You are on page 1of 13

Euthanasia Dalam Persepektif Hukum

Melihat penderitaan istrinya yang tidak kunjung berakhir, Panca Satrya Hasan Kusuma
memohon agar istrinya (Agian Isna Nauli) yang sudah koma sekitar tiga bulan setelah
melahirkan putra keduanya, disuntik mati saja. Begitu juga dengan yang dialami oleh
Rudi Hartono, suami Siti Zulaeha. Pasca operasi dengan diagnosis hamil di luar
kandungan, Siti Zulaeha mengalami koma selama 3,5 bulan. Rudi Hartono lalu
mengajukan permohonan agar isterinya disuntik mati saja. Ini merupakan perubahan
dalam dinamika masyarakat yang kian mengglobal yang ditandai semakin mudahnya
masyarakat mengakses informasi dari berbagai belahan dunia maka semakin sering
masyarakat bersentuhan dengan nilai-nilai asing (di luar kebiasaan/norma-norma
komunitasnya).

Namun perubahan paradigma berfikir masyarakat bukanlah sebagai arah sebuah


kemajuan berfikir, namun cuma kebingungan dalam berfikir. Hal ini dialami oleh Hasan
yang mengajukan euthanasia terhadap istrinya dan hal yang sama juga terjadi pada Siti
Zulaeha yang akan diajukan euthanasia oleh keluarganya.

2.4 Konsepsi Euthanasia

Euthanasia dalam Oxford English Dictionary dirumuskan sebagai “kematian yang lembut
dan nyaman, dilakukan terutama dalam kasus penyakit yang penuh penderitaan dan tak
tersembuhkan”. Istilah yang sangat populer untuk menyebut jenis pembunuhan ini adalah
mercy killing (Tongat, 2003 : 44). Sementara itu menurut Kamus Kedokteran Dorland
euthanasia mengandung dua pengertian. Pertama, suatu kematian yang mudah atau tanpa
rasa sakit. Kedua, pembunuhan dengan kemurahan hati, pengakhiran kehidupan
seseorang yang menderita penyakit yang tak dapat disembuhkan dan sangat menyakitkan
secara hati-hati dan disengaja.
Secara konseptual dikenal tiga bentuk euthanasia, yaitu voluntary euthanasia (euthanasia
yang dilakukan atas permintaan pasien itu sendiri karena penyakitnya tidak dapat
disembuhkan dan dia tidak sanggup menahan rasa sakit yang diakibatkannya). Non
voluntary euthanasia (di sini orang lain, bukan pasien, mengandaikan, bahwa euthanasia
adalah pilihan yang akan diambil oleh pasien yang berada dalam keadaan tidak sadar
tersebut jika si pasien dapat menyatakan permintaannya). Involuntary euthanasia
(merupakan pengakhiran kehidupan pada pasien tanpa persetujuannya). Konstruksi
Yuridis Euthanasia

Munculnya pro dan kontra seputar persoalan euthanasia menjadi beban tersendiri bagi
komunitas hukum. Sebab, pada persoalan “legalitas” inilah persoalan euthanasia akan
bermuara. Kejelasan tentang sejauh mana hukum (pidana) positif memberikan
regulasi/pengaturan terhadap persoalan euthanasia akan sangat membantu masyarakat di
dalam menyikapi persoalan tersebut. Lebih- lebih di tengah kebingungan kultural karena
munculnya pro dan kontra tentang legalitasnya.

Patut menjadi catatan, bahwa secara yuridis formal dalam hukum pidana positif di
Indonesia hanya dikenal satu bentuk euthanasia, yaitu euthanasia yang dilakukan atas
permintaan pasien/korban itu sendiri (voluntary euthanasia) sebagaimana secara eksplisit
diatur dalam Pasal 344 KUHP. Pasal 344 KUHP secara tegas menyatakan, “Barang siapa
merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan
dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”.

Bertolak dari ketentuan Pasal 344 KUHP tersebut tersimpul, bahwa pembunuhan atas
permintaan korban sekalipun tetap diancam pidana bagi pelakunya. Dengan demikian,
dalam konteks hukum positif di Indonesia euthanasia tetap dianggap sebagai perbuatan
yang dilarang. Dengan demikian dalam konteks hukum positif di Indonesia, tidak
dimungkinkan dilakukan “pengakhiran hidup seseorang” sekalipun atas permintaan orang
itu sendiri. Perbuatan tersebut tetap dikualifikasi sebagai tindak pidana, yaitu sebagai
perbuatan yang diancam dengan pidana bagi siapa yang melanggar larangan tersebut.
Mengacu pada ketentuan tersebut di atas, maka munculnya kasus permintaan tindakan
medis untuk mengakhiri kehidupan yang muncul akhir-akhir ini (kasus Hasan Kesuma
yang mengajukan suntik mati untuk istrinya, Ny. Agian dan terakhir kasus Rudi Hartono
yang mengajukan hal yang sama untuk istrinya, Siti Zulaeha) perlu dicermati secara
hukum. Kedua kasus ini secara konseptual dikualifikasi sebagai non voluntary
euthanasia, tetapi secara yuridis formal (dalam KUHP) dua kasus ini tidak bisa
dikualifikasi sebagai euthanasia sebagaimana diatur dalam Pasal 344 KUHP.

Secara yuridis formal kualifikasi (yang paling mungkin) untuk kedua kasus ini adalah

pembunuhan biasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 338 KUHP, atau pembunuhan
berencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 340 KUHP. Dalam ketentuan Pasal 338
KUHP secara tegas dinyatakan, “ Barang siapa sengaja merampas nyawa orang lain
diancam, karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”.

Sementara dalam ketentuan Pasal 340 KUHP dinyatakan, “ Barang siapa dengan sengaja
dan dengan rencana lebih dulu merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan
berencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu
tertentu paling lama dua puluh tahun”.

Di luar dua ketentuan di atas juga terdapat ketentuan lain yang dapat digunakan untuk
menjerat pelaku euthanasia, yaitu ketentuan Pasal 356 (3) KUHP yang juga mengancam
terhadap “Penganiayaan yang dilakukan dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi
nyawa dan kesehatan untuk dimakan atau diminum”.

Kode Etik Kedokteran Indonesia

Dalam KODEKI pasal 2 dijelaskan bahwa: “seorang dokter harus senantiasa berupaya
melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi tertinggi”. Jelasnya bahwa
seorang dokter dalam melakukan kegiatan kedokterannya sebagai seorang profesi dokter
harus sesuai dengan ilmu kedokteran mutakhir, hukum dan agama.
KODEKI pasal 7d juga menjelaskan bahwa “setiap dokter harus senantiasa mengingat
akan kewajiban melindungi hidup insani”. Artinya dalam setiap tindakan dokter harus
bertujuan untuk memelihara kesehatan dan kebahagiaaan manusia. Jadi dalam
menjalankan profesinya seorang dokter tidak boleh melakukan:

1. Menggugurkan kandungan (Abortus Provocatus),


2. Mengakhiri kehidupan seorang pasien yang menurut ilmu dan pengetahuan tidak
mungkin
akan sembuh lagi (euthanasia)
Mengenai euthanasia, dapat digunakan dalam tiga arti :
1. Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan, buat yang
beriman dengan nama Allah di bibir
2. Waktu hidup akan berakhir (sakaratul maut) penderitaan pasien diperingan dengan
memberikan obat penenang
3. Mengakhiri penderitaan dari seorang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien
sendiri
dan keluarganya

Adapun unsur-unsur dalam pengertian euthanasia dalam pengertian diatas adalah:


1. Berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu
2. Mengakhiri hidup, mempercepat kematian, atau tidak memperpanjang hidup pasien
3. Pasien menderita suatu penyakit yang sulit untuk disembuhkan
4. Atas permintaan pasien dan keluarganya
5. Demi kepentingan pasien dan keluarganya.

Euthanasia Dalam Perspektif Medis

Dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang medik, kehidupan seorang
pasien bisa diperpanjang dan hal ini sering kali membuat para dokter dihadapkan pada
sebuah dilema untuk memberikan bantuan tersebut apa tidak dan jika sudah terlanjur
diberikan bolehkah untuk dihentikan.
Tugas seorang dokter adalah untuk menolong jiwa seorang pasien, padahal jika dilihat
lagi hal itu sudah tidak bisa dilanjutkan lagi dan jika hal itu diteruskan maka kadang akan
menambah penderitaan seorang pasien. Nah, penghentian pertolongan tersebut
merupakan salah satu bentuk euthanasia.

Berdasarkan pada cara terjadinya, ilmu pengetahuan membedakan kematian kedalam tiga
jenis:
1. Orthothansia, merupakan kematian yang terjadi karena proses alamiah
2. Dysthanasia, adalah kematian yang terjadi secara tidak wajar

3. Euthanasia, adalah kematian yang terjadi dengan pertolongan atau tidak dengan
pertolongan dokter

Pengertian euthanasia ialah tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja


tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si
sakit, baik dengan cara positif maupun negatif, dan biasanya tindakan ini dilakukan oleh
kalangan medis.

Sehingga dengan hal demikian akan muncul yang namanya euthanasia positif dan
euthanasia
negatif. Berikut adalah contoh-contoh tersebut:

1. Seseorang yang sedang menderita kanker ganas atau sakit yang mematikan, yang
sebenarnya dokter sudah tahu bahwa seseorang tersebut tidak akan hidup lama lagi.
Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya
dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi justru menghentikan pernapasannya sekaligus

2. Seperti yang dialami oleh Nyonya Agian (istri hasan) yang mengalami koma selama tiga

bulan dan dalam hidupnya membutuhkan alat bantu pernafasan. Sehingga dia akan bisa
melakukan pernafasan dengan otomatis dengan bantuan alat pernafasan. Dan jika alat
pernafasan tersebut di cabut otomatis jantungnya akan behenti memompakan darahnya
keseluruh tubuh, maka tanpa alat tersebut pasien tidak akan bisa hidup. Namun, ada yang
menganggap bahwa orang sakit seperti ini sebagai "orang mati" yang tidak mampu
melakukan aktivitas. Maka memberhentikan alat pernapasan itu sebagai cara yang positif
untuk memudahkan proses kematiannya.

Hal tersebut adalah contoh dari euthanasia positif yang dilakukan secara aktif oleh medis.
Berbeda dengan euthanasia negatif yang dalam proses tersebut tidak dilakukan tindakan
secara aktif (medis bersikap pasif) oleh seorang medis dan contohnya sebagai berikut:

1. Penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang sudah dalam keadaan koma,
disebabkan benturan pada bagian kepalanya atau terkena semacam penyakit pada otak
yang tidak ada harapan untuk sembuh. Atau orang yang terkena serangan penyakit paru-
paru yang jika tidak diobati (padahal masih ada kemungkinan untuk diobati) akan dapat
mematikan penderita. Dalam hal ini, jika pengobatan terhadapnya dihentikan akan dapat
mempercepat kematiannya.

2. Seorang anak yang kondisinya sangat buruk karena menderita kelumpuhan tulang belakang
atau kelumpuhan otak. Dalam keadaan demikian ia dapat saja dibiarkan (tanpa diberi
pengobatan) apabila terserang penyakit paru-paru atau sejenis penyakit otak, yang
mungkin akan dapat membawa kematian anak tersebut.

Dari contoh tersebut, "penghentian pengobatan" merupakan salah satu bentuk euthanasia
negatif. Menurut gambaran umum, anak-anak yang menderita penyakit seperti itu tidak
berumur panjang, maka menghentikan pengobatan dan mempermudah kematian secara
pasif (euthanasia negatif) itu mencegah perpanjangan penderitaan si anak yang sakit atau
kedua orang tuanya.

Eutanasia menurut ajaran agama


Dalam ajaran gereja Katolik Roma

Sejak pertengahan abad ke-20, gereja Katolik telah berjuang untuk memberikan
pedoman sejelas mungkin mengenai penanganan terhadap mereka yang menderita sakit
tak tersembuhkan, sehubungan dengan ajaran moral gereja mengenai eutanasia dan
sistem penunjang hidup. Paus Pius XII, yang tak hanya menjadi saksi dan mengutuk
program-program egenetika dan eutanasia Nazi, melainkan juga menjadi saksi atas
dimulainya sistem-sistem modern penunjang hidup, adalah yang pertama menguraikan
secara jelas masalah moral ini dan menetapkan pedoman. Pada tanggal 5 Mei tahun
1980 , kongregasi untuk ajaran iman telah menerbitkan Dekalarasi tentang eutanasia
("Declaratio de euthanasia")yang menguraikan pedoman ini lebih lanjut, khususnya
dengan semakin meningkatnya kompleksitas sistem-sistem penunjang hidup dan
gencarnya promosi eutanasia sebagai sarana yang sah untuk mengakhiri hidup. Paus
Yohanes Paulus II, yang prihatin dengan semakin meningkatnya praktek eutanasia,
dalam ensiklik Injil Kehidupan (Evangelium Vitae) nomor 64 yang memperingatkan kita
agar melawan "gejala yang paling mengkhawatirkan dari `budaya kematian' dimana
jumlah orang-orang lanjut usia dan lemah yang meningkat dianggap sebagai beban yang
mengganggu." Paus Yohanes Paulus II juga menegaskan bahwa eutanasia merupakan
tindakan belas kasihan yang keliru, belas kasihan yang semu: "Belas kasihan yang sejati
mendorong untuk ikut menanggung penderitaan sesama. Belas kasihan itu tidak
membunuh orang, yang penderitaannya tidak dapat kita tanggung" (Evangelium Vitae,
nomor 66)

Dalam ajaran agama Hindu

Pandangan agama Hindu terhadap euthanasia adalah didasarkan pada ajaran tentang
karma, moksa dan ahimsa.

Karma adalah merupakan suatu konsekwensi murni dari semua jenis kehendak dan
maksud perbuatan, yang baik maupun yang buruk, lahir atau bathin dengan pikiran kata-
kata atau tindakan. Sebagai akumulasi terus menerus dari "karma" yang buruk adalah
menjadi penghalang "moksa" yaitu suatu ialah kebebasan dari siklus reinkarnasi yang
menjadi suatu tujuan utama dari penganut ajaran Hindu.

Ahimsa adalah merupakan prinsip "anti kekerasan" atau pantang menyakiti siapapun
juga.

Bunuh diri adalah suatu perbuatan yang terlarang di dalam ajaran Hindu dengan
pemikiran bahwa perbuatan tersebut dapat menjadi suatu factor yang mengganggu pada
saat reinkarnasi oleh karena menghasilkan "karma" buruk. Kehidupan manusia adalah
merupakan suatu kesempatan yang sangat berharga untuk meraih tingkat yang lebih baik
dalam kehidupan kembali.

Berdasarkan kepercayaan umat Hindu, apabila seseorang melakukan bunuh diri, maka
rohnya tidak akan masuk neraka ataupun surga melainkan tetap berada didunia fana
sebagai roh jahat dan berkelana tanpa tujuan hingga ia mencapai masa waktu dimana
seharusnya ia menjalani kehidupan (Catatan : misalnya umurnya waktu bunuh diri 17
tahun dan seharusnya ia ditakdirkan hidup hingga 60 tahun maka 43 tahun itulah rohnya
berkelana tanpa arah tujuan), setelah itu maka rohnya masuk ke neraka menerima
hukuman lebih berat dan akhirnya ia akan kembali ke dunia dalam kehidupan kembali
(reinkarnasi) untuk menyelesaikan "karma" nya terdahulu yang belum selesai dijalaninya
kembali lagi dari awal
Dalam ajaran agama Buddha

Ajaran agama Buddha sangat menekankan kepada makna dari kehidupan dimana
penghindaran untuk melakukan pembunuhan makhluk hidup adalah merupakan salah
satu moral dalam ajaran Budha. Berdasarkan pada hal tersebut di atas maka nampak jelas
bahwa euthanasia adalah sesuatu perbuatan yang tidak dapat dibenarkan dalam ajaran
agama Budha. Selain daripada hal tersebut, ajaran Budha sangat menekankan pada
"welas asih" ("karuna")

Mempercepat kematian seseorang secara tidak alamiah adalah merupakan pelanggaran


terhadap perintah utama ajaran Budha yang dengan demikian dapat menjadi "karma"
negatif kepada siapapun yang terlibat dalam pengambilan keputusan guna memusnahkan
kehidupan seseorang tersebut.

Dalam ajaran Islam

Seperti dalam agama-agama Ibrahim lainnya (Yahudi dan Kristen), Islam mengakui hak
seseorang untuk hidup dan mati, namun hak tersebut merupakan anugerah Allah kepada
manusia. Hanya Allah yang dapat menentukan kapan seseorang lahir dan kapan ia mati
(QS 22: 66; 2: 243). Oleh karena itu, bunuh diri diharamkan dalam hukum Islam
meskipun tidak ada teks dalam Al Quran maupun Hadis yang secara eksplisit melarang
bunuh diri. Kendati demikian, ada sebuah ayat yang menyiratkan hal tersebut, "Dan
belanjakanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri
ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-
orang yang berbuat baik." (QS 2: 195), dan dalam ayat lain disebutkan, "Janganlah
engkau membunuh dirimu sendiri," (QS 4: 29), yang makna langsungnya adalah
"Janganlah kamu saling berbunuhan." Dengan demikian, seorang Muslim (dokter) yang
membunuh seorang Muslim lainnya (pasien) disetarakan dengan membunuh dirinya
sendiri.

Eutanasia dalam ajaran Islam disebut qatl ar-rahmah atau taisir al-maut (eutanasia),
yaitu suatu tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan
sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik dengan
cara positif maupun negatif.

Pada konferensi pertama tentang kedokteran Islam di Kuwait tahun 1981, dinyatakan
bahwa tidak ada suatu alasan yang membenarkan dilakukannya eutanasia ataupun
pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing) dalam alasan apapun juga .[26]
Eutanasia positif

Yang dimaksud taisir al-maut al-fa'al (eutanasia positif) ialah tindakan memudahkan
kematian si sakit—karena kasih sayang—yang dilakukan oleh dokter dengan
mempergunakan instrumen (alat).

Memudahkan proses kematian secara aktif (eutanasia positif)adalah tidak diperkenankan


oleh syara'. Sebab dalam tindakan ini seorang dokter melakukan suatu tindakan aktif
dengan tujuan membunuh si sakit dan mempercepat kematiannya melalui pemberian obat
secara overdosis dan ini termasuk pembunuhan yang haram hukumnya, bahkan termasuk
dosa besar yang membinasakan.

Perbuatan demikian itu adalah termasuk dalam kategori pembunuhan meskipun yang
mendorongnya itu rasa kasihan kepada si sakit dan untuk meringankan penderitaannya.
Karena bagaimanapun si dokter tidaklah lebih pengasih dan penyayang daripada Yang
Menciptakannya. Karena itu serahkanlah urusan tersebut kepada Allah Ta'ala, karena
Dia-lah yang memberi kehidupan kepada manusia dan yang mencabutnya apabila telah
tiba ajal yang telah ditetapkan-Nya.

Eutanasia negatif

Eutanasia negatif disebut dengan taisir al-maut al-munfa'il. Pada eutanasia negatif tidak
dipergunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan si sakit,
tetapi ia hanya dibiarkan tanpa diberi pengobatan untuk memperpanjang hayatnya. Hal
ini didasarkan pada keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan itu tidak ada
gunanya dan tidak memberikan harapan kepada si sakit, sesuai dengan sunnatullah
(hukum Allah terhadap alam semesta) dan hukum sebab-akibat.

Di antara masalah yang sudah terkenal di kalangan ulama syara' ialah bahwa mengobati
atau berobat dari penyakit tidak wajib hukumnya menurut jumhur fuqaha dan imam-
imam mazhab. Bahkan menurut mereka, mengobati atau berobat ini hanya berkisar pada
hukum mubah. Dalam hal ini hanya segolongan kecil yang mewajibkannya seperti yang
dikatakan oleh sahabat-sahabat Imam Syafi'i dan Imam Ahmad sebagaimana
dikemukakan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, dan sebagian ulama lagi
menganggapnya mustahab (sunnah)

Dalam ajaran gereja Ortodoks

Pada ajaran Gereja Ortodoks, gereja senantiasa mendampingi orang-orang beriman sejak
kelahiran hingga sepanjang perjalanan hidupnya hingga kematian dan alam baka dengan
doa, upacara/ritual, sakramen, khotbah, pengajaran dan kasih, iman dan pengharapan.
Seluruh kehidupan hingga kematian itu sendiri adalah merupakan suatu kesatuan dengan
kehidupan gerejawi. Kematian itu adalah sesuatu yang buruk sebagai suatu simbol
pertentangan dengan kehidupan yang diberikan Tuhan. Gereja Ortodoks memiliki
pendirian yang sangat kuat terhadap prinsip pro-kehidupan dan oleh karenanya
menentang anjuran eutanasia.
Dalam ajaran agama Yahudi

Ajaran agama Yahudi melarang eutanasia dalam berbagai bentuk dan menggolongkannya
kedalam "pembunuhan". Hidup seseorang bukanlah miliknya lagi melainkan milik dari
Tuhan yang memberikannya kehidupan sebagai pemilik sesungguhnya dari kehidupan.
Walaupun tujuannya mulia sekalipun, sebuah tindakan mercy killing ( pembunuhan
berdasarkan belas kasihan), adalah merupakan suatu kejahatan berupa campur tangan
terhadap kewenangan Tuhan.[30]

Dasar dari larangan ini dapat ditemukan pada Kitab Kejadian dalam alkitab Perjanjian
Lama Kej 1:9 yang berbunyi :" Tetapi mengenai darah kamu, yakni nyawa kamu, Aku
akan menuntut balasnya; dari segala binatang Aku akan menuntutnya, dan dari setiap
manusia Aku akan menuntut nyawa sesama manusia".[31] Pengarang buku : HaKtav
v'haKaballah menjelaskan bahwa ayat ini adalah merujuk kepada larangan tindakan
eutanasia.

Dalam ajaran Protestan

Gereja Protestan terdiri dari berbagai denominasi yang mana memiliki pendekatan yang
berbeda-beda dalam pandangannya terhadap eutanasia dan orang yang membantu
pelaksanaan eutanasia.

Beberapa pandangan dari berbagai denominasi tersebut misalnya :[33]

• Gereja Methodis (United Methodist church) dalam buku ajarannya menyatakan


bahwa : " penggunaan teknologi kedokteran untuk memperpanjang kehidupan
pasien terminal membutuhkan suatu keputusan yang dapat dipertanggung
jawabkan tentang hingga kapankah peralatan penyokong kehidupan tersebut
benar-benar dapat mendukung kesempatan hidup pasien, dan kapankah batas
akhir kesempatan hidup tersebut".

• Gereja Lutheran di Amerika menggolongkan nutrisi buatan dan hidrasi sebagai


suatu perawatan medis yang bukan merupakan suatu perawatan fundamental.
Dalam kasus dimana perawatan medis tersebut menjadi sia-sia dan memberatkan,
maka secara tanggung jawab moral dapat dihentikan atau dibatalkan dan
membiarkan kematian terjadi.

Seorang kristiani percaya bahwa mereka berada dalam suatu posisi yang unik untuk
melepaskan pemberian kehidupan dari Tuhan karena mereka percaya bahwa kematian
tubuh adalah merupakan suatu awal perjalanan menuju ke kehidupan yang lebih baik.
Lebih jauh lagi, pemimpin gereja Katolik dan Protestan mengakui bahwa apabila
tindakan mengakhiri kehidupan ini dilegalisasi maka berarti suatu pemaaf untuk
perbuatan dosa, juga dimasa depan merupakan suatu racun bagi dunia perawatan
kesehatan, memusnahkan harapan mereka atas pengobatan.

Sejak awalnya, cara pandang yang dilakukan kaum kristiani dalam menanggapi masalah
"bunuh diri" dan "pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing) adalah dari
sudut "kekudusan kehidupan" sebagai suatu pemberian Tuhan. Mengakhiri hidup dengan
alasan apapun juga adalah bertentangan dengan maksud dan tujuan pemberian tersebut.

Euthanasia menurut sosial dan ekonomi


Faktor Risiko Kanker Leher Rahim
Beberapa hal yang menurut penelitian bisa meningkatkan risiko seorang perempuan
mengidap penyakit kanker leher rahim adalah:

a. Menikah atau memulai aktivitas seksual pada usia muda (kurang dart 18 tahun)
Perkembangan modern saat ini memang bisa menunda usia pernikahan, tetapi penundaan
usia pernikahan ini tidak selalu berarti menunda usia permulaan beraktivitas seksual.
Apalagi dengan era keterbukaan sekarang ini. Diketahui bahwa sperma yang pertama kali
mengenai leher rahim mempunyai pengaruh yang besar untuk terjadinya keganasan di
daerah tersebut. Namun untunglah ada kabar gembira dart RS Kanker Dharmais.
Sekarang-berkat pelbagai informasi yang luas- para remaja putri sudah mulai menyadari
hal ini. Mereka sudah tidak segan-segan melakukan pemeriksaan (pap’s smear) di
Polildirtik RS Kanker Dharmais, meskipun belum menikah. Ini adalah hal yang baik.
Tidak malu memeriksakan diri begitu merasa memiliki faktor risiko ini, meskipun belum
menikah.

b. Hubungan seksual dengan berganti-ganti pasangan.


Banyak yang meyakini beberapa virus seperti Herpes virus tipe 2 atau Human
Papillomavirus (HPV) merupakan salah satu faktor penyebab timbulnya kanker leher
rahim. Risiko memperoleh virus ini (yang ditularkan via hubungan kelamin) tentu akan
makin meningkat seiring dengan ‘rajin’nya seseorang berganti-ganti pasangan. Jadi yang
perlu diperhatikan, jangan menganggap remeh penyakit hubungan kelamin. Memang
dengan perkembangan antibiotika yang canggih saat ini, beberapa penyakit hubungan
kelamin bisa segera diobati dengan tuntas, tapi tidak dengan penyakit yang disebabkan
oleh virus. Selain efeknya jangka panjang, penyakit akibat virus sangat sukar
disembuhkan bahkan potensial menimbulkan kanker.
Apakah ada yang bisa menjamirt pasangan Anda yang begitu macho dan simpatik, tidak
memiliki atau menjadi pembawa virus ini? Apalagi, jika pasangan Anda tersebut dikenal
sebagai orang yang setiap saat ini bisa berganti-ganti pasangan.

Pendapat ‘pasrah’ dan kaum perempuan seperti: “Biarlah is (suami) melakukan hubungan
diluar, asalkan tidak menikah”, sebaiknya perlu juga dipikirkan kembali. Masalahnya
tidak sesederhana dan sesingkat yang dikira. Suatu survai yang pernah dilakukan,
memperoleh hasil bahwa jika seorang perempuan mempunyai pasangan atau mitra
seksual sebanyak 6 orang atau lebih, risiko is menderita kanker leher rahim meningkat
menjadi hingga lebih dari 10 kali lipat.

c. Kegiatan seksual yang cukup banyak


Rangsangan terus menerus pada leher rahim, misalnya karena frekuensi ‘hubungan yang
cukup tinggi, bisa juga merupakan hal yang membahayakan. Bisa terjadi radang atau
luka, termasuk yang disebabkan oleh trikomonas vaginalis dan adanya benda-benda yang
merangsang leher rahim. Ini potensial menyebabkan kanker di kemudian hari.

d. Banyak anak
Pada mereka yang melahirkan lebih dari 3 kali, temyata menurut hasil riset, angka
kejadian kanker leher rahimnya meningkat sebanyak 3 kali pula. Selain hubungan
langsung di atas, “banyak anak” mempunyai hubungan yang tidak langsung. Saat ini bisa
dikatakan bahwa banyak anak mempunyai hubungan yang positif dengan kalangan yang
sosial ekonominya kurang memadai. Jadi jangankan dana untuk selalu memeriksakan
kesehatan sendiri, untuk kehidupan sehari-hari (bertahan hidup) pun rasanya serba
minim. Akibatnya, banyak mereka yang menderita kanker leher rahim dari kalangan ini
datang dalam stadium yang sudah lanjut dan tidak bisa disembuhkan lagi.

e. Merokok
Menurut penelitian, perempuan yang merokok (termasuk passive smoker) mempunyai
risiko dua kali lebih besar daripada perempuan tidak merokok. Apa sebabnya, masih
dalam penelitian, namun ada anggapan yang menyebutkan bahwa zat-zat yang
terkandung dalam asap rokok, seperti nikotin dan tar bisa mempengaruhi sel-sel selaput
lendir (mukosa) saluran pernapasan dan jugs saluran-saluran organ lain dalam tubuh
manusia termasuk mukosa leher rahim wanita. Jika sel-sel mukosa sudah terpengaruh,
akan mempermudah (meningkatkan risiko) mukosa leher rahim mengalami pertumbuhan
yang tidak terkontrol jika terkena rangsangan-rangsangan lainnya.

f. Lain-lain yang masih dalam penelitian


Selain kebiasaan merokok, hal-hal lain yang masih dalam penelitian adalah kebiasaan
melakukan “douching” atau cuci vagina. Berha ti-hatilah terhad ap tawaran “cuci
mencuci” seperti ird, jika tidak didukung dengan penelitian ilmiah. Secara evolusi, bagian
sensitif dan perempuan sebenamya sudah dipersiapkan secara alamiah untuk tetap sehat.
Jika ditemui permasalahan, lebih baik segera mengobati dan kemudian menjaga
kesehatan/ kebersihan alat kelamin tersebut secara natural / alamiah.

You might also like