You are on page 1of 5

Kepemimpinan Transformatif

----------------------------------

Dalam dunia usaha ada adagium ini: Generasi pertama


bertugas membangun, generasi kedua
mempertahankan, sedangkan generasi ketiga
meruntuhkan (menghancurkan).

Maka model kepemimpinan tranformatif merupakan


suatu kebutuhan. Tidak bisa tidak! Pemimpin yang
mampu membawa perubahan.

Kepemimpinan transformatif merupakan pendekatan


untuk mendobrak. Dobrak gaya kepemimpinan
tradisional. Dobrak pola pikir lama yang memandang
bahwa hubungan antara pemimpin dan karyawan
(leadership and followership) semata berlandaskan
reward yang diberikan.
Dengan kata lain, faktor utama yang mendorong
karyawan untuk bekerja hanya karena dibayar. Dalam
pola kepemimpinan tradisional, kontrol atas proses
kerja terpusat di tangan sang pemimpin.

Kepemimpinan transformatif mendelegasikan


wewenang kepada karyawan atau bawahannya,
mempercayai, dan memberikan kesempatan kepada
bawahan untuk melakukan pekerjaan kreatif dan
dinamis. Dengan demikian, karyawan tidak hanya
bekerja dengan semangat business as usual,
melainkan berorientasi pada apa yang terbaik bagi
perusahaan atau organisasi sejalan dengan talenta
yang dimilikinya.

Ada empat pola perilaku kepepemimpinan


transformatif.

Pertama, memiliki pengaruh


---------------------------------
Seorang pemimpin memiliki pengaruh yang besar
terhadap karyawannya. Ia memiliki semacam kharisma
dan menjadi model positif (panutan) bagi karyawan
atau bawahannya.

Kedua, memberi inspirasi (inspirational motivation)


------------------------------------------------------------
Pemimpin mengedepankan nilai-nilai budaya
perusahaan, termasuk di dalamnya menanamkan visi
yang inspiratif. Upaya-upaya pembumian budaya
tersebut dapat dilakukan melalui simbol atau
lambang. Pemimpin berperan sebagai pembangkit
semangat teamwork, antusiasme, dan optimisme di
antara sesama rekan kerja.

Ketiga, memberi arah, suluh, pedoman. Dia laksana


seorang guru yang mengajar dengan baik, mampu
memberi dorongan bagi para pengikutnya untuk
bekerja mencapai tujuan bersama.

Keempat, cerdas secara intelektual dan emosi. Dia


dapat mempengaruhi para pengikutnya untuk
memandang permasalahan dengan perspektif dan
kesadaran yang jernih. Bawahan mampu berpikir
positif, berpikir tentang solusi.

Bagaimana melakukannya?
Berikut beberapa tips bagi para pemimpin dunia usaha
dalam menerapkan pendekatan kepemimpinan
transformatif sebagaimana dikemukakan Kevin
Kalloway dan Julian Barling (2001). Tips ini pun dapat
diimplementasikan dalam organisasi lainnya.

a). Mengambil keputusan secara transparan dan


konsisten. Cara ini akan mendorong terciptanya rasa
hormat dan kepercayaan.

b). Menunjukkan serta mendorong sikap antusias dan


optimis, sehingga karyawan (bawahan) lebih percaya
diri dan terinspirasi untuk berbuat yang lebih baik.

c). Mengkondisikan dan mengajak karyawan untuk


selalu melihat permasalahan dalam lingkungan kerja
dengan perspektif yang jernih, sehingga mendorong
partisipasi karyawan dalam pengambilan keputusan.

d). Luangkan waktu untuk memberikan perhatian pada


karyawan, misalnya dengan memberikan penghargaan
kepada karyawan melalui forum-forum pertemuan
internal (syukuran kecil atas kenaikan laba tahunan)
atau semisal kartu ucapan selamat atas prestasi yang
dicapainya.
** Jika mau menjadi pemimpin, jangan pernah
mengharapkan ucapan Terima Kasih **

Pada hakikatnya, komunitas HMI adalah sebuah miniatur dari komunitas-komunitas yang
lebih besar seperti bangsa (Indonesia) atau bahkan komunitas internasional. Sebagai
sebuah miniatur masyarakat, HMI mempunyai karakter-karakter permasalahan yang tidak
berbeda jauh dengan organisasi lebih besar lainnya. Permasalahan-permasalahan tersebut
bisa berasal dari anggota masyarakat itu sendiri (dalam hal ini non-struktural HMI) dan
atau bias juga berasal dari pimpinan HMI, yang mewakili unsur sturktural HMI.

Untuk selanjutnya saya ingin membagi masyarakat HMI, secara garis besar, dalam dua
bagian: masyarakat HMI dan pimpinan HMI. Mengapa dalam tulisan ini saya membagi
masyarakat HMI hanya dalam dua kategori? Jawabannya adalah untuk semata
memudahkan kita memetakan persoalan yang akan saya bahas dalam tulisan ini.

Pertama, “masyarakat sipil” HMI adalah entitas yang terdiri dari para anggota HMI,
pegiat media di HMI, dan dalam beberapa hal juga pengurus HMI ditingkat cabang dan
komisariat (mengingat dalam tradisi HMI, justru pengurus cabang dan komisariatlah
yang terkena kebijakan PB HMI. Meminjam kategorisasi masyarakatnya Gramsci (1891-
1937), bagian masyarakat HMI ini bisa kita kategorikan sebagai “civil society”-nya HMI.
Merekalah yang secara langsung terkena imbas dari apapun kebijakan yang digulirkan
oleh PB HMI.

Dalam asumsi saya, berhubung semua anggota HMI adalah manusia terdidik (baca:
mahasiswa) maka “civil society” HMI sebenarnya sudah sangat berdaya. Cuma
persoalannya adalah sebagian besar masyarakat HMI masih apatis dengan PB HMI. Oleh
karena itu, dibutuhkan beberapa elemen masyarakat sipil HMI lainnya untuk selalu aktif
menggelitiki para anggota HMI untuk selalu peduli pada HMI. Dalam hal ini, barangkali
hminews adalah contoh institusi internal HMI yang selalu aktif memberikan
‘gelitikannya’ pada anggota HMI agar selalu peduli pada HMI. Kepedulian ini penting
bagi HMI untuk menjaga dinamika HMI dan juga menstimulasi pengurus HMI agar tetap
aktif mengkreasi kegiatan dan wacana.

Keberdayaan masyarakat sipil HMI (yang terdidik) ini penting karena menjadi jaminan
atas munculnya tatanan sosial yang menurut Weber (1864-1920) disebut sebagai “law
bureucracy”. Ciri utama kondisi masyarakat ini adalah masyarakat rasional yang
didalamnya terbentuk semangat “understanding”, di mana setiap elemen tahu apa yang
perlu dilakukan dan apa yang tidak perlu dilakukan. Masyarakat “law society” tidak lagi
terlalu bergantung pada satu figure pimpinan saja, akan tetapi pada sebuah kerja sama tim
dalam leadership. Masyarakat model ini yang sudah terbebas dari tahap tradisional dan
tahap kharisma.

Elemen kedua dalam masyarakat HMI adalah pengurus HMI, dalam konteks ini saya
fokuskan pada pengurus PB HMI, yang dalam analogi Gramscian mewakili “state”-nya
HMI. Akan tetapi saya tidak mau terlibat jauh dalam pembahasan analisa sosial model
Gramsci; saya lebih tertarik untuk membahas PB HMI dalam konteks kedudukan
kepemimpinannya dalam sebuah masyarakat yang sudah sangat berdaya tersebut.

Kepemimpinan transformastif

Menindaklanjuti idenya Max Weber mengenai masyarakat law bureaucracy, John


Gregorius Burns menggulirkan ide “kepemimpinan transformatif” pada tahun 1978.
Menurut Burns, kepemimpinan transformastif adalah sebuah kepemimpinan yang
melibatkan seluruh elemen masyarakat dalam kepemimpinannya. Oleh karena itu,
kepimimpinan bukan hanya terdiri dari orang yang memimpin saja, akan tetapi juga
melibatkan anggota (followers) dalam proses kepemimpinannya. Hal ini berdasarkan
asumsi bahwa pada kondisi masyarakat yang sudah sangat berdaya; batas kapasitas
pribadi antara yang dipimpin dengan pemimpin sudah sangat tipis (artinya sudah sama-
sama pintar). Masyarakat tidak lagi membutuhkan sosok pimpinan yang serba bisa dan
instruksionis, melainkan pemimpin yang bisa menampung aspirasi bersama untuk
bersama-sama diwujudkan dalam tindakan kelembagaan.

Lebih lanjut, kepemimpinan transformatif lebih mengandalkan pertemuan visi kedepan


yang dibangun berdasarkan konsesus bersama antara pemimpin dan anggota. Oleh karena
itu pemimpin tidak lagi menjadi satu-satunya orang yang bertugas untuk memberikan visi
gerakan dan kemudian mendiseminasikan kepada anggotanya; peminpin justru menjadi
interpreter (penerjemah) visi bersama para anggotanya untuk di transformasikan dalam
bentuk kerja nyata kolektif yang mutual.

Namun demikian, kepemimpian transformatif berbeda dengan “kepemimpinan


transaksional” yang biasanya diterapkan dalam manajemen perusahaan. Pada
kepemimpinan transaksional pemimpin memang berperan sebagai penampung aspirasi
anggotanya, akan tetapi lebih fokus pada aspirasi para individu, bukan lembaga. Jadi
pemimpin bekerja sepenuh tenaga untuk sebesar mungkin memenuhi aspirasi para
individu. Pemimpin bekerja pada sistem yang sudah terbangun, tanpa dituntut punya
inisiatif mengembangkan komunitas lebih lanjut. Singkatnya, dalam kepemimpinan
transaksional, pemimpin lebih bertindak sebagai seorang manajer dengan berpedoman
kuat pada nilai-nilai yang sudah terbangun secara mapan. Akad hubungan dengan
anggota yang ditekankan adalah “reward” (imbalan) dan “punishmen” (hukuman) yang
bersifat konvesional.

Sementara dalam kepemimpinan transformatif, selain menjadi representasi keinginan


bersama para anggotanya, pemimpin juga dituntut untuk selalu aktif melakukan inisiasi
perubahan (envisioning). Memang dia memang akan berpijak sistem yang sudah ada,
akan tetapi bersamaan dengan itu, dia juga aktif mempromosikan visi baru yang progresif
berlandaskan pada moralitas dan tujuan luhur bersama. Pemimpin menjadi motivator
kegairahan anggotanya untuk bersama mendorong kemajuan lembaga.
Dalam proses kepemimpinannya, ada proses dialektika aktif antara pemimpin dan
anggota untuk mendiskusikans visi baru organisaisi. Dalam proses tersebut anggota
memberikan standard “capaian” bersama organisasi, dan pada saat yang sama pemimpin
menstimulasi diskursus yang mengarah pada capaian standard baru yang lebih tinggi.
Jadi, ada tambahan peran pemimpin transformational yaitu envisioning, energizing, dan
enabling (Burns 2003). Envisioning artinya pemimpin menstimulus terbentuknya visi
baru organisasi yang lebih maju. Energizing berarti berarti kekuatan karakter yang
menjadi sumber energi (spirit) bagi anggota untuk bergairah bekerja mewujudkan cita-
cita lembaga. Dan dengan enabling Pemimpin bekerja bersama dengan anggota sehingga
memberikan keyakinan akan terwujudnya cita-cita lembaga (bukan cita-cita individu).
Bagaimana, apakah bisa diuwujudkan di HMI-MPO?

You might also like