You are on page 1of 10

Nama: Ghiyats taufik

KLs :XII ips q


Biografi Raden Saleh

Category: Books
Genre: Biographies & Memoirs
Author: Wikipedia Indonesia
Masa kecil

Ibunya bernama Mas Adjeng Zarip Hoesen, tinggal di daerah Terbaya, dekat Semarang. Sejak usia 10
tahun, ia diserahkan pamannya, Bupati Semarang, kepada orang-orang Belanda atasannya di Batavia.
Kegemaran menggambar mulai menonjol sewaktu bersekolah di sekolah rakyat (Volks-School).

Keramahannya bergaul memudahkannya masuk ke lingkungan orang Belanda dan lembaga-lembaga


elite Hindia-Belanda. Seorang kenalannya, Prof. Caspar Reinwardt, pendiri Kebun Raya Bogor sekaligus
Direktur Pertanian, Kesenian, dan Ilmu Pengetahuan untuk Jawa dan pulau sekitarnya, menilainya
pantas mendapat ikatan dinas di departemennya. Kebetulan di instansi itu ada pelukis keturunan Belgia,
A.A.J. Payen yang didatangkan dari Belanda untuk membuat lukisan pemandangan di Pulau Jawa untuk
hiasan kantor Departemen van Kolonieen di Belanda. Payen tertarik pada bakat Raden Saleh dan
berinisiatif memberikan bimbingan.

Payen memang tidak menonjol di kalangan ahli seni lukis di Belanda, namun mantan mahaguru Akademi
Senirupa di Doornik, Belanda, ini cukup membantu Raden Saleh mendalami seni lukis Barat dan belajar
teknik pembuatannya, misalnya melukis dengan cat minyak. Payen juga mengajak pemuda Saleh dalam
perjalanan dinas keliling Jawa mencari model pemandangan untuk lukisan. Ia pun menugaskan Raden
Saleh menggambar tipe-tipe orang Indonesia di daerah yang disinggahi.

Terkesan dengan bakat luar biasa anak didiknya, Payen mengusulkan agar Raden Saleh bisa belajar ke
Belanda. Usul ini didukung oleh Gubernur Jenderal Van Der Capellen yang memerintah waktu itu (1819-
1826), setelah ia melihat karya Raden Saleh.

Tahun 1829, nyaris bersamaan dengan patahnya perlawanan Pangeran Diponegoro oleh Jenderal de
Kock, Capellen membiayai Saleh belajar ke Belanda. Namun, keberangkatannya itu menyandang misi
lain. Dalam surat seorang pejabat tinggi Belanda untuk Departemen van Kolonieen tertulis, selama
perjalanan ke Belanda Raden Saleh bertugas mengajari Inspektur Keuangan Belanda de Linge tentang
adat-istiadat dan kebiasaan orang Jawa, bahasa Jawa, dan bahasa Melayu. Ini menunjukkan kecakapan
lain Raden Saleh.
[sunting]

Belajar ke Eropa

Semasa belajar di Belanda keterampilannya berkembang pesat. Wajar ia dianggap saingan berat
sesama pelukis muda Belanda yang sedang belajar. Para pelukis muda itu mulai melukis bunga. Lukisan
bunga yang sangat mirip aslinya itu pun diperlihatkan ke Raden Saleh. Terbukti, beberapa kumbang serta
kupu-kupu terkecoh untuk hinggap di atasnya. Seketika keluar berbagai kalimat ejekan dan cemooh.
Merasa panas dan terhina, diam-diam Raden saleh menyingkir.

Ketakmunculannya selama berhari-hari membuat teman-temannya cemas. Muncul praduga, pelukis


Indonesia itu berbuat nekad karena putus asa. Segera mereka ke rumahnya dan pintu rumahnya terkunci
dari dalam. Pintu pun dibuka paksa dengan didobrak. Tiba-tiba mereka saling jerit. "Mayat Raden Saleh"
terkapar di lantai berlumuran darah. Dalam suasana panik Raden Saleh muncul dari balik pintu lain.
"Lukisan kalian hanya mengelabui kumbang dan kupu-kupu, tetapi gambar saya bisa menipu manusia",
ujarnya tersenyum. Para pelukis muda Belanda itu pun kemudian pergi.

Itulah salah satu pengalaman menarik Raden Saleh sebagai cermin kemampuannya. Dua tahun pertama
ia pakai untuk memperdalam bahasa Belanda dan belajar teknik mencetak menggunakan batu.
Sedangkan soal melukis, selama lima tahun pertama, ia belajar melukis potret dari Cornelius Krussemen
dan tema pemandangan dari Andreas Schelfhout karena karya mereka memenuhi selera dan mutu rasa
seni orang Belanda saat itu. Krusseman adalah pelukis istana yang kerap menerima pesanan pemerintah
Belanda dan keluarga kerajaan.

Raden Saleh makin mantap memilih seni lukis sebagai jalur hidup. Ia mulai dikenal, malah
berkesempatan berpameran di Den Haag dan Amsterdam. Melihat lukisan Raden Saleh, masyarakat
Belanda terperangah. Mereka tidak menyangka seorang pelukis muda dari Hindia dapat menguasai
teknik dan menangkap watak seni lukis Barat.

Saat masa belajar di Belanda usai, Raden Saleh mengajukan permohonan agar boleh tinggal lebih lama
untuk belajar "wis-, land-, meet- en werktuigkunde (ilmu pasti, ukur tanah, dan pesawat), selain melukis.
Dalam perundingan antara Minister van Kolonieen, Raja Willem I (1772-1843), dan pemerintah Hindia
Belanda, ia boleh menangguhkan kepulangan ke Indonesia. Tapi beasiswa dari kas pemerintah Belanda
dihentikan.

Saat pemerintahan Raja Willem II (1792-1849) ia mendapat dukungan serupa. Beberapa tahun kemudian
ia dikirim ke luar negeri untuk menambah ilmu, misalnya Dresden, Jerman. Di sini ia tinggal selama lima
tahun dengan status tamu kehormatan Kerajaan Jerman, dan diteruskan ke Weimar, Jerman (1843). Ia
kembali ke Belanda tahun 1844. Selanjutnya ia menjadi pelukis istana kerajaan Belanda.

Wawasan seninya pun makin berkembang seiring kekaguman pada karya tokoh romantisme Eugene
Delacroix (1798-1863), pelukis Perancis legendaris. Ia pun terjun ke dunia pelukisan hewan yang
dipertemukan dengan sifat agresif manusia. Mulailah pengembaraannya ke banyak tempat, untuk
menghayati unsur-unsur dramatika yang ia cari.

Saat di Eropa, ia menjadi saksi mata revolusi Februari 1848 di Paris, yang mau tak mau mempengaruhi
dirinya. Dari Perancis ia bersama pelukis Prancis kenamaan, Horace Vernet, ke Aljazair untuk tinggal
selama beberapa bulan di tahun 1846. Di kawasan inilah lahir ilham untuk melukis kehidupan satwa di
padang pasir. Pengamatannya itu membuahkan sejumlah lukisan perkelahian satwa buas dalam bentuk
pigura-pigura besar. Negeri lain yang ia kunjungi: Austria dan Italia. Pengembaraan di Eropa berakhir
tahun 1851 ketika ia pulang ke Hindia bersama istrinya, wanita Belanda yang kaya raya.
[sunting]
Kembali ke Hindia

Tak banyak catatan sepulangnya di Hindia. Ia dipercaya menjadi konservator pada "Lembaga Kumpulan
Koleksi Benda-benda Seni". Beberapa lukisan potret keluarga keraton dan pemandangan menunjukkan
ia tetap berkarya. Yang lain, ia bercerai dengan istri terdahulu lalu menikahi gadis keluarga ningrat
keturunan Keraton Solo.

Di Batavia ia tinggal di vila di sekitar Cikini. Gedungnya dibangun sendiri menurut teknik sesuai dengan
tugasnya sebagai seorang pelukis. Sebagai tanda cinta terhadap alam dan isinya, ia menyerahkan
sebagian dari halamannya yang sangat luas pada pengurus kebun binatang. Kini kebun binatang itu
menjadi Taman Ismail Marzuki. Sementara rumahnya menjadi RS Cikini, Jakarta.

Tahun 1875 ia berangkat lagi ke Eropa bersama istrinya dan baru kembali ke Jawa tahun 1878.
Selanjutnya, ia menetap di Bogor sampai wafatnya pada 23 April 1880 siang hari, konon karena diracuni
pembantu yang dituduh mencuri lukisannya. Namun dokter membuktikan, ia meninggal karena trombosis
atau pembekuan darah.

Tertulis pada nisan makamnya di Bondongan, Bogor, "Raden Saleh Djoeroegambar dari Sri Padoeka
Kandjeng Radja Wolanda". Kalimat di nisan itulah yang sering melahirkan banyak tafsir yang memancing
perdebatan berkepanjangan tentang visi kebangsaan Raden Saleh.
[sunting]

Lukisan

Tokoh romantisme Delacroix dinilai mempengaruhi karya-karya berikut Raden Saleh yang jelas
menampilkan keyakinan romantismenya. Saat romantisme berkembang di Eropa di awal abad 19, Raden
Saleh tinggal dan berkarya di Perancis (1844 - 1851).

Ciri romantisme muncul dalam lukisan-lukisan Raden Saleh yang mengandung paradoks. Gambaran
keagungan sekaligus kekejaman, cerminan harapan (religiusitas) sekaligus ketidakpastian takdir (dalam
realitas). Ekspresi yang dirintis pelukis Perancis Gerricault (1791-1824) dan Delacroix ini diungkapkan
dalam suasana dramatis yang mencekam, lukisan kecoklatan yang membuang warna abu-abu, dan
ketegangan kritis antara hidup dan mati.

Lukisan-lukisannya yang dengan jelas menampilkan ekspresi ini adalah bukti Raden Saleh seorang
romantisis. Konon, melalui karyanya ia menyindir nafsu manusia yang terus mengusik makhluk lain.
Misalnya dengan berburu singa, rusa, banteng, dll. Raden Saleh terkesan tak hanya menyerap
pendidikan Barat tetapi juga mencernanya untuk menyikapi realitas di hadapannya. Kesan kuat lainnya
adalah Raden Saleh percaya pada idealisme kebebasan dan kemerdekaan, maka ia menentang
penindasan.

Wajar bila muncul pendapat, meski menjadi pelukis kerajaan Belanda, ia tak sungkan mengkritik politik
represif pemerintah Hindia Belanda. Ini diwujudkannya dalam lukisan Penangkapan Pangeran
Diponegoro.

Meski serupa dengan karya J.W. Pieneman, ia memberi interpretasi yang berbeda. Lukisan Pieneman
menekankan peristiwa menyerahnya Pangeran Diponegoro yang berdiri dengan wajah letih dan dua
tangan terbentang. Hamparan senjata berupa sekumpulan tombak adalah tanda kalah perang. Di latar
belakang Jenderal De Kock berdiri berkacak pinggang menunjuk kereta tahanan seolah memerintahkan
penahanan Diponegoro.

Berbeda dengan versi Raden Saleh, di lukisan yang selesai dibuat tahun 1857 itu pengikutnya tak
membawa senjata. Keris di pinggang, ciri khas Diponegoro, pun tak ada. Ini menunjukkan, peristiwa itu
terjadi di bulan Ramadhan. Maknanya, Pangeran dan pengikutnya datang dengan niat baik. Namun,
perundingan gagal. Diponegoro ditangkap dengan mudah, karena jenderal De Kock tahu musuhnya tak
siap berperang di bulan Ramadhan. Di lukisan itu Pangeran Diponegoro tetap digambarkan berdiri dalam
pose siaga yang tegang. Wajahnya yang bergaris keras tampak menahan marah, tangan kirinya yang
mengepal menggenggam tasbih.

Lukisan tentang peristiwa penangkapan Pangeran Diponegoro oleh Jendral De Cock pada tahun 1830
yang terjadi di Rumah Kediaman Residen Magelang. Dalam lukisan itu tampak Raden Saleh
menggambarkan dirinya sendiri dengan sikap menghormat menyaksikan suasana tragis tersebut
bersama-sama pengikut Pangeran Diponegoro yang lain. Jendral De Cock pun kelihatan sangat segan
dan menghormat mengantarkan Pangeran Diponegoro menuju kereta yang akan membawa beliau ke
tempat pembuangan.

Pada saat penangkapan itu, beliau berada di Belanda. Setelah puluhan tahun kemudian kembali ke
Indonesia dan mencari informasi mengenai peristiwa tersebut dari kerabat Pangeran Diponegoro. Dari
usaha dan karya tersebut, tidaklah terlalu berlebihan bila beliau mendapat predikat sebagai Pahlawan
Bangsa. Akhirnya, reputasi karya yang ditunjukkan oleh prestasi artistiknya, membuat Raden Saleh
dikenang dengan rasa bangga.

Dari beberapa yang masih ada, salah satunya lukisan kepala seekor singa, kini tersimpan dengan baik di
Istana Mangkunegaran, Solo. Lukisan ini dulu dibeli seharga 1.500 gulden. Berapa nilainya sekarang
mungkin susah-susah gampang menghitungnya. Sekadar perbandingan, salah satu lukisannya yang
berukuran besar, Berburu Rusa, tahun 1996 terjual di Balai Lelang Christie's Singapura seharga Rp 5,5
miliar.
[sunting]

Peringatan dan penghargaan

Tahun 1883, untuk memperingati tiga tahun wafatnya diadakan pameran-pameran lukisannya di
Amsterdam, di antaranya yang berjudul Hutan Terbakar, Berburu Kerbau di Jawa, dan Penangkapan
Pangeran Diponegoro. Lukisan-lukisan itu dikirimkan antara lain oleh Raja Willem III dan Pangeran Van
Saksen Coburg-Gotha.

Memang banyak orang kaya dan pejabat Belanda, Belgia, serta Jerman yang mengagumi pelukis yang
semasa di mancanegara tampil unik dengan berpakaian adat ningrat Jawa lengkap dengan blangkon. Di
antara mereka adalah bangsawan Saksen Coburg-Gotha, keluarga Ratu Victoria, dan sejumlah gubernur
jenderal seperti van den Bosch, Baud, dan Daendels.

Tak sedikit pula yang menganugerahinya tanda penghargaan, yang kemudian selalu ia sematkan di
dada. Di antaranya, bintang Ridder der Orde van de Eikenkoon (R.E.K.), Commandeur met de ster der
Frans Joseph Orde (C.F.J.), Ridder der Kroonorde van Pruisen (R.K.P.), Ridder van de Witte Valk
(R.W.V.), dll.

Sedangkan penghargaan dari pemerintah Indonesia diberikan tahun 1969 lewat Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, secara anumerta berupa Piagam Anugerah Seni sebagai Perintis Seni Lukis di
Indonesia. Wujud perhatian lain adalah, pembangunan ulang makamnya di Bogor yang dilakukan oleh Ir.
Silaban atas perintah Presiden Soekarno, sejumlah lukisannya dipakai untuk ilustrasi benda berharga
negara, misalnya akhir tahun 1967, PTT mengeluarkan perangko seri Raden Saleh dengan reproduksi
dua lukisannya bergambar binatang buas yang sedang berkelahi.

Berkat Raden Saleh, Indonesia boleh berbangga melihat karya anak bangsa menerobos museum akbar
seperti Rijkmuseum, Amsterdam, Belanda, dan dipamerkan di museum bergengsi Louvre, Paris,
Perancis.
Oct 18, '06 12:58 AM
for everyone
Biografi Affandi

Category: Books
Genre: Biographies & Memoirs
Author: Wikipedia Indonesia
Biografi

Affandi dilahirkan di Cirebon pada tahun 1907, putra dari R. Koesoema, seorang mantri ukur di pabrik
gula di Ciledug. Dari segi pendidikan, ia termasuk seorang yang memiliki pendidikan formal yang cukup
tinggi. Bagi orang-orang segenerasinya, memperoleh pendidikan HIS, MULO, dan selanjutnya tamat dari
AMS, termasuk pendidikan yang hanya diperoleh oleh segelintir anak negeri. Namun, bakat seni lukisnya
yang sangat kental mengalahkan disiplin ilmu lain dalam kehidupannya, dan memang telah menjadikan
namanya tenar sama dengan tokoh atau pemuka bidang lainnya.

Pada umur 26 tahun, pada tahun 1933, Affandi menikah dengan Maryati, gadis kelahiran Bogor. Affandi
dan Maryati dikaruniai seorang putri yang nantinya akan mewarisi bakat ayahnya sebagai pelukis, yaitu
Kartika Affandi.

Sebelum mulai melukis, Affandi pernah menjadi guru dan pernah juga bekerja sebagai tukang sobek
karcis dan pembuat gambar reklame bioskop di salah satu gedung bioskop di Bandung. Pekerjaan ini
tidak lama digeluti karena Affandi lebih tertarik pada bidang seni lukis. Sekitar tahun 30-an, Affandi
bergabung dalam kelompok Lima Bandung, yaitu kelompok lima pelukis Bandung. Mereka itu adalah
Hendra Gunawan, Barli, Sudarso, dan Wahdi serta Affandi yang dipercaya menjabat sebagai pimpinan
kelompok. Kelompok ini memiliki andil yang cukup besar dalam perkembangan seni rupa di Indonesia.
Kelompok ini berbeda dengan Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi) pada tahun 1938, melainkan
sebuah kelompok belajar bersama dan kerja sama saling membantu sesama pelukis.

Pada tahun 1943, Affandi mengadakan pameran tunggal pertamanya di Gedung Poetera Djakarta yang
saat itu sedang berlangsung pendudukan tentara Jepang di Indonesia. Empat Serangkai--yang terdiri dari
Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan Kyai Haji Mas Mansyur--memimpin Seksi
Kebudayaan Poetera (Poesat Tenaga Rakyat) untuk ikut ambil bagian. Dalam Seksi Kebudayaan
Poetera ini Affandi bertindak sebagai tenaga pelaksana dan S. Soedjojono sebagai penanggung jawab,
yang langsung mengadakan hubungan dengan Bung Karno.

Ketika republik ini diproklamasikan 1945, banyak pelukis ambil bagian. Gerbong-gerbong kereta dan
tembok-tembok ditulisi antara lain "Merdeka atau mati!". Kata-kata itu diambil dari penutup pidato Bung
Karno, Lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945. Saat itulah, Affandi mendapat tugas membuat poster. Poster itu
idenya dari Bung Karno, gambar orang yang dirantai tapi rantai itu sudah putus. Yang dijadikan model
adalah pelukis Dullah. Lalu kata-kata apa yang harus ditulis di poster itu? Kebetulan muncul penyair
Chairil Anwar. Soedjojono menanyakan kepada Chairil, maka dengan enteng Chairil ngomong: "Bung,
ayo Bung!" Dan selesailah poster bersejarah itu. Sekelompok pelukis siang-malam memperbanyaknya
dan dikirim ke daerah-daerah. Dari manakah Chairil memungut kata-kata itu? Ternyata kata-kata itu biasa
diucapkan pelacur-pelacur di Jakarta yang menawarkan dagangannya pada zaman itu.

Bakat melukis yang menonjol pada diri Affandi pernah menorehkan cerita menarik dalam kehidupannya.
Suatu saat, dia pernah mendapat beasiswa untuk kuliah melukis di Santiniketan, India, suatu akademi
yang didirikan oleh Rabindranath Tagore. Ketika telah tiba di India, dia ditolak dengan alasan bahwa dia
dipandang sudah tidak memerlukan pendidikan melukis lagi. Akhirnya biaya beasiswa yang telah
diterimanya digunakan untuk mengadakan pameran keliling negeri India.

Sepulang dari India, Eropa, pada tahun lima puluhan, Affandi dicalonkan oleh PKI untuk mewakili orang-
orang tak berpartai dalam pemilihan Konstituante. Dan terpilihlah dia, seperti Prof. Ir. Saloekoe
Poerbodiningrat dsb, untuk mewakili orang-orang tak berpartai. Dalam sidang konstituante, menurut
Basuki Resobowo yang teman pelukis juga, biasanya katanya Affandi cuma diam, kadang-kadang tidur.
Tapi ketika sidang komisi, Affandi angkat bicara. Dia masuk komisi Perikemanusiaan (mungkin sekarang
HAM) yang dipimpin Wikana, teman dekat Affandi juga sejak sebelum revolusi.

Lalu apa topik yang diangkat Affandi? "Kita bicara tentang perikemanusiaan, lalu bagaimana tentang
perikebinatangan?" demikianlah dia memulai orasinya. Tentu saja yang mendengar semua tertawa ger-
geran. Affandi bukan orang humanis biasa. Pelukis yang suka pakai sarung, juga ketika dipanggil ke
istana semasa Suharto masih berkuasa dulu, intuisinya sangat tajam. Meskipun hidup di jaman teknologi
yang sering diidentikkan jaman modern itu, dia masih sangat dekat dengan fauna, flora dan alam
semesta ini. Ketika Affandi mempersoalkan 'Perikebinatangan' tahun 1955, kesadaran masyarakat
terhadap lingkungan hidup masih sangat rendah.

Affandi juga termasuk pimpinan pusat Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), organisasi kebudayaan
terbesar yang dibubarkan oleh rezim Suharto. Dia bagian seni rupa Lembaga Seni Rupa) bersama
Basuki Resobowo, Henk Ngantung, dan sebagainya.

Pada tahun enampuluhan, gerakan anti imperialis AS sedang mengagresi Vietnam cukup gencar. Juga
anti kebudayaan AS yang disebut sebagai 'kebudayaan imperialis'. Film-film Amerika, diboikot di negeri
ini. Waktu itu Affandi mendapat undangan untuk pameran di gedung USIS Jakarta. Dan Affandi pun,
pameran di sana.

Ketika sekelompok pelukis Lekra berkumpul, ada yang mempersoalkan. Mengapa Affandi yang pimpinan
Lekra kok pameran di tempat perwakilan agresor itu. Menanggapi persoalan ini, ada yang nyeletuk: "Pak
Affandi memang pimpinan Lekra, tapi dia tak bisa membedakan antara Lekra dengan Lepra!" kata teman
itu dengan kalem. Karuan saja semua tertawa.

Meski sudah melanglangbuana ke berbagai negara, Affandi dikenal sebagai sosok yang sederhana dan
suka merendah. Pelukis yang kesukaannya makan nasi dengan tempe bakar ini mempunyai idola yang
terbilang tak lazim. Orang-orang lain bila memilih wayang untuk idola, biasanya memilih yang bagus,
ganteng, gagah, bijak, seperti; Arjuna, Gatutkaca, Bima atau Werkudara, Kresna.

Namun, Affandi memilih Sokasrana yang wajahnya jelek namun sangat sakti. Tokoh wayang itu
menurutnya merupakan perwakilan dari dirinya yang jauh dari wajah yang tampan. Meskipun begitu,
Departemen Pariwisata Pos dan Telekomunikasi (Deparpostel) mengabadikan wajahnya dengan
menerbitkan prangko baru seri tokoh seni/artis Indonesia. Menurut Helfy Dirix (cucu tertua Affandi)
gambar yang digunakan untuk perangko itu adalah lukisan self-portrait Affandi tahun 1974, saat Affandi
masih begitu getol dan produktif melukis di museum sekaligus kediamannya di tepi Kali Gajahwong
Yogyakarta.
[sunting]

Affandi dan melukis

Semasa hidupnya, ia telah menghasilkan lebih dari 2.000 karya lukis. Karya-karyanya yang dipamerkan
ke berbagai negara di dunia, baik di Asia, Eropa, Amerika maupun Australia selalu memukau pecinta seni
lukis dunia. Pelukis yang meraih gelar Doktor Honoris Causa dari University of Singapore tahun 1974 ini
dalam mengerjakan lukisannya, lebih sering menumpahkan langsung cairan cat dari tube-nya kemudian
menyapu cat itu dengan jari-jarinya, bermain dan mengolah warna untuk mengekspresikan apa yang ia
lihat dan rasakan tentang sesuatu.

Dalam perjalanannya berkarya, pemegang gelar Doctor Honoris Causa dari University of Singapore
tahun 1974, ini dikenal sebagai seorang pelukis yang menganut aliran ekspresionisme atau abstrak.
Sehingga seringkali lukisannya sangat sulit dimengerti oleh orang lain terutama oleh orang yang awam
tentang dunia seni lukis jika tanpa penjelasannya. Namun bagi pecinta lukisan hal demikianlah yang
menambah daya tariknya.

Kesederhanaan cara berpikirnya terlihat saat suatu kali, Affandi merasa bingung sendiri ketika kritisi
Barat menanyakan konsep dan teori lukisannya. Oleh para kritisi Barat, lukisan Affandi dianggap
memberikan corak baru aliran ekspresionisme. Tapi ketika itu justru Affandi balik bertanya, Aliran apa
itu?.

Bahkan hingga saat tuanya, Affandi membutakan diri dengan teori-teori. Bahkan ia dikenal sebagai
pelukis yang tidak suka membaca. Baginya, huruf-huruf yang kecil dan renik dianggapnya momok besar.

Bahkan, dalam keseharian, ia sering mengatakan bahwa dirinya adalah pelukis kerbau, julukan yang
diakunya karena dia merasa sebagai pelukis bodoh. Mungkin karena kerbau adalah binatang yang
dianggap dungu dan bodoh. Sikap sang maestro yang tidak gemar berteori dan lebih suka bekerja secara
nyata ini dibuktikan dengan kesungguhan dirinya menjalankan profesi sebagai pelukis yang tidak cuma
musiman pameran. Bahkan terhadap bidang yang dipilihnya, dia tidak overacting.

Misalnya jawaban Affandi setiap kali ditanya kenapa dia melukis. Dengan enteng, dia menjawab, Saya
melukis karena saya tidak bisa mengarang, saya tidak pandai omong. Bahasa yang saya gunakan adalah
bahasa lukisan. Bagi Affandi, melukis adalah bekerja. Dia melukis seperti orang lapar. Sampai pada
kesan elitis soal sebutan pelukis, dia hanya ingin disebut sebagai tukang gambar.

Lebih jauh ia berdalih bahwa dirinya tidak cukup punya kepribadian besar untuk disebut seniman, dan ia
tidak meletakkan kesenian di atas kepentingan keluarga. Kalau anak saya sakit, saya pun akan berhenti
melukis, ucapnya.

Sampai ajal menjemputnya pada Mei 1990, ia tetap menggeluti profesi sebagai pelukis. Kegiatan yang
telah menjadi bagian dari hidupnya. Ia dimakamkan tidak jauh dari museum yang didirikannya itu.
[sunting]

Museum Affandi

Museum yang diresmikan oleh Fuad Hassan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ketika itu dalam
sejarahnya telah pernah dikunjungi oleh Mantan Presiden Soeharto dan Mantan Perdana Menteri
Malaysia Dr. Mahathir Mohammad pada Juni 1988 kala keduanya masih berkuasa. Museum ini didirikan
tahun 1973 di atas tanah yang menjadi tempat tinggalnya.

Saat ini, terdapat sekitar 1.000-an lebih lukisan di Museum Affandi, dan 300-an di antaranya adalah karya
Affandi. Lukisan-lukisan Affandi yang dipajang di galeri I adalah karya restropektif yang punya nilai
kesejarahan mulai dari awal karirnya hingga selesai, sehingga tidak dijual. Sedangkan galeri II adalah
lukisan teman-teman Affandi, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal seperti Basuki
Abdullah, Popo Iskandar, Hendra, Rusli, Fajar Sidik, dan lain-lain. Adapun galeri III berisi lukisan-lukisan
keluarga Affandi.

Di dalam galeri III yang selesai dibangun tahun 1997, saat ini terpajang lukisan-lukisan terbaru Kartika
Affandi yang dibuat pada tahun 1999. Lukisan itu antara lain "Apa yang Harus Kuperbuat" (Januari 99),
"Apa Salahku? Mengapa ini Harus Terjadi" (Februari 99), "Tidak Adil" (Juni 99), "Kembali Pada Realita
Kehidupan, Semuanya Kuserahkan KepadaNya" (Juli 99), dan lain-lain. Ada pula lukisan Maryati,
Rukmini Yusuf, serta Juki Affandi.
[sunting]

Affandi di mata dunia

Affandi memang hanyalah salah satu pelukis besar Indonesia bersama pelukis besar lainnya seperti
Raden Saleh, Basuki Abdullah dan lain-lain. Namun karena berbagai kelebihan dan keistimewaan karya-
karyanya, para pengagumnya sampai menganugerahinya berbagai sebutan dan julukan membanggakan
antara lain seperti julukan Pelukis Ekspressionis Baru Indonesia bahkan julukan Maestro. Adalah Koran
International Herald Tribune yang menjulukinya sebagai Pelukis Ekspressionis Baru Indonesia,
sementara di Florence, Italia dia telah diberi gelar Grand Maestro.

Berbagai penghargaan dan hadiah bagaikan membanjiri perjalanan hidup dari pria yang hampir seluruh
hidupnya tercurah pada dunia seni lukis ini. Di antaranya, pada tahun 1977 ia mendapat Hadiah
Perdamaian dari International Dag Hammershjoeld. Bahkan Komite Pusat Diplomatic Academy of Peace
PAX MUNDI di Castelo San Marzano, Florence, Italia pun mengangkatnya menjadi anggota Akademi
Hak-Hak Azasi Manusia.

Dari dalam negeri sendiri, tidak kalah banyak penghargaan yang telah diterimanya, di antaranya,
penghargaan "Bintang Jasa Utama" yang dianugrahkan Pemerintah Republik Indonesia pada tahun
1978. Dan sejak 1986 ia juga diangkat menjadi Anggota Dewan Penyantun ISI (Institut Seni Indonesia) di
Yogyakarta. Bahkan seorang Penyair Angkatan 45 sebesar Chairil Anwar pun pernah
menghadiahkannya sebuah sajak yang khusus untuknya yang berjudul "Kepada Pelukis Affandi".

Untuk mendekatkan dan memperkenalkan karya-karyanya kepada para pecinta seni lukis, Affandi sering
mengadakan pameran di berbagai tempat. Di negara India, dia telah mengadakan pameran keliling ke
berbagai kota. Demikian juga di berbagai negara di Eropa, Amerika serta Australia. Di Eropa, ia telah
mengadakan pameran antara lain di London, Amsterdam, Brussels, Paris, dan Roma. Begitu juga di
negara-negara benua Amerika seperti di Brazilia, Venezia, San Paulo, dan Amerika Serikat. Hal demikian
jugalah yang membuat namanya dikenal di berbagai belahan dunia.
[sunting]

Penghargaan dan lain-lain

* Agama: Islam
* Istri

1. Maryati (istri pertama)


2. Rubiyem (istri kedua)

* Anak

1. Kartika Affandi
2. Juki Affandi BSc
3. Rukmini (adik tiri)

* Penghargaan

1. Piagam Anugerah Seni, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1969


2. Doktor Honoris Causa dari University of Singapore, 1974
3. Dag Hammarskjöld, International Peace Prize (Florence, Italia, 1997)
4. Bintang Jasa Utama, tahun 1978
5. Julukan Pelukis Ekspresionis Baru Indonesia oleh Koran International Herald Tribune
6. Gelar Grand Maestro di Florence, Italia

* Pameran
1. Museum of Modern Art (Rio de Janeiro, Brazil, 1966)
2. East-West Center (Honolulu, 1988)
3. Festival of Indonesia (AS, 1990-1992)
4. Gate Foundation (Amsterdam, Belanda, 1993)
5. Singapore Art Museum (1994)
6. Centre for Strategic and International Studies (Jakarta, 1996)
7. Indonesia-Japan Friendship Festival (Morioka, Tokyo, 1997)
8. ASEAN Masterworks (Selangor, Kuala Lumpur, Malaysia, 1997-1998)
9. Pameran keliling di berbagai kota di India.
10. Pameran di Eropa al: London, Amsterdam, Brussels, Paris, Roma
11. Pameran di benua Amerika al: Brazilia, Venezia, São Paulo, Amerika Serikat
12. Pameran di Australia

* Buku tentang Affandi

1. Buku kenang-kenangan tentang Affandi, Prix International Dag Hammarskjöld, 1976, 189 halaman.
Ditulis dalam empat bahasa, yaitu Bahasa Inggris, Belanda, Prancis, dan Indonesia.
2. Nugraha Sumaatmadja, buku tentang Affandi, Penerbitan Yayasan Kanisius, 1975
3. Ajip Rosidi, Zaini, Sudarmadji, Affandi 70 Tahun, Dewan Kesenian Jakarta, 1978. Diterbitkan dalam
rangka memperingati ulang tahun ketujuh puluh.
4. Raka Sumichan dan Umar Kayam, buku tentang Affandi, Yayasan Bina Lestari Budaya Jakarta, 1987,
222 halaman. Diterbitkan dalam rangka memperingati 80 tahun Affandi, dalam dua bahasa, yakni Bahasa
Inggris dan Indonesia.

You might also like