You are on page 1of 6

TUGAS MATA KULIAH POLITIK HUKUM

“Menggiring Pancasila Sebagai Ideologi Bangsa


Dalam Berpolitik”

OLEH :
HAQRAH DEWI SAFYTRA B
10/307227/PHK/06462

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS GADJAH MADA


KONSENTRASI STUDI HUKUM INTERNASIONAL
PROGRAM PASCASARJANA
2010
Menggiring Pancasila Sebagai Idelogi Bangsa
Dalam Berpolitik

Kalau seringkali dikatakan mengenai ideologi Pancasila, sebetulnya yang dimaksudkan


tidak lain adalah Pancasila sebagai dasar Negara, sebagaimana dikatakan Bung Hatta, “ideologi
Negara”., yaitu prinsip-prinsip atau asas membangun Negara. Jadi Pancasila bukanlah suatu
“doktrin” yang lengkap, yang begitu saja dapat dijabarkan dalam tindakan, tetapi suatu orientasi,
yang memberikan arah kemana bangsa dan negara harus dibangun atau suatu dasar rasional,
yang merupakan hasil konsensus mengenai asumsi-asumsi tentang Negara dan bangsa yang
akan dibangun.
Masing-masing sila memiliki pengejawantahan. Sila “Keruhanan Yang Maha Esa”
dirumuskan dalam konteks politik: membangun Negara dan bangsa Indonesia, maka merupakan
suatu prinsip politik, bukan suatu prinsip teologis. Implikasinya ialah bahwa Negara mengakui
dan melindungi kemajemukan agama di Indonesia; Negara tidak menilai “isi” dari suatu agama.
Penganut agama apapun wajib bersatu untuk membangun Negara dan bangsa. Hal ini sangat
jelas dari ajakan Soekarno dalam pidato “Lahirnya Pancasila” untuk bersama-sama membangun
Negara dan bangsa Indonesia.
Sila “Perikemanusiaan yang adil dan beradab” mengimplikasikan bahwa Negara
memperlakukan setiap warganegara atas dasar pengakuan martabat manusia dan nilai
kemanusiaan yang mengalir dari martabatnya itu. Jelaslah bahwa sila kedua ini menolak
kekerasan yang dilakukan terhadap warganegara baik oleh Negara, kelompok atau individu.
Kekerasan yang paling keji adalah kekerasan yang dilakukan terhadap inti martabat manusia
sendiri, yaitu kebebasannya.
Sila “Persatuan Indonesia” terkait dengan faham kebangsaan. Bangsa bukan sesuatu yang
diwariskan dari masa lalu, tetapi suatu “proyek dan tantangan bersama” bagi masa kini dan masa
depan. Oleh karena itu harus melibatkan semua dan tak seorangpun warga yang dieksklusifkan.
Prinsip demokrasi yang dirumuskan sebagai “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaran/perwakilan”, menunjuk kepada pembatasan kekuasaan
Negara dengan partisipasi rakyat dalam pengambilan keputusan. “Kita dapat berbicara mengenai
sistem demokratik, apabila unsur-unsur konstitusi, hukum dan sistem parelemen menerapkan tiga
prinsip: pembatasan kekuasaan Negara atas nama hak asasi, keterwakilan pelaku politik dan
kewarganegaraan.”
Sila “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” paling sedikit memuat unsur-unsur:
pemerataan, persamaan dan kebebasan untuk menentukan dirinya sendiri.

Pancasila sebagai dasar etika politik

Dengan dipilihnya Pancasila sebagai dasar hidup bernegara dan berbangsa atau sebagai
dasar hidup berpolitik, maka politik tidaklah netral, tetapi harus dilandasi nilai-nilai etis. Itulah
salah satu tugas filsafat politik: mencerahi makna berpolitik dan mengekplisitkan nilai-nilai etis
dalam politik yang didasarkan atas Pencasila.
Ada anggapan negatif dan sikap skeptik serta sinis terhadap politik. Ada kecenderungan
untuk menghindar dari politik. Namun perlu dicattat beberapa hal: pertama, mau tidak mau kita
tidak dapat lepas dari politik. Segala kegiatan kita mengandaikan kerangka Negara dan
masyarakat. Kedua, berbagai kesulitan yang dihadapi dunia modern, seperti peningkatan
kesejahteraan, lingkungan hidup, kesenjangan sosial-ekonomi, pendidikan, pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi tidak dapat dipecahkan dengan meninggalkan politik, tetapi
mengadakan transformasi politik sedemikian rupa, sehingga memungkin kita membentuk dan
mengorganisir kehidupan secara efektif. Ketiga, sikap sinis dan skeptik terhadap politik, bukan
hal yang tak terhindari. Dengan membangun kredibilitas dan kelayakan suatu model alternatif
dan imaginatif institusi politik, ketidakpercayaan akan pilitik bisa diatasi.
David Held mengartikan politik sebagai berikut: “Politik adalah mengenai kekuasaan,
yaitu mengenai kapasitas pelaku sosial dan institusi sosial untuk mempertahankan atau
mentransformir lingkungannya, sosial dan fisik. Politik menyangkut sumber-sumber yang
mendasari kapasitas ini dan mengenai kekuatan-kekuatan yang membentuk dan mempengaruhi
operasi dari kekuatan itu. Oleh karena itu, politik adalah suatu fenomena yang diketemukan di
dalam dan di antara institusi dan masyarakat, melintasi kehidupan publik dan privat. Politik
terungkap di dalam semua aktivitas kerjasama, negosiasi dan perjuangan dalam penggunaan dan
distribusi sumberdaya. Politik terlibat dalam semua relasi, institusi dan struktur yang melekat
dalam aktivitas produksi dan reproduksi dalam kehidupan masyarakat. Politik menciptakan dan
mengkondisikan semua aspek kehidupan kita. Politik berada pada inti perkembangan
permasalahan dalam masyarakat dan cara kolektif penyelesaian masalah tersebut.”
Bagi Aristoteles manusia akan menjadi sempurna dan mencapai tujuan kodratinya, kalau
ia hidup dalam polis (negara-kota). Suatu Negara ada, demi hidup baik dan bukan hanya untuk
hidup saja. Seperti dikatakan H. Arend, ”Polis sebenarnya bukanlah Negara-kota (city-state)
dalam lokasi fiknya; polis adalah organisasi masyarakat yang muncul dari perbuatan dan
pembicaraan bersama dan ruang yang sebenarnya terletak di antara orang yang hidup bersama
untuk tujuan itu, tak peduli dimanapun terjadi.” Maka istilah politik menunjuk kepada aktivitas
dari polis, dimana kesejahteraan bersama dideliberasikan dan keputusan yang secara kolektif
mengikat dibuat. Jadi politik muncul dari tindakan bersama, “sharing of words and deeds”.
Ada hal-hal yang dapat kita petik dari kehidupan politik pada jaman Yunani itu, meskipun harus
diakui bahwa ada contoh yang jelek yang terjadi pada waktu itu, misalnya wanita dan budak
tidak termasuk dalam warganegara. Ada anggapan pada waktu itu bahwa mereka yang berhasil
dalam kehidupan politik, yaitu hal-ihwal kehidupan dalam Negara, akan mencapai kebaikan
tertinggi. Kehidupan bersama dalam Negara (polis) akan mencapai kebaikan yang lebih besar,
karena dilakukan bersama. Maka kehidupan bersama dalam Negara tidak hanya akan
melindungi individu dan hak miliknya (sebagaimana jaman sekarang dituntut oleh liberalisme),
tetapi harus menciptakan keunggulan manusiawi (arête). Kodrat manusia mendorong, agar
Negara berperan dalam mengembangkan potensi manusia, mengajarkan kita untuk mencintai
yang baik dan membuat warganegara menjadi lebih baik dengan menciptakan kebiasaan yang
baik (inilah arti utama dari “pendidikan politik”). Maka dapat dikatakan bahwa bagi Aristoteles,
Negara atau polis adalah “perkumpulan teman-teman yang saling memprovokasi untuk berbuat
kebajikan. Politik adalah suatu aktivitas etis, yaitu bersangkut paut dengan masalah bagaimana
kita harus hidup dalam suatu masyarakat politik.
Dewasa ini ditandai oleh “pendisiplinan” dan “penundukan” yaitu pemaksaan agar
manusia berperilaku tertentu. Ini disebut “biopower”. Politik adalah pengaturan dan penguasaan
hidup secara fundamental modern, yaitu manakala kehidupan manusia dipertaruhkan oleh
strategi politiknya sendiri. Dengan lain perkataan, kehidupan manusia menjadi objek politik itu
sendiri. Ini yang menjadi ciri dari politik modern, berbeda dari politik di masa lalu.
Namun ada pula beberapa pakar yang berpendapat bahwa tidak benar kehidupan
manusia selalu menjadi objek dari politik. Ia mengingatkan bahwa dalam Buku Pertama Politics
(1.2.8) Aristoteles membedakan antara “kehidupan yang begitu saja” atau “kehidupan biologis
semata”(bare life, nuda vita, kehidupan telanjang, kehidupan biologis, to zen) dan “hidup yang
baik” (eu zen). Kehidupan politik mengatasi kehidupan “yang biologis melulu” menjadi
“sesuatu yang lebih”, yaitu lebih manusiawi. Yang menjadi ciri politik adalah perwujudan
kemampuan manusia untuk menstrukturkan suatu kehidupan bersama dalam komunitas yang
tidak memaksa, yang mampu melakukan refleksi deliberatif atas pertanyaan apakah keadilan itu
dan sarana konkrit apa untuk mencapainya? “Keadilan melekat dalam polis; karena keadilan,
yang adalah penentuan apa yang adil, adalah pengaturan persekutuan politik”. sungguh menarik
perhatian kita pada apa yang dikatakan oleh Aristoteles: Agar menjadi benar-benar manusiawi
orang harus menjadi anggota polis, karena hanya dengan begitu, ia dapat berbicara.
“Mengeluarkan suara berfungsi untuk menunjukkan kesenangan atau kesakitan, dan ini suatu
kemampuan yang dimiliki hewan pada umumnya….. Tetapi bahasa berfungsi
untuk…..menyatakan apa yang adil dan tidak adil”. Disini kehidupan di lihat tidak hanya sebagai
suatu fakta, tetapi suatu capaian. Capaian itu adalah kebudayaan. Agamben menyebut kehidupan
biologis semata sebagai “inklusif eksklusif (un ‘ esclusione inclusive). Maksud dari pernyataan
itu ialah bahwa kehidupan yang baik (eu zen) bukan kehidupan biologis semata, namun
kehidupan yang baik juga merupakan perkembangan dari kehidupan biologis semata. Politik
seolah-olah merupakan tempat dimana kehidupan harus mengalami transformasi menjadi
kehidupan yang baik. Tetapi ini bukan suatu capaian dari Aufhebung dari kehidupan biologis
semata. Aufhebung politik tidak pernah tercapai, identitas tak pernah selesai’
Dengan ditetapkannya Pancasila sebagai dasar negara, kehidupan politik memiliki
dimensi etis, bukan sesuatu yang netral. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila mendorong
warganegara untuk berperilaku etis dalam politik.
Apabila nilai-nilai Pancasila itu dapat ditransformasikan ke dalam ethos masyarakat,
maka akan menjadi pandangan hidup atau Weltanschauung. Pandangan hidup dapat dilihat
sebagai suatu cultural software, suatu perangkat lunak budaya. Pandangan hidup adalah suatu
cara memahami dunia dan kehidupan sosial, suatu kosmologi masyarakat. Sebagai perangkat
lunak budaya pandangan hidup berperan dalam mengkonstruksikan dunia sosial dan politik.
Tetapi pandangan hidup itu selalu berada dalam kontestasi dan negosiasi dengan pandangan
hidup lainnya. Cultural software dikopi dalam setiap individu melalui sosialisasi, interaksi dan
komunikasi. Fungsi cultural software mirip dengan apa yang disebut Gadamer “tradisi”: tradisi
melengkapi kita dengan pra-pemahaman yang memungkinkan kita membuat penilaian mengenai
dunia sosial Sejauh masyarakat memiliki kopi yang kurang lebih sama, maka pemahaman
budaya mereka adalah pemahaman budaya bersama.

You might also like