Professional Documents
Culture Documents
minyak (SBM),
jumlah tersebut merupakan 38,6% total konsumsi energi final Indonesia. Dari jenis bahan bakar yang digunakan, konsumsi
terbesar yaitu 71,4% adalah kayu bakar atau 225 juta SBM.(Statistik Ekonomi Energi Indonesia 2006, DESDM).
Jika diasumsikan nilai konversi energi 1 ton kayu bakar adalah 2,3 SBM, maka konsumsi kayu bakar untuk keperluan rumah
tangga di tahun 2005 mencapai 97.826.087 ton. Dengan perkiraan terjadi kenaikan konsumsi 4% per tahun, maka pada tahun
2009 kebutuhan kayu bakar mencapai 114.442.685 ton, padahal dengan ramainya pemberitaan tentang banyaknya rumah
tangga yang kembali menggunakan kayu bakar pasca kenaikan BBM beberapa waktu lalu angka tersebut bisa jauh lebih besar.
Untuk mendapat gambaran yang lebih jelas dampak penggunaan dan konsumsi kayu bakar sebagai sumber energi sektor
rumah tangga terhadap lingkungan, berikut ilustrasi menggunakan parameter tanaman akasia (Acacia Mangium) sebagai kayu
bakar. Pada umur 5 tahun Akasia memiliki volume batang rata-rata 0.17 m3 (inovasi online Vol.3/XVII/Maret 2005), berat
jenis kering udara 0,49; kadar air basah 111,1%; kadar air kering udara 17,6% (Ginoga;1997). 1 batang akasia menghasilkan
81,45 kg kayu bakar kering udara, sehingga untuk memenuhi konsumsi kayu bakar rumah tangga pada tahun 2009 diperlukan
1.405.146.086 batang pohon. Dengan kerapatan penanaman 475 pohon per hektar berarti 2.958.202 ha areal penanaman. Pada
kenyataannya mungkin tidak sebesar itu mengingat sumber kayu bakar bisa berupa daun, ranting kering, semak belukar,
limbah industri perkayuan dan banyak lagi, tapi dengan jumlah digit sebanyak itu kita harus menyadari bahwa masalah
penyediaan kayu bakar merupakan ancaman nyata bagi kelestarian lingkungan terutama hutan.
Carut-marut masalah minyak tanah, briket batubara, minyak jarak dan LPG yang kita alami ditinjau dari pemenuhan
kebutuhan energi sektor rumah tangga ternyata jumlah penggunaannya kurang dari 28,6% total konsumsi energi sektor rumah
tangga. Kalau konsumsi kayu bakar dibatasi dengan alasan kerusakan lingkungan, berarti tekanan krisis minyak tanah bakal
berlipat ganda dan tampaknya bukan pilihan yang bisa kita terima saat ini mengingat besarnya porsi tambahan minyak tanah,
briket batubara atau LPG yang harus disediakan sebagai konversi 71,5% penggunaan kayu bakar.
Pilihan yang lebih logis adalah penghematan konsumsi kayu bakar dengan cara menaikkan efisiensi penggunaan dan menata
secara lebih teratur masalah penyediaan pasokan kayu bakar yang dapat berjalan beriringan dengan perbaikan lingkungan
hidup.
Melihat pola penggunaan kayu bakar di masyarakat, masih banyak celah yang bisa diperbaiki untuk meningkatkan efisiensi
dan kualitas pemanfaatan kayu bakar sebagai sumber energi, berikut analisa bagaimana hal tersebut sebenarnya bisa dilakukan
:
Efisiensi perpindahan panas juga sangat dipengaruhi oleh jumlah luasan alat masak yang terpapar panas, penggunaan selubung
(skirt) di sekeliling alat masak dapat memaksa aliran panas hasil pembakaran untuk menyentuh lebih banyak bagian alat
masak.
Aplikasi Rocket Stove dan penggunaan selubung alat masak di Malawi tercatat menunjukkan penghematan penggunaan kayu
bakar sampai 80% dibanding cara tradisional tungku terbuka tipe 3 batu (ProBEC South;2004), Jika bisa mengaplikasikan
penghematan konsumsi kayu bakar seperti laporan hasil pengujian tersebut berarti luasan hutan akasia yang dibutuhkan
berkurang menjadi 591.664 ha saja. suatu tingkat penghematan yang fantastis jika bisa kita terapkan di setiap rumah tangga
pengguna kayu bakar di Indonesia. Bayangkan berapa ratus ribu pohon yang bisa kita pertahankan setiap tahunnya.
Realisasinya memang tidak semudah perhitungan di atas kertas, tapi setidaknya dapat memberi arah kebijakan pengelolaan
sumberdaya hutan sebagai sumber energi dalam negeri.
Penghematan lain ditinjau dari segi luas areal yang dibutuhkan untuk mendukung pasokan kayu bakar adalah dengan
memanfaatkan tanaman yang memiliki berat jenis dan densitas penanaman yang lebih tinggi. Lahan rawa dapat menjadi
pilihan yang tepat untuk dikelola sebagai hutan sumber energi mengingat tanaman utamanya yaitu Galam (melaleuca cajuputi
subsp cumingiana) dan Bakau (Rhizophora sp) memiliki berat jenis 0.8-1,15 dan kepadatan tegakan yang tinggi. Menurut
(Widjaja-Adhi, 2000) luas lahan rawa di Indonesia lebih kurang 33 juta hektar. Hutan rawa tropis dan hutan rawa gambut yang
berada di lahan rawa Indonesia saat ini sudah mengalami kerusakan yang sangat parah, dengan kesadaran bahwa lahan rawa
dapat di kelola sebagai lumbung energi diharapkan timbul motivasi untuk memperbaiki kondisi hutan yang rusak.
Pencadangan wilayah pengembangan hutan Galam dan Bakau bisa dilakukan tanpa mengurangi porsi hutan terdahulu atau
wilayah persawahan, diiringi dengan teknik pengelolaan yang baik rasanya tidak berlebihan kalau mengharapkan
penghematan penggunaan lahan sampai 50%. Pemberdayaan Bumdes (Badan Usaha Milik Desa) untuk mengelola aset hutan
juga bisa menjadi pilihan untuk menjamin agar pemanenan dengan pola tebang lestari dapat berjalan dengan lancar. Unit
Pengolahan yang dibangun di dekat wilayah penanaman untuk menghasilkan kayu bakar dengan kualitas terbaik dan pasokan
yang berkesinambungan hingga bisa mendukung pengguna rumah tangga dan industri untuk meningkatkan efisiensi ekstraksi
energi dari kayu bakar.
Dengan asumsi diperlukan 295.832 ha lahan rawa untuk memenuhi kebutuhan 27,57% konsumsi energi final dalam negeri,
pengembangan aplikasi kayu bakar untuk sektor industri dan pembangkit listrik bukanlah hal yang terlalu rumit mengingat
sudah tersedianya teknologi pemanfaatan biomassa seperti gasifikasi dan pirolisis dengan tingkat efisiensi tinggi dan emisi
polusi yang rendah.
Pada masa perang dunia ke-2 Jerman sudah mengembangkan gasifier kayu bakar untuk menjalankan kendaraan perangnya,
sekarang teknologinya sudah jauh lebih baik. Gasifikasi pada prinsipnya adalah memanfaatkan gas yang dihasilkan dari
pemanasan biomassa (wood gas) sebagai bahan bakar, pada tingkat pemanfaatan tertentu hasil sampingnya berupa arang dan
tar. Konstruksinya bisa cukup kompak hingga bisa digunakan pada mobil jenis “Pick Up” kecil tanpa menyita ruang terlalu
banyak. Penggunaan gasifier biomassa sebagai mesin penggerak alat transportasi di daerah pedesaan bisa menjadi alternatif
sangat menguntungkan di Indonesia, selain bahan bakarnya bisa disediakan secara melimpah dan murah juga mendidik
masyarakat untuk mengelola kebutuhan energi peralatan transportasinya dengan cara mandiri.
Pada bidang pirolisis, kayu bakar atau biomassa dipisahkan menjadi arang, tar dan gas. Arang dan tar bisa dikombinasikan
untuk menghasilkan bahan bakar padat yang kompak dengan kandungan energi tinggi dan bisa dibakar dengan bersih,
sedangkan gasnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi proses. Kelebihan dan buangan panas selama proses
dimanfaatkan untuk unit boiler guna pembangkitan energi listrik atau unit pengering. Industri pembuatan arang kayu yang
menggunakan teknologi ini akan memberi banyak manfaat bagi lingkungan sekitarnya dengan mengeliminasi buangan asap
berbahaya, suplai tenaga listrik, layanan pengeringan produk hasil pertanian dan efisiensi pengolahan yang maksimal.
Spesifikasi Kayu Bakar memiliki konteks yang luas dan tidak mengacu pada satu spesies atau produk tertentu, sebutan yang
lebih tepat adalah biomassa yang berarti bahan organik berasal dari tumbuhan. Semua bahan organik yang ada di hutan dari
kayu, daun kering, ranting dan semak sampai rumput dapat di bakar untuk menghasilkan energi. Fleksibilitas seperti ini
memungkinkan pengembalian kawasan hutan ke bentuk aslinya dan terus membiarkannya tumbuh “gondrong”, besar dan luas
jika panen energi bisa dilakukan dengan bijaksana, itu sebabnya pengembangan kawasan hutan sebagai sumber energi bisa
berjalan beriringan dengan program penghijauan. Anggaplah pemerintah bisa menetapkan satu kawasan hutan kecil di setiap
desa untuk dikelola sebagai lumbung energi, contoh kearifan masa lalu masyarakat pedesaan kita cukup bisa diandalkan untuk
mempertahankannya.
Banyak sudah warga masyarakat yang memanfaatkan limbah gergajian, cangkang sawit, limbah pertanian bahkan sampah
rumah tangga sebagai energi alternatif, sebuah potret ketidak berdayaan kita dalam menyiapkan jaminan pasokan bahan bakar
untuk konsumsi rumah tangga. Walaupun hal itu menunjukkan kreativitas dan kemampuan bertahan menghadapi kesulitan,
tapi dengan begitu banyaknya lahan yang tidak terurus kesannya malah seolah kita tidak mampu membuat perencanaan jangka
panjang yang matang untuk masa depan, atau seperti orang yang menjual beras ke pasar sementara istri dan anaknya dirumah
dibiarkan makan dedak saja.
Semboyan “lebih baik mencegah daripada mengobati” sudah tidak berlaku lagi bagi kita karena hutan sudah terlanjur sakit
parah, sementara keinginan untuk mengeksploitasinya masih sangat besar. Sudah umum diketahui bahwa kerusakan hutan kita
terjadi karena eksploitasi besar-besaran didukung sumber pembiayaan yang kuat dan terorganisir dengan baik, sangat naif jika
berharap bahwa pengembalian kondisi hutan dapat dilakukan secara sporadis, murah dan mandiri oleh masyarakat. Mengambil
manfaat dari hutan dengan mengembangkan luas area konsesi sebagaimana bentuknya dulu merupakan obat sekaligus harapan
akan pemenuhan kebutuhan kita di masa yang akan datang, disisi lain perluasan kawasan monokultur dengan teknik
perkebunan bisa merubah wajah hutan dan menistakan eksistensinya sebagai penjaga keseimbangan siklus lingkungan hidup
di bumi ini.
KabarIndonesia - Sampah telah menjadi permasalahan nasional sehingga pengelolaannya perlu dilakukan secara komprehensif dan terpadu dari hulu ke hilir agar memberikan manfaat secara
ekonomi, sehat bagi masyarakat dan aman bagi lingkungan serta dapat mengubah perilaku masyarakat. Pertambahan penduduk dan perubahan pola konsumsi masyarakat menimbulkan
bertambahnya volume, jenis dan karakteristik sampah yang semakin beragam.
Paradigma pengelolaan sampah beberapa waktu yang lalu belum sesuai dengan metode dan teknik pengelolaan sampah yang berwawasan lingkungan sehingga menimbulkan dampak negatif
terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan; Kepala Badan Lingkungan Hidup Kota Ternate, Drs A Malik Ibrahim MTP berpendapat, dengan adanya UUPS (Undang-Undang Pengelolaan
Sampah No. 18 Tahun 2008), maka kepastian hukum mengenai pengelolaan sampah, kejelasan tanggung jawab dan kewenangan pemerintah, pemerintahan daerah, serta peran masyarakat dan
dunia usaha terhadap pengelolaan sampah diharapkan dapat berjalan secara proporsional, efektif dan efisien.
“Pengelolaan sampah bertujuan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan serta menjadikan sampah sebagai sumber daya. Sampah padat yang dikelola dengan baik
seharusnya dapat menghasilkan sesuatu yang bermanfaat, misalkan saja sampah-sampah organik yang ada dijadikan sebagai pupuk kompos, sampah-sampah plastik didaur ulang sehingga sampah
bukanlah sesuatu yang harus dibuang tetapi dapat dimanfaatkan bahkan dicari atau ditunggu-tunggu semua orang. Terus berputarnya siklus daur ulang alam yang merupakan kunci keselamatan
bumi, sebenarnya menjadi tanggung jawab manusia di lingkungannya masing-masing” ujar Malik.
Undang-Undang Pengelolaan Sampah No 18 Tahun 2008 telah menegaskan bahwa setiap orang dalam pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga wajib
mengurangi dan menangani sampah dengan cara yang berwawasan lingkungan, sedangkan tata cara pelaksanaan kewajiban pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah
tangga diatur dengan peraturan daerah. Penegasan dalam UUPS, juga dibebankan sebagai kewajiban kepada Pengelola Kawasan (permukiman;komersial; industri; khusus; fasilitas umum; fasilitas
sosial; dan fasilitas lainnya) untuk membangun atau menyediakan fasilitas pemilahan sampah paling lama 1 tahun setelah diundangkan UUPS.
Penanggulangan masalah pengelolaan sampah di Kota Ternate harus dirumuskan secara sistematis dan bertahap sesuai kebutuhan sehingga dalam implementasinya masih tetap diperlukan
masukan-inisiatif dari pelaku pembangunan. Diperlukan kesadaran dan pemahaman dari pemangku kepentingan, pemerintah dan masyarakat dan dukungan sektoral yang memadai untuk
mewujudkan hal tersebut.
Kepala Dinas Kebersihan Kota Ternate, Wahab Ibrahim, SH menuturkan, proses daur ulang sampah adalah penjaga kelestarian alam. Sebenarnya sampah bukanlah limbah, melainkan sumber daya
bahan baku untuk proses daur ulang yang menghasilkan humus atau kompos, pupuk, pelindung pembangun kesuburan tanah.
Daur ulang adalah penggunaan kembali material atau barang yang sudah tidak digunakan untuk menjadi produk lain. “Bayangkan saja Satu Juta Tahun dibutuhkan oleh sebuah gelas yang dibuang
untuk terdegradasi (hancur) secara alamiah. Selain berfungsi untuk mengurangi jumlah sampah yang harus dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA), daur ulang bermanfaat memenuhi
kebutuhan akan bahan baku suatu produk. Dan dari segi penggunaan bahan bakar adanya daur ulang dapat menghemat energi yang harus dikeluarkan suatu pabrik” ungkapnya.
Menurut Muda, sapaan akrab Kadis Kebersihan, Dalam pelayanan persampahan di Kota Ternate, terbagi dalam 10 blok daerah pelayanan dan 1 blok cadangan. Selain itu, terdapat 5 blok
penunjang yang terdiri dari 2 penunjang blok Utara, 2 penunjang blok Selatan dan 1 penunjang blok Barat serta beberapa kontainer yang penempatannya pada lokasi-lokasi strategis seperti, pasar,
terminal pelabuhan dan lain-lain.
Di Kota Ternate, pengumpulan dan pengangkatan limbah padat pemukiman, perdagangan, komersial, dan industri dilakukan setiap hari agar kebersihan dan sanitasi kota tetap terjaga. Metode
pengumpulan ini terdiri atas pengumpulan langsung dan tidak langsung, Metode langsung diterapkan dalam pengumpulan limbah perumahan atau pertokoan. Truk angkutan mengangkut limbah
dari rumah ke rumah. Sistem ini cukup memakan tenaga dan waktu, maka retribusi dengan metode ini pun lebih mahal daripada metode yang lain. Metode tidak langsung, yang diterapkan untuk
permukiman atau gedung bertingkat di mana sampah diangkut ke sebut saja TPS untuk kemudian dibawa ke TPA dengan kontainer besar atau kompaktor.
Dalam prospek pengembangannya bandingkan proses pengelolaan sampah di Singapura yang telah mengembangkan sistem pneumatik, mengangkut limbah lewat jaringan pipa bawah tanah
dengan cara disedot pompa vacum menuju pusat pengumpulan limbah. Di situ, limbah disimpan dan dipadatkan sebelum dibuang. Sistem ini lebih produktif dan higienis karena tidak ditangani
secara manual dan ada transfer limbah. Metode pneumatik ini banyak dipasang di rumah sakit, pemukiman (real estate) dan industri makanan, tentu saja sistem ini mahal dalam hal biaya
instalasi,operasional dan pengawasan.
Saat ini telah ditanda-tangani perjanjian kerjasama (MoU) antara Pemerintah Kota Ternate dengan PT. Gikoko Kogyo Indonesia tentang Mekanisme Pembangunan Bersih, Pengurangan Emisi Gas
Rumah Kaca melalui Peningkatan Pengelolaan Persampahan dengan Menggabungkan Penangkapan dan Pemusnahan Landfill Gas dan Pembangkitan Listrik di TPA Sampah Buku Dero-Dero,
Takome Ternate. Namun hingga saat ini, sistem operasional TPA masih Open Dumping dan masih dilaksanakan langsung oleh Dinas Kebersihan Kota Ternate, menunggu hingga pelaksanaan
pekerjaan pembangunan TPA sistem operasional Controll Landfill selesai, tambah Muda menjelaskan.
Sehari-hari Edy Gunarto bergelut dengan kulit kacang. Kulit kacang itu dia
masukkan ke dalam sebuah drum besar lalu dibakarnya selama sekitar dua jam.
Agar cepat dingin, arang kulit kacang itu kemudian dijemur. Setelah
dihancurkan hingga menyerupai tepung, adonan itu diaduk dengan lem kanji.
Proses terakhir adalah mencetaknya menjadi briket siap pakai.
”Bila panen tiba, banyak petani yang menjual kacang kepada istri saya. Setelah
dikupas, oleh istri saya lalu dijual kepada pedagang pasar tradisional, terutama
di Beringharjo. Jadi, sampah kulit kacang di rumah selalu menumpuk,”
katanya.
Sampah kulit kacang itu makin menumpuk ketika Edy berhasil membuat alat
pengupas kacang dengan kapasitas 2 kuintal per hari. Alat itu terus dia
sempurnakan hingga kapasitasnya mencapai 1,5 ton per hari. Alat itu dibuatnya
setelah mengamati alat perontok padi karena prinsip kerjanya hampir sama.
”Dengan bantuan alat pengupas, kacang tanah yang tertampung semakin
banyak. Tidak hanya dari petani di Bantul, tetapi juga dari wilayah Gunung
Kidul dan Kulon Progo. Itu membuat usaha istri saya berkembang pesat.
Dampak lainnya, ya semakin menumpuknya sampah kulit kacang di rumah
kami,” ujarnya.
Awalnya Edy hanya menjual sampah kulit kacang itu kepada para perajin tahu
seharga Rp 30.000-Rp 35.000 per truk. Oleh perajin, kulit kacang dipakai
sebagai bahan bakar mengolah tahu.
Setelah mendapat informasi dari berbagai sumber, seperti buku dan pelatihan
tentang pembuatan briket, dia pun tertarik membuat briket kulit kacang. ”Saat
itu yang diperkenalkan adalah pembuatan briket dari serbuk gergaji. Namun,
karena bahan bakunya di tempat saya sulit dan yang tersedia kulit kacang, ya
saya coba saja,” cerita Edy.
Eksperimen
Selama masa eksperimen, Edy masih mencampur kulit kacang dengan serbuk
gergaji. Dia khawatir, kalau semua bahan bakunya dari kulit kacang, briketnya
tidak bisa sempurna. Lambat laun dia mulai meninggalkan serbuk gergaji dan
hanya menggunakan kulit kacang.
Sekarang, bila stok kulit kacang tengah menipis, Edy beralih pada bahan baku
yang lain. ”Karena di daerah sini terkenal sebagai sentra kacang, stok kulit
kacang praktis selalu tersedia meskipun pada masa-masa tertentu stok kulit
kacang kadang memang agak berkurang. Dalam kondisi seperti ini, biasanya
saya beralih ke tongkol jagung,” katanya.
Selain memanfaatkan sampah kulit kacang milik sendiri, Edy juga membeli dari
petani seharga Rp 50 per kg. Briket kemudian dia jual Rp 2.500 per kg. Edy
menjualnya dalam bentuk kemasan 2 kg.
Sederhana
Misalnya, untuk mesin pengaduk molen briket, dia membuat sendiri dengan
meniru prinsip kerja mesin buatan pabrik. Untuk membuat alat itu, ia
menghabiskan sekitar Rp 2 juta, sementara jika membeli di pabrik bisa sampai
Rp 5 juta. Untuk mencetak briket, Edy juga memanfaatkan alat cetakan
genteng yang sudah dia modifikasi.
”Tanpa subsidi, harga minyak tanah bisa Rp 8.000 per liter. Jadi mungkin akan
semakin banyak masyarakat yang beralih pada bahan bakar alternatif,” kata
Edy.
Menurut dia, briket buatannya mirip dengan briket batu bara. Setiap 1 kg
briket bisa menghasilkan panas hingga sekitar dua jam.
Menggunakan briket untuk bahan bakar memasak juga terhitung lebih irit
dibandingkan dengan memakai minyak tanah. Untuk keperluan memasak nasi,
sayur, dan lauk, jika menggunakan kompor minyak tanah bisa menghabiskan
sekitar satu liter minyak yang harganya sekitar Rp 8.000 (harga nonsubsidi).
Jika memakai briket, hanya mengeluarkan uang Rp 2.500.
Selain lebih irit, briket kulit kacang juga tidak menimbulkan asap dan jelaga
sehingga tidak mengotori dinding dan peralatan memasak, kata Edy.
PELATIHAN TSHE DI SAMIGALUH,KULONPROGO
Pembuatan Tungku
Usaha pembuatan tungku kini banyak di kembangkan di
Pondidaha. Saya menyaksikan ribuan tungku dipajang hampir
di setiap rumah. Pemasarannya ke seluruh wilayah Sulawesi
Tenggara, bahkan telah dipasarkan sampai ke Sulawesi
Selatan dengan mengguanakan kontainer. Para penyalur dari
kota Kendari atau dari daerah lain datang langsung ke
Pondidaha. Pembuatan tungku sudah menjadi sebuah bisnis
yang menjanjikan bagi masyarakat. Mereka juga memproduksi
arang dari jenis kayu tertentu dan dipasarkan sekaligus
dengan tungku. Harga satu buah tungku di Pondidaha
berkisar antara Rp.25.000–30.000. Sedangkan arang dijual
dengan harga Rp. 20.000 per karung dengan berat kira-kira
20 kg. Di kota Kendari tungku-tungku tersebut dipasarkan
dengan harga Rp.35.000-Rp.40.000.
Tanggal 24 Maret 2009 ini, Menteri Kehutanan akan menyerahkan secara bertahap
bantuan mesin pembuat briket arang dan cuka kayu dengan teknologi tepat guna
menggunakan bahan baku limbah tempurung kelapa, sebanyak satu unit dari empat unit
yang direncanakan kepada masyarakat di Kelurahan Kamonji, Palu, Sulawesi Tengah.
Pemberian mesin pembuat briket arang dan cuka kayu kepada masyarakat Sulawesi
Tengah tersebut dilakukan sebagai bagian dari salah satu program pemerintah, khususnya
Departemen Kehutanan, yaitu Revitalisasi Industri Kehutanan yang salah satu
kegiatannya terkait dengan pemberdayaan Industri Kecil (pro poor) khususnya di
Provinsi Sulawesi Tengah melalui bantuan peralatan dan mesin pengolahan hasil hutan
yang telah diuji coba oleh Badan Litbang Kehutanan.
Kapasitas produksi satu unit alat tersebut per hari menghasilkan 15-20 kg briket arang
dengan asumsi mesin tersebut dioperasionalkan dalam waktu 8-10 jam. Bahan baku
berupa tempurung kelapa yang dibutuhkan dalam sehari adalah kurang lebih 100 kg
dengan tenaga kerja 7-10 orang. Karena alat ini menggunakan teknologi tepat guna, jika
memungkinkan alat ini dapat dibuat dan dikembangkan oleh masyarakat di wilayah
pedesaan.
Sebagai kelengkapan dari bantuan tersebut juga dibagikan tungku masak berbentuk
seperti anglo yang dibuat dari bahan semen dan pasir. Tungku masak tersebut merupakan
hasil rekayasa Litbang Kehutanan, dalam proses memasak untuk keperluan sehari-hari
satu tungku tersebut memerlukan 2 kg briket arang untuk memenuhi satu Kepala
Keluarga yang terdiri dari 3-5 orang. Tungku tersebut juga dapat dibuat dan
dikembangkan sendiri oleh masyarakat mengingat bahan baku banyak tersedia di daerah.
Hasil proses pembuatan arang yang berupa cuka kayu dapat dimanfaatkan sebagai
Biopestisida nabati pada tanaman pertanian dan kehutanan. Dari hasil percobaan
menunjukkan keberhasilannya dalam memberantas hama cabuk lilin pada tanaman pinus
umur 5 tahun di Perum Perhutani Jawa Tengah dan jamur pada tanaman ketimun serta
meningkatkan hasil produksi tanaman padi. Selain sebagai biopestisida, cuka kayu ini
dapat dimanfaatkan untuk mengawetkan produk makanan utamanya ikan asap dan juga
berkhasiat untuk menghilangkan penyakit kulit.
Kongres ini diselenggarakan oleh WREN (World Renewable Energy Network) dan METI (Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia) berkerja sama dengan Departemen
Pertambangan dan Energi, Departemen Riset dan Teknologi, Departemen Lingkungan Hidup, Departemen Pemberdayaan Perempuan, Departemen Pembangunan
Daerah Tertinggal, Departemen Luar Negeri, BPPT, Unesco, Isesco, NREL, RMI dan College of Forest Resource – University of Washington.
Sementara itu, sejumlah besar penduduk dunia kurang atau malah tidak memiliki akses pada energi untuk memenuhi kebutuhan dasar sekalipun. Ini hambatan besar untuk
pembangunan berkesinambungan. Kepulauan Indonesia juga menghadapi berbagai bencana alam yang menurut para ahli terkait dengan perubahan iklim. Ini semakin
menambah beban masyarakat.
Saat ini kita perlu lebih memperhatikan “isu sosial yang berhubungan dengan penggunaan energi”. Perempuan punya peran signifikan di semua bidang ekonomi dan kehidupan
sosial dan punya kontribusi vital untuk kesejahteraan rumah tangga. Karena itu, penting untuk mengarus-utamakan perspektif gender di semua program dan kebijaksaan
pembangunan.
Panitia, para sponsor berserta pendukung kongres ini berharap dan bermaksud menggunakan kesempatan ini untuk menyebarluaskan teknologi tentang energi terbarukan untuk
menolong sesama dalam mencapai tahap pembangunan berkelanjutan:
* Pendekatan transdisipliner yang akan lahir dari kerjasama pihak berwenang, pelaku bisnis,
ilmuwan, pendidikan dan aktivis LSM dalam workshop ini* Sesi teknis yang fokus pada tema-tema
monodisipliner tentang teknologi energi terbarukan.
Kongres ini diharapkan menghasilkan terobosan yang signifikan dalam membuat teknologi tentang energi terbarukan terjangkau bagi semua bangsa di dunia sebagaimana yang
kita yakini bahwa energi terbarukan akan menentukan masa depan kita.
Tujuan Kongres
* Mempertemukan semua partisipan baik dari negara berkembang maupun negara maju supaya
bertukar pengetahuan dan pengalaman dalam bergelut dengan pengembangan teknologi dalam
energi terbarukan.
* Ahli rekayasa, pembuat kebijakan, akademia, dan sektor swasta memetik pelajaran dengan jalan
berbagi informasi tentang perkembangan dan riset terbaru serta cerita sukses tentangpemanfaatan potensi energi terbarukan secara efektif.* Mendiskusikan pentingnya
pendidikan lingkungan dan kepemimpinan dalam meningkatkan serta mengimplementasikan energi terbarukan dalam menghasilkan informasi, pemahaman dan motivasi yang
penting untuk konservasi sumber daya alam yang berkesinambungan.* Mendiskusikan dan memetakan strategi-strategi pengembangan energi terbarukan sebagai platform
untuk rencana kerja pemerintah, organisasi non pemerintah, pelaku bisnis, dan gerakan masyarakat sipil.* Meningkatkan peluang bisnis di bidang energi terbarukan dengan
memamerkan produk canggih yang menghemat energi dan untuk merangsang pasar energi terbarukan dan meningkatkan daya tanggap sistem energi terbarukan.
Dalam kongres ini, Indonesia National Focal Point of ENERGIA mendapat sesi workshop tentang Gender. Workshop ini dimoderatori oleh Dr. Sulikanti dari Departemen
Pemberdayaan Perempuan.
Dari workshop ini, bisa disimpulkan bahwa tujuan dari perspektif, pendekatan, kepekaan gender dalam energi adalah pemberantasan kemiskinan terkait dengan kebutuhan
energi dan pengembangan energi yang berkelanjutan. Dalam tujuan ini, energi terbarukan adalah energi yang sesuai untuk dikembangkan secara berkelanjutan jika
dikembangkan menggunakan perspektif gender (berkaitan dengan peran siapa yang menggunakan energi, sumber daya lokal: sumber daya alam dan sumber daya manusia.
Perspektif gender memang selalu terkait dengan perempuan hal ini disebabkan oleh perempuan adalah mayoritas orang miskin. Energi terbarukan dipilih karena energi ini bisa
dikelola secara ramah lingkungan serta berkelanjutan untuk mendukung mata pencaharian yang berkesinambungan. Tungku biomass yang disempurnakan adalah salah satu
contoh aktivitas tentang gender dan energi.
Kasus Indonesia dan Nepal mencerminkan kondisi tersebut. Jika berbicara tentang sumber daya manusia, tingkat pendidikan kaum perempuan, peran serta dalam pendidikan,
pengembangan dan pemanfaatan teknologi perempuan tergolong rendah di kedua negara ini dan mereka memiliki energi terbarukan yang besar. Oleh karena itu, perspektif
gender bisa menutup kesenjangan ini. Yang diperlukan adalah:
Berikut ini adalah ringkasan dari presentasi dari Nepal dan Indonesia :
NEPAL
Kebutuhan energi Nepal sebagian besar dipenuhi lewat biomass. Namun demikian, pola penggunaan energi tidak menunjukkan sifat berkelanjutan, ini tampak dari penggunaan
alat-alat yang tidak efisien, tidak mengeksploitasi alternatif lain maupun mengandalkan biomass secara berlebihan. Sementara itu, Nepal punya potensi sumberdaya energi
terbarukan yang besar.
Alternative Energy Promotion Center (AEPC) adalah badan pemerintah yang bertujuan mempromosikan penggunaan energi terbarukan. Hingga kini AEPC sangat berhasil
dalam menyebarluaskan tungku masak yang disempurnakan, tungku dan oven matahari serta instalasi pembangkit listrik tenaga matahari rumah tangga.
Tantangan yang dihadapi AEPC adalah: dana yang berkesinambungan, informasi dan penyebarannya, end use diversification, kendali mutu, riset dan pengembangan serta
kesetaraan gender dan peran serta sosial.
INDONESIA
Hingga kini, kesetaraan gender dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia masih rendah. Di Indonesia sendiri, konsumsi energi masih mengandalkan sumber-
sumber konvensional dan sumber-sumber tersebut semakin menyusut. Sementara itu, kebutuhan energi lebih besar dari yang tersedia. Untuk mengatasi masalah ini, perlu
diversifikasi sumber energi di pedesaan dengan mengembangkan teknologi energi terbarukan seperti biogas dan energi matahari yang memanfaatkan energi lebih efisien
melalui penggunaan alat-alat teknologi seperti tungku hemat energi, oven dan tungku matahari dll.
Konsumsi energi untuk rumah tangga di Indonesia tinggi, yaitu 40% dari total penggunaan energi. Sebagian besar masyarakat pedesaan menggunakan tungku masak tradisional
berbahan bakar biomass. Dalam hal ini perempuan bertugas untuk mencari dan mengelola bahan bakar. Tugas ini tidak dibayar dan tidak diperhitungkan, selalu dianggap
sebagai tugas yang terkait gender atau budaya. Masyarakat desa jarang punya peluang untuk beralih ke energi bentuk lain karena alasan ekonomi, letak geografis yang
terpencil atau kelangkaan minyak tanah dan gas. Penggunaan tungku biomass tradisional maupun proses mengumpulkan bahan bakar bisa berdampak buruk bagi kesehatan.
Selain itu, mengumpulkan bahan bakar menyita waktu, mengurangi waktu untuk keluarga dan diri sendiri.
Meskipun isu perempuan di sektor energi sudah teridentifikasi, kebijakan pembangunan nasional tidak membahas masalah ini secara spesifik. Gender di sektor energi kurang
diperhatikan, khususnya dalam hal lebih melibatkan perempuan di semua level aktivitas energi seperti desain, perencanaan, implementasi, monitoring dan evaluasi.
Kebijakan dan program untuk meningkatkan partisipasi wanita dipengembangan energi bisa diraih lewat dua cara.
1.Kebijakan dan program yang diarahkan untuk meningkatkan kualitas SDM khususnya perempuan lewat pendidikan dan training.
2.Kebijakan dan program yang diarahkan untuk menciptakan peluang kerja.
Pentingnya kebijakan dan program untuk meningkatkan kualitas SDM dimaksudkan untuk merubah mindset tradisional perempuan untuk menghindari keterlibatan perempuan di
pengembangan energi serta sains dan teknologi.Sementara itu kebijakan dan program untuk menciptakan lebih banyak peluang kerja ditujukan untuk memotivasi perempuan
untuk berkerja di sektor energi.
* Memfasilitasi akses ke energi bagi perempuan, khususnya perempuan miskin dan cacat di pedesaan.
* Meningkatkan kapabilitas perempuan dalam hal energi.
Strategi kunci untuk upaya untuk masa depan ini adalah memperkuat capacity building nasional termasuk kerjasama dengan stakeholder teknologi dan gender lainnya untuk
secara sistematis mengintegrasikan perhatian-perhatian tentang gender menjadi desain, implementasi, evaluasi tentang kebijakan, program dan proyek yang punya sangkut-
paut dengan pengembangan energi sehingga pemberdayaan wanita dan pembangunan berkelanjutan bisa ditingkatkan secara efektif.
Departemen Fisika FMIPA Institut Pertanian Bogor menyerahkan tungku berbahan bakar
sekam padi sebanyak 200 unit kepada 14 kepala desa/lurah. Tungku sekam ini mampu
menghasilkan energi yang maksimal, lebih hemat dibandingkan dengan kompor minyak
tanah atau elpiji
Acara yang digelar di Desa Petir, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor, Kamis (14/8)
siang, itu terkait dies natalis ke-45 IPB.
Tungku tersebut terdiri dari tiga komponen, yakni tabung penampung bekas bakaran
sekam (dari gerabah atau kaleng/drum), kerucut penampung sekam (dari seng), dan behel
dudukan wadah memasak (besi).
”Tungku ini direkomendasikan untuk masyarakat pedesaan karena sekam padi berlipah
dan dapur warganya terbuka atau berdinding bilik. Namun jika dapurnya tembok, tidak
kami rekomendasi,” kata Kepala Departemen Fisika IPB Irzaman, peneliti sekam dan
pengembang tungku sekam.
Menurut Irzaman, warga desa atau kelompok warga desa bebas membuat tungku
inovasinya asal untuk kepentingan sendiri. Akan tetapi, jika dipakai untuk tujuan
komersial, pencipta atau pemilik modal wajib membayar royalti kepada IPB karena
produk itu sudah dipatenkan.
Lebih hemat
Kompor minyak tanah mengeluarkan biaya Rp 350, waktunya 25 menit. Kompor elpiji
memakan biaya Rp 500, waktunya 11 menit. Biaya Rp 350 dan Rp 500 itu dengan
catatan harga minyak tanah Rp 2.500 per liter dan gas elpiji Rp 5.000 per kilogram.
”Harga sekam saat ini adalah Rp 3.000 per 10 kilogram. Untuk masak 6 liter air, butuh 1
kilogram sekam padi kering. Kini yang harus dipikirkan adalah mencegah sekam padi,
yang saat ini produk limbah tak terpakai, menjadi komoditas yang komersial,” katanya.
(rts)
Tungku ICS adalah tungku berteknologi sederhana untuk memasak yang umumnya digunakan oleh
masyarakat pedesaan. Bedanya dengan tungku tradisional adalah adanya cerobong untuk menggiring asap
keluar rumah, juga adanya modifikasi di dalam tungku untuk mengoptimalkan penyebaran panas. Bahan
bakar yang digunakan tungku ini umumnya adalah ranting-ranting yang berjatuhan di halaman rumah.
Saat ini masih banyak masyarakat di desa yang menggunakan tungku tiga batu. Tungku tradisional ini
membuat asap hasil pembakaran memenuhi dapur. Ini dapat menyebabkan penyakit saluran pernapasan
bagi orang yang terus-menerus menghirup asap tersebut. Oleh karena itu, penggunaan tungku yang dibuat
dari susunan tiga batu ini menjadi tidak sehat bagi rumah tangga itu sendiri.
Namun kebanyakan masyarakat pedesaan hanya menguasai tungku tiga batu yang sangat sederhana untuk
memasak. Sulit bagi mereka beralih menggunakan alat masak dengan teknologi yang berbeda cara
penggunaannya, seperti kompor minyak atau gas. Selain itu, teknologi baru pun mungkin akan membawa
masalah-masalah baru. Karena pengoperasian tungku ICS mirip dengan tungku tiga batu, beralih ke
teknologi ini lebih cocok bagi masyarakat pedesaan.
Manfaat tungku ICS sudah dirasakan mereka yang menggunakannya. Menurut warga di daerah Hargorejo,
Jawa Tengah, dengan menggunakan tungku ICS penggunaan kayu bakar menurun menjadi hanya setengah
dari semula. Bukan hanya itu, untuk memasak masakan yang sama, waktu yang diperlukan jauh berkurang.
Berkurangnya penggunaan kayu bakar dan waktu memasak membuat masyarakat mempunyai waktu luang
untuk mengerjakan hal lain. Entah melakukan aktivitas untuk meningkatkan perekonomian mereka, atau
meluangkan waktu dengan keluarga. Jadi sebenarnya, ada banyak hal yang dapat dinikmati dengan
menggunakan tungku ICS.
Nah, terbukti kan? Efisiensi energi tidak selamanya harus menggunakan teknologi canggih dan peralatan
mahal. Bahkan dengan teknologi yang sederhana, kita pun bisa menghemat energi. [JAKARTA, 11/7/08,
CP/shifu]
Adalah THE, bacanya bukan de (seperti pada bahasa english) tapi dibaca perhuruf te-ha-
e, karena THE kepanjangan dari Tungku Hemat Energi, sebuah alat memasak berbentuk
tungku yang sengaja dirancang untuk lebih menghemat pasokan bahan bakar kayu dan
lebih mengoptimalkan panas, sehingga memasak bisa lebih cepat dan tidak boros kayu.
Tungku adalah kenalanku pertama dengan istilah yang pada saat itu sangat ngetop,
TTL/TTG Teknologi Tepat Guna dan Teknologi Tepat Lingkungan. Pertama kali
melihatnya di rumah panggung orang Bugis di Makasar, dengan bentuk tungkunya yang
kecil, ringan, dan portable, bisa dipindahkan kesana kemari, tungku ini yang biasa disebut
anglo juga di desain secara khusus untuk tidak mudah membakar lantai rumah panggung
mereka yang terbuat dari kayu.
Yang saya lakukan sangatlah sederhana saja, saya menemukan secara tidak sengaja (ada
gak sih yang kebetulan itu?) buku tentang teknik membuat tungku, terus ada bapak-bapak
yang mau mencoba dan akhirnya kita bareng-bareng bikin. Jadi tidak ada yang baru dari
hal ini kecuali buat saya pribadi untuk mempraktekkan dari apa yang saya tau menjadi
bentuk nyata yang bisa digunakan.
Cara kerja THE sangatlah sederhana, mencoba mengetahui dan memahami bagaimana
api dan sumbernya bekerja, dan membangun desain untuk mengefektifkan panas untuk
kepentingan memasak, sehingga tidak banyak panas yang terbuang percuma. Untuk
membuat lebih optimal, tungku sebaiknya bukan hanya satu lobang masak, bisa dibuat 2
(dua) atau 3 (tiga) secara berurutan dengan bentuk memanjang, bukan melebar, dengan
posisi lubang ke dua dan tiga lebih tinggi posisinya dibanding dengan lubang masak
pertama.
Adonan untuk membuat THE adalah terdiri dari Tanah Liat : Pasir : Sekam dengan
perbandingan 2 : 1 : 1. Fungsi dari sekam adalah sebagai perekat dan penguat, ada juga
yang menambahkannya dengan abu untuk mencegah retakan tungku jika kena panas api.
Media cetak juga cukup menggunakan alat sederhana, sebilah papan untuk menahan
dinding-dindingnya tungku dan cetakan lobang cukup menggunakan batang pisang,
diletakkan horisontal dan vertikal, ditimbun pelan-pelan sehingga membentuk sosok
Tungku. Dan jangan lupa sebelum tungku dicetakan benar-benar sudah kering, dibuatkan
beberapa lubang kecil udara di samping dan lubang pembuangan.
Tungku dan Masyarakat Tungku
Membahas topik tentang Tungku sepertinya ini hal sederhana, khususnya kita yang tidak
terkait secara langsung dengan urusan masak-memasak, atau kita yang mungkin tidak
pernah memasuki dapur dan berikut tetek bengeknya tentang dapur atau kita yang belum
pernah tau bahwa ada sebagian masyarakat yang memposisikan dapur sebagai ruangan
utama keluarga atau menyambut tamu.
Yang jelas saya sendiri pada proses pembuatan tungku saat itu menganggap setelah
proses pembuatan tuntas, masalah sudah beres, mereka tinggal langsung bisa pakai,
namun kesimpulan saya akhirnya terpangkas oleh satu komentar dari salah satu warga
setelah melihat hasil akhir dari kerja kita…. ooo ini kan tungku orang Jawa, karena
berbentuk panjang bukannya melebar seperti halnya bentuk rumah mereka, bentuk
Tungku dan Rumah sepertinya saling terkait di antara orang Jawa dan Madura.
Dari Tungku, juga melahirkan sebuah jaringan antar lembaga, Jaringan Kerja Tungku
Indonesia (JKTI), sebuah Jaringan Kerja dari Lembaga Nirlaba di Indonesia yang secara
khusus membahas tuntas tentang Dapur, Tungku dan Biomassa. Menurut JKTI, tungku
pun juga terkait dengan masalah perspektif gender, hal ini termaktup dalam Visi dan Misi
Jaringan Kerja ini.
Desa Sikapat yang terletak Kecamatan Sumbang adalah salah satu tempat berdiam para pengrajin gula kelapa di
Kabupaten Banyumas. Dengan menyadarkan hidupnya pada pengolahan nira, setiap harinya kepulan asap tungku dan
aroma khas gula merah menjadi tanda keberadaan mereka. Hal ini berarti, pengelolaan nira yang berujung pada kiloan
gula merah yang dihasilkan menjadi ujung tombak usaha. Salah berhitung ataupun selisih langkah dengan pesaing akan
biasanya berakibat fatal: kemunduran usaha dan kurangnya pendapatan; tegasnya kemiskinan yang telah dirasakan
akan semakin memberatkan.
Peguyuban Ligasirem seakan menjadi jawaban para pengrajin gula di Desa Sikapat atas kenyataan ini. Berdiri tahun
2001 dengan anggota mencapai 23 pengrajin, paguyuban ini menjadi wadah pengolahan gula kelapa secara terpadu;
bahkan seturut konsep awalnya, paguyuban ini direncanakan juga ‘menyambar’ sektor peternakan
(penggemukan sapi, pembuatan kompos bogasi) dan pengadaan air bersih. Namun akhirnya, kebijakan yang terealisasi
hanyalah pengolahan gula kelapa. Dana (yang digunakan untuk pendirian tempat produksi gula) diberikan oleh Bank
Dunia lewat program PKM ( Pemberdayaan Kelompok Masyarakat) dengan pembinaan dilakukan oleh Yayasan Gatra
Mandiri Purwokerto.
Tidak saja memfasilitasi pengrajin untuk mendapatkan kemudahan kredit ataupun memperluas jaringan pemasaran,
paguyuban Ligasirem juga berperan sebagai wadah perkumpulan para pengrajin yang mencari solusi atas permasalahan
yang dihadapi berkaitan dengan pengolahan gula kelapa. Salah satu contohnya adalah terobosan pemakaian tungku
serbuk gergajian kayu untuk memasak gula merah.
Tungku dengan bahan bakar minyak tanah pada awalnya menjadi ujung tombak para pengrajin di desa ini untuk
menghasilkan gula kelapa. Sebanyak dua tungku dioperasikan setiap harinya dengan kapasitas gula yang dihasilkan 50
kg. Namun setelah satu bulan pengoperasian, bukannya keuntungan yang diperoleh melainkan kerugian yang harus
diderita. Biaya produksi meningkat tajam dengan penyumbang terbanyak berasal dari penggunaan minyak tanah
sebagai bahan bakar. Ditambah lagi produksi yang sering tersendat akibat kelangkaan minyak tanah, paguyuban makin
dituntut mencari terobosan baru untuk memecahkan persoalan ini.
Langkah taktis diambil yaitu membuat tungku baru berbahan bakar serbuk gergaji kayu. Pilihan jatuh pada bahan bakar
ini sebab dari segi harga, serbuk gergaji lebih murah dan mudah didapat dibanding minyak tanah. Kapasitas tungku
serbuk gergaji ini juga disesuaikan dengan tungku minyak tanah yaitu sanggup menghasilkan 50 kg gula merah. Tak
heran bila ukuran tungku menjadi sedemikian besar, yaitu tinggi 50 Cm, diameter lubang masak 50 cm dan diameter
mulut kayu 20 Cm. Alat masak yang digunakan adalah wajan yang terbuat dari besi berdiameter 120 cm. Tungku
sengaja tidak dibuat portabel alias tak dapat dipindah-pindahkan. Meski hanya mempunyai satu lobang masak
(dibanding tungku lainnya yang mempunyai dua lubang masak atau lebih), tungku ini tetaplah lebih hemat dalam
pemakaiannya.
Terbukti, dengan pemakaian tungku serbuk gergaji biaya produksi yang dikeluarkan dapat ditekan seefisien mungkin.
Untuk pengoperasian satu hari, kedua tungku menghabiskan 4-5 karung serbuk gergaji. Guna memenuhi kebutuhan
tersebut, paguyuban setiap minggunya membeli 30 karung bahan bakar dari pedagang yang langsung
mengantarkannya ke rumah produksi (menggunakan mobil) senilai Rp. 75.000,-. Dibandingkan dengan produksi 100 kg
per-harinya, angka tersebut adalah kecil dibanding keuntungan yang akan didapat.
Semenjak menggunakan tungku serbuk gergaji kayu ini, kedua buah tungku minyak tanah ‘dibangku-
cadangkan’. Paling-paling kedua tungku tersebut hanya berfungsi sebagai tempat untuk meletakkan drum besar
yang dipakai sebagai tempat untuk meletakkan nira/badeg. Bukannya tidak mau mengingat masa lalu, tapi apa
salahnya menggunakan alternatif baru yang mudah plus murah dalam pemakaiannya. Belajar dari para pengrajin yang
tergabung dalam paguyuban ini, peningkatan dan pengembangan pada tungku yang ada, yang nantinya berujung pada
penghematan dan pertambahan pendapatan adalah sesuatu yang selalu dinanti untuk dicoba.
Yuni Supriyati Sumber: Majalah ASAP edisi No. 12. Tahun 2005
HINGGA saat ini masih belum ada kepastian konversi mitan ke elpiji di Jombang,
kapan dilanjutkan. Ironisnya, mitan yang selama ini masih menjadi andalan warga
untuk kebutuhan memasak, cenderung langka.
Namun bagi warga Desa Ngapit, Kec. Jombang, kondisi itu sudah mulai teratasi
menyusul beredarnya tungku yang disebut ‘Hemat Energi’ di pasaran. Bahkan saat ini
banyak masyarakat yang sudah beralih menggunakan tungku tersebut.
Dari bentuknya, tungku “Hemat Energi” yang saat ini menjadi pilihan alternatif warga
untuk mengatasi kelangkaan mitan ini tampak sederhana. Terbuat dari beton neser
dengan diameter sekitar 30 cm.
Sumarni, warga Ngapit mengaku tungku hemat energi jaub lebih murah dibanding
kompor biasa, apalagi kompor gas elpiji. Harganya hanya Rp 27 ribu per buah atau Rp 30 ribu per biji, bila ditambah dengan tumpi,--berbentuknya persis
seperti layah, namun bolong tengahnya sebagai tatan tungku tersebut.
Itu untuk memudahkan panci, dandang atau barang lainnya ketika dibakar di atas tungku.
“Biasanya kalau menggunakan kompor, sehari bisa menghabiskan satu liter mitan untuk keperluan dapur. Sekarang dengan tungku ini, saya tidak banyak
membutuhkan mitan lagi,” katanya. “Ini juga bisa sebagai pengganti kompor elipiji bantuan pemerintah yang tak kunjung ada,” tambahnya.
Kalaupun menggunakan minyak tanah, lanjut dia hanya diperlukan saat memulai menyalakan kayu bakar. Setelah itu, murni dengan kayu bakar saja. “Itupun
kayu bakarnya bisa seadanya, tidak harus dengan ukuran tertentu,” katanya.
Ia mengaku tungku ini sangat irit kayu bakar. Seutas tali kayu bakar seharga Rp 2.500 bisa digunakan dua sampai tiga hari. “Kalau hanya untuk masak dan
keperluan dapur, sehari tidak menghabiskan seutas kayu bakar. Malah bisa sampai dua, tiga hari,” ujarnya.
Menurutnya, warga Desa Ngapit sudah sekitar satu setengah bulan ini menggunakan tungku ‘Hemat Energi’ produk lokal. Ada puluhan dan bahkan mayoritas
warga Desa Ngapit, yang semula menggunakan kompor mitan, sekarang beralih menggunakan tungku tersebut.
Darimanakah tungku ini, menurut warga pemasoknya dari Desa Kedungmelati, Kec. Kesamben. “Tapi saya nggak tahu persisnya dari mana mereka. Saya
beli tungku ini juga setelah tahu dari mulut ke mulut. Katanya kok hemat sekali, makanya saya kemudian pesan juga,” ujar Ny. Eny yang diamini Ny,
Salamah dan Ny. Umi.
Dari pengamatan di lapangan, prinsip operasional tungku hemat energi ini lazimnya tungku kayu yang dulu dipakai masyarakat. Hanya saja, bentuknya
dimodel bulat berdiameter sekitar 30 centimer, dicetak dengan beton neser.
Sementara nyala api tungku sengaja dipusatkan melalui lubang berdiameter sekitar sepuluh centimeter. Sedangkan lingkar sekelilingnya, dipadati dengan
lumpur yang konon katanya diambil dari lumpur Porong, Sidoarjo.
Tungku ini bisa menghemat kayu bakar, karena nyala api sengaja dibuat terpusat melalui lubang yang dibentuk khusus. Lubang ini dicetak dengan paralon
dengan sisi-sisi di sekelilingnya dipadatkan dengan abu khusus, warnanya keputih-putihan. Sedangkan untuk membakar kayu, dibuat lubang di bawah yang
dihubungkan langsung dengan lubang khusus tersebut. Setelah itu, tungku langsung bisa diopersionalkan, layaknya tungku lainnya.
DAUN KERING JADI BRIKET ARANG