki-laki dan perempuan tidaklah sekedar biologi, namun melalui proses

social dan cultural. Oleh karena itu gender berubah dari waktu kewaktu, berubah

dari tempat ketempat bahkan dari kelas ke kelas, sedangkan jenis kelamin biologis

(seks) akan tetap tidak berubah.

Rahardjo (dalam Teguh 1995 : 5) menerangkan gender adalah suatu

istilah untuk menerangkan bagaimana suatu budaya menginterpretasikan

perbedaan kelamin yaitu dalam memberikan arti seseorang yang lahir sebagai
22

wanita serta stereotip gender yang berkaitan dengan citra, peran, dan kedudukan

didalam masyarakat.

Pendapat Hubies ( dalam Anshori 1997 : 24) tentang gender adalah

suatu sistem peran dan hubungan perempuan dan laki-laki yang tidak ditentukan

biologisnya tetapi lingkungan sosial, politik dan ekonomi. Kesemuanya dibangun

berdasarkan konvensi yang lebih modern, yang tidak menempatkan suatu

kelompok sebagai pusat dan membuang kelompok lainnya ke posisi marginal. Hal

ini akan berarti hilangnya pertentangan peran laki-laki dan perempuan diberbagai

sektor kehidupan, sehingga akan terjadi pergeseran peran. Wanita tidak lagi

ditempatkan sebagai konco wingking, tetapi sebagai mitra dalam pengertian yang

luas dan memiliki kesempatan saam berdasarkan kemampuan yang dimilki.

Konsep gender yang dikembangkan Hubies (dalam Anshori 1997 : 25)

meliputi :

1. Gender Different, yaitu perbedaan-perbedaan karakter, perilaku, harapan

yang dirumuskan untuk tiap-tiap orang menurut jenis kelamin.

2. Gender Gap, yaitu perbedaan dalam hubungan berpolitik dan bersikap

antara laki-laki dan perempuan.

3. Genderization, yaitu acuan konsep penempatan jenis kelamin pada

identitas diri dan pandangan kepada orang lain.

4. Gender Identity, yaitu perilaku yang seharusnya dimiliki oleh seseorang

menurut jenis kelaminnya.

5. Gender Role, yaitu peran perempuan dan laki-laki yang diterpakan dalam

bentuk nyata menurut budaya setempat yang dianut.


23

Konsep gender yang dikembangkan oleh Mangun Wijaya (dalam

Sumartan 1995 : 286-287) bahwa munculnya ketidakadilan gender disebabkan

karena adanya ketidakpuasan dengan konsep seks yang melihat perbedaan antara

kaum laki-laki dan perempuan dari segi biologisnya. Konsep ini hanya melihat

perbedaan jenis kelamin antara laki-laki dengan perempuan, akan mengakibatkan

perbedaan perlakuan yang diterima oleh laki-laki dan perempuan tersebut di

dalam kehidupannya di masyarakat.

2.2.2. Perbedaan Gender

Untuk memahami konsep gender harus dibedakan kata gender dengan

kata seks (jenis kelamin). Pengertian jenis kelamin merupakan penafsiran atau

pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang

melekat pada jenis kelamin tertentu. Secara permanen tidak berubah, tidak dapat

dipertukarkan dan merupakan ketentuan biologis atau sering dikatakan sebagai

ketentuan Tuhan atau kodrat. Sedangkan konsep gender adalah sifat yang melekat

pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksikan secara sosial

maupun kultural. Ciri dan sifat itu dapat dipertukarkan antara laki-laki dengan

perempuan.

Pemahaman dan pembedaan antara konsep seks dengan gender sangatlah

penting dalam melakukan analisis untuk memahami persoalan-persoalan

ketidakadilan sosial yang menimpa kaum perempuan. Hal ini disebabkan karena

ada kaitan yang erat antara perbedaan gender (gender differences) dan
24

ketidakadilan gender (gender inequalities) dengan struktur ketidakadilan

masyarakat secara lebih luas (Fakih 2001:3-4).

Sejarah perbedaan gender (gender differences) antara manusia jenis lki-

laki dengan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Perbedaan

tersebut dikarenakan oleh banyak hal, diantaranya benetuk, disosialisasikan,

diperkuat, bahkan dikonstruksi secara sosial maupun kultural, melalui ajaran

keagamaan maupun Negara yang pada akhirnya dianggap menjadi ketentuan

Tuhan seolah-olah bersifat biologis yang tidak biasa diubah lagi. Sehingga

perbedaan tersebut dianggap dan dipahami sebagai kodrat laki-laki dan kodrat

perempuan.

Perbedaan gender sesungguhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang

tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities). Perbedaan tersebut

melahirkan berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki maupun perempuan.

Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur dimana baik kaum laki-laki

dan perempuan menjadi korban dari sistem tersebut.

2.2.3. Munculnya Gerakan Emansipasi

Perbedaan gender yang menyebabkan terjadinya ketidakadilan gender

tersebut, dapat dilihat melalui pelbagai manifestasi ketidakadilan yang ada.

Gerakan emansipasi merupakan salah satu menifestasi ketoidakadilan tersebut.

Oleh karena itu kaum perempuan berusaha untuk menghilangkan ketidakadilan

tersebut dengan menggerakkan emansipasi disegala bidang. Di Indonesia gerakan

ini pertama kali dicetuskan oleh R.A Kartini. Melalui tenaganya mendidik dan
25

mengajar kaum wanita pada zamannya itu, ia telah membuka hati dan pikiran

kaum wanita untuk lebih maju. Gerakan emansipasi ini kemudian diteruskan oleh

pejuang-pejuang wanita seperti Dewi Sartika yang mendirikan sekolah khusus

untuk wanita.

Selain di Indonesia, gerakan emansipasi wanita juga terjadi dibelahan

dunia yang lain seperti di Amerika. Gerakan ini muncul disebabkab oleh beberapa

aspek, diantaranya adalah aspek politik, aspek agama, konsep sosialis dan konsep

marxis. Ketiga aspek ini senantiasa menjadi landasan gerakan emansipasi atau

lebih dikenal dengan sebutan gerakan feminisme. Tujuan kaum wanita melalui

gerakan emansipasi ini adalah untuk tidak mengungguli atu mendominasi kaum

laki-laki sebagai balas dendam dengan menindas atau menguasai kaum laki-laki.

Tujuan yang sebenarnya dari gerakan ini adalah untuk meningkatkan

kedudukan dan derajat kaum wanita agar sama atau sejajar dengan kedudukan

derajat kaum laki-laki. Untuk mencapai tujuan ini dengan cara memperoleh hak

dan peluang yang sama dengan yang dimiliki oleh kaum laki-laki, kemudian

munculah istilah equal right’s movement atau gerakan persamaan hak. Cara yang

lain adalah dengan membebaskan kaum perempuan dari ikatan lingkungan

domestik atau lingkungan keluarga atau lebih dikenal dengan istilah women’s

liberation movement, disingkat dengan women’s lib, atau women’s emancipation

movement, yatiu gerakan emansipasi wanita.

Pelopor dari gerakan ini adalah Elizabeth Cady Stanton, Lucretia Mott,

dan Susan B. Anthony. Dalam konvensi di Seneca Falls, para pelopor itu

menggalang dukungan bagi tuntutan agar para wanita diberi hak yang sama
26

dibidang hukum, ekonomi dan sosial. Kendala yang dihadapi pada masa-masa itu

adalah nilai-nilai Victoria (Inggris) dengan ciri tradisional yang mengharuskan

kaum perempuan menjaga kesalehan serta kemurnian mereka, bersiakap pasif dan

menyerah, rajin mengurus rumah tangga dan keluarga atau memelihara

domestisitas (www.sekitarkita.com 2002)

Manifestasi ketidakadilan gender yang menyebabkan munculnya

gerakan emansipasi, sebagai contoh kasus dibidang ekonomi. Program pemerintah

yang menjadi penyebab kemiskinan kaum perempuan. Misalnya program

swasembada pangan atau revolusi hijau (green revolution) secara eknomis telah

menyingkirkan kaum perempuan dari pekerjaannya sehingga memiskinkan

mereka. Pemiskinan terjadi juga didalam rumah tangga, masyarakat atau kultur

dan bahkan Negara (Fakih 2001:14).

2.3. Emansipasi

2.3.1. Pengertian Emansipasi

Emansipasi adalah persamaan hak dalam berbagai bidang atau aspek

kehidupan dalam masyarakat. Perjuangan wanita yang menuntut kesejajaran

dengan pria, sesuai dengan norma-narma kesusilaan, agama dan batas-batas yang

ada pada diri wanita sehingga tumbuh keseimbangan pikir dan rasa yang utuh

kemudian timbul menjadi keharmonisan.

Menurut Nadiyah (dalam Widoyo 1991 : 16) bahwa emansipasi wanita

adalah keseimbangan partisipasi antara pria dan wanita. Madya berpendapat

bahwa emansipasi wanita kemajuan secara harmonis yaitu bahwa antara pria dan
27

wanita tidak harus sama sebab kesejajaran wanita adalah untuk mengembangkan

potensi sehingga mampu berfungsi secar harmonis (Widoyo 1991 : 16).

Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa emansipasi wanita

adalah bukan sekadar emansipasi berhadapan dengan persamaan hak dengan pria,

tetapi emansipasi manusia sejati, baik secara lahiriah maupun rohaniah.

Emansipasi harus mampu melahirkan wanita yang mempunyai watak dan

kepribadian yang berintegritas tinggi, yang sanggup menepis dan menyingkirkan

segala hal yang melecehkan dan merendahkan kehormatan dan martabat wanita

dengan gagah berani bersama pria menegakkan nilai-nilai kemanusiaan,

kebenaran dan keadialan.

2.3.2. Gerakan Emansipasi di Berbagai Bidang

Gerakan emansipasi terjadi disegala bidang kehidupan. Diantaranya

dibidang politik, hukum, ekonomi, pendidikan, dan kehidupan keluarga. Karena

gerkan emansipasi yang terjadi diberbagai bidang kehidupan ini, maka diperlukan

suatu pengklasifikasian/penggolongan untuk membedakan antara emansipasi

dibidang yang satu dengan emansipasi dibidang yang lain. Berikut akan dijelaskan

pengklasifikasian gerakan emansipasi tersebut.

2.3.2.1 Emansipasi di Bidang Politik

Biasanya gerakan emansipasi yang terjadi dibidang politik disebabkab

karena ketidakadilan gender yang terjadi ditingkat Negara. Banyak kebijakan dan

hokum Negara, perundang-undangan serta program kegiatan yang masih


28

mencerminkan sebagian dari manifestasi ketidakadilan gender. Salah satu contoh

adanya asumsi bahwa kedudukan seorang presiden sebaiknya dijabat oleh seorang

laki-laki. Sebagian orang menganggap jabatan tersebut jika dipegang oleh wanita

akan menimbulkan kekacauan. Wanita dianggap tidak mampu memikul tanggung

jawab yang dibebankan kepadanya. Apa yang telah diuraikan diatas merupakan

hal yang disebut subordinasi. Kebijakan dibuat tanpa “ menganggap penting “

kaum perempuan. Anggapan bahwa kaum perempuan memiliki pembawaan “

emosional “ sehingga dianggap tidak tepat tampil sebagai pemimpin partai atau

menjadi manajer bahkan sebagai seorang presiden, adalah proses subordinasi dan

diskriminasi berdasarkan gender. (Fakih 2001 : 74).

Melalui gerakan emansipasi, wanita mencoba untuk menuntut keadilan

agar mereka diakui dan diberi kesempatan untuk ikut berpartisipasi dalam politik

dan menjadi mitra yang sejajar dengan kaum laki-laki. Salah satu tuntutan wanita

adalah agar mereka bisa mempertahankan keputusan sendiri tanpa adanya

intervensi dari kaum laki-laki.

2.3.2.2 Emansipasi di Bidang Hukum

Emansipasi di bidang hukum banyak terjadi di masyarakat. Emansipasi

terjadi sebagai akibat adanya ketidakadilan gender di bidang hukum. Sistim

perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintah seringkali merugikan kaum

perempuan. Diantaranya hukum mengenai kekerasan terhadap kaum perempuan

baik fisik maupun non fisik, mengenai hak waris dan sebagainya. Dianggap

merugikan kaum perempuan karena pelaku tidak mendapatkan hukuman yang

berat atau bahkan terbebas dari hukuman.


29

Melalui gerakan emansipasi di bidang hukum diharapkan tidak lagi

merugikan kaum perempuan dan memberikan keadilan yang seadil-adilnya

terhadap kepentingan kaum perempuan sehingga mereka merasakan terlindungi

dari ketidakadilan gender di bidang hukum yang dilakukan oleh kaum laki-laki.

2.3.2.3 Emansipasi di Bidang Ekonomi

Pembangunan dewasa ini menuntut adanya partisipasi dari semua pihak.

diharapkan baik laki-laki maupun perempuan untuk ikut berpartisipasi. Menurut

teori neoklasik dengan perspektif mutu modal manusia (human capital),

perspektif ini menekankan keterlibatan perempuan di pasar kerja (sektor publik)

merupakan tututan pembangunan dan hal yang tidak dapat dielakkan dalam proses

modernisasi. Tanpa keterlibatan itu sulit bagi kaum perempuan untuk merubah

dan memperbaiki nasib dan memperbaiki kualitas hidup. Keterlibatan mereka

dalam pasar kerja diharapkan secara lambat laun dapat memperbaiki status

perempuan.

Didalam dunia kerja memungkinkan bagi perempuan untuk

memperbaiki ketrampilan dan mutu kehidupan ketimbang tetap bertahan di sektor

domestik. Pembangunan dan modernisasi membuka kesempatan bagi kaum

perempuan untuk memasuki sektor publi (modern) untuk mendapatkan upah.

Peluang itu dapat membantu kaum perempuan keluar dari kungkungan sektor

domestik atau sektor tradisional (pertanian) biasanya bekerja untuk keluarga

tanpa upah (Bhasin1993).

Namun pada kenyataannya malah terjadi pemiskinan ekonomi

(marginalisasi) terhadap kaum wanita. Meskipun tidak setiap marginalisasi


30

perempuan disebabkan oleh ketidakadilan gender, namun sebagian besar

marginalisasi perempuan disebabkan oleh ketidakadilan tersebut. Misalnya

banyak perempuan desa tersingkirkan dan menjadi miskin akibat program

pertanian Revolusi hijau yang hanya memfokuskan pada petani laki-laki. Hal ini

karena asumsinya bahwa petani itu identik dengan petani laki-laki. Atas dasar itu

banyak petani perempuan tergusur dari sawah dan pertanian, bersamaan dengan

tergusurnya ani-ani, kredit untuk petani yang artinya petani laki-laki serta

pelatihan pertanian yang hanya ditujukan kepada petani laki-laki.

Selain pekerjaan itu banyak sekali pekerjaan yang dianggap sebagai

pekerjaan perempuan seperti,“ guru taman kanak-kanak atau sekretaris” yang

dinilai lebih rendah dibanding pekerjaan laki-laki dan seringkali berpengaruh

terhadap perbedaan gaji antara kedua jenis pekerjaan tersebut. Lebih ekstrim lagi

kesempatan wanita untuk lebih maju seringkali dihambat bahkan dijegal oleh

kaum laki-laki. Mereka tidak mau tersaingi atau bahkan tidak mau melihat wanita

yang secara ekonomi lebih dari kaum laki-laki. Disamping itu adanya keyakinan

masyarakat bahwa laki-laki adalah pencari nafkah (bread winer) misalnya maka

setiap pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan dinilai hanya sebagai

‘tambahan” dan oleh karenanya boleh saja dibayar lebih rendah (Fakih 2001:5).

Tuntutan wanita dengan gerakan emansipasi di bidang ekonomi ini

adalah agar mereka diberi kebebasan untuk bekerja sesuai dengan bakat dan

kemampuannya, serta diperlakukan sejajar dengan kaum laki-laki. Kesempatan

untuk lebih maju terbuka lebar dan tidak ada hambatan yang sering dikaitkan

dengan masalah gender. Peluang kerja disektor modern membuka kemungkinan


31

bagi kaum perempuan untuk menentukan pilihan-pilihan yang lebih baik dalam

upaya mengembangkan diri serta memperbaiki kondisi kehidupan antara lain

dengan meningkatkan pendidikan dan ketrampilan.

2.3.2.4 Emansipasi di Bidang Pendidikan

Adanya subordinasi dan marginalisasi perempuan terjadi karena laki-laki

menganggap kaum perempuan tidak memilki kemampuan yang paling tidak

seperti laki-laki. Hal ini dikarenakan kaum wanita tidak diberi kesempatan untuk

mengenyam pendidikan yang setinggi-tingginya. Berbeda dengan kaum laki-laki,

mereka diberi kesempatan dan fasilitas lebih untuk mendapatkan pendidikan

sehingga mereka bisa bekerja di segala bidang.

Anggapan masyarakat bahwa perempuan nantinya akan kedapur,

mengapa harus sekolah tinggi-tinggi, menyebabkan kaum wanita tidak maju.

Pembodohan tersebut dimaksudkan agar wanita selalu berada dibawah kaum laki-

laki, sehingga mereka bisa diperlakukan dengan sewenang-wenang oleh kaum

laki-laki.

Oleh karena itu melalui gerakan emansipasi wanita ingin mendapatkan

kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang stinggi-tingginya seperti yang

didapat oleh kaum laki-laki.

2.3.2.5 Emansipasi di Lingkungan Keluarga

Selain di bidang politik, ekonomi, maupun pendidikan ketidakadilan

gender juga terjadi dilingkungan keluarga (domestik). Bagaimana proses

pengambilan keputusan, pembagian kerja dan interaksi antar anggota keluarga

dalam banyak rumah tangga sehari-hari dilaksanakan dengan menggunakan


32

asumsi bias gender. Oleh karenanya rumah tangga juga menjadi tempat kritis

dalam mensosialisasikan ketidakadialn gender. Yang terakhir dan yang paling

sulit untuk diubah adalah ketidakadilan gender tersebut telah mengakar didalam

keyakinan dan menjadi ideologi kaum perempuan maupun laki-laki. Dengan

demikian dapatlah disimpulkan bahwa manifestasi ketidakadilan gender ini telah

mengakar mulai dalam keyakinan masing-masing orang, keluarga hingga pada

tingkat Negara yang bersifat Global (Fakih 2001:23).

Dilingkungan keluarga peran gender perempuan adalah mengelola

rumah tangga, maka banyak perempuan menanggung beban kerja domestik lebih

banyak dan lebih lama (burden). Dengan kata lain peran gender perempuan

tersebut, telah mengakibatkan tumbuhnya tradisi dan keyakinan masyarakat

bahwa mereka harus betanggung jawab atas terlaksananya keseluruhan pekerjaan

domestic. Sosisalisasi peran gender tersebut menimbulkan rasa bersalah dalam

diri perempuan jika tidak menjalankan tugas-tugas domestik tersebut. Sedangkan

bagi kaum laki-laki tidak saja merasa bukan tanggung jawabnya, bahkan dibanyak

tradisi secara adat laki-laki dilarang terlibat dalam pekerjaan domestik. Beban

kerja tersebut menjadi dua kali lipat bagi kaum perempuan yang bekerja diluar

rumah.

Selain bekerja diluar, mereka juga masih harus bertanggung jawab atas

seluruh pekerjaan domestik. Beban kerja yang dipikul oleh kaum wanita sangat

berat dan seringkali kaum laki-laki tidak menghargai mereka. Kekerasan baik fisik

maupun batin seringkali kaum laki-laki berikan kepada kaum wanita jika dalam

menyelesaikan pekerjaan domestik atau yang lain dirasa tidak maksimal.


33

Oleh karena itu kaum perempuan juga mengusahakan agar kaum laki-

laki juga mendapatkan bagian dalam pekerjaan domestik, meskipun dalam skala

yang tidak besar. Kaum wanita juga menuntut agar dalam menyelesaikan

pekerjaan domestic ini kaum laki-laki ikut membantu tidak hanya memberikan

perintah, memarahi atau mencela pekerjaan domestik kaum perempuan yang tidak

maksimal. Dalam hal ini kaum laki-laki menjadi mitra yang sejajar dengan kaum

perempuan.

2.4 Pandangan Orang tentang Emansipasi

Emansipasi wanita merupakan masalah yang dari dulu hingga sekarang

masih menjadi perbincangan yang serius di masyarakat. Hal ini menimbulkan

berbagai pandangan atau asumsi yang berbeda-beda. Ada yang mendukung/pro

dengan emansipasi, ada juga yang menentang/kontra dengan emansipasi.

Beberapa pandangan yang beredar didalam masyarakat, antara lain

menganggap bahwa wanita sebagai pelengkap, manusia kelas kedua, tempatnya

dibelakang, dan punya kedudukan atau derajat yang lebih rendah dari kaum pria.

Sadar atau tidak warisan yang berakar dikalangan masyarakat turut mewarnai

pandangan dan sikap wanita tentang diri sendiri, maupun sikap kaum pria tentang

diri wanita. Dalam kenyataan dunia modern, yang ditandai dengan perkembangan

ilmu pengetahuan dan teknologi terasa ikut pula mengubah pandangan nilai-nilai

yang beredar dalam masyarakat tentang kaum pria.

Keberhasilan kaum wanita dalam peranan tertentu didalam

pembangunan masyarakat misalnya, sudah sering terdengar dan dapat disaksikan.


34

Ada wanita sukses dalam dunia kecantikan dan berbusana, sukses didalam dunia

perdagangan, mengusahakan rumah makan, mendirikan rumah sakit, dunia

pendidikan, ada pula wanita yang dikirim keluar angkasa sebagia astronot, polisi,

camat, menteri, duta besar, perdana menteri dan bahkan sebagai presiden juga ada.

Kenyataan diatas menunjukkan bahwa wanita telah membuktikan

kemampuannya, ia berhasil menempatkan diri sejajar dengan kaum pria, duduk

sama rendah berdiri sama tinggi. Wanita yang telah menemukan ajti dirinya,

memiliki martabat pribadi mampu menunjukkan kemandiriannya berdasarkan

bakat-bakatnya serta keahliannya yang persis sama dengan pria, kendatipun dari

sudut fisik wanita tidak dapat berubah menjadi pria. Kenyataan ini juga

menunjukkan bahwa emansipasi sudah diterima dengan baik oleh masyarakat.

Banyak juga kaum pria yang mengakui bahwa emansipasi yang dilakukan wanita

di berbagai bidang seperti ekonomi, sosial, politik, sangat membantu kaum pria

untuk menjadi mitra yang sejajar.

Namun pandangan yang menentang dalam masyarakat juga masih

banyak dilontarkan oleh kaum anti emansipasi baik kaum pria maupun kaum

wanitanya sendiri. Mereka berprasangka bahwa gerakan emansipasi wanita adalah

gerakan pemberontakan terhadap kaum laki-laki, upaya melawan pranata sosial

yang ada, misalnya lembaga/institusi rumah tangga, perkawinan maupun usaha

pemberontakan perempuan untuk mengingkari apa yang disebut kodrat. Dengan

adanya pemahaman yang salah tentang gerakan emansipasi wanita banyak pihak

yang menentang gerakan ini terutama dari pihak laki-laki. Pihak perempuanpun

ada yang menentang terutama mereka yang masih memegang teguh nilai-nilai
35

budaya tradisional yang masih kuat, yaitu ciri tradisional yang mengharuskan

wanita menjaga kesalehan serta kemurnian mereka, bersikap pasif menyerah, rajin

mengurus keluarga dan rumah tangga atau memelihara domestisitas. Namun

dimasyarakat kita masih pula mendengar dan melihat kenyataan-kenyataan

negative, yang menghinggapi kaum wanita, misalnya wanita yang bersedia

dijadikan isteri kedua, ketiga, atau piaraan, wanita diperkosa, dianiaya, dibunuh

dan lain-lain (Fakih 2001:3-4).

Didalam setiap pertemuan (lokakarya, seminar) wanita pada umunya

kurang banyak berbicara, lebih banyak diam, belum berani mengeluarkan

gagasan, kendati dalam hati nuraninya wanita memiliki bakat dan banyak gagasan

yang brilian.

Jati diri dan kemandirian wanita, sebenarnya suatu rangsangan untuk

menghantarkan kaum wanita bertanya dan merefleksikan diri secara jujur.

Seberapa jauh kaum wanita telah dapat membuktikan kemampuannya, bahwa

mereka telah dapat menempatkan diri sejajar dengan kaum pria, dan berapa

banyak wanita yang telah berusaha meningkatkan kualitas mencapai tingkatan

hidup yang sejajar dengan kaum pria tanpa mengabaikan jati diri secara kodrati

sebagai kaum pria.

Namun demikian, satu hal yang patut disayangkan adalah berbaurnya

kaum wanita dan laki-laki dalam banyak bidang, yang orang sebagai kemajuan,

ternyata disisi lain malah menyebabkan kemunduran pada pribadi wanita itu

sendiri.
36

Emansipasi bukanlah konsep yang berasal dari Timur. Ia diserap dari

perbendaharaan Barat, yang pada realisasinya posisi agama telah disisihkan,

digantikan oleh logika dan sementara itu semangat spiritualisme berganti pola

menjadi nafsu materialisme. Wanita Barat menuntut untuk mandiri secara

ekomoni. Gerakan yang hanya didasarkan pada materialisme ini telah mengikis

sedikit demi sedikit sisi perasaan kewanitaan, dan Barat bukannnya menambah

kehormatan wanita (Anshori 1992:200).

Gerakan emansipasi tesebut memberikan kebebasan kepada kaum pria

tetapi bukan berarti bebas tanpa batas. Ada norma-norma, nilai-nilai moral yang

membatasinya terutama norma-norma atau nilai-nilai agama. Sebenarnya agama

tidak melarang wanita untuk berperan langsung dalam kehidupan masyarakat

dengan gerakan emansipasinya, asalkan realisasi peran tersebut ditata berdasarkan

agama serta selalu didasarkan pada adanya perbedaan orientasi antara wanita dan

pria.

Novel Tiga Orang Perempuan karya Maria A. Sardjono memaparkan

bagaimana emansipasi para tokoh utamanya baik di bidang politik, hukum,

ekonomi, pendidikan, dan lingkungan keluarga. Tokoh Nenek cenderung

menentang emansipasi wanita karena latar belakang keluarganya yang berasal dari

kaum ningrat. Mereka masih memegang teguh adat Jawa yang masih dipengaruhi

sistem patriarkat. Ayah Nenek seorang bangsawan keraton sedangkan ibunya

adalah saudagar batik yang kaya raya. Kedua orang tua Nenek sejak kecil selalu

menanamkan nilai-nilai Jawa dalam diri Nenek. Sejak Umur tujuh tahun Nenek

dipingit, tidak boleh keluar rumah kecuali pada saat Nenek sekolah sampai
37

nantinya masa remaja Nenek akan dilamar oleh laki-laki pilihan dari keluarga

ningrat. Masa pingitan dilalui nenek dengan berbagai kegiatan kewanitaan seperti

belajar memasak, menjahit, mengurus rumah tangga dan berbagai pengetahuan

mengenai urusan rumah tangga. Dalam diri Nenek ditanamkan nilai-nilai bahwa

seorang wanita harus berani bersikap pasrah, nrimo, sabar, dan mengabdi pada

suami dan nilai-nilai sosial lainnya. Hal tersebut yang menyebabkan Nenek

cenderung menentang emansipasi wanita.

Tokoh Ibu sangat mendukung emansipasi wanita. Hal tersebut dilatar

belakangi pengalaman masa lalu Ibu sewaktu kecil. Orang tua Ibu (Kakek dan

Nenek) hidup dalam perkawinan poligami. Kakek mempunyai banyak selir. Suatu

ketika saat Nenek mengandung adik yang diidam-idamkan Ibu akan dilahirkan,

Kakek tidak ikut menemani proses persalinan. Kakek pergi ke tempat selirnya

yang baru. Hal itu mengakibatkan adik Ibu meninggal. Karena peristiwa itu, Ibu

bertekad tidak akan mau diperlakukan sewenang-wenang oleh suaminya kelak

dalam perkawinan. Bahkan, Ibu bertekad akan mengungguli suami maupun laki-

laki manapun di bidang politik, hukum, ekonomi, dan pendidikan.

Tokoh Gading mendukung emansipasi wanita di bidang politik, hukum,

ekonomi, pendidikan, dan di lingkungan keluarga dilatarbelakangi lingkungan

keluarga yang yang demokratis, berwawasan modern dan pendidikan yang tinggi.

Dia berpandangan bahwa gerakan emansipasi wanita memang seharusnya

diperjuangkan wanita agar mereka mendapat kesempatan untuk maju dan

mengembangkan potensi serta bakat yang dimilikinya.


38

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Sasaran Penelitian

Sasaran penelitian ini adalah tentang emansipasi pada novel Tiga Orang

Perempuan karya Maria A. Sardjono. Lebih rinci penelitian ini meneliti tentang

gambaran dan pandangan tiga tokoh utama wanita dari tiga generasi yang berbeda

tentang emansipasi pada novel Tiga Orang Perempuan karya Maria A. Sardjono.

Sumber data penelitian ini adalah novel Tiga Orang Perempuan karya

Maria A. Sardjono. Penelitian bersumber dari keseluruhan teks novel Tiga Orang

Perempuan karya Maria A. Sardjono yang diterbitkan oleh PT. Gramedia Pustaka

Utama pada tahun 2002 dan pernah juga diterbitkan oleh SAN Agency.

3.2. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan objektif. Menurut Abrams

(dalam Baribin 1987 : 33) pendekatan objektif adalah pendekatan yang dipandang

sebagai keseluruhan yang tersusun dari bagian-bagian yang berjalinan erat secara

batiniah, yang menghendaki pertimbangan, dan analisis dengan kriteria unsure

intrinsik berdasarkan keberadaannya, seperti kompleksitas, koherensi,

keseimbangan, integritas, dan saling hubungan antara unsur-unsur pembentuknya.

Analisis ini dilakukan dengan mengidentifikasi dan mendeskripsikan unsure novel

yaitu tokoh dan penokohan. Penelitian ini menggunakan pendekatan objektif

sebab penelitian ini memfokuskan pada unsur-unsur yang terdapat pada karya
39

sastra, dalam hal ini unsur intrinsik yang berhubungan dengan tokoh utama

wanita, yang dihubungkan dengan emansipasi.

Penelitian ini dilakukan pada pandangan emansipasi tokoh utama wanita

dilihat dari perbedaan usia, latar belakang dan kebudayaan yang menjadi pedoman

hdup mereka. Penelitian tentang emansipasi (gambaran dan pandangan) ketiga

tokoh dalam novek Tiga Orang Perempuan ini merupakan penelitian yang

dihubungkan dengan feminisme ini digunakan untuk mengungkapkan emansipasi

wanita dalam kehidupan bermasyarakat.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Setiap hasil penelitian ini

selalu bersifat deskriptif artinya data yang dianalisis dan hasil analisisnya

berbentuk deskripsi fenomena (Aminuddin 1990 : 16).

3.3. Metode Analisis Data

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis

struktural. Teori yang digunakan adalah teori strukturalisme untuk

mendeskripsikan tiga tokoh utama wanita yang memiliki pandangan yang berbeda

tentang emansipasi dalam novel Tiga Orang Perempuan karya Maria A. Sardjono.

Penulis menggunakan metode ini karena penelitian ini , memfokuskan diri pada

unsur-unsur yang terdapat dalam karya sastra. Penulis menitikberatkan pada unsur

tokoh utama wanita tersebut tantang emansipasi dan gambaran emansipasi yang

terdapat dalam novel Tiga Orang Perempuan karya Maria A. Sardjono.


40

3.4. Teknik Analisis Data

Sebelum penulis membuat penelitian, terlebih dahulu penulis

merumuskan langkah-langkah atau teknik untuk menganalisis data yang sudah

didapat. Tujuan perumusan ini adalah agar dalam pembuatan penelitian , penulis

tidak melakukan penelitian yang tidak relevan dengan rumusan permasalahan

yang sudah dibuat sebelumnya. Teknik dilakukan dengan menganalisis data

secara urut sesuai kronologis.

Teknik yang digunakan untuk menganalisis data dengan cara

menganalisis unsur intrinsik yaitu tokoh dan penokohan. Unsur tokoh dan

penokohan ini difokuskan pada tiga tokoh utama wanita yang terdapat didalam

novel Tiga Orang Perempuan karya Maria A. Sardjono. Kemudian dilanjutkan

dengan pemaparan mengenai gambaran secara umum emansipasi yang terdapat di

dalam novel tersebut. Berikutnya dipaparkan pandangan ketiga tokoh utama

wanita terhadap emansipasi.

3.5. Langkah Kerja

Langkah kerja yang dilakukan penulis dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut :

1. Membaca sumber data yaitu novel Tiga Orang Perempuan karya Maria A.

Sardjono secara heuristik dan hermeneutik. Tujuan dari membaca novel

secara heuristik adalah agar penulis dapat mengangkat makna secara

harfiah novel tersebut yang berupa kode bahasa, sehingga diketahui

bagaimana jalan ceritanya dan isi novel secara garis besar. Sedangkan
41

melalui pembacaan hermeneutik penulis dapat menangkap makna novel

ini secara lebih mendalam dan mengungkapkan makna-makna yang

tersirat. Pembacaan secara hermeneutik membantu kita untuk menafsirkan

kode sastra dan kode budaya, yang pada penelitian ini digunakan untuk

mengungkap bagaimana gambaran tentang emansipasi yang ada dalam

novel tersebut dan mengungkapkan pandangan ketiga tokoh utama wanita

dari tiga generasi yang berbeda tentang emansipasi.

2. Menentukan tokoh utama wanita, sebab itu adalah langkah awal untuk

menuju penelitian tentang emansipasi tokoh utama wanita pada novel

Tiga Orang Perempuan karya Maria A. Sardjono.

3. Menganalisis penokohan ketiga tokoh utama wanita dalam novel Tiga

Orang Perempuan karya Maria A. Sardjono.

4. Memaparkan emansipasi yang ada dalam novel Tiga Orang Perempuan

karya Maria A. Sardjono.

5. Menganalsis pandangan tentang tiga tokoh utama wanita tentang

emansipasi dalam novel tersebut.

6. Membuat simpulan hasil analisis.


42
42

BAB IV

DESKRIPSI EMANSIPASI DAN PANDANGAN TIGA TOKOH UTAMA

WANITA DALAM NOVEL TIGA ORANG PEREMPUAN

Penelitian dalam skripsi ini merupakan penelitian terhadap suatu teks karya sastra

yang berbentuk novel. Penelitian terhadap novel Tiga Orang Perempuan karya Maria A.

Sardjono ini ditinjau dari segi struktural dan teori gender. Dari segi struktural, akan

dianalisis tentang tokoh dan penokohan. Kemudian, akan dianalisis juga bagaimana

gambaran dan pandangan tiga tokoh utama wanita yang berbeda tentang emansipasi wanita

yang terbentur oleh budaya yang diwarnai oleh sistem patriarkat dan bagaimana wujud

nyata emansipasi yang mereka sumbangkan dalam kehidupan berkeluarga dan

bermasyarakat. Pandangan tiga tokoh utama wanita tentang emansipasi dalam novel ini

mencakup bidang politik, hukum, ekonomi, pendidikan, dan lingkungan keluarga.

4.1 Tokoh dan Penokohan

Novel Tiga Orang Perempuan karya Maria A. Sardjono menampilkan tiga tokoh

utama wanita dari tiga generasi yang berbeda yang terbentur oleh budaya yang dipengaruhi

sistem patriarkat. Faktor tersebut mempengaruhi pandangan mereka tentang emansipasi.

Ketiga tokoh ini dianggap cukup membawa misi pengarang dalam kaitannya dengan

emansipasi wanita. Pembahasan tiga tokoh utama wanita ini akan difokuskan pada

bagaimana cara pandang ketiga tokoh yang berbeda generasi tersebut tentang
43

emansipasi yaitu tokoh Nenek, Ibu, dan Gading dalam novel Tiga Orang Perempuan karya

Maria A. Sardjono ini.

Analisis penokohan dalam novel Tiga Orang Perempuan hanya ditekankan pada

tokoh dan penokohannya yaitu tokoh utama. Sebab dalam skripsi ini tidak dibahas struktur

secara keseluruhan, penelitian ini terfokus pada emansipasi wanita dalam novel dan

pandangan ketiga tokoh utama wanita tentang emansipasi. Adapun tokoh utama novel ini

adalah Nenek, Ibu, dan Gading. Ketiga tokoh tersebut merupakan tokoh utama karena

memiliki ciri-ciri tertentu sebagai tokoh utama yaitu paling banyak diceritakan pengarang,

tokoh diceritakan mulai dari awal permasalahan ketika Nenek ingin menjodohkan Gading

kemudian ketika konflik antara Ibu dan Bapak sampai akhirnya ketiga tokoh ini mampu

menyelesaikan konflik yang mereka alami. Ciri kedua, tokoh selalu berhubungan dengan

tokoh lain, dalam setiap konflik tokoh Nenek berhubungan dengan Gading dan Ibu yaitu

ketika Nenek ingin menjodohkan Gading dengan Hari, Ibu kurang menyetujuinya.

Ciri ketiga, tokoh selalu menjadi sorotan, berperan penting, dan menentukan

perkembangan plot secara keseluruhan. Tokoh Nenek, Ibu, dan Gading dalam setiap

terjadinya konflik selalu dimunculkan oleh pengarang. Konflik-konflik tersebut diantaranya

Nenek yang ingin menjodohkan Gading, perkawinan Ibu dan Bapak yang retak, dan

pertemuan Gading dengan mantan kekasihnya yang belum juga mendapat restu dari Nenek.

Ketiga tokoh ini sangat menentukan perkembangan plot dari awal munculnya

permasalahan, konflik yang memuncak, sampai pada akhirnya konflik tersebut dapat

diselesaikan dengan baik. Ketiga tokoh juga berperan penting dalam setiap peristiwa,

karena ketiga tokoh tersebutlah yang menjadi titik fokus pembicaraan dalam novel ini.

Ketiga tokoh tersebut selalu hadir sebagai pelaku atau yang dikenai kejadian atau konflik,
44

yaitu ketika konflik yang terjadi antara Nenek dengan Gading saat beliau menjodohkannya,

konflik antara Ibu dengan Nenek mengenai masalah rumah tangga, konflik Gading dengan

Hari dan mantan kekasihnya. Berikut ini akan dijelaskan mengenai ketiga tokoh utama

wanita tersebut di atas.

4.1.1 Nenek

Secara fisik Nenek merupakan sosok wanita yang sudah tua yaitu berumur lebih

dari delapan puluh empat tahun namun beliau masih sehat dan bicaranya pun begitu

mantap. Seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.

“Malahan demi meyakinkan alat-alat di dalam telingaku itu kucondongkan


tubuhku ke arah suara itu, yang keluar dari mulut seorang perempuan tua berumur
lebih dari delapan puluh empat tahun, tapi masih tampak sehat.” (TOP hlm: 7)

Sosok nenek dalam keluarganya dikenal sebagai seorang wanita yang sangat keras

pendiriannya, bahkan nyaris keras kepala. Beliau sulit sekali untuk menerima perubahan-

perubahan yang banyak sekali terjadi di zaman ini. Seperti saat Gading memberikan

argumentasi saat sang nenek membujuknya untuk menikah dengan laki-laki yang

dijodohkan nenek untuknya. Dijelaskan dalam kutipan berikut ini.

“Eyang tadi bilang, kamu itu mbok jangan terlalu banyak memilih dan
menimbang. memilih, menimbang, dan menimbang, dan memutuskan itu haknya
kaum laki-laki. Bukan hak kita. Sebab, kita kaum perempuan ini adalah orang-
orang yang berada di tempat yang akan dipilih.” (TOP hlm: 8)
“Eyang masalahnya bukan terletak pada hak untuk memilih dan dipilih,
melainkan pada keyakinan mengenai satu hal yang penting. Yaitu, Mas Hari
bukanlah laki-laki yang sesuai untuk Gading.” (TOP hlm: 10)
45

Nenek merupakan seorang sosok wanita Jawa tulen yang selalu memegang teguh

adapt istiadat Jawa. Baginya adat istiadat itu sudah mendarah daging dalam didikan

keluarganya sampai beliu mempunyai tujuh orang anak bahkan cucu dan cicitnya juga

diberikan. Petikan berikut memaparkan pernyataan tersebut.

“Tetapi selain itu, dia bukan apa-apa jika dibandingkan dengan Hari. Baik wajah,
penampilan, sikap, tutur bahasa, dan terutama dalam hal keunggulan keturunan
dan asal usulnya. Bibitnya seperti apa, bobotnya bagaimana, dan bebetnya
seberapa, kita tidak tahu. Tetapi Hari itu siapa, sudah jelas seperti apa latar
belakangnya. Lahir dari keluarga ningrat, sehat, terhormat, dan tanpa cela.” (TOP
hlm: 18)

Namun demikian, nenek di satu sisi adalah sosok perempuan yang sangat tabah,

lembut, berjiwa seni, dan memperlihatkan segi-segi feminitasnya yang kuat sebagai wanita

Jawa dengan sederet tuntutan mengenai keutamaan yang berhasil digapainya. Berikut ini

kutipan pernyataan tersebut.

“Berbagi kasih dan perhatian suami dengan banyak wanita lain adalah sesuatu
yang biasa terjadi. Seperti yang eyangku sering katakana kepadaku bahwa
perempuan haruslah rela menerima apa saja perlakuan sang suami,” (TOP hlm:
26)
“Bahkan menurut budeku itu, eyangku pernah mengalami kesulitan melahirkan
pada saat suaminya baru saja mengambil selir baru sesudah memulangkan yang
lama.” (TOP hlm: 29)

Nenek adalah seorang isteri yang setia, patuh, dan menurut pada suami tidak

pernah berbuat yang di luar batas norma dalam perkawinan. Dalam kehidupan perkawinan

selalu beliau terapkan filsafat Jawa mengenai bagaimana menjadi isteri yang baik bagi

suami dan anak-anaknya. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut

ini.
46

“Perempuan juga harus berani memiliki sikap untuk “nrimo ing pandum” dan
menerima dengan rela “jatah” yang diberikan kepadanya sebagai suatu ketentuan
yang sudah digariskan oleh Yang Mahakuasa. Sebab menurut ajaran yang
diterimanya, perempuan sejati atau perempuan utama harus memiliki sikap pasrah
dan merentangkan keselarasan baik terhadap Tuhan, terhadap sesama, maupun
terhadap diri sendiri.” (TOP hlm: 26)

Meskipun demikian sebagai seorang wanita dan seorang isteri dia tidak pernah

mencintai suaminya seratus persen karena baginya itu akan menimbulkan penderitaan

batin. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.

“Perempuan renta yang dulu berwajah rupawan itu tak pernah berani
mengungkapkan perasaan cintanya kepada seseorang, meskipun orang itu adalah
suaminya, ayah ketujuh anaknya sendiri. Sebab baginya, perasaan cinta selalu
sejalan dengan persaingan dan kecemburuan yang bisa menyakitkan karena penuh
dengan perasaan tidak yakin terhadap masa depan, ketidakpercayaan diri,
ketidaktenteraman, kegelisahan, penantian, harapan yang sering tidak terpenuhi,
dan terutama ketakutan akan ditinggalkan.” (TOP hlm: 32)
“Cukup dia saja yang mencintaimu. Dan kalau toh nanti muncul juga perasaan
cinta karena terbiasa hidup bersama dalam mengarungi suka dan duka, janganlah
perasaan itu kauserahkan sepenuhnya kepadanya kalau kau ingin hidup dengan
hati yang damai.” (TOP hlm: 32)

Nenek merupakan sosok wanita Jawa yang modern, cukup berwawasan luas dan

mementingkan anak-anaknya, terutama dalam hal kebutuhan akan pendidikan. Tekadnya

untuk memberi pendidikan setinggi mungkin bagi ketujuh anaknya dan juga

pengorbanannya untuk mengabdikan diri kepada keluarganya. Dia ingin membuktikan diri

sebagai perempuan yang kuat, perempuan yang tidak hanya bisa menadahkan tangan

menunggu pemberian suami saja. Hal itu untuk menunjukkan keberhasilannya sebagai

isteri dan ibu melebihi apa yang bisa dilakukan oleh perempuan-perempuan saingannya.

Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.


47

“Dan menilik jumlah anak yang dilahirkan mencapai tujuh orang, termasuk ibuku
sebagai si bungsu, aku mempunyai dugaan bahwa beliau termasuk isteri yang
paling disayang. Terlebih dengan bukti bagaimana ketujuh anak itu mendapat
pendidikan yang layak dan hidup dalam kecukupan. Apalagi ditambah pendidikan
informal yang diajarkan di rumah dengan mendatangkan berbagai guru untuk
mereka.” (TOP hlm: 27)

Tekad besar Nenek muncul ketika ia ingin melihat anak-anaknya berhasil dalam

bidang studi mereka. Beliau selalu menemani anak-anak belajar sampai malam walaupun

dengan terkantuk-kantuk. Apalagi di saat mereka akan menempuh ujian. Begitu juga

dengan seluruh kasih dan pengabdiannya, nenek selalu berpuasa setiap kali mengetahui

anaknya yang mangalami kesulitan dalam pelajaran di sekolah maupun hal-hal lainnya. Hal

tersebut beliau lakukan agar mereka mendapat kemudahan dalam menghadapi kesulitan.

Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.

“Kalau bukan karena beliau, ibu tidak akan mungkin bisa merasakan bagaimana
rasanya menjadi dosen dan apa artinya dunia pengetahuan bagi kehidupan
manusia, “ acap kali ibu berkata seperti itu setiap kali ada di antara anak-anaknya
yang tampak agak kendor semangat belajarnya.” (TOP hlm: 80)

Nenek merupakan anak keturunan bangsawan. Ayah beliau adalah seorang

bangsawan tinggi keratin Solo, sedangkan ibunya adalah anak saudagar batik yang kaya

dari keluarga bukan bangsawan. Meskipun demikian, beliau memperlihatkan arogan, sikap

keras yang nyaris seperti tangan besi, dan keberanian melakukan sesuatu yang jarang

ditemui pada wanita-wanita seusianya yang lahir di balik tembok keraton yang tingginya

dua setengah meter. Beliau meneruskan usaha batik ibunya. Pernyataan tersebut seperti

yang terdapat dalam kutipan berikut ini.


48

“Tetapi berbeda dengan perempuan-perempuan bangsawan lain yang nyaris tak


pernah terjun dalam urusan bisnis, Eyang Putri justru bergerak secara aktif
mengurusi bisnisnya tanpa takut mendapat penilaian negatif. Maklum, pada masa
itu perempuan-perempuan bangsawan tinggi jarang yang berkecimpung dalam
dunia perdagangan karena takut akan menurunkan derajat mereka. Takut dinilai
sebagai “bakul” (penjual). Sebab kebiasaan pada masa itu, hanya perempuan-
perempuan kelas bawah sajalah yang ikut aktif di dalam roda ekonomi, bahkan
dengan berjualan di pasar ataupun dengan menjajakannya di jalan-jalan.” (TOP
hlm: 78)

4.1.2 Ibu

Ibu adalah sosok wanita yang digambarkan berumur lebih dari lima puluh tahun

tapi nada bicaranya masih tampak bersemangat. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat

dalam kutipan berikut ini.

“Aku tertegun. Kutatap wajah ibuku karena aku mendengar nada-nada yang
meletup-letup dalam suaranya. Kulihat, wajah perempuan yang usianya sudah
lebih dari lima puluh tahun itu tampak bersemangat ketika berbicara. Pada saat
itu, wajahnya terlihat cantik sekali, sebab dengan matanya yang bercahaya ia jadi
tampak lebih muda.” (TOP hlm: 120-121)

Sosok ibu sangat perhatian dengan keluarganya, baik suami maupun anak-

anaknya. Kasih sayang yang ia berikan ia wujudkan dalam kehidupan rumah tangga dengan

memberikan pelayanan yang terkadang bagi anak-anak dan suaminya dianggap terlalu

berlebihan, namun mereka tahu bahwa apa yang dilakukan oleh ibu semata-mata karena ia

sangat menyayangi keluarganya itu. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam

kutipan berikut ini.

“Kehujanan lagi, sayang?”Kudengar suara lembut di belakangku.”


“Sudahlah,” katanya kemudian. “Lekaslah ganti bajumu yang basah itu, lalu
mandilah dengan air panas. Minta Yu Mi, sana. Ibu akan menyiapkan wedang
jahe untukmu. Ibu tidak ingin melihatmu sakit lagi!” (TOP hlm: 114)
49

Ibu sangat berbeda dengan Nenek yang memiliki hati tegar namun lembut

keibuan, hangat dan suka berbicara tetapi keras kepala, Ibu merupakan wanita yang agak

dingin, tertutup dan termasuk dominant dalam keluarga inti. Persamaan keduanya adalah

sama-sama termasuk wanita mandiri dan keras hati. Pernyataan tersebut seperti yang

terdapat dalam kutipan berikut ini.

“Namun entah apa pun alasan maupun kebenarannya, acap kali aku ingin
mengangkat topi melihat bagaimana sempurnanya beliau mengatur segala
sesuatunya, dari urusan dapur hingga penentuan pakaian yang dikenakan oleh
ayahku. Bapak memang tidak terlalu memperdulikan penampilannya. kombinasi
antara pantalon, kemeja, dan dasinya suka ngawur. Ibulah yang mengaturkan
warna dan kepantasannya sehingga Bapak selalu tampak rapi dan keren.
Kemudian ibuku juga mengurus hal-hal lainnya, dari urusan rekening koran,
listrik, telepon, dan ini serta itu, sampai pada urusan servis mobil. Kapan mobil
tuanya harus diservis, kapan pula mobil Bapak yang juga sudah jauh dari baru itu
harus diganti oli gardannya, dan seterusnya lagi.” (TOP hlm: 122-123)

Meskipun demikian antara Nenek dengan Ibu dalam kehidupan yang menyangkut

keluarga, mereka senantiasa melancarkan protes apabila terjadi ketidakadilan yang dialami

oleh mereka, terutama yang menyangkut masalah budaya patriarkat. Yang berbeda adalah

caranya. Eyang Putri melakukan protesnya dengan mengambil alih keterbatasan keuangan

Eyang Kakung yang tak sanggup menyejahterakan ketiga isteri dan ketiga belas anaknya

itu pada perusahaan batiknya.Ibu melakukan protesnya dengan menjadi dosen di sebuah

perguruan tinggi dan pada kemampuannya mengatur seluruh urusan rumah tangga. Seolah

profesi dosen merupakan cara bagaimana dia memperlihatkan otoritas yang dimilikinya.

Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.

“Ibuku melakukan protesnya dengan menjadi dosen di sebuah perguruan tinggi


dan pada kemampuannya mengatur seluruh urusan rumah tangga. Seolah profesi
dosen merupakan cara bagaimana dia memperlihatkan otoritas yang dimilikinya.”
(TOP hlm: 122)
50

“Sedangkan ibu, karena usianya belum memasuki usia pension, sampai sekarang
beliau masih tetap mengajar. Dan semakin senior Ibu, semakin dihargai
keberadaannya. Bahkan menurut kabar angina, Ibu termasuk dosen favorit, karena
banyak mahasiswa yang memilihnya sebagai dosen pembimbing skripsi. Maka
kesibukannya semakin bertambah saja.” (TOP hlm: 122)

Ibu sebagai seorang isteri tidak seperti Eyang Putri yang selalu bersikap sabar,

penuh pemaafan dan pemahaman, nrimo, bakti, dan penuh pelayanan terhadap suami.

Intinya bagi Eyang Putri sebagai isteri harus ikut kemana pun suaminya pergi. Pandangan

Ibu bertolak belakang dengan pandangan Eyang Putri, Ibu tidak setuju dan menganggap

pandangan Eyang Putri tersebut sudah tidak sesuai dengan zaman sekarang yang menuntut

wanita untuk beremansipasi. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan

berikut ini.

“Soalnya ibu teringat pada sikap Eyang. Zaman sudah maju begini, beliau masih
saja mempunyai anggapan bahwa perempuan berada pada tataran yang lebih
rendah darpada laki-laki karena katanya itu sedah merupakan tatanan dunia. Maka
perempuan harus bersikap sabar, penuh pemaafan dan pemahaman, nrimo, bakti,
dan penuh pelayanan terhadap suami, seorang isteri harus meletakkan seluruh
hidup dan masa depannya, sehingga kemana pun suami pergi, dia harus ikut.
Tetapi ibu menunjukkan bahwa anggapan seperti itu sama sekali tidak benar.
Perempuan juga seorang manusia, bukan bayang-bayang dan bukan alas kaki
suami! (TOP hlm: 124-125)

Ibu adalah sosok wanita yang memiliki sifat keras, tegas, dan sesekali juga

meledak-ledak, itu terjadi jika ibu menghadapi masalah, berargumantasi, terutama yang

menyangkut masalah emansipasi wanita. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam

kutipan berikut ini.

“Seperti orang Jawa yang lain, Bapak juga mendapat ajaran kuno namun sangat
relevan dengan keadaan sekarang, yaitu sebisanya menghindari konflik terbuka
demi keharmonisan relasi antarmanusia. Sementara ibuku termasuk orang yang
keras, tegas, dan sesekali juga meledak-ledak. (TOP hlm. )
51

Sebagai seorang isteri, ibu tidak pernah melayani suaminya seperti halnya Eyang

Putri melayani Eyang Kakung dulu. Itu dikarenakan anggapan ibu bahwa mereka juga

sama-sama capek selesai bekerja jadi apapun yang bisa dikerjakan oleh suaminya

hendaknya dikerjakan sendiri tidak perlu isteri yang mengurusnya. Ibu menginginkan

adanya kesetaraan gender dalam rumah tangganya, Tidak ada keharusan bagi ibu untuk

melayani keperluan suami untuk hal-hal yang sepele yang bisa dikerjakan sendiri.

Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.

“Ibu ingin memperlihatkan kepada Bapak bahwa laki-laki dan perempuan itu
setara dalam segala hal. Karenanya Ibu menunjukkan kepada Bapak bagaimana
Ibu mampu menyelesaikan segala urursan yang ada tanpa harus minta tolong
kepadanya. Sebaliknya, Ibu juga menginginkan bapakmu melakukan hal-hal yang
bisa dilakukannya sendiri tanpa bantuan isteri, seperti misalnya mengatur dan
menyediakan sendiri pakaian dalamnya. Atau mengambil makanannya, atau apa
sajalah.” (TOP hlm: 182)

Sikap Ibu yang demikian itu memperlihatkan bahwa beliau dalam hal cinta

memiliki prinsip dan pandangan yang berbeda dari Eyang Putri dan kakak-kakak

perempuan yang lain. Termasuk dalam hal mencintai suami. Ia melihat bahwa dalam

mencintai seseorang kita harus tetap realistis dan rasional. Pernyataan tersebut seperti yang

terdapat dalam kutipan berikut ini.

“Cinta itu sangat indah, Sayang. Tetapi jangan pernah tenggelam di dalamnya
sehingga kita lupa bahwa kenyataan hidup di dunia ini tidak selalu indah. Bahkan
penuh dengan pelabagai macam perjuangan. Maka akhirnya nanti jika mereka
yang sedang mabuk cinta itu mulai bersentuhan dengan realitas, keindahan cinta
yang semula menggebu dan berkobar-kobar penuh berbunga indah itu akan
berubah warna dan kadarnya. Jadi, Sayang, dalam menghadapi cinta itu
hendaknya rasio dan perasaan itu selalu berjalan seiring dan setujuan dan selalu
pula dalam keadaan seimbang.” ( TOP hlm: 167 )
“Ibu Cuma mau mengatakan bahwa betapapun tenggelamnya hati yang sedang
jatuh cinta, kita harus tetap realistis dan rasional.” ( TOP hlm: 168 )
52

Sikap ibu yang begitu keras, ternyata membawanya ke dalam situasi yang tidak

menyenangkan, di mana Bapak ternyata ketahuan berselingkuh dengan wanita lain. Bapak

melakukan itu karena beliau tidak pernah mendapatkan kasih saying, perhatian, belaian

manja dari isterinya sendiri. Perkawinannya dengan Ibu dirasakan begitu kaku dan dia

merasa harga dirinya sebagai kepala rumah tangga tidak ada artinya lagi dihadapan Ibu.

Apa yang dilakukan oleh Bapak sebagai suami telah mengahncurkan prinsip Ibu yang telah

lama dibangunnya bagai benteng itu. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam

kutipan berikut ini.

“Bapak mengkhianati Ibu, Nduk. Ada perempuan lain dalam kehidupannya.”


Suara Ibu kembali bergetar.” Sakit sekali rasanya.” ( TOP hlm: 176 )
“Namun apa pun itu, kita tidak perlu menengok ke belakang. Sekarang yang
penting, Ibu akan memperlihatkan kepada bapakmu bahwa Ibu tetap akan
berpegang teguh prinsip hidup Ibu mengenai makna perkawinan.” “ Bapakmu
tahu betul, Ibu tidak suka dimadu seperti Eyang.”
“Jadi Ibu akan mengajukan suatu penyelesaian yang jelas dan pasti. Yaitu
perceraian!” ( TOP hlm: 182-183 )
“Tetapi air mata yang ditumpahkannya beberapa malam yang lalu, sangat banyak.
Waktu Gading melihat tangisnya itu, rasanya seolah Ibu tidak akan berhenti
menangis, ” sahutku. “ Bapak tahu apa sebabnya? Itu karena laki-laki yang ia
cintai telah mengkhianatinya dan tega merobohkan prinsip hidup yang
dibangunnya bagai benteng itu.” ( TOP hlm: 199 )

Permasalahan yang dihadapi oleh Ibu menyebabkan perubahan sikap dari Ibu.

Beliau terlihat rapuh, tidak seperti biasa sewaktu ada masalah yang menimpanya itu. Ia

sangat tegas berwibawa, kuat, dan tegar. Namun demikian Ibu tetap mencoba untuk kuat

menghadapi cobaan dengan bantuan Gading anaknya. Pernyataan tersebut seperti yang

terdapat dalam kutipan berikut ini.

“ Ibu jangan terlalu sedih,” bisikku di sisi telinganya. “ Sekarang masuklah ke


kamar dan cobalah untuk tidur. Ibu harus tetap kuat. Gading ingin melihat Ibu
seperti biasanya. Kuat, tegar, mandiri, tegas, berwibawa, dan tidak membiarkan
emosi mewarnai rasio. Gading juga ingin melihat sisi Ibu yang lain, yang hangat
53

keibuan dan memancarkan rasa percaya dan damai di hati kami semua.” ( TOP
hlm: 185)
“ Ibu mencintai bapak dengan caranya sendiri. Tetapi Gading tahu betul, Ibu
sangat mencintai Bapak. Tak ada laki-laki lain dalam hidupnya. Meskipun
demikian, betapapun besar cinta Ibu kepada Bapak, tetapi dengan kenyataan
seorang perempuan lain telah menyela dalam perkawinannya, tidak mengikis
kekuatan prinsip hidupnya. Maka meskipun dengan hati hancur, Ibu akan tetap
konsisten dan berpegang teguh pada suara hati dan penilaian moral dalam
batinnya. Gading yakin sekali, tidaklah mudah bagi Ibu untuk menentukan sikap
yang bukan hanya akan melukai dirinya sendiri saja, tetapi juga akan melukai hati
kami anak-anaknya. Tetapi kemauan dan tekad Ibu sangat kuat. ” (TOP hlm:200)

Namun pada akhirnya berkat tekad Gading yang ingin menyelamatkan keluarga

dari bencana akibat permasalahan yang dihadapi oleh kedua orang tuanya itu, keluarganya

berhasil melewati masa-masa kritis dengan baik. Kedua orang tuanya bersatu kembali

menjadi keluarga yang lebih berbahagia.

4.1.3 Gading

Gading adalah seorang gadis dengan berbagai kelebihan yang dimilikinya, baik

sebagai seorang anak, cucu, kakak, dan sebagai seorang wanita muda yang memiliki cita-

cita yang tinggi untuk bisa mempersembahkan sesuatu yang dapat membanggakan

keluarganya dan orang-orang yang dia cintai. Gading adalah sosok wanita yang kritis

dengan keadaan di sekitarnya, terutama dengan hal-hal yang dia nilai bertentangan dengan

hati nuraninya, seperti yang dapat kita lihat dalam cuplikan berikut.

“ Dan ajaran pengembangan kepribadianku serta dalam proses pencarian diri,


ajaran-ajaran keduanya kuolah dalam batinku, menjadi nilai-nilai sendiri yang
kuyakini kebenarannya untuk kujadikan pegangan hidup. Aku adalah seorang
perempuan yang cukup kritis, sehingga tidak menelan mentah-mentah begitu saja
apa pun yang kupelajari. ” ( TOP hlm: 222 )
54

Seiring dengan tumbuhnya kedewasaan dalam diri Gading tersebut pola piker

yang kritis menandainya dalam berbagai pola sikap dan tingkah lakunya, terutama dalam

mengambil keputusan mana yang baik dan mana yang tidak baik bagi dirinya maupun

orang lain. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.

“ Dan meskipun aku tumbuh dewasa di antara dua pola pikir yang berasal dari dua
generasi yang berbeda, aku selalu belajar mengolah segala sesuatunya agar pas
dengan hati nuraniku yang paling dalam, untuk kemudian menjadi nilai-nilaiku
sendiri.” ( TOP hlm: 222 )

Gading sangat dekat dengan nenek dan ibunya sehingga dia selalu terbuka untuk

menceritakan segala masalah yang dia hadapi dengan kedua wanita yang sangat dia

hormati dan sangat dia cintai itu. Dia selalu meminta nasehat dan masukan yang sangat dia

butuhkan dan itu cukup membantu untuk memecahkan segala masalah yang dia hadapi.

Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.

“ Hubunganku dengan orang tuaku amat dekat. Terutama dengan ibuku. Dan
karena sebagai anak bungsu ibuku juga dekat dengan Eyang, maka aku pun juga
cukup dekat dengan beliau. Apalagi aku termasuk cucu yang tak pernah merasa
bosan mengobrol dan bertanya-tanya ini-itu kepadanya. Dengan demikian, dari
kedua perempuan terdekatku itulah aku banyak menimba ilmu pengetahuan
hidup. ” ( TOP hlm: 221-222)
“ Karena kedekatanku dengan ibu, kuceritakanlah semua hal yang menyangkut
hubunganku dengan Mas Yoyok dan bagaimana perasaanku terhadapnya.
Demikian juga hal-hal yang menyangkut Mas Hari dan bagaimana pula
perasaanku dalam hal ini. ” ( TOP hlm: 222)

Sebagai seorang gadis yang modern, Gading mempunyai profesi yang

mendukung yaitu sebagai seorang wartawan. Profesi tersebut sangat cocok dengan

kepribadian yang dimiliki olehnya. Seorang Gading yang kritis, supel dan mempunyai

pikiran yang modern dan keinginan untuk maju tidak kalah dengan laki-laki, seorang
55

pekerja keras dan professional di bidangnya. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat

dalam kutipan berikut ini.

“ Ya doakan saja aku tidak harus ke luar kota lagi pada hari itu. Kau tahu kan,
sebagai wartawan pada prinsipnya kami bekerja dua puluh empat jam sehari.
Kalau tidak begitu, kami bisa kehilangan berita besar karena keduluan orang!”
(TOP hlm: 234)

Gading mempunyai sifat yang kurang tegas dalam mengambil keputusan,

sehingga memberikan kesan dia seorang wanita yang tidak mudah mengambil keputusan

sendiri untuk kebaikannya maupun orang lain. Kesan tersebut kadang menyebabkan orang

lain menjadi salah paham akan sikap dia seolah memberikan harapan terhadap orang lain

untuk bisa mendekatinya. Hal itu dikarenakan untuk menjaga perasaan Nenek. Pernyataan

tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.

“ Gading kalau nanti Nak Hari dating ke sini, usahakanlah agar kau bisa bersikap
lebih tegas dan tidak memberinya harapan,” katanya kepadaku suatu ketika.”
(TOP hlm: 223)

Ketakutan akan teringat kembali pada kenangan saat Gading bersama dengan

Yoyok menjadi penghalang untuk kembali menjalin persahabatan dengan Ida adik Yoyok.

Bahkan dia segan dating di hari pernikahan Ida gara-gara takut akan kenangan itu sendiri.

Hal itu disebabkan Gading masih memendam rasa cinta terhadap Yoyok yang selama ini

masih dia simpan. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.

“ Namun terlepas dari masalah itu, sebenarnya keenggananku yang paling besar
bersumber pada rasa takut. Aku takut luka-luka hatiku akan kambuh kembali. Ada
banyak tempat di rumah mereka yang pasti akan mengingatkanku pada laki-laki
itu.” (TOP hlm: 234)
56

Sifat lain yang dimiliki oleh Gading adalah sifat itu akan muncul ketika dia

menghadapi orang yang dicintainya yaitu Yoyok. Ketika ia bertemu dengan Yoyok dalam

pesta pernikahan adik Yoyok, rasa itu timbul setelah sekian lama dia berpisah dengannya.

Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.

“ Ah, alangkah iriku padanya. Kenapa aku tidak bisa bersikap tenang dan santai
seperti dia? Mengapa pula lidahku masih saja kelu padahal Mas Yoyok tampak
begitu percaya diri? Sungguh, alangkah memalukan diri ini!” (TOP hlm: 248)

Meskipun demikian Gading adalah seorang gadis yang cerdas, pengetahuannya

sangat luas dan terkadang karena kecerdasannya itu, dalam berkata-kata sering

menggunakan filsafat. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.

“ Lho, yang namanya kemungkinan itu kan luas cakupannya, Da. Sebab kata ‘
mungkin ’ dalam hal ini memiliki keterbukaan untuk pelbagai macam hal yang
bisa terjadi. Aku kan manusia biasa dengan segala keterbatasan dalam ruang dan
waktu. Jadi aku tak bisa menjawab pertanyaanmu tadi secara pasti dan mutlak.”
“ Wah, wah Gading. Malam-malam kok berfilsafat!” Ida tertawa geli.
“ Bukannya berfilsafat.” Aku juga tertawa. “ Aku uma mau mengatakan bahwa di
dunia ini tidak ada suatu kepastian yang mutlak kecuali ketidakpastian itu
sendiri!” (TOP hlm: 258)

Gading adalah seorang gadis yang cerewet, suka berbicara tapi tidak untuk hal-hal

yang berisi bualan. Berbicara dengan Gading terkadang teresan memperdebatkan sesuatu

apalagi menyangkut hal yang berbeda dengan prinsip hidupnya pastilah dia akan segera

memprotes atau mengomentari. Namun terkadang hal itu tidak dia lakukan jika dia

berbicara dengan Nenek karena ia tidak ingin dianggap cucu yang suka membantah dan

untuk menjaga perasaan Neneknya. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam

kutipan berikut ini.

“ Tetapi ayo, kita kembalikan pembicaraan pada pokok persoalan. Eyang ingin
tahu, apa yang menyebabkanmu tidak seceriwis biasanya. Mana burung prenjak
Eyang?” (TOP hlm: 36)
57

“ Lagi pula, aku tidak ingin berdebat dengannya. Aku juga tidak ingin
membuatnya kecewa. Jadi terpaksalah lidahku kudorong dalam-dalam dan
kusembunyikan jauh di dalam mulutku. Tetapi tenyata meskipun aku sudah
berdiam diri seperti itupun, tetap saja sikapku tidak berkenan di hati nenekku.”
(TOP hlm: 9)

Gading sangat mendukung adanya gerakan emansipasi. Segala hal yang

menyangkut masalah kesetaraan gender selalu menjadi perhatiannya. Menurut dia

kesetaraan itu sangat penting baik bagi kaum wanita maupun kaum pria untuk bisa

memahaminya agar kesetaraan itu dapat terwujud meskipun ada pihak-pihak yang pro dan

kontra. Dukungan tersebut dia wujudkan dengan menjadi seorang wartawan di sebuah

tabloid terkenal. Di sana sia menjadi seorang wanita yang mampu sejajar dengan pria dan

dia bisa mengembangkan potensi yang dimilikinya. Pernyataan tersebut seperti yang

terdapat dalam kutipan berikut ini.

“ Kau bekerja di mana, Gading?” Mas Yoyok menyela pembicaraan kami.


Kusebutkan nama perusahaan yang menerbitkan tabloid tempatku bekerja.
“ Itu perusahaan raksasa, Gading. Kau berbahagia dengan pekerjaanmu sebagai
wartawan?” Mas Yoyok bertanya lagi.
“Ya. Di tempat itu ilmu yang kupelajari terpakai. Suasananya juga enak dan aku
bisa mengembangkan diri karena kesempatan untuk itu terbuka lebar bagi kami.
Para atasan berpikir bahwa perusahaan akan berkembang maju kalau semua orang
ikut berpartisipasi dan mendapat kesempatan untuk berkembang pula.” (TOP hlm:
260-261)

Sebagai seorang gadis yang sudah beranjak dewasa, Gading tidak mudah

terhanyut oleh rayuan laki-laki, apalagi oleh laki-laki yang tidak dicintainya. Baginya

perasaan suka apalagi cinta tidak dapat dipaksakan. Itu merupakan hak asasi setiap

individu. Hal ini terjadi ketika laki-laki yang dijodohkan Nenek itu mulai merayu Gading.

Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.


58

“ Sungguh, Dik Gading? Itu bukan semacam yah…… Sikap jual mahal atau
strategi jinak-jinak merpati, begitu? Suara Mas Hari terdengar amat lembut dan
mengandung rayuan. Kalau saja suara itu ditujukan kepa perempuan lain, aku
yakin orang tiu akan mabuk kepayang dibuatnya. Tetapi aku, bukannya mabuk
tetapi malah muak.” (TOP hlm: 210)

Menurut pendapat Gading pernikahan haruslah berdasarkan rasa cinta antara

pihak laki-laki dan perempuan. Di samping itu pernikahan membutuhkan perencanaan dan

persiapan yang matang sehingga dapat berjalan dengan lancar. Pernyataan tersebut seperti

yang terdapat dalam kutipan berikut ini.

“ Tetapi kau harus tahu, Mas, bagiku hubungan seorang laki-laki dan seorang
perempuan, apalagi kalau sudah menyangkut pada rencana perkawinan, itu perlu
perencanan dan pemikiran yang mendalam. Perkawinan adalah satu wadah yang
suci karena sedikitnya menyangkut kebahagiaan sebuah keluarga. Terutama
karena menyertakan nama Tuhan di dalamnya. Jadi tidak bisa sembarangan!”
(TOP hlm: 266)

4.2 Emansipasi Tiga Tokoh Utama Wanita dalam Novel Tiga Orang Perempuan

Novel Tiga Orang Perempuan karya Maria A. sardjono mengemukakan masalah-

masalah ketidakadilan gender serta masalah lain yang menyangkut hal tersebut. Masalah-

masalah tersebut saling berhubungan dan apabila dilihat dari kacamata feminisme, masalah

ketidakadilan gender mendorong lahirnya emansipasi wanita.

Dalam novel ini dipaparkan tentang emansipasi wanita. Pria dan wanita telah

bergandengan tangan hampir di semua bidang kehidupan seperti di bidang politik, hukum,

ekonomi, pendidikan, dan di lingkungan keluarga. Emansipasi yang ada dalam novel

dipelopori oleh tokoh utama wanitanya yaitu Ibu, dan Gading. Sedangkan tokoh Nenek

cenderung menentang emansipasi wanita. Emansipasi tokoh utama wanita dilakukan

mencakup lingkungan keluarga, pendidikan, ekonomi, di kantor, dalam bidang politik dan

hukum.
59

Pandangan yang salah tentang emansipasi oleh masyarakat pun turut mendukung

adanya perbedaan pandangan. Bahkan terjadi peneguhan pemahaman yang tidak pada

tempatnya mengenai emansipasi oleh masyarakat. Gerakan emansipasi ini oleh masyarakat

dianggap melanggar kodrat Tuhan. Kodrat seorang wanita selain mengandung dan

menyusui anak, adalah tugas mengurus rumah tangga (mengatur makan, pakaian, dan lain-

lain) dan mengasuh (memelihara, membesarkan, dan mendidik) anak. Karena wanita

diposisikan pada tugas-tugas domestik, mereka tidak boleh bekerja di luar tugas-tugas

domestik. Hal inilah yang menyebabkan sifat superioritas kaum pria terhadap kaum wanita

dan mengukir dominasi mereka di masyarakat.

Emansipasi wanita dalam novel ini mencakup bidang politik, hukum, ekonomi,

pendidikan, dan lingkungan keluarga. Emansipasi di bidang politik menyoroti masalah

subordinasi atau pengambilan keputusan. Emansipasi di bidang hukum membahas

mengenai perjodohan dan perkawinan poligami. Emansipasi di bidang ekonomi membahas

masalah marginalisasi atau pemiskinan ekonomi terhadap kaum wanita yang menyebabkan

ketergantungan kaum wanita terhadap kaum pria. Emansipasi di bidang pendidikan

membahas mengenai masalah pentingnya memperoleh pendidikan yang layak untuk

kesejahteraan manusia dan wanita berhak untuk mendapatkan pendidikan tersebut.

Emansipasi di lingkungan keluarga membahas mengenai masalah kecenderungan wanita

yang mendapat ketidakadilan gender di lingkungan keluarga. Semua bidang tersebut akan

dibahas lebih lanjut oleh penulis.

Berikut ini akan dibahas mengenai gambaran emansipasi di bidang politik,

hukum, ekonomi, pendidikan, dan lingkungan keluarga.


60

4.2.1 Emansipasi di Bidang Politik

Munculnya gerakan emansipasi di bidang politik dalam novel ini digambarkan

dengan adanya ketidakbebasan wanita dalam pengambilan keputusan dan dalam pusat-

pusat kekuasaan pembuat keputusan (subordinasi). Sebenarnya politik dan hukum yang

berlaku di Indonesia adalah secara das sollen (keharusan normatif) menerima gerakan

feminisme yang meletakkan pria dan wanita dalam kdudukan yang setara. Tetapi secara

das sein (kenyataan praktis) kesetaraan/kesejajaran tersebut masih jauh dari

menggembirakan. Hukum adat memandang wanita sebagai makhluk yang rendah

derajatnya daripada pria. Wanita dilarang mengambil keputusan karena hal itu bukanlah

haknya, melainkan hak pria. Sebagai seorang wanita hanya diwajibkan untuk menerima

segala keputusan yang diambil oleh pria dan tidak diperbolehkan membantahnya. Hal itu

terjadi ketika Nenek ingin menjodohkan Gading dengan Hari, laki-laki pilihan Nenek.

Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.

“ Eyang tadi bilang, mbok kamu jangan terlalu banyak memilih dan menimbang.
Memilih, menimbang, dan memutuskan itu haknya kaum laki-laki. Bukan hak
kita. Sebab, kaum perempuan ini adalah orang-orang yang berada di tempat yang
akan dipilih.” (TOP hlm: 8)

4.2.2 Emansipasi di Bidang Hukum

Selain dalam hal pengambilan keputusan, emansipasi juga muncul dalam bidang

hukum. Hukum adat dan hukum pemerintah yang berupa hukum tentang perkawinan

kurang melindungi hak kaum wanita dari ketidakadilan gender. Wanita tidak diprioritaskan

dalam pengambilan keputusan politik dan hukum, peran mereka dalam kehidupan politik

dan hukum selalu di bawah dominasi pria. Salah satu contoh ketidakadilan gender dalam

perkawinan yaitu adanya perjodohan (dipaksa menerima jodoh pemberian orang tua dan
61

dipaksa tunduk pada suami). Hal ini terjadi ketika Nenek menjodohkan Gading dengan

Hari. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.

“ Tetapi selain itu, dia bukan apa-apa jika dibandingkan dengan Hari. Baik wajah,
penampilan, sikap, tutur bahasa, dan terutama dalam hal keunggulan keturunan
dan asal usulnya. Bibitnya seperti apa, bobotnya bagaimana, dan bebetnya
seberapa, kita tidak tahu. Tetapi Hari itu siapa, sudah jelas seperti apa latar
belakangnya. Lahir dari keluarga ningrat, sehat, terhormat, dan tanpa cela.” (TOP
hlm: 18)

Adanya poligami yang dilakukan oleh kaum pria terhadap kaum wanita. Hal ini

terjadi ketika Kakek menikah lagi dan Nenek membiarkan dirinya untuk dimadu tanpa

membantah keinginan Kakek tersebut. Perceraian yang mengakibatkan terpisahnya

hubungan antara ayah, ibu dan anak-anak mereka. Hal ini terjadi ketika perkawinan antara

Ibu dengan ayah Gading retak akibat dari kesalahan Ibu yang terlalu menjunjung tinggi

emansipasi tanpa memandang kodratnya sebagai seorang wanita dan seorang isteri

sehingga hampir saja beliau kehilangan orang yang paling dicintainya yaitu ayah.

Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.

“ Sebelum Eyang Kakung memperisteri beliau, sudah ada beberapa selir yang
tinggal di bagian belakang rumahnya. Namun pada masa itu, seorang laki-laki
beristeri banyak bukanlah suatu masalah. Berbagi kasih dan perhatian suami
dengan banyak wanita lain adalah sesuatu yang biasa terjadi.” (TOP hlm: 26)

4.2.3 Emansipasi di Bidang Ekonomi

Gerakan emansipasi di bidang ini muncul karena ketidakadilan gender di bidang

ekonomi yang telah menimbulkan marginalisasi atau pemiskinan ekonomi terhadap kaum

wanita. Kaum wanita miskin karena mereka hanya diperbolehkan bekerja pada sektor

domestik (rumah tangga) seperti memasak, mengurus rumah tangga, dan mengasuh anak.

Secara otomatis wanita tidak boleh bekerja di luar tugas domestik tersebut. Wanita tidak
62

dapat bekerja di luar rumah sebagaimana pria. Oleh karena itu, wanita lebih miskin

daripada pria. Bahkan, ia tergantung pada pria. Kalaupun ada wanita yang bekerja di luar

rumah, gajinya tidak setinggi gaji pria. Kaum wanita yang bekerja di sektor publik

dianggap sebagai anomaly atau pekerjaan pelengkap sehingga bila dalam pengupahannya

terdapat diskriminasi, hal itu dianggap wajar.

Upaya peningkatan peranan wanita dalam pembangunan merupakan bagian

integral yang tidak terpisahkan dari pembangunan nasional dan merupakan salah satu fokus

Pembangunan Jangka Panjang II. Kemitrasejajaran yang harmonis antara wanita dan pria

memiliki persamaan hak, kewajiban, kedudukan, peranan, dan kesempatan yang dilandasi

sikap dan perilaku saling menghormati, saling menghargai, saling membantu dan saling

mengisi dalam pembangunan di berbagai bidang.

Dalam novel ini tiga tokoh utama wanitanya sama-sama memiliki kesempatan

bekerja di luar tugas domestik. Bekerja di sektor publik ketiga tokoh utama wanita tersebut

sangat sukses. Nenek sukses dengan usaha batik peninggalan leluhurnya, Ibu sukses

sebagai dosen di sebuah perguruan tinggi bahkan beliau dicalonkan menjadi dekan dan

juga dosen favorit untuk pembimbing skripsi, sedangkan Gading berprofesi sebagai

wartawan sebuah tabloid terkenal, profesi yang sangat mewakili jiwanya sebagai seorang

gadis yang cerdas. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.

“ Tetapi berbeda dengan perempuan-perempuan bangsawan lain yang nyaris tak


pernah terjun dalam urusan bisnis, Nenek justru bergerak secara aktif mengurus
bisnisnya tanpa takut mendapat penilaian negatif. Maklum, pada masa itu
perempuan-perempuan bangsawan tinggi jarang yang berkecimpung dalam dunia
perdagangan karena takut akan menurunkan derajat mereka. Takut dinilai sebagai
“bakul” (penjual). Sebab kebiasaan pada masa itu, hanya perempuan-perempuan
kelas bawah sajalah yang ikut aktif di dalam roda ekonomi, bahkan dengan
berjualan di pasar ataupun dengan menjajakannya di jalan-jalan. ” (TOP hlm: 78)
63

“ Ibuku melakukan protesnya dengan menjadi dosen di sebuah perguruan tinggi…


Seolah, profesi dosen merupakan cara bagaimana dia memperlihatkan otoritas
yang dimiliki. ” (TOP hlm: 122)
“ Kau kan tahu, sebagai wartawan pada prinsipnya kami bekerja dua puluh empat
jam sehari. Kalau tidak begitu, kami bisa kehilangan berita besar karena keduluan
orang. ” (TOP hlm: 234)
“ Ya, di tempat itu ilmu yang kupalajari terpakai. Suasananya juga enak dan aku
bisa mengembangkan diri karena kesempatan untuk itu terbuka lebar bagi kami.
Para atasan berpikir bahwa perusahaan akan berkembang maju kalau semua orang
ikut berpartisipasi dan mendapat kesempatan untuk berkembang pula. ” (TOP
hlm: 261)

Ketiga tokoh utama wanita tersebut beranggapan bahwa emansipasi yang

dilakukan adalah untuk menghapuskan segala ketidakadilan gender di bidang ekonomi

yang dapat menyebabkan pemiskinan ekonomi terhadap kaum wanita.

4.2.4 Emansipasi di Bidang Pendidikan

Masyarakat menganggap wanita lebih rendah daripada pria dan hany mampu

mengerjakan pekerjaan domestik, oleh karena itu wanita tidak diperbolehkan menuntut

ilmu tinggi-tinggi dan bekerja di luar rumah sebagaimana pria. Hal tersebut merupakan

pembodohan terhadap kaum wanita. Mereka bodoh karena tidak mendapat kesempatan

untuk menuntut ilmu. Bahkan hal tersebut dilakukan oleh orang tua mereka sendiri. Para

orang tua khawatir bahwa jika anak perempuannya pandai menulis dan membaca, akan

menjadi jahat dan melupakan kodratnya sebagai seorang wanita. Hal inilah yang

menyebabkan kekurangan intelektualitas kaum wanita yang merupakan akibat dari

keterkekangan kehidupan mereka dan keterbatasan pendidikan formalnya. Perempuan yang

bodoh, dalam arti tidak berpendidikan, cenderung bersifat pasif dan menyerah saja pada

kemauan orang lain. Oleh karena itulah melalui gerakan emansipasi, tiga tokoh utama

wanita dalam novel ini memperjuangkan hak mereka agar diberi kebebasan dan
64

kesempatan untuk menambah pengetahuan, menajamkan otak, mengeluarkan pendapat, dan

menguasai apa yang harus dikuasai sesuai dengan bakat dan kemampuannya.

Tokoh Nenek berusaha menyekolahkan anak-anaknya sampai tinggi agar kelak

bisa menjadi orang sukses, dihormati orang. Namun tujuan Nenek sebenarnya adalah untuk

memperlihatkan pada suami dan selirnya bahwa tanpa bantuan Kakek, anak-anak Nenek

dapat memperoleh pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan anak-anak selir Kakek. Hal

itu merupakan gengsi/prestise yang ingin ditunjukkan oleh Nenek agar dipandang sebagai

wanita yang kuat dan mandiri serta berwawasan luas dan modern. Pernyataan tersebut

seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.

“ Terlebih dengan bukti bagaimana ketujuh anaknya mendapat pendidikan yang


layak dan hidup dalam kecukupan. Apalagi ditambah pendidikan informal yang
diajarkan di rumah dengan mendatangkan berbagai guru untuk mereka. ” (TOP
hlm: 27)

Tokoh ibu tidak kalah lagi. Beliau sangat menjunjung emansipasi wanita di

bidang pendidikan. Karena menurutnya dengan pendidikan wanita dapat sejajar dengan

kaum pria di segala bidang kehidupan bahkan mendominasi atau jauh mengalahkan kaum

pria. Seorang wanita berhak untuk mendapatkan pendidikan setinggi mungkin dan

menguasai apapun yang harus dikuasai sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Hal

sudah menjadi keharusan agar wanita tidak diremehkan dan tidak direndahkan oleh kaum

pria. Sebagai bukti keberhasilannya menyekolahkan anak-anak, sekarang Gading memiliki

profesi sebagai wartawan. Tujuan yang ingin dicapai oleh Ibu adalah untuk mengalahkan

dominasi kaum pria di segala bidang kehidupan. Bahkan kalau bisa seorang wanita bisa

memimpin pria.

Tokoh Gading juga sangat menjunjung tinggi emansipasi di bidang pendidikan. Ia

beranggapan bahwa pendidikan sangat penting agar wanita bisa sejajar dengan kaum pria.
65

Namun tidak menyalahi kodratnya sebagai seorang wanita. Tidak seperti Ibunya yang ingin

mengalahkan kaum pria tetapi hanya untuk memberikan kesempatan yang sama kepada

kaumnya agar lebih maju.

4.2.5 Emansipasi di Lingkungan Keluarga

Menurut penelitian di negara Barat, kasus ketidakadilan gender paling banyak

terjadi di lingkungan keluarga. Institusi “keluarga” merupakan tempat yang paling rawan

bagi wanita. Mereka dalam keluarga cenderung menjadi korban potensial ketidakadilan

gender. Hal ini disebabkan oleh posisi subordinat wanita dalam masyarakat yang

mengakibatkan kekurangan penguasaan mereka terhadap sumber-sumber sosial ekonomi

secara menyeluruh.

Wanita mendapat perlakuan yang berbeda dengan pria terutama dalam hal

perkawinan (dipaksa menerima jodoh pemberian orang tua). Seperti yang dialami oleh

tokoh Gading, dia harus menerima perjodohannya dengan pria pilihan Nenek. Dengan alas

an, laki-laki tersebut berasal dari keluarga ningrat yang jelas bibit, bobot, dan bebetnya.

Seorang perempuan juga dipaksa tunduk kepada suami. Hal ini dialami oleh tokoh Nenek.

Beliau sangat menghormati suaminya, dan tidak pernah membantah semua keinginan

suaminya itu. Menurut Nenek, sebagai seorang isteri harus menerima apa saja perlakuan

sang suami. Wanita juga harus berani memiliki sikap “nrimo ing pandum” dan menerima

dengan rela “jatah” yang diberikan kepadanya sebagai suatu ketentuan yang sudah

digariskan oleh Yang Maha Kuasa.


66

Karena posisi wanita yang lemah tersebut, pria cenderung memperlakukan wanita

(isteri) sebagai benda yang dimilikinya, layaknya benda-benda yang lain. Suami sering

berbuat sewenang-wenang terhadap isteri, sedangkan isteri seolah-olah tidak mempunyai

hak untuk melawan tindakan suami, termasuk mencegah suami untuk kawin lagi

(poligami). Hal inilah yang dialami oleh tokoh Nenek. Beliau sangat menghormati

keputusan suaminya untuk menikah lagi dengan wanita lain atau bahkan memiliki banyak

selir. Paham nrimo ing pandum tetap dijunjung tinggi oleh Nenek, sehingga dia tidak

pernah merasa dimadu atau diduakan oleh suaminya. Pasrah pada nasibnya dan tidak

pernah memprotes segala perilaku suaminya yang tidak menyenangkan hatinya. Pernyataan

tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.

“ Sebelum Eyang Kakung memperisteri beliau, sudah ada beberapa selir yang
tinggal di bagian belakang rumahnya. Namun pada masa itu, seorang laki-laki
beristeri banyak bukanlah suatu masalah. Berbagi kasih dan perhatian suami
dengan banyak wanita lain adalah sesuatu yang biasa terjadi. ” (TOP hlm: 26)
“ Seperti yang eyangku sering katakan kepadaku bahwa perempuan haruslah rela
menerima apa saja perlakuan sang suami. Perempuan juga harus berani memiliki
sikap untuk “ nrimo ing pandum ” dan menerima dengan rela “ jatah” yang
diberikan kepadanya sebagai suatu ketentuan yang sudah digariskan oleh Yang
Maha Kuasa. ” (TOP hlm: 26)

Hal ini sangat bertolak belakang dengan hati nurani tokoh lainnya yaitu Ibu dan

Gading. Apa yang dilakukan oleh Nenek sebagai suatu kesalahan yang terbesar dalam

kehidupan seorang wanita. Mereka menganggap apa yang dialami oleh Nenek adalah

sebuah bentuk penindasan kaum laki-laki terhadap kaum perempuan. Kedua tokoh ini

sangat menentang dengan apa yang menjadi pedoman hidup Nenek. Oleh karena itu dengan

segala usaha mereka ingin terbebas dari belenggu budaya patriarkat, budaya yang sangat

mengekang kebebasan kaum wanita untuk lebih maju dan sejajar dengan kaum pria.

Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.


67

“ Maka perempuan harus bersikap sabar, penuh pemaafan, dan pemahaman,


nrimo, bakti, dan penuh pelayanan. Terhadap suami, seorang isteri harus
meletakkan seluruh hidup dan masa depannya, sehingga kemana pun suami pergi,
dia harus ikut. Tetapi Ibu tidak bisa menerima pandangan seperti itu….
Perempuan juga seorang manusia, bukan bayang-bayang dan bukan alas kaki
suami! ” (TOP hlm: 124-125)

4.3 Pandangan Tiga Tokoh Utama Wanita tentang Emansipasi dalam Novel Tiga

Orang Perempuan

Pandangan tiga tokoh utama wanita dalam novel ini memiliki perbedaan-

perbedaan. Hal tersebut disebabkan oleh faktor seperti latar belakang sosial yang berbeda,

lingkungan keluarga yang mendidiknya, dan sebagainya. Pandangan tiga tokoh utama

wanita dari tiga generasi yang berbeda tentang emansipasi ini menimbulkan pertentangan

antara tokoh yang satu dengan tokoh lainnya.

Meskipun demikian, dalam hal-hal tertentu ketiga tokoh tersebut saling

mendukung satu sama lain. Misalnya ketika Nenek ingin menjodohkan Gading dengan

laki-laki pilihan Nenek, Ibu sangat menentang niat tersebut. Ibu mendukung niat Gading

yang menolak perjodohan tersebut. Pandangan ketiga tokoh muncul ketika mereka

menghadapi suatu konflik yang menyangkut bidang politik, hukum, ekonomi, pendidikan,

dan lingkungan keluarga.

Ketiga tokoh utama wanita terutama tokoh Ibu dan Gading memiliki pandangan

yang sama tentang emansipasi. Keduanya sangat mendukung gerakan tersebut. Lain halnya

dengan Nenek yang memiliki pandangan yang berbeda dengan tokoh Ibu dan Gading

tentang emansipasi. Pandangan Nenek bertentangan bahkan cenderung bersifat tradisional.

Berikut akan dipaparkan pandangan ketiga tokoh tentang emansipasi di bidang politik,

hukum, ekonomi, pendidikan, dan lingkungan keluarga.


68

4.3.1 Pandangan Nenek tentang Emansipasi Wanita

Tokoh Nenek dalam novel ini diceritakan memiliki pandangan yang berbeda

tentang emansipasi wanita dibandingkan dengan dua tokoh utama wanita yang lainnya

yaitu ibu dan Gading. Tokoh Nenek cenderung menentang dan bersifat tradisional. Hal ini

disebabkan oleh lingkungan tempat tinggal beliau tinggal sejak kecil yaitu lingkungan

keratin. Baik ayahnya maupun ibunya sangat memegang teguh budaya Jawa, dan

menanamkannya ke dalam jiwa dan batin Nenek sewaktu masih muda.

Tembok keraton yang tinggi membatasi dia dalam pergaulan dengan dunia luar.

Hal ini menyebabkan dia sangat sulit menerima perubahan-perubahan yang banyak terjadi

di luar. Jangankan bergaul dengan gadis-gadis teman sebayanya, bergaul dengan teman

laki-lakinya pun dia tidak diperbolehkan. Sebagai seorang gadis muda sejak berumur tujuh

tahun menurut adat Jawa harus dipingit. Dia tidak diperbolehkan keluar rumah hingga

saatnya tiba yaitu saat dia menerima lamaran dari laki-laki yang sudah dijodohkan oleh

orang tuanya. Selama dalam pingitan berbagai ajaran tentang kewanitaan diterimanya.

Yaitu berbagai hal tentang memasak, menjahit, dan sebagainya. Sebagai seorang wanita

diajarkan untuk selalu pasrah pada nasibnya, tidak diperbolehkan untuk mengambil

keputusan, memilih, menimbang, tentang suatu hal karena itu bukan haknya sebagai

seorang wanita, tetapi merupakan hak kaum pria. Hal tersebut beliau pegang teguh hingga

saat beliau ingin menjodohkan Gading cucunya dengan laki-laki pilihannya. Pernyataan

tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.

“ Eyang tadi bilang, kamu mbok ya jangan terlalu banyak memilih dan
menimbang-nimbang. Memilih dan memutuskan itu haknya kaum laki-laki.
Bukan hak kita. Sebab, kita kaum perempuan ini adalah orang-orang yang berada
di tempat yang akan dipilih. ” (TOP hlm: 8)
69

Pandangan Nenek ini sangat bertentangan dengan emansipasi yang dilakukan

kaum wanita yang ingin memperjuangkan haknya dalam bidang politik dan hukum.

Kebebasan untuk memilih, menimbang, dan memutuskan, serta kebebasan untuk

mengemukakan pendapat juga diperoleh kaum wanita tidak hanya kaum pria saja. Karena

itu hak manusia yang dimilikinya, baik pria maupun wanita sama.

Ayah Nenek seorang bangsawan tinggi keratin dan ibunya seorang saudagar batik

yang kaya tapi bukan dari keluarga bangsawan. Sebagai perempuan Jawa, ia begitu patuh

kepada adapt istiadat dan pekatnya budaya Jawa sama seperti perempuan-perempuan lain

yang sezaman dengannya. Namun pandangan Nenek tentang emansipasi wanita di bidang

ekonomi adalah penting. Beliau berani terjun dalam dunia bisnis yaitu menjadi pengusaha

batik meneruskan usaha ibunya. Alasannya untuk menopang ekonomi keluarganya dan

beliau sebagai seorang isteri tidak hanya bergantung menunggu jatah dari suaminya.

Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.

“ Tetapi berbeda dengan perempuan-perempuan bangsawan lain yang nyaris tak


pernah terjun dalam urusan bisnis, Nenek justru bergerak secara aktif mengurus
bisnisnya tanpa takut mendapat penilaian negatif. Maklum, pada masa itu
perempuan-perempuan bangsawan tinggi jarang yang berkecimpung dalam dunia
perdagangan karena takut akan menurunkan derajat mereka. Takut dinilai sebagai
“bakul” (penjual). Sebab kebiasaan pada masa itu, hanya perempuan-perempuan
kelas bawah sajalah yang ikut aktif di dalam roda ekonomi, bahkan dengan
berjualan di pasar ataupun dengan menjajakannya di jalan-jalan. ” (TOP hlm: 78)

Beliau memiliki sifat dan kemauan yang sedemikian keras dan kuat sampai-

sampai menelorkan gagasan dan bahkan cita-cita yang barangkali jarang dimiliki oleh

perempuan-perempuan lain yang hidup sezaman dengan beliau. Cita-cita itu adalah

mengusahakan agar ketujuh anaknya bersekolah setinggi mungkin. Gaji Eyang Kakung

memang mampu membiayai hidup keluarga besarnya, yaitu seorang isteri, dua selir, dan
70

tiga belas anak. Tetapi untuk biaya sekolah semua anaknya sampai ke perguruan tinggi,

jelas itu tidak akan mencukupi. Maka Nenek dengan seluruh tekadnya berusaha menambal

kekurangan itu dengan memajukan pabrik batik warisan orang tuanya. Dan berkat

usahanya itulah akhirnya semua anaknya berhasil menjadi sarjana. Bahkan empat orang

diantaranya, termasuk Ibu, meraih sarjana strata dua. Pernyataan tersebut seperti yang

terdapat dalam kutipan berikut ini.

“ Terlebih dengan bukti bagaimana ketujuh anaknya mendapat pendidikan yang


layak dan hidup dalam kecukupan. Apalagi ditambah pendidikan informal yang
diajarkan di rumah dengan mendatangkan berbagai guru untuk mereka. ” (TOP
hlm: 27)
“Kalau bukan karena beliau, ibu tidak akan mungkin bisa merasakan bagaimana
rasanya menjadi dosen dan apa artinya dunia pengetahuan bagi kehidupan
manusia, “ acap kali ibu berkata seperti itu setiap kali ada di antara anak-anaknya
yang tampak agak kendor semangat belajarnya.” (TOP hlm.80)

Pandangan Nenek tentang emansipasi wanita di bidang ekonomi adalah sangat

penting dan tiu harus dilakukan oleh seorang wanita agar keluarganya dapat memperoleh

kehidupan yang layak dan mencukupi segala kebutuhannya. Sehingga bisa mendapatkan

apa yang patut didapat oleh wanita yaitu kehidupan yang layak, pendidikan yang tinggi.

Meskipun demikian sebagai seorang wanita Jawa yang memegang teguh adat-istiadat Jawa,

beliau tidak pernah lepas dari ajaran-ajaran orang tuanya. Sebagai seorang perempuan Jawa

dalam hal perkawinan tidak diperbolehkan memilih calon sendiri atau dengan kata lain

mereka dipaksa untuk menerima jodoh pemberian orangtuanya dan dipaksa tunduk kepada

suaminya. Hal itu dialami Nenek dahulu ketika menikah dengan Kakek. Hal ini

dikarenakan Nenek sebagai seorang wanita yang diposisikan sebagai orang yang mengurus

rumah tangga, sejak kecil hingga dewasa kehidupannya sudah diatur oleh orang tua

termasuk masalah jodoh. Menurut orang tua Nenek, menikahkan anak gadisnya dengan
71

seorang bangsawan dianggap sebagai satu cara termanjur untuk menaikkan derajat bagi

keluarga besar mereka. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.

“ Maka nilai seperti itu pulalah yang tertanam dalam batin seluruh keluarga besar
Eyang Putri. Wajahnya yang rupawan menjadi harapan keluarga untuk
memurnikan kembali darah bangsawan mereka. Bibit, bobot, dan bebet Eyang
Putri cukup bagus. Wajahnya rupawan. Pendidikannya lumayan. Maka menjadi
seorang isteri bangsawan tinggi atau malah isteri salah satu putra raja merupakan
sesuatu yang pantas baginya. ” (TOP hlm: 24)
“ Bagi keluarga si gadis, semakin tinggi kedudukan anak perempuannya nanti
dalam kehidupan rumah tangga bangsawan, akan semakin naik derajat mereka di
mata masyarakat. ” (TOP hlm: 26)

Karena pandangan-pandangan itulah, Nenek ingin menjodohkan Gading dengan

laki-laki yang dianggap pantas untuk cucunya itu. Pantas dari segi bibit, bobot, dan

bebetnya, sehingga diharapkan akan menaikkan derajat keluarga mereka di mata

masyarakat.

Selain itu dalam rumah tangga seorang isteri harus tunduk kepada suami. Menurut

ajaran yang diterimanya dari orang tuanya, bahwa seorang isteri harus patuh dan menurut

pada suami. Tidak diperbolehkan membantah apa yang sudah menjadi kehendak suami.

Segala yang dilakukan oleh suami harus diterima isteri sebagai suatu takdir. Ajaran ini

beliau tanamkan di hati semua anak-anak, cucu bahkan cicitnya. Termasuk cucu

kesayangannya yaitu Gading. Dengan segala cara beliau berusaha memberikan nasehatnya

tentang sikap yang harus dimiliki oleh seorang isteri kepada suaminya. Pernyataan tersebut

seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.

“ Seperti yang eyangku sering katakan kepadaku bahwa perempuan haruslah rela
menerima apa saja perlakuan sang suami. Perempuan juga harus berani memiliki
sikap untuk “ nrimo ing pandum ” dan menerima dengan rela “ jatah” yang
diberikan kepadanya sebagai suatu ketentuan yang sudah digariskan oleh Yang
Maha Kuasa. ” (TOP hlm: 26)
72

“ Sebab menurut ajaran yang diterimanya, perempuan sejati atau perempuan


utama harus memiliki sikap pasrah dan merentangkan keselarasan baik terhadap
Tuhan, terhadap sesama, maupun terhadap diri sendiri. Sutu sikap yang harus
dikuasai mereka melebihi kemampuan laki-laki untuk hal yang sama. Sebab, laki-
laki tidak perlu memperhitungkan kehadiran sesama yang berjenis perempuan
sebagai makhluk yang memiliki tataran setara. ” (TOP hlm: 27)

Apabila nilai-nilai tersebut tidak dimiliki dan diterapkan oleh perempuan, akan

berakibat fatal. Hal-hal yang tidak diinginkan seperti perceraian akan terjadi. Pernyataan

tersebut sperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.

“ Oleh karena itu kalau seorang perempuan tidak bisa bersikap kompromistis,
maka akan lebih malanglah nasibnya. Bercerai dari suami, apalagi dipulangkan ke
rumah orangtuanya, merupakan aib besar yang bukan hanya disandang dirinya
sendiri, tetapi juga keluarga besarnya. ” (TOP hlm: 27)

Salah satu hal yang tidak dimengerti oleh Ibu dan Gading, adalah bagaimana

seorang wanita seperti Nenek menerima perilaku Kakek yang memiliki isteri banyak atau

selir. Pandangan Nenek terhadap perkawinan poligami, bahwa itu adalah hak seorang laki-

laki. Apalagi Kakek adalah seorang keturunan bangsawan yang kaya. Bagi mereka tidaklah

menjadi masalah meminang gadis mana pun yang disukainya. Pernyataan tersebut seperti

yang terdapat dalam kutipan berikut ini.

“ Pada masa itu, bagi bangsawan tinggi--- apalagi yang kaya --- tidaklah sulit
untuk meminang gadis mana pun yang diinginkanya. Hanya dengan mengutus
orang-orang kepercayaannya, ia bisa mengambil gadis yang diminatinya untuk
dijadikan selir. ” (TOP hlm: 26)
“ Sebelum Eyang Kakung memperisteri beliau, sudah ada beberapa selir yang
tinggal di bagian belakang rumahnya. Namun pada masa itu, seorang laki-laki
beristeri banyak bukanlah suatu masalah. Berbagi kasih dan perhatian suami
dengan banyak wanita lain adalah sesuatu yang biasa terjadi. ” (TOP hlm: 26)
73

Agar kita sebagai isteri bertahan adalah dengan menerima pasrah apa yang sudah

menjadi hak suaminya. Memiliki sikap “ nrimo ing pandum ” adalah jurus terampuh yang

harus dimiliki oleh perempuan agar tidak menjadi orang yang kalah. Menurut Nenek kita

boleh mencintai suami, namun jangan sampai menyerahkan semua hati kita kepada mereka.

Hal ini dimaksudkan agar jika terjadi sesuatu kita tidak akan terlalu merasa sakit hati.

Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.

“ Bukankah sudah berapa belas kali Eyang nasihatkan padamu untuk jangan
sekali-kali memberikan seluruh hatimu kepada seorang laki-laki. Sedikit saja
sudah cukup, sehingga kalau ada apa-apa, yang sedikit itu akan segera terbang
ditiup angina dan larut diterpa waktu. ” (TOP hlm: 18)
“ Mengingat adanya perempuan-perempuan lain, aku tidak tahu apakah nenekku
itu benar-benar mampu melayari kehidupan perkawinannya dengan cara seperti
yang dimaksudkannya kepadaku, yaitu tidak menyerahkan seluruh hati kepada
seorang laki-laki. ” (TOP hlm: 28)

Meskipun demikian Nenek bahagia dengan perkawinannya. Tidak pernah

sekalipun beliau memperlihatkan air muka yang keruh dan wajah yang murung. Apalagi

menangis. Kalaupun pernah menitikkan air mata, itu adalah tangis haru ketika anak-

anaknya berhasil dalam pendidikan atau ketika mereka menikah dan kemudian

memberinya cucu-cucu.

4.3.2 Pandangan Ibu tentang Emansipasi Wanita

Tokoh utama wanita yang kedua adalah Ibu. Tokoh ini merupakan generasi kedu,

anak bungsu dari tujuh anak yang dimiliki Nenek. Karena merupakan generasi yang

berbeda dan terlahir di lingkungan yang berbeda pula, maka mempengaruhi pandangan Ibu

terhadap emansipasi wanita. Tokoh ini sangat mendukung gerakan emansipasi wanita.

Lingkungan keluarga yang tidak terlalu mengekang kebebasan dia. Ibu sangat mendukung
74

adanya gerakan emansipasi. Di bidang politik dan hukum, Ibu menentang adanya

perjodohan. Wanita tidak diperkenankan untuk menolaknya. Padahal menurut Ibu

perjodohan hanya akan menyengsarakan wanita itu sendiri. Dalam perjodohan si wanita

tidak mengenal laki-laki yang nantinya akan menjadi suaminya, bahkan dari keluarga mana

dia berasal pun tidak diketahui oleh si gadis. Pernyataan tersbut seperti yang terdapat dalam

kutipan berikut ini.

“ Tetapi bagaimanapun juga dalam hal-hal yang menyangkut perkawinan


semacam itu, eyangmu tidak akan berani terlalu jauh mencampuri urusan keluarga
anak-anaknya. Lagi pula sudah bukan zamannya lagi melamar anak gadis tanpa
lebih dulu meminta persetujuan yang bersangkutan, sahut ibuku. ” (TOP hlm:
120)
“ ….memberinya pemahaman baru bahwa keberadaan perempuan, dalam arti
eksistensinya sebagai seorang manusia atau individu, tidaklah berada di bawah
dominasi siapa pun juga. Termasuk dominasi orang tua atau suaminya.
Perempuan juga mempunyai hak atas dirinya sendiri. ” (TOP hlm: 120)
“ Eyangmu harus tahu bahwa perempuan juga berhak menentukan nasibnya
sendiri, berhak memilih siapa yang akan menjadi suaminya dan berhak pula
menolak laki-laki yang disodorkan pada kita, kalau kita memang tidak
menyukainya. ” (TOP hlm: 124)

Pandangan Ibu yang memperjuangkan hak-hak wanita tidak hanya beliau lakukan

di bidang politik dan hukum saja. Di bidang pendidikan, Ibu mendapat pendidikan sampai

ke jenjang yang tinggi, sehingga mampu untuk mencari penghasilan sendiri. Menurut

beliau seorang perempuan berhak menentukan sendiri cara dia merealisasikan potensi dan

bakatnya. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.

“ Terutama kepada para wanita. Sikap mereka tetap saja diskriminatif dan seksis,
tidak mau tahu bahwa perempuan juga mempunyai hak dan cita-cita sendiri.
Bahwa, wanita juga ingin merealisasikan potensi dan bakatnya. ” (TOP hlm: 121)

Ibu tidak menyetujui adanya penindasan kaum wanita di bidang ekonomi

(pemiskinan ekonomi), pembodohan akibat kurangnya pendidikan yang diperoleh mereka.

Oleh karena itu beliau melancarkan protes terhadap ketidakadilan gender di bidang
75

ekonomi dengan berprofesi sebagai dosen di sebuah perguruan tinggi. Pernyataan tersebut

seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.

“ Ibuku melakukan protesnya dengan menjadi dosen di sebuah perguruan tinggi…


Seolah, profesi dosen merupakan cara bagaimana dia memperlihatkan otoritas
yang dimiliki. ” (TOP hlm: 122)

Dengan cara inilah menurut Ibu, seorang wanita tidak akan pernah ditindas lagi

oleh laki-laki. Mereka tidaka akan berani memperlakukan wanita dengan semena-mena.

Kaum wanita dapat mensejajarkan diri dengan kaum pria. Bahkan kalu perlu menjadi mitra

yang sejajar dengan pria. Menunjukkan kemampuan kita sebagai seorang wanita untuk

mengerjakan semua pekerjaan yang dilakukan oleh pria adalah cara yang tepat agar tidak

direndahkan oleh mereka. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut

ini.

“ Kalau perempuan ingin dihargai haknya, ingin kesetaraannya dengan laki-laki


diakui, maka mereka harus bisa pula menunjukkan kemampuan yang sama seperti
apa yang dikerjakan oleh laki-laki. ” (TOP hlm: 123)

Pandangan Ibu sebenarnya sependapat dengan pandangan Nenek tentang

emansipasi wanita di bidang pendidikan dan ekonomi. Pernyataan tersebut seperti yang

terdapat dalam kutipan berikut ini.

“ Terlepas dari tujuan sesungguhnya, dalam beberapa hal Ibu menyetujui


pendapat Eyang. Perempuan memang harus bisa mandiri agar jangan terlalu
direndahkan laki-laki. Perempuan juga harus mempunyai pengetahuan tinggi dan
kemampuan untuk bersikap mandiri agar tidak tergantung kepada laki-laki. ”
(TOP hlm: 136)

Oleh karena itulah, Ibu tidak ingin hal itu terjadi pada putrinya. Sudah menjadi

kewajiban kaum perempuan untuk memperjuangkan haknya agar sederajat dengan kaum

laki-laki. Namun Ibu berharap apa yang telah diperjuangkan tersebut tidak akan melanggar
76

kodrat kita sebagai seorang perempuan yaitu mengurus rumah tangga. Pernyataan tersebut

seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.

“ Ibu berharap tidak seorang pun di antara kalian anak-anak perempuanku,


pernah direndahkan orang hanya karena kalian berjenis kelamin perempuan.
Kalau kau beranggapan bahwa perempuan itu memiliki hak, kewajiban, dan
kesetaraan dengan laki-laki, kerjakanlah apa yang bisa kalian lakukan sejauh itu
tidak menyalahi kodratmu sebagai perempuan yang mengalami haid, bisa
mengandung, melahirkan, dan menyusui. ” (TOP hlm: 123)

Pandangan Ibu walaupun ada yang sependapat dengan pandangan Nenek, ada

beberapa hal yang beliau tidak sependapat. Misalnya saja pandangan Nenek tentang

perkawinan. Ibu sangat tidak menyukai adanya perjodohan atau kawin paksa, nilai-nilai

Jawa yang harus dimiliki seorang wanita sebagai isteri yang terlalu memberatkan tugas

mereka sebagai isteri. Ibu sangat tidak menyetujui pandangan bahwa seorang isteri harus

memiliki sikap pasrah, sabar, pemaaf, nrimo, bakti dan penuh pelayanan kepada suami.

Menurutnya, wanita adalah seorang manusia biasa bukanlah benda atau bayang-bayang

yang dianggap tidak ada. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut

ini.

“ Maka perempuan harus bersikap sabar, penuh pemaafan, dan pemahaman,


nrimo, bakti, dan penuh pelayanan. Terhadap suami, seorang isteri harus
meletakkan seluruh hidup dan masa depannya, sehingga kemana pun suami pergi,
dia harus ikut. Tetapi Ibu tidak bisa menerima pandangan seperti itu….
Perempuan juga seorang manusia, bukan bayang-bayang dan bukan alas kaki
suami! ” (TOP hlm: 124-125)

Bagi Ibu, seorang isteri mempunyai hak dan kebebasan untuk melakukan sesuatu

yang dapat dipertanggungjawabkan. Kebebasan yang terbatas tersebut sangat diperlukan

agar dalam kehidupan berumahtangga, tidak terjadi penindasan oleh suami. Bahkan lebih

parah lagi menurut pandangan Ibu, bila kebebasan wanita dalam kehidupan
77

rumahtangganya tidak ada, dia hanya dijadikan pembibitan untuk pria dalam mendapatkan

keturunan. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.

“ Perempuan juga mempunyai hak atas dirinya sendiri. Maka, seorang isteri juga
seorang individu merdeka yang memiliki kehendak bebas dan mampu
mempertanggungjwabkan perbuatannya. Maka pula eyangmu harus bisa
memahami bahwa seorang isteri bukan perhiasan rumah, bukan pula termasuk
salah satu inventaris rumah. Lebih-lebih lagi, seorang isteri bukanlah tempat
pembibitan untuk mendapatkan keturunan bagi laki-laki. ” (TOP hlm: 120)

Isteri adalah seorang manusia biasa yang mempunyai kemampuan terbatas. Ada

kalanya seorang isteri tidak mampu mengerjakan sesuatu melebihi kemampuannya sebagai

seorang isteri. Tugas rumah tangga yang cukup berat, masih dibebani pula dengan tugasnya

di luar rumah yaitu sebagai wanita karier, tidak didukung oleh suami untuk membantu

meringankan bebannya tersebut. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan

berikut ini.

“ Bahwa perempuan juga manusia biasa yang mempunyai keterbatasan di saat


masyarakat mengharuskan dia menjadi perempuan super yang bisa membagi diri
ke dalam pelbagai peran. Ya sebagai Ibu, sebagai isteri, sebagai pengelola rumah
tangga, sebagai warga masyarakat setempat, sebagai karyawati atau apa pun
kariernya di luar rumah, dan sebagai anak bangsa di suatu negara berikut segala
kewajibannya. ” (TOP hlm: 123)

Oleh karena itu, Ibu menganggap dalam pekerjaan rumah tangga sebaiknya ada

pembagian tugas antara suami dengan isteri. Hal tersebut dikarenakan mereka berdua

sama-sama bekerja di luar rumah. Agar adil suami membantu isteri dalam menyelesaikan

tugas-tugas rumah tangga seperti mencuci piring, pakaian, menyapu dan pekerjaan rumah

yang lainnya. Ibu menganggap bahwa pembedaan tugas rumah tangga harus ditiadakan

agar sama-sama berpartisipasi, tidak ada yang merasa dirugikan. Pernyataan tersebut

seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.


78

“ Mestinya bapakmu yang mencuci piring-piring kotor ini, wong hari ini dia tidak
pergi kemana-mana! ” (TOP hlm: 150)
“ Yang harus kaukasihani itu Ibu, Mayang! ” Sudah bangunnya paling pagi, itulah
sebenarnya yang mau Ibu katakana, bahwa pekerjaan ibu rumah tangga itu berat.
” (TOP hlm: 150)

Sebagai seorang isteri, Ibu tidak pernah melayani suaminya seperti Nenek

melayani Kakek. Beliau menganggap menyediakan minuman, menyediakan air hangat

untuk mandi adalah hal yang masih bisa dikerjakan oleh suaminya, sehingga Ibu tidak

perlu untuk melayaninya. Hal itu Ibu lakukan agar suaminya tahu bahwa dalam rumah

tangga harus ada kesetaraan. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan

berikut ini.

“ Sebaliknya, Ibu juga menginginkan bapakmu melakukan hal-hal yang bisa


dilakukannya sendiri tanpa bantuan isteri, seperti misalnya mengatur dan
menyediakan sendiri pakaian dalamnya. Atau mengambil makanannya, atau apa
sajalah. ” (TOP hlm: 182)
“ Begitu pula ketika Eyang Putri menegur Ibu sewaktu beliau melihat Bapak
mengambil sendiri minunmannya dari meja the, kudengar Ibu membantah dengan
kalen tetapi tegas. Biar sajalah, Bu. Bukan hanya dia yang capek. Ratih juga
merasakannya. Kami sama-sama bekerja seharian… ” (TOP hlm: 141)

Karena menganggap sama-sama capek, Ibu tidak mau melayani Bapak. Padahal,

melayani suami adalah tugas utama sebagai seorang isteri. Namun, Ibu tetap bersikukuh

untuk tidak melayani Bapak. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan

berikut ini.

“ Nah, dalam kondisi sama-sama capek, bahkan lebih capek lagi, masih haurskah
Ibu juga melayani kebutuhan Bapak? Adilkah kalau Ibu terus didesak-desak untuk
melayani Bapak hany karena budaya kita mengatakan bahwa suami harus dicintai,
dilayani, dan dimanjakan? ” (TOP hlm: 144)
79

Apa yang Ibu lakukan terhadap Bapak bukan tidak beralasan. Hal tersebut

dikarenakan masa lalu Ibu yang begitu menyakitkan sehingga masih membekas sampai

sekarang. Ibu mengalami masa di mana beliau harus menghadapi situasi yang tidak

menyenangkan. Setiap hari Ibu harus menyaksikan ketidakadilan yang dialami oleh ibunya

yaitu Nenek. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.

“ Semasa kecil, hidup Ibu penuh dengan pergolakan batin, antara lain karena
melihat ketidakadilan yang terjadi di rumah tempat Ibu hidup dan menjadi bagian
di dalamnya. ” (TOP hlm: 126)

Ketidakadilan yang dialami oleh ibunya adalah karena ayahnya menjalani hidup

rumah tangga dengan melakukan poligami. Beliau mempunyai banyak selir. Ibu tidak bisa

membayangkan bagaimana Nenek bila hidup berumah tangga dengan kondisi yang

demikian. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.

“ Ketidakadilan terhadap perempuan yang diwakili oleh ibuku sendiri, yaitu


eyang putrid kalian itu. Bayangkanlah bagaiamana seorang perempuan cantik,
muda, dan cerdas seperti Eyang Putri, yang kalau menilik kemampuannya dia bisa
hidup mandiri, harus memberikan kesetiaan dan pengabdiannya kepada seorang
laki-laki yang tidak pernah menghargai pengorbanannya. Eyang kakung bukan
hanya mempunyai selir-selir yang kemudian dinikahinya, tetapi sering bermain-
main dengan perempuan lain tanpa memahami bagaimana perasaan istserinya. ”
(TOP hlm: 126)

Namun ada hal yang paling membuat Ibu sakit hati dan trauma, yaitu saat Nenek

mengandung dan akan melahirkan adiknya. Di saat penting seperti itu Kakek tidak

mendampingi Nenek. Bahkan Beliau berada di rumah salah satu selirnya. Akibatnya Nenek

kehilangan anak tersebut meninggal saat dilahirkan. Ibu tidak bisa membayangkan

bagaimana situasi tersebut dialami Nenek. Kondisinya yang sudah tidak kuat menahan

sakit, dan dia butuh dukungan suaminya harus berjuang sendiri melahirkan anaknya.

Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.


80

“ Waktu eyang putrimu mengandung adik Ibu dan kemudian tiba waktu untuk
melahirkannya. Itulah saat yang pahit bagi Ibu. ” (TOP hlm:129)
“ Nah, dalam keadaan hamil tua seperti itu, Eyang Putri ingin supaya Eyang
Kakung lebih banyak menemaninya, terutama malam itu. Saat itu, perutnya
memang sudah mulai terasa tegang-tegang. Tetapi Eyang Kakung menjawab
bahwa beliau sudah terlanjur ditunggu oleh istrinya yang lain. ” (TOP hlm:129)

Itulah yang melatar belakangi pandangan Ibu terhadap Emansipasi Wanita di

lingkungan keluarga yang sangat berbeda dengan pandangan Nenek. Pandangan Ibu terlalu

berlebihan sehingga terkesan melupakan kodratnya sebagai seorang perempuan yang sudah

bersuami. Emansipasi yang Ibu lakukan itu justru memberi gambaran bahwa beliau ingin

mendominasi bahkan mengungguli laki-laki di segala bidang.

4.3.3 Pandangan Gading tentang Emansipasi Wanita

Gading adalah seorang gadis yang terlahir di era globalisasi dan di lingkungan

keluarga yang demokratis. Meskipun kedua orang tuanya masih menanamkan nilai-nilai

budaya Jawa, namun tidak menutup kebebasan anak-anaknya untuk maju. Selain itu

mereka dididik untuk berpikiran modern dan berwawasan luas. Kebebasan berbicara yang

diajarkan oleh orang tuanya memberikan pengetahuan bahwa manusia bebas untuk

mengemukakan pendapatnya, bebas untuk memilih, menimbang dan memutuskan sesuatu

tanpa adanya campur tangan dari pihak luar.

Oleh karena itu dia sangat setuju dengan perjuangan wanita untuk menuntut

haknya di bidang politik, hukum dimana perempuan bebas untuk memilih, menimbang dan

memutuskan suatu hal. Pandangan dia tentang hal ini, bahwa perempuan adalah manusia

yang memiliki hak yang sama seperti halnya dengan laki-laki. Kebebasan untuk memilih,

menimbang dan memutuskan tersebut tidak hanya dimiliki oleh kaum laki-laki saja tapi
81

juga dimiliki oleh perempuan. Pandangan yang dimiliki oleh Gading ini senada dengan

pandangan yang dimiliki oleh Ibu, namun bertolak belakang dengan pandangan yang

dimiliki oleh Nenek. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.

“ Celakanya, apa yang dikatakan oleh nenekku itu sangat bertentangan dengan
apa yang ada di dalam batinku. Bagiku bicara soal hak untuk memilih, itu adalah
milik setiap orang, entah dia laki-laki entah pula dia itu seorang perempuan.
Bukan hany milik laki-laki saja. Terlebih jika itu menyangkut martabat manusia
dan nilai-nilai kemanusiaan lainnya sebagai hak dasar atau hak asasi manusia. ”
(TOP hlm:9)

Dengan berdasarkan pandangannya tersebut, Gading menolak perjodohannya

dengan laki-laki pilihan Neneknya.

Pandangan Gading tentang emansipasi wanita tidak hanya di bidang

politik/hokum saja, tetapi juga di bidang pendidikan. Gading sangat bersyukur dia

dilahirkan di lingkungan keluarga yang sangat memperhatikan masalah pendidikan.

Pendidikan adalah modal penting yang harus dimiliki manusia agar kelak dia bisa menjadi

orang yang sukses. Dengan pendidikan yang didapat oleh Gading menjadikannya sebagai

gadis yang kritis dengan keadaan sekitar, dan mengajarkannya menjadi perempuan yang

bijak yang mampu memilih dan memilah hal mana yang dianggap benar dan mana yang

salah. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.

“ Aku adalah seorang perempuan yang cukup kritis, sehingga tidak menelan
mentah-mentah begitu saja apa pun yang kupelajari. Dan meskipun aku tumbuh
dewasa diantara dua pola pikir yang berasal dari dua generasi yang berbeda, aku
selalu belajar mengolah segala sesuatunya agar pas dengan hati nuraniku yang
paling dalam, untuk kemudian menjadi nilai-nilaiku sendiri. ” (TOP hlm:222)

Gading mendapat pendidikan yang tinggi, oleh karena itu dia memilih profesi

menjadi seorang wartawan. Sebuah cita-cita yang lama dia impikan untuk diwujudkan.

Menurutnya, profesi sebagai wartawan adalah profesi yang paling tepat untuknya saat ini.
82

Karena dia memiliki rasa ingin tahu yang begitu besar tentang suatu hal. Gading juga dapat

memanfaatkan ilmu yang telah didapatnya. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam

kutipan berikut ini.

“ Kau kan tahu, sebagai wartawan pada prinsipnya kami bekerja dua puluh empat
jam sehari. Kalau tidak begitu, kami bisa kehilangan berita besar karena keduluan
orang. ” (TOP hlm:234)
“ Ya, di tempat itu ilmu yang kupalajari terpakai. Suasananya juga enak dan aku
bisa mengembangkan diri karena kesempatan untuk itu terbuka lebar bagi kami.
Para atasan berpikir bahwa perusahaan akan berkembang maju kalau semua orang
ikut berpartisipasi dan mendapat kesempatan untuk berkembang pula. ” (TOP
hlm:261)

Dari profesinya ini, Gading mendapatkan kehidupan ekonomi yang serba

berkecukupan. Bahkan berbagai fasilitas yang sebelumnya tidak dia miliki seperti mobil

dan sebagainya. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.

“ Tak kuceritakan bahwa bulan depan aku sudah menempati posisi yang lebih
tinggi, menggantikan atasanku yang mendapat tugas baru. Dan juga tak
kuceritakan bahwa posisi baruku yang lebih menuntut tanggung jawabku
nantinya, aku akan mendapat beberapa fasilitas yang sekarang tidak kumiliki,
yaitu ruang sendiri, mobil dinas, dan tentu saja kenaikan gaji. ”

Selain itu emansipasi yang dilakukan oleh Gading juga di lingkungan keluarga.

Dalam sebuah perkawinan, dia berpandangan bahwa jodoh yang nantinya menjadi

suaminya adalah orang yang telah dia pilih sendiri, bukan pilihan orang lain. Sebuah

perkawinan tidak bisa dilakukan sembarangan. Menurutnya perkawinan itu sakral, dan

sebisanya dilakukan sekali seumur hidup. Oleh karena itu perkawinan harus dipersiapkan

benar-benar, sehingga kita tidak menyesal di kemudian hari. Pernyataan tersebut seperti

yang terdapat dalam kutipan berikut ini.

“ Tetapi kau harus tahu Mas, bagiku hubungan seorang laki-laki dan seorang
perempuan, apalagi kalau sudah menyangkut pada rencana perkawinan, itu perlu
perencanaan dan pemikiran yang mendalam. Perkawinan adalah satu wadah yang
83

suci karena sedikitnya menyangkut kebahagiaan sebuah keluarga. Terutama


karena menyertakan nama Tuhan di dalamnya. Jadi, tidak bisa sembarangan! ”
(TOP hlm:266)

Seperti halnya pandangan Ibu, menurut Gading perkawinan poligami tidak

menghormati hak perempuan. Dengan poligami laki-laki telah melecehkan kaum

perempuan dan merendahkan martabat perempuan.

4.3.4 Persamaan dan Perbedaan Pandangan Ketiga Tokoh Utama Wanita

Pandangan ketiga tokoh utama wanita dalam novel ini memiliki persamaan dan

perbedaan. Persamaan pandangan tersebut didasarkan atas kesamaan visi dan misi yang

ingin dicapai oleh tokoh-tokoh tersebut. Persamaan pandangan tokoh utama wanita dalam

novel ini mencakup di bidang politik/hukum, ekonomi, pendidikan, dan lingkungan

keluarga.

Dalam bidang politik/hukum tokoh Ibu dan Gading memiliki persamaan

pandangan yaitu bahwa seorang wanita memiliki hak untuk memilih, menimbang, dan

memutuskan sama halnya dengan hak yang dimiliki oleh kaum laki-laki. Hak tersebut

merupakan hak individu yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia baik laki-laki maupun

perempuan. Kebebasan untuk memilih, menimbang, dan memutuskan tersebut patut

diperjuangkan oleh kaum perempuan agar mereka mendapat perlakuan yang sama dengan

laki-laki sehingga tidak terjadi ketidakadilan gender yang merugikan kaum perempuan.

Bidang lain yang memiliki persamaan pandangan yaitu bidang ekonomi. Tokoh

Nenek, Ibu, dan Gading memiliki persamaan pandangan yaitu bahwa seorang wanita

memiliki hak untuk mendapatkan penghidupan yang layak. Dengan bekerjalah mereka

memiliki kesempatan yang sama dengan kaum laki-laki untuk mendapatkan penghidupan
84

yang layak. Kaum wanita yang bekerja memiliki kesempatan untuk mengembangkan

potensi dan bakat yang dimilikinya sehingga menjadikannya sebagai wanita yang maju.

Namun tokoh Nenek berpandangan seperti tersebut di atas lebih cenderung karena keadaan

yang memaksa beliau untuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya. Suaminya yang beristeri

banyak tidak cukup menanggung biaya hidup Nenek dan anak-anaknya. Oleh karena itu

Nenek bekerja mengembangkan usaha batik untuk menghidupi anak-anaknya.

Dalam bidang pendidikan tokoh Nenek, Ibu, dan Gading memiliki persamaan

pandangan yaitu bahwa pendidikan adalah kunci yang harus dimiliki manusia agar maju

dan memiliki kehidupan yang lebih baik. Pendidikan adalah hak yang dimiliki oleh semua

manusia baik laki-laki maupun perempuan. Persamaan pandangan tersebut dibuktikan oleh

tokoh Nenek dengan memberikan pendidikan yang setinggi mungkin kepada anak-

anaknya. Tokoh Ibu adalah bukti konkret dari cita-cita Nenek. Ibu berhasil menjadi seorang

dosen di sebuah perguruan tinggi favorit. Sedangkan tokoh Ibu mampu menyekolahkan

Gading sampai ia menjadi seorang wartawan. Menurut Gading profesinya sebagai

wartawan sesuai dengan ilmu yang telah diperolehnya di bangku kuliah. Profesi tersebut

juga menyalurkan bakat dan talenta yang dimiliki oleh Gading. Intinya dengan pendidikan

membuka jalan kita untuk menjadi maju dan mendapatkan penghidupan yang layak.

Dalam lingkungan keluarga tokoh Ibu dan Gading memiliki persamaan

pandangan yaitu bahwa kaum perempuan sebagai seorang isteri adalah manusia biasa yang

berhak mendapatkan perlakuan yang adil dari suaminya. Perjodohan dan perkawinan

poligami adalah salah satu contoh ketidakadilan gender dalam lingkungan keluarga. Kedua

hal tersebut sangat bertentangan dengan apa yang ingin diperjuangkan wanita melalui

gerakan emansipasi wanita. Tokoh Ibu dan Gading juga sangat tidak menyetujui
85

perjodohan dan perkawinan poligami. Kebebasan kaum perempuan untuk memilih calon

pendamping hidupnya adalah hak yang mendasar yang dimiliki oleh kaum perempuan.

Perkawinan poligami cenderung membuat kaum wanita sebagai korban yang dirugikan

oleh kaum laki-laki. Terkadang isteri yang satu tidak mendapat nafkah lahir batin yang

sama dengan isteri yang lain bahkan diterlantarkan.

Selain persamaan pandangan tentang emansipasi, ketiga tokoh ini juga memiliki

perbedaan pandangan. Terlihat dalam bidang politik/hukum, tokoh Nenek memiliki

perbedaab pandangan dengan tokoh Ibu dan Gading. Nenek sangat menentang kebebasan

wanita untuk memilih, menimbang, dan memutuskan. Karena menurutnya hak itu hanya

dimiliki oleh kaum laki-laki saja. Kita sebagai kaum perempuan tempatnya adalah untuk

dipilih. Unsur tradisional cenderung lebih dominan untuk dipertahankan oleh tokoh Nenek.

Sedangkan tokoh Ibu dan Gading sangat setuju dengan gerakan emansipasi yang

memperjuangkan hak kaum perempuan untuk memilih, menimbang, dan memutuskan.

Sebagai kaum yang feminis, kedua tokoh tersebut kurang mempertahankan unsure

tradisional bahkan tokoh Ibu cenderung membuang unsur tersebut.

Perbedaan pandangan juga terjadi dalam lingkungan keluarga. Tokoh Nenek yang

memegang tradisi sangat kuat membenarkan adanya perjodohan. Karena dengan

perjodohan, akan meningkatkan derajat keluarga di mata masyarakat. Dengan jalan

perjodohan kita dapat memperoleh calon menantu yang bibit, bebet, dan bobotnya jelas dan

sudah pasti dari keluarga ningrat. Tokoh Nenek memliki pandangan bahwa seorang wanita

sebagai isteri harus berani memiliki sikap “nrimo ing pandum”, pasrah, berbakti kepada

suami, dan melayani suami. Tokoh nenek meskipun tidak membenarkan perkawinan

poligami yang dijalaninya bersama kakek, tidak mampu untuk menentang keinginan kakek
86

untuk beristeri banyak. Beliau lebih memilih diam tanpa protes sedikit pun kepada kakek

dan menjalani kehidupan perkawinan dengan hati pasrah. Sedangkan tokoh Ibu dan Gading

sangat tidak setuju dengan pandangan Nenek tersebut. Sebagai seorang isteri hendaknya

diberi kebebasan juga untuk mensejajarkan diri dengan suaminya. Sehingga mereka tidak

diperlakukan sewenang-wenang oleh suaminya.


87

BAB V

PENUTUP

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil pembahasan pada bab IV dapat disimpulkan sebagai berikut.

Pertama, pembahasan mengenai watak tiga tokoh utama wanita. Tokoh pertama,

Nenek, adalah sosok wanita Jawa berumur lebih dari delapan puluh empat tahun. Beliau

masih memegang teguh adat Jawa. Nilai-nilai atau norma-norma Jawa yang dianut

mempengaruhi pandangannya tentang emansipasi. Tokoh kedua, Ibu, adalah sosok wanita

Jawa berumur lebih dari lima puluh tahun. Berwawasan modern, dan tidak lagi memegang

teguh adat Jawa sebagai pedoman hidupnya. Tokoh ini berpandangan bahwa emansipasi

wanita adalah penting untuk diperjuangkan. Tokoh ketiga, Gading, adalah sosok wanita

modern yang hidup di masa sekarang. Dia sangat mendukung emansipasi wanita namun

tidak meninggalkan nilai-nilai atau norma-norma sosial yang ada di masyarakat Jawa.

Kedua, analisis watak tiga tokoh utama wanita di atas selanjutnya digunakan

untuk mendeskripsikan emansipasi yang ada di dalam novel Tiga Orang Perempuan.Hasil

dari pembahasan tersebut adalah bahwa emansipasi wanita dalam novel ini terjadi dibidang

politik, hukum, ekonomi, pendidikan, dan di lingkungan keluarga. Di bidang politik,

emansipasi wanita menuntut adanya hak yang sama untuk memilih, menimbang, dan

memutuskan. Tokoh Ibu dan Gadinglah yang memperjuangkannya. Hal tersebut dibuktikan

dengan menolak keinginan Nenek untuk menjodohkan Gading dengan laki-laki pilihan

Nenek. Seorang wanita berhak untuk memilih siapa calon suaminya kelak,

mempertimbangkan apakah laki-laki pilihannya itu benar-benar yang terbaik, baru


88

kemudian memutuskan apakah laki-laki itu menjadi suaminya atau tidak. Di bidang hukum,

emansipasi wanita memperjuangkan hak wanita agar mendapatkan keadilan. Tokoh Ibu dan

Gading adalah sosok wanita yang memperjuangkan haknya tersebut. Menurut kedua tokoh

tersebut, kaum wanita berhak mendapatkan keadilan dan perlindungan hukum yang

menyangkut masalah perkawinan, hak waris dan sebagainya. Di bidang ekonomi, tokoh Ibu

memperjuangkan haknya untuk mendapatkan kehidupan yang layak yaitu dengan bekerja

menjadi seorang dosen. Tokoh Gading dengan profesinya sebagai seorang wartawan

menggambarkan wanita yang ingin memeperjuangkan emansipasi wanita di bidang

ekonomi. Di bidang pendidikan, tokoh Ibu dan Gading menggambarkan adanya perjuangan

untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Di lingkungan keluarga, tokoh Ibu

memperjuangkan hak agar mendapatkan perlakuan yang tidak sewenang-wenang dari

suami.

Ketiga, pembahasan mengenai tiga tokoh utama wanita dalam novel Tiga Orang

Perempuan karya Maria A. Sardjono memiliki pandangan yang berbeda-beda tentang

emansipasi. Ada yang mendukung ada pula yang kurang mendukung. Tokoh Nenek kurang

mendukung karena latar belakang budaya/adat. Tokoh Ibu mendukung emansipasi karena

latar belakang pangalaman masa lalu semasa beliau masih kecil.Tokoh Gading mendukung

emansipasi wanita karena latar belakang lingkungan keluarganya yang demokratis dan

berwawasan modern. Kedua tokoh, Ibu dan Gading, sama-sama mendukung emansipasi

wanita karena alasan bahwa wanita berhak untuk maju dan memperoleh hak yang sama

seperti kaum laki-laki.


89

5.2 Saran

Penulis menyarankan agar hasil analisis skripsi yang berjudul Pandangan Tiga

Tokoh Wanita Tentang Emansipasi Dalam Novel Tiga Orang Perempuan Karya Maria A.

Sardjono ini dapat bermanfaat memberikan pengetahuan dan pemahaman yang benar

mengenai emansipasi wanita kepada para pembaca sastra. Manfaat lain bagi peneliti sastra,

penelitian ini dapat digunakan untuk menganalisis novel ini dari segi sosiologi sastra atau

segi ilmu sastra yang lain untuk mendapatkan penelitian yang baru bagi dunia sastra.
90

DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. 1990. Sekitar Masalah Sastra. Malang: Yayasan Asih Asah Asuh.

_________. 2002. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algesindo.

Anshori. 1997. Feminisme Refleksi Muslimah Asas Peran Sosial Kaum Wanita. Bandung:
Pustaka Hidayah.

______. 1997. Feminisme Refleksi Masyarakat Indonesia. Bandung: Pustaka Budaya.

Badudu, J.S Zain, Muhammad. 1996. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan.

Baribin, Raminah. 1987. Kritik dan Penilaian Sastra. Semarang: IKIP Press.

Chudori, Leila S. 1991. Potret Perempuan dalam Novel Indonesia Tempo. No 10 Tahun

XXI 4 Mei. Jakarta: Graffiti Press.

Djajanegara, Soenarjati. 2002. Kritik Sastra Feminis. Jakarta: Gramedia.

Dewi Mahanani, Suprapti. 2003. Feminisme dalam Novel Tumini (Perawan Onderneming)
Karya Karmaputra. Semarang: Unnes.

Fakih, Mansour. 1996. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Jakarta: Pustaka Pelajar.

____________. 2001. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka


Pelajar.

Lubis, Mochtar. 1960. Teknik Mengarang. Jakarta: Balai Pustaka.

Mido, Frans. 1994. Cerita Rekaan dan Seluk Beluknya. Jakarta: Ikrar Mandiri Abadi.

Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press

__________________. 1998. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada


University Press.

__________________. 2002. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada


University Press.
91

Nur Rahayu, Fitriani. 2003. Perspektif Feminisme Tokoh Utama Wanita dalam Novel
Canting Karya Arswendo Atmowiloto. Semarang: Unnes.

Rahmawati, Tri. 2001. Peran dan Emansipasi Tokoh Utama Wanita dalam Novel Jalan
Bandungan Karya NH Dini. Semarang: Unnes.

Sardjono, A. Maria. 2002. Tiga Orang Perempuan. Jakarta: Gramedia.

Sayuti, A. Suminto. 1996. Apresiasi Prosa Fiksi. Jakarta: Depdikbud.

Sudjiman, Panuti. 1986. Kamus Istilah Sastra. Cetakan II. Jakarta: Gramedia.

______________. 1988. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.

______________. 1991. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.

Suharianto, S. 1982. Dasar-dasar Teori Sastra. Surakarta: Widya Utama.

Sugihastuti. 2002. “Kritik Sastra Feminis” Teori dan Aplikasinya. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.

Sumardjo, Jakob. 1986. Ikhtisar Sejarah Teater Barat. Bandung: Angkasa.

Sumartan, dkk. 1995. Mendidik Manusia Merdeka, Romo YB Mangunwijaya 65 Th.


Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.

Suyati, dkk. 1996. Teori Sastra. Jakarta: Depdikbud

Sukada, Made. 1987. Pembinaan Sistematika Analisis Struktur Fiksi. Bandung: Angkasa.

Teguh. 1995. Gender dan Transformasi Sosial. Makalah disampaikan dalam seminar
Bedah Buku Gender dan Transformasi Sosial Karya Mansour Fakih. ISI
Yogyakarta: Yogyakarta.
92

LAMPIRAN

SINOPSIS

Judul novel : Tiga Orang Perempuan

Nama Pengarang : Maria A. Sardjono

TIGA ORANG PEREMPUAN

Kota Solo identik dengan budaya dan adat Jawa yang sangat kental. Masyarakatnya

masih memegang teguh nilai-nilai dan norma-norma sosial yang masih dipengaruhi oleh

budaya patriarkat. Salah seorang di antaranya adalah Nenek. Sosok wanita Jawa yang

berumur kurang lebih delapan puluh empat tahun, namun masih menampakkan

kekuatannya di masa muda. Beliau hidup bahagia dengan keluarganya yaitu Ibu dan

Gading. Ibu adalah anak terakhir Nenek. Dia adalah sosok wanita modern berumur kurang

lebih lima puluh tahun. Tokoh Gading adalah generasi ketiga, seorang gadis dengan

pemikiran kritis dan berwawasan luas.

Ketiga tokoh tersebut terlibat suatu masalah yang rumit. Masalah itu menyangkut

kehidupan pribadi Gading yang akan dijodohkan Nenek dengan laki-laki pilihannya.

Namun keinginan Nenek tersebut tidak disetujui oleh Ibu. Menurutnya, Gading berhak

menentukan jalan hidupnya sendiri tanpa ada campur tangan dari orang lain. Apalagi di

masa sekarang wanita harus mampu untuk hidup mandiri, maju, dan bisa mengembangkan
93

potensi dan bakat yang dimilikinya. Emansipasi adalah jalan yang harus ditempuh oleh

seorang wanita agar bisa disejajrkan dengan kaum laki-laki. Pendapat ini dibantah Nenek.

Beliau cenderung menentang karena latar belakang keluarganya yang berasal dari keluarga

ningrat. Semenjak kecil dia dipingit oleh keluarganya sampai beranjak remaja dan dilamar

oleh laki-laki pilihan keluarganya. Berbeda dengan Gading yang sangat mendukung

emansipasi seperti Ibunya, namun masih memegang nilai-nilai sosial yang ada di

masyarakat terutama masyarakat Jawa.

Permasalahan semakin rumit ketika Ibu menghadapi kenyataan suaminya sendiri

selingkuh dengan wanita lain yang lebih muda usianya. Suaminya melakukan itu dengan

alasan Ibu terlalu otoriter dan menganggap rendah suaminya hanya karena ingin

menunjukkan dominasi Ibu di mata suaminya dan semua laki-laki di mana pun baik di

tempat kerja maupun di lingkungan keluarganya.

Permasalahan itu berakhir setelah adanya campur tangan Gading yang tidak ingin

melihat keluarganya hancur. Seiring dengan berjalannya waktu, Nenek pun menyadari

bahwa apa yang selama ini diperjuangkan oleh Ibu dan Gading adalah semata-mata untuk

membuka hati kaum laki-laki agar tidak memperlakukan kaum perempuan dengan

seenaknya. Bukan untuk memberontak dan melanggar nilai-nilai yang sudah diyakini

masyarakat sebagai ketetapan Tuhan yang disebut kodrat.


94

You might also like