Professional Documents
Culture Documents
di Indonesia*
oleh :
Ratu Neysa Fabiola - 208000254
Apriliana Suci - 208000103
Ai Nurhidayat - 208000032
Muhammad Fitrah - 208000214
A. Pendahuluan
Media sebagai sebuah perkembangan teknologi mengalami metamorposis baik dari segi
bentuk, fungsi dan peran. Jika manusia mengenal media cetak beberapa abad yang lalu, di abad
20 manusia mengenal media elektronik. Hingga pada akhirnya berbagai bentuk media muncul
dari yang hanya sekedar media suara, media visual, audio-visual, dan akumulasi dari semuanya.
Media mengalami konvergensi, baik itu dari segi bentuk, fungsi dan perannya.
Pada kurun waktu 1980, sebuah media baru muncul dengan fungsi yang samasekali baru,
yaitu media sebagai hiburan. Belakangan kita mengenalnya dengan Video Games.
Video games merupakan sebuah permainan dalam bentuk (media) elektronik yang
menampilkan gambar bergerak. Perkembangan selanjutnya video games memuat musik, gambar
tiga dimensi (3D), efek getar, hingga penggunaan sensor gerak.
Secara teknis, video games menggunakan interaksi dengan antarmuka pengguna melalui
gambar yang dihasilkan oleh piranti video. Permainan ini umumnya menyediakan sistem
penghargaan, misalnya skor, yang dihitung berdasarkan tingkat keberhasilan yang dicapai dalam
menyelesaikan tugas-tugas yang ada di dalam permainan. Selain itu, ada semacam hukuman,
misalnya pengurangan skor, jika melakukan kesalahan atau tidak menjalankan misi tertentu
dengan tuntas.
a. Generasi Perdana
b. Generasi Kedua
Pada tahun 1976, Fairchild mencoba menghidupkan kembali dunia video game dengan
menciptakan VES (Video Entertainment System). VES adalah mesin pertama yang disebut
”konsol”. Konsol ini menggunakan kaset magnetik yang disebut cartridge. Konsep ini kemudian
diikuti oleh beberapa produsen lain, termasuk Atari, Magnavox, dan RCA, ketiga perusahaan
tersebut juga merilis konsol serupa.
Tiga tahun berselang, tepatnya tahun 1983, dunia video game kembali ambruk. Game-game
yang kurang kreatif membuat konsol kembali mendapat sambutan dingin. Terlebih, Personal
Computer (PC) saat itu menjadi semakin canggih. PC lebih dipilih konsumen daripada konsol
video game. Selain untuk bermain, PC juga produktif untuk bekerja.
c. Generasi Ketiga
Hancurnya dunia konsol, menggugah perusahaan bernama Famicom untuk mencoba industri
videogame kembali. Perusahaan Jepang ini menciptakan gebrakan baru, sebuah konsol bernama
Famicom/Nintendo Entertainment System (NES) dirilis di akhir 1983. Konsol ini menampilkan
gambar dan animasi resolusi tinggi untuk pertama kalinya.
d. Generasi Lanjutan
Generasi Lanjutan ini merupakan perjalanan persaingan produsen video game yang diawali
sejak tahun 1988 hingga 2006. Mulai dari 1990 sampai 1994, Sega dan Nintendo tetap bersaing.
Berbagai game fenomenal dirilis. SNES menyertakan chip Super FX pada cartridge mereka, dan
Sega menggunakan Sega Virtua Processor, keduanya bertujuan untuk meningkatkan kualitas
grafis dari game.
Pada tahun 1993, sebuah perusahaan ternama, Panasonic, merilis konsolnya yang bernama
Panasonic 3DO. Ini adalah konsol pertama yang menggunakan CD sebagai pengganti cartridge.
Harganya yang sangat mahal membuat konsol ini tidak populer, 3DO tidak bertahan lama dan
harus segera menghentikan produksinya.
Konsol basis CD yang pertama kali menuai sukses adalah Sony PlayStation. Konsol Jepang
ini segera mendapat sambutan hangat, dan hingga saat ini, PlayStation sudah terjual ratusan juta
unit. PlayStation yang juga disebut PS-One merupakan konsol terlaris sepanjang masa. Sony
Perkembangan game yang paling utama memang terletak pada grafis. Dengan
perkembangan grafis, tentu saja games semakin mampu menampilkan permainan yang
menyenangkan. Salah satunya karena karakter yang semakin kaya animasi dan dunia permainan
yang semakin (terlihat) realistis. Untuk segi teknis, tentunya yang paling signifikan adalah media
game. Mulai dari generasi awal, menggunakan cartridge, CD, Blu-Ray dan tentu saja,
menggunakan seperangkat teknologi dalam internet.
Perkembangan video games setelah terintegrasi dengan internet menjadi lebih beragam.
Karena kemudahan akses penggunaan dan penyebaran melalui internet, ragam video games
muncul dari yang paling sederhana hingga yang paling rumit. Beberapa contoh akan dibahas
selanjutnya.
3. Di Indonesia
Seperti perkembangan video games dunia, Indonesia menjadi lahan subur pengguna video
games. Sebelum internet muncul, nyaris pengguna video games di Indonesia hanya sekedar
mengonsumsi. Berbeda hal saat munculnya internet dan berkembangnya teknologi dalam bidang
komputer. Perlahan banyak pengguna yang beralih menjadi produsen games.
Teknologi terkini mendukung para gamers atau pengguna video games tersambung dengan
pengguna dari seluruh daerah di lintas Negara. Dengan munculnya permainan baru yang lebih
mutahir, video games semakin memanjakan para pengguna. Pada saat itu, video games bukan
hanya berfungsi sebagai alat hiburan, melainkan alat mencari keuntungan yaitu dengan
memenangkan berbagai kompetisi dan berjudi.
Salah satu fenomena yang menarik di Indonesia adalah, video games lebih banyak
dimainkan di warung internet (warnet). Maraknya warnet juga menambah semaraknya para
pengguna games yang perlahan berpindah dari mainan seperti Play Station menjadi Game
Online. Fenomena ini menjadi sangat menarik untuk dikaji. Terlebih, sebagian besar warnet
menjadi tempat bermain baru anak-anak usia dini.
Jika melihat perkembangan lain seperti yang terjadi dengan teknologi I-phon dan I-pod
games di Indonesia, juga dunia, menjadi lebih praktis dan semakin mobile. Inilah jelas
menunjukan video games tak bisa lepas dari perkembangan teknologi dan perlahan berubah
fungsi. Sejak dipakai sebagai permainan sampingan, permainan candu, lahan pekerjaan,
perjudian hingga “adu gengsi”, video games di Indonesia khususnya menjadi semakin
terintegrasi dengan manusia dan menyisakan banyak dampak.
Keberadaan dua jenis permainan dalam video games tersebut perlahan-lahan menjadi media
pembelajaran masyarakat dan mengancam nilai yang sudah barangtentu berbeda dengan apa
yang digambarkan dalam games. Mau tidak mau, perspektif ini melihat dari unsure benar-
tidaknya nilai yang menjadi pembelajaran tersebut.
Berikutnya perspektif feminis. Melalui pendekatan feminis, video games khususnya yang
memuat unsure pornografi dilihat setidaknya terkait soal seksualisasi perempuan, diskriminasi
terhadap perempuan dan cara pandang sosial terhadap perempuan dimana perempuan diposisikan
sebagai objek.
Perspektif feminis membantu dalam mewaspadai dampak video games dalam hal
mengajarkan, atau memberikan pedoman perlakuan terhadap perempuan yang keliru. Pandangan
ini tidak berhenti disana, ia juga bisa menjadi titik tolak analisa atas citra, atau image yang
digunakan dan senyatanya merugikan perempuan. Sekali lagi, “Rapelay” salah satu contohnya
berada di dalamnya.
Perspektif Liberal, pendekatan yang digunakan dalam menganalisa atau membedah kasus
video games tertentu paling tidak memiliki sudut pandang yang kontras. Menurut perspektif
liberal, video games menjadi sarana pembelajaran (sosial learning) sekaligus menjadi petunjuk
hal-hal yang selama ini tidak Nampak dalam kacamata sosial.
Perspektif liberal lebih memilih mana yang terbaik dari keberadaan video ini. Misalnya,
video games yang mengandung unsure pornografi bisa menjadi semacam katarsis atau pelarian
dari dunia yang sesungguhnya. Pandangan seperti ini meluas hingga memosisikan video games
sebagai obat sosial, alat pembelajaran, sekaligus terapi bagi yang bermasalah dengan urusan
seksual.
The liberal perspective focuses on the therapeutic aspects of sexually explicit
media content. Sexual materials have been used successfully in therapy with
adolescents, medical students, physically disabled adults, and sexually
dysfunctional people (Yaffe, 1982). 2
Demikian beberapa pandangan yang bisa membantu dalam menganalisa keberadaan video
games dalam masyarakat.
1
Media effects and society/Elizabeth M.Perse. Taylor & Francis e-Library, 2008. Hlm 228
2
Media effects and society/Elizabeth M.Perse. Taylor & Francis e-Library, 2008. Hlm 232
Efek langsung penggunaan video games memang tidak terjadi. Justru efek yang tidak
langsunglah yang berbahaya. Jika dalam video games itu menampilkan hal-hal yang bersifat
kekerasan, mereka membuka kesempatan untuk balas dendam terhadap lawan, untuk
mempraktekkan cara agresif untuk merespon konflik dan melakukan agresi. Dalam terma
praktis, ini berarti bahwa ketika dilecehkan di sekolah misalnya, anak melihat itu sebagai
perilaku permusuhan dan beraksi lebih agresif untuk menanggapinya.
3. Agresi Sosial
Teori Kultivasi menyatakan bahwa para pecandu (heavy gamers) game membangun
keyakinan yang berlebihan bahwa “dunia itu sangat menyenangkan ataupun menyeramkan” . Hal
Kekuatan tersebut berasal dari kemampuan game melalui berbagai simbol memberikan
berbagai gambaran yang terlihat nyata dan penting seperti sebuah kehidupan sehari-hari. Game
juga mampu mempengaruhi pemainnya, sehingga apa yang ditampilkan dipandang sebagai
sebuah kehidupan yang nyata, kehidupan sehari-hari. Realitas yang tampil di media dipandang
sebagai sebuah realitas objektif.
Menurut pemerhati sosial Yasraf A. Piliang dalam Transpolitika, hal ini disebabkan oleh
adanya realitas buatan yang saat ini menggeser peran realitas yang secara alami terbentuk.
Realitas buatan atau ready-made reality adalah citra atau image hasil buatan manusia untuk
berbagai keperluan (ekonomi, politik, sosial, budaya). Realitas semu inilah yang banyak
terkandung dalam berbagai media saat ini seperti televisi, film, video game, internet, surat kabar,
dan sejenisnya.
Media massa dapat menimbulkan efek peniruan atau imitasi, khususnya yang menyangkut
kejahatan, bertolak dari besarnya kemungkinan atau potensi pada tiap anggota masyarakat untuk
meniru apa-apa yang ia peroleh dari media massa. Kemudahan isi media massa untuk dipahami
memungkinkan khalayak untuk mengetahui isi media massa dan kemudian dipengaruhi oleh isi
media tersebut.
Perilaku khalayak jelas amat dipengaruhi oleh media massa, hal ini dapat kita lihat dalam
kehidupan sehari-hari. Sebenarnya isi media massa dapat memberikan dua pengaruh pada
khalayak. Isi media massa yang disukai khalayak cenderung akan ditiru oleh masyarakat,
sebaliknya bila isi media massa itu tidak disukai khalayak, maka khalayak pun akan cenderung
untuk menghindarinya.
Miller dan Dollard (1941) memerinci kerangka teori tentang instrumental conditioning dan
mengemukakan :
Berkat teori-teori tersebut terdapatlah titik terang bahwa video game yang bersifat violent
dan sexual explicit di masa modern ini bagi pecandu nya mau tidak mau menjadi sumber
peniruan sekaligus sumber inspirasi untuk melakukan tindakan-tindakan yang bersifat
penyerangan,melukai atau kekerasan dalam lingkup sosial (agresi sosial).
…. * ….
1. Pada 2008 Manhunt 2 dilarang beredar karena konten sadisme yang ditampilkannya.
Rockstar selaku pengembang sempat merilis versi revisinya, namun, tetap dilarang.
diperjualbelikan. Jauh sebelumnya, padda 2004, Manhunt pertama menjadi berita utama
koran-koran Inggris menyusul tewasnya seorang siswa 14 tahun akibat ditikam dan
dipukul di Leicester, kota Inggris tengah timur. Orang tua korban merasa yakin
pembunuhnya memperoleh ilham dari game itu, kendatipun polisi dan pengacara
menjelaskan tak ada bukti game itu memainkan peran dalam pembunuhan tersebut. Game
ini dilarang di tujuh negara, termasuk Jerman, Inggris dan Irlandia
2. Postal, game yang mengusung genre 'first-person shooter' menampilak sejumlah adegan
yang mengerikan. Gamer diajak untuk menembaki sejumlah pekerja dan warga sipil yang
dikisahkan sedang 'mengamuk' di sebuah wilayah berlatar belakang Irlandia. Digamarkan
warga sipil dan pemberontak sedang menggenjot produksi obat terlarang untuk keperluan
terorisme. teroris game ini dilarang di 13 negara termasuk Australia, Selandia Baru dan
Swedia
3. GTA,San Andreas,Game ini dilarang di Australia dan AS dan selalu menjadi kontroversi.
Meski game ini cukup canggih dengan menggunakan perspektif Google Maps, tema inti
dari game ini dianggap mengajarkan perampokan, kekerasan dan narkoba. Bahkan dalam
seri GTA: San Andreas, fitur game ini menghadirkan sebuah game mini yang bertajuk
Hot Coffee. Dalam game mini itu terdapat adegan antara dua karakter game yang sedang
melakukan hubungan seksual. Sontak, tim sensor gaung me-rating game tersebut.
Keterangan lebih lengkap ada di bawah
4. Bully, Dilarang di Brazil, Inggris dan Amerika Serikat. Game ini dianggap mengajak
anak-anak sekolah untuk berbuat keonaran di sekolah dan dianggap dapat merusak moral
generasi muda.
6. Mortal Combat, Brazil dan Jerman melarang perdaran game ini karena game pertarungan
tersebut kerap menampilkan darah berlebihan. Sejak tahun 1992, seri Mortal Kombat
telah membawa kontroversi untuk game. Bahkan Entertainment Software Rating Board
(ESRB) akhirnya mengharuskan semua permainan video untuk dinilai dan diberi label
peringatan pada kemasan game '
7. Pada tahun 1997, Carmageddon dinilai telah menyimpang di mana menampilkan gambar-
gambar kekerasan yang berlebihan. Fantasi-fantasi kekerasan yang dimunculkan
membuat game ini dilarang di Brasil, Jerman dan Inggris