You are on page 1of 10

STRATEGI PEMBELAJARAN

PROBLEM BASED LEARNING

(PBL)

BY

DORCHE VIVIANTI (081 204 169)

ICP OF PHYSICS 2008

JURUSAN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2010
MATERI I
PROBLEM BASED LEARNING
A. Pengertian Program Based Learning

Model pengajaran berdasarkan masalah ini telah dikenal sejak zaman John Dewey.
Menurut Dewey (dalam Trianto, 2009:91) belajar berdasarkan masalah adalah interaksi
antara stimulus dan respon, merupakan hubungan antara dua arah belajar dan lingkungan.
Lingkungan memberikan masukan kepada siswa berupa bantuan dan masalah, sedangkan
sistem saraf otak berfungsi menafsirkan bantuan itu secara efektif sehingga masalah yang
dihadapi dapat diselidiki, dinilai, dianalisis, serta dicari pemecahannya dengan baik.

Pengajaran berdasarkan masalah merupakan pendekatan yang efektif untuk pengajaran


proses berfikir tingkat tinggi. Pembelajaran ini membantu siswa untuk memproses informasi
yang sudah jadi dalam benaknya dan menyusun pengetahuan mereka sendiri tentang dunia
sosial dan sekitarnya. Pembelajaran ini cocok untuk mengembangkan pengetahuan dasar
maupun kompleks.

Model pemblajaran berdasarkan masalah dilandasi teori konstruktivis. Pada model ini
pembelajaran dimulai dengan menyajikan masalah nyata yang penyelesaiannya membutuhkan
kerjasama antara siswa, guru memandu siswa menguraikan rencana pemecahan masalah
menjadi tahap-tahap kegiatan, guru memberi contoh mengenai penggunaan keterampilan dan
strategi yang dibutuhkan supaya tugas-tugas tersebut dapat diselessaikan. Guru
menciptakan suasana kelas yang fleksibel dan berorientasi pada upaya penyelidikan oleh
siswa.

B. Karakteristik Pembelajaran Berbasis Masalah


 Menurut Arends dalam Trianto, karakteristik pembelajaran berbasis masalah
adalah:

(1)   Pengajuan pertanyaan atau masalah. Pembelajaran berdasarkan masalah


mengorganisasikan pengajaran di sekitar pertanyaan dan masalah yang keduanya secara
sosial penting dan secara pribadi bermakna bagi siswa.

(2)   Berfokus pada keterkaitan antardisiplin. Masalah yang akan diselidiki telah dipilih
benar-benar nyata agar dalam pemecahannya siswa meninjau masalah itu dari banyak
mata pelajaran.

(3)   Penyelidikan autentik. Siswa dituntut untuk menganalisis dan mendefinisikan masalah,
mengembangkan hipotesis, membuat ramalan, mengumpulkan dan menganalisa informasi,
melakukan eksperimen (jika diperlukan), membuat inferensi, dan merumuskan
kesimpulan.

(4)   Menghasilkan produk dan memamerkannya. Produk itu dapat berupa laporan, model
fisik, video maupun program komputer.

(5)   Kolaborasi. Pembelajaran berdasarkan masalah dicirikan oleh siswa yang bekerjasama
satu dengan yang lainnya, secara berpasangan atau dalam kelompok kecil.

 Menurut Ibrahim (2002:3-5) dalam pembelajaran berbasis masalah terdapat lima


tahap utama, sebagai berikut:

1. Tahap II.Tingkah Laku Guru


Tahap1 Guru menjelaskan tujuan
Orientasi siswa kepada masalah pembelajaran, menjelaskan
logistik yang dibutuhkan,
memotivasi siswa terlibat
dalam pemecahan masalah
yang dipilihnya.
Tahap 2 Guru membantu siswa
Mengorganisasi siswa untuk belajar mendefinisikan dan
mengorganisasikan tugas
belajar yang berhubungan
dengan masalah tersebut.
Tahap 3 Guru mendorong siswa untuk
Membimbing penyelidikan individual ataupun mengumpulkan informasi yang
kelompok sesuai , melaksanakan
eksperimen untuk
mendapatkan penjelasan dan
pemecahan masalah.

Tahap 4 Guru membantu siswa dalam


Mengembangkan dan menyajikan hasil karya merencanakan dan
menyiapkan karya yang sesuai
seperti laporan, video, model
dan membantu mereka untuk
berbagi tugas dengan
temannya.
Tahap 5 Guru membantu siswa untuk
Menganalisa dan mengevaluasi proses pemecahan melakukan refleksi atau
masalah evaluasi terhadap
penyelidikan mereka dan
proses yang mereka gunakan.

 Menurut Agus dalam buku cooperative learning, strategi pembelajaran berbasis


masalah terdiri dari 5 fase atau langkah. Fase-fase dan perilaku tersebut
merupakan tindakan berpola. Pola ini diciptakan agar hasil pembelajaran dengan
pengembangan pembelajaran berbasis masalah dapat diwujudkan. Sintaks PBL adalah
sebagai berikut :

Fase-fase Perilaku pendidik


Fase 1 : memberikan orientasi tentang Pendidik menyampaikan tujuan
permasalahannya kepada peserta didik. pembelajaran, mendeskripsikan berbagai
kebutuhan logistik penting dan memotivasi
peserta didik untuk terlibat dalam kegiatan
mengatasi masalah.
Fase 2 : mengorganisasikan peserta didik Pendidik membantu peserta didik
untuk meneliti mendefinisikan dan mengoragnisasikan
tugas-tugas belajar terkait dengan
permasalahannya.
Fase 3 : membantu investigasi mandiri dan Pendidik mendorong peserta didik untuk
kelompok mendapatkan informasi yang tepat,
melaksanakan eksperimen, dan mencari
penjelasan dan solusi.
Fase 4 : mengembangkan dan Pendidik membantu peserta didik dalam
mempresentasikan artefak dan exhibit merencanakan dan menyiapkan artefak-
artefak yang tepat, seperti laporan,
rekaman video, dan model-model serta
membantu mereka untuk menyampaikannya
kepada orang lain.
Fase 5 : menganalisis dan mengevaluasi Pendidik membantu peserta didik
proses mengatasi masalah melakukan refleksi terhadap investigasinya
dan proses-proses yang mereka gunakan.
MATERI II
KELEBIHAN DAN KEKURANGAN PBL

A. Kelebihan dan Kekurangan Pembelajaran Berdasarkan Masalah

Kelebihan pembelajaran berdasarkan masalah sebagai suatu model pembelajaran adalah:

        Realistik dengan kehidupan siswa

        Konsep sesuai dengan kebutuhan siswa

        Memupuk sifat inquiry siswa

        Retensi konsep menjadi kuat

        Memupuk kemampuan problem solving

Selain itu, kekurangannya adalah:

 Persiapan pembelajaran (alat, problem, konsep) yang kompleks


 Sulitnya mencari problem yang relevan
 Sering terjadi miss-konsepsi
 Memerlukan waktu yang cukup panjang

B. Merancang Situasi Masalah

1) Orientasi siswa pada masalah


Siswa perlu memahami bahwa tujuan pembelaiaran berbasis masalah adalah tidak
untuk memperoleh informasi dalam jumlah besar, tetapi untuk melakukan penyelidikan
terhadap masalah-masalah penting untuk menjadi pebelajar yang mandiri. Cara yang baik
untuk menyajikan masalah dalam pembelajaran ini adalah
dengan menggunakan kejadian yang mencengangkan dan memberikan keinginan untuk
memecahkannya.

2) Mengorganisasikan siswa untuk belajar.


Pada model ini dibutuhkan pengembangan keterampilan kerjasama diantara siswa dan
saling membantu untuk menyelidiki masalah secara bersama. Berkenaan dengan hal itu siswa
memerlukan bantuan guru untuk merencanakan penyelidikan dengan tugas-tugas pelaporan.
Kelompok belajar kooperatif juga berlaku pada model pembelajaran ini.
3) Membantu penyelidikan mandiri dan kelompok.

a. Guru membantu siswa dalam pengumpulan informasi dari berbagai sumber, siswa
diberi pertanyaan yang membuat mereka memikirkan masalah dan jenis informasi
yang dibutuhkan untuk pemecahan masalah. Siswa diajarkan menjadi penyelidik aktif
dan dapat menggunakan metode yang sesuai untuk masalah yang dihadapi. Juga
diajarkan ketika penyelidikan yang benar.

b. Guru mendorong pertukaran ide secara bebas. Selama tahap penyelidikan guru
memberi bantuan yang dibutuhkan tanpa mengganggu siswa.

c. Puncak proyek-proyek pembelajaran berbasis masalah adalah penciptaan peragaan


seperti laporan, poster dan video tape.

4) Analisis dan Evaluasi Proses Pemecahan Masalah Tugas guru pada tahap ini adalah
membantu siswa menganalisis proses berfikir mereka sendiri dan keterampilan penyelidikan
yang mereka gunakan.
MATERI III
TUJUAN PBL

A. Tujuan Pembelajaran Berbasis Masalah

Dari beberapa karekteristik di atas pembelajaran berbasis masalah memiki


tujuan :

a.       membantu siswa mengembangkan keterampilan berfikir dan keterampilan


pemecahan masalah
b.      belajar peranan orang dewasa yang autentik
c.       menjadi pebelajar yang mandiri

B. Pendekatan Pembelajaran Berbasis Konteks (contextual teaching and


learning)

Definisi pembelajaran kontekstual secara umum masih belum disepakati oleh


para ahli, tetapi tentang dasar dan unsur-unsur kuncinya lebih banyak yang mereka
sepakati. Pembelajaran kontekstual sebagai terjemahan Contextual Teaching and
Learning (CTL) memiliki dua peranan dalam pendidikan yaitu sebagai filosofi
pendidikan dan sebagai rangkaian kesatuan dari strategi pendidikan. Sebagai
filosofi pendidikan, CTL mengasumsikan bahwa peranan pendidik adalah membantu
peserta didik menemukan makna dalam pendidikan dengan cara membuat hubungan
antara apa yang mereka peroleh di dunia nyata dengan yang mereka pelajari di
sekolah untuk kemudian menerapkan pengetahuan tersebut di dunia nyata. Dengan
demikian, inti pembelajaran kontekstual adalah melibatkan situasi dunia nyata
sebagai sumber maupun terapan materi pelajaran.

Pembelajaran kontekstual sebenarnya bukanlah ide baru. Pembelajaran tersebut


berakar dari filosofi yang dikembangkan oleh John Dewey yang mengemukakan
bahwa peserta didik akan belajar dengan baik, ketika apa yang dipelajarinya
dikaitkan dengan apa yang mereka ketahui dan ketika mereka secara aktif belajar
sendiri.

Dalam pembelajaran kontekstual, terdapat beberapa ciri, yaitu:


a.       Pembelajaran aktif: peserta didik diaktifkan untuk mengkontsruksi
pengetahuan dan memecahkan masalah.

b.      Multi konteks: pembelajaran dalam konteks yang ganda akan memberikan
peserta didik pengalaman yang dapat digunakan untuk mempelajari dan
mengidentifikasi ataupun memecahkan masalah dalam konteks yang baru (terjadi
transfer).

c.       Kerjasama dan diskursus: peserta didik belajar dari orang lain melalui
kerjasama, diskursus (penjelasan-penjelasan) kerja tim dan mandiri ( self
reflection).

d.      Berhubungan dengan dunia nyata: pembelajaran yang menghubungkan dengan


isu-isu kehidupan nyata melalui kegiatan pengalaman di luar kelas dan simulasi.

e.       Pengetahuan prasyarat: pengalaman awal peserta didik dan situasi


pengetahuan yang didapat mereka akan berarti atau bernilai dan nampak sebagai
dasar dalam pembelajaran.

f.       Pemecahan masalah: berpikir tingkat tinggi yang diperlukan dalam


memecahkan masalah nyata harus ditekankan pada kebermaknaan memorasi dan
pengulangan-pengulangan.

g.      Mengarahkan sendiri (self-direction): peserta didik ditantang dan


dimungkinkan untuk membuat pilihan-pilihan, mengembangkan alternatif-
laternatif, dan diarahkan sendiri. Dengan demikian mereka bertanggung jawab
sendiri dalam belajarnya (Aisyah, 2007).

Menerapkan CTL dalam suatu pembelajaran pada prisipnya sama saja dengan
menciptakan suatu pembelajaran yang menantang daya cipta siswa untuk menemukan
informasi baru dalam pembelajaran. Di dalam Depdiknas (2003) disebutkan bahwa
ada tujuh prinsip pembelajaran CTL, yaitu:

(1)   kontsruktivis (constructivism),

(2)   inkuiri (inquiry),

(3)   bertanya (questioning),

(4)   masyarakat belajar (learning community),


(5)   pemodelan (modeling),

(6)   refleksi (reflection) dan

(7)   penilaian yang sebenarnya (authentic assestment).

(1)    Kontsruktivisme (Constructivism)

Siswa membangun pemahaman oleh diri sendiri dari pengalaman-pengalaman baru


berdasarkan pengalaman awal. Pengalaman awal selalu merupakan dasar/tumpuan
yang digabung dengan pengalaman baru untuk mendapatkan pengalaman baru.
Pemahaman yang mendalam dikembangkan melalui pengalaman yang bermakna.

(2)    Penemuan (Inquiry)

Kegiatan pembelajaran dilakukan dengan induktif, diawali dengan pengamatan


dalam rangka memahami suatu konsep. Dalam praktik, pembelajaran melewati
siklus kegiatan mengamati, bertanya, menganalisis, dan merumuskan teori, baik
secara individual maupun secara bersama-sama dengan temannya. Penemuan juga
merupakan aktivitas untuk mengembangkan dan sekaligus menggunakan
keterampilan berpikir kritis siswa.

(3)    Bertanya (Questioning)

Pertanyaan merupakan komponen penting dalam pembelajaran kontekstual.


Pertanyaan merupakan alat pembelajaran bagi guru untuk mendorong,
membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa. Pertanyaan juga digunakan
oleh siswa selama melaksanakan kegiatan yang berbasis penemuan.

(4)    Masyarakat belajar (Learning Community)

Proses pembelajaran berlangsung dalam situasi sesama siswa saling berbicara


dan menyimak, berbagi pengalaman dengan orang lain. Bekerja sama dengan
orang lain untuk menciptakan pembelajaran siswa aktif lebih baik jika
dibandingkan dengan belajar sendiri yang mendidik siswa untuk menjadi individu
yang egoistis.

(5)    Pemodelan (Modeling)


Aktivitas guru di kelas memiliki efek model bagi siswa. Jika guru mengajar
dengan berbagai variasi metode dan teknik pembelajaran, secara tidak langsung
siswa pun akan meniru metode atau teknik yang dilakukan guru tersebut. Kondisi
semacam ini akan banyak memberika manfaat bagi guru untuk mengarahkan siswa
melakukan sesuatu yang diinginkannya melalui pendemonstrasian cara yang
diinginkan tersebut.

(6)    Refleksi (Reflection)

Salah satu pembeda pendekatan kontekstual dengan pendekatan tradisional


adalah cara-cara berpikir tentang sesuatu yang telah dipelajari oleh siswa.
Dalam proses berpikir itu, siswa dapat merevisi dan merespon kejadian,
aktivitas, dan pengalaman mereka.

(7)    Penilaian yang Sebenarnya (Authentic Assestment)

Penilaian autentik ini bersifat mengukur produk pembelajaran yang bervariasi,


yaitu pengetahuan dan keterampilan serta sikap siswa. Penilaian ini juga tidak
hanya melihat produk akhir, tetapi juga prosesnya. Instruksi dan pertanyaan-
pertanyaannya disusun yang kontekstual dan relevan.

You might also like