Professional Documents
Culture Documents
SKRIPSI
Oleh :
NIM : 2134990028
Santiasih Isma, Marfika. 2005. Pandangan Tiga Tokoh Utama Wanita dalam Novel Tiga
Orang Perempuan Karya Maria A. Sardjono. Skripsi. Jurusan Bahasa dan
Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang.
Pembimbing I: Dra. Nas Haryati, M.Pd, Pembimbing II: Dra. L.M Budiyati
Kata kunci: tokoh utama, pandangan tokoh, emansipasi
i
modern, berpandangan sangat luas dan selalu menjunjung emansipasi wanita. Analisis
selanjutnya, membahas emansipasi wanita di bidang politik dimana tokoh Ibu dan Gading
memperjuangkan haknya untuk memilih, menimbang, dan memutuskan. Di bidang
hukum tokoh Ibu dan Gading memperjuangkan agar mendapatkan hak untuk memperoleh
keadilan. Di bidang ekonomi tokoh Ibu memperjuangkan hak mendapatkan kehidupan
yang layak dengan menjadi dosen, sedangkan tokoh Gading menjadi seorang wartawan.
Di bidang pendidikan tokoh Ibu dan Gading memperjuangkan haknya dengan
mendapatkan pendidikan yang tinggi. Di lingkungan keluarga tokoh Ibu
memperjuangkan haknya agar tidak diperlakukan sewenang-wenang oleh suami sehingga
cenderung otoriter. Pandangan ketiga tokoh utama wanita tentang emansipasi dalam
novel Tiga Orang Perempuan ada yang mendukung dan ada yang kurang mendukung.
Tokoh Ibu karena latar belakang pengalaman masa lalunya sewaktu dia kecil yang
mendorong Ibu untuk mendukung sepenuhnya emansipasi wanita. Beliau tidak ingin
mengalami apa yang dialami oleh ibunya yaitu Tokoh Nenek yang mendapat perlakuan
tidak adil dari suaminya. Tokoh Gading mendukung emansipasi wanita dilatarbelakangi
oleh lingkungan keluarga yang demokratis dan berwawasan modern serta pendidikan
yang tinggi. Tokoh Nenek cenderung kurang mendukung karena latar belakang
keluarganya yang mendidik sesuai nilai-nilai sosial yang berpedoman pada budaya dan
adat Jawa yang dipengaruhi oleh sistem patriarkat.
Bardasarkan hasil pembahasan di atas Penulis menyarankan agar hasil analisis
skripsi yang berjudul Pandangan Tiga Tokoh Wanita Tentang Emansipasi Dalam Novel
Tiga Orang Perempuan Karya Maria A. Sardjono ini dapat digunakan oleh peneliti sastra
yang lain untuk menganalisis dari segi sosiologi sastra atau segi ilmu sastra yang lain.
ii
PENGESAHAN KELULUSAN
Skripsi ini telah dipertahankan di dalam siding Panitia Ujian Skripsi Jurusan
Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang
pada :
hari : Rabu
Panitia Ujian
Ketua Sekretaris
Drs. Agus Nuryatin, M.Hum. Dra. L.M. Budiyati, M.Pd. Dra. Nas Haryati, M.Pd.
iii
PERNYATAAN
Saya menyatakan bahwa yang tertulis di dalam skripsi ini benar-benar karya
saya sendiri, bukan jiplakan dari karya orang lain, baik sebagian atau seluruhnya.
Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk
Penulis
iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Motto:
Dorongan semangat dan doa dari keluarga adalah kunci dari segalanya
Persembahan:
memberikan inspirasi.
v
PRAKATA
Puji syukur dipanjatkan ke hadirat Allah Swt karena atas limpahan rahmat dan
karunia-Nya, skripsi yang berjudul Pandangan Tiga Tokoh Wanita Tentang Emansipasi
Dalam Novel Tiga Orang Perempuan Karya Maria A. Sardjono telah selesai dibuat.
Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu memberikan bantuan, dorongan, semangat, dan doanya sehingga
skripsi ini dapat diselesaikan. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada
1. Dra. Nas Haryati, M.Pd. sebagai dosen pembimbing I yang dengan penuh
2. Dra. L.M Budiyati, M.Pd. sebagai dosen pembimbing II yang telah membimbing
4. Ketua Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia beserta pejabat jurusan yang telah
5. Ibu dan Bapak Dosen Jurusan PBSI yang telah memberikan segenap dedikasi
6. Pengelola Komunitas Baca 202 Bahasa dan Sastra Indonesia dan Perpustakaan
vi
referensi buku-buku yang sangat bermanfaat bagi penyelesaian skripsi ini;
8. Teman-teman PBSI ankatan 1999 terima kasih atas dorongan semangat dan
9. Semua pihak yang telah banyak membantu namun tidak dapat disebutkan satu
persatu.
Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembacanya, terutama adik
kelas bisa menjadikan skripsi penulis sebagai bahan referensi. Semoga Allah Swt
memberikan limpahan rahmat dan hidayah-Nya pada semua pihak yang telah membantu,
Amin.
Semarang,
Penulis
vii
DAFTAR ISI
SARI ………………………………………………………………………………….i
PERNYATAAN…… ………………………………………………………………….iv
PRAKATA…. ………………………………………………………………………….vi
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………...viii
DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………………………...xi
2.2 Gender………………………………………………………………………21
viii
2.2.1 Pengertian Gender………………………………………………..21
2.3 Emansipasi…………………………………………………………………26
4.1.1 Nenek…………………………………………………………...44
4.1.2 Ibu………………………………………………………………48
ix
4.1.3 Gading…………………………………………………………..53
4.3 Pandangan Tiga Tokoh Utama Wanita tentang Emansipasi dalam Novel Tiga
Orang Perempuan………………………………………………………..67
Wanita………………………………………………………….83
BAB V PENUTUP…………………………………………………………………..87
5.1 Simpulan…………………………………………………………………87
5.2 Saran……………………………………………………………………..89
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………..90
x
xi
xii
xiii
BAB I
PENDAHULUAN
Indonesia saat ini memasuki era globalisasi yang ditandai dengan arus
informasi dan teknologi yang canggih yang menuntut masyarakat untuk lebih
berperan aktif dalam pembangunan. Tidak hanya kaum laki-laki saja yang
berperan aktif, perempuan dituntut untuk beperan aktif juga dalam mengisi
dengan bakat yang dimilikinya. Perempuan banyak yang memiliki peran ganda
selain sebagai ibu rumah tangga, mereka juga berperan sebagai wanita yang
bekerja atau lebih dikenal dengan sebutan wanita karier. Oleh karena itu wanita
belum bisa berperan secara utuh di masyarakat. Di satu sisi perempuan ingin
sisi lain perempuan tidak boleh melupakan kodratnya sebagai seorang wanita..
yang mampu mendukung wanita dalam beperan aktif baik di lingkungan keluarga
maupun di luar sebagai wanita karier tanpa mendapat pandangan negatif dari
kodrat.
kedudukan dan derajat perempuan agar sama atau sejajar dengan kedudukan serta
sevagai balas dendam dengan menindas atau menguasai kaum laki-laki. Dengan
adanya pemahaman yang salah tentang gerakan emansipasi wanita banyak pihak
yang menentang gerakan ini terutama dari pihak laki-laki. Namun dari pihak
perempuan pun ada yang menentang terutama mereka yang masih memegang
teguh nilai-nilai budaya tradisional yang masih kuat yaitu ciri tradisional yang
dan menyerah, rajin mengurus keluarga dan rumah tangga atau memelihara
domestisitas.
disebut feminisme. Feminisme ialah teori tentang persamaan antara laki-laki dan
wanita di bidang politik, ekonomi, dan sosial; atau kegiatan terorganisasi yang
feminisme merupakan sebuah ideologi yang berangkat dari suatu kesadaran akan
menuntut kesamaan saja dan itu dianggap tidak begitu penting, yang penting di
3
emansipasi wanita ini merupakan kenyataan sosial yang dihadapi oleh wanita
tidak hanya di Indonesia tapi juga di seluruh dunia. Dari kenyataan sosial yang
menuangkannya ke dalam karya sastra yang akan dibuatnya. Karya sastra ini
hidupnya sendiri maupun orang lain. Hal ini sesuai dengan pendapat Wellek
dan kehidupan sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial, walaupun karya sastra
itu juga meniru alam dan dunia subyektif manusia. Suharianto (1982:11)
diperolehnya dari realitas kehidupan di masyarakat. Peran tokoh dari dunia nyata
Permasalaha yang menjadi sorotan publik dan ide dalam sebuah karya
sastra saat ini adalah mengenai permasalahan gender. Adanya perbedaab gender
gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan gender baik bagi kaum laki-laki
struktur dimana baik kaum laki-laki dan perempuan menjadi korban dari sistem
gender, kaum laki-laki harus bersifat kuat dan agresif, maka laki-laki kemudian
terlatih dan tersosialisasi serta termotivasi untuk menjadi atau menuju sifat gender
yang ditentukan oleh suatu masyarakat, yakni secara fisik lebih kuat dan lebih
besar. Sebaliknya, karena perempuan harus lemah lembut, maka sejak bayi proses
sosialisasi tersebut tidak saja berpengaruh kepada perkembangan emosi dan visi
perkembangan baru bagi dunia sastra yaitu memberikan pengaruh terhadap cara
biologisnya (baik sebagai isteri, ibu rumah tangga, nenek, dsb). Cara pandang
yang kedua, wanita sebagai sentral kapitalis. Artinya wanita mampu mandiri dan
menembus batas stereotip kedudukan perempuan dan melihat diri sendiri sebagai
individu bukan hanya sebagai pendamping laki-laki. Tokoh perempuan seperti ini
adalah mereka yang disebut perempuan feminis yang berusaha mandiri dalam
Sardjono merupakan pengarang yang cukup poduktif membuat karya sastra yang
bertemakan wanita.
menulis kurang lebih 80 novel, belasan novelet dan buku cerita anak-anak dan
adalah Langit di atas Merapi, Pengantin Kecilku, Sepatu Emas Untukmu, Daun-
daun yang Gugur, Menjolok Rembulan, Bintang Dini Hari, Kemuning, Ketika
antara novel-novel karya Maria A. Sardjono tersebut ada empat novel yang sudah
difilmkan dan beberapa kali dibeli rumah produksi untuk dibuat sinetron. Salah
satu sinetron tersebut adalah Tiga Orang Perempuan. Novel ini mengisahkan tiga
Sang nenek membentengi dirinya dari perasaan cinta pada suaminya yang
berpoligami. Sang Ibu lain lagi. Karena melihat rumah tangga orang tuanya, dia
pemikiran yang sama seperti kakek moyangnya, yaitu tempat yang paling pas bagi
perempuan adalah di dalam rumah. Gading sadar bahwa ada nilai lain yang
negeri orang. Kemana harus dicarinya lelaki itu? Dia yang akhirnya memberinya
kesadaran bahwa di rumah pun seorang wanita tetap bisa berkarya dan
menerima jodoh yang didesakkan neneknya, seorang lelaki ningrat modern yang
Dari uraian cerita novel Tiga Orang Perempuan di atas dapat kita ambil
menarik untuk dibahas lebih lanjut dalam skripsi ini. Permasalahan yang sejenis
juga pernah dibahas oleh penulis lain tetapi merujuk pada peran tokoh wanita di
dalam keluarga dan masyarakat, bukan inti dari gerakan emansipasi yang
dilakukan oleh tokoh utama wanita. Yang menarik dari novel Tiga Orang
Perempuan ini adalah bagaimana pandangan tiga orang tokoh yang berbeda
generasi yaitu Nenek, Ibu, dan Gading yang terbentur oleh budaya yang diwarnai
berbagai permasalahan.
7
Berdasakan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, penelitian ini akan
membahas secara lengkap dan utuh tentang tokoh wanita dalam sebuah karya
sastra (novel), khususnya ditinjau dari segi feminisme. Penelitian sejenis sudah
banyak. Penelitian yang menjadi landasan dalam penelitian skripsi ini diantaranya
wanita dilihat dari perspektif gender. Dalam penelitian ini metode yang digunakan
adalah metode struktural dengan pendekatan objektif. Tokoh utama dalam novel
ini yaitu Tumini yang digambarkan selalu menderita dan dilihat dari perspektif
Tokoh Utama Wanita Dalam Novel Canting Karya Arswendo Atmowiloto yang
menggunakan pendekatan sosiologi sastra. Tokoh utama dalam novel ini Bu Bei.
pria, persamaan hak atas rumah dan tanah serta persamaan hak untuk menikah
lagi. Penelitian sejenis tersebut sangat relevan dengan penelitian dalam kajian ini,
yang mencoba untuk melengkapi penelitian sejenis yang sudah ada. Perbedaannya
adalah pada permasalahan yang dikaji. Pada skripsi Suprapti (2001) yang berjudul
kedudukan wanita, tokoh wanita dilihat dari perspektif gender. Sedangkan pada
skripsi Fitriani (2003) yang berjudul Perspektif Feminisme Tokoh Utama Wanita
8
Dalam Novel Canting Karya Arswendo Atmowiloto dibahas penentuan pola dan
Peran dan Emansipasi Tokoh Utama Wanita Pada Novel Jalan Bandungan Karya
Nh. Dini (2003) dibahas peran dan emansipasi tokoh utama wanita baik di
membahas pandangan tiga tokoh utama wanita yang berbeda generasi tentang
emansipasi. Perbedaan tersebut tidak hany dari segi umur tetapi juga menyangkut
1. 2 Permasalahan
1. Bagaiamanakah watak tiga tokoh utama wanita dalam novel Tiga Orang
membuat skripsi.
10
BAB II
LANDASAN TEORETIS
pembahasan pada BAB IV nanti sebagai landasan pokok dalam pengkajian. Teori
yang digunakan dalam skripsi ini adalah teori tentang tokoh utama yang meliputi
(1) tokoh penokohan meliputi pengertian tokoh, pengertian tokoh utama, cirri-ciri
tokoh utama, pengertian penokohan, cara mengenali tokoh utama, kemudian teori
yang berhubungan dengan emansipasi yang meliputi (2) teori gender meliputi
Dalam sebuah karya fisik berupa novel terdapat tokoh dan penokohan
satu bagian penting dalam membangun sebuah cerita, tetapi juga berperan untuk
menyampaikan ide, motif, plot, dan tema. Semakin berkembangnya ilmu jiwa,
suatu cerita yang mendasari terjalinnya suatu plot, pada dasarnya tidak dapat
cerita dapat pula dipakai sebagi indikator kekuatan sebuah cerita fiksi.
Pada setiap cerita selalu terdapat tokoh utama yang memegang peranan penting
dalam cerita. Berbicara mengenai tokoh utama tidak terlepas dari segala tindakan
orang yang menjadi tokoh. Menurut Sudjiman (1991:16) tokoh idividu adalah
cerita. Jadi tokoh adalah orangnya. Pendapat senada juga dikemukakan oleh
Suyati (1996:43) tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau
sebagai pemegang peranan penting dalam cerita roman, novel dan cerita pendek.
penting dalam suatu karya sastra (novel) yang mengalami berbagai peristiwa atau
perlakuan. Dalam cerita rekaan terdapat berbagai peristiwa yang dialami tokohnya
12
dan peristiwa tersebut dialami tidak hanya satu tokoh saja tapi dialami oleh
beberapa tokoh sehingga dalam cerita rekaan terdapat beberapa tokoh. Tokoh
datar atau tokoh sederhana (simple atau flat character) dan tokoh bulat
disoroti satu segi wataknya saja. Tokoh datar bersifat statis, wataknya
peran pimpinan didalam cerita. Dalam cerita rekaan juga terdapat tokoh
19). Tokoh bawahan, menurut Grimes (1975:43), adalah tokoh yang tidak
Seperti yang sudah dipaparkan diatas, bahwa tokoh dalam cerita rekaan
ada bermacam-macam, salah satunya adalah tokoh sentral atau sering disebut
yang paling banyak diceritakan, baik sebagai kejadian maupun yang dikenai
kejadian. Tokoh utama menurut Nurgiyantoro digolongkan dari segi peranan atau
14
tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah cerita, disamping itu dalam kategori ini
sentral. Tokoh ini memegang peranan penting dan selalu menjadi tokoh sentral,
dalam cerita yang menjadi sorotan kisahan dalam cerita yang menjadi sorotan
kisahan dalam cerita. Tokoh utama masuk kedalam jenis tokoh berdampingan
cerita, lebih sering muncul dan juga sering dibicarakan oleh pengarangnya
(Aminuddin 2002:79). Tokoh utama disebut juga tokoh inti. Dari ketiga pendapat
ahli tersebut diatas, pendapat Aminuddin dan Nurgiyantoro yang lebih mendekati
tokoh yang sering muncul dan sering dibicarakan oleh pengarang atau paling
Dalam sebuah cerita rekaan, kita dapat melihat adanya berbagai macam
tokoh baik tokoh utama/sentral dan tokoh bawahan. Dalam membedakan antara
tokoh utama dengan tokoh bawahan terdapat ciri-ciri yang melekatinya. Ciri-ciri
hanya frekuensi atu seringnya kemunculan tokoh itu didalam cerita, melainkan
Tokoh utama ini yang paling tinggi intensitas keterlibatannya didalam peristiwa-
dengan semua tokoh yang ada didalam cerita sedangkan tokoh-tokoh lain tidak
ini selalu hadir sebagai pelaku atau yang dikenai kejadian dan konflik
bahwa tokoh utama merupakan tokoh yang sering diberi komentar dan selalu
dibicarakan oleh pengarang. Tokoh utama juga daapt dirunut dari judul, misalnya
novel Siti Nurbaya yang secara langsung kita dapat mengetahuinya siapa tokoh
Penokohan berasal dari kata tokoh yang berarti pelaku. Karena yang
tokoh/pelaku cerita melalui sifat-sifat, sikap dan tingkah lakunya dalam cerita.
Moh. Thani Ahmad (dalam Dewan Bahasa 1974:509) menyebutkan adalah sifat
novel dan cerita pendek. Pendapat senada juga dikemukakan oleh Sudjiman (1991
:16) bahwa tokoh utama adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa dalam
beberapa peristiwa cerita. Menurut Suyati (1996:43) tokoh adalah individu rekaan
naratif. Suatu peristiwa terjadi oleh karena adanya aksi/reaksi tokoh-tokoh. Tanpa
citra tokoh baik dalam keadaan lahir maupun batin. Sedangkan watak adalah
kualitas tokoh, kualitas nalar dan jiwanya yang membedakan tokoh dengan tokoh
dengan watak tertentu dalam sebuah cerita. Penokohan adalah penciptaan citra
tokoh dalam karya sastra (Kridalaksana 1997:165). Istilah penokohan lebih luas
pembaca.
17
seseorang yang ditampilkan sebagai tokoh cerita disebut penokohan (Jones 1986 :
33; Sudjiman 1986:53; 1991:23). Watak adalah kualitas tokoh yang meliputi
kualitas nalar dan jiwa yang membedakannya dengan tokoh cerita yang lain
(Sudjiman 1986 : 80; 1991 : 23). Watak itulah yang menggerakkan tokoh untuk
tokoh-tokoh tersebut yang memiliki tipe-tipe manusia yang dikehendaki tema dan
kausalitas.
tokoh utama adalah tokoh itu paling banyak diceritakan pengarang, selalu
penting, dan menentukan perkembangan plot secara keseluruhan. Tokoh ini selalu
hadir sebagai pelaku atau yang dikenai kejadian atau konflik (Nurgiyantoro 2002 :
177). Ditambahkan oleh Aminuddin (2002 : 89) bahwa tokoh utama merupakan
tokoh yang sering diberi komentar dan selalu dibicarakan oleh pengarang. Tokoh
utama juga dapat dirunut dari judul, misalnya novel Siti Nurbaya yang secara
bagaimana cara mengenali watak dari tokoh utama tersebut. Berdasarkan ciri
tokoh utama diatas, tokoh utama merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan
atau mendominasi peristiwa. Untuk mengetahui dominasi tokoh dalam cerita, kita
lebih dulu mendata peristiwa atau insiden diperlukan untuk menentukan tokoh
utama.
peralihan dari suatu keadaan yang lain. Sedangkan Sukada ( 1987 : 57)
atau kejadian yang terkandung dalam cerita, baik besar atau kecil dan didalam
insiden terkandung ide, tendens, amanat, motif, latar yang dituangkan pengarang.
Untuk mengenali watak atau karakter tokoh utama dapat dilihat dari
apa yang dikatakan dan apa yang dilakuakan (Abrams 1981 : 20). Identifikasi
yang berbeda, David Daiches menyebutkan bahwa karakter atau watak tokoh
utama cerita fiksi dapat muncul dari sejumlah peristiwa atau insiden dan
bagaimana reaksi tokoh utama itu pada peristiwa yang dihadapi (Daiches 1948 :
352). Oleh karena itu diperlukan cara atau teknik untuk mengenali watak tokoh.
19
tentang watak tersebut. Cara yang mekanis ini memang sederhana dan hemat,
Kedua, metode tidak langsung yang disebut juga metode ragaan atau
narrator. Bahkan watak juga dapat disimpulkan dari penampilan fisik tokoh, dari
gambaran lingkungannya, serta dari pendapat dan cakapan tokoh-tokoh yang lain
tentang tokoh utama. Metode ini lebih hidup dan menggalakkan pembaca untuk
menyimpulkan watak tokoh (Sudjiman 1991 : 26). Para kritikus modern pada
kontekstual. Dengan metode ini watak tokoh dapat disimpulkan dari bahasa yang
sebuah novel.
20
Selain cara yang sudah disebutkan diatas, diperlukan juga teknik yang
jenis kelamin, keadaan tubuh, ciri muka, serta ciri fisik yang lain.
lain.
jenjang pendidikan.
yang lain.
terhadap kejadian-kejadian.
pelaku, seperti keadaan kamar yang biasa memberi kesan jorok dan
sebagainya.
2.2. Gender
Gender menurut Fakih (1999 : 77) adalah perbedaan perilaku antara laki-
laki dan perempuan yang dokonstruksikan secara social, yakni perbedaan yang
antara laki-laki dan perempuan tidaklah sekedar biologi, namun melalui proses
social dan cultural. Oleh karena itu gender berubah dari waktu kewaktu, berubah
dari tempat ketempat bahkan dari kelas ke kelas, sedangkan jenis kelamin biologis
perbedaan kelamin yaitu dalam memberikan arti seseorang yang lahir sebagai
22
wanita serta stereotip gender yang berkaitan dengan citra, peran, dan kedudukan
didalam masyarakat.
suatu sistem peran dan hubungan perempuan dan laki-laki yang tidak ditentukan
kelompok sebagai pusat dan membuang kelompok lainnya ke posisi marginal. Hal
ini akan berarti hilangnya pertentangan peran laki-laki dan perempuan diberbagai
sektor kehidupan, sehingga akan terjadi pergeseran peran. Wanita tidak lagi
ditempatkan sebagai konco wingking, tetapi sebagai mitra dalam pengertian yang
meliputi :
5. Gender Role, yaitu peran perempuan dan laki-laki yang diterpakan dalam
karena adanya ketidakpuasan dengan konsep seks yang melihat perbedaan antara
kaum laki-laki dan perempuan dari segi biologisnya. Konsep ini hanya melihat
kata seks (jenis kelamin). Pengertian jenis kelamin merupakan penafsiran atau
pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang
melekat pada jenis kelamin tertentu. Secara permanen tidak berubah, tidak dapat
ketentuan Tuhan atau kodrat. Sedangkan konsep gender adalah sifat yang melekat
maupun kultural. Ciri dan sifat itu dapat dipertukarkan antara laki-laki dengan
perempuan.
ketidakadilan sosial yang menimpa kaum perempuan. Hal ini disebabkan karena
ada kaitan yang erat antara perbedaan gender (gender differences) dan
24
laki dengan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Perbedaan
Tuhan seolah-olah bersifat biologis yang tidak biasa diubah lagi. Sehingga
perbedaan tersebut dianggap dan dipahami sebagai kodrat laki-laki dan kodrat
perempuan.
Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur dimana baik kaum laki-laki
ini pertama kali dicetuskan oleh R.A Kartini. Melalui tenaganya mendidik dan
25
mengajar kaum wanita pada zamannya itu, ia telah membuka hati dan pikiran
kaum wanita untuk lebih maju. Gerakan emansipasi ini kemudian diteruskan oleh
untuk wanita.
dunia yang lain seperti di Amerika. Gerakan ini muncul disebabkab oleh beberapa
aspek, diantaranya adalah aspek politik, aspek agama, konsep sosialis dan konsep
marxis. Ketiga aspek ini senantiasa menjadi landasan gerakan emansipasi atau
lebih dikenal dengan sebutan gerakan feminisme. Tujuan kaum wanita melalui
gerakan emansipasi ini adalah untuk tidak mengungguli atu mendominasi kaum
laki-laki sebagai balas dendam dengan menindas atau menguasai kaum laki-laki.
kedudukan dan derajat kaum wanita agar sama atau sejajar dengan kedudukan
derajat kaum laki-laki. Untuk mencapai tujuan ini dengan cara memperoleh hak
dan peluang yang sama dengan yang dimiliki oleh kaum laki-laki, kemudian
munculah istilah equal right’s movement atau gerakan persamaan hak. Cara yang
domestik atau lingkungan keluarga atau lebih dikenal dengan istilah women’s
Pelopor dari gerakan ini adalah Elizabeth Cady Stanton, Lucretia Mott,
dan Susan B. Anthony. Dalam konvensi di Seneca Falls, para pelopor itu
menggalang dukungan bagi tuntutan agar para wanita diberi hak yang sama
26
dibidang hukum, ekonomi dan sosial. Kendala yang dihadapi pada masa-masa itu
kaum perempuan menjaga kesalehan serta kemurnian mereka, bersiakap pasif dan
swasembada pangan atau revolusi hijau (green revolution) secara eknomis telah
mereka. Pemiskinan terjadi juga didalam rumah tangga, masyarakat atau kultur
2.3. Emansipasi
dengan pria, sesuai dengan norma-narma kesusilaan, agama dan batas-batas yang
ada pada diri wanita sehingga tumbuh keseimbangan pikir dan rasa yang utuh
bahwa emansipasi wanita kemajuan secara harmonis yaitu bahwa antara pria dan
27
wanita tidak harus sama sebab kesejajaran wanita adalah untuk mengembangkan
adalah bukan sekadar emansipasi berhadapan dengan persamaan hak dengan pria,
segala hal yang melecehkan dan merendahkan kehormatan dan martabat wanita
gerkan emansipasi yang terjadi diberbagai bidang kehidupan ini, maka diperlukan
dibidang yang satu dengan emansipasi dibidang yang lain. Berikut akan dijelaskan
karena ketidakadilan gender yang terjadi ditingkat Negara. Banyak kebijakan dan
adanya asumsi bahwa kedudukan seorang presiden sebaiknya dijabat oleh seorang
laki-laki. Sebagian orang menganggap jabatan tersebut jika dipegang oleh wanita
jawab yang dibebankan kepadanya. Apa yang telah diuraikan diatas merupakan
emosional “ sehingga dianggap tidak tepat tampil sebagai pemimpin partai atau
menjadi manajer bahkan sebagai seorang presiden, adalah proses subordinasi dan
agar mereka diakui dan diberi kesempatan untuk ikut berpartisipasi dalam politik
dan menjadi mitra yang sejajar dengan kaum laki-laki. Salah satu tuntutan wanita
baik fisik maupun non fisik, mengenai hak waris dan sebagainya. Dianggap
dari ketidakadilan gender di bidang hukum yang dilakukan oleh kaum laki-laki.
merupakan tututan pembangunan dan hal yang tidak dapat dielakkan dalam proses
modernisasi. Tanpa keterlibatan itu sulit bagi kaum perempuan untuk merubah
dalam pasar kerja diharapkan secara lambat laun dapat memperbaiki status
perempuan.
Peluang itu dapat membantu kaum perempuan keluar dari kungkungan sektor
pertanian Revolusi hijau yang hanya memfokuskan pada petani laki-laki. Hal ini
karena asumsinya bahwa petani itu identik dengan petani laki-laki. Atas dasar itu
banyak petani perempuan tergusur dari sawah dan pertanian, bersamaan dengan
tergusurnya ani-ani, kredit untuk petani yang artinya petani laki-laki serta
terhadap perbedaan gaji antara kedua jenis pekerjaan tersebut. Lebih ekstrim lagi
kesempatan wanita untuk lebih maju seringkali dihambat bahkan dijegal oleh
kaum laki-laki. Mereka tidak mau tersaingi atau bahkan tidak mau melihat wanita
yang secara ekonomi lebih dari kaum laki-laki. Disamping itu adanya keyakinan
masyarakat bahwa laki-laki adalah pencari nafkah (bread winer) misalnya maka
‘tambahan” dan oleh karenanya boleh saja dibayar lebih rendah (Fakih 2001:5).
adalah agar mereka diberi kebebasan untuk bekerja sesuai dengan bakat dan
untuk lebih maju terbuka lebar dan tidak ada hambatan yang sering dikaitkan
bagi kaum perempuan untuk menentukan pilihan-pilihan yang lebih baik dalam
seperti laki-laki. Hal ini dikarenakan kaum wanita tidak diberi kesempatan untuk
Pembodohan tersebut dimaksudkan agar wanita selalu berada dibawah kaum laki-
laki-laki.
asumsi bias gender. Oleh karenanya rumah tangga juga menjadi tempat kritis
sulit untuk diubah adalah ketidakadilan gender tersebut telah mengakar didalam
rumah tangga, maka banyak perempuan menanggung beban kerja domestik lebih
banyak dan lebih lama (burden). Dengan kata lain peran gender perempuan
bagi kaum laki-laki tidak saja merasa bukan tanggung jawabnya, bahkan dibanyak
tradisi secara adat laki-laki dilarang terlibat dalam pekerjaan domestik. Beban
kerja tersebut menjadi dua kali lipat bagi kaum perempuan yang bekerja diluar
rumah.
Selain bekerja diluar, mereka juga masih harus bertanggung jawab atas
seluruh pekerjaan domestik. Beban kerja yang dipikul oleh kaum wanita sangat
berat dan seringkali kaum laki-laki tidak menghargai mereka. Kekerasan baik fisik
maupun batin seringkali kaum laki-laki berikan kepada kaum wanita jika dalam
Oleh karena itu kaum perempuan juga mengusahakan agar kaum laki-
laki juga mendapatkan bagian dalam pekerjaan domestik, meskipun dalam skala
yang tidak besar. Kaum wanita juga menuntut agar dalam menyelesaikan
pekerjaan domestic ini kaum laki-laki ikut membantu tidak hanya memberikan
perintah, memarahi atau mencela pekerjaan domestik kaum perempuan yang tidak
maksimal. Dalam hal ini kaum laki-laki menjadi mitra yang sejajar dengan kaum
perempuan.
dibelakang, dan punya kedudukan atau derajat yang lebih rendah dari kaum pria.
Sadar atau tidak warisan yang berakar dikalangan masyarakat turut mewarnai
pandangan dan sikap wanita tentang diri sendiri, maupun sikap kaum pria tentang
diri wanita. Dalam kenyataan dunia modern, yang ditandai dengan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi terasa ikut pula mengubah pandangan nilai-nilai
Ada wanita sukses dalam dunia kecantikan dan berbusana, sukses didalam dunia
pendidikan, ada pula wanita yang dikirim keluar angkasa sebagia astronot, polisi,
camat, menteri, duta besar, perdana menteri dan bahkan sebagai presiden juga ada.
sama rendah berdiri sama tinggi. Wanita yang telah menemukan ajti dirinya,
bakat-bakatnya serta keahliannya yang persis sama dengan pria, kendatipun dari
sudut fisik wanita tidak dapat berubah menjadi pria. Kenyataan ini juga
Banyak juga kaum pria yang mengakui bahwa emansipasi yang dilakukan wanita
di berbagai bidang seperti ekonomi, sosial, politik, sangat membantu kaum pria
banyak dilontarkan oleh kaum anti emansipasi baik kaum pria maupun kaum
adanya pemahaman yang salah tentang gerakan emansipasi wanita banyak pihak
yang menentang gerakan ini terutama dari pihak laki-laki. Pihak perempuanpun
ada yang menentang terutama mereka yang masih memegang teguh nilai-nilai
35
budaya tradisional yang masih kuat, yaitu ciri tradisional yang mengharuskan
wanita menjaga kesalehan serta kemurnian mereka, bersikap pasif menyerah, rajin
dijadikan isteri kedua, ketiga, atau piaraan, wanita diperkosa, dianiaya, dibunuh
gagasan, kendati dalam hati nuraninya wanita memiliki bakat dan banyak gagasan
yang brilian.
mereka telah dapat menempatkan diri sejajar dengan kaum pria, dan berapa
hidup yang sejajar dengan kaum pria tanpa mengabaikan jati diri secara kodrati
kaum wanita dan laki-laki dalam banyak bidang, yang orang sebagai kemajuan,
ternyata disisi lain malah menyebabkan kemunduran pada pribadi wanita itu
sendiri.
36
digantikan oleh logika dan sementara itu semangat spiritualisme berganti pola
ekomoni. Gerakan yang hanya didasarkan pada materialisme ini telah mengikis
sedikit demi sedikit sisi perasaan kewanitaan, dan Barat bukannnya menambah
tetapi bukan berarti bebas tanpa batas. Ada norma-norma, nilai-nilai moral yang
agama serta selalu didasarkan pada adanya perbedaan orientasi antara wanita dan
pria.
menentang emansipasi wanita karena latar belakang keluarganya yang berasal dari
kaum ningrat. Mereka masih memegang teguh adat Jawa yang masih dipengaruhi
adalah saudagar batik yang kaya raya. Kedua orang tua Nenek sejak kecil selalu
menanamkan nilai-nilai Jawa dalam diri Nenek. Sejak Umur tujuh tahun Nenek
dipingit, tidak boleh keluar rumah kecuali pada saat Nenek sekolah sampai
37
nantinya masa remaja Nenek akan dilamar oleh laki-laki pilihan dari keluarga
ningrat. Masa pingitan dilalui nenek dengan berbagai kegiatan kewanitaan seperti
mengenai urusan rumah tangga. Dalam diri Nenek ditanamkan nilai-nilai bahwa
seorang wanita harus berani bersikap pasrah, nrimo, sabar, dan mengabdi pada
suami dan nilai-nilai sosial lainnya. Hal tersebut yang menyebabkan Nenek
belakangi pengalaman masa lalu Ibu sewaktu kecil. Orang tua Ibu (Kakek dan
Nenek) hidup dalam perkawinan poligami. Kakek mempunyai banyak selir. Suatu
ketika saat Nenek mengandung adik yang diidam-idamkan Ibu akan dilahirkan,
Kakek tidak ikut menemani proses persalinan. Kakek pergi ke tempat selirnya
yang baru. Hal itu mengakibatkan adik Ibu meninggal. Karena peristiwa itu, Ibu
dalam perkawinan. Bahkan, Ibu bertekad akan mengungguli suami maupun laki-
keluarga yang yang demokratis, berwawasan modern dan pendidikan yang tinggi.
BAB III
METODE PENELITIAN
Sasaran penelitian ini adalah tentang emansipasi pada novel Tiga Orang
Perempuan karya Maria A. Sardjono. Lebih rinci penelitian ini meneliti tentang
gambaran dan pandangan tiga tokoh utama wanita dari tiga generasi yang berbeda
tentang emansipasi pada novel Tiga Orang Perempuan karya Maria A. Sardjono.
Sumber data penelitian ini adalah novel Tiga Orang Perempuan karya
Maria A. Sardjono. Penelitian bersumber dari keseluruhan teks novel Tiga Orang
Perempuan karya Maria A. Sardjono yang diterbitkan oleh PT. Gramedia Pustaka
Utama pada tahun 2002 dan pernah juga diterbitkan oleh SAN Agency.
(dalam Baribin 1987 : 33) pendekatan objektif adalah pendekatan yang dipandang
sebagai keseluruhan yang tersusun dari bagian-bagian yang berjalinan erat secara
sebab penelitian ini memfokuskan pada unsur-unsur yang terdapat pada karya
39
sastra, dalam hal ini unsur intrinsik yang berhubungan dengan tokoh utama
dilihat dari perbedaan usia, latar belakang dan kebudayaan yang menjadi pedoman
tokoh dalam novek Tiga Orang Perempuan ini merupakan penelitian yang
selalu bersifat deskriptif artinya data yang dianalisis dan hasil analisisnya
mendeskripsikan tiga tokoh utama wanita yang memiliki pandangan yang berbeda
tentang emansipasi dalam novel Tiga Orang Perempuan karya Maria A. Sardjono.
Penulis menggunakan metode ini karena penelitian ini , memfokuskan diri pada
unsur-unsur yang terdapat dalam karya sastra. Penulis menitikberatkan pada unsur
tokoh utama wanita tersebut tantang emansipasi dan gambaran emansipasi yang
didapat. Tujuan perumusan ini adalah agar dalam pembuatan penelitian , penulis
menganalisis unsur intrinsik yaitu tokoh dan penokohan. Unsur tokoh dan
penokohan ini difokuskan pada tiga tokoh utama wanita yang terdapat didalam
sebagai berikut :
1. Membaca sumber data yaitu novel Tiga Orang Perempuan karya Maria A.
bagaimana jalan ceritanya dan isi novel secara garis besar. Sedangkan
41
kode sastra dan kode budaya, yang pada penelitian ini digunakan untuk
2. Menentukan tokoh utama wanita, sebab itu adalah langkah awal untuk
BAB IV
Penelitian dalam skripsi ini merupakan penelitian terhadap suatu teks karya sastra
yang berbentuk novel. Penelitian terhadap novel Tiga Orang Perempuan karya Maria A.
Sardjono ini ditinjau dari segi struktural dan teori gender. Dari segi struktural, akan
dianalisis tentang tokoh dan penokohan. Kemudian, akan dianalisis juga bagaimana
gambaran dan pandangan tiga tokoh utama wanita yang berbeda tentang emansipasi wanita
yang terbentur oleh budaya yang diwarnai oleh sistem patriarkat dan bagaimana wujud
bermasyarakat. Pandangan tiga tokoh utama wanita tentang emansipasi dalam novel ini
Novel Tiga Orang Perempuan karya Maria A. Sardjono menampilkan tiga tokoh
utama wanita dari tiga generasi yang berbeda yang terbentur oleh budaya yang dipengaruhi
Ketiga tokoh ini dianggap cukup membawa misi pengarang dalam kaitannya dengan
emansipasi wanita. Pembahasan tiga tokoh utama wanita ini akan difokuskan pada
bagaimana cara pandang ketiga tokoh yang berbeda generasi tersebut tentang
43
emansipasi yaitu tokoh Nenek, Ibu, dan Gading dalam novel Tiga Orang Perempuan karya
Analisis penokohan dalam novel Tiga Orang Perempuan hanya ditekankan pada
tokoh dan penokohannya yaitu tokoh utama. Sebab dalam skripsi ini tidak dibahas struktur
secara keseluruhan, penelitian ini terfokus pada emansipasi wanita dalam novel dan
pandangan ketiga tokoh utama wanita tentang emansipasi. Adapun tokoh utama novel ini
adalah Nenek, Ibu, dan Gading. Ketiga tokoh tersebut merupakan tokoh utama karena
memiliki ciri-ciri tertentu sebagai tokoh utama yaitu paling banyak diceritakan pengarang,
tokoh diceritakan mulai dari awal permasalahan ketika Nenek ingin menjodohkan Gading
kemudian ketika konflik antara Ibu dan Bapak sampai akhirnya ketiga tokoh ini mampu
menyelesaikan konflik yang mereka alami. Ciri kedua, tokoh selalu berhubungan dengan
tokoh lain, dalam setiap konflik tokoh Nenek berhubungan dengan Gading dan Ibu yaitu
ketika Nenek ingin menjodohkan Gading dengan Hari, Ibu kurang menyetujuinya.
Ciri ketiga, tokoh selalu menjadi sorotan, berperan penting, dan menentukan
perkembangan plot secara keseluruhan. Tokoh Nenek, Ibu, dan Gading dalam setiap
Nenek yang ingin menjodohkan Gading, perkawinan Ibu dan Bapak yang retak, dan
pertemuan Gading dengan mantan kekasihnya yang belum juga mendapat restu dari Nenek.
Ketiga tokoh ini sangat menentukan perkembangan plot dari awal munculnya
permasalahan, konflik yang memuncak, sampai pada akhirnya konflik tersebut dapat
diselesaikan dengan baik. Ketiga tokoh juga berperan penting dalam setiap peristiwa,
karena ketiga tokoh tersebutlah yang menjadi titik fokus pembicaraan dalam novel ini.
Ketiga tokoh tersebut selalu hadir sebagai pelaku atau yang dikenai kejadian atau konflik,
44
yaitu ketika konflik yang terjadi antara Nenek dengan Gading saat beliau menjodohkannya,
konflik antara Ibu dengan Nenek mengenai masalah rumah tangga, konflik Gading dengan
Hari dan mantan kekasihnya. Berikut ini akan dijelaskan mengenai ketiga tokoh utama
4.1.1 Nenek
Secara fisik Nenek merupakan sosok wanita yang sudah tua yaitu berumur lebih
dari delapan puluh empat tahun namun beliau masih sehat dan bicaranya pun begitu
Sosok nenek dalam keluarganya dikenal sebagai seorang wanita yang sangat keras
pendiriannya, bahkan nyaris keras kepala. Beliau sulit sekali untuk menerima perubahan-
perubahan yang banyak sekali terjadi di zaman ini. Seperti saat Gading memberikan
argumentasi saat sang nenek membujuknya untuk menikah dengan laki-laki yang
“Eyang tadi bilang, kamu itu mbok jangan terlalu banyak memilih dan
menimbang. memilih, menimbang, dan menimbang, dan memutuskan itu haknya
kaum laki-laki. Bukan hak kita. Sebab, kita kaum perempuan ini adalah orang-
orang yang berada di tempat yang akan dipilih.” (TOP hlm: 8)
“Eyang masalahnya bukan terletak pada hak untuk memilih dan dipilih,
melainkan pada keyakinan mengenai satu hal yang penting. Yaitu, Mas Hari
bukanlah laki-laki yang sesuai untuk Gading.” (TOP hlm: 10)
45
Nenek merupakan seorang sosok wanita Jawa tulen yang selalu memegang teguh
adapt istiadat Jawa. Baginya adat istiadat itu sudah mendarah daging dalam didikan
keluarganya sampai beliu mempunyai tujuh orang anak bahkan cucu dan cicitnya juga
“Tetapi selain itu, dia bukan apa-apa jika dibandingkan dengan Hari. Baik wajah,
penampilan, sikap, tutur bahasa, dan terutama dalam hal keunggulan keturunan
dan asal usulnya. Bibitnya seperti apa, bobotnya bagaimana, dan bebetnya
seberapa, kita tidak tahu. Tetapi Hari itu siapa, sudah jelas seperti apa latar
belakangnya. Lahir dari keluarga ningrat, sehat, terhormat, dan tanpa cela.” (TOP
hlm: 18)
Namun demikian, nenek di satu sisi adalah sosok perempuan yang sangat tabah,
lembut, berjiwa seni, dan memperlihatkan segi-segi feminitasnya yang kuat sebagai wanita
Jawa dengan sederet tuntutan mengenai keutamaan yang berhasil digapainya. Berikut ini
“Berbagi kasih dan perhatian suami dengan banyak wanita lain adalah sesuatu
yang biasa terjadi. Seperti yang eyangku sering katakana kepadaku bahwa
perempuan haruslah rela menerima apa saja perlakuan sang suami,” (TOP hlm:
26)
“Bahkan menurut budeku itu, eyangku pernah mengalami kesulitan melahirkan
pada saat suaminya baru saja mengambil selir baru sesudah memulangkan yang
lama.” (TOP hlm: 29)
Nenek adalah seorang isteri yang setia, patuh, dan menurut pada suami tidak
pernah berbuat yang di luar batas norma dalam perkawinan. Dalam kehidupan perkawinan
selalu beliau terapkan filsafat Jawa mengenai bagaimana menjadi isteri yang baik bagi
suami dan anak-anaknya. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut
ini.
46
“Perempuan juga harus berani memiliki sikap untuk “nrimo ing pandum” dan
menerima dengan rela “jatah” yang diberikan kepadanya sebagai suatu ketentuan
yang sudah digariskan oleh Yang Mahakuasa. Sebab menurut ajaran yang
diterimanya, perempuan sejati atau perempuan utama harus memiliki sikap pasrah
dan merentangkan keselarasan baik terhadap Tuhan, terhadap sesama, maupun
terhadap diri sendiri.” (TOP hlm: 26)
Meskipun demikian sebagai seorang wanita dan seorang isteri dia tidak pernah
mencintai suaminya seratus persen karena baginya itu akan menimbulkan penderitaan
batin. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.
“Perempuan renta yang dulu berwajah rupawan itu tak pernah berani
mengungkapkan perasaan cintanya kepada seseorang, meskipun orang itu adalah
suaminya, ayah ketujuh anaknya sendiri. Sebab baginya, perasaan cinta selalu
sejalan dengan persaingan dan kecemburuan yang bisa menyakitkan karena penuh
dengan perasaan tidak yakin terhadap masa depan, ketidakpercayaan diri,
ketidaktenteraman, kegelisahan, penantian, harapan yang sering tidak terpenuhi,
dan terutama ketakutan akan ditinggalkan.” (TOP hlm: 32)
“Cukup dia saja yang mencintaimu. Dan kalau toh nanti muncul juga perasaan
cinta karena terbiasa hidup bersama dalam mengarungi suka dan duka, janganlah
perasaan itu kauserahkan sepenuhnya kepadanya kalau kau ingin hidup dengan
hati yang damai.” (TOP hlm: 32)
Nenek merupakan sosok wanita Jawa yang modern, cukup berwawasan luas dan
untuk memberi pendidikan setinggi mungkin bagi ketujuh anaknya dan juga
pengorbanannya untuk mengabdikan diri kepada keluarganya. Dia ingin membuktikan diri
sebagai perempuan yang kuat, perempuan yang tidak hanya bisa menadahkan tangan
menunggu pemberian suami saja. Hal itu untuk menunjukkan keberhasilannya sebagai
isteri dan ibu melebihi apa yang bisa dilakukan oleh perempuan-perempuan saingannya.
“Dan menilik jumlah anak yang dilahirkan mencapai tujuh orang, termasuk ibuku
sebagai si bungsu, aku mempunyai dugaan bahwa beliau termasuk isteri yang
paling disayang. Terlebih dengan bukti bagaimana ketujuh anak itu mendapat
pendidikan yang layak dan hidup dalam kecukupan. Apalagi ditambah pendidikan
informal yang diajarkan di rumah dengan mendatangkan berbagai guru untuk
mereka.” (TOP hlm: 27)
Tekad besar Nenek muncul ketika ia ingin melihat anak-anaknya berhasil dalam
bidang studi mereka. Beliau selalu menemani anak-anak belajar sampai malam walaupun
dengan terkantuk-kantuk. Apalagi di saat mereka akan menempuh ujian. Begitu juga
dengan seluruh kasih dan pengabdiannya, nenek selalu berpuasa setiap kali mengetahui
anaknya yang mangalami kesulitan dalam pelajaran di sekolah maupun hal-hal lainnya. Hal
tersebut beliau lakukan agar mereka mendapat kemudahan dalam menghadapi kesulitan.
“Kalau bukan karena beliau, ibu tidak akan mungkin bisa merasakan bagaimana
rasanya menjadi dosen dan apa artinya dunia pengetahuan bagi kehidupan
manusia, “ acap kali ibu berkata seperti itu setiap kali ada di antara anak-anaknya
yang tampak agak kendor semangat belajarnya.” (TOP hlm: 80)
bangsawan tinggi keratin Solo, sedangkan ibunya adalah anak saudagar batik yang kaya
dari keluarga bukan bangsawan. Meskipun demikian, beliau memperlihatkan arogan, sikap
keras yang nyaris seperti tangan besi, dan keberanian melakukan sesuatu yang jarang
ditemui pada wanita-wanita seusianya yang lahir di balik tembok keraton yang tingginya
dua setengah meter. Beliau meneruskan usaha batik ibunya. Pernyataan tersebut seperti
4.1.2 Ibu
Ibu adalah sosok wanita yang digambarkan berumur lebih dari lima puluh tahun
tapi nada bicaranya masih tampak bersemangat. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat
“Aku tertegun. Kutatap wajah ibuku karena aku mendengar nada-nada yang
meletup-letup dalam suaranya. Kulihat, wajah perempuan yang usianya sudah
lebih dari lima puluh tahun itu tampak bersemangat ketika berbicara. Pada saat
itu, wajahnya terlihat cantik sekali, sebab dengan matanya yang bercahaya ia jadi
tampak lebih muda.” (TOP hlm: 120-121)
Sosok ibu sangat perhatian dengan keluarganya, baik suami maupun anak-
anaknya. Kasih sayang yang ia berikan ia wujudkan dalam kehidupan rumah tangga dengan
memberikan pelayanan yang terkadang bagi anak-anak dan suaminya dianggap terlalu
berlebihan, namun mereka tahu bahwa apa yang dilakukan oleh ibu semata-mata karena ia
sangat menyayangi keluarganya itu. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam
Ibu sangat berbeda dengan Nenek yang memiliki hati tegar namun lembut
keibuan, hangat dan suka berbicara tetapi keras kepala, Ibu merupakan wanita yang agak
dingin, tertutup dan termasuk dominant dalam keluarga inti. Persamaan keduanya adalah
sama-sama termasuk wanita mandiri dan keras hati. Pernyataan tersebut seperti yang
“Namun entah apa pun alasan maupun kebenarannya, acap kali aku ingin
mengangkat topi melihat bagaimana sempurnanya beliau mengatur segala
sesuatunya, dari urusan dapur hingga penentuan pakaian yang dikenakan oleh
ayahku. Bapak memang tidak terlalu memperdulikan penampilannya. kombinasi
antara pantalon, kemeja, dan dasinya suka ngawur. Ibulah yang mengaturkan
warna dan kepantasannya sehingga Bapak selalu tampak rapi dan keren.
Kemudian ibuku juga mengurus hal-hal lainnya, dari urusan rekening koran,
listrik, telepon, dan ini serta itu, sampai pada urusan servis mobil. Kapan mobil
tuanya harus diservis, kapan pula mobil Bapak yang juga sudah jauh dari baru itu
harus diganti oli gardannya, dan seterusnya lagi.” (TOP hlm: 122-123)
Meskipun demikian antara Nenek dengan Ibu dalam kehidupan yang menyangkut
keluarga, mereka senantiasa melancarkan protes apabila terjadi ketidakadilan yang dialami
oleh mereka, terutama yang menyangkut masalah budaya patriarkat. Yang berbeda adalah
caranya. Eyang Putri melakukan protesnya dengan mengambil alih keterbatasan keuangan
Eyang Kakung yang tak sanggup menyejahterakan ketiga isteri dan ketiga belas anaknya
itu pada perusahaan batiknya.Ibu melakukan protesnya dengan menjadi dosen di sebuah
perguruan tinggi dan pada kemampuannya mengatur seluruh urusan rumah tangga. Seolah
profesi dosen merupakan cara bagaimana dia memperlihatkan otoritas yang dimilikinya.
“Sedangkan ibu, karena usianya belum memasuki usia pension, sampai sekarang
beliau masih tetap mengajar. Dan semakin senior Ibu, semakin dihargai
keberadaannya. Bahkan menurut kabar angina, Ibu termasuk dosen favorit, karena
banyak mahasiswa yang memilihnya sebagai dosen pembimbing skripsi. Maka
kesibukannya semakin bertambah saja.” (TOP hlm: 122)
Ibu sebagai seorang isteri tidak seperti Eyang Putri yang selalu bersikap sabar,
penuh pemaafan dan pemahaman, nrimo, bakti, dan penuh pelayanan terhadap suami.
Intinya bagi Eyang Putri sebagai isteri harus ikut kemana pun suaminya pergi. Pandangan
Ibu bertolak belakang dengan pandangan Eyang Putri, Ibu tidak setuju dan menganggap
pandangan Eyang Putri tersebut sudah tidak sesuai dengan zaman sekarang yang menuntut
wanita untuk beremansipasi. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan
berikut ini.
“Soalnya ibu teringat pada sikap Eyang. Zaman sudah maju begini, beliau masih
saja mempunyai anggapan bahwa perempuan berada pada tataran yang lebih
rendah darpada laki-laki karena katanya itu sedah merupakan tatanan dunia. Maka
perempuan harus bersikap sabar, penuh pemaafan dan pemahaman, nrimo, bakti,
dan penuh pelayanan terhadap suami, seorang isteri harus meletakkan seluruh
hidup dan masa depannya, sehingga kemana pun suami pergi, dia harus ikut.
Tetapi ibu menunjukkan bahwa anggapan seperti itu sama sekali tidak benar.
Perempuan juga seorang manusia, bukan bayang-bayang dan bukan alas kaki
suami! (TOP hlm: 124-125)
Ibu adalah sosok wanita yang memiliki sifat keras, tegas, dan sesekali juga
meledak-ledak, itu terjadi jika ibu menghadapi masalah, berargumantasi, terutama yang
menyangkut masalah emansipasi wanita. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam
“Seperti orang Jawa yang lain, Bapak juga mendapat ajaran kuno namun sangat
relevan dengan keadaan sekarang, yaitu sebisanya menghindari konflik terbuka
demi keharmonisan relasi antarmanusia. Sementara ibuku termasuk orang yang
keras, tegas, dan sesekali juga meledak-ledak. (TOP hlm. )
51
Sebagai seorang isteri, ibu tidak pernah melayani suaminya seperti halnya Eyang
Putri melayani Eyang Kakung dulu. Itu dikarenakan anggapan ibu bahwa mereka juga
sama-sama capek selesai bekerja jadi apapun yang bisa dikerjakan oleh suaminya
hendaknya dikerjakan sendiri tidak perlu isteri yang mengurusnya. Ibu menginginkan
adanya kesetaraan gender dalam rumah tangganya, Tidak ada keharusan bagi ibu untuk
melayani keperluan suami untuk hal-hal yang sepele yang bisa dikerjakan sendiri.
“Ibu ingin memperlihatkan kepada Bapak bahwa laki-laki dan perempuan itu
setara dalam segala hal. Karenanya Ibu menunjukkan kepada Bapak bagaimana
Ibu mampu menyelesaikan segala urursan yang ada tanpa harus minta tolong
kepadanya. Sebaliknya, Ibu juga menginginkan bapakmu melakukan hal-hal yang
bisa dilakukannya sendiri tanpa bantuan isteri, seperti misalnya mengatur dan
menyediakan sendiri pakaian dalamnya. Atau mengambil makanannya, atau apa
sajalah.” (TOP hlm: 182)
Sikap Ibu yang demikian itu memperlihatkan bahwa beliau dalam hal cinta
memiliki prinsip dan pandangan yang berbeda dari Eyang Putri dan kakak-kakak
perempuan yang lain. Termasuk dalam hal mencintai suami. Ia melihat bahwa dalam
mencintai seseorang kita harus tetap realistis dan rasional. Pernyataan tersebut seperti yang
“Cinta itu sangat indah, Sayang. Tetapi jangan pernah tenggelam di dalamnya
sehingga kita lupa bahwa kenyataan hidup di dunia ini tidak selalu indah. Bahkan
penuh dengan pelabagai macam perjuangan. Maka akhirnya nanti jika mereka
yang sedang mabuk cinta itu mulai bersentuhan dengan realitas, keindahan cinta
yang semula menggebu dan berkobar-kobar penuh berbunga indah itu akan
berubah warna dan kadarnya. Jadi, Sayang, dalam menghadapi cinta itu
hendaknya rasio dan perasaan itu selalu berjalan seiring dan setujuan dan selalu
pula dalam keadaan seimbang.” ( TOP hlm: 167 )
“Ibu Cuma mau mengatakan bahwa betapapun tenggelamnya hati yang sedang
jatuh cinta, kita harus tetap realistis dan rasional.” ( TOP hlm: 168 )
52
Sikap ibu yang begitu keras, ternyata membawanya ke dalam situasi yang tidak
menyenangkan, di mana Bapak ternyata ketahuan berselingkuh dengan wanita lain. Bapak
melakukan itu karena beliau tidak pernah mendapatkan kasih saying, perhatian, belaian
manja dari isterinya sendiri. Perkawinannya dengan Ibu dirasakan begitu kaku dan dia
merasa harga dirinya sebagai kepala rumah tangga tidak ada artinya lagi dihadapan Ibu.
Apa yang dilakukan oleh Bapak sebagai suami telah mengahncurkan prinsip Ibu yang telah
lama dibangunnya bagai benteng itu. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam
Permasalahan yang dihadapi oleh Ibu menyebabkan perubahan sikap dari Ibu.
Beliau terlihat rapuh, tidak seperti biasa sewaktu ada masalah yang menimpanya itu. Ia
sangat tegas berwibawa, kuat, dan tegar. Namun demikian Ibu tetap mencoba untuk kuat
menghadapi cobaan dengan bantuan Gading anaknya. Pernyataan tersebut seperti yang
keibuan dan memancarkan rasa percaya dan damai di hati kami semua.” ( TOP
hlm: 185)
“ Ibu mencintai bapak dengan caranya sendiri. Tetapi Gading tahu betul, Ibu
sangat mencintai Bapak. Tak ada laki-laki lain dalam hidupnya. Meskipun
demikian, betapapun besar cinta Ibu kepada Bapak, tetapi dengan kenyataan
seorang perempuan lain telah menyela dalam perkawinannya, tidak mengikis
kekuatan prinsip hidupnya. Maka meskipun dengan hati hancur, Ibu akan tetap
konsisten dan berpegang teguh pada suara hati dan penilaian moral dalam
batinnya. Gading yakin sekali, tidaklah mudah bagi Ibu untuk menentukan sikap
yang bukan hanya akan melukai dirinya sendiri saja, tetapi juga akan melukai hati
kami anak-anaknya. Tetapi kemauan dan tekad Ibu sangat kuat. ” (TOP hlm:200)
Namun pada akhirnya berkat tekad Gading yang ingin menyelamatkan keluarga
dari bencana akibat permasalahan yang dihadapi oleh kedua orang tuanya itu, keluarganya
berhasil melewati masa-masa kritis dengan baik. Kedua orang tuanya bersatu kembali
4.1.3 Gading
Gading adalah seorang gadis dengan berbagai kelebihan yang dimilikinya, baik
sebagai seorang anak, cucu, kakak, dan sebagai seorang wanita muda yang memiliki cita-
cita yang tinggi untuk bisa mempersembahkan sesuatu yang dapat membanggakan
keluarganya dan orang-orang yang dia cintai. Gading adalah sosok wanita yang kritis
dengan keadaan di sekitarnya, terutama dengan hal-hal yang dia nilai bertentangan dengan
hati nuraninya, seperti yang dapat kita lihat dalam cuplikan berikut.
Seiring dengan tumbuhnya kedewasaan dalam diri Gading tersebut pola piker
yang kritis menandainya dalam berbagai pola sikap dan tingkah lakunya, terutama dalam
mengambil keputusan mana yang baik dan mana yang tidak baik bagi dirinya maupun
orang lain. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.
“ Dan meskipun aku tumbuh dewasa di antara dua pola pikir yang berasal dari dua
generasi yang berbeda, aku selalu belajar mengolah segala sesuatunya agar pas
dengan hati nuraniku yang paling dalam, untuk kemudian menjadi nilai-nilaiku
sendiri.” ( TOP hlm: 222 )
Gading sangat dekat dengan nenek dan ibunya sehingga dia selalu terbuka untuk
menceritakan segala masalah yang dia hadapi dengan kedua wanita yang sangat dia
hormati dan sangat dia cintai itu. Dia selalu meminta nasehat dan masukan yang sangat dia
butuhkan dan itu cukup membantu untuk memecahkan segala masalah yang dia hadapi.
“ Hubunganku dengan orang tuaku amat dekat. Terutama dengan ibuku. Dan
karena sebagai anak bungsu ibuku juga dekat dengan Eyang, maka aku pun juga
cukup dekat dengan beliau. Apalagi aku termasuk cucu yang tak pernah merasa
bosan mengobrol dan bertanya-tanya ini-itu kepadanya. Dengan demikian, dari
kedua perempuan terdekatku itulah aku banyak menimba ilmu pengetahuan
hidup. ” ( TOP hlm: 221-222)
“ Karena kedekatanku dengan ibu, kuceritakanlah semua hal yang menyangkut
hubunganku dengan Mas Yoyok dan bagaimana perasaanku terhadapnya.
Demikian juga hal-hal yang menyangkut Mas Hari dan bagaimana pula
perasaanku dalam hal ini. ” ( TOP hlm: 222)
mendukung yaitu sebagai seorang wartawan. Profesi tersebut sangat cocok dengan
kepribadian yang dimiliki olehnya. Seorang Gading yang kritis, supel dan mempunyai
pikiran yang modern dan keinginan untuk maju tidak kalah dengan laki-laki, seorang
55
pekerja keras dan professional di bidangnya. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat
“ Ya doakan saja aku tidak harus ke luar kota lagi pada hari itu. Kau tahu kan,
sebagai wartawan pada prinsipnya kami bekerja dua puluh empat jam sehari.
Kalau tidak begitu, kami bisa kehilangan berita besar karena keduluan orang!”
(TOP hlm: 234)
sehingga memberikan kesan dia seorang wanita yang tidak mudah mengambil keputusan
sendiri untuk kebaikannya maupun orang lain. Kesan tersebut kadang menyebabkan orang
lain menjadi salah paham akan sikap dia seolah memberikan harapan terhadap orang lain
untuk bisa mendekatinya. Hal itu dikarenakan untuk menjaga perasaan Nenek. Pernyataan
“ Gading kalau nanti Nak Hari dating ke sini, usahakanlah agar kau bisa bersikap
lebih tegas dan tidak memberinya harapan,” katanya kepadaku suatu ketika.”
(TOP hlm: 223)
Ketakutan akan teringat kembali pada kenangan saat Gading bersama dengan
Yoyok menjadi penghalang untuk kembali menjalin persahabatan dengan Ida adik Yoyok.
Bahkan dia segan dating di hari pernikahan Ida gara-gara takut akan kenangan itu sendiri.
Hal itu disebabkan Gading masih memendam rasa cinta terhadap Yoyok yang selama ini
masih dia simpan. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.
“ Namun terlepas dari masalah itu, sebenarnya keenggananku yang paling besar
bersumber pada rasa takut. Aku takut luka-luka hatiku akan kambuh kembali. Ada
banyak tempat di rumah mereka yang pasti akan mengingatkanku pada laki-laki
itu.” (TOP hlm: 234)
56
Sifat lain yang dimiliki oleh Gading adalah sifat itu akan muncul ketika dia
menghadapi orang yang dicintainya yaitu Yoyok. Ketika ia bertemu dengan Yoyok dalam
pesta pernikahan adik Yoyok, rasa itu timbul setelah sekian lama dia berpisah dengannya.
“ Ah, alangkah iriku padanya. Kenapa aku tidak bisa bersikap tenang dan santai
seperti dia? Mengapa pula lidahku masih saja kelu padahal Mas Yoyok tampak
begitu percaya diri? Sungguh, alangkah memalukan diri ini!” (TOP hlm: 248)
sangat luas dan terkadang karena kecerdasannya itu, dalam berkata-kata sering
menggunakan filsafat. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.
“ Lho, yang namanya kemungkinan itu kan luas cakupannya, Da. Sebab kata ‘
mungkin ’ dalam hal ini memiliki keterbukaan untuk pelbagai macam hal yang
bisa terjadi. Aku kan manusia biasa dengan segala keterbatasan dalam ruang dan
waktu. Jadi aku tak bisa menjawab pertanyaanmu tadi secara pasti dan mutlak.”
“ Wah, wah Gading. Malam-malam kok berfilsafat!” Ida tertawa geli.
“ Bukannya berfilsafat.” Aku juga tertawa. “ Aku uma mau mengatakan bahwa di
dunia ini tidak ada suatu kepastian yang mutlak kecuali ketidakpastian itu
sendiri!” (TOP hlm: 258)
Gading adalah seorang gadis yang cerewet, suka berbicara tapi tidak untuk hal-hal
yang berisi bualan. Berbicara dengan Gading terkadang teresan memperdebatkan sesuatu
apalagi menyangkut hal yang berbeda dengan prinsip hidupnya pastilah dia akan segera
memprotes atau mengomentari. Namun terkadang hal itu tidak dia lakukan jika dia
berbicara dengan Nenek karena ia tidak ingin dianggap cucu yang suka membantah dan
untuk menjaga perasaan Neneknya. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam
“ Tetapi ayo, kita kembalikan pembicaraan pada pokok persoalan. Eyang ingin
tahu, apa yang menyebabkanmu tidak seceriwis biasanya. Mana burung prenjak
Eyang?” (TOP hlm: 36)
57
“ Lagi pula, aku tidak ingin berdebat dengannya. Aku juga tidak ingin
membuatnya kecewa. Jadi terpaksalah lidahku kudorong dalam-dalam dan
kusembunyikan jauh di dalam mulutku. Tetapi tenyata meskipun aku sudah
berdiam diri seperti itupun, tetap saja sikapku tidak berkenan di hati nenekku.”
(TOP hlm: 9)
kesetaraan itu sangat penting baik bagi kaum wanita maupun kaum pria untuk bisa
memahaminya agar kesetaraan itu dapat terwujud meskipun ada pihak-pihak yang pro dan
kontra. Dukungan tersebut dia wujudkan dengan menjadi seorang wartawan di sebuah
tabloid terkenal. Di sana sia menjadi seorang wanita yang mampu sejajar dengan pria dan
dia bisa mengembangkan potensi yang dimilikinya. Pernyataan tersebut seperti yang
Sebagai seorang gadis yang sudah beranjak dewasa, Gading tidak mudah
terhanyut oleh rayuan laki-laki, apalagi oleh laki-laki yang tidak dicintainya. Baginya
perasaan suka apalagi cinta tidak dapat dipaksakan. Itu merupakan hak asasi setiap
individu. Hal ini terjadi ketika laki-laki yang dijodohkan Nenek itu mulai merayu Gading.
“ Sungguh, Dik Gading? Itu bukan semacam yah…… Sikap jual mahal atau
strategi jinak-jinak merpati, begitu? Suara Mas Hari terdengar amat lembut dan
mengandung rayuan. Kalau saja suara itu ditujukan kepa perempuan lain, aku
yakin orang tiu akan mabuk kepayang dibuatnya. Tetapi aku, bukannya mabuk
tetapi malah muak.” (TOP hlm: 210)
pihak laki-laki dan perempuan. Di samping itu pernikahan membutuhkan perencanaan dan
persiapan yang matang sehingga dapat berjalan dengan lancar. Pernyataan tersebut seperti
“ Tetapi kau harus tahu, Mas, bagiku hubungan seorang laki-laki dan seorang
perempuan, apalagi kalau sudah menyangkut pada rencana perkawinan, itu perlu
perencanan dan pemikiran yang mendalam. Perkawinan adalah satu wadah yang
suci karena sedikitnya menyangkut kebahagiaan sebuah keluarga. Terutama
karena menyertakan nama Tuhan di dalamnya. Jadi tidak bisa sembarangan!”
(TOP hlm: 266)
4.2 Emansipasi Tiga Tokoh Utama Wanita dalam Novel Tiga Orang Perempuan
masalah ketidakadilan gender serta masalah lain yang menyangkut hal tersebut. Masalah-
masalah tersebut saling berhubungan dan apabila dilihat dari kacamata feminisme, masalah
Dalam novel ini dipaparkan tentang emansipasi wanita. Pria dan wanita telah
bergandengan tangan hampir di semua bidang kehidupan seperti di bidang politik, hukum,
ekonomi, pendidikan, dan di lingkungan keluarga. Emansipasi yang ada dalam novel
dipelopori oleh tokoh utama wanitanya yaitu Ibu, dan Gading. Sedangkan tokoh Nenek
mencakup lingkungan keluarga, pendidikan, ekonomi, di kantor, dalam bidang politik dan
hukum.
59
Pandangan yang salah tentang emansipasi oleh masyarakat pun turut mendukung
adanya perbedaan pandangan. Bahkan terjadi peneguhan pemahaman yang tidak pada
tempatnya mengenai emansipasi oleh masyarakat. Gerakan emansipasi ini oleh masyarakat
dianggap melanggar kodrat Tuhan. Kodrat seorang wanita selain mengandung dan
menyusui anak, adalah tugas mengurus rumah tangga (mengatur makan, pakaian, dan lain-
lain) dan mengasuh (memelihara, membesarkan, dan mendidik) anak. Karena wanita
diposisikan pada tugas-tugas domestik, mereka tidak boleh bekerja di luar tugas-tugas
domestik. Hal inilah yang menyebabkan sifat superioritas kaum pria terhadap kaum wanita
Emansipasi wanita dalam novel ini mencakup bidang politik, hukum, ekonomi,
masalah marginalisasi atau pemiskinan ekonomi terhadap kaum wanita yang menyebabkan
yang mendapat ketidakadilan gender di lingkungan keluarga. Semua bidang tersebut akan
dengan adanya ketidakbebasan wanita dalam pengambilan keputusan dan dalam pusat-
pusat kekuasaan pembuat keputusan (subordinasi). Sebenarnya politik dan hukum yang
berlaku di Indonesia adalah secara das sollen (keharusan normatif) menerima gerakan
feminisme yang meletakkan pria dan wanita dalam kdudukan yang setara. Tetapi secara
derajatnya daripada pria. Wanita dilarang mengambil keputusan karena hal itu bukanlah
haknya, melainkan hak pria. Sebagai seorang wanita hanya diwajibkan untuk menerima
segala keputusan yang diambil oleh pria dan tidak diperbolehkan membantahnya. Hal itu
terjadi ketika Nenek ingin menjodohkan Gading dengan Hari, laki-laki pilihan Nenek.
“ Eyang tadi bilang, mbok kamu jangan terlalu banyak memilih dan menimbang.
Memilih, menimbang, dan memutuskan itu haknya kaum laki-laki. Bukan hak
kita. Sebab, kaum perempuan ini adalah orang-orang yang berada di tempat yang
akan dipilih.” (TOP hlm: 8)
Selain dalam hal pengambilan keputusan, emansipasi juga muncul dalam bidang
hukum. Hukum adat dan hukum pemerintah yang berupa hukum tentang perkawinan
kurang melindungi hak kaum wanita dari ketidakadilan gender. Wanita tidak diprioritaskan
dalam pengambilan keputusan politik dan hukum, peran mereka dalam kehidupan politik
dan hukum selalu di bawah dominasi pria. Salah satu contoh ketidakadilan gender dalam
perkawinan yaitu adanya perjodohan (dipaksa menerima jodoh pemberian orang tua dan
61
dipaksa tunduk pada suami). Hal ini terjadi ketika Nenek menjodohkan Gading dengan
Hari. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.
“ Tetapi selain itu, dia bukan apa-apa jika dibandingkan dengan Hari. Baik wajah,
penampilan, sikap, tutur bahasa, dan terutama dalam hal keunggulan keturunan
dan asal usulnya. Bibitnya seperti apa, bobotnya bagaimana, dan bebetnya
seberapa, kita tidak tahu. Tetapi Hari itu siapa, sudah jelas seperti apa latar
belakangnya. Lahir dari keluarga ningrat, sehat, terhormat, dan tanpa cela.” (TOP
hlm: 18)
Adanya poligami yang dilakukan oleh kaum pria terhadap kaum wanita. Hal ini
terjadi ketika Kakek menikah lagi dan Nenek membiarkan dirinya untuk dimadu tanpa
hubungan antara ayah, ibu dan anak-anak mereka. Hal ini terjadi ketika perkawinan antara
Ibu dengan ayah Gading retak akibat dari kesalahan Ibu yang terlalu menjunjung tinggi
emansipasi tanpa memandang kodratnya sebagai seorang wanita dan seorang isteri
sehingga hampir saja beliau kehilangan orang yang paling dicintainya yaitu ayah.
“ Sebelum Eyang Kakung memperisteri beliau, sudah ada beberapa selir yang
tinggal di bagian belakang rumahnya. Namun pada masa itu, seorang laki-laki
beristeri banyak bukanlah suatu masalah. Berbagi kasih dan perhatian suami
dengan banyak wanita lain adalah sesuatu yang biasa terjadi.” (TOP hlm: 26)
ekonomi yang telah menimbulkan marginalisasi atau pemiskinan ekonomi terhadap kaum
wanita. Kaum wanita miskin karena mereka hanya diperbolehkan bekerja pada sektor
domestik (rumah tangga) seperti memasak, mengurus rumah tangga, dan mengasuh anak.
Secara otomatis wanita tidak boleh bekerja di luar tugas domestik tersebut. Wanita tidak
62
dapat bekerja di luar rumah sebagaimana pria. Oleh karena itu, wanita lebih miskin
daripada pria. Bahkan, ia tergantung pada pria. Kalaupun ada wanita yang bekerja di luar
rumah, gajinya tidak setinggi gaji pria. Kaum wanita yang bekerja di sektor publik
dianggap sebagai anomaly atau pekerjaan pelengkap sehingga bila dalam pengupahannya
integral yang tidak terpisahkan dari pembangunan nasional dan merupakan salah satu fokus
Pembangunan Jangka Panjang II. Kemitrasejajaran yang harmonis antara wanita dan pria
memiliki persamaan hak, kewajiban, kedudukan, peranan, dan kesempatan yang dilandasi
sikap dan perilaku saling menghormati, saling menghargai, saling membantu dan saling
Dalam novel ini tiga tokoh utama wanitanya sama-sama memiliki kesempatan
bekerja di luar tugas domestik. Bekerja di sektor publik ketiga tokoh utama wanita tersebut
sangat sukses. Nenek sukses dengan usaha batik peninggalan leluhurnya, Ibu sukses
sebagai dosen di sebuah perguruan tinggi bahkan beliau dicalonkan menjadi dekan dan
juga dosen favorit untuk pembimbing skripsi, sedangkan Gading berprofesi sebagai
wartawan sebuah tabloid terkenal, profesi yang sangat mewakili jiwanya sebagai seorang
gadis yang cerdas. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.
Masyarakat menganggap wanita lebih rendah daripada pria dan hany mampu
mengerjakan pekerjaan domestik, oleh karena itu wanita tidak diperbolehkan menuntut
ilmu tinggi-tinggi dan bekerja di luar rumah sebagaimana pria. Hal tersebut merupakan
pembodohan terhadap kaum wanita. Mereka bodoh karena tidak mendapat kesempatan
untuk menuntut ilmu. Bahkan hal tersebut dilakukan oleh orang tua mereka sendiri. Para
orang tua khawatir bahwa jika anak perempuannya pandai menulis dan membaca, akan
menjadi jahat dan melupakan kodratnya sebagai seorang wanita. Hal inilah yang
bodoh, dalam arti tidak berpendidikan, cenderung bersifat pasif dan menyerah saja pada
kemauan orang lain. Oleh karena itulah melalui gerakan emansipasi, tiga tokoh utama
wanita dalam novel ini memperjuangkan hak mereka agar diberi kebebasan dan
64
menguasai apa yang harus dikuasai sesuai dengan bakat dan kemampuannya.
bisa menjadi orang sukses, dihormati orang. Namun tujuan Nenek sebenarnya adalah untuk
memperlihatkan pada suami dan selirnya bahwa tanpa bantuan Kakek, anak-anak Nenek
dapat memperoleh pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan anak-anak selir Kakek. Hal
itu merupakan gengsi/prestise yang ingin ditunjukkan oleh Nenek agar dipandang sebagai
wanita yang kuat dan mandiri serta berwawasan luas dan modern. Pernyataan tersebut
Tokoh ibu tidak kalah lagi. Beliau sangat menjunjung emansipasi wanita di
bidang pendidikan. Karena menurutnya dengan pendidikan wanita dapat sejajar dengan
kaum pria di segala bidang kehidupan bahkan mendominasi atau jauh mengalahkan kaum
pria. Seorang wanita berhak untuk mendapatkan pendidikan setinggi mungkin dan
menguasai apapun yang harus dikuasai sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Hal
sudah menjadi keharusan agar wanita tidak diremehkan dan tidak direndahkan oleh kaum
profesi sebagai wartawan. Tujuan yang ingin dicapai oleh Ibu adalah untuk mengalahkan
dominasi kaum pria di segala bidang kehidupan. Bahkan kalau bisa seorang wanita bisa
memimpin pria.
beranggapan bahwa pendidikan sangat penting agar wanita bisa sejajar dengan kaum pria.
65
Namun tidak menyalahi kodratnya sebagai seorang wanita. Tidak seperti Ibunya yang ingin
mengalahkan kaum pria tetapi hanya untuk memberikan kesempatan yang sama kepada
terjadi di lingkungan keluarga. Institusi “keluarga” merupakan tempat yang paling rawan
bagi wanita. Mereka dalam keluarga cenderung menjadi korban potensial ketidakadilan
gender. Hal ini disebabkan oleh posisi subordinat wanita dalam masyarakat yang
secara menyeluruh.
Wanita mendapat perlakuan yang berbeda dengan pria terutama dalam hal
perkawinan (dipaksa menerima jodoh pemberian orang tua). Seperti yang dialami oleh
tokoh Gading, dia harus menerima perjodohannya dengan pria pilihan Nenek. Dengan alas
an, laki-laki tersebut berasal dari keluarga ningrat yang jelas bibit, bobot, dan bebetnya.
Seorang perempuan juga dipaksa tunduk kepada suami. Hal ini dialami oleh tokoh Nenek.
Beliau sangat menghormati suaminya, dan tidak pernah membantah semua keinginan
suaminya itu. Menurut Nenek, sebagai seorang isteri harus menerima apa saja perlakuan
sang suami. Wanita juga harus berani memiliki sikap “nrimo ing pandum” dan menerima
dengan rela “jatah” yang diberikan kepadanya sebagai suatu ketentuan yang sudah
Karena posisi wanita yang lemah tersebut, pria cenderung memperlakukan wanita
(isteri) sebagai benda yang dimilikinya, layaknya benda-benda yang lain. Suami sering
hak untuk melawan tindakan suami, termasuk mencegah suami untuk kawin lagi
(poligami). Hal inilah yang dialami oleh tokoh Nenek. Beliau sangat menghormati
keputusan suaminya untuk menikah lagi dengan wanita lain atau bahkan memiliki banyak
selir. Paham nrimo ing pandum tetap dijunjung tinggi oleh Nenek, sehingga dia tidak
pernah merasa dimadu atau diduakan oleh suaminya. Pasrah pada nasibnya dan tidak
pernah memprotes segala perilaku suaminya yang tidak menyenangkan hatinya. Pernyataan
“ Sebelum Eyang Kakung memperisteri beliau, sudah ada beberapa selir yang
tinggal di bagian belakang rumahnya. Namun pada masa itu, seorang laki-laki
beristeri banyak bukanlah suatu masalah. Berbagi kasih dan perhatian suami
dengan banyak wanita lain adalah sesuatu yang biasa terjadi. ” (TOP hlm: 26)
“ Seperti yang eyangku sering katakan kepadaku bahwa perempuan haruslah rela
menerima apa saja perlakuan sang suami. Perempuan juga harus berani memiliki
sikap untuk “ nrimo ing pandum ” dan menerima dengan rela “ jatah” yang
diberikan kepadanya sebagai suatu ketentuan yang sudah digariskan oleh Yang
Maha Kuasa. ” (TOP hlm: 26)
Hal ini sangat bertolak belakang dengan hati nurani tokoh lainnya yaitu Ibu dan
Gading. Apa yang dilakukan oleh Nenek sebagai suatu kesalahan yang terbesar dalam
kehidupan seorang wanita. Mereka menganggap apa yang dialami oleh Nenek adalah
sebuah bentuk penindasan kaum laki-laki terhadap kaum perempuan. Kedua tokoh ini
sangat menentang dengan apa yang menjadi pedoman hidup Nenek. Oleh karena itu dengan
segala usaha mereka ingin terbebas dari belenggu budaya patriarkat, budaya yang sangat
mengekang kebebasan kaum wanita untuk lebih maju dan sejajar dengan kaum pria.
4.3 Pandangan Tiga Tokoh Utama Wanita tentang Emansipasi dalam Novel Tiga
Orang Perempuan
Pandangan tiga tokoh utama wanita dalam novel ini memiliki perbedaan-
perbedaan. Hal tersebut disebabkan oleh faktor seperti latar belakang sosial yang berbeda,
lingkungan keluarga yang mendidiknya, dan sebagainya. Pandangan tiga tokoh utama
wanita dari tiga generasi yang berbeda tentang emansipasi ini menimbulkan pertentangan
mendukung satu sama lain. Misalnya ketika Nenek ingin menjodohkan Gading dengan
laki-laki pilihan Nenek, Ibu sangat menentang niat tersebut. Ibu mendukung niat Gading
yang menolak perjodohan tersebut. Pandangan ketiga tokoh muncul ketika mereka
menghadapi suatu konflik yang menyangkut bidang politik, hukum, ekonomi, pendidikan,
Ketiga tokoh utama wanita terutama tokoh Ibu dan Gading memiliki pandangan
yang sama tentang emansipasi. Keduanya sangat mendukung gerakan tersebut. Lain halnya
dengan Nenek yang memiliki pandangan yang berbeda dengan tokoh Ibu dan Gading
Berikut akan dipaparkan pandangan ketiga tokoh tentang emansipasi di bidang politik,
Tokoh Nenek dalam novel ini diceritakan memiliki pandangan yang berbeda
tentang emansipasi wanita dibandingkan dengan dua tokoh utama wanita yang lainnya
yaitu ibu dan Gading. Tokoh Nenek cenderung menentang dan bersifat tradisional. Hal ini
disebabkan oleh lingkungan tempat tinggal beliau tinggal sejak kecil yaitu lingkungan
keratin. Baik ayahnya maupun ibunya sangat memegang teguh budaya Jawa, dan
Tembok keraton yang tinggi membatasi dia dalam pergaulan dengan dunia luar.
Hal ini menyebabkan dia sangat sulit menerima perubahan-perubahan yang banyak terjadi
di luar. Jangankan bergaul dengan gadis-gadis teman sebayanya, bergaul dengan teman
laki-lakinya pun dia tidak diperbolehkan. Sebagai seorang gadis muda sejak berumur tujuh
tahun menurut adat Jawa harus dipingit. Dia tidak diperbolehkan keluar rumah hingga
saatnya tiba yaitu saat dia menerima lamaran dari laki-laki yang sudah dijodohkan oleh
orang tuanya. Selama dalam pingitan berbagai ajaran tentang kewanitaan diterimanya.
Yaitu berbagai hal tentang memasak, menjahit, dan sebagainya. Sebagai seorang wanita
diajarkan untuk selalu pasrah pada nasibnya, tidak diperbolehkan untuk mengambil
keputusan, memilih, menimbang, tentang suatu hal karena itu bukan haknya sebagai
seorang wanita, tetapi merupakan hak kaum pria. Hal tersebut beliau pegang teguh hingga
saat beliau ingin menjodohkan Gading cucunya dengan laki-laki pilihannya. Pernyataan
“ Eyang tadi bilang, kamu mbok ya jangan terlalu banyak memilih dan
menimbang-nimbang. Memilih dan memutuskan itu haknya kaum laki-laki.
Bukan hak kita. Sebab, kita kaum perempuan ini adalah orang-orang yang berada
di tempat yang akan dipilih. ” (TOP hlm: 8)
69
kaum wanita yang ingin memperjuangkan haknya dalam bidang politik dan hukum.
mengemukakan pendapat juga diperoleh kaum wanita tidak hanya kaum pria saja. Karena
itu hak manusia yang dimilikinya, baik pria maupun wanita sama.
Ayah Nenek seorang bangsawan tinggi keratin dan ibunya seorang saudagar batik
yang kaya tapi bukan dari keluarga bangsawan. Sebagai perempuan Jawa, ia begitu patuh
kepada adapt istiadat dan pekatnya budaya Jawa sama seperti perempuan-perempuan lain
yang sezaman dengannya. Namun pandangan Nenek tentang emansipasi wanita di bidang
ekonomi adalah penting. Beliau berani terjun dalam dunia bisnis yaitu menjadi pengusaha
batik meneruskan usaha ibunya. Alasannya untuk menopang ekonomi keluarganya dan
beliau sebagai seorang isteri tidak hanya bergantung menunggu jatah dari suaminya.
Beliau memiliki sifat dan kemauan yang sedemikian keras dan kuat sampai-
sampai menelorkan gagasan dan bahkan cita-cita yang barangkali jarang dimiliki oleh
perempuan-perempuan lain yang hidup sezaman dengan beliau. Cita-cita itu adalah
mengusahakan agar ketujuh anaknya bersekolah setinggi mungkin. Gaji Eyang Kakung
memang mampu membiayai hidup keluarga besarnya, yaitu seorang isteri, dua selir, dan
70
tiga belas anak. Tetapi untuk biaya sekolah semua anaknya sampai ke perguruan tinggi,
jelas itu tidak akan mencukupi. Maka Nenek dengan seluruh tekadnya berusaha menambal
kekurangan itu dengan memajukan pabrik batik warisan orang tuanya. Dan berkat
usahanya itulah akhirnya semua anaknya berhasil menjadi sarjana. Bahkan empat orang
diantaranya, termasuk Ibu, meraih sarjana strata dua. Pernyataan tersebut seperti yang
penting dan tiu harus dilakukan oleh seorang wanita agar keluarganya dapat memperoleh
kehidupan yang layak dan mencukupi segala kebutuhannya. Sehingga bisa mendapatkan
apa yang patut didapat oleh wanita yaitu kehidupan yang layak, pendidikan yang tinggi.
Meskipun demikian sebagai seorang wanita Jawa yang memegang teguh adat-istiadat Jawa,
beliau tidak pernah lepas dari ajaran-ajaran orang tuanya. Sebagai seorang perempuan Jawa
dalam hal perkawinan tidak diperbolehkan memilih calon sendiri atau dengan kata lain
mereka dipaksa untuk menerima jodoh pemberian orangtuanya dan dipaksa tunduk kepada
suaminya. Hal itu dialami Nenek dahulu ketika menikah dengan Kakek. Hal ini
dikarenakan Nenek sebagai seorang wanita yang diposisikan sebagai orang yang mengurus
rumah tangga, sejak kecil hingga dewasa kehidupannya sudah diatur oleh orang tua
termasuk masalah jodoh. Menurut orang tua Nenek, menikahkan anak gadisnya dengan
71
seorang bangsawan dianggap sebagai satu cara termanjur untuk menaikkan derajat bagi
keluarga besar mereka. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.
“ Maka nilai seperti itu pulalah yang tertanam dalam batin seluruh keluarga besar
Eyang Putri. Wajahnya yang rupawan menjadi harapan keluarga untuk
memurnikan kembali darah bangsawan mereka. Bibit, bobot, dan bebet Eyang
Putri cukup bagus. Wajahnya rupawan. Pendidikannya lumayan. Maka menjadi
seorang isteri bangsawan tinggi atau malah isteri salah satu putra raja merupakan
sesuatu yang pantas baginya. ” (TOP hlm: 24)
“ Bagi keluarga si gadis, semakin tinggi kedudukan anak perempuannya nanti
dalam kehidupan rumah tangga bangsawan, akan semakin naik derajat mereka di
mata masyarakat. ” (TOP hlm: 26)
laki-laki yang dianggap pantas untuk cucunya itu. Pantas dari segi bibit, bobot, dan
masyarakat.
Selain itu dalam rumah tangga seorang isteri harus tunduk kepada suami. Menurut
ajaran yang diterimanya dari orang tuanya, bahwa seorang isteri harus patuh dan menurut
pada suami. Tidak diperbolehkan membantah apa yang sudah menjadi kehendak suami.
Segala yang dilakukan oleh suami harus diterima isteri sebagai suatu takdir. Ajaran ini
beliau tanamkan di hati semua anak-anak, cucu bahkan cicitnya. Termasuk cucu
kesayangannya yaitu Gading. Dengan segala cara beliau berusaha memberikan nasehatnya
tentang sikap yang harus dimiliki oleh seorang isteri kepada suaminya. Pernyataan tersebut
“ Seperti yang eyangku sering katakan kepadaku bahwa perempuan haruslah rela
menerima apa saja perlakuan sang suami. Perempuan juga harus berani memiliki
sikap untuk “ nrimo ing pandum ” dan menerima dengan rela “ jatah” yang
diberikan kepadanya sebagai suatu ketentuan yang sudah digariskan oleh Yang
Maha Kuasa. ” (TOP hlm: 26)
72
Apabila nilai-nilai tersebut tidak dimiliki dan diterapkan oleh perempuan, akan
berakibat fatal. Hal-hal yang tidak diinginkan seperti perceraian akan terjadi. Pernyataan
“ Oleh karena itu kalau seorang perempuan tidak bisa bersikap kompromistis,
maka akan lebih malanglah nasibnya. Bercerai dari suami, apalagi dipulangkan ke
rumah orangtuanya, merupakan aib besar yang bukan hanya disandang dirinya
sendiri, tetapi juga keluarga besarnya. ” (TOP hlm: 27)
Salah satu hal yang tidak dimengerti oleh Ibu dan Gading, adalah bagaimana
seorang wanita seperti Nenek menerima perilaku Kakek yang memiliki isteri banyak atau
selir. Pandangan Nenek terhadap perkawinan poligami, bahwa itu adalah hak seorang laki-
laki. Apalagi Kakek adalah seorang keturunan bangsawan yang kaya. Bagi mereka tidaklah
menjadi masalah meminang gadis mana pun yang disukainya. Pernyataan tersebut seperti
“ Pada masa itu, bagi bangsawan tinggi--- apalagi yang kaya --- tidaklah sulit
untuk meminang gadis mana pun yang diinginkanya. Hanya dengan mengutus
orang-orang kepercayaannya, ia bisa mengambil gadis yang diminatinya untuk
dijadikan selir. ” (TOP hlm: 26)
“ Sebelum Eyang Kakung memperisteri beliau, sudah ada beberapa selir yang
tinggal di bagian belakang rumahnya. Namun pada masa itu, seorang laki-laki
beristeri banyak bukanlah suatu masalah. Berbagi kasih dan perhatian suami
dengan banyak wanita lain adalah sesuatu yang biasa terjadi. ” (TOP hlm: 26)
73
Agar kita sebagai isteri bertahan adalah dengan menerima pasrah apa yang sudah
menjadi hak suaminya. Memiliki sikap “ nrimo ing pandum ” adalah jurus terampuh yang
harus dimiliki oleh perempuan agar tidak menjadi orang yang kalah. Menurut Nenek kita
boleh mencintai suami, namun jangan sampai menyerahkan semua hati kita kepada mereka.
Hal ini dimaksudkan agar jika terjadi sesuatu kita tidak akan terlalu merasa sakit hati.
“ Bukankah sudah berapa belas kali Eyang nasihatkan padamu untuk jangan
sekali-kali memberikan seluruh hatimu kepada seorang laki-laki. Sedikit saja
sudah cukup, sehingga kalau ada apa-apa, yang sedikit itu akan segera terbang
ditiup angina dan larut diterpa waktu. ” (TOP hlm: 18)
“ Mengingat adanya perempuan-perempuan lain, aku tidak tahu apakah nenekku
itu benar-benar mampu melayari kehidupan perkawinannya dengan cara seperti
yang dimaksudkannya kepadaku, yaitu tidak menyerahkan seluruh hati kepada
seorang laki-laki. ” (TOP hlm: 28)
sekalipun beliau memperlihatkan air muka yang keruh dan wajah yang murung. Apalagi
menangis. Kalaupun pernah menitikkan air mata, itu adalah tangis haru ketika anak-
anaknya berhasil dalam pendidikan atau ketika mereka menikah dan kemudian
memberinya cucu-cucu.
Tokoh utama wanita yang kedua adalah Ibu. Tokoh ini merupakan generasi kedu,
anak bungsu dari tujuh anak yang dimiliki Nenek. Karena merupakan generasi yang
berbeda dan terlahir di lingkungan yang berbeda pula, maka mempengaruhi pandangan Ibu
terhadap emansipasi wanita. Tokoh ini sangat mendukung gerakan emansipasi wanita.
Lingkungan keluarga yang tidak terlalu mengekang kebebasan dia. Ibu sangat mendukung
74
adanya gerakan emansipasi. Di bidang politik dan hukum, Ibu menentang adanya
perjodohan hanya akan menyengsarakan wanita itu sendiri. Dalam perjodohan si wanita
tidak mengenal laki-laki yang nantinya akan menjadi suaminya, bahkan dari keluarga mana
dia berasal pun tidak diketahui oleh si gadis. Pernyataan tersbut seperti yang terdapat dalam
Pandangan Ibu yang memperjuangkan hak-hak wanita tidak hanya beliau lakukan
di bidang politik dan hukum saja. Di bidang pendidikan, Ibu mendapat pendidikan sampai
ke jenjang yang tinggi, sehingga mampu untuk mencari penghasilan sendiri. Menurut
beliau seorang perempuan berhak menentukan sendiri cara dia merealisasikan potensi dan
bakatnya. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.
“ Terutama kepada para wanita. Sikap mereka tetap saja diskriminatif dan seksis,
tidak mau tahu bahwa perempuan juga mempunyai hak dan cita-cita sendiri.
Bahwa, wanita juga ingin merealisasikan potensi dan bakatnya. ” (TOP hlm: 121)
Oleh karena itu beliau melancarkan protes terhadap ketidakadilan gender di bidang
75
ekonomi dengan berprofesi sebagai dosen di sebuah perguruan tinggi. Pernyataan tersebut
Dengan cara inilah menurut Ibu, seorang wanita tidak akan pernah ditindas lagi
oleh laki-laki. Mereka tidaka akan berani memperlakukan wanita dengan semena-mena.
Kaum wanita dapat mensejajarkan diri dengan kaum pria. Bahkan kalu perlu menjadi mitra
yang sejajar dengan pria. Menunjukkan kemampuan kita sebagai seorang wanita untuk
mengerjakan semua pekerjaan yang dilakukan oleh pria adalah cara yang tepat agar tidak
direndahkan oleh mereka. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut
ini.
emansipasi wanita di bidang pendidikan dan ekonomi. Pernyataan tersebut seperti yang
Oleh karena itulah, Ibu tidak ingin hal itu terjadi pada putrinya. Sudah menjadi
kewajiban kaum perempuan untuk memperjuangkan haknya agar sederajat dengan kaum
laki-laki. Namun Ibu berharap apa yang telah diperjuangkan tersebut tidak akan melanggar
76
kodrat kita sebagai seorang perempuan yaitu mengurus rumah tangga. Pernyataan tersebut
Pandangan Ibu walaupun ada yang sependapat dengan pandangan Nenek, ada
beberapa hal yang beliau tidak sependapat. Misalnya saja pandangan Nenek tentang
perkawinan. Ibu sangat tidak menyukai adanya perjodohan atau kawin paksa, nilai-nilai
Jawa yang harus dimiliki seorang wanita sebagai isteri yang terlalu memberatkan tugas
mereka sebagai isteri. Ibu sangat tidak menyetujui pandangan bahwa seorang isteri harus
memiliki sikap pasrah, sabar, pemaaf, nrimo, bakti dan penuh pelayanan kepada suami.
Menurutnya, wanita adalah seorang manusia biasa bukanlah benda atau bayang-bayang
yang dianggap tidak ada. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut
ini.
Bagi Ibu, seorang isteri mempunyai hak dan kebebasan untuk melakukan sesuatu
agar dalam kehidupan berumahtangga, tidak terjadi penindasan oleh suami. Bahkan lebih
parah lagi menurut pandangan Ibu, bila kebebasan wanita dalam kehidupan
77
rumahtangganya tidak ada, dia hanya dijadikan pembibitan untuk pria dalam mendapatkan
keturunan. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.
“ Perempuan juga mempunyai hak atas dirinya sendiri. Maka, seorang isteri juga
seorang individu merdeka yang memiliki kehendak bebas dan mampu
mempertanggungjwabkan perbuatannya. Maka pula eyangmu harus bisa
memahami bahwa seorang isteri bukan perhiasan rumah, bukan pula termasuk
salah satu inventaris rumah. Lebih-lebih lagi, seorang isteri bukanlah tempat
pembibitan untuk mendapatkan keturunan bagi laki-laki. ” (TOP hlm: 120)
Isteri adalah seorang manusia biasa yang mempunyai kemampuan terbatas. Ada
kalanya seorang isteri tidak mampu mengerjakan sesuatu melebihi kemampuannya sebagai
seorang isteri. Tugas rumah tangga yang cukup berat, masih dibebani pula dengan tugasnya
di luar rumah yaitu sebagai wanita karier, tidak didukung oleh suami untuk membantu
meringankan bebannya tersebut. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan
berikut ini.
Oleh karena itu, Ibu menganggap dalam pekerjaan rumah tangga sebaiknya ada
pembagian tugas antara suami dengan isteri. Hal tersebut dikarenakan mereka berdua
sama-sama bekerja di luar rumah. Agar adil suami membantu isteri dalam menyelesaikan
tugas-tugas rumah tangga seperti mencuci piring, pakaian, menyapu dan pekerjaan rumah
yang lainnya. Ibu menganggap bahwa pembedaan tugas rumah tangga harus ditiadakan
agar sama-sama berpartisipasi, tidak ada yang merasa dirugikan. Pernyataan tersebut
“ Mestinya bapakmu yang mencuci piring-piring kotor ini, wong hari ini dia tidak
pergi kemana-mana! ” (TOP hlm: 150)
“ Yang harus kaukasihani itu Ibu, Mayang! ” Sudah bangunnya paling pagi, itulah
sebenarnya yang mau Ibu katakana, bahwa pekerjaan ibu rumah tangga itu berat.
” (TOP hlm: 150)
Sebagai seorang isteri, Ibu tidak pernah melayani suaminya seperti Nenek
untuk mandi adalah hal yang masih bisa dikerjakan oleh suaminya, sehingga Ibu tidak
perlu untuk melayaninya. Hal itu Ibu lakukan agar suaminya tahu bahwa dalam rumah
tangga harus ada kesetaraan. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan
berikut ini.
Karena menganggap sama-sama capek, Ibu tidak mau melayani Bapak. Padahal,
melayani suami adalah tugas utama sebagai seorang isteri. Namun, Ibu tetap bersikukuh
untuk tidak melayani Bapak. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan
berikut ini.
“ Nah, dalam kondisi sama-sama capek, bahkan lebih capek lagi, masih haurskah
Ibu juga melayani kebutuhan Bapak? Adilkah kalau Ibu terus didesak-desak untuk
melayani Bapak hany karena budaya kita mengatakan bahwa suami harus dicintai,
dilayani, dan dimanjakan? ” (TOP hlm: 144)
79
Apa yang Ibu lakukan terhadap Bapak bukan tidak beralasan. Hal tersebut
dikarenakan masa lalu Ibu yang begitu menyakitkan sehingga masih membekas sampai
sekarang. Ibu mengalami masa di mana beliau harus menghadapi situasi yang tidak
menyenangkan. Setiap hari Ibu harus menyaksikan ketidakadilan yang dialami oleh ibunya
yaitu Nenek. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.
“ Semasa kecil, hidup Ibu penuh dengan pergolakan batin, antara lain karena
melihat ketidakadilan yang terjadi di rumah tempat Ibu hidup dan menjadi bagian
di dalamnya. ” (TOP hlm: 126)
Ketidakadilan yang dialami oleh ibunya adalah karena ayahnya menjalani hidup
rumah tangga dengan melakukan poligami. Beliau mempunyai banyak selir. Ibu tidak bisa
membayangkan bagaimana Nenek bila hidup berumah tangga dengan kondisi yang
demikian. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.
Namun ada hal yang paling membuat Ibu sakit hati dan trauma, yaitu saat Nenek
mengandung dan akan melahirkan adiknya. Di saat penting seperti itu Kakek tidak
mendampingi Nenek. Bahkan Beliau berada di rumah salah satu selirnya. Akibatnya Nenek
kehilangan anak tersebut meninggal saat dilahirkan. Ibu tidak bisa membayangkan
bagaimana situasi tersebut dialami Nenek. Kondisinya yang sudah tidak kuat menahan
sakit, dan dia butuh dukungan suaminya harus berjuang sendiri melahirkan anaknya.
“ Waktu eyang putrimu mengandung adik Ibu dan kemudian tiba waktu untuk
melahirkannya. Itulah saat yang pahit bagi Ibu. ” (TOP hlm:129)
“ Nah, dalam keadaan hamil tua seperti itu, Eyang Putri ingin supaya Eyang
Kakung lebih banyak menemaninya, terutama malam itu. Saat itu, perutnya
memang sudah mulai terasa tegang-tegang. Tetapi Eyang Kakung menjawab
bahwa beliau sudah terlanjur ditunggu oleh istrinya yang lain. ” (TOP hlm:129)
lingkungan keluarga yang sangat berbeda dengan pandangan Nenek. Pandangan Ibu terlalu
berlebihan sehingga terkesan melupakan kodratnya sebagai seorang perempuan yang sudah
bersuami. Emansipasi yang Ibu lakukan itu justru memberi gambaran bahwa beliau ingin
Gading adalah seorang gadis yang terlahir di era globalisasi dan di lingkungan
keluarga yang demokratis. Meskipun kedua orang tuanya masih menanamkan nilai-nilai
budaya Jawa, namun tidak menutup kebebasan anak-anaknya untuk maju. Selain itu
mereka dididik untuk berpikiran modern dan berwawasan luas. Kebebasan berbicara yang
diajarkan oleh orang tuanya memberikan pengetahuan bahwa manusia bebas untuk
Oleh karena itu dia sangat setuju dengan perjuangan wanita untuk menuntut
haknya di bidang politik, hukum dimana perempuan bebas untuk memilih, menimbang dan
memutuskan suatu hal. Pandangan dia tentang hal ini, bahwa perempuan adalah manusia
yang memiliki hak yang sama seperti halnya dengan laki-laki. Kebebasan untuk memilih,
menimbang dan memutuskan tersebut tidak hanya dimiliki oleh kaum laki-laki saja tapi
81
juga dimiliki oleh perempuan. Pandangan yang dimiliki oleh Gading ini senada dengan
pandangan yang dimiliki oleh Ibu, namun bertolak belakang dengan pandangan yang
dimiliki oleh Nenek. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.
“ Celakanya, apa yang dikatakan oleh nenekku itu sangat bertentangan dengan
apa yang ada di dalam batinku. Bagiku bicara soal hak untuk memilih, itu adalah
milik setiap orang, entah dia laki-laki entah pula dia itu seorang perempuan.
Bukan hany milik laki-laki saja. Terlebih jika itu menyangkut martabat manusia
dan nilai-nilai kemanusiaan lainnya sebagai hak dasar atau hak asasi manusia. ”
(TOP hlm:9)
politik/hokum saja, tetapi juga di bidang pendidikan. Gading sangat bersyukur dia
Pendidikan adalah modal penting yang harus dimiliki manusia agar kelak dia bisa menjadi
orang yang sukses. Dengan pendidikan yang didapat oleh Gading menjadikannya sebagai
gadis yang kritis dengan keadaan sekitar, dan mengajarkannya menjadi perempuan yang
bijak yang mampu memilih dan memilah hal mana yang dianggap benar dan mana yang
salah. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.
“ Aku adalah seorang perempuan yang cukup kritis, sehingga tidak menelan
mentah-mentah begitu saja apa pun yang kupelajari. Dan meskipun aku tumbuh
dewasa diantara dua pola pikir yang berasal dari dua generasi yang berbeda, aku
selalu belajar mengolah segala sesuatunya agar pas dengan hati nuraniku yang
paling dalam, untuk kemudian menjadi nilai-nilaiku sendiri. ” (TOP hlm:222)
Gading mendapat pendidikan yang tinggi, oleh karena itu dia memilih profesi
menjadi seorang wartawan. Sebuah cita-cita yang lama dia impikan untuk diwujudkan.
Menurutnya, profesi sebagai wartawan adalah profesi yang paling tepat untuknya saat ini.
82
Karena dia memiliki rasa ingin tahu yang begitu besar tentang suatu hal. Gading juga dapat
memanfaatkan ilmu yang telah didapatnya. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam
“ Kau kan tahu, sebagai wartawan pada prinsipnya kami bekerja dua puluh empat
jam sehari. Kalau tidak begitu, kami bisa kehilangan berita besar karena keduluan
orang. ” (TOP hlm:234)
“ Ya, di tempat itu ilmu yang kupalajari terpakai. Suasananya juga enak dan aku
bisa mengembangkan diri karena kesempatan untuk itu terbuka lebar bagi kami.
Para atasan berpikir bahwa perusahaan akan berkembang maju kalau semua orang
ikut berpartisipasi dan mendapat kesempatan untuk berkembang pula. ” (TOP
hlm:261)
berkecukupan. Bahkan berbagai fasilitas yang sebelumnya tidak dia miliki seperti mobil
dan sebagainya. Pernyataan tersebut seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini.
“ Tak kuceritakan bahwa bulan depan aku sudah menempati posisi yang lebih
tinggi, menggantikan atasanku yang mendapat tugas baru. Dan juga tak
kuceritakan bahwa posisi baruku yang lebih menuntut tanggung jawabku
nantinya, aku akan mendapat beberapa fasilitas yang sekarang tidak kumiliki,
yaitu ruang sendiri, mobil dinas, dan tentu saja kenaikan gaji. ”
Selain itu emansipasi yang dilakukan oleh Gading juga di lingkungan keluarga.
Dalam sebuah perkawinan, dia berpandangan bahwa jodoh yang nantinya menjadi
suaminya adalah orang yang telah dia pilih sendiri, bukan pilihan orang lain. Sebuah
perkawinan tidak bisa dilakukan sembarangan. Menurutnya perkawinan itu sakral, dan
sebisanya dilakukan sekali seumur hidup. Oleh karena itu perkawinan harus dipersiapkan
benar-benar, sehingga kita tidak menyesal di kemudian hari. Pernyataan tersebut seperti
“ Tetapi kau harus tahu Mas, bagiku hubungan seorang laki-laki dan seorang
perempuan, apalagi kalau sudah menyangkut pada rencana perkawinan, itu perlu
perencanaan dan pemikiran yang mendalam. Perkawinan adalah satu wadah yang
83
Pandangan ketiga tokoh utama wanita dalam novel ini memiliki persamaan dan
perbedaan. Persamaan pandangan tersebut didasarkan atas kesamaan visi dan misi yang
ingin dicapai oleh tokoh-tokoh tersebut. Persamaan pandangan tokoh utama wanita dalam
keluarga.
pandangan yaitu bahwa seorang wanita memiliki hak untuk memilih, menimbang, dan
memutuskan sama halnya dengan hak yang dimiliki oleh kaum laki-laki. Hak tersebut
merupakan hak individu yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia baik laki-laki maupun
diperjuangkan oleh kaum perempuan agar mereka mendapat perlakuan yang sama dengan
laki-laki sehingga tidak terjadi ketidakadilan gender yang merugikan kaum perempuan.
Bidang lain yang memiliki persamaan pandangan yaitu bidang ekonomi. Tokoh
Nenek, Ibu, dan Gading memiliki persamaan pandangan yaitu bahwa seorang wanita
memiliki hak untuk mendapatkan penghidupan yang layak. Dengan bekerjalah mereka
memiliki kesempatan yang sama dengan kaum laki-laki untuk mendapatkan penghidupan
84
yang layak. Kaum wanita yang bekerja memiliki kesempatan untuk mengembangkan
potensi dan bakat yang dimilikinya sehingga menjadikannya sebagai wanita yang maju.
Namun tokoh Nenek berpandangan seperti tersebut di atas lebih cenderung karena keadaan
yang memaksa beliau untuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya. Suaminya yang beristeri
banyak tidak cukup menanggung biaya hidup Nenek dan anak-anaknya. Oleh karena itu
Dalam bidang pendidikan tokoh Nenek, Ibu, dan Gading memiliki persamaan
pandangan yaitu bahwa pendidikan adalah kunci yang harus dimiliki manusia agar maju
dan memiliki kehidupan yang lebih baik. Pendidikan adalah hak yang dimiliki oleh semua
manusia baik laki-laki maupun perempuan. Persamaan pandangan tersebut dibuktikan oleh
tokoh Nenek dengan memberikan pendidikan yang setinggi mungkin kepada anak-
anaknya. Tokoh Ibu adalah bukti konkret dari cita-cita Nenek. Ibu berhasil menjadi seorang
dosen di sebuah perguruan tinggi favorit. Sedangkan tokoh Ibu mampu menyekolahkan
wartawan sesuai dengan ilmu yang telah diperolehnya di bangku kuliah. Profesi tersebut
juga menyalurkan bakat dan talenta yang dimiliki oleh Gading. Intinya dengan pendidikan
membuka jalan kita untuk menjadi maju dan mendapatkan penghidupan yang layak.
pandangan yaitu bahwa kaum perempuan sebagai seorang isteri adalah manusia biasa yang
berhak mendapatkan perlakuan yang adil dari suaminya. Perjodohan dan perkawinan
poligami adalah salah satu contoh ketidakadilan gender dalam lingkungan keluarga. Kedua
hal tersebut sangat bertentangan dengan apa yang ingin diperjuangkan wanita melalui
gerakan emansipasi wanita. Tokoh Ibu dan Gading juga sangat tidak menyetujui
85
perjodohan dan perkawinan poligami. Kebebasan kaum perempuan untuk memilih calon
pendamping hidupnya adalah hak yang mendasar yang dimiliki oleh kaum perempuan.
Perkawinan poligami cenderung membuat kaum wanita sebagai korban yang dirugikan
oleh kaum laki-laki. Terkadang isteri yang satu tidak mendapat nafkah lahir batin yang
Selain persamaan pandangan tentang emansipasi, ketiga tokoh ini juga memiliki
perbedaab pandangan dengan tokoh Ibu dan Gading. Nenek sangat menentang kebebasan
wanita untuk memilih, menimbang, dan memutuskan. Karena menurutnya hak itu hanya
dimiliki oleh kaum laki-laki saja. Kita sebagai kaum perempuan tempatnya adalah untuk
dipilih. Unsur tradisional cenderung lebih dominan untuk dipertahankan oleh tokoh Nenek.
Sedangkan tokoh Ibu dan Gading sangat setuju dengan gerakan emansipasi yang
Sebagai kaum yang feminis, kedua tokoh tersebut kurang mempertahankan unsure
Perbedaan pandangan juga terjadi dalam lingkungan keluarga. Tokoh Nenek yang
perjodohan kita dapat memperoleh calon menantu yang bibit, bebet, dan bobotnya jelas dan
sudah pasti dari keluarga ningrat. Tokoh Nenek memliki pandangan bahwa seorang wanita
sebagai isteri harus berani memiliki sikap “nrimo ing pandum”, pasrah, berbakti kepada
suami, dan melayani suami. Tokoh nenek meskipun tidak membenarkan perkawinan
poligami yang dijalaninya bersama kakek, tidak mampu untuk menentang keinginan kakek
86
untuk beristeri banyak. Beliau lebih memilih diam tanpa protes sedikit pun kepada kakek
dan menjalani kehidupan perkawinan dengan hati pasrah. Sedangkan tokoh Ibu dan Gading
sangat tidak setuju dengan pandangan Nenek tersebut. Sebagai seorang isteri hendaknya
diberi kebebasan juga untuk mensejajarkan diri dengan suaminya. Sehingga mereka tidak
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Pertama, pembahasan mengenai watak tiga tokoh utama wanita. Tokoh pertama,
Nenek, adalah sosok wanita Jawa berumur lebih dari delapan puluh empat tahun. Beliau
masih memegang teguh adat Jawa. Nilai-nilai atau norma-norma Jawa yang dianut
mempengaruhi pandangannya tentang emansipasi. Tokoh kedua, Ibu, adalah sosok wanita
Jawa berumur lebih dari lima puluh tahun. Berwawasan modern, dan tidak lagi memegang
teguh adat Jawa sebagai pedoman hidupnya. Tokoh ini berpandangan bahwa emansipasi
wanita adalah penting untuk diperjuangkan. Tokoh ketiga, Gading, adalah sosok wanita
modern yang hidup di masa sekarang. Dia sangat mendukung emansipasi wanita namun
tidak meninggalkan nilai-nilai atau norma-norma sosial yang ada di masyarakat Jawa.
Kedua, analisis watak tiga tokoh utama wanita di atas selanjutnya digunakan
untuk mendeskripsikan emansipasi yang ada di dalam novel Tiga Orang Perempuan.Hasil
dari pembahasan tersebut adalah bahwa emansipasi wanita dalam novel ini terjadi dibidang
emansipasi wanita menuntut adanya hak yang sama untuk memilih, menimbang, dan
memutuskan. Tokoh Ibu dan Gadinglah yang memperjuangkannya. Hal tersebut dibuktikan
dengan menolak keinginan Nenek untuk menjodohkan Gading dengan laki-laki pilihan
Nenek. Seorang wanita berhak untuk memilih siapa calon suaminya kelak,
kemudian memutuskan apakah laki-laki itu menjadi suaminya atau tidak. Di bidang hukum,
emansipasi wanita memperjuangkan hak wanita agar mendapatkan keadilan. Tokoh Ibu dan
Gading adalah sosok wanita yang memperjuangkan haknya tersebut. Menurut kedua tokoh
tersebut, kaum wanita berhak mendapatkan keadilan dan perlindungan hukum yang
menyangkut masalah perkawinan, hak waris dan sebagainya. Di bidang ekonomi, tokoh Ibu
memperjuangkan haknya untuk mendapatkan kehidupan yang layak yaitu dengan bekerja
menjadi seorang dosen. Tokoh Gading dengan profesinya sebagai seorang wartawan
ekonomi. Di bidang pendidikan, tokoh Ibu dan Gading menggambarkan adanya perjuangan
suami.
Ketiga, pembahasan mengenai tiga tokoh utama wanita dalam novel Tiga Orang
emansipasi. Ada yang mendukung ada pula yang kurang mendukung. Tokoh Nenek kurang
mendukung karena latar belakang budaya/adat. Tokoh Ibu mendukung emansipasi karena
latar belakang pangalaman masa lalu semasa beliau masih kecil.Tokoh Gading mendukung
emansipasi wanita karena latar belakang lingkungan keluarganya yang demokratis dan
berwawasan modern. Kedua tokoh, Ibu dan Gading, sama-sama mendukung emansipasi
wanita karena alasan bahwa wanita berhak untuk maju dan memperoleh hak yang sama
5.2 Saran
Penulis menyarankan agar hasil analisis skripsi yang berjudul Pandangan Tiga
Tokoh Wanita Tentang Emansipasi Dalam Novel Tiga Orang Perempuan Karya Maria A.
Sardjono ini dapat bermanfaat memberikan pengetahuan dan pemahaman yang benar
mengenai emansipasi wanita kepada para pembaca sastra. Manfaat lain bagi peneliti sastra,
penelitian ini dapat digunakan untuk menganalisis novel ini dari segi sosiologi sastra atau
segi ilmu sastra yang lain untuk mendapatkan penelitian yang baru bagi dunia sastra.
90
DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin. 1990. Sekitar Masalah Sastra. Malang: Yayasan Asih Asah Asuh.
_________. 2002. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Anshori. 1997. Feminisme Refleksi Muslimah Asas Peran Sosial Kaum Wanita. Bandung:
Pustaka Hidayah.
Badudu, J.S Zain, Muhammad. 1996. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan.
Baribin, Raminah. 1987. Kritik dan Penilaian Sastra. Semarang: IKIP Press.
Chudori, Leila S. 1991. Potret Perempuan dalam Novel Indonesia Tempo. No 10 Tahun
Dewi Mahanani, Suprapti. 2003. Feminisme dalam Novel Tumini (Perawan Onderneming)
Karya Karmaputra. Semarang: Unnes.
Fakih, Mansour. 1996. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Jakarta: Pustaka Pelajar.
Mido, Frans. 1994. Cerita Rekaan dan Seluk Beluknya. Jakarta: Ikrar Mandiri Abadi.
Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press
Nur Rahayu, Fitriani. 2003. Perspektif Feminisme Tokoh Utama Wanita dalam Novel
Canting Karya Arswendo Atmowiloto. Semarang: Unnes.
Rahmawati, Tri. 2001. Peran dan Emansipasi Tokoh Utama Wanita dalam Novel Jalan
Bandungan Karya NH Dini. Semarang: Unnes.
Sudjiman, Panuti. 1986. Kamus Istilah Sastra. Cetakan II. Jakarta: Gramedia.
Sugihastuti. 2002. “Kritik Sastra Feminis” Teori dan Aplikasinya. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Sukada, Made. 1987. Pembinaan Sistematika Analisis Struktur Fiksi. Bandung: Angkasa.
Teguh. 1995. Gender dan Transformasi Sosial. Makalah disampaikan dalam seminar
Bedah Buku Gender dan Transformasi Sosial Karya Mansour Fakih. ISI
Yogyakarta: Yogyakarta.
92
LAMPIRAN
SINOPSIS
Kota Solo identik dengan budaya dan adat Jawa yang sangat kental. Masyarakatnya
masih memegang teguh nilai-nilai dan norma-norma sosial yang masih dipengaruhi oleh
budaya patriarkat. Salah seorang di antaranya adalah Nenek. Sosok wanita Jawa yang
berumur kurang lebih delapan puluh empat tahun, namun masih menampakkan
kekuatannya di masa muda. Beliau hidup bahagia dengan keluarganya yaitu Ibu dan
Gading. Ibu adalah anak terakhir Nenek. Dia adalah sosok wanita modern berumur kurang
lebih lima puluh tahun. Tokoh Gading adalah generasi ketiga, seorang gadis dengan
Ketiga tokoh tersebut terlibat suatu masalah yang rumit. Masalah itu menyangkut
kehidupan pribadi Gading yang akan dijodohkan Nenek dengan laki-laki pilihannya.
Namun keinginan Nenek tersebut tidak disetujui oleh Ibu. Menurutnya, Gading berhak
menentukan jalan hidupnya sendiri tanpa ada campur tangan dari orang lain. Apalagi di
masa sekarang wanita harus mampu untuk hidup mandiri, maju, dan bisa mengembangkan
93
potensi dan bakat yang dimilikinya. Emansipasi adalah jalan yang harus ditempuh oleh
seorang wanita agar bisa disejajrkan dengan kaum laki-laki. Pendapat ini dibantah Nenek.
Beliau cenderung menentang karena latar belakang keluarganya yang berasal dari keluarga
ningrat. Semenjak kecil dia dipingit oleh keluarganya sampai beranjak remaja dan dilamar
oleh laki-laki pilihan keluarganya. Berbeda dengan Gading yang sangat mendukung
emansipasi seperti Ibunya, namun masih memegang nilai-nilai sosial yang ada di
selingkuh dengan wanita lain yang lebih muda usianya. Suaminya melakukan itu dengan
alasan Ibu terlalu otoriter dan menganggap rendah suaminya hanya karena ingin
menunjukkan dominasi Ibu di mata suaminya dan semua laki-laki di mana pun baik di
Permasalahan itu berakhir setelah adanya campur tangan Gading yang tidak ingin
melihat keluarganya hancur. Seiring dengan berjalannya waktu, Nenek pun menyadari
bahwa apa yang selama ini diperjuangkan oleh Ibu dan Gading adalah semata-mata untuk
membuka hati kaum laki-laki agar tidak memperlakukan kaum perempuan dengan
seenaknya. Bukan untuk memberontak dan melanggar nilai-nilai yang sudah diyakini