Professional Documents
Culture Documents
Pendahuluan
Clinical reasoning merupakan proses berpikir untuk memberi makna dari suatu temuan
klinik (Higgs J., Jones M.,1995; University of Washington, 2005). Setiap tindakan yang dilakukan
seorang dokter seperti menentukan diagnosis, pilihan terapi, atau membuat prognosis merupakan
hasil dari proses pemahaman terhadap fenomena masalah kesehatan. Dalam proses pemahaman
yang terjadi pada manusia, bagian vital yang diperlukan adalah cara berpikir logis dan berpikir
kritis (Jenicek M., 2006). Hal ini disebabkan banyaknya faktor yang harus menjadi pertimbangan
seorang dokter sebelum membuat suatu keputusan klinik.
Tulisan ini bertujuan memberikan pembahasan kritis tentang masalah clinical reasoning
dilihat dari konteks berpikir kritis dan cara reasoning yang umum dilakukan. Dengan adanya
pemahaman tentang pentingnya berpikir kritis pada clinical reasoning, dapat dijadikan landasan
pentingnya pengajaran dengan menekankan pencapaian berpikir kritis pada pendidikan kedokteran.
Format tulisan terdiri dari berpikir kritis, proses reasoning yang umum dan perbedaannya dengan
clinical reasoning, hubungan antara reasoning, clinical reasoning, dan berpikir kritis.
Proses berpikir untuk menilai informasi tersebut dilakukan secara sistematis dengan
menggunakan kriteria tersebut pada setiap bagian informasi seperti tujuannya, permasalahan atau
pokok persoalan yang ingin dicarikan jalan keluarnya, asumsi dan konsep yang digunakan, dasar-
dasar empiris, dampak atau akibat yang dapat ditimbulkan, alternatif lain yang dapat digunakan.
Keputusan atau kesimpulan yang dilakukan dengan berpikir kritis merupakan informasi terbaik
yang telah melalui pengkajian dari berbagai sumber informasi termasuk mengkaji kesimpulan yang
dihasilkan dengan memberikan bukti-bukti yang mendukung.
Berpikir kritis telah menjadi salah satu kompetensi dari tujuan pendidikan perguruan tinggi
di banyak negara. Pendidikan tinggi di Amerika menjadikan berpikir kritis sebagai salah satu
sasaran yang ingin dicapai dan dimuat dalam Goals 2000: Educate America Act of 1990. (Duldt-
Battey BW. , 1997; Phillips V., Bond C., 2004). Selama menempuh pendidikan, berpikir kritis dapat
membantu siswa dalam meningkatkan pemahaman materi yang dipelajari dengan mengevaluasi
secara kritis argumen pada buku teks, journal, teman diskusi, termasuk argumentasi dosen dalam
kuliah (Bassham G., et al., 2005). Jadi berpikir kritis dalam pendidikan tinggi merupakan
kompetensi yang akan dicapai serta alat yang diperlukan dalam mengkonstruksi pengetahuan.
Perbedaan proses clinical reasoning pada expert dan novice menunjukkan bahwa seorang
expert tidak menggunakan metode reasoning yang umum yaitu logika induktif-deduktif. Seorang
expert cenderung menggunakan jalan pintas (heuristic) sebagai srategi clinical reasoning seperti
pattern recognition atau gejala-tanda klinis yang patognomonis. Strategi tersebut beresiko terjadinya
bias kognitif, meskipun hasil diagnosis yang dilakukan expert menunjukkan keakuratan dan
kecepatan yang lebih baik dibandingkan novice. Hal ini membuktikan bahwa clinical reasoning
yang dilakukan oleh expert tidak tergantung pada proses reasoning yang dilakukan melainkan pada
pemahaman terhadap materi pengetahuan (content specificity) dan cara yang digunakan untuk
mengorganisasikan pengetahuan (Norman G., 2005).
• Fase pertama adalah akumulasi pengetahuan dasar tentang penyakit seperti patofisiologi dan
patogenesis.
• Fase kedua adalah proses penggabungan pengetahuan dasar dengan kasus nyata melalui
pengalaman menangani pasien yang disebut dengan illness script.
• Fase ketiga adalah proses menggunakan script yang sesuai untuk menangani kasus baru.
Pengetahuan dasar hanya digunakan ketika seorang dokter memerlukannya, misalnya ketika
menghadapi kasus yang sulit. Pengalaman klinik akan menambah script-script yang dapat
digunakan secara instan untuk menyelesaikan kasus yang sama.
Meskipun proses tersebut sesuai dengan kurikulum tradisional tetapi tidak adanya integrasi dari
ketiga fase tersebut menyebabkan seorang expert mengetahui basic science tetapi sulit untuk
menjelaskan mekanismenya. Hal ini dapat terjadi oleh karena pengetahuan dasar yang tidak
diintegrasikan dalam jangka waktu yang lama mengalami enkapsulasi (Schmidt H G, Boshuizen H.,
1993; Norman G., 2005).
Teori script menyatakan bahwa hipotesis yang dihasilkan pada proses clinical reasoning
merupakan proses aktivasi script, sedangkan testing hipotesis merupakan pemrosesan dari script.
Clinical reasoning merupakan proses untuk menemukan, menentukan, dan melihat kembali
kebenaran dari script yang sudah dimiliki. Proses tersebut merupakan gabungan antara metode
analitik-non analitik yang dapat menghasilkan diagnosis lebih baik dibandingkan dengan metode
analitik saja. (Schmidt H G, Boshuizen H., 1993; Eva K.W., 2004).
Kesimpulan
Clinical reasoning merupakan salah satu kompetensi utama pendidikan dokter. Selama
proses pendidikan, strategi hipothetico-deductif sudah lama digunakan agar mahasiswa mengetahui
alur berpikir dalam proses pengmbilan keputusan klinik. Pada praktek strategi tersebut jarang
dilakukan kecuali pada kasus-kasus sulit atau jarang ditemui. Penelitian tentang pentingnya
pemahaman materi pengetahuan dan cara pengorganisasian pengetahuan memerlukan kemampuan
berpikir kritis untuk mendapatkan informasi yang dapat digunakan sebagai landasan ketika
seseorang menjalani profesinya.
Proses akumulasi pengetahuan menjadi illness script seharusnya dilakukan sejak mahasiswa
mengkonstruksi pengetahuan kedokteran. Pendidikan kedokteran perlu menyadari bahwa
pemahaman pengetahuan yang sebatas menghapalkan fakta, memberikan ketrampilan memecahkan
masalah menggunakan sudut pandang yang terbatas sudah saatnya ditinjau ulang. Strategi
pengajaran seharusnya menggunakan metode yang memberi kesempatas siswa memahami secara
utuh tentang materi pengetahuan menggunakan pendekatan berpikir kritis.