You are on page 1of 4

 

TINGKAT KONFLIK SOSIAL Bagaimanapun juga


dalam kehidupan sosial di masyarakat konflik sosial akan selalu mewarnai. Konfli-konflik sosial
tersebut dapat berbentu berbagai jenis pada suatu wilayah tertentu. Untuk kelangsungan dan
kelancaran kegiatan usaha yang dilakukan oleh para pelaku usaha dan investor, maka mereka juga
harus melakukan antisipasi terhadap terjadinya konflik-konflik sosial masyarakat tersebut. Oleh
karena itu diperlukan suatu informasi tentang tingkat kejadian konflik sosial di masyarakat pada
wilayah tertentu yang digunakan sebagai tempat usaha atau investasi. Pada halaman ini para pelaku
usaha atau investor dapat memperoleh informasi tentang frekuensi terjadinya kejadian-kejadian
konflik sosial di Kabupaten Rembang yang dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam
melakukan kegiatan usaha atau investasi.

TENTARA MELERAI MASYARAKAT.


Konflik sudah berkepanjangan.

Seperti misalnya program rekonsiliasi. Program tersebut nyaris bukan muncul atas keinginan dari
para korban akan tetapi merupakan desakan dari lembaga dana dan negara pendonor kepada
lembaga kemanusiaan yang beroperasi di daerah tersebut. Padahal kondisi masyarakat pada saat
itu belum menginginkan adanya rekonsiliasi. Mereka masih berfikir untuk melakukan jeda
konflik sehingga bisa menciptakan situasi yang betul-betul dingin. Selain itu, kondisi masyarakat
pada saat itu juga masih merasa takut untuk saling bertemu untuk membicarakan rekonsiliasi
akibat tidak ada jaminan keamanan dari pihak kepolisian.

Namun demikian, akibat dari program-program semacam itu, muncul ketakutan di masyarakat
korban karena program-program tersebut selalu berakhir dengan teror ataupun ancaman bagi
keluarga mereka. Padahal selama ini, masyarakat melalui cara dan metodenya sendiri perlahan-
lahan sudah mencoba membangun kepercayaan diri mereka untuk bisa berdamai dengan pihak
tetangga. Sehingga tak ayal lagi, usaha-usaha masyarakat berantakan dan sia-sia. Dan yang
menyedihkan, muncul rasa pesimis dan apatis di masyarakat korban dengan upaya-upaya damai
baik yang itu datang dari kelompok-kelompok kecil di pengungsian maupun dari lembaga
kemanusian di Maluku dan Maluku Utara.

Salah satu contoh kasusnya adalah, program Baku Bae yang sedang dijalankan di Pulau Ambon.
Program yang menelan dana puluhan milyar rupiah tersebut awalnya merupakan program
desakan lembaga dana asal Amerika terhadap salah satu lembaga kemanusiaan di Ambon.
Akhirnya program tersebut hanya seperti program buang uang saja. Sebab pelaksanaan program
hanya seperti program rekreasi dan refreshing para pekerja kemanusiaan, intelektual kampus,
panglima perang, dan tokoh-tokoh politik masa lalu di pulau tersebut.

Dengan alasan ingin mencari tempat netral, program tersebut membawa sejumlah peserta ke luar
Pulau Ambon untuk mengikuti pertemuan-pertemuan upaya-upaya damai di pulau Bali dan kota-
kota di Jawa. Namun demikian program tersebut tak lebih dan tak kurang merupakan program-
program wisata dari para pesertanya ke luar daerah Maluku.

Di samping itu, program ini cukup memiliki sudut pandang yang agak unik, sebab program ini
lebih menempatkan masyarakat korban sebagai pihak yang lemah. Yakni dengan menempatkan
masyarakan korban sebagai pihak yang suka membunuh atau manusia barbar, sehingga tidak
perlu dilibatkan dalam program tersebut. Tak heran jika program ini lebih tertarik melibatkan
pihak yang selama ini merupakan pemicu kekerasan sebagai peserta dalam program tersebut.
Seperti panglima perang, pemimpin dari kelompok-kelompok preman, dan sejumlah orang yang
merupakan penyangga rezim Orde Baru.

Padahal, fakta di lapangan menyebutkan bahwa para tokoh inilah yang sesungguhnya selalu
membuat kekacauan di Maluku, yakni dengan cara menghalang-halangi insiatif damai dari
masyarakat korban melalui ancaman-ancaman dan teror pembunuhan terhadap siapa saja yang
ingin membuat perdamaian. Logikanya, mereka inilah yang harusnya justru ditangkap karena
melakukan penghasutan dan pembunuhan terhadap warga sipil. Bukan malah di tokohkan dan
dilibatkan dalam proses perdamaian di daerah Maluku.

Karena bagaimanapun juga sangat sulit dipercaya jika pihak yang selama ini begitu aktif
melakukan penghasutan, kemudian dapat menghentikan peristiwa kekerasan di Maluku bisa
diselesaikan jika mereka berdamai. Seolah-olah para pelaku ini sebagai pihak yang harus
didamaikan sehingga perlu dilibatkan dalam program baku bae ini. Padahal akibat pandangan
seperti ini justru mengecilkan peristiwa hilangnya ribuan nyawa warga sipil di Ambon dua tahun
belakangan ini. Sudah semestinya para penglima perang inilah yang bertanggungjawab terhadap
pembunuhan-pembunuhan tersebut. Bukan lagi menghindar dengan ikut terlibat dalam proses
rekonsiliasi.

Konsekuensi yang Diterima Masyarakat


Akibat tidak independennya lembaga-lembaga kemanusiaan ini dari para donatur menyebabkan
banyak program-program yang sedang berlangsung di masyarakat korban dihentikan secara
sepihak. Tanpa mau tahu apakah program tersebut masih dibutuhkan masyarakat atau tidak.
Alasannya macam-macam, seperti sudah tidak up to date, dananya sudah habis, atau karena
kondisi keamanan yang tidak menentu.

Contoh kasusnya adalah kasus penghentian sepihak bantuan pangan oleh beberapa lembaga
kemanusiaan pada saat kondisi keamanan di Maluku sedang bergejolak Juni 2000. Pada saat itu
ACF, MSF dan UNDP menghentikan bantuan pangan kepada pengungsi tanpa mau memikirkan
nasib pengungsi tersebut. Mereka menarik diri keluar dari Maluku karena tidak ada jaminan
keamanan bagi para pekerja mereka. Padahal, menurut salah seorang staf dari lembaga tersebut,
keluarnya mereka dari Pulau Ambon karena dana untuk bekerja di sana sudah habis, jauh
sebelum konflik di awal Juni 2000 terjadi. Pada saat itu mereka masih menunggu persetujuan
dari donatur untuk pencairan dana untuk tahap selanjutnya. Pada saat mereka kehabisan dana
tersebut, kebetulan konflik kembali pecah, akhirnya mereka menyetop seluruh pekerjaan mereka
dengan alasan tidak ada jaminan keamanan bagi para pekerja mereka. Dan benar beberapa hari
setelah konflik terjadi, mereka kembali beraktivitas dengan alasan sudah ada jaminan dari aparat
keamanan. Padahal, kembalinya mereka ke Pulau Ambon karena dana untuk tahap kedua telah
turun.

Agama tidak Ciptakan Konflik


GONANG SUSATYO, KONTRIBUTOR

(Istimewa)

INILAH.COM, Yogyakarta � Para pemimpin politik harus mempertimbangkan secara serius


peran agama dalam mengatasi konflik yang terjadi di Indonesia.

Pada dasarnya, konflik yang terjadi di antara masyarakat tidak dipicu oleh sentimen agama tapi
oleh persoalan ekonomi dan sosial. Namun, agama kerap dilibatkan dalam berbagai konflik.
Bahkan praktek pemanfaatan agama dalam ranah konflik sangat kental seperti terjadi Poso
maupun Ambon (Maluku).

"Karena itu, para pemimpin politik harus mempertimbangkan faktor agama. Mereka perlu
memahami bagaimana peran agama bagi kehidupan pemeluknya. Pasalnya, agama bisa
menjadi kekuatan untuk mewujudkan perdamaian dalam kehidupan umum," tegas Rektor
Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Profesor Dr HM Amin Abdullah,
pada seminar Revitalisasi Agama Untuk Resolusi Konflik di Indonesia yang digelar di Hotel
Saphir, Yogyakarta, Jumat (14/3).

Seminar dalam rangka mensyukuri kelahiran ke-25 Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga
ini hasil kerjasama dengan Pemerintah Daerah Provinsi Gorontalo, portal berita Inilah.com
dan harian Kompas.

Ditambahkan Amin, konflik yang terjadi sesungguhnya tidak selalu buruk karena bisa bermakna
positif. Menurutnya, wajar bila terjadi konflik di tengah masyarakat.

"Yang dikhawatirkan bila konflik yang terjadi diiringi kekerasan. Ini berarti konflik mengalami
antiklimaks," katanya lagi.

Karena itu, agama sangat berperan karena bisa memberi resolusi konflik. Selain itu, agama
juga menyumbang dalam pembangunan perdamaian (peace building).

Sementara itu, pengamat sosial Zuly Qodir tegaskan sesungguhnya konflik yang terjadi di
Indonesia tidak disebabkan oleh persoalan agama. Bahkan Zuly menilai sedikit sekali persoalan
agama (sensitivitas umat beragama) yang berbuntut pada konflik di masyarakat.

"Konflik justru lebih banyak disebabkan oleh persoalan sosial seperti perkelahian antarpreman,
perkelahian antaretnis sampai hal yang sangat remeh, perebutan pacar atau cemburu,"
jelasnya.

Ironisnya, Indonesia mendapat label sangat buruk terkait dengan konflik yang terjadi karena
menjadi 'juara dunia' dalam perusakan rumah ibadah. Eskalasi penghancuran rumah ibadah
terus menanjak dan mencapai puncaknya pada Orde Baru (Orba).

Padahal, di era sebelumnya minim terjadi perusakan. Bahkan di awal kemerdekaan (1945-
1954) tidak ada perusakan tempat ibadah. [R1]

You might also like