Professional Documents
Culture Documents
MAKALAH PRAKTIKUM
Disusun oleh :
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan yang Maha Kuasa atas kasih dan
anugerahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan percobaan dan penulisan makalah ini
yang dibuat untuk memenuhi salah satu prasyarat telah menempuh matakuliah Praktikum
Farmakognosi Fitokimia I di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Dengan segenap ketulusan hati, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada bapak Yohanes Dwiatmaka S.Si., M.Si. sebagai Dosen Pengampu
Praktikum Farmakognosi Fitokimia atas waktu dan bimbingan kepada penulis dengan penuh
kesabaran selama percobaan ini. Penulis tak lupa juga mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada :
Semoga makalah ini dapat menjadi sumbangan yang berarti bagi ilmu pengetahuan.
Akhir kata penulis memohon maaf atas segala keterbatasan dan kekurangan penulis dalam
penulisan makalah ini.
Penulis,
(Kelompok A-1)
ii
ABSTRAK
iii
DAFTAR ISI
JUDUL ...................................................................................................................... i
KATA PENGANTAR............................................................................................... ii
ABSTRAK ................................................................................................................ iii
DAFTAR ISI ............................................................................................................. iv
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang................................................................................... 1
1.2. Perumusan Masalah........................................................................... 1
1.3. Tujuan................................................................................................ 2
1.4. Manfaat.............................................................................................. 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 3
2.1. Uraian Tumbuhan .............................................................................. 3
2.1.1. Sinonim .................................................................................... 3
2.1.2. Nama Daerah ............................................................................ 3
2.1.3. Sistematika Tumbuhan ............................................................. 3
2.1.4. Kandungan................................................................................ 4
2.2. Metode Ekstraksi ............................................................................... 4
2.3. Skrining Fitokimia............................................................................. 6
2.4. Kromatografi ..................................................................................... 6
BAB III METODOLOGI PENELITIAN........................................................... 8
3.1. Alat-Alat yang Digunakan................................................................. 8
3.2. Bahan-Bahan yang Digunakan .......................................................... 8
3.3. Pengambilan Sampel dan Pengolahan Sampel.................................. 9
3.3.1. Pengambilan Sampel ................................................................ 9
3.3.2. Pengolahan Sampel .................................................................. 9
3.4. Skrining Fitokimia............................................................................. 9
3.4.1. Pengamatan Mikroskopis ......................................................... 9
iv
3.4.2. Secara Kimiawi ........................................................................ 10
3.4.3. Secara Kromatografi Lapis Tipis (KLT) .................................. 13
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN........................................................ 17
4.1. Hasil Pengamatan .............................................................................. 17
4.1.1. Pengamatan Mikroskopis ......................................................... 17
4.1.2. Uji Secara Kimiawi .................................................................. 18
4.1.3. Uji Kromatografi Lapis Tipis (KLT)........................................ 21
4.2. Pembahasan ....................................................................................... 25
4.2.1. Identifikasi Secara Mikroskopis ............................................... 25
4.2.2. Uji Kualitatif Secara Kimiawi .................................................. 26
4.2.3. Uji Kualitatif Secara KLT ........................................................ 34
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN.............................................................. 42
5.1. Kesimpulan........................................................................................ 42
5.2. Saran .................................................................................................. 42
DARTAR PUSTAKA ............................................................................................... 43
LAMPIRAN/ BLANKO ........................................................................................... 44
v
BAB I
PENDAHULUAN
Salah satu tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai obat oleh masyarakat Indonesia
adalah tumbuhan pule (Alstonia scholaris (L.) R. Br.). Kulit batang pule bermanfaat sebagai
obat demam, menguatkan lambung, memperlancar kencing, dan obat kencing manis (Sutomo
dan Putri, 2005).
1
b. Dari skrining fitokimia yang dilakukan, golongan senyawa kimia apa saja yang
terdapat dalam kulit batang pule ?
1.3. Tujuan
a. Dari pengamatan mikroskopis, dapat diketahui kebenaran dari simplisia yang diuji
(kulit batang pule).
b. Untuk mengetahui golongan senyawa kimia yang terdapat dalam kulit batang pule.
1.4. Manfaat
a. Sebagai bahan informasi tentang fragmen mikroskopis khas yang terdapat dalam
kulit batang pule.
b. Sebagai bahan informasi tentang golongan senyawa kimia yang terdapat dalam kulit
batang pule.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pohon pule (Alstonia scholaris (L.) R. Br.) merupakan pohon yang dapat
tumbuh hingga pada ketinggian 1000 m di atas permukaan laut dan dapat
mencapai tinggi 25 m. Daun berbentuk bulat telur, tipis dan licin. Bunga berupa
malai rata yang muncul pada ujung cabang atau ketiak daun. Buah pule panjang
20 cm dengan biji yang berjambul. Kulit batang pule bermanfaat sebagai obat
demam, menguatkan lambung, memperlancar kencing, dan obat kencing manis
(Sutomo dan Putri, 2005).
2.1.1. Sinonim
Alstonia scholaris (L.) R. Br. memiliki sinonim Echites scholaris L., Echites
pala Ham. Dan Tabernaemontana alternifolia Burm. (Sutomo dan Putri, 2005).
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Bangsa : Gentianales
Suku : Apocynaceae
Marga : Alstonia
Spesies : Alstonia scholaris (Anonim, 2010).
3
2.1.4. Kandungan
A. Cara Dingin
1. Maserasi
2. Perkolasi
4
B. Cara Panas
1. Refluks
2. Sokletasi
3. Digesti
4. Infus
Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air
(bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur
96-98oC) selama waktu tertentu (15-20 menit) (Anonim, 2000).
5. Dekok
Dekok adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur 90oC selama
30 menit (Anonim, 2000).
5
2.3. Skrining Fitokimia
2.4. Kromatografi
6
zat penyerap dan jenis pelarut. Perkiraan identifikasi diperoleh dengan
pengamatan 2 bercak dengan harga Rf dan ukuran yang lebih kurang sama.
Ukuran dan intensitas bercak dapat digunakan untuk memperkirakan kadar
(Anonim, 1995).
7
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Alat – alat yang digunakan dalam percobaan ini adalah tabung reaksi,
waterbath, pipet Pasteur, pipet tetes, corong, corong pisah, kertas saring, pipa
kapiler, gelas ukur, tabung reaksi.
Bahan – bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah serbuk simplisia
kulit pule (Alstonia scholaris (L.) R. Br.), aquadest, asam klorida 1%, pereaksi
Dragendorff, pereaksi Mayer, serbuk natrium karbonat, kloroform, asam cuka 5%,
larutan hidrogen peroksida, asam asetat glasial, toluena, kalium hidroksida 0,5 N,
pereaksi besi (III) klorida, larutan natrium klorida 2%, larutan gelatin 1%, asam
3,5-dinitro benzoat, kalium hidroksida 1 N dalam methanol, eter, petroleum eter,
methanol, silika gel GF 254, etanol 75%, larutan kloroform-asam asetat (99:1),
CHCl3-HAc, larutan methanol-kloroform-asam asetat (49,5:49,5:1), CHCl3-
MeOH-HAc, larutan methanol-air (1:1), NaHCO3 1M.
8
3.3. Pengambilan Sampel dan Pengolahan Sampel
Kulit batang pule yang telah dikumpulkan, kemudian dibersihkan dari bahan
pengotor asingnya. Selanjutnya dikeringkan dengan cara dimasukkan ke dalam
oven selama 3 hari. Kulit batang pule dianggap kering apabila sudah rapuh
(diremas menjadi hancur), kemudian simplisia kulit batang kering diserbuk
menggunakan blender, serbuk simplisia disimpan dalam wadah plastik.
9
3.4.2. Secara Kimiawi
a. Uji Pendahuluan
Serbuk tumbuhan (berupa kulit batang pule) sebanyak 2 gram ditambah air
sebanyak 10 ml dan dipanaskan selama 30 menit di atas air mendidih. Larutan
kemudian disaring melalui kapas. Suatu larutan yang berwarna kuning sampai
merah menunjukkan adanya senyawa yang mengandung kromofor
(flavonoida, antrakinon, dsb), dengan gugus hidrofilik (gula, asam, fenolat,
dsb). Pada penambahan larutan kalium hidroksida (beberapa tetes), warna
larutan menjadi lebih sensitif.
b. Uji Alkaloida
10
c. Uji Antrakinon
d. Uji Polifenol
e. Uji Tanin
f. Uji Kardenolida
11
asam 3,5-dinitro benzoate sebanyak 0,4 ml dan kalium hidroksida 1 N
sebanyak 0,6 ml dalam methanol. Terbentuknya warna biru-ungu
menunjukkan adanya kardenolida (glikosida jantung). Jika menginginkan
penegasan lebih lanjut, filtrat yang lain sebanyak 2 ml dicampur dengan
kloroform sebanyak 2 ml. Kemudian lapisan atas diambil dengan pipet dan
lapisan bawah ditambah asam 3,5-dinitro benzoat sebanyak 0,5 ml. Terjadinya
warna biru ungu menunjukkan adanya kardenolida.
g. Uji Saponin
12
3.4.3. Secara Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
13
2. Larutan II
Fase diam : a. Silika gel GF 254
b. Silika gel GF 254
c. Silika gel GF 254
Fase gerak : a. n butanon-asam asetat-air (5:1:4) v/v fase atas
b. etil asetat-asam formiat-asam asetat-air (100:11:11:27) v/v
c. etil asetat-metanol-air (100:13,5:10) v/v
Reaksi : a. besi (III) klorida, alumunium klorida
b. sitroborat
c. KOH etanolis
3. Larutan III
Fase diam : a. Silika gel GF 254
c. Silika gel GF 254
d. Selulosa
Fase gerak : a. butanon-asam asetat-air (5:1:4) v/v fase atas
b. etil asetat-asam formiat-asam asetat-air (100:11:11:27) v/v
c. etil asetat-metanol-air (100:13,5:10) v/v
Reaksi : a. besi (III) klorida, alumunium klorida
b. sitroborat
c. KOH etanolis
14
pada KLT. Rutae Herba berasal dari tanaman Ruta
graveolens.
e. Tanin : larutan asam tanat 0,05 % dalam etanol 70 % (10 (1)
f. Kardenolida: larutan digoksin lanatosida C 5 mg dalam 2 ml methanol
pada 60°C
g. Alkaloida : larutan alkaloida 1% dalam etanol. Ditotolkan 10 µL.
Alkaloida digunakan tergantung dari suku tumbuhan
tersebut.
15
UJI KUALITATIF ALKALOIDA SECARA KLT
Sisa
Fraksi asam klorida (dibuang)
16
BAB IV
17
4.1.2. Uji Reaksi Kimiawi
Uji Alkaloid
Terdapat endapan (+) : sampel
mengandung alkaloid basa
kuartener.
18
Bening (-) : sampel tidak
mengandung antrakinon.
Uji Antrakinon
Hasil (+) jika larutan berwarna
merah.
Larutan bening
Larutan merah-kecoklatan
19
Tinggi uji sama dengan tinggi
aquadest (-) : sampel tidak
Tinggi larutan uji sama mengandung saponin.
dengan tinggi aquadest. Hasil (+) jika tinggi cairan
setengah atau kurang dari
tinggi air suling
Dalam dietil eter : berbau
aromatik Bau aromatik (+) : sampel
Uji Minyak Atsiri Dalam etanol : berbau mengandung minyak atsiri.
aromatik
20
4.1.3. Uji Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Standar : Antrakinon
Fase diam : Silika gel GF 254
Fase Gerak : Etil asetat : toluena (9 : 1)
Deteksi : UV 254 nm ungu
: UV 365 nm atas orange, bawah ungu
Standar : Saponin
Fase diam : Silika gel GF 254
Fase Gerak : n-butanol : asam asetat : air (5:1:4)
Deteksi : UV 365 nm putih
21
Standar : Tanin
Fase diam : Silika gel GF 254
Fase Gerak : etil asetat : asam formiat : asam asetat : air (100 : 11: 11: 27)
Deteksi : UV 365 nm putih
Standar : Tanin
Fase diam : Silika gel GF 254
Fase Gerak : etil asetat : methanol : air (100 : 13,5 :10)
Deteksi : UV 254 nm ungu
22
Standar : Saponin
Fase diam : Silika gel GF 254
Fase Gerak : butanol : asam asetat : air (5 : 1: 4)
Deteksi : UV 254 nm putih
Standar : Saponin
Fase diam : Silika gel GF 254
Fase Gerak : kloroform : metanol : air (64 : 50: 10)
Deteksi : UV 365 nm ungu
23
Standar : Saponin
Fase diam : Selulosa
Fase Gerak : t-butanol : asam asetat : air ( 4: 1 : 5)
Deteksi : UV 254 nm putih
24
4.2. Pembahasan
Pada percobaan ini, juga dilakukan uji secara mikroskopik yang bertujuan
agar mahasiswa mampu mengidentifikasi simplisia Alstoniae Cortex, khususnya
yaitu menggunakan mikroskop (secara mikroskopik). Identifikasi awal yaitu
dapat dilakukan secara makroskopik dengan uji organoleptis meliputi warna, bau,
bentuk. Simplisia digunakan sudah dalam bentuk serbuk halus (dengan proses
penumbukan dan menggunakan blender), warna cokelat muda, dan tidak berbau.
Sebelum diserbukkan, bentuknya seperti potongan-potongan kayu yang mudah
dipatahkan, permukaannya kasar/ tidak rata, berwarna cokelat muda.
25
digunakan MMI Edisi V, pada bagian mikroskopis serbuk, tertera bahwa
Alstoniae Cortex memiliki warna kelabu kecoklatan. Fragmen pengenal adalah sel
batu tunggal dan berkelompok, jaringan gabus yang sebagian membatu, fragmen
gabus tampak tangensial, serabut, hablur kalsium oksalat, butir pati. Sehingga
dapat dikatakan bahwa hasil percobaan yang didapat sesuai dengan yang tertera
pada MMI. Tetapi, pada hasil yang didapat praktikan tidak selengkap yang ada
pada MMI karena praktikan kurang menguasai dalam penggunaan mikroskop dan
serbuk simplisia yang digunakan praktikan terlalu tebal sehingga sel-sel terlihat
menumpuk pada mikroskop.
Pada percobaan ini, dilakukan Uji kualitatif secara kimiawi yang bertujuan
untuk mengidentifikasi adanya kandungan metabolit sekunder bioaktif yaitu
flavonoida, antrakinon, saponin (steroid dan triterpenoid), alkaloida, serta
golongan fenolik dan polifenolik pada simplisia Alstonia Cortex berdasarkan
reaksi warna yang terjadi.
26
seperti pasir, tanah, dan serangga-serangga yang menempel. Apabila
secara teori, kulit pule dikeringkan di bawah cahaya matahari dengan
diberi tutup kain hitam, dengan tujuan agar sisa-sisa air yang terdapat
dalam simplisia menguap dan nantinya dapat digiling dengan baik dan
didapat serbuk yang kering. Setelah di keringkan di bawah sinar matahari
selama 1 minggu, dilakukan pengeringan di dalam oven selama 1 minggu
juga, dengan tujuan agar simplisia benar-benar kering, karena jika hanya
menggunakan sinar/cahaya matahari dianggap kurang begitu sempurna,
dan didukung dengan cuaca yang tidak memungkinkan untuk melakukan
pengeringan di bawah sinar matahari, karena akan dibutuhkan waktu yang
sangat lama. Tetapi, pengeringan yang dilakukan oleh praktikan hanya
dengan menggunakan oven saja karena keterbatasan waktu yang dimiliki
dan sedikitnya sinar matahari yang muncul. Setelah kering, serbuk
dipotong lebih kecil lagi sehingga mudah digiling. Setelah kecil, serbuk
digiling/ ditumbuk dengan menggunakan penumbuk yang terbuat dari
besi, sehingga lebih cepat dalam penghancuran. Setelah ditumbuk, maka
serbuk diblender dengan menggunakan blender, sehingga diperoleh serbuk
yang ukurannya kecil dan halus. Diperlukan serbuk yang ukurannya kecil
dan halus dikarenakan agar saat dilarutkan akan lebih mudah bercampur,
dan saat diekstrakan diperoleh ekstrak yang banyak.
2. Uji pendahuluan
27
untuk mempercepat reaksi. Setelah 30 menit, disaring menggunakan
kapas, karena hasil dari pemanasannya bentuknya adalah serbuk dan
aquadest menjadi seperti gumpalan yang tidak bisa disaring dengan
menggunakan kertas saring, karena kandungan airnya terlalu sedikit.
3. Uji alkaloida
28
pereaksi Dragendorff dan diperoleh warna orange tua dan ada endapan,
dan pada tabung A-2 ditambah dengan pereaksi Mayer dan diperoleh hasil
kuning keruh dan ada endapan. Berdasarkan hasil yang diperoleh didalam
percobaan dapat kita simpulkan bahwa ekstrak simplisia mengandung
alkaloida golongan III.
29
tertinggal zat-zat yang tidak diperlukan atau karena pencucian alat yang
kurang bersih.
Dari hasil yang didapat pada percobaan ini, sudah sesuai dengan
data yang ada pada MMI karena kulit pule memang mengandung alkaloid.
4. Uji antrakinon
5. Uji polifenol
30
memperoleh ekstrak yang maksimal. Hasil dari ekstraksi kemudian
disaring menggunakan kertas saring sehingga diperoleh ekstrak dari
serbuk simplisia. Kemudian ditunggu dingin dan baru ditambahkan
dengan besi (III) klorida. Penambahan besi (III) klorida dilakukan setelah
ekstrak dingin dikarenakan besi (III) klorida dapat teroksidasi dan menjadi
zat yang bersifat toksik. Dari hasil yang didapat bahwa cairan berwarna
hijau tua keruh. Sehingga dapat disimpulkan bahwa serbuk simplisia
mengandung senyawa polifenolat.
6. Uji tanin
31
endapan apabila bereaksi dengan zat yang terkandung di dalam simplisia.
Dari hasil percobaan, diperoleh hasil kuning teh dan ditemukan endapan,
kemudian endapan disaring, dan filtrat yang didapat ditambahkan dengan
larutan gelatin 1% untuk memperjelas endapan yang ada. Ternyata dari
hasil yang didapat, tidak menunjukan adanya endapan setelah ditambah
dengan larutan gelatin 1%, maka dapat disimpulkan bahwa simplisia yang
dimaksud tidak mengandung senyawa tanin. Hasil yang didapatkan oleh
praktikan sesuai dengan data pada MMI karena pada kenyataannya, kulit
pule memang tidak mengandung tanin.
7. Uji kardenolida
32
8. Uji saponin
33
percobaan dilakukan dengan cara mengocok 10 gram serbuk simplisia
dengan 20 mL eter dan kemudian disaring. Dari hasil pengujian, didapat
bau aromatik yang menunjukkan bahwa simplisia yang diuji mengandung
minyak atsiri.
34
sellulosa tidak akan berikatan dengan senyawa di dalam simplisia tersebut.. Fase
gerak merupakan fase yang digunakan untuk melarutkan zat uji. Fase bergerak
mengalir melalui fase diam dan membawa komponen-komponen yang terdapat
dalam campuran. Komponen-komponen yang berbeda bergerak pada laju yang
berbeda. Prinsip kerja KLT yaitu memisahkan sampel berdasarkan perbedaan
kepolaran antara sampel dengan pelarut yang digunakan. Fase gerak merupakan
pelarut atau campuran pelarut yang sesuai, disesuaikan dengan jenis sampel yang
ingin dipisahkan. Semakin dekat kepolaran antara sampel dengan eluen larutan/
campuran larutan, maka sampel akan semakin terbawa oleh fase gerak. Campuran
senyawa pada fase gerak harus memiliki perbandingan yang benar. Hal ini
bertujuan agar senyawa tidak terelusi naik terus ke atas bersama fase gerak tapi
dapat berhenti di tengah sehingga diperoleh nilai Rf antara 0,2-0,8. Jumlah fase
gerak yang digunakan sangat bergantung pada besarnya chamber/ wadah di mana
banyaknya fase gerak yang digunakan ± 20 mL.
35
cairan yang ditotolkan terlalu banyak dan menjadi melebar, akan mempersempit
ruang gerak senyawa untuk berelusi sehingga akan bertabrakan satu sama lain.
Alasan perlunya dilakukan identifikasi secara KLT karena pada proses KLT
ini, terjadi pemisahan dari ekstrak yang memiliki banyak kandungan yang
bermacam-macam dan kandungan ini dapat terpisah-pisah sehingga kita dapat
menggunakan kandungan tertentu yang kita inginkan. Proses pemisahan ini dapat
terjadi karena adanya perbedaan afinitas antara senyawa dengan fase gerak dan
fase diamnya.
Dalam percobaan dilakukan uji kualitatif secara KLT dan uji kualitatif
secara KLT untuk alkaloid. Pada uji kualitatif secara KLT dibuat tiga larutan
percobaan, sebagai berikut:
1. Larutan I
Larutan ini didapat dari serbuk kulit pule yang telah halus yang
disari dengan petroleum eter pada suhu 50ºC selama 5 menit. Kemudian,
menggunakan sisa serbuk tadi untuk disari kembali dengan kloroform-
asam asetat (99:1) pada suhu 50ºC selama 5 menit sehingga terbentuk sisa
dan fraksi CHCl3-HAc, di mana fraksi CHCl3-HAc diambil sebagai
Larutan 1. Proses penyarian berfungsi untuk memisahkan kandungan yang
akan kita identifikasi dari ekstrak di mana kandungan yang akan kita
identifikasi yaitu glikosida antrakinon dari kandungan lainnya di dalam
ekstrak. Di sini, digunakan standar berupa antrakinon, sebagai fase gerak
adalah etil asetat-toluena (9:1) dan fase diam yaitu silika gel GF 254.
Kejenuhan fase gerak dapat dijaga dengan menutup bejana dan cepat
memasukkan lempeng KLT sehingga kejenuhannya tetap. Penjenuhan ini
berfungsi untuk mempercepat dalam proses perambatan sehingga
perambatan dapat berjalan secara optimal. Kejenuhan fase gerak dapat
dilihat dari kertas saring yang telah basah dalam chamber dan proses
pembasahan itu akan mengalir ke atas secara otomatis. Larutan
36
pembanding antrakinon dibuat dari larutan Rhei Radix sebanyak 0,5 gram
dipanaskan dalam methanol 5 ml selama 5 menit, disaring dan filtratnya
diuapkan sampai volume 0,5 ml kemudian ditotolkan. Untuk deteksi
digunakan FeCl3. Sampel tidak menunjukkan warna bercak nyata secara
visual. Oleh karena itu, dilakukan pengamatan di bawah sinar UV 254 nm
yang menunjukkan warna ungu. Sedangkan pada UV 365 nm, pada
pengamatannya akan tampak warna oranye pada bercak bagian atas dan
ungu pada bagian bawah. Apabila sampel tidak berfluoresensi pada UV
(baik pada 254 nm dan 365 nm), maka dapat dilakukan penyemprotan
dengan pereaksi khusus untuk memperjelas bercak, misalnya dengan
pereaksi Dragendorff. Pada percobaan yang dilakukan, didapatkan nilai Rf
sampel replikasi 1 = 0,78; replikasi 2 = 0,82; replikasi 3 = 0,83, sehingga
diperoleh rata-rata Rf sampel sebesar 0,81. Sedangkan Rf standar
diperoleh = 0.82. Digunakan standar antrakinon sebagai pembanding
dengan Rf sampel, di mana Rf merupakan jarak yang ditempuh substansi/
pelarut yang digunakan. Selain itu dapat berarti juga faktor retensi suatu
komponen dalam fase diam. Semakin besar nilai Rf maka semakin besar
pula jarak bergeraknya senyawa pada plat KLT. Nilai Rf yang besar
menunjukkan senyawa kurang polar dan berinteraksi dengan bagian polar
dari plat. Apabila nilai Rf sama/ hampir mendekati standar, maka dapat
disimpulkan mengandung senyawa yang diidentifikasi. Rf didapat dengan
membagi jarak rambat sampel dengan jarak rambat fase gerak dari titik
penotolan awal. Dihitung juga hRf, yaitu mengalikan harga Rf dengan
100. Dari data percobaan dapat disimpulkan sampel mengandung glikosida
antrakinon. Hal tersebut tidak sesuai dengan data yang ada pada MMI
karena apabila sesuai dengan data MMI, kulit pule tidak mengandung
glikosida antrakinon.
2. Larutan II
Larutan ini dibentuk dari sisa yang didapat dari Larutan 1 yang
kemudian disari dengan metanol-kloroform-asam asetat (49,5:49,5:1) pada
37
suhu 50ºC selama 5 menit. Proses penyarian tersebut dipisahkan antara
sisa dan fraksi CHCl3-MeOH-HAc yang terbentuk dimana fraksi CHCl3-
MeOH-HAc digunakan sebagai Larutan 2 yang akan diidentifikasi apakah
terdapat kandungan tanin atau tidak. Larutan 2 ini dilakukan tiga kali
percobaan, yang pertama digunakan standar saponin dengan fase gerak n-
butanol-asam asetat-air (5:1:4) v/v dan fase diamnya silika gel GF 254.
Larutan standar saponin dibuat dengan larutan daging buah Sapindi rarak
2 gram direfluks dengan etanol 75% sebanyak 10 ml selama 10 menit.
Untuk deteksi digunakan FeCl3. Sampel dapat dilihat bercaknya dengan
UV 365 nm dan berfluoresensi putih. Standar menunjukkan nilai Rf = 0,7;
Rf sampel replikasi 1 = 0,53; replikasi 2 = 0,50 dan replikasi 3 = 0,51.
Harga Rf rata-rata sampel sebesar 0,51. Harga Rf sampel tidak mendekati
standar. Yang kedua digunakan standar saponin dengan fase gerak etil
asetat-asam formiat-asam asetat-air (100:11:11:27) dan fase diamnya silika
gel GF 254, dengan deteksi menggunakan sitroborat. Diperoleh data
percobaan Rf standar yaitu sebesar 0,86; Rf sampel replikasi 1 = 0,85,
replikasi 2 = 0,84 dan replikasi 3 = 0,82 sehingga didapat Rf rata-rata =
0,84. Dari percobaan, didapatkan nilai Rf sampel mendekati Rf standar,
sampel mengandung glikosida saponin. Pada percobaan I, didapatkan nilai
Rf sampel jauh dari standar mungkin dapat dikarenakan proses penyarian
dengan suhu yang tidak sesuai karena waterbath yang digunakan untuk
percobaan yang lain juga di mana antara percobaan satu dengan yang lain
suhu yang digunakan berbeda-beda sehingga proses penyarian tidak
berjalan sempurna dan pencucian alat yang kurang bersih sehingga masih
ada bekas-bekas kandungan lain yang menempel pada alat sehingga Rf
yang didapat jauh dari standar. Pada percobaan 2 dengan fase diam silika
gel GF 254 didapatkan nilai Rf yang cukup baik (mendekati standar yang
ada). Pada percobaan ke-3, digunakan standar tanin, fase geraknya etil
asetat-metanol-air (100:13,5:10) v/v dan fase diam silika gel GF 254.
Standar tanin dibuat dari larutan asam tanat 0,05% dalam etanol 70%.
Deteksi menggunakan KOH etanolis. Diperoleh Rf standar 0.80; Rf
38
sampel replikasi 1, 2 dan 3 = 0.80, sehingga didapat rata-rata Rf sampel =
0,80. Nilai Rf sampel yang sama dengan Rf standar, dapat disimpulkan
bahwa sampel mengandung tanin. Hal tersebut tidak sesuai dengan data
yang ada pada MMI karena apabila sesuai dengan data, kulit pule tidak
mengandung saponin maupun tanin.
3. Larutan III
Larutan ini diperoleh dari sisa pada Larutan 2 yang kemudian disari
dengan metanol-air (1:1) pada suhu 50ºC selama 5 menit sehingga
diperoleh sisa dan fraksi metanol-air di mana sisanya dibuang dan fraksi
metanol-air digunakan sebagai larutan 3. Pada larutan 3 ini, juga dilakukan
3 kali percobaan. Percobaan I dengan fase diam silika gel GF 254
menggunakan fase gerak butanol–asam asetat-air (5:1:4) v/v dan standar
saponin. Deteksi dengan pereaksi Liebermann-Burchard. Didapatkan harga
Rf standar = 0,78; Rf sampel replikasi 1 = 0,91, replikasi 2 = 0,88 dan
replikasi 3= 0,88. Rata-rata Rf sampel yaitu 0,89. Harga Rf kurang
mendekati standar. Percobaan II dengan fase diam yang sama, namun fase
geraknya diganti menjadi kloroform-metanol-air (64:50:10) v/v dengan
standar berupa saponin. Deteksi apabila bercak belum telalu terlihat
dengan vanillin asam sulfat dan dilihat di bawah UV 365 nm
berfluoresensi ungu. Sehingga didapatkan harga Rf standar = 0,76; Rf
sampel replikasi 1 = 0,67; replikasi 2 = 0,69; replikasi 3 = 0,67. Harga Rf
kurang mendekati standar. Pada percobaan III dengan fase diam selulosa,
fase gerak t-butanol-asam asetat-air (4:1:5) v/v dan standar saponin. Di
bawah UV 254 nm berfluoresensi putih, didapatkan nilai Rf standar 0,78;
Rf sampel replikasi 1 = 0,58; replikasi 2 = 0,57; replikasi 3 = 0,56,
sehingga didapat rata-rata Rf sampel sebesar 0,57. Pada percobaan I, II, III
ketiganya didapatkan nilai Rf sampel yang tidak mendekati standar. Hal
ini mungkin dikarenakan proses penyarian dengan suhu yang tidak sesuai
karena waterbath yang digunakan untuk percobaan yang lain juga di mana
antara percobaan satu dengan yang lain suhu yang digunakan berbeda-
39
beda sehingga proses penyarian tidak berjalan sempurna dan pencucian
alat yang kurang bersih sehingga masih ada bekas-bekas kandungan lain
yang menempel pada alat sehingga Rf yang didapat jauh dari standar.
Apabila dibandingkan dengan data pada MMI, hasil yang didapatkan
praktikan sama karena kulit pule memang tidak mengandung saponin dan
hal tersebut dapat dilihat dari perbedaan Rf larutan dengan Rf standar yang
jauh.
40
fase diam berupa silika gel GF 254, dan fase gerak berupa sikloheksana-
dietilamina (9:1) v/v. Untuk memperjelas bercak yang terbentuk,
dilakukan deteksi dengan menyemprotkan pereaksi Dragendorff KLT LP.
Bercak berfluoresensi ungu di bawah sinar UV 254 nm. Diperoleh harga
Rf standar pada larutan I = 0,13; sedangkan sampel replikasi 1 = 0,02 dan
replikasi 2 = 0,015. Pada larutan II diperoleh Rf standar = 0.11; sampel
replikasi I = 0,004 dan replikasi 2 = 0,005. Harga Rf yang didapatkan pada
percobaan jauh dari Rf standar mungkin dikarenakan proses penyarian
dengan suhu yang tidak sesuai karena waterbath yang digunakan untuk
percobaan yang lain juga di mana antara percobaan satu dengan yang lain
suhu yang digunakan berbeda-beda sehingga proses penyarian tidak
berjalan sempurna dan pencucian alat yang kurang bersih sehingga masih
ada bekas-bekas kandungan lain yang menempel pada alat sehingga Rf
yang didapat jauh dari standar. Atau karena proses pemisahan antara
lapisan atas dengan lapisan bawah kurang cermat sehingga pada masing-
masing lapisan yang diambil masih bercampur dengan lapisan lain (tidak
benar-benar murni lapisan atas saja atau lapisan bawah saja). Dari hasil
yang didapatkan praktikan, tidak didapatkan alkaloid sesuai yang
diinginkan (alkaloid tersier maupun alkaloid kuarterner) atau alkaloid yang
didapatkan tidak benar-benar murni alkaloid melainkan masih tercampur
dengan kandungan lainnya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa kulit pule
mengandung alkaloida dan ini sesuai dengan data pada MMI dan hasil
pada pengujian (pengujian sampel dengan reagen Dragendorff) yang
menyatakan bahwa kulit pule memang mengandung alkaloida.
Kelebihan metode KLT ini adalah relatif mudah dilakukan, murah, dan
spesifik untuk senyawa yang ingin dipisahkan. Kelemahannya yaitu pemilihan
fase diam yang harus sesuai dengan kepolaran fase gerak, dan juga jarak dan
warna yang sama antara satu dengan yang lain belum tentu mengandung senyawa
yang sama, serta waktu yang diperlukan cukup lama. Manfaat dari KLT adalah
dapat memisahkan senyawa yang diinginkan dari suatu campuran.
41
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
5.2. Saran
42
DAFTAR PUSTAKA
Harborne, J.B., 1987, Metode Fitokimia, 110, 234, 235, 237, 245, ITB Press,
Bandung
Robinson, T., 1995, Kandungan Organik Tumbuhan Tingkat Tinggi, 95-101, ITB,
Press, Bandung
Sutomo dan Putri, 2005, Alstonia scholaris (L.) R. Br. KOLEKSI KEBUN RAYA
“EKA KARYA” BALI, http://elib.pdii.lipi.go.id/katalog/index.php/search
katalog/byId/7090, diakses pada tanggal 9 Desember 2010
43