Professional Documents
Culture Documents
Disusun oleh :
1. Rival Afrizal
2. Gito Romi
Dosen pembimbing :
Rasyidin Imran
Dengan mengucapkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala
limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada tim penulis sehingga dapat
menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa didalam pembuatan makalah ini berkat bantuan dan
tuntunan Tuhan Yang Maha Esa dan tidak lepas dari bantuan berbagai pihak
untuk itu dalam kesempatan ini penulis menghaturkan rasa hormat dan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang membantu terutama
kepada Ibuk pembimbing dalam pembuatan makalah ini.
Tim penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini masih dari
jauh dari kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. Namun demikian,
tim penulis telah berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang
dimiliki sehingga dapat selesai dengan baik dan oleh karenanya, tim penulis
dengan rendah hati dan dengan tangan terbuka menerima masukan,saran dan usul
guna penyempurnaan makalah ini.
Akhirnya tim penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh
pembaca.
DAFTAR ISI
.............................................................................................................................................i
.............................................................................................................................................ii
.............................................................................................................................................1
.............................................................................................................................................1
.............................................................................................................................................1
.............................................................................................................................................2
.............................................................................................................................................3
.............................................................................................................................................4
.............................................................................................................................................4
.............................................................................................................................................5
.............................................................................................................................................6
2.UU No. 14 / 2005 Guru dan Dosen Dokumen Transcrip .......................................
.............................................................................................................................................6
30
A. Pengertian ..............................................................................................................
.............................................................................................................................................
30
30
31
31
33
34
35
A. Kesimpulan
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam hukum Islam terdapat dua ketentuan hukum yaitu hukum yang disepakati
dan hukum yang tidak disepakati. Seperti yang kita ketahui bahwa hukum yang kita
sepakati tersebut yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Secara umum ada 7
hukum Islam yang tidak disepakati dan salah satu dia antaranya akan menjadi pokok
Dalam peristilaan ahli ushul,is tis hab berarti menetapkan hukum menurut
keadaan yang terjadi sebelumnya sampai ada dalil yang mengubahnya. Dalam ungkapan
lain, ia diartikan juga sebagai upaya menjadikan hukum peristiwa yang ada sejak semula
tetap berlaku hingga peristiwa berikutnya, kecuali ada dalil yang mengubah ketentuan
itu.1
B. Rumusan Masalah
Bertitik tolak pada uraian yang telah dikemukakan di atas, penulis dapat
menarik sebuah rumusan masalah sebagai berikut:
PEMBAHASAN
A. Definisi Istishab
Istishab menurut bahasa berarti ”mencari sesuatu yang ada hubungannya”. Menurut
istilah ulama fiqh, ialah tetap berpegang pada hukum yang telah ada dari suatu peristiwa
atau kejadian sampai ada dalil yang mengubah hukum tersebut. Atau dengan kata lain,
ialah menyatakan tetapnya hukum pada masa lalu, sampai ada dalil yang mengubah
ketetapan hukum tersebut.
Menurut Ibnu Qayyim, istishab ialah menyatakan tetap berlakunya hukum yang telah ada
dari suatu peristiwa, atau menyatakan belum adanya hukum suatu peristiwa yang belum
pernah ditetapkan hukumnya. Sedangkan menurut Asy Syatibi, istishab ialah segala
ketetapan yang telah ditetapkan pada masa lampau dinyatakan tetap berlaku hukumnya
pada masa sekarang.
Dari pengertian istishab di atas, dapat dipahami bahwa istishab itu ialah:
1. Segala hukum yang telah ditetapkan pada masa lalu, dinyatakan tetap berlaku
pada masa sekarang, kecuali kalau telah ada yang mengubahnya.
2. Segala hukum yang ada pada masa sekarang, tentu telah ditetapkan pada masa
yang lalu.
Contoh Istishab:
Telah terjadi perkawinan antara laki-laki A dan perempuan B, kemudian mereka berpisah
dan berada di tempat yang berjauhan selama 15 tahun. Karena telah lama berpisah itu
maka B ingin kawin dengan laki-laki C. Dalam hal ini B belum dapat kawin dengan C
karena ia telah terikat tali perkawinan dengan A dan belum ada perubahan hukum
perkawinan mereka walaupun mereka telah lama berpisah. Berpegang ada hukum yang
telah ditetapkan, yaitu tetap sahnya perkawinan antara A dan B, adalah hukum yang
ditetapkan dengan istishab.
Dari keterangan dan contoh diatas dapat diambil kesimpulan bahwa sebenarnya istishab
itu bukanlan cara menetapkan hukum (thuruqul istinbath), tetapi ia pada hakikatnya
adalah menguatkan atau menyatakan tetap berlaku suatu hukum yang pernah ditetapkan
karena tidak ada yang mengubah atau yang mengecualikan. Pernyataan ini sangat
diperlukan untuk menjaga jangan sampai terjadi penetapan hukum yang berlawanan
antara yang satu dengan yang lain, seperti dipahami dari contoh di atas. Seandainya si B
boleh kawin dengan si C, maka akan terjadi perselisihan antara si A dan C atau terjadi
suatu keadaan pengaburan batas antara yang sah dengan yang tidak sah dan antara yang
halal dengan yang haram.
Karena itulah ulama Hanafiyah menyatakan bahwa sebenarnya istishab itu tidak lain
hanyalah untuk mempertahankan hukum yang telah ada, bukan untuk menetapkan hukum
yang baru. Istishab bukanlah merupakan dasar atau dalil untuk menetapkan hukum yang
belum tetap, tetapi ia hanyalah menyatakan bahwa telah pernah ditetapkan suatu hukum
dan belum ada yang mengubahnya. Jika demikian halnya istishab dapat dijadikan dasar
hujjah.
C. Macam-Macam Istishab
Dari istishhab itu dibuat kaidah-kaidah fiqhiyah yang dapat dijadikan dasar untuk
mengisthimbathkan hukum. Ditinjau dari segi timbulnya kaidah-kaidah itu istishhab
dapat dibagi kepada:
Berdasarkan ayat 29 surat al-Baqarah di atas, maka dapat ditetapkan suatu ketentuan
umum bahwa semua yang diciptakan Allah SWT di bumi ini adalah untuk keperluan dan
kepentingan manusia yang dapat digunakan sebagai sarana dalam melaksanakan tugas
sebagai khalifah Allah di muka bumi. Jika demikian halnya maka segala sesuatu itu pada
asasnya mubah (boleh) digunakan, dimanfaatkan atau dikerja-kan oleh manusia. Hal ini
berarti bahwa hukum mubah itu tetap berlaku sampai ada dalil syara’ yang mengubah
atau mengecualikannya. Seperti sebelum turunnya ayat 90 surat al-Mâidah, kaum
muslimin dibolehkan meminum khamar setelah turun ayat tersebut diharamkan
meminum khamar. Dengan demikian ayat tersebut mengecuali-kan khamar dari benda-
benda lain yang dibolehkan meminumnya.
Sesuai dengan ketetapan syara’ bahwa apabila telah terjadi akad nikah yang dilakukan
oleh seorang laki-Iaki dengan seorang perempuan dan akad itu lengkap rukun-rukun dan
syarat-syaratnya, maka kedua suami isteri itu halal atau boleh (mubah) hukumnya
melakukan hubungan sebagai suami-isteri. Ketetapan mubah ini telah berlaku selama
mereka tidak pernah bercerai) walaupun mereka telah lama berpisah dan selama itu pula
si isteri dilarang kawin dengan laki-laki lain. Menyatakan bahwa hukum syara’ itu tetap
berlaku bagi kedua suami-isteri itu, pada hakikatnya mengokohkan hukum syara’ yang
pernah ditetapkan.
1. “(Hukum yang ditetapkan dengan) yakin itu tidak akan hilang (hapus) oleh (hukum
yang ditetapkan dengan) ragu-ragu.”
2. “(Menurut hukum) asal (nya) ketetapan hukum yang telah ada, berlaku, menurut
keadaan adanya, hingga ada ketetapan yang mengubahnya.”
3. “(Menurut hukum) asal (nya) ketetapan hukum yang telah ada berlaku menurut
keadaan adanya, hingga ada dalil yang mengubahnya.”
”pada asalnya segala sesuatu itu tetap (hukumnya) berdasarkan ketentuan yang telah ada
sehingga ada dalil yang merubahnya.”
“apa yang telah ditetapkan dengan yakin, maka ia tidak bisa gugur karena keragu-raguan.
Ia tidak bisa gugur kecuali dengan yakin juga.”
Maka orang yang yakin bahwa ia masih mempunyai wudhu’ dan ragu-ragu jika dirinya
telah batal, maka ia dihukum masih mempunyai wudhu’, dan shalatnya sah. Hal demikian
berbeda dengan pendapat ulama dari golongan Malikiyah yang berpedapat wajib
berwudhu’ lagi. Sebab, menurut mereka tanggung jawab (beban)nya adalah menjalankan
shalat dengan penuh keyakinan. Karena tanggung jawab tersebut tidak lepas kecuali
dengan mengerjakan shalat dengan benar dan penuh keyakinan. Dan hal itu harus
dilakukan dengan wudhu’ agar tidak diragukan kebatalannya.
DAFTAR PUSTAKA
Khalaf, Abdul Wahab. Ilmu ushul fiqh. Bandung: Gema Risalah Press. 1996.
Muchtar, Kemal dkk. Ushul fiqh jilid 1. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf. 1995.
Usman, Iskandar. Istihsan dan pembaharuan hukum islam. Jakarta: Raja Grafindo
Persada. 1994.