You are on page 1of 120

Home Portal Gallery Calendar FAQ Search

Search Query
Go

Display results as : Posts Topics


Advanced Search
Memberlist Usergroups Register Log in

Share | Actions !
Actions !
View posts since last visit
View your posts
Iluni-FK'83 :: KESEHATAN dan ILMU KEDOKTERAN :: PERATURAN dan View unanswered posts
PERIJINAN
Topic being watched
Add to your favourites
Send to a friend
Copy BBCode URL
Print this page

Hukum Kesehatan

Goto page : 1, 2, 3
Author Message
gitahafas
Moderator Subject: Hukum Kesehatan Thu Jun 24, 2010 5:32 am

HUKUM KESEHATAN.
I. Pendahuluan
Dalam era reformasi saat ini, hukum memegang peran penting dalam berbagai
Number of posts: segi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Untuk mewujudkan derajat
5564 kesehatan yang optimal bagi setiap orang, yang merupakan bagian integral dari
Age: 52 kesejahteraan, diperlukan dukungan hukum bagi penyelenggaraan berbagai
Location: Jakarta kegiatan di bidang kesehatan. Perubahan konsep pemikiran penyelenggaraan
Registration date:
pembangunan kesehatan tidak dapat dielakkan. Pada awalnya pembangunan
2008-09-30
kesehatan bertumpu pada upaya pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan,
bergeser pada penyelenggaraan upaya kesehatan yang menyeluruh dengan
penekanan pada upaya pencegahan penyakit dan peningkatan kesehatan.
Paradigma ini dikenal dalam kalangan kesehatan sebagai paradigma sehat.

Sebagai konsekuensi logis dari diterimanya paradigma sehat maka segala


kegiatan apapun harus berorientasi pada wawasan kesehatan, tetap dilakukannya
pemeliharaan dan peningkatan kualitas individu, keluarga dan masyarakat serta
lingkungan dan secara terus menerus memelihara dan meningkatkan pelayanan
kesehatan yang bermutu, merata, dan terjangkau serta mendorong kemandirian
masyarakat untuk hidup sehat.
Secara ringkas untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi setiap
orang maka harus secara terus menerus dilakukan perhatian yang sungguh-
sungguh bagi penyelenggaraan pembangunan nasional yang berwawasan
kesehatan, adanya jaminan atas pemeliharaan kesehatan, ditingkatkannya
profesionalisme dan dilakukannya desentralisasi bidang kesehatan. Kegiatan-
kegiatan tersebut sudah barang tentu memerlukan perangkat hukum kesehatan
yang memadai. Perangkat hukum kesehatan yang memadai dimaksudkan agar
adanya kepastian hukum dan perlindungan yang menyeluruh baik bagi
penyelenggara upaya kesehatan maupun masyarakat penerima pelayanan
kesehatan.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah yang dimaksud dengan hukum
kesehatan, apa yang menjadi landasan hukum kesehatan, materi muatan
peraturan perundang-undangan bidang kesehatan, dan hukum kesehatan di masa
mendatang. Diharapkan jawaban atas pertanyaan tersebut dapat memberikan
sumbangan pemikiran, baik secara teoritikal maupun praktikal terhadap
keberadaan hukum kesehatan. Untuk itu dilakukan kajian normatif, kajian yang
mengacu pada hukum sebagai norma dengan pembatasan pada masalah
kesehatan secara umum melalui tradisi keilmuan hukum. Dalam hubungan ini
hukum kesehatan yang dikaji dibagi dalam 3 (tiga) kelompok sesuai dengan tiga
lapisan ilmu hukum yaitu dogmatik hukum, teori hukum, dan filsafat hukum.
Selanjutnya untuk memecahkan isu hukum, pertanyaan hukum yang timbul maka
digunakan pendekatan konseptual, statuta, historis, dogmatik, dan komparatif.
Namun adanya keterbatasan waktu maka kajian ini dibatasi hanya melihat
peraturan perundang-undangan bidang kesehatan.
II. Batasan dan Lingkup Hukum Kesehatan
Van der Mijn di dalam makalahnya menyatakan bahwa, “…health law as the body
of rules that relates directly to the care of health as well as the applications of
general civil, criminal, and administrative law”.(1) Lebih luas apa yang dikatakan
Van der Mijn adalah pengertian yang diberikan Leenen bahwa hukum kesehatan
adalah “…. het geheel van rechtsregels, dat rechtstreeks bettrekking heft op de
zorg voor de gezondheid en de toepassing van overig burgelijk, administratief en
strafrecht in dat verband. Dit geheel van rechtsregels omvat niet alleen wettelijk
recht en internationale regelingen, maar ook internationale richtlijnen
gewoonterecht en jurisprudenterecht, terwijl ook wetenschap en literatuur bronnen
van recht kunnen zijn”.(2) Dari apa yang dirumuskan Leenen tersebut memberikan
kejelasan tentang apa yang dimaksudkan dengan cabang baru dalam ilmu hukum,
yaitu hal-hal yang berkaitan dengan pemeliharaan kesehatan (zorg voor de
gezondheid). Rumusan tersebut dapat berlaku secara universal di semua negara.
Dikatakan demikian karena tidak hanya bertumpu pada peraturan perundang-
undangan saja tetapi mencakup kesepakatan/peraturan internasional, asas-asas
yang berlaku secara internasional, kebiasaan, yurisprudensi, dan doktrin.

Di sini dapat dilukiskan bahwa sumber hukum dalam hukum kesehatan meliputi
hukum tertulis, yurisprudensi, dan doktrin. Dilihat dari objeknya, maka hukum
kesehatan mencakup segala aspek yang berkaitan dengan pemeliharaan
kesehatan (zorg voor de gezondheid). Dengan demikian dapat dibayangkan
bahwa hukum kesehatan cukup luas dan kompleks. Jayasuriya
mengidentifikasikan ada 30 (tiga puluh) jenis peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan kesehatan.(3) Secara umum dari lingkup hukum kesehatan
tersebut, materi muatan yang dikandung didalamnya pada asasnya adalah
memberikan perlindungan kepada individu, masyarakat, dan memfasilitasi
penyelenggaraan upaya kesehatan agar tujuan kesehatan dapat tercapai.
Jayasuriya bertolak dari materi muatan yang mengatur masalah kesehatan
menyatakan ada 5 (lima) fungsi yang mendasar, yaitu pemberian hak, penyediaan
perlindungan, peningkatan kesehatan, pembiayaan kesehatan, dan penilaian
terhadap kuantitas dan kualitas dalam pemeliharaan kesehatan.(4) Dalam
perjalanannya diingatkan oleh Pinet bahwa untuk mewujudkan kesehatan untuk
semua, diidentifikasikan faktor determinan yang mempengaruhi sekurang-
kurangnya mencakup, “... biological, behavioral, environmental, health system,
socio economic, socio cultural, aging the population, science and technology,
information and communication, gender, equity and social justice and human
rights”.(5)

III. Landasan Hukum Kesehatan


Hermien Hadiati Koeswadji menyatakan pada asasnya hukum kesehatan
bertumpu pada hak atas pemeliharaan kesehatan sebagai hak dasar social (the
right to health care) yang ditopang oleh 2 (dua) hak dasar individual yang terdiri
dari hak atas informasi (the right to information) dan hak untuk menentukan nasib
sendiri (the right of self determination).(6) Sejalan dengan hal tersebut Roscam
Abing mentautkan hukum kesehatan dengan hak untuk sehat dengan menyatakan
bahwa hak atas pemeliharaan kesehatan mencakup berbagai aspek yang
merefleksikan pemberian perlindungan dan pemberian fasilitas dalam
pelaksanaannya. Untuk merealisasikan hak atas pemeliharaan bisa juga
mengandung pelaksanaan hak untuk hidup, hak atas privasi, dan hak untuk
memperoleh informasi.(7) Demikian juga Leenen secara khusus, menguraikan
secara rinci tentang segala hak dasar manusia yang merupakan dasar bagi hukum

kesehatan.(

IV. Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan Bidang Kesehatan


Sebenarnya dalam kajian ini akan disajikan menyangkut seluruh lingkup hukum
kesehatan, namun keterbatasan waktu, maka penyajian dibatasi pada materi
muatan peraturan perundang-undangan bidang kesehatan. Segala sesuatu yang
berkaitan dengan kesehatan seringkali dikatakan sebagian masyarakat kesehatan
dengan ucapan saratnya peraturan. Peraturan dimaksud dapat berupa peraturan
perundang-undangan yang berlaku umum dan berbagai ketentuan internal bagi
profesi dan asosiasi kesehatan.

Agar diperoleh gambaran yang lebih menyeluruh maka digunakan susunan 3 (tiga)
komponen dalam suatu sistem hukum seperti yang dikemukakan Schuyt.(9) Ketiga
komponen dimaksud adalah keseluruhan peraturan, norma dan ketetapan yang
dilukiskan sebagai sistem pengertian, betekenissysteem, keseluruhan organisasi
dan lembaga yang mengemban fungsi dalam melakukan tugasnya, organisaties
instellingen dan keseluruhan ketetapan dan penanganan secara konkret telah
diambil dan dilakukan oleh subjek dalam komponen kedua, beslisingen en
handelingen.

Dalam komponen pertama yang dimaksudkan adalah seluruh peraturan, norma


dan prinsip yang ada dalam penyelenggaraan kegiatan di bidang kesehatan.
Bertolak dari hal tersebut dapat diklasifikasikan ada 2 (dua) bentuk, yaitu
ketentuan-ketentuan yang dibuat oleh penguasa dan ketentuan yang dibuat oleh
organisasi profesi dan asosiasi kesehatan. Hubungan antara keduanya adalah
ketentuan yang dibuat oleh organisasi profesi dan asosiasi kesehatan serta sarana
kesehatan hanya mengikat ke dalam dan tidak boleh bertentangan dengan
ketentuan yang dibuat oleh penguasa. Menurut inventarisasi yang dilakukan
terhadap ketentuan yang dikeluarkan penguasa dalam bentuk peraturan
perundang-undangan terdapat 2 (dua) kategori, yaitu yang bersifat menetapkan
dan yang bersifat mengatur.

Dari sudut pandang materi muatan yang ada dapat dikatakan mengandung 4
(empat) obyek, yaitu:
1. Pengaturan yang berkaitan dengan upaya kesehatan;
2. Pengaturan yang berkaitan dengan tenaga kesehatan;
3. Pengaturan yang berkaitan dengan sarana kesehatan;
4. Pengaturan yang berkaitan dengan komoditi kesehatan.

Apabila diperhatikan dari ketentuan tersebut terkandung prinsip perikemanusiaan


berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, manfaat, usaha bersama dan
kekeluargaan, adil dan merata, perikehidupan dalam keseimbangan dan
kepercayaan pada kemampuan dan kekuatan sendiri.(10) Selanjutnya dari
ketentuan yang ada dalam keputusan dan peraturan yang dibuat oleh organisasi
profesi dan asosiasi bidang kesehatan serta sarana kesehatan adalah mencakup
kode etik profesi, kode etik usaha dan berbagai standar yang harus dilakukan
dalam penyelenggaraan upaya kesehatan. Apabila diperhatikan prinsip-prinsip
yang dikandung dalam ketentuan ini mencakup 4 (empat) prinsip dasar, yaitu
autonomy, beneficence, non maleficence dan justice.(11)

Sebelum memasuki komponen kedua, perlu dibahas terlebih dahulu komponen


ketiga mengenai intervensi yang berupa penanganan yang dilakukan berdasarkan
ketentuan yang diatur. Komponen ini merupakan aktualisasi terhadap komponen
ideal yang ada dalam komponen pertama. Bila diperhatikan isi ketentuan yang ada
dimana diperlukan penanganan terdapat 4 (empat) sifat, yaitu:
1. Perintah (gebod) yang merupakan kewajiban umum untuk melakukan sesuatu;
2. Larangan (verbod) yang merupakan kewajiban umum untuk tidak melakukan
sesuatu;
3. Pembebasan (vrijstelling, dispensatie) berupa pembolehan khusus untuk tidak
melakukan sesuatu yang secara umum diharuskan.
4. Izin (toesteming, permissie) berupa pembolehan khusus untuk melakukan
sesuatu yang secara umum dilarang.(12)

Tindakan penanganan yang dilakukan apakah sudah benar atau tidak, kiranya
dapat diukur dengan tatanan hukum seperti yang dikemukakan oleh Nonet dan
Selznick, yaitu apakah masih bersifat represif, otonomous atau responsive.(13)
Selanjutnya dengan komponen kedua tentang organisasi yang ada dalam
penyelenggaraan upaya kesehatan dapat dibagi dalam 2 (dua) bagian besar yaitu
organisasi pemerintah dan organisasi / badan swasta.
Pada organisasi pemerintah mencakup aparatur pusat dan daerah serta
departemen dan lembaga pemerintah non departemen. Pada sektor swasta
terdapat berbagai organisasi profesi, asosiasi dan sarana kesehatan yang
mempunyai tugas dan fungsi di bidang kesehatan.

Dari susunan dalam 3 (tiga) komponen tersebut secara global menurut Schuyt
bahwa tujuan yang ingin dicapat adalah (14):
1. Penyelenggaraan ketertiban sosial;
2. Pencegahan dari konflik yang tidak menyenangkan;
3. Jaminan pertumbuhan dan kemandirian penduduk secara individual;
4. Penyelenggaraan pembagian tugas dari berbagai peristiwa yang baik dalam
masyarakat;
5. Kanalisasi perubahan sosial.

V. Hukum Kesehatan di Masa Mendatang


Hermien Hadiati Koeswadji mencatat bahwa dari apa yang telah digariskan dalam
peraturan perundang-undangan yang ada perlu terus ditingkatkan untuk (15):
1. Membudayakan perilaku hidup sehat dan penggunaan pelayanan kesehatan
secara wajar untuk seluruh masyarakat;
2. Mengutamakan upaya peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit;
3. Mendorong kemandirian masyarakat dalam memilih dan membiayai pelayanan
kesehatan yang diperlukan;
4. Memberikan jaminan kepada setiap penduduk untuk mendapatkan
pemeliharaan kesehatan;
5. Mengendalikan biaya kesehatan;
6. Memelihara adanya hubungan yang baik antara masyarakat dengan penyedia
pelayanan kesehatan;
7. Meningkatkan kerjasama antara upaya kesehatan yang dilakukan pemerintah
dan masyarakat melalui suatu bentuk pemeliharaan kesehatan bagi masyarakat
yang secara efisien, efektif dan bermutu serta terjangkau oleh masyarakat. Untuk
itu dukungan hukum tetap dan terus diperlukan melalui berbagai kegiatan untuk
menciptakan perangkat hukum baru, memperkuat terhadap tatanan hukum yang
telah ada dan memperjelas lingkup terhadap tatanan hukum yang telah ada.

Beberapa hal yang perlu dicatat disini adalah yang berkaitan dengan:
1. Eksistensi Badan Pertimbangan Kesehatan Nasional yang telah ada harus
diperkuat dan harus merupakan organisasi yang independen sehingga dapat
memberikan pertimbangan lebih akurat;
2. Perlu dibangun keberadaan Konsil untuk tenaga kesehatan dimana lembaga
tersebut merupakan lembaga yang berwenang untuk melakukan pengaturan
berbagai standar yang harus dipenuhi oleh tenaga kesehatan dalam
penyelenggaraan upaya kesehatan. Dalam dunia kedokteran dan kedokteran gigi
telah dibentuk Konsil Kedokteran Indonesia sebagaimana dituangkan dalam
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran;
3. Perlu dibangun lembaga registrasi tenaga kesehatan dalam upaya untuk menilai
kemampuan profesional yang dimiliki tenaga kesehatan untuk menyelenggarakan
upaya kesehatan. Bagi tenaga dokter dan dokter gigi peranan Konsil Kedokteran
Indonesia dan organisasi profesi serta Departemen Kesehatan menjadi penting;
4. Perlu dikaji adanya lembaga Peradilan Disiplin Profesi Tenaga Kesehatan.
Dimana untuk tenaga medis telah dibentuk Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran Indonesia sesuai dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004;
5. Perlu dibangun lembaga untuk akreditasi berbagai sarana kesehatan.

VI. Kesimpulan
Dari apa yang telah diuraikan diatas, hukum kesehatan merupakan cabang ilmu
hukum yang baru. Untuk itu masih terbuka kesempatan yang luas bagi para ahli
hukum melakukan berbagai pengembangan dengan tujuan tersedianya
perlindungan yang menyeluruh baik untuk masyarakat penerima pelayanan
kesehatan maupun tenaga dan sarana kesehatan pemberi pelayanan kesehatan.
Kajian dapat dilakukan baik secara sektoral maupun dimensional melalui inter dan
multidisiplin.

CATATAN KAKI
(1) Van der Mijn, 1984, ”The Development of Health Law in the Nederlands”,
Makalah yang disampaikan dalam Seminar Sehari ”Issues of Health Law”, Tim
Pengkajian Hukum Kedokteran, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen
Kehakiman RI bekerja sama dengan PERHUKI dan PB IDI, Jakarta, hal 2.
(2) H.J.J. Leenen, 1981, Gezondheidszorg en recht, een gezondheidsrechtelijke
studie, Samson uitgeverij, alphen aan den rijn/Brussel, hal 22.
(3) D.C.Jayasuriya, 1997, Health Law, International and Regional Perspectives,
Har-Anand Publication PUT Ltd, New Delhi India, hal 16-28.
(4) Ibid, hal 33.
(5) Genevieve Pinet, 1998, “Health Challenges of The 21st Century a Legislative
Approach to Health Determinants”, Artikel dalam International Digest of Health
Legislations, Vol 49 No. 1, 1998, Geneve, hal 134.
(6) Hermien Hadiati Koeswadji, 1998, Hukum Kedokteran, Studi Tentang
Hubungan Hukum Dalam Mana Dokter Sebagai Salah Satu Pihak, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, hal 22.
(7) Roscam Abing, 1998, “Health, Human Rights and Health Law The Move
Towards Internationalization With Special Emphasis on Europe” dalam journal
International Digest of Health Legislations, Vol 49 No. 1, 1998, Geneve, hal 103
dan 107.
( HJJ. Leenen, 1981, Recht en Plicht in de Gezondheidszorg, Samson
Uitgeverij, Alphen aan den Rijn/Brussel.
(9) Schuyt, 1983, Recht en Samenleving, van Gorcum, Assen, hal 11-12.
(10) Lihat Pasal 2 Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan.
(11) Lihat Tom L. Beauchamp dan James F. Childress, Principles of Biomedical
Ethics, 1994, Oxford University Press, New York, hal 38.
(12) Bruggink, 1993, Rechtsrefleeties, Grondbegrippen uit de Rechtstheorie,
Kluwer, Deventer, hal 72.
(13) Philipie Nonet dan Philip Selznick, 1978, Law and Society in Transition,
Toward, Responsive Law, Hasper Torch Books, New York.
(14) Schuyt, op.cit, hal 19.
(15) Hermin Hadiati Koeswadji, 2002, Hukum Untuk Perumahsakitan, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, hal 17-18.

Oleh : Faiq Bahfen


Biro Hukum & Organisasi Departemen Kesehatan R.I.
Jalan H.R. Rasuna Blok X5 Kav No. 4-9 Kuningan, Jakarta Selatan 12950

_________________
Don't ask what Iluni-FK'83 can do for you.
Ask what you can do for Iluni-FK'83 !

gitahafas
Moderator Subject: Re: Hukum Kesehatan Sat Jun 26, 2010 5:25 am

link_forensik_ku.webs.com/hukumkesehatan.htm -
Budi Sampurna
Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikoelgal
Number of posts: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
5564 Jl. Salemba Raya No 6 Jakarta Pusat
Age: 52 Telp: 3106976. Fax : 3154626
Location: Jakarta
Registration date: PRAKTIK KEDOKTERAN
2008-09-30 Praktik kedokteran, sebagaimana juga praktik advokat, bukanlah suatu pekerjaan
yang dapat dilakukan oleh siapa saja, melainkan hanya boleh dilakukan oleh
kelompok profesional tertentu yang memiliki kompetensi yang memenuhi standar
tertentu, diberi kewenangan oleh institusi yang berwenang di bidang itu dan
bekerja sesuai dengan standar dan profesionalisme yang ditetapkan oleh
organisasi profesinya.
Secara teoritis-konseptual, antara kelompok profesi dengan masyarakat umum
terjadi suatu kontrak sosial (mengacu kepada doktrin social-contract), yang
memberi hak kepada kelompok profesi untuk melakukan self-regulating (otonomi
profesi) dengan kewajiban memberikan jaminan bahwa profesional yang
berpraktik hanyalah profesional yang kompeten dan yang melaksanakan praktik
profesinya sesuai dengan standar. [1]

Dengan demikian, profesi harus dapat memastikan bahwa para anggotanya yang
akan berpraktik adalah benar telah memiliki kompetensi dan kewenangan medis
yang sesuai dan melakukan praktiknya sesuai dengan standar dan etika
profesinya. Oleh karena itulah diundangkan UU Praktik Kedokteran yang mengatur
hal-hal yang harus diatur dengan disiplin dan hukum karena sifatnya yang harus
“executable” dan akuntabel.

Sikap dan perilaku yang akuntabel kepada masyarakat, baik masyarakat profesi
maupun masyarakat luas – termasuk klien, dicerminkan dalam sikap
profesionalisme. Beberapa ciri profesionalisme merupakan ciri profesi itu sendiri,
seperti kompetensi dan kewenangan yang selalu “sesuai dengan tempat dan
waktu”, sikap yang etis sesuai dengan etika profesinya, sikap altruisme
(mendahulukan kepentingan pasien), bekerja sesuai dengan standar yang
ditetapkan oleh profesinya, dan sikap “care”. [2] [3]

LAYANAN KEDOKTERAN
Layanan kedokteran didasarkan atas ilmu kedokteran yang empiris, sehingga
ketidakpastian merupakan salah satu ciri khasnya. Ilmu pengetahuan dan
teknologi kedokteran masih menyisakan kemungkinan adanya bias dan
ketidaktahuan, meskipun perkembangannya telah sangat cepat sehingga sukar
diikuti oleh standar prosedur yang baku dan kaku. Kedokteran tidak menjanjikan
hasil layanannya, melainkan hanya menjanjikan upayanya
(inspanningsverbintennis).

Selain itu, layanan kedokteran di rumah sakit dikenal sebagai suatu sistem yang
kompleks dengan sifat hubungan antar komponen yang ketat (complex and tightly
coupled)[4], khususnya di ruang gawat darurat, ruang bedah dan ruang rawat
intensif. Sistem yang kompleks umumnya ditandai dengan spesialisasi, teknologi
dan interdependensi. Dalam suatu sistem yang kompleks, satu komponen dapat
berinteraksi dengan banyak komponen lain, kadang dengan cara yang tak terduga
atau tak terlihat. Semakin kompleks dan ketat suatu sistem akan semakin mudah
terjadi kecelakaan (prone to accident), oleh karena itu praktik kedokteran haruslah
dilakukan dengan tingkat kehati-hatian yang tinggi.
Setiap tindakan medis mengandung risiko buruk, sehingga harus dilakukan
tindakan pencegahan ataupun tindakan mereduksi risiko. Namun demikian
sebagian besar diantaranya tetap dapat dilakukan oleh karena risiko tersebut
dapat diterima (acceptable) sesuai dengan “state-of-the-art” ilmu dan teknologi
kedokteran. Risiko-risiko tersebut apabila terjadi bukan menjadi tanggung-jawab
dokter sepanjang telah diinformasikan kepada pasien dan telah disetujui (doktrin
informed consent). Namun informed consent tidak menghilangkan tanggung-jawab
dokter dari hasil buruk pada pasien yang diakibatkan oleh kelalaiannya.

Suatu risiko / peristiwa buruk yang tidak dapat diduga atau diperhitungkan
sebelumnya (unforeseeable, unpredictable) yang terjadi saat dilakukan “tindakan
medis yang sesuai standar” tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada dokter
atau pemberi layanan medis (misalnya reaksi hipersensitivitas, emboli air
ketuban). World Medical Association menyatakan: “An injury occurring in the
course of medical treatment which could not be foreseen and was not the result of
the lack of skill or knowledge on the part of the treating physician is untoward
result, for which the physician should not bear any liability”. [5]

Suatu penelitian di New York dengan menggunakan data tahun 1984 menemukan
bahwa pasien yang mengalami adverse events (hasil buruk yang tidak diharapkan)
adalah sebesar 3.7% dari seluruh pasien rawat inap (n = 30.195), dan penelitian
lain di Utah dan Colorado tahun 1992 menemukan angka adverse events sebesar
2.9% (n = 14.565). Penelitian serupa menunjukkan variasi angka adverse events
yang besar, 16.6% di Australia (1992), 9.0% di Denmark (1998), 12.9% di New
Zealand (1998), 11.7% di U.K., dan 7.5% di Kanada (2001).3 Sebagian dari
adverse event ternyata disebabkan oleh error sehingga dianggap sebagai
preventable adverse events. Error sendiri diartikan sebagai kegagalan
melaksanakan suatu rencana tindakan (error of execution; lapses dan slips) atau
penggunaan rencana tindakan yang salah dalam mencapai tujuan tertentu (error
of planning; mistakes).

Guna menilai bagaimana kontribusi manusia dalam suatu error dan dampaknya,
perlu dipahami perbedaan antara active errors dan latent errors. Active errors
terjadi pada tingkat operator garis depan dan dampaknya segera dirasakan,
sedangkan latent errors cenderung berada di luar kendali operator garis depan,
seperti desain buruk, instalasi yang tidak tepat, pemeliharaan yang buruk,
kesalahan keputusan manajemen, dan struktur organisasi yang buruk.

Latent error merupakan ancaman besar bagi keselamatan (safety) dalam suatu
sistem yang kompleks, oleh karena sering tidak terdeteksi dan dapat
mengakibatkan berbagai jenis active errors. Sebagai contoh adalah sistem
pendidikan dokter spesialis yang mahal, pembolehan dokter bekerja pada
“banyak” rumah sakit, tidak adanya sistem yang menjaga akuntabilitas profesi
adalah latent errors yang tidak terasa sebagai error, namun sebenarnya
merupakan akar dari kesalahan manajemen yang telah banyak menimbulkan
unsafe conditions dalam praktek kedokteran di lapangan. Bila satu saat unsafe
conditions ini bertemu dengan suatu unsafe act (active error), maka terjadilah
accident. Dalam hal ini perlu kita pahami bahwa penyebab suatu accident
bukanlah single factor melainkan multiple factors.

Umumnya kita merespons suatu error dengan berfokus pada active error-nya
dengan memberikan hukuman kepada individu pelakunya, retraining dan lain-lain
yang bertujuan untuk mencegah berulangnya active errors. Meskipun hukuman
seringkali bermanfaat pada kasus tertentu (pada mistakes yang timbul karena
kesengajaan) dengan memberikan efek penjeraan, namun sebenarnya tidak
cukup efektif untuk mengurangi errors dan meningkatkan safety. Memfokuskan
perhatian kepada active errors akan membiarkan latent errors tetap ada di dalam
sistem, atau bahkan mungkin akan terakumulasi, sehingga sistem tersebut
semakin mungkin mengalami kegagalan di kemudian hari.

Namun demikian bukan berarti bahwa tindakan terhadap para pelaku active errors
tidak ada manfaatnya. Pembinaan sikap etis akhir-akhir ini dikumandangkan
kembali melalui sebuah Charter of Medical Professionalism, yang mengingatkan
kembali kepada nilai-nilai principle of primary of patient welfare (mengutamakan
kesejahteraan pasien), principle of patient autonomy (menghargai otonomi pasien)
and principle of social justice (keadilan sosial). [6] Inggris bahkan menerbitkan
pedoman berpraktik yang baik, yang disebut Good Medical Practice. Langkah
negara tersebut banyak diikuti oleh negara-negara lainnya, termasuk Indonesia.

Selain meninjau kembali sikap perilaku para pelaku pemberi layanan kedokteran,
masyarakat kedokteran memperbaiki kembali akuntabilitas profesinya dan
layanannya, yaitu melalui pemberlakuan UU No 29 tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran yang pada pokoknya menjamin bahwa dokter yang berpraktik adalah
mereka yang kompeten dan berwenang, menjamin bahwa mereka menjaga etika
dan standar profesinya, serta mengancamnya dengan pendisiplinan bagi mereka
yang melanggarnya. Dari sisi sistem layanan kedokteran juga diupayakan
penyempurnaan melalui good clinical governance dan risk management, serta
upaya-upaya lain yang bertujuan meningkatkan mutu layanan.

[1] Cruess SR et al: MJA 2002 177 (4): 208-211


[2] Untuk menjamin tanggung jawab dan akuntabilitas profesionalisme, organisasi
profesi wajib menentukan standar, persyaratan, dan sertifikasi keahlian, serta kode
etik profesi (Ps 12 ayat 1 UU No 18 tahun 2002 tentang IPTEK).
[3] True professionalism means the pursuit of excellence, not just competence.
Professionalism is predominantly an attitude, not a set of competencies (Maister
DH: True Professionalism, The Free Press, 1997)
[4] Kohn LT, Corrigan JM and Donaldson MS. To err is human, building a safer
health system. Washington DC: National Academy Press, 2000, p58-60
[5] WMA. Statement on Medical Malpractice, adopted by the 4th World Medical
Assembly, Marbella, Spain, Sept 1992
[6] Annals of Internal Medicine, Vol 136 Issue 3, 5 Feb 2002,
http://www.annals.org/cgi/content/full/136/3/243

MALPRAKTIK KEDOKTERAN
Tidak ada satupun peraturan perundang-undangan di Indonesia yang menyebut
kata “malpraktik” dalam pelayanan kedokteran. Namun beberapa pasal Undang-
Undang mengisyaratkan sebagian perbuatan / praktik yang dianggap “tidak baik”.
Pasal 55 ayat (1) UU No 23 tahun 1992 tentang Kesehatan menyatakan bahwa
“setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang
dilakukan tenaga kesehatan”.

Sedangkan UU Praktik Kedokteran menguraikannya dengan cara lain. Pasal 50


UU No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran menyatakan bahwa “dokter dan
dokter gigi berhak memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan
tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional”.

Black’s Law Dictionary mendefinisikan malpraktik sebagai “professional


misconduct or unreasonable lack of skill” atau “failure of one rendering
professional services to exercise that degree of skill and learning commonly
applied under all the circumstances in the community by the average prudent
reputable member of the profession with the result of injury, loss or damage to the
recipient of those services or to those entitled to rely upon them”.

Dari definisi di atas dapat ditarik pemahaman bahwa malpraktik dapat terjadi
karena tindakan yang disengaja (intentional) seperti pada professional misconduct
tertentu, tindakan kelalaian (negligence), ataupun suatu kekurang-mahiran /
ketidak-kompetenan yang tidak beralasan.

Malpraktik bukanlah monopoli bagi profesi medis, melainkan juga berlaku bagi
profesi hukum (mafia peradilan), akuntan (berbagai bentuk korupsi), perbankan
(misalnya kasus BLBI), dan lain-lain. Sedangkan pengertian malpraktik medis
menurut World Medical Association (1992) adalah: “medical malpractice involves
the physician’s failure to conform to the standard of care for treatment of the
patient’s condition, or lack of skill, or negligence in providing care to the patient,
which is the direct cause of an injury to the patient.” [1]

Kelalaian medik adalah salah satu bentuk dari malpraktik medis, sekaligus
merupakan bentuk malpraktik medis yang paling sering dituduhkan. Pada
dasarnya kelalaian terjadi apabila seseorang dengan tidak sengaja, melakukan
sesuatu (komisi) yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan sesuatu
(omisi) yang seharusnya dilakukan oleh orang lain yang memiliki kualifikasi yang
sama pada suatu keadaan dan situasi yang sama. Kelalaian memiliki empat unsur
yang harus dipenuhi, yaitu (1) adanya kewajiban untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu, (2) adanya pelanggaran atau kegagalan memenuhi kewajiban
tersebut, (3) adanya kerugian atau cedera pada pasien dan (4) adanya hubungan
kausalitas antara pelanggaran atau kegagalan memenuhi kewajiban tersebut
dengan cedera atau kerugian.

Dengan melihat pengertian-pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa ada


atau tidaknya malpraktik bukanlah ditentukan atas dasar “hasil akhirnya”,
melainkan atas dasar “prosesnya”. Suatu hasil buruk yang tidak diharapkan di
bidang medik sebenarnya dapat disebabkan oleh beberapa kemungkinan, yaitu :

1. Hasil dari suatu perjalanan penyakitnya sendiri, tidak berhubungan dengan


tindakan medis yang dilakukan dokter.

2. Hasil dari suatu risiko yang tak dapat dihindari, yaitu risiko yang tak dapat
diketahui sebelumnya (unforeseeable); atau risiko yang meskipun telah diketahui
sebelumnya (foreseeable) tetapi dianggap acceptable, sebagaimana telah
diuraikan di atas.

3. Hasil dari suatu kelalaian medik.

4. Hasil dari suatu kesengajaan.


Dengan demikian, suatu dugaan adanya malpraktik kedokteran harus ditelusuri
dan dianalisis terlebih dahulu untuk dapat dipastikan ada atau tidaknya malpraktik,
kecuali apabila faktanya sudah membuktikan bahwa telah terdapat kelalaian –
yaitu pada res ipsa loquitur (the thing speaks for itself).

[1] WMA. Statement on Medical Malpractice, adopted by the 4th World Medical
Assembly, Marbella, Spain, September 1992
PENANGANAN KASUS DUGAAN MALPRAKTEK
Pada dasarnya penanganan kasus malpraktik dilakukan dengan mendasarkan
kepada konsep malpraktik medis dan adverse events yang diuraikan di atas.
Dalam makalah ini tidak akan diuraikan pelaksanaan pada kasus per-kasus,
namun lebih ke arah hasil pembelajaran (lesson learned) dari pengalaman
penanganan berbagai kasus dugaan malpraktik, baik dari sisi profesi (etik dan
disiplin) maupun dari sisi hukum. Suatu tuntutan hukum perdata, dalam hal ini
sengketa antara pihak dokter dan rumah sakit berhadapan dengan pasien dan
keluarga atau kuasanya, dapat diselesaikan melalui dua cara, yaitu cara litigasi
(melalui proses peradilan) dan cara non litigasi (di luar proses peradilan).

Apabila dipilih penyelesaian melalui proses pengadilan, maka penggugat akan


mengajukan gugatannya ke pengadilan negeri di wilayah kejadian, dapat dengan
menggunakan kuasa hukum (pengacara) ataupun tidak. Dalam proses pengadilan
umumnya ingin dicapai suatu putusan tentang kebenaran suatu gugatan
berdasarkan bukti-bukti yang sah (right-based) dan kemudian putusan tentang
jumlah uang ganti rugi yang “layak” dibayar oleh tergugat kepada penggugat.
Dalam menentukan putusan benar-salahnya suatu perbuatan hakim akan
membandingkan perbuatan yang dilakukan dengan suatu norma, standar, ataupun
suatu kebiasaan/kepatutan tertentu, sedangkan dalam memutus besarnya ganti
rugi hakim akan mempertimbangkan kedudukan sosial-ekonomi kedua pihak
(pasal 1370-1371 KUH Perdata).

Apabila dipilih proses di luar pengadilan (alternative dispute resolution), maka


kedua pihak berupaya untuk mencari kesepakatan tentang penyelesaian sengketa
(mufakat). Permufakatan tersebut dapat dicapai dengan pembicaraan kedua belah
pihak secara langsung (konsiliasi atau negosiasi), ataupun melalui fasilitasi,
mediasi, dan arbitrasi, atau cara-cara kombinasi. Fasilitator dan mediator tidak
membuat putusan, sedangkan arbitrator dapat membuat putusan yang harus
dipatuhi kedua pihak. Dalam proses mufakat ini diupayakan mencari cara
penyelesaian yang cenderung berdasarkan pemahaman kepentingan kedua pihak
(interest-based, win-win solution), dan bukan right-based. Hakim pengadilan
perdata umumnya menawarkan perdamaian sebelum dimulainya persidangan,
bahkan akhir-akhir ini hakim memfasilitasi dilakukannya mediasi oleh mediator
tertentu.

Dalam hal tuntutan hukum tersebut diajukan melalui proses hukum pidana, maka
pasien cukup melaporkannya kepada penyidik dengan menunjukkan bukti-bukti
permulaan atau alasan-alasannya. Selanjutnya penyidiklah yang akan melakukan
penyidikan dengan melakukan tindakan-tindakan kepolisian, seperti pemeriksaan
para saksi dan tersangka, pemeriksaan dokumen (rekam medis di satu sisi dan
bylaws, standar dan petunjuk di sisi lainnya), serta pemeriksaan saksi ahli. Visum
et repertum mungkin saja dibutuhkan penyidik. Berkas hasil pemeriksaan penyidik
disampaikan kepada jaksa penuntut umum untuk dapat disusun tuntutannya.
Dalam hal penyidik tidak menemukan bukti yang cukup maka akan dipikirkan
untuk diterbitkannya SP3 atau penghentian penyidikan.

Selain itu, kasus medikolegal dan kasus potensial menjadi kasus medikolegal,
juga harus diselesaikan dari sisi profesi (etik dan disiplin) dengan tujuan untuk
dijadikan pelajaran guna mencegah terjadinya pengulangan di masa mendatang,
baik oleh pelaku yang sama ataupun oleh pelaku lain. Dalam proses tersebut
dapat dilakukan pemberian sanksi (disiplin profesi atau administratif) untuk tujuan
penjeraan, dapat pula tanpa pemberian sanksi – tetapi memberlakukan koreksi
atas faktor-faktor yang berkontribusi sebagai penyebab terjadinya “kasus” tersebut.
Penyelesaian secara profesi umumnya lebih bersifat audit klinis, dan dapat
dilakukan di tingkat institusi kesehatan setempat (misalnya berupa Rapat Komite
Medis, konferensi kematian, presentasi kasus, audit klinis terstruktur, proses
lanjutan dalam incident report system, dll), atau di tingkat yang lebih tinggi
(misalnya dalam sidang Dewan Etik Perhimpunan Spesialis, MKEK, Makersi,
MDTK, atau MKDKI).
Pemberitaan kasus dugaan malpraktik

Pada dasarnya pemberitaan tentang kasus dugaan malpraktik harus mengikuti


tata cara atau etika pemberitaan pada umumnya. Pemberitaan harus tetap
menjaga azas praduga tak bersalah, dengan cara memberitakan kasus secara
seimbang dari kedua pihak yang bersengketa. Lebih baik lagi apabila juga memuat
pendapat dari narasumber yang kompeten di bidangnya. Pemberitaan harus
menjauhi penghakiman seseorang oleh media massa, sehingga salah satu pihak
dapat tercemar nama baiknya tanpa terlebih dahulu terbukti kesalahannya.

Pemberitaan kasus tentang layanan kedokteran juga harus memperhatikan privasi


dan kerahasiaan pasien. Ijin dari pasien untuk diberitakan perihalnya di media
massa sebaiknya diperoleh terlebih dahulu. Pemberi layanan kedokteran
seringkali mengalami kesulitan untuk dapat memberikan informasi tentang
peristiwa dugaan malpraktik, oleh karena penjelasan tentang kasus seringkali
harus membuka rahasia kedokteran – sehingga menghalanginya untuk berbicara
terbuka.

Berita tentang kasus malpraktik yang berlebihan dapat mengakibatkan keresahan


di kalangan pemberi layanan kedokteran, yang dampak lanjutannya dapat sangat
negatif – yaitu layanan kedokteran yang defensif (excessive defensive medicine).
Dokter menjadi terlalu berhati-hati sehingga menggunakan berbagai pemeriksaan
untuk mendiagnosis dan hanya berani melakukan terapi apabila diagnosis telah
pasti dan tindakan terapinya mendekati kepastian keberhasilan. Layanan
kedokteran menjadi terlalu mahal.

Dengan pemahaman tentang layanan kedokteran dan pengertian tentang


malpraktik medis sebagai latar belakang keilmuan para wartawan, maka
pemberitaan tentang kasus dugaan malpraktik dapat lebih mendalam, seimbang
dan tidak menghakimi – sebagaimana layaknya berita yang baik. Namun, berita
tersebut harus masih dapat memenuhi keingintahuan masyarakat akan berita yang
bermutu.
Kesimpulan

Layanan kedokteran adalah suatu sistem yang kompleks dan rentan akan
terjadinya kecelakaan, sehingga harus dilakukan dengan penuh hati-hati oleh
orang-orang yang kompeten dan memiliki kewenangan khusus untuk itu, serta
bersikap dan perilaku yang sesuai etika profesi dan standar profesi. Pemberitaan
tentang kasus dugaan malpraktik medis diperlukan untuk pembelajaran bagi
masyarakat, namun harus dilakukan sesuai dengan etika pemberitaan agar tidak
menimbulkan dampak negatif yang berlebihan.

Kepustakaan Lanjutan
AHRQ’s Patient Safety Initiatives. http://www.ahrg.gov
Carroll R (ed). Risk Management Handbook for health care organizations. San
Fransisco: Jossey-Bass, 2001
Jones MA. Medical Negligence. London: Sweet & Maxwell, 1996.
General Medical Council. Good Medical Practice. May 2001.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Kohn LT, Corrigan JM, Donaldson MS (eds). To Err is Human, building a safer
health system. Washington: National Academy Press, 2000
Lens P and vander Wal G. Problem Doctors, a conspiracy of silence.
Amsterdam:Jos Press, 1997
Mann A. Medical Negligence Litigation, Medical Assessment of Claims. Redfern:
International Business Communications Pty Ltd, 1989.
McNair T. Medical Negligence. BBC Health, 28 January 2002.
Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia No 1 / 205 tentang Registrasi dokter dan
dokter gigi.
Peraturan Menteri Kesehatan No 1419/Menkes/Per/X/2005 tentang
Penyelenggaraan praktik dokter dan dokter gigi.
Pozgar GD. Legal Aspects of Health Care Administration. 8th ed, Gaithersburg: An
Aspen Publ, 2002
Schutte JE. Preventing Medical Malpractice Suits. Seattle: Hogrefe & Huber Publ,
1995
Tan SY. The Medical Malpractice Epidemic in Singapore: Thoughts From Across
the Sea. Singapore: Medico-legal Annual Seminar, 27-28 October 2001.
Undang-Undang No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
Vincent C, Ennis M and Audley RJ. Medical Accident. Oxford: Oxford University
Press, 1993.

_________________
Don't ask what Iluni-FK'83 can do for you.
Ask what you can do for Iluni-FK'83 !

Last edited by gitahafas on Sat Jun 26, 2010 8:49 pm; edited 1 time in total

gitahafas
Moderator Subject: Re: Hukum Kesehatan Sat Jun 26, 2010 5:37 am

link_forensik_ku.webs.com/hukumkesehatan.htm -
Budi Sampurna
Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal
Number of posts: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
5564 Jl Salemba Raya No 6 Jakarta Pusat
Age: 52
Location: Jakarta KELALAIAN MEDIK
Registration date: Kelalaian medik adalah salah satu bentuk dari malpraktek medis, sekaligus
2008-09-30 merupakan bentuk malpraktek medis yang paling sering terjadi. Pada dasarnya
kelalaian terjadi apabila seseorang melakukan sesuatu yang seharusnya tidak
dilakukan atau tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh orang
lain yang memiliki kualifikasi yang sama pada suatu keadaan dan situasi yang
sama. Perlu diingat bahwa pada umumnya kelalaian yang dilakukan orang-per-
orang bukanlah merupakan perbuatan yang dapat dihukum, kecuali apabila
dilakukan oleh orang yang seharusnya (berdasarkan sifat profesinya) bertindak
hati-hati, dan telah mengakibatkan kerugian atau cedera bagi orang lain.

Pengertian istilah kelalaian medik tersirat dari pengertian malpraktek medis


menurut World Medical Association (1992), yaitu: “medical malpractice involves
the physician’s failure to conform to the standard of care for treatment of the
patient’s condition, or lack of skill, or negligence in providing care to the patient,
which is the direct cause of an injury to the patient.”
WMA mengingatkan pula bahwa tidak semua kegagalan medis adalah akibat
malpraktek medis. Suatu peristiwa buruk yang tidak dapat diduga sebelumnya
(unforeseeable) yang terjadi saat dilakukan tindakan medis yang sesuai standar
tetapi mengakibatkan cedera pada pasien tidak termasuk ke dalam pengertian
malpraktek. “An injury occurring in the course of medical treatment which could not
be foreseen and was not the result of the lack of skill or knowledge on the part of
the treating physician is untoward result, for which the physician should not bear
any liability”.

UNSUR-UNSUR KELALAIAN
Sebagaimana diuraikan di atas, di dalam suatu layanan medik dikenal gugatan
ganti kerugian yang diakibatkan oleh kelalaian medik. Suatu perbuatan atau
tindakan medis disebut sebagai kelalaian apabila memenuhi empat unsur di
bawah ini.

1. Duty atau kewajiban tenaga medis untuk melakukan sesuatu tindakan medis
atau untuk tidak melakukan sesuatu tindakan tertentu terhadap pasien tertentu
pada situasi dan kondisi yang tertentu. Dasar dari adanya kewajiban ini adalah
adanya hubungan kontraktual-profesional antara tenaga medis dengan pasiennya,
yang menimbulkan kewajiban umum sebagai akibat dari hubungan tersebut dan
kewajiban profesional bagi tenaga medis tersebut. Kewajiban profesional diuraikan
di dalam sumpah profesi, etik profesi, berbagai standar pelayanan, dan berbagai
prosedur operasional. Kewajiban-kewajiban tersebut dilihat dari segi hukum
merupakan rambu-rambu yang harus diikuti untuk mencapai perlindungan, baik
bagi pemberi layanan maupun bagi penerima layanan; atau dengan demikian
untuk mencapai safety yang optimum.

2. Dereliction of the duty atau penyimpangan kewajiban tersebut. Dengan melihat


uraian tentang kewajiban di atas, maka mudah buat kita untuk memahami apakah
arti penyimpangan kewajiban. Dalam menilai kewajiban dalam bentuk suatu
standar pelayanan tertentu, haruslah kita tentukan terlebih dahulu tentang
kualifikasi si pemberi layanan (orang dan institusi), pada situasi seperti apa dan
pada kondisi bagaimana. Suatu standar pelayanan umumnya dibuat berdasarkan
syarat minimal yang harus diberikan atau disediakan (das sein), namun kadang-
kadang suatu standar juga melukiskan apa yang sebaiknya dilakukan atau
disediakan (das sollen). Kedua uraian standar tersebut harus hati-hati
diinterpretasikan. Demikian pula suatu standar umumnya berbicara tentang suatu
situasi dan keadaan yang “normal” sehingga harus dikoreksi terlebih dahulu untuk
dapat diterapkan pada situasi dan kondisi yang tertentu. Dalam hal ini harus
diperhatikan adanya Golden Rule yang menyatakan “What is right (or wrong) for
one person in a given situation is similarly right (or wrong) for any other in an
identical situation”.

3. Damage atau kerugian. Yang dimaksud dengan kerugian adalah segala sesuatu
yang dirasakan oleh pasien sebagai kerugian akibat dari layanan kesehatan /
kedokteran yang diberikan oleh pemberi layanan. Jadi, unsur kerugian ini sangat
berhubungan erat dengan unsur hubungan sebab-akibatnya. Kerugian dapat
berupa kerugian materiel dan kerugian immateriel. Kerugian yang materiel sifatnya
dapat berupa kerugian yang nyata dan kerugian sebagai akibat kehilangan
kesempatan. Kerugian yang nyata adalah “real cost” atau biaya yang dikeluarkan
untuk perawatan / pengobatan penyakit atau cedera yang diakibatkan, baik yang
telah dikeluarkan sampai saat gugatan diajukan maupun biaya yang masih akan
dikeluarkan untuk perawatan / pemulihan. Kerugian juga dapat berupa kerugian
akibat hilangnya kesempatan untuk memperoleh penghasilan (loss of opportunity).
Kerugian lain yang lebih sulit dihitung adalah kerugian immateriel sebagai akibat
dari sakit atau cacat atau kematian seseorang.

4. Direct causal relationship atau hubungan sebab akibat yang nyata. Dalam hal ini
harus terdapat hubungan sebab-akibat antara penyimpangan kewajiban dengan
kerugian yang setidaknya merupakan “proximate cause”.

5. Gugatan ganti rugi akibat suatu kelalaian medik harus membuktikan adanya ke-
empat unsur di atas, dan apabila salah satu saja diantaranya tidak dapat
dibuktikan maka gugatan tersebut dapat dinilai tidak cukup bukti.

DASAR HUKUM
Pasal 1365 KUH Perdata : tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa
kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya
menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.

Pasal 1366 KUH Perdata : setiap orang bertanggung-jawa tidak saja untuk
kerugian yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang
disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatiannya

Pasal 1367 KUH Perdata : seorang tidak saja bertanggungjawab untuk kerugian
yang disebabkan perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang
disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan
oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya.

Pasal 55 Undang-Undang No 23 tahun 1992 tentang Kesehatan : (1) setiap orang


berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga
kesehatan.

Pasal 1370 KUH Perdata : Dalam halnya suatu kematian dengan sengaja atau
karena kurang hati-hatinya seorang, maka suami atau isteri yang ditinggalkan,
anak atau orang tua si korban yang lazimnya mendapat nafkah dari pekerjaan si
korban mempunyai hak menuntut suatu ganti rugi, yang harus dinilai menurut
kedudukan dan kekayaan kedua belah pihak, serta menurut keadaan.

Pasal 1371 KUH Perdata : Penyebab luka atau cacatnya sesuatu anggota badan
dengan sengaja atau karena kurang hati-hati memberikan hak kepada si korban
untuk selain penggantian biaya-biaya penyembuhan, menuntut penggantian
kerugian yang disebabkan oleh luka atau cacat tersebut. Juga penggantian
kerugian ini dinilai menurut kedudukan dan kemampuan kedua belah pihak, dan
menurut keadaan.

Pasal 1372 KUH Perdata : Tuntutan perdata tentang hal penghinaan adalah
bertujuan mendapat penggantian kerugian serta pemulihan kehormatan dan nama
baik.

Di bidang pidana juga ditemukan pasal-pasal yang menyangkut kelalaian, yaitu :


Pasal 359 KUHP : Barangsiapa karena kesalahannya (kelalaiannya)
menyebabkan orang lainmati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima
tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.

Pasal 360 KUHP : (1) Barangsiapa karena kesalahannya (kelalaiannya)


menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana
penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun. (2)
Barangsiapa karena kesalahannya (kelalaiannya) menyebabkan orang lain luka-
luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan
pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana
penjara paling lama sembilan bulan atau pidana kurungan paling lama enam bulan
atau pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah.

Pasal 361 KUHP : Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam
menjalankan suatu jabatan atau pencarian, maka pidana ditambah dengan
sepertiga dan yang bersalah dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencarian
dalam mana dilakukan kejahatan, dan hakim dapat memerintahkan supaya
putusannya diumumkan.

Pembuktian adanya kewajiban dan adanya pelanggaran kewajiban


Dasar adanya kewajiban dokter adalah adanya hubungan kontraktual-profesional
antara tenaga medis dengan pasiennya, yang menimbulkan kewajiban umum
sebagai akibat dari hubungan tersebut dan kewajiban profesional bagi tenaga
medis tersebut. Kewajiban profesional diuraikan di dalam sumpah profesi, etik
profesi, berbagai standar pelayanan, dan berbagai prosedur operasional.
Kewajiban-kewajiban tersebut dilihat dari segi hukum merupakan rambu-rambu
yang harus diikuti untuk memperoleh perlindungan, baik bagi pemberi layanan
maupun bagi penerima layanan; atau dengan demikian untuk mencapai safety
yang optimum. UU no 29/2004 tentang Praktik Kedokteran menyatakan bahwa
kewajiban utama dokter adalah memberikan pelayanan medis sesuai dengan
standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien
(pasal 51).

Dalam kaitannya dengan kelalaian medik, kewajiban tersebut berkaitan dengan


kewajiban tenaga medis untuk melakukan sesuatu tindakan medis tertentu, atau
untuk tidak melakukan sesuatu tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada
situasi dan kondisi yang tertentu (due care).

Untuk dapat memperoleh kualifikasi sebagai dokter, setiap orang harus memiliki
suatu kompetensi tertentu di bidang medik dengan tingkat yang tertentu pula,
sesuai dengan kompetensi yang harus dicapainya selama menjalani pendidikan
kedokterannya. Tingkat kompetensi tersebut bukanlah tingkat terrendah dan bukan
pula tingkat tertinggi dalam kualifikasi tenaga medis yang sama, melainkan
kompetensi yang rata-rata (reasonable competence) dalam populasi dokter.

Selanjutnya untuk dapat melakukan praktek medis, dokter tersebut harus memiliki
kewenangan medis yang diperoleh dari penguasa di bidang kesehatan dalam
bentuk ijin praktek. Kewenangan formil diperoleh dengan menerima “surat
penugasan” (atau nantinya disebut sebagai Surat Tanda Registrasi), sedangkan
kewenangan materiel diperoleh dengan memperoleh ijin praktek.

Seseorang yang memiliki kewenangan formil dapat melakukan tindakan medis di


suatu sarana kesehatan yang sesuai dengan surat penugasannya di bawah
supervisi pimpinan sarana kesehatan tersebut, atau bekerja sambil belajar di
institusi pendidikan spesialisasi di bawah supervisi pendidiknya. Sedangkan
seseorang yang memiliki kewenangan materiel memiliki kewenangan penuh untuk
melakukan praktik medis di tempat praktiknya, karena SIP dokter menurut UU
29/2004 tentang Praktik Kedokteran hanya berlaku untuk satu tempat praktik.
Namun demikian tidak berarti dokter tidak diperkenankan melakukan pertolongan
atau tindakan medis di tempat lain di seluruh Indonesia.

Sikap dan tindakan yang wajib dilaksanakan oleh dokter diatur dalam berbagai
standar. Setidaknya profesi memiliki 3 macam standar, yaitu standar kompetensi,
standar perilaku dan standar pelayanan [1]. Standar kompetensi adalah yang
biasa disebut sebagai standar profesi [2]. Standar berperilaku diuraikan dalam
sumpah dokter, etik kedokteran dan standar perilaku IDI. Dalam bertindak di suatu
sarana kesehatan tertentu, dokter diberi rambu-rambu sebagaimana diatur dalam
standar prosedur operasi sarana kesehatan tersebut [3].

Menilai ada atau tidaknya penyimpangan berbagai kewajiban di atas dilakukan


dengan membandingkan apa yang telah dikerjakan oleh tenaga medis tersebut
(das sein) dengan apa yang seharusnya dilakukan (das sollen). Apa yang telah
dikerjakan dapat diketahui dari rekam medis, sedangkan apa yang seharusnya
dikerjakan terdapat di dalam berbagai standar. Tentu saja hal ini bisa dilaksanakan
apabila di satu sisi rekam medis dibuat dengan akurat dan cukup lengkap
sedangkan di sisi lainnya standar pelayanan juga tertulis cukup rinci. Dalam hal
tidak ditemukan standar yang tertulis maka diminta peer-group untuk memberikan
keterangan tentang apa yang seharusnya dilakukan pada situasi dan kondisi yang
identik. Perlu diingat bahwa sesuatu standar seringkali berkaitan dengan
kualifikasi si pemberi layanan (orang dan institusi), pada situasi seperti apa dan
pada kondisi bagaimana kasus itu terjadi.

Demikian pula suatu standar umumnya berbicara tentang suatu situasi dan
keadaan yang “normal” (pada clean case) sehingga harus dikoreksi terlebih dahulu
untuk dapat diterapkan pada situasi dan kondisi yang tertentu. Banyak hal harus
diperhitungkan disini, seperti bagaimana keadaan umum pasien dan faktor-faktor
lain yang “memberatkannya”; adakah situasi kedaruratan tertentu, adakah
keterbatasan sarana dan/atau kompetensi institusi, adakah keterbatasan waktu,
dan lain-lain.

Dengan melihat uraian tentang kewajiban di atas, maka mudah buat kita untuk
memahami apakah arti penyimpangan kewajiban. Dalam hal ini harus diperhatikan
adanya Golden Rule yang menyatakan “What is right (or wrong) for one person in
a given situation is similarly right (or wrong) for any other in an identical situation”.

Pembelaan dengan mengatakan bahwa tidak ada kewajiban pada pihak dokter
hampir tidak mungkin dilakukan, oleh karena pada umumnya hubungan
profesional antara dokter dengan pasien telah terbentuk. Sangat jarang kelalaian
medis terjadi tanpa adanya hubungan dokter-pasien, seperti pada upaya
pertolongan yang dilakukan dokter pada gawat darurat medik yang tidak pada
sarana kesehatan. Dengan demikian pembelaan harus ditujukan kepada upaya
pembuktian tidak adanya pelanggaran kewajiban yang dilakukan dokter.
Pada awalnya tentu saja dibuktikan terlebih dahulu adanya kompetensi dan
kewenangan medik pada dokter pada peristiwa tersebut, demikian pula
kompetensi dan kewenangan institusi kesehatan tempat terjadinya peristiwa.

Berikutnya dinilai apakah terdapat pelanggaran dokter terhadap kewajiban dokter


mengikuti pasal-pasal dalam KUHP, UU Kesehatan dan peraturan perundang-
undangan lain yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan. Demikian pula pasal-
pasal dalam sumpah dokter, etik kedokteran dan standar perilaku IDI, kecuali yang
berkaitan dengan standar prosedur / standar pelayanan minimal.

Selanjutnya diidentifikasi semua data tentang peristiwa, sehingga “peer group”


dapat menyusun standar prosedur operasional dan standar pelayanan medis yang
dapat diberlakukan pada situasi dan kondisi yang identik dengan kasus yang
dipertanyakan. Dalam hal ini, berbagai keterbatasan yang bersifat lokal dan
“common practice” dapat menyimpangi standar profesi yang bersifat nasional,
sepanjang penyimpangan tersebut masih dapat diterima ditinjau dari falsafah dan
prinsip pelayanan medik serta state-of-the-art kedokteran.

[1] Yaitu pedoman yang harus diikuti oleh dokter dalam menyelenggarakan praktik
kedokteran (Penjelasan ps 44 UU no 29/2004 tentang Praktik Kedokteran)

[2] yaitu batasan kemampuan (knowledge, skill dan professional attitude) minimal
yang harus dikuasai oleh seorang individu untuk dapat melakukan kegiatan
profesionalnya pada masyarakat secara mandiri, yang dibuat oleh organisasi
profesi (Penjelasan ps 50 UU no 29/2004 tentang Praktik Kedokteran)

[3] yaitu perangkat instruksi / langkah-langkah yang dibakukan untuk


menyelesaikan suatu proses kerja rutin tertentu, yang memberikan langkah yang
benar dan terbaik berdasarkan konsensus bersama untuk melaksanakan berbagai
kegiatan dan fungsi pelayanan yang dibuat oleh sarana pelayanan kesehatan
berdasarkan standar profesi.

Pembuktian adanya kerugian dan kausalitas


Pada prinsipnya terdapat dua jenis kerugian yang menjadi landasan gugatan ganti
rugi tersering kepada pemberi layanan jasa, yaitu yang pertama merupakan
kerugian sebagai akibat langsung (atau setidaknya “proximate cause”) dari suatu
kelalaian; dan jenis yang kedua adalah kerugian sebagai akibat dari pemberian
jasa yang tidak sesuai dengan perjanjian (wanprestasi). Dalam kaitannya dengan
layanan jasa kedokteran juga dikenal kerugian akibat peristiwa lain, yaitu misalnya
kerugian akibat tindakan tanpa persetujuan, kerugian akibat penelantaran,
kerugian akibat pembukaan rahasia kedokteran, kerugian akibat penggunaan alat
kesehatan atau obat yang defek, dan kerugian akibat tiadanya peringatan pada
pemberian jasa yang berbahaya.

Di dalam pelayanan kesehatan dan kedokteran umumnya tidak dikenal adanya


perjanjian tentang hasil atas pemberian jasa kedokteran (perikatan pelayanan
kedokteran bukan bersifat resultaatsverbintennis), sehingga kerugian akibat hasil
layanan jasa yang tidak sesuai dengan perjanjian (wanprestasi) pun jarang
ditemukan di dalam gugatan sengketa hukum di bidang medik. Demikian pula
gugatan ganti rugi akibat peristiwa-peristiwa lain di atas jarang ditemukan dalam
praktek sehari-hari. Oleh karena itu dalam makalah ini hanya akan dibicarakan
tentang kerugian akibat kelalaian medik.

Sementara itu, kerugian akibat pemberian suatu barang (produk medik atau obat-
obatan dan gizi medik) masih merupakan kerugian yang dapat dimintakan
penggantiannya, terutama kepada institusi penyelenggara pelayanan.

Pada prinsipnya suatu kerugian adalah sejumlah uang tertentu yang harus
diterima oleh pasien sebagai kompensasi agar ia dapat kembali ke keadaan
semula seperti sebelum terjadinya sengketa medik. Tetapi hal itu sukar dicapai
pada kerugian yang berbentuk kecederaan atau kematian seseorang. Oleh karena
itu kerugian tersebut harus dihitung sedemikian rupa sehingga tercapai jumlah
yang layak (reasonable atau fair). Suatu kecederaan sukar dihitung dalam bentuk
finansial, berapa sebenarnya kerugian yang telah terjadi, apalagi apabila
diperhitungkan pula tentang fungsi yang hilang atau terhambat dan ada atau
tidaknya cedera psikologis.

Sebagaimana telah diuraikan di atas, kerugian atau damages dapat diklasifi-


kasikan sebagai berikut :
1. Kerugian immateriel (general damages, non pecuniary losses)
2. Kerugian materiel (special damages, pecuniary losses) :
1. Kerugian akibat kehilangan kesempatan
2. Kerugian nyata :
i. Biaya yang telah dikeluarkan hingga saat penggugatan
ii. Biaya yang akan dikeluarkan sesudah saat penggugatan

Ditinjau dari segi kompensasinya, kerugian dapat diklasifikasikan sebagai berikut :


1. Kompensasi untuk kecederaan yang terjadi (compensation for injuries, yaitu
kerugian yang bersifat immateriel)
a. Sakit dan penderitaan
b. Kehilangan kesenangan/kenikmatan (amenities)
c. Kecederaan fisik dan / atau psikiatris
2. Kompensasi untuk pengeluaran tambahan (compensation for additional
expenses, real cost)
a. Pengeluaran untuk perawatan rumah sakit
b. Pengeluaran untuk biaya medis lain
c. Pengeluaran untuk perawatan

3. Kompensasi untuk kerugian lain yang foreseeable (compensation for other


foreseeable loss, yaitu kerugian akibat kehilangan kesempatan)
a. Kehilangan penghasilan
b. Kehilangan kapasitas mencari nafkah

Kerugian-kerugian di atas umumnya ditagihkan satu kali, yaitu pada saat


diajukannya gugatan. Kerugian, meskipun dapat terjadi berkepanjangan, tidak
dapat digugatkan berkali-kali. Oleh karena itu penggugat harus menghitung secara
cermat berapa kerugiannya, kini dan yang akan datang. Cara pembayarannya
dapat saja berupa pembayaran tunai sekaligus, tetapi dapat pula diangsur hingga
satuan waktu tertentu yang disepakati kedua pihak (structured settlement).
Pembayaran berjangka tersebut dapat dibebani dengan bunga. Bunga tidak dapat
dibebankan kepada kerugian yang akan datang, sedangkan kerugian yang sudah
terjadi – termasuk kerugian yang non pecuniary – dapat diberi bunga yang
besarnya reasonable.

Misalnya pada kasus diamputasinya tungkai kanan seseorang yang diduga


sebagai akibat dari kelalaian dokter dalam menangani patah tulang paha
kanannya akibat kecelakaan lalu-lintas, maka kerugian berupa biaya yang
digugatkan kepadanya dapat dirinci sebagai berikut : biaya perawatan medis sejak
masuk rumah sakit hingga selesainya terapi pasca-operasi – termasuk biaya non
medis yang terjadi sebagai akibat dari perawatan rumah sakit (transport, peralatan
khusus, perawat pada home care, dll); biaya pemulihan fungsi tungkai kanan
tersebut yang masih akan dibutuhkan (fisioterapi, kaki palsu, dll); kerugian akibat
kehilangan penghasilan selama ia tidak bisa bekerja; kerugian sebagai akibat dari
kehilangan kapasitas bekerja apabila pekerjaan semula atau profesinya “secara
umum” membutuhkan adanya tungkai kanan, serta kerugian immateriel sebagai
akibat dari sakit dan penderitaannya.

Semua biaya nyata (real cost) mudah dihitung, baik yang telah dikeluarkan
maupun yang akan dikeluarkan. Kerugian akibat kehilangan kesempatan agak
lebih sulit dihitungnya, karena kerugian tersebut sebenarnya bersifat “prediktif”
dengan tidak pasti atau dengan tingkat ketepatan yang tidak dapat ditentukan.
Selain itu juga tidak dapat diperkirakan sampai berapa lama kehilangan
kesempatan tersebut dapat diperhitungkan (berkaitan dengan panjang usia yang
akan dicapai dan kemampuan bekerjanya secara umum). Lebih sulit lagi
dihitungnya adalah kerugian immateriel.
Undang-undang hanya memberi rambu-rambu sebagaimana diuraikan dalam
pasal 1370 dan 1371 KUH Perdata, yaitu harus mempertimbangkan kedudukan,
kemampuan dan keadaan kedua belah pihak. Penggugat tentu saja akan
memperhitungkan kerugian tersebut berdasarkan kedudukan, kemampuan dan
keadaan sosial-ekonomi penggugat; yang tentu saja belum tentu sesuai dengan
pihak tergugat (dokter). Dalam hal ini tentu akan terjadi semacam tawar-menawar
tentang besarnya ganti rugi. Apabila perkara ini diajukan ke pengadilan perdata,
maka hakim pada akhirnya akan mengambil keputusan jumlah ganti rugi tersebut,
dengan mempertimbangkan kemampuan dan keadaan kedua pihak.

Peranan Rekam Medis


Seorang dokter mungkin saja telah bersikap dan berkomunikasi dengan baik,
membuat keputusan medik dengan cemerlang dan/atau telah melakukan tindakan
diagnostik dan terapi yang sesuai standar; namun kesemuanya tidak akan memiliki
arti dalam pembelaannya apabila tidak ada rekam medis yang baik. Rekam medis
yang baik adalah rekam medis yang memuat semua informasi yang dibutuhkan,
baik yang diperoleh dari pasien, pemikiran dokter, pemeriksaan dan tindakan
dokter, komunikasi antar tenaga medis / kesehatan, informed consent, dll informasi
lain yang dapat menjadi bukti di kemudian hari – yang disusun secara berurutan
kronologis. Sebuah adagium mengatakan “good record good defence, bad record
bad defence, and no record no defence”

Biasanya kata kunci yang sering digunakan oleh para hakim adalah (1) bahwa
kewajiban profesi dokter adalah memberikan layanan dengan tingkat pengetahuan
dan ketrampilan yang normalnya diharapkan akan dimiliki oleh rata-rata dokter
pada situasi-kondisi yang sama, (2) bahwa tindakan dokter adalah masih
reasonable, dan didukung oleh alasan penalaran yang benar, (3) bahwa dokter
harus memperoleh informed consent untuk tindakan diagnostik / terapi yang ia
lakukan, dan (4) bahwa dokter harus membuat rekam medis yang baik.

Rekam medis dapat digunakan sebagai alat pembuktian adanya kelalaian medis,
namun juga dapat digunakan untuk membuktikan bahwa seluruh proses
penanganan dan tindakan medis yang dilakukan dokter dan tenaga kesehatan
lainnya sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional atau
berarti bahwa kelalaian medis tersebut tidak terjadi.

Rekam medis adalah suatu dokumen yang berisikan informasi tentang apa yang
telah terjadi pada pasien selama ia dalam perawatan. Rekam medis yang baik
tentu saja harus akurat, benar dan tepat waktu, sehingga dapat digunakan sebagai
bukti di depan hukum.

Rekam medis juga memperlihatkan apa yang telah dilakukan para pemberi
layanan kesehatan (das sein) yang dapat dibandingkan dengan apa yang
seharusnya dilakukan sebagaimana tertera dalam standar profesi dan standar
prosedur operasional (das sollen) yang merupakan pembuktian ada atau tidaknya
pelanggaran kewajiban dan ada atau tidaknya kerugian yang diakibatkannya.

KEPUSTAKAAN
1. Buckley WR. Torts and Personal Injury Law. New York : Delmar Publishers,
1993
2. Elliot C and Quinn F. Tort Law. Second edition. Essex: Pearson Education
Limited, 1999.
3. Hart HLA and Honore AM. Causation in the Law. London: Oxford University
Press, 1962
4. Jackson JP (ed). A Practical Guide to Medicine and the Law. London: Springer-
Verlag, 1991
5. Jones MA. Medical Negligence. London: Sweet & Maxwell, 1996.
6. Mann A. Medical Negligence Litigation, Medical Assessment of Claims. Redfern:
International Business Communications Pty Ltd, 1989.
7. Subekti dan Tjitrosudibio. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Edisi revisi,
Jakarta : Pradnya Paramita, 1995.
8. Soenarto Soerodibroto. KUHP dan KUHAP, Dilengkapi Yurisprudensi
Mahkamah Agung dan Hoge Raad. Edisi keempat. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1994.
9. Tan SY. The Medical Malpractice Epidemic in Singapore: Thoughts from Across
the sea. In Medicolegal Annual Seminar 2001, Singapore: 27-28 October 2001.
10. Undang-Undang No 23 tahun 1992 tentang Kesehatan
11. Undang-Undang No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran

_________________
Don't ask what Iluni-FK'83 can do for you.
Ask what you can do for Iluni-FK'83 !

Last edited by gitahafas on Sat Jun 26, 2010 8:49 pm; edited 1 time in total

gitahafas
Moderator Subject: Re: Hukum Kesehatan Sat Jun 26, 2010 5:39 am
link_forensik_ku.webs.com/hukumkesehatan.htm -
Budi Sampurna
Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal
Faultas Kedokteran Universitas Indonesia
Number of posts: Jl. Salemba Raya No 6 Jakarta Pusat
5564 Telp: 3106976. Fax: 3154626
Age: 52 Malpraktek Kedokteran
Location: Jakarta
Registration date: MALPRAKTIK KEDOKTERAN
2008-09-30
Akhir-akhir ini tuntutan hukum yang diajukan oleh pasien atau keluarganya kepada
pihak rumah sakit dan atau dokternya semakin meningkat kekerapannya. Tuntutan
hukum tersebut dapat berupa tuntutan pidana maupun perdata, dengan hampir
selalu mendasarkan kepada teori hukum kelalaian. Dalam bahasa sehari-hari,
perilaku yang dituntut adalah malpraktek medis, yang merupakan sebutan “genus”
dari kelompok perilaku profesional medis yang “menyimpang” dan mengakibatkan
cedera, kematian atau kerugian bagi pasiennya.

Black’s Law Dictionary mendefinisikan malpraktek sebagai “professional


misconduct or unreasonable lack of skill” atau “failure of one rendering
professional services to exercise that degree of skill and learning commonly
applied under all the circumstances in the community by the average prudent
reputable member of the profession with the result of injury, loss or damage to the
recipient of those services or to those entitled to rely upon them”(bahasa
mudahnya: lalai).

Dari segi hukum, di dalam definisi di atas dapat ditarik pemahaman bahwa
malpraktek dapat terjadi karena tindakan yang disengaja (intentional) seperti pada
misconduct tertentu, tindakan kelalaian (negligence), ataupun suatu kekurang-
mahiran / ketidak-kompetenan yang tidak beralasan. Malpraktek dapat dilakukan
oleh profesi apa saja, tidak hanya oleh dokter. Profesional di bidang hukum,
perbankan dan akuntansi adalah beberapa profesional lain di luar kedokteran yang
dapat ditunjuk sebagai pelaku malpraktek dalam pekerjaannya masing-masing.

Professional misconduct yang merupakan kesengajaan dapat dilakukan dalam


bentuk pelanggaran ketentuan etik, ketentuan disiplin profesi, hukum administratif,
serta hukum pidana dan perdata, seperti melakukan kesengajaan yang merugikan
pasien, fraud, “penahanan” pasien, pelanggaran wajib simpan rahasia kedokteran,
aborsi ilegal, euthanasia, penyerangan seksual, misrepresentasi atau fraud,
keterangan palsu, menggunakan iptekdok yang belum teruji / diterima, berpraktek
tanpa SIP, berpraktek di luar kompetensinya, dll.
Kelalaian dapat terjadi dalam 3 bentuk, yaitu malfeasance, misfeasance dan
nonfeasance. Malfeasance berarti melakukan tindakan yang melanggar hukum
atau tidak tepat/layak (unlawful atau improper), misalnya melakukan tindakan
medis tanpa indikasi yang memadai (pilihan tindakan medis tersebut sudah
improper). Misfeasance berarti melakukan pilihan tindakan medis yang tepat tetapi
dilaksanakan dengan tidak tepat (improper performance), yaitu misalnya
melakukan tindakan medis dengan menyalahi prosedur. Nonfeasance adalah tidak
melakukan tindakan medis yang merupakan kewajiban baginya. Bentuk-bentuk
kelalaian di atas sejalan dengan bentuk-bentuk error (mistakes, slips and lapses)
yang telah diuraikan sebelumnya, namun pada kelalaian harus memenuhi ke-
empat unsur kelalaian dalam hukum – khususnya adanya kerugian, sedangkan
error tidak selalu mengakibatkan kerugian. Demikian pula adanya latent error yang
tidak secara langsung menimbulkan dampak buruk (lihat pula bagan 1).

Kelalaian medik adalah salah satu bentuk dari malpraktek medis, sekaligus
merupakan bentuk malpraktek medis yang paling sering terjadi. Pada dasarnya
kelalaian terjadi apabila seseorang dengan tidak sengaja, melakukan sesuatu
(komisi) yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan sesuatu (omisi)
yang seharusnya dilakukan oleh orang lain yang memiliki kualifikasi yang sama
pada suatu keadaan dan situasi yang sama. Perlu diingat bahwa pada umumnya
kelalaian yang dilakukan orang-per-orang bukanlah merupakan perbuatan yang
dapat dihukum, kecuali apabila dilakukan oleh orang yang seharusnya
(berdasarkan sifat profesinya) bertindak hati-hati, dan telah mengakibatkan
kerugian atau cedera bagi orang lain.

Pengertian istilah kelalaian medik tersirat dari pengertian malpraktek medis


menurut World Medical Association (1992), yaitu: “medical malpractice involves
the physician’s failure to conform to the standard of care for treatment of the
patient’s condition, or lack of skill, or negligence in providing care to the patient,
which is the direct cause of an injury to the patient.”

WMA mengingatkan pula bahwa tidak semua kegagalan medis adalah akibat
malpraktek medis. Suatu peristiwa buruk yang tidak dapat diduga sebelumnya
(unforeseeable) yang terjadi saat dilakukan tindakan medis yang sesuai standar
tetapi mengakibatkan cedera pada pasien tidak termasuk ke dalam pengertian
malpraktek atau kelalaian medik. “An injury occurring in the course of medical
treatment which could not be foreseen and was not the result of the lack of skill or
knowledge on the part of the treating physician is untoward result, for which the
physician should not bear any liability”. Dengan demikian suatu akibat buruk yang
unforeseeable dipandang dari iptekdok saat itu dalam situasi dan fasilitas yang
tersedia tidak dapat dipertanggung-jawabkan kepada dokter.
Tinjauan tentang adverse events
Layanan kedokteran adalah suatu sistem yang kompleks dengan sifat hubungan
antar komponen yang ketat (complex and tightly coupled)[1], khususnya di ruang
gawat darurat, ruang bedah dan ruang rawat intensif. Sistem yang kompleks
umumnya ditandai dengan spesialisasi dan interdependensi. Dalam suatu sistem
yang kompleks, satu komponen dapat berinteraksi dengan banyak komponen lain,
kadang dengan cara yang tak terduga atau tak terlihat. Semakin kompleks dan
ketat suatu sistem akan semakin mudah terjadi kecelakaan (prone to accident),
oleh karena itu praktik kedokteran haruslah dilakukan dengan tingkat kehati-hatian
yang tinggi.

Setiap tindakan medis mengandung risiko buruk, sehingga harus dilakukan


tindakan pencegahan ataupun tindakan mereduksi risiko. Namun demikian
sebagian besar diantaranya tetap dapat dilakukan oleh karena risiko tersebut
dapat diterima (acceptable) sesuai dengan “state-of-the-art” ilmu dan teknologi
kedokteran. Risiko yang dapat diterima adalah risiko-risiko sebagai berikut:

1. Risiko yang derajat probabilitas dan keparahannya cukup kecil, dapat


diantisipasi, diperhitungkan atau dapat dikendalikan, misalnya efek samping obat,
perdarahan dan infeksi pada pembedahan, dll.

2. Risiko yang derajat probabilitas dan keparahannya besar pada keadaan


tertentu, yaitu apabila tindakan medis yang berrisiko tersebut harus dilakukan
karena merupakan satu-satunya cara yang harus ditempuh (the only way),
terutama dalam keadaan gawat darurat.

Kedua jenis risiko di atas apabila terjadi bukan menjadi tanggung-jawab dokter
sepanjang telah diinformasikan kepada pasien dan telah disetujui (volenti non fit
injuria). Pada situasi seperti inilah manfaat pelaksanaan informed consent.

Dengan adverse events diartikan sebagai setiap cedera yang lebih disebabkan
karena manajemen kedokteran daripada akibat penyakitnya, sedangkan adverse
event yang disebabkan suatu error adalah bagian dari preventable adverse
events. Error sendiri diartikan sebagai kegagalan melaksanakan suatu rencana
tindakan (error of execution; lapses dan slips) atau penggunaan rencana tindakan
yang salah dalam mencapai tujuan tertentu (error of planning; mistakes). Di dalam
kedokteran, semua error dianggap serius karena dapat membahayakan pasien.

Suatu hasil yang tidak diharapkan di bidang medik sebenarnya dapat diakibatkan
oleh beberapa kemungkinan, yaitu (lihat bagan 1):
a. Hasil dari suatu perjalanan penyakitnya sendiri, tidak berhubungan dengan
tindakan medis yang dilakukan dokter.

b. Hasil dari suatu risiko yang tak dapat dihindari, yaitu risiko yang tak dapat
diketahui sebelumnya (unforeseeable); atau risiko yang meskipun telah diketahui
sebelumnya (foreseeable) tetapi dianggap acceptable, sebagaimana telah
diuraikan di atas.

c. Hasil dari suatu kelalaian medik.

d. Hasil dari suatu kesengajaan.

Guna menilai bagaimana kontribusi manusia dalam suatu error dan dampaknya,
perlu dipahami perbedaan antara active errors dan latent errors. Active errors
terjadi pada tingkat operator garis depan dan dampaknya segera dirasakan,
sedangkan latent errors cenderung berada di luar kendali operator garis depan,
seperti desain buruk, instalasi yang tidak tepat, pemeliharaan yang buruk,
kesalahan keputusan manajemen, dan struktur organisasi yang buruk (lihat bagan
2).

Latent error merupakan ancaman besar bagi keselamatan (safety) dalam suatu
sistem yang kompleks, oleh karena sering tidak terdeteksi dan dapat
mengakibatkan berbagai jenis active errors. Sebagai contoh adalah sistem
pendidikan dokter spesialis yang mahal, pembolehan dokter bekerja pada
“banyak” rumah sakit, tidak adanya sistem yang menjaga akuntabilitas profesi
(lihat pula bagan di bawah) adalah latent errors yang tidak terasa sebagai error,
namun sebenarnya merupakan akar dari kesalahan manajemen yang telah
banyak menimbulkan unsafe conditions dalam praktek kedokteran di lapangan.
Bila satu saat unsafe conditions ini bertemu dengan suatu unsafe act (active error),
maka terjadilah accident. Dalam hal ini perlu kita pahami bahwa penyebab suatu
accident bukanlah single factor melainkan multiple factors.

Umumnya kita merespons suatu error dengan berfokus pada active error-nya
dengan memberikan hukuman kepada individu pelakunya, retraining dan lain-lain
yang bertujuan untuk mencegah berulangnya active errors. Meskipun hukuman
seringkali bermanfaat pada kasus tertentu (pada mistakes yang timbul karena
kesengajaan), namun sebenarnya tidak cukup efektif. Memfokuskan perhatian
kepada active errors akan membiarkan latent errors tetap ada di dalam sistem,
atau bahkan mungkin akan terakumulasi, sehingga sistem tersebut semakin
mungkin mengalami kegagalan di kemudian hari.
Pendapat yang mengatakan bahwa kecelakaan dapat dicegah dengan desain
organisasi dan manajemen yang baik akhir-akhir ini sangat dipercaya
kebenarannya. Konsep safety (dalam hal ini patient safety), yang pada mulanya
diberlakukan di dalam dunia penerbangan, akhir-akhir ini diterapkan oleh Institute
of Medicine di Amerika (dan institusi serupa di negara-negara lain). Keselamatan
pasien diartikan sebagai penghindaran, pencegahan dan perbaikan terjadinya
adverse events atau freedom from accidental injury. Keselamatan tidak terdapat
pada diri individu, peralatan ataupun bagian (departemen, unit), melainkan muncul
dari interaksi komponen-komponen dalam sistem. Berasal dari pemahaman ini
muncullah konsep human factors yang mempelajari hubungan antar manusia,
peralatan yang mereka gunakan dan lingkungan dimana mereka hidup dan
bekerja.

Implikasi Hukum
Tuntutan pidana yang ditujukan kepada dokter dan atau rumah sakit dapat
merupakan akibat tindak pidana yang diatur dalam KUHP maupun di dalam
ketentuan pidana UU lainnya. Sebagian diantaranya dimasukkan ke dalam tindak
pidana malpraktek medis dalam bahasan ini, yaitu pidana-pidana yang dicakup di
dalam pengertian malpraktek medis di atas, baik berupa tindak kesengajaan
(professional misconducts) ataupun akibat kelalaian.

Jenis pidana yang paling sering dituntutkan kepada dokter adalah pidana kelalaian
yang mengakibatkan luka (pasal 360 KUHP), atau luka berat atau mati (pasal 359
KUHP), yang dikualifikasikan dengan pemberatan ancaman pidananya bila
dilakukan dalam rangka melakukan pekerjaannya (pasal 361 KUHP). Sedangkan
pidana lain yang bukan kelalaian yang mungkin dituntutkan adalah pembuatan
keterangan palsu (pasal 267-268 KUHP), aborsi ilegal (pasal 349 KUHP jo pasal
347 dan 348 KUHP), penipuan dan misrepresentasi (pasal 382 bis), pidana
perpajakan (pasal 209 atau 372 KUHP), pencemaran lingkungan hidup (pasal 42
dan 43 UU Pengelolaan Lingkungan Hidup), euthanasia (pasal 344 KUHP),
penyerangan seksual (pasal 284-294 KUHP), dan lain-lain.

Gugatan perdata dalam bentuk ganti rugi dapat diajukan dengan mendasarkan
kepada salah satu dari 3 teori di bawah ini, yaitu :

1. Kelalaian sebagaimana pengertian di atas dan akan diuraikan kemudian

2. Perbuatan melanggar hukum, yaitu misalnya melakukan tindakan medis tanpa


memperoleh persetujuan, membuka rahasia kedokteran tentang orang tertentu,
penyerangan privacy seseorang, dan lain-lain.
3. Wanprestasi, yaitu pelanggaran atas janji atau jaminan. Gugatan ini sukar
dilakukan karena umumnya dokter tidak menjanjikan hasil dan perjanjian tersebut,
seandainya ada, umumnya sukar dibuktikan karena tidak tertulis.

Suatu perbuatan atau sikap tenaga medis dianggap lalai apabila memenuhi empat
unsur di bawah ini, yaitu :

1. Duty atau kewajiban tenaga medis untuk melakukan sesuatu tindakan atau
untuk tidak melakukan sesuatu tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada
situasi dan kondisi yang tertentu.

2. Dereliction of the duty atau penyimpangan kewajiban tersebut.

3. Damage atau kerugian, yaitu segala sesuatu yang dirasakan oleh pasien
sebagai kerugian akibat dari layanan kesehatan / kedokteran yang diberikan oleh
pemberi layanan.

4. Direct causal relationship atau hubungan sebab akibat yang nyata. Dalam hal ini
harus terdapat hubungan sebab-akibat antara penyimpangan kewajiban dengan
kerugian yang setidaknya merupakan “proximate cause”.

Selanjutnya, oleh karena teori kelalaian adalah dasar penuntutan yang tersering
digunakan, baik pada tuntutan pidana maupun pada gugatan perdata, maka upaya
meminimalisasi tuntutan di rumah sakit harus ditujukan kepada upaya menurunkan
kemungkinan terjadinya kelalaian medis, atau bahkan mengurangi kemungkinan
terjadinya preventable adverse events yang disebabkan oleh medical errors.

Tanggung-jawab profesi dan tanggung-jawab rumah sakit


Dokter yang bekerja di suatu rumahsakit dapat memiliki hubungan administratif
yang bervariasi dengan rumahsakit tersebut. Di rumahsakit, seorang dokter dapat
berstatus sebagai (a) pegawai negeri yang dipekerjakan atau ditempatkan di
rumahsakit pemerintah, atau berstatus (b) pegawai swasta dari perusahaan
pemilik rumahsakit swasta tersebut, atau sebagai (c) pegawai tetap rumahsakit,
atau sebagai (d) tenaga kerja (purnawaktu) berdasar kontrak untuk waktu tertentu,
atau sebagai (e) tenaga kerja berdasar kontrak untuk melakukan pelayanan
kedokteran tertentu secara paruh waktu, atau sebagai (f) dokter tamu. Jenis
hubungan tersebut sangat mempengaruhi hak dan kewajiban diantara kedua pihak
dan tanggung-jawabnya kepada pihak ketiga.

Bentuk hubungan (a), (b) dan (c) umumnya dianggap serupa, dengan
menyebutnya sebagai dokter tetap atau pegawai tetap. Status pegawai negeri
sebenarnya tidak sama benar dengan pegawai tetap yang lain karena pegawai
negeri diatur dengan hukum publik (UU Kepegawaian) sedangkan pegawai tetap
lain diatur dengan hukum sipil / perdata (hukum perburuhan / ketenagakerjaan).

Bentuk hubungan (d) memiliki hubungan kerja yang tegas sebagai pegawai purna
waktu untuk waktu tertentu dan dilindungi oleh hukum perjanjian dan hukum
perburuhan. Hak dan kewajiban kedua pihak ditentukan oleh kedua pihak dalam
perjanjian, namun tetap dilindungi oleh rambu-rambu yang dibuat oleh
Permenaker No: Per-02/Men/1993.

Hubungan kerja berdasarkan kontrak paruh waktu tidak diatur oleh hukum
perburuhan, melainkan oleh hukum perjanjian (perdata). Oleh karena itu hak dan
kewajibannya bebas ditentukan oleh kedua pihak sepanjang tidak melanggar
hukum, ketertiban umum dan kesusilaan (ps 1337 KUH Per). Hingga saat ini
banyak dokter yang bekerja di rumahsakit tanpa didasari oleh suatu perjanjian
(kontrak), meskipun ketentuan tentang rumah sakit mengharuskan dibuatnya
kontrak antara rumahsakit dengan dokter. Kontrak diperlukan untuk menghindari
terjadinya perlakuan sewenang-wenang oleh pihak yang sedang berada “di atas
angin”.

Seluruh dokter tersebut di atas mempunyai hubungan kerja dengan rumahsakit,


sehingga dengan sendirinya dalam melakukan pekerjaannya di rumahsakit
berkewajiban mengikuti standar prosedur dan hospital bylaws. Ikatan kerja dengan
rumah sakit tidak mengakibatkan hilangnya kebebasan profesi para dokter, dalam
arti bahwa sebenarnya para dokter jua-lah yang membentuk standar prosedur
yang diberlakukan di rumahsakit dan mereka juga tetap berwenang
mengembangkan professional judgment mereka dalam menangani kasus-kasus
tertentu.

Berbeda dengan status dokter-dokter yang diuraikan di atas, dokter tamu (f) tidak
memiliki hubungan kerja dengan rumahsakit; melainkan hanya hubungan
perjanjian peminjaman fasilitas rumahsakit untuk dapat dipergunakan oleh dokter
tamu dalam rangka merawat pasiennya di rumahsakit tersebut. Oleh karena itu
dokter tamu dianggap sebagai dokter yang independen.

Dalam hal tanggung-jawab hukum perdata, rumahsakit sebagai badan hukum


bertanggung-jawab sebagai satu entity (korporasi) dan juga bertanggung-jawab
atas tindakan orang-orang yang bekerja di dalamnya (respondeat superior)
sebagaimana diatur dalam ps 1365 - 1367 KUH Perdata. Tanggung-jawab ini tidak
hanya untuk medical / professional liability, melainkan juga untuk public liability-
nya.

Di Amerika Serikat, rumah sakit bertanggung-jawab perdata secara penuh bagi


para dokter yang bekerja sebagai employee. Bagi dokter yang bekerja sebagai
independent-contractor, rumah sakit berbagi tanggung-jawab dengan dokter
tersebut, sesuai dengan perjanjian diantara keduanya.

Dahulu berlaku pendapat bahwa rumahsakit tidak bertanggung-jawab atas


perbuatan dokter paruh waktu, namun berdasarkan teori apparent or ostensible
agency (pasien menganggap semua orang yang bekerja di rumahsakit adalah
“agen” dari rumahsakit), teori reliance (pasien mengacu lebih ke arah rumahsakit
sebagai pemberi pelayanan ketimbang dokternya), dan teori non delegable duty
(bahwa kewajiban menyelenggarakan berbagai pelayanan kedokteran adalah
kewajiban rumahsakit yang tak dapat didelegasikan), maka rumahsakit juga
bertanggung-jawab atas perbuatan dokter paruh waktu (vicarious liability).

Rumahsakit tidak bertanggung-jawab atas perbuatan dokter tamu oleh karena


dokter tamu adalah profesional yang independen. Pasien yang ditangani juga
bukan pasien rumahsakit – melainkan pasien dokter tamu tersebut. Perbuatan
para karyawan rumahsakit yang bekerja untuk dokter tamu tersebut ditanggung
oleh dokter tamu berdasarkan doktrin “borrowed servants”.

Selain bertanggungjawab sebagai akibat dari respondeat superior atau vicarious


liability di atas, rumah sakit juga bertanggungjawab sendiri atas kerugian yang
diakibatkan oleh kebijakan, peraturan dan fasilitas rumah sakit. Tanggungjawab ini
tidak hanya terbatas kepada tanggungjawab di bidang medikolegal, melainkan
juga di bidang public liability.

Pencegahan Errors
Agency for Healthcare Research and Quality (AHRQ), dalam rangka
memaksimalkan patient safety, menyatakan bahwa terdapat beberapa elemen
yang harus dilakukan oleh rumah sakit untuk mencegah medical errors, yaitu: [1]

1. Mengubah budaya organisasi ke arah budaya yang berorientasi kepada


keselamatan pasien. Perubahan ini terutama ditujukan kepada seluruh sistem
sumber daya manusia dari sejak perekrutan (kredensial), supervisi dan disiplin.
Rasa malu dalam melaporkan suatu kesalahan dan kebiasaan menghukum
“pelakunya” harus dikikis habis agar staf rumah sakit dengan sukarela melaporkan
kesalahan kepada manajemen dan atau komite medis, sehingga pada akhirnya
dapat diambil langkah-langkah pencegahan kejadian serupa di kemudian hari.
2. Melibatkan pimpinan kunci di dalam program keselamatan pasien, dalam hal ini
manajemen dan komite medik. Komitmen pimpinan dibutuhkan dalam
menjalankan program-program manajemen risiko, termasuk ronde rutin bersama
ke unit-unit klinik.

3. Mendidik para profesional di rumah sakit di bidang pemahamannya tentang


keselamatan pasien dan bagaimana mengidentifikasi errors, serta upaya-upaya
meningkatkan keselamatan pasien.

4. Mendirikan Komisi Keselamatan Pasien di rumah sakit yang beranggotakan staf


interdisiplin dan bertugas mengevaluasi laporan-laporan yang masuk,
mengidentifikasi petunjuk adanya kesalahan, mengidentifikasi dan
mengembangkan langkah koreksinya.

5. Mengembangkan dan mengadopsi Protokol dan Prosedur yang aman.

6. Memantau dengan hati-hati penggunaan alat-alat medis agar tidak


menimbulkan kesalahan baru.

Elemen-elemen di atas diterapkan bersama-sama dengan menerapkan


manajemen risiko yang bertujuan mengurangi atau menyingkirkan risiko.

Pemahaman manajemen risiko sangat bergantung kepada sudut pandangnya.


Dari segi bisnis dan industri asuransi, manajemen risiko cenderung untuk diartikan
sepihak, yaitu untuk tujuan meningkatkan keuntungan bisnis dan pemegang
sahamnya. Dalam bidang kesehatan dan keselamatan lebih diartikan sebagai
pengendalian risiko salah satu pihak (pasien atau masyarakat) oleh pihak yang
lain (pemberi layanan). Sementara di dalam suatu komunitas pemberi layanan
kesehatan itu sendiri, yaitu pengelola rumah sakit dan para dokternya, harus
diartikan sebagai suatu upaya kerjasama berbagai pihak untuk mengendalikan
risiko bersama.[2]

The Joint Commission on Accreditation of Healthcare Organizations (JCAHO)


memberikan pengertian manajemen risiko sebagai aktivitas klinik dan administratif
yang dilakukan oleh rumah sakit (HO) untuk melakukan identifikasi, evaluasi dan
pengurangan risiko terjadinya cedera atau kerugian pada pasien, personil,
pengunjung dan rumah sakit itu sendiri.[3] Kegiatan tersebut meliputi identifikasi
risiko hukum (legal risk), memprioritaskan risiko yang teridentifikasi, menentukan
respons rumah sakit terhadap risiko, mengelola suatu kasus risiko dengan tujuan
meminimalkan kerugian (risk control), membangun upaya pencegahan risiko yang
efektif, dan mengelola pembiayaan risiko yang adekuat (risk financing).
Manajemen risiko yang komprehensif meliputi seluruh aktivitas rumah sakit, baik
operasional maupun klinikal, oleh karena risiko dapat muncul dari kedua bidang
tersebut. Bahkan akhir-akhir ini meliputi pula risiko yang berkaitan dengan
managed care dan risiko kapitasi, merger dan akuisisi, risiko kompensasi
ketenagakerjaan, corporate compliance dan etik organisasi. [4]

Manajemen risiko klinik merupakan upaya yang cenderung proaktif, meskipun


sebagian besarnya merupakan hasil “belajar” dari pengalaman dan
menerapkannya kembali untuk mengurangi atau mencegah masalah yang serupa
di kemudian hari. Pada dasarnya manajemen risiko merupakan suatu proses siklik
yang terus menerus, yang terdiri dari empat tahap, yaitu: 1 2 [5]

1. Risk Awareness. Pada tahap ini diharapkan seluruh pihak yang terlibat dalam
sistem bedah sentral memahami situasi yang berisiko tinggi di bidangnya masing-
masing dan aktivitas yang harus dilakukan dalam upaya mengidentifikasi risiko.
Risiko tersebut tidak hanya yang bersifat medis, melainkan juga yang non medis,
sehingga upaya ini melibatkan manajemen, komite medis, dokter, perawat bedah,
perawat anestesi, pengendali gas sentral, pelaksana pemeliharaan ruang bedah
dan instrument, dan lain-lain. Self-assessment, sistem pelaporan kejadian yang
berpotensi menimbulkan risiko (incidence report) dan audit klinis dalam budaya
non-blaming merupakan sebagian metode yang dapat digunakan untuk mengenali
risiko.

2. Risk control (and or Risk Prevention). Manajemen merencanakan langkah-


langkah praktis dalam menghindari dan atau meminimalkan risiko dan
melaksanakannya dengan tepat. Dalam bidang medis, manajemen harus
bekerjasama erat dan saling mendukung dengan komite medis. Langkah-langkah
tersebut ditujukan kepada seluruh komponen sistem, baik perangkat keras,
perangkat lunak maupun sumber daya manusianya. Langkah dimulai dengan
penilaian risiko (risk assessment) tentang derajat dan probabilitas kejadiannya,
dilanjutkan dengan upaya mencari jalan untuk menghilangkan risiko (engineering
solution), atau bila tidak mungkin maka dicari upaya menguranginya (control
solution) – baik terhadap probabilitasnya maupun terhadap derajat keparahannya,
atau apabila hal itu juga tidak mungkin maka dicari jalan untuk mengurangi
dampaknya. Tindakan dapat berupa pengadaan, perbaikan dan pemeliharaan
bangunan dan instrumen yang sesuai dengan persyaratan; pengadaan bahan
habis pakai sesuai dengan prosedur dan persyaratan; pembuatan dan pembaruan
prosedur, standar dan check-list; pelatihan penyegaran bagi personil, seminar,
pembahasan kasus, poster, stiker, dan lain-lain. 3. Risk containment. Dalam hal
telah terjadi suatu insiden, baik akibat suatu tindakan atau kelalaian ataupun
akibat dari suatu kecelakaan yang tidak terprediksikan sebelumnya, maka sikap
yang terpenting adalah mengurangi besarnya risiko dengan melakukan langkah-
langkah yang tepat dalam mengelola pasien dan insidennya. Unsur utamanya
biasanya adalah respons yang cepat dan tepat terhadap setiap kepentingan
pasien, dengan didasari oleh komunikasi yang efektif.

4. Risk transfer. Akhirnya apabila risiko itu akhirnya terjadi juga dan menimbulkan
kerugian, maka diperlukan pengalihan penanganan risiko tersebut kepada pihak
yang sesuai, misalnya menyerahkannya kepada sistem asuransi.
Dari sisi sumber daya manusia, manajemen risiko dimulai dari pembuatan standar
(set standards), patuhi standar tersebut (comply with them), kenali bahaya (identify
hazards), dan cari pemecahannya (resolve them).

[1] AHRQ’s patient safety initiative: Building Foundation, Reducing Risk (2004),
chapter 2
[2] Dental Protection: Essentials of risk management. Manual, tanpa tahun.
[3] Balsamo RR and Brown MD. Risk Management. In: Sanbar SS, Gibofsky A,
Firestone MH, LeBlang TR. (eds) Legal Medicine. Fourth ed, St Louis (Mosby),
1998.
[4] Sedwick J and Porto GG. The Health Care Risk Management Professional. In
Carroll R: Risk Management Handbook for Health Care Organization. 3rd ed. San
Francisco (Jossey Bass), 2001
[5] Wood RH. Aviation Safety Program – a management handbook. Washington
(Jeppesen), 1997.

Kesimpulan
Upaya meminimalkan tuntutan hukum terhadap rumah sakit beserta stafnya pada
dasarnya merupakan upaya mencegah terjadinya preventable adverse events
yang disebabkan oleh medical errors, atau berarti seluruh upaya mengelola risiko
dengan berorientasikan kepada keselamatan pasien. Upaya tersebut pada
akhirnya juga akan menurunkan angka kejadian malpraktek medis.

_________________
Don't ask what Iluni-FK'83 can do for you.
Ask what you can do for Iluni-FK'83 !

Last edited by gitahafas on Sat Jun 26, 2010 8:50 pm; edited 2 times in total

gitahafas
Moderator Subject: Re: Hukum Kesehatan Sat Jun 26, 2010 5:50 am
link_forensik_ku.webs.com/hukumkesehatan.htm -
Budi Sampurna
Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medioklegal
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Number of posts: Jl. Salemba Raya No 6 Jakarta Pusat 10430
5564
Telp: 021 3106976. Fax: 3154626
Age: 52
Location: Jakarta
Registration date: IMPLIKASI UU No 29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN
2008-09-30 Pendahuluan
Secara teoritis-konseptual, antara masyarakat profesi dengan masyarakat umum
terjadi suatu kontrak (mengacu kepada doktrin social-contract), yang memberi
masyarakat profesi hak untuk melakukan self-regulating (otonomi profesi) dengan
kewajiban memberikan jaminan bahwa profesional yang berpraktek hanyalah
profesional yang kompeten dan yang melaksanakan praktek profesinya sesuai
dengan etik dan standar. [1]

Dengan demikian, profesi harus dapat memastikan bahwa para anggotanya yang
akan berpraktik adalah benar telah memiliki kompetensi dan kewenangan medis
yang sesuai dan melakukan praktiknya sesuai dengan standar dan etika
profesinya. [2] Oleh karena itulah diundangkan UU Praktik Kedokteran yang
mengatur hal-hal yang harus diatur dengan hukum karena sifatnya yang harus
dapat dipaksakan, ?executable? dan akuntabel.

Sikap dan perilaku yang akuntabel kepada masyarakat, baik masyarakat profesi
maupun masyarakat luas ? termasuk klien, dicerminkan dalam sikap
profesionalisme. Beberapa ciri profesionalisme merupakan ciri profesi itu sendiri,
seperti kompetensi dan kewenangan yang selalu ?sesuai dengan tempat dan
waktu?, sikap yang etis sesuai dengan etika profesinya, sikap altruisme
(mendahulukan kepentingan pasien), bekerja sesuai dengan standar yang
ditetapkan oleh profesinya, dan sikap ?care?. [3]

[1] The contract between professions and society is relatively simple. The
professions are granted a monopoly over the use of a body of knowledge, as well
as considerable autonomy, prestige, and financial rewards ? on the understanding
that they will guarantee competence, provide altruistic service, and conduct their
affairs with morality and integrity. (Cruess SR et al: MJA 2002 177 (4): 208-211).

[2] Untuk menjamin tanggung jawab dan akuntabilitas profesionalisme, organisasi


profesi wajib menentukan standar, persyaratan, dan sertifikasi keahlian, serta kode
etik profesi (Ps 12 ayat (1) UU No 18 tahun 2002 tentang IPTEK).
[3] Public mistrust happened when there was a public perception that medicine
failed to self-regulate in a way that can guarantee competence and that it put its
own interest above that of patients and the public, or when medicine has protected
incompetent or unethical colleagues in the name of collegiality (Cruess SR et al:
MJA 2002 177 (4): 208-211).

UU Praktik Kedokteran dan akuntabilitas profesi


Perjalanan pembuatan undang-undang yang akan mengatur dokter, dalam rangka
akuntabilitas dokter, telah sejak lama dimulai. Pada mulanya diinginkan adanya
undang-undang tentang Konsil Kedokteran, yang hanya akan mengatur tentang
berdirinya Konsil Kedokteran yang akan meregistrasi dan mengatur dokter. Tetapi
kemudian perancangan undang-undang tersebut berkembang menjadi undang-
undang tentang praktik kedokteran.

Undang-Undang No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran diundangkan pada


tanggal 6 Oktober 2004 untuk mengatur praktik kedokteran dengan tujuan agar
dapat memberikan perlindungan kepada pasien dan masyarakat,
mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis dan memberikan
kepastian hukum kepada masyarakat, dokter dan dokter gigi.

Pada bagian awal, Undang-Undang No 29/2004 mengatur tentang persyaratan


dokter untuk dapat berpraktik kedokteran, yang dimulai dengan keharusan
memiliki sertifikat kompetensi kedokteran yang diperoleh dari Kolegium selain
ijasah dokter yang telah dimilikinya, keharusan memperoleh Surat Tanda
Registrasi dari Konsil Kedokteran Indonesia dan kemudian memperoleh Surat ijin
Praktik dari Dinas Kesehatan Kota / Kabupaten. Dokter juga harus telah
mengucapkan sumpah dokter, sehat fisik dan mental serta menyatakan akan
mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi. Dengan demikian secara
formal dokter harus memiliki STR dan SIP yang masih berlaku apabila ingin
berpraktik.

Selain mengatur persyaratan praktik kedokteran di atas, Undang-Undang No


29/2004 juga mengatur tentang organisasi Konsil Kedokteran, Standar Pendidikan
Profesi Kedokteran serta Pendidikan dan Pelatihannya, dan proses registrasi
tenaga dokter.

Pada bagian berikutnya, Undang-Undang No 29/2004 mengatur tentang


penyelenggaraan praktik kedokteran. Dalam bagian ini diatur tentang perijinan
praktik kedokteran, yang antara lain mengatur syarat memperoleh SIP (memiliki
STR, tempat praktik dan rekomendasi organisasi profesi), batas maksimal 3
tempat praktik, dan keharusan memasang papan praktik atau mencantumkan
namanya di daftar dokter bila di rumah sakit. Dalam aturan tentang pelaksanaan
praktik diatur agar dokter memberitahu apabila berhalangan atau memperoleh
pengganti yang juga memiliki SIP, keharusan memenuhi standar pelayanan,
memenuhi aturan tentang persetujuan tindakan medis, memenuhi ketentuan
tentang pembuatan rekam medis, menjaga rahasia kedokteran, serta
mengendalikan mutu dan biaya.

Penjelasan pada proses informed consent setidaknya harus meliputi diagnosis dan
tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis, alternatif tindakan lain dan
risikonya, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi dan prognosisnya.
Persetujuan pasien atau oleh yang berhak menyetujuinya dapat dilakukan secara
lisan ataupun tertulis, namun demikian disebutkan bahwa tindakan yang memiliki
risiko tinggi membutuhkan persetujuan tertulis. Undang-undang mengijinkan
pengungkapan rahasia kedokteran untuk kepentingan pasien, memenuhi
permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum,
permintaan pasien sendiri atau berdasarkan ketentuan undang-undang.

Pada bagian tersebut Undang-Undang juga mengatur tentang hak dan kewajiban
dokter dan pasien. Beberapa hak dokter adalah memperoleh perlindungan hukum
sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar
prosedur operasional, bekerja sesuai dengan standar profesi dan SOP, menerima
informasi yang lengkap dan jujur dari pasien dan memperoleh imbalan jasa.
Sedangkan hak pasien adalah hak memperoleh penjelasan tentang penyakit,
tindakan medis, manfaat, alternatif, risiko, komplikasi dan prognosisnya, hak untuk
menyetujui atau menolak tindakan medis, serta hak mendapatkan isi rekam medis.

Pada bagian berikutnya Undang-Undang No 29/2004 mengatur tentang disiplin


profesi. Undang-Undang memandatkan pendirian Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran Indonesia (MKDKI) yang bertugas menerima pengaduan, memeriksa
dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin dokter. Sanksi yang diberikan oleh
MKDKI adalah berupa peringatan tertulis, rekomendasi pencabutan STR dan/atau
SIP, dan kewajiban mengikuti pendidikan dan pelatihan tertentu yang dibutuhkan.
Pengaduan ke MKDKI tidak menghalangi penuntutan pidana dan/atau perdata.

Pada akhirnya Undang-Undang No 29/2004 mengancam pidana bagi mereka


yang berpraktik tanpa STR (ps 75) dan atau SIP (ps 76), mereka yang bukan
dokter tetapi bersikap atau bertindak seolah-olah dokter (ps 77 dan 78), dokter
yang berpraktik tanpa membuat rekam medis, tidak memasang papan praktik atau
tidak memenuhi kewajiban dokter (ps 79). Pidana lebih berat diancamkan kepada
mereka yang mempekerjakan dokter yang tidak memiliki STR dan/atau SIP (ps
80).[1]
Undang-Undang No 29/2004 berlaku setelah satu tahun sejak diundangkan (6
Oktober 2005), bahkan penyesuaian STR dan SIP diberi waktu hingga dua tahun
sejak Konsil Kedokteran terbentuk (29 April 2007).

UU Praktik Kedokteran belum bisa diterapkan secara sempurna apabila peraturan


pelaksanaannya belum seluruhnya dibuat. Peraturan Konsil yang harus dibuat
adalah ketentuan tentang Fungsi & Tugas KKI; Fungsi, Tugas, Wewenang KK /
KKG; Pemilihan tokoh masyarakat sebagai anggota; Tata Kerja KKI; Tata cara
Registrasi; Kewenangan dokter / dokter gigi; Tata cara pemilihan Pimpinan MKDKI
dan Tata Laksana kerja MKDKI. Peraturan Menteri Kesehatan yang harus dibuat,
atau direvisi bila sudah ada, adalah peraturan tentang Ijin Praktik, Pelaksanaan
Praktik, Standar Pelayanan, Persetujuan Tindakan Medik, Rekam Medis, dan
Rahasia Kedokteran.

Selain itu masih diperlukan pembuatan berbagai standar seperti standar profesi
yang di dalamnya meliputi standar kompetensi, standar perilaku dan standar
pelayanan medis, serta standar pendidikan. Bahkan beberapa peraturan
pendukung juga diperlukan untuk melengkapinya, seperti UU perumahsakitan,
peraturan tentang penempatan dokter dalam rangka pemerataan pelayanan
kedokteran, pendidikan dokter spesialis, pelayanan medis oleh tenaga kesehatan
non medis ? terutama dalam hal tidak adanya tenaga medis, penataan layanan
kesehatan non medis (salon, pengobatan tradisionil, pengobatan alternatif), dan
lain-lain.

Saat ini Konsil Kedokteran Indonesia telah mengeluarkan Peraturan KKI No 1


tahun 2005 tentang Registrasi Dokter dan Doktergigi berikut Pedomannya,
sedangkan Menteri Kesehatan telah mengeluarkan Permenkes No 1419 tahun
2005 tentang Penyelenggaraan praktik dokter dan dokter gigi.

Beberapa ketentuan dalam peraturan-peraturan tersebut telah ?memperluas dan


menjelaskan? ketentuan dalam UU, seperti ketentuan bagi mahasiswa kedokteran
dan peserta PPDS, evaluasi lulusan luar negeri, registrasi ulang, kewenangan
dinas kesehatan kabupaten/kota mempertimbangkan keseimbangan jumlah dokter
dengan kebutuhan pelayanan kesehatan serta kewenangan untuk menugaskan
dokter untuk bekerja di rumah sakit tertentu untuk kepentingan pelayanan tanpa
memiliki SIP di rumah sakit tersebut. Permenkes 1419 bahkan ?memperlunak?
ketentuan tentang pembatasan 3 tempat praktik dengan membolehkan dokter
bekerja di rumah sakit pendidikan berikut seluruh jejaringnya dengan keharusan
hanya memiliki satu SIP dan kemungkinan dokter bekerja dengan berdasarkan
surat tugas dari dinkes Kab/kota sebagaimana di atas.
Masyarakat kedokteran dapat mengidentifikasi beberapa kelemahan UU, bahkan
juga ?kesalahan? UU, diantaranya tentang ketentuan pidana yang berlebihan,
tidak diaturnya PPNS, mudahnya pembukaan rahasia kedokteran, pembatasan 3
tempat praktik tanpa jalan keluar bagi keahlian yang terbatas jumlahnya, serta
belum adanya ketentuan yang berkaitan dengan malpraktik medis. Mukernas IDI di
bulan Desember 2005 menyepakati perlunya peninjauan kembali UU Praktik
Kedokteran, tidak hanya bertujuan untuk menambal-sulam kekurangan UU,
melainkan juga melengkapinya sehingga UU tersebut betul-betul dapat mencapai
tujuannya.

[1] Perbedaan pendapat terjadi di bidang ini. Sebagian ahli tidak setuju atas
ancaman pidana bagi pelanggaran yang dianggap pelanggaran administratif
(pasal-pasal 75 dan 76, apalagi pasal 79), sebagian ahli lain berpendapat perlunya
kriminalisasi oleh karena menganggap pelanggaran tersebut bukan sekedar
administratif ? melainkan pelanggaran kewajiban yang azasi ? sebagai
konsekuensi akuntabilitas profesi. Namun umumnya setuju bahwa pasal 79 bukan
pasal yang tepat dan diperlukan aturan tentang PPNS sebagai penyidik pada
pidana yang diatur dalam UU tersebut.

Dampak bagi perorangan dokter dan organisasi profesi


Undang-undang mengharapkan bahwa pada suatu saat kelak para dokter tidak
lagi harus berkejaran dengan waktu untuk mencapai tempat praktik (bekerja)-nya
yang banyak. Tidak ada lagi kalimat sinis ?dokter ada dimana-mana tetapi tidak
ada dimana-mana?. Dokter akan lebih memusatkan perhatiannya ke tempat
praktiknya yang hanya tiga atau kurang, sehingga dokter lebih memiliki care
kepada pasien-pasiennya.

Undang-undang juga mendorong para dokter untuk lebih menjaga dan


meningkatkan kompetensi dan profesionalisme, disamping juga mengendalikan
biaya. Paradigma patient safety yang sedang didengungkan oleh kalangan
penyelenggara pelayanan kesehatan di seluruh dunia tampaknya sudah seirama
dengan ?ruh? undang-undang ini.

Masyarakat profesi diharapkan lebih bergairah untuk membuat berbagai standar


dan perangkat lunak lainnya yang bertujuan mendukung proses pendidikan,
sertifikasi kompetensi, rekomendasi kesehatan/perilaku/etik, standar profesi,
standar pelayanan, pendidikan dan pelatihan pengembangan keprofesian, dll.

Dampak UU bagi akuntabilitas profesi


Undang-undang hanya memperkenankan tenaga medis yang kompeten dan yang
berwenang saja yang dapat berpraktik. Undang-undang juga mengawasi
pelaksanaan praktik kedokteran melalui berbagai standar, kendali mutu dan biaya,
pengawasan dan bahkan juga pemberian sanksi disiplin bagi pelanggarnya.
Dengan demikian tujuan menjaga akuntabilitas profesi benar-benar telah
diupayakan pencapaiannya oleh undang-undang.

Namun sayangnya undang-undang kurang memperhitungkan (atau para


pelaksananya yang lambat mengantisipasi) bahwa keberlakuan undang-undang
memerlukan berbagai peraturan pelaksanaan dan perangkat lunak lain, sehingga
masa tunda keberlakuan yang setahun ternyata tidak mencukupi.

Konsil Kedokteran Indonesia yang dibentuk di bulan April 2005 belum didukung
dengan perangkat sekretariat dan pendanaan yang memadai. KKI yang hanya
terdapat di pusat ? tanpa perwakilan di daerah ? mengakibatkan cara kerja
registrasi yang dirasa ?lambat?, disamping registrasi itu sendiri yang masih
dirasa ?baru?.

Berbagai perangkat lunak yang seharusnya ?ada? ternyata belum mampu terbuat
hingga saat ini, padahal sangat diperlukan atau bahkan menjadi ?prasyarat? bagi
tercapainya akuntabilitas. Belum adanya standar pendidikan, standar profesi dan
ujian kompetensinya, standar pelayanan medis, prosedur re-evaluasi kompetensi,
pedoman kendali mutu dan biaya, dan lain-lain merupakan hambatan
terlaksananya undang-undang. Tampaknya kita membutuhkan waktu persiapan
yang lebih panjang.

Undang-undang juga dianggap kurang memperhitungkan bahwa dokter pengganti


yang sudah memiliki SIP (1-3 tempat praktik) sangat mungkin akan harus bekerja
di lebih dari 3 tempat praktik. Dalam hal ini diperlukan pengaturan lebih lanjut
dalam Permenkes.

Permenkes 1419/2005 bahkan mempersulit situasi. Pembolehan adanya jejaring


RS pendidikan tanpa pengaturan kriteria anggota jejaring dan pembolehan dokter
peserta PPDS menggantikan praktik dokter spesialis dapat mengancam
akuntabilitas profesi yang telah diatur di dalam UU.
Dampak UU bagi pelayanan medis

Pelayanan medis memang dapat terganggu sebagai akibat dari pembatasan


jumlah tempat praktik, sehingga beberapa sarana pelayanan kesehatan akan ?
kehilangan? dokter tertentu. Undang-undang ingin mempertahankan pelayanan
medis dengan ?penyimpangan aturan? dalam bentuk pembolehan dokter bekerja
secara insidentil sebagaimana diatur dalam penjelasan pasal 37 ayat (2), bahkan
Permenkes 1419 menambahkan kemungkinan penugasan oleh dinas kesehatan
kabupaten/kota dalam rangka pelayanan dan pada pertolongan gawat/darurat.

Terbatasnya sumber daya manusia dengan keahlian tertentu juga menjadi


masalah. Banyak rumah sakit yang ?kehilangan? dokter dengan keahlian tertentu
atau keahlian khusus, yang mestinya dapat ditanggulangi dengan aturan
penyimpangan sebagaimana di atas. Selain itu, di Indonesia banyak puskesmas
atau saryankes lain yang tidak memiliki dokter, sehingga banyak dokter yang
harus melayani banyak puskesmas, atau melayani banyak klinik / saryankes milik
TNI / Polri / perusahaan perkebunan / pertambangan. Pemberian surat tugas pada
kasus seperti ini merupakan jalan keluar yang terbaik, meskipun agak menyulitkan
karena masa berlakunya yang hanya 3 bulan. Namun ternyata pelaksana di
daerah tidak mudah atau tidak berani menempuh jalan ?menyimpang? di atas.
Kepala dinas kesehatan kab/kota tidak mudah memberikan surat penugasan
kepada dokter dan dokter tidak berani melakukan pekerjaan atas permintaan
saryankes secara insidentil. Mudah-mudahan masalah ini hanya masalah yang
sementara sifatnya sebagai akibat ketidaktahuan.

Hal yang lebih sulit diatasi adalah banyaknya petugas kesehatan non medis yang
berpraktik medis, sebagian atas nama pelayanan karena tidak adanya tenaga
medis dan sebagian lagi memang karena telah ?terbiasa? seperti itu. Undang-
undang melarangnya dan mengancam dengan pidana yang cukup berat, namun
tidak memberikan peluang pada keadaan tidak adanya tenaga medis. Kepmenkes
no 1239 tentang praktik perawat memberi peluang kepada perawat melakukan
tindakan medis atas pelimpahan wewenang dari tenaga medis. Namun, dalam hal
tidak adanya tenaga medis, belum diatur bagaimana tata cara pelimpahan
wewenang tersebut dan bagaimana pertanggung-jawabannya.

Beberapa ahli kesehatan menyayangkan undang-undang ini tidak dikaitkan


dengan persoalan pembiayaan pelayanan kedokteran, meskipun menyebutkan
kata pengendalian biaya (pasal 49), sehingga tidak banyak yang dapat diharapkan
dampaknya dilihat dari segi efisiensi pelayanan kedokteran.

Pelajaran yang dapat dipetik


Pelaksanaan UU Praktik Kedokteran dengan konsekuen dapat diharapkan
mencapai akuntabilitas profesi dokter, yang berarti perlindungan bagi masyarakat
dan pasien. Namun demikian tercapainya keadaan tersebut sangat bergantung
kepada tersedianya peraturan pelaksanaan dan perangkat lunak pendukung yang
cukup.

Kekurangan atau kelemahan undang-undang dan peraturan pelaksanaan yang


dihadapi saat ini harus ditanggapi dengan positif dengan melaksanakan ketentuan
yang telah ada disertai upaya perbaikan aturan yang kurang atau lemah.

Kepustakaan
1. Cruess SR, Johnston S, Cruess RL. Professionalism for medicine: oppotunities
and obligations. MJA 2002: 177 (4): 208-211
2. Republik Indonesia. Undang-Undang No 18 tahun 2002 tentang IPTEK.
Lembaran Negara tahun 2002 no 84 dan Tambahan Lembaran Negara No 4219.
3. Republik Indonesia. Undang-undang No 29 tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran. Lembaran Negara tahun 2004 No 116 dan Tamabahan Lembaran
Negara No 4431.
4. Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia No 1 tahun 2005 tanggal 5 Oktober
2005 tentang Registrasi Dokter dan Dokter Gigi.
5. Peraturan Menteri Kesehatan RI No 1419/Menkes/Per/X/2005 tanggal 5
Oktober 2005 tentang Penyelenggaraan praktik dokter dan dokter gigi.

_________________
Don't ask what Iluni-FK'83 can do for you.
Ask what you can do for Iluni-FK'83 !

Last edited by gitahafas on Sat Jun 26, 2010 8:51 pm; edited 1 time in total

gitahafas
Moderator Subject: Re: Hukum Kesehatan Sat Jun 26, 2010 5:53 am

link_forensik_ku.webs.com/hukumkesehatan.htm -
Budi Sampurna
Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medioklegal
Number of posts: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
5564 Jl. Salemba Raya No 6 Jakarta Pusat 10430
Age: 52 Telp: 021 3106976. Fax: 3154626
Location: Jakarta
Registration date: PROFESI KEDOKTERAN DAN KODE ETIKNYA SERTA PERAN MANAJEMEN
2008-09-30 RUMAH SAKIT TERHADAP KASUS MAL PRAKTIK
Ilmu kedokteran adalah ilmu empiris dan bukan ilmu eksakta, dalam arti bahwa
dalam membuat suatu kesimpulan deduktif ataupun induktif, ilmu kedokteran
membutuhkan pengalaman-pengalaman yang disusun dengan menggunakan
metode pengumpulan dan pengolahan data secara ilmiah (evidence based).
Metode ini mengakibatkan pengambilan suatu kesimpulan selalu memiliki peluang
terjadinya bias dan peluang adanya “fakta” yang belum diketahui karena belum
adanya pengalaman.[1] Konsekuensi logisnya adalah bahwa tingkat kepastian
dalam ilmu kedokteran disusun dalam bentuk probabilitas – bukan kepastian
sebagaimana di dalam ilmu matematis. Kalangan hukum menganggap adanya
“reasonable medical certainty” yang diartikan sebagai kepastian yang “cukup
meyakinkan”, sebagaimana juga di bidang hukum dikenal sebagai “beyond
reasonable doubt”.

Mengingat sifat keilmuan tersebut di atas maka muncullah doktrin hubungan


dokter-pasien yang bersifat kontrak berdasar upaya (inspanningsverbintennis) dan
bukannya kontrak berdasar hasil. Keberhasilan suatu tindakan medik tidak hanya
bergantung kepada kompetensi dokter dan stafnya, melainkan juga bergantung
kepada ketersediaan peralatan dan waktu, keadaan penyakitnya, faktor-faktor
lingkungan, kepatuhan pasien, serta faktor konstitutif pasien itu sendiri. Perlu
diingat bahwa tidak semua faktor tersebut dapat dikendalikan oleh dokter dan
stafnya.

Dengan mengingat fakta di atas, maka wajarlah apabila praktek kedokteran hanya
boleh dilaksanakan oleh orang-orang dengan kompetensi yang memadai dan
memiliki kewenangan untuk itu. Kompetensi diperoleh dari pendidikan dan
pelatihan, sedangkan kewenangan diperoleh dalam bentuk ijin praktek dari
instansi yang berwenang untuk itu. Selain itu dalam menjalankan prakteknya, para
dokter diberi rambu-rambu etika dan standar profesi.

Pasal 12 ayat (1) UU No 18 tahun 2002 tentang IPTEK menyatakan bahwa “Untuk
menjamin tanggung jawab dan akuntabilitas profesionalisme, organisasi profesi
wajib menentukan standar, persyaratan, dan sertifikasi keahlian, serta kode etik
profesi”.

Undang-undang Praktik Kedokteran diharapkan menjadi wahana yang dapat


membawa kita ke arah persyaratan profesi dokter di atas, sepanjang
penerapannya dilakukan dengan benar. Standar pendidikan ditetapkan guna
mencapai standar kompetensi, kemudian dilakukan registrasi secara nasional dan
pemberian lisensi bagi mereka yang akan berpraktek. Konsil harus berani dan
tegas dalam melaksanakan peraturan, sehingga akuntabilitas profesi kedokteran
benar-benar dapat ditegakkan. Standar perilaku harus ditetapkan sebagai suatu
aturan yang lebih konkrit dan dapat ditegakkan daripada sekedar kode etik.
Demikian pula standar pelayanan harus diterbitkan untuk mengatur hal-hal pokok
dalam praktek, sedangkan ketentuan rinci agar diatur dalam pedoman-pedoman.
Keseluruhannya akan memberikan rambu-rambu bagi praktek kedokteran,
menjadi aturan disiplin profesi kedokteran, yang harus diterapkan, dipantau dan
ditegakkan oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI).

Ketentuan yang mendukung good clinical governance di sarana kesehatan harus


dibuat dan ditegakkan. Dalam hal ini peran sarana kesehatan (manajemen rumah
sakit) sangat diperlukan. Sarana kesehatan harus mampu mencegah praktek
kedokteran tanpa kewenangan atau di luar kewenangan, mampu “memaksa” para
profesional bekerja sesuai dengan standar profesinya, serta mampu memberikan
“suasana” dan budaya yang kondusif bagi suburnya praktek kedokteran yang
berdasarkan bukti (evidence based medicine).

[1] Sebagai akibat dari metode induksi berdasarkan kurva normal dengan bias
pada kedua ekornya. Demikian pula daftar efek samping obat harus dibaca
sebagai “known side effects” karena masih dimungkinkan adanya efek samping
yang belum diketahui.

_________________
Don't ask what Iluni-FK'83 can do for you.
Ask what you can do for Iluni-FK'83 !

Last edited by gitahafas on Sat Jun 26, 2010 8:51 pm; edited 1 time in total

gitahafas
Moderator Subject: Re: Hukum Kesehatan Sat Jun 26, 2010 5:56 am

link_forensik_ku.webs.com/hukumkesehatan.htm -
Budi Sampurna
Departemen Ilmu Kedoteran Forensik dan Medikolegal FKUI
Number of posts: Jl. Salemba Raya No 6
5564 Jakarta Pusat 10430
Age: 52
Location: Jakarta PERATURAN INTERNAL RUMAH SAKIT ( HOSPITAL BY LAWS )
Registration date: Sebagaimana pengertiannya, by-laws adalah regulations, ordinances, rules or
2008-09-30 laws adopted by an association or corporation or the like for its government. 1
Dengan demikian hospital by-laws dalam arti luas adalah segala ketentuan, baik
berupa statuta atau AD-ART, peraturan, standar dll yang dibuat oleh dan
diberlakukan untuk sesuatu rumah sakit tertentu. Sedangkan hospital by-laws
dalam arti sempit adalah ketentuan yang menjelaskan tentang tata-hubungan
antara pemilik rumah sakit, manajemen rumah sakit dan komite medis.

Hospital by-laws bukanlah suatu peraturan yang standar dan berlaku atau dapat
diterapkan begitu saja bagi setiap rumah sakit, namun juga bukan suatu peraturan
yang berisi ketentuan yang sangat individual atau bahkan bertentangan dengan
hospital by-laws pada umumnya. Hospital by-laws dibuat dengan mengacu kepada
peraturan perundang-undangan yang berlaku, terutama di bidang hukum perdata
dan hukum ketenagakerjaan. Oleh karena itu sangat dianjurkan kepada yang
berkepentingan di rumah sakit yang akan membuatnya untuk berkonsultasi
dengan ahli hukum, terutama yang mengenal hukum kedokteran. 2

Peran dan Fungsi Hospital by Laws


Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa hospital by-laws adalah semua
peraturan yang berlaku di rumah sakit yang mengatur segala sesuatu
penyelenggaraan di rumah sakit tersebut. Dalam prototype hospital by-laws yang
diajukan bersama oleh Ontario Hospital Association and Ontario Medical
Association disebutkan secara implisit bahwa hospital by-laws terdiri dari bagian
administratif (dalam arti penyelenggaraan, berkaitan dengan hospital
administrator) dan bagian medical staff. Selain kedua bagian hospital by-laws
tersebut, di rumah sakit juga dapat dibuat berbagai peraturan, keputusan dan
kebijakan rumah sakit, termasuk standar prosedur pelayanan medis, yang
merupakan aturan/ketentuan di bawah hospital by-laws.

Demikian pula Keputusan Menteri Kesehatan R.I nomor 772/Menkes/SK/VI/2002


tentang Pedoman Peraturan Internal Rumah Sakit (Hospital Bylaws) menguraikan
bahwa Hospital Bylaws terdiri dari Corporate Bylaws dan Medical staff bylaws. Di
dalam pedoman tersebut juga diuraikan bahwa penyusunan medical staff bylaws
dapat digabung menjadi satu dengan corporate bylaws yaitu menjadi salah satu
pasal atau bab di dalam corporate bylaws, meskipun bisa juga di susun secara
terpisah.

Hospital (administrative atau corporate) by-laws mengatur tentang bagaimana


kepentingan pemilik direpresentasikan di rumah sakit, bagaimana kebijakan rumah
sakit dibuat, bagaimana hubungan antara pemilik dengan manajemen rumah sakit
dan bagaimana pula dengan staf medis, dan bagaimana hubungan manajemen
dengan staf medis. Hubungan-hubungan tersebut diuraikan dalam keadaan statis
dan dinamis.

Hospital (medical) by-laws memberikan suatu kewenangan kepada para


profesional medis untuk melakukan self-governance bagi para anggotanya,
dengan cara membentuk suatu "komite medis" yang mandiri; sekaligus
memberikan tanggung-jawab (responsibility) kepada "komite" tersebut untuk
mengemban seluruh kewajiban pemastian terselenggaranya pelayanan
profesional yang berkualitas dan pelaporannya kepada administrator rumah sakit.
(6)

Hospital by-laws juga mengatur tentang upaya yang harus dilakukan guna
mencapai kinerja para profesional yang selalu berkualitas dalam merawat
pasiennya; utamanya melalui rambu-rambu penerimaan, review berkala dan
evaluasi kinerja setiap praktisi di rumah sakit. Dalam rangka itu pula hospital by-
laws juga dapat memerintahkan "komite medis" untuk menyelenggarakan
pendidikan dan pelatihan guna mencapai dan menjaga standar serta menuju
kepada peningkatan pengetahuan dan ketrampilan profesi.( 6, 7)

Akhirnya hospital by-laws juga harus merangsang timbulnya, memelihara, me-


review dan menyempurnakan peraturan dan standar guna tercapainya self-
governance. (6) Self governance selanjutnya harus diikuti dengan self-regulation
dan self-disciplining. Hal ini mengharuskan hospital by-laws untuk juga mengatur
tentang pengawasan, sistem pelaporan dan pencatatan, sistem penilaian (peer-
review, hearing, dll), dan tentu saja pemberian sanksi disiplin bagi mereka yang
melanggarnya sampai pada tingkat tertentu.

Ketentuan dalam hospital by-laws


Di dalam bagian administratif dari suatu hospital by-laws diatur tentang Badan
Pengawas (Board of Trustees atau Dewan Penyantun), kepengurusan korporasi,
kepanitiaan (komite) yang diperlukan, rapat, keuangan, tugas-tugas administrator
(manajemen) serta hubungan administrator dengan pengurus rumah sakit lainnya.
5

Dianjurkan di dalam prototype hospital by-laws tersebut bahwa administrator


rumah sakit ditunjuk juga sebagai sekretaris Badan Pengawas, tetapi bukan
sebagai anggota Badan Pengawas. Administrator adalah orang yang
bertanggung-jawab atas berjalannya korporasi rumah sakit, termasuk
mempekerjakan-mengendalikan dan mengarahkan semua pegawai rumah sakit.

Di dalam bagian medical staff by-laws diatur hal-hal yang berkaitan dengan
penyelenggaraan pelayanan medis di rumah sakit, baik yang bersifat profesional
maupun yang bersifat legal, utamanya tentang sumber daya manusia di bidang
medis. Diperlukannya medical staff by-laws didasarkan kepada pemikiran bahwa
kinerja para profesional, pelayanan medis, pendidikan dan penelitian di dalam
rumah sakit adalah tugas yang maha penting dari rumah sakit dan staf medis perlu
memberikan saran atau nasehatnya kepada administrator agar kepentingan
pasien tetap merupakan tujuan utama disamping tujuan-tujuan korporasi lainnya.
By-laws bagian ini juga bertujuan untuk menjaga kerjasama yang baik antara staf
medis dengan administrator.
Pada umumnya, medical staff by-laws berisikan ketentuan tentang nama, tujuan,
keanggotaan, kategori keanggotaan, profesional yang bukan dokter/dokter gigi,
prosedur pengangkatan dan review, clinical privileges, tindakan korektif, proses
hearing dan banding, kepengurusan staf medis, organisasi pelayanan medis,
kepanitiaan yang harus dibentuk, rapat-rapat, kerahasiaan dan pengungkapan
informasi, peraturan lain, dan ketentuan tentang penambahan by-laws atau
peraturan. 5,6,7,8,9

Tidak ada seorang dokter yang dapat berpraktek atau merawat pasiennya di
rumah sakit kecuali dia adalah anggota staf medis, atau dokter yang bukan
anggota tetapi diberi hak khusus secara temporer atau dokter yang berada dalam
pendidikan dan memperoleh hak tersebut secara khusus dengan supervisi dari
anggota staf medis.

Untuk dapat menjadi anggota staf medis, seseorang harus dapat menunjukkan
ijasah dokternya (sertifikat kompetensi), ijin dokter (surat penugasan atau surat
tanda registrasi dan surat ijin praktek tenaga medis sebagai bentuk pengakuan
publik atas kewenangannya), pengalaman, latar belakang, pelatihan yang pernah
diikuti, kemampuan terakhir atau brevet spesialisasi terakhir yang telah disahkan
oleh Kolegium terkait, pertimbangan dalam membuat keputusan medis, serta
status kesehatannya. Semuanya bertujuan untuk memastikan bahwa dokter
tersebut akan memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar tingkat
kualifikasinya, bersikap dan bertindak etis, dan mampu bekerjasama dengan
sejawatnya. Ia juga diharapkan selalu menjaga standar perilaku dan patuh kepada
standar pelayanan medis yang terkait dengan kualifikasinya, sumpah dokter, etik
kedokteran dan ketentuan lain. Rumah sakit sebaiknya mengharuskan para dokter
tersebut telah memiliki polis asuransi profesi dengan jumlah pertanggungan yang
disepakati kedua pihak.

Ketentuan tersebut harus tetap dijaga sepanjang keanggotaannya sebagai staf


medis. Seseorang dokter/dokter gigi tidak akan ditunjuk menjadi staf medis
selamanya, melainkan akan selalu di-review per-tahun atau setidaknya setiap dua
tahun. Review ini bermanfaat untuk tetap menjaga kualitas layanan dan
perilakunya.

Keanggotaan staf medis dikategorikan ke dalam beberapa kelompok, sesuai


dengan status dan perannya. Kategori anggota yang digunakan di berbagai
hospital by-laws di negara lain mungkin tidak tepat benar untuk diterapkan di
negara kita, namun setidaknya dapat digunakan sebagai acuan cara berpikir kita.
Anggota aktif adalah anggota staf medis, baik dokter atau spesialis ataupun dokter
gigi, purna-waktu ataupun paruh-waktu, yang melaksanakan pelayanan medis di
rumah sakit dengan menempati jadwal kerja dan tempat praktek yang telah
tertentu dan berhak merawat inap pasien di bidang kualifikasinya. Di rumah sakit
pendidikan, staf tersebut termasuk staf dosen Fakultas Kedokteran yang ditunjuk
untuk menjadi staf medis rumah sakit.

Anggota yang tidak memenuhi kriteria anggota aktif dapat dimasukkan ke dalam
kategori keanggotaan lain, seperti “anggota sementara”, “anggota konsultan”,
“anggota kehormatan”, dll. Anggota jenis ini tidak memiliki hak suara dalam
pembuatan keputusan, tetapi dapat berkontribusi di dalam kepanitiaan yang
dibentuk.

Anggota sementara diperuntukkan bagi anggota baru yang diharapkan kelak


menjadi anggota aktif, namun membutuhkan evaluasi terlebih dahulu; atau bagi
residen pendidikan spesialis di rumah sakit pendidikan.

Dengan mengingat bahwa dokter di Indonesia tidak hanya bekerja di satu rumah
sakit, maka harus dipikirkan kemungkinan bahwa seorang dokter menjadi anggota
staf medis dari beberapa rumah sakit. Barangkali perlu diatur agar seseorang tidak
menjadi “pengurus staf medis” di lebih dari satu rumah sakit, agar mutu
pengabdiannya tidak terganggu.

Medical staff by-laws harus mengatur tanggung-jawab profesional anggota staf


medis, seperti keharusan mematuhi standar profesi, mematuhi by-laws dan
peraturan lain, dapat bekerjasama, mematuhi aturan pengisian rekam medis,
mematuhi sumpah dokter dan etik kedokteran, kewajiban mengikuti pendidikan
kedokteran berkelanjutan, dan lain-lain.

Prosedur aplikasi menjadi anggota, review oleh tim credential, pengambilan


keputusan, serta waktu pemrosesan harus diuraikan secara rinci di dalam medical
staff by-laws. Demikian pula proses persidangan bila diduga terdapat pelanggaran
etik, kelalaian medis atau pelanggaran profesional lain; kewajiban mengajukan
bukti-bukti dan hak membela diri, hak naik banding, tindakan korektif yang bisa
diberikan – dari peringatan hingga pencabutan hak sebagai anggota staf medis,
dll.

By-laws juga mengatur tentang kewenangan medis dari tiap anggotanya sesuai
dengan kualifikasinya, pengaturan apabila terdapat tindakan atau kasus yang
menjadi lahan lebih dari satu spesialisasi, sistem rujukan dan konsultasi internal,
sistem jaga dan perpindahan kewenangan dan tanggung-jawab, dll.
Sebagaimana layaknya yang berlaku saat ini, rumah sakit juga diharuskan
memiliki beberapa kepanitiaan yang mengurusi aspek khusus dan tertentu dari
pelayanan medis di rumah sakit, misalnya Panitia By-laws, Panitia kredensial,
Panitia Pelayanan Kritis (Critical Care), Panitia Bank Darah dan pemanfaatan
darah, Panitia Kanker, Panitia Pelayanan Klinik, Panitia Penyakit Ginjal terminal,
Panitia Pendidikan Kedokteran, Panitia pengendalian infeksi (nosokomial), Panitia
etik kedokteran, Panitia Perpustakaan medis, Panitia Rekam Medis, Panitia
Quality Assurance, Panitia Kamar Operasi, Panitia Farmasi dan Perobatan, Panitia
Koordinasi peningkatan kualitas, Panitia Praktek profesioal, Panitia Rehabilitasi,
Panitia Trasplantasi, Panitia Trauma, Panitia Utilization Review, dll.

Selain hospital by-laws dalam bentuk bagian administratif dan bagian staf medis di
atas, rumah sakit juga harus mengeluarkan peraturan, kebijakan dan berbagai
standar yang harus dipatuhi oleh staf medis dan pegawai rumah sakit lainnya.
Sebagai contoh peraturan tersebut adalah Peraturan Perawatan Inap Pasien,
Peraturan tentang Rekam Medis, Peraturan tentang Sikap Umum dalam
Melakukan Pelayanan Medis, Safety and Disaster Plan, Peraturan Umum tentang
Pembedahan, Peraturan Umum tentang Dialisis, Kerahasiaan Medis, Hak pasien
dan privacy-nya, dan peraturan lain yang diperlukan.

Apabila dikaji uraian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa hospital
(medical) by-laws memiliki peran yang besar dalam menertibkan penyelenggaraan
layanan medis di sebuah rumah sakit, yang berarti pula merupakan upaya untuk
mencegah terjadinya kasus medikolegal. Bahkan bukan hanya sengketa medis
antara pemberi layanan dengan penerima layanan medis saja yang dicegah,
melainkan juga sengketa hukum antara manajemen rumah sakit dengan dokter
pemberi layanan medis atau antar para pemberi layanan medis di rumah sakit
tersebut.

_________________
Don't ask what Iluni-FK'83 can do for you.
Ask what you can do for Iluni-FK'83 !

Last edited by gitahafas on Sat Jun 26, 2010 8:51 pm; edited 1 time in total

gitahafas
Moderator Subject: Re: Hukum Kesehatan Sat Jun 26, 2010 6:02 am
Budi Sampurna
Departemen Ilmu Kedoteran Forensik dan Medikolegal FKUI
Jl. Salemba Raya No 6
Jakarta Pusat 10430
Number of posts: link_forensik_ku.webs.com/hukumkesehatan.htm -
5564
Age: 52 MANAJEMEN RISIKO PADA RUANG BEDAH SENTRAL
Location: Jakarta Pemahaman manajemen risiko sangat bergantung kepada dari sudut pandang
Registration date: mana seseorang melihatnya. Dari segi bisnis dan industri asuransi, manajemen
2008-09-30
risiko cenderung untuk diartikan sepihak, yaitu untuk tujuan meningkatkan
keuntungan bisnis dan pemegang sahamnya. Dalam bidang kesehatan dan
keselamatan lebih diartikan sebagai pengendalian risiko salah satu pihak (pasien
atau masyarakat) oleh pihak yang lain (pemberi layanan). Sementara di dalam
suatu komunitas pemberi layanan kesehatan itu sendiri, yaitu pengelola rumah
sakit dan para dokternya, harus diartikan sebagai suatu upaya kerjasama berbagai
pihak untuk mengendalikan risiko bersama.[1]

The Joint Commission on Accreditation of Healthcare Organizations (JCAHO)


memberikan pengertian manajemen risiko sebagai aktivitas klinik dan administratif
yang dilakukan oleh rumah sakit (HCO) untuk melakukan identifikasi, evaluasi dan
pengurangan risiko terjadinya cedera atau kerugian pada pasien, personil,
pengunjung dan rumah sakit itu sendiri.[2] Kegiatan tersebut meliputi identifikasi
risiko hukum (legal risk), memprioritaskan risiko yang teridentifikasi, menentukan
respons rumah sakit terhadap risiko, mengelola suatu kasus risiko dengan tujuan
meminimalkan kerugian (risk control), membangun upaya pencegahan risiko yang
efektif, dan mengelola pembiayaan risiko yang adekuat (risk financing).

Manajemen risiko yang komprehensif meliputi seluruh aktivitas rumah sakit, baik
operasional maupun klinikal, oleh karena risiko dapat muncul dari kedua bidang
tersebut. Bahkan akhir-akhir ini meliputi pula risiko yang berkaitan dengan
managed care dan risiko kapitasi, merger dan akuisisi, risiko kompensasi
ketenagakerjaan, corporate compliance dan etik organisasi. [3]

[1] Dental Protection: Essentials of risk management. Manual, tanpa tahun.

[2] Balsamo RR and Brown MD. Risk Management. In: Sanbar SS, Gibofsky A,
Firestone MH, LeBlang TR. (eds) Legal Medicine. Fourth ed, St Louis (Mosby),
1998.

[3] Sedwick J and Porto GG. The Health Care Risk Management Professional. In
Carroll R: Risk Management Handbook for Health Care Organization. 3rd ed. San
Francisco (Jossey Bass), 2001

Risiko adalah sesuatu yang lazim di kedokteran, bahkan sebagian risiko tersebut
memang harus diterima sebagai risiko yang inheren di dalam misi. Dari segi medis
risiko-risiko tersebut adalah (a) risiko yang tingkat probabilitas dan keparahannya
minimal sehingga telah dapat diterima, risiko tersebut foreseeable tetapi
unavoidable, (b) risiko yang cukup bermakna tetapi harus dihadapi karena
merupakan risiko dari tindakan yang merupakan satu-satunya jalan untuk
menyelamatkan pasien, dan (c) risiko yang tidak dapat diprediksikan sebelumnya
(unforeseeable) yang dapat menuju ke untoward results.[1]

Sedangkan dilihat dari sisi keuangan, risiko-risiko tersebut adalah (1) risiko yang
tidak dapat direduksi, dipindahkan atau dihindari, (2) risiko yang probabilitasnya
kecil dengan potensi kerugian yang juga kecil, (3) risiko kerugian yang telah dapat
dihitung dan diprediksi, dan (4) risiko yang sedemikian kecil sehingga dapat
ditanggulangi sendiri. [2]

Ruang Bedah Sentral adalah suatu interaksi kompleks dari perangkat keras (hard
ware), perangkat lunak (software), sumber daya manusia (brainware) dan
lingkungan (environment). Pasien pun tidak bisa dikatakan hanya sebagai obyek
pembedahan oleh karena dia juga berperan dan berkontribusi dalam menentukan
keberhasilan tindakan pembedahan. Kesalahan dapat muncul dari setiap faktor,
namun pada umumnya faktor manusia merupakan pembuat kesalahan yang
terbanyak, meskipun latar belakang sebenarnya adalah manajemen yang tidak
adekuat.

Ruang operasi harus dibangun sesuai dengan persyaratan administratif dan


teknis. Setiap komponen dari bangunan tersebut dapat saja memiliki risiko yang
potensial, seperti bentuk atap atau plafon, bahan dinding dan lantai, sistem aliran
dan pendinginan udara, sistem pembuangan, dan tata letak peralatan di
dalamnya. Demikian pula sistem gas sentral, sterilisator, serta perlistrikan dan
gen-set yang merupakan pendukung Ruang Bedah Sentral dapat berpoteni
menimbulkan risiko.

Berbagai prosedur dan standar yang merupakan pedoman bagi para profesional
yang terlibat di dalamnya harus cukup lengkap dan selalu disesuaikan dengan
situasi-kondisi terkini, sehingga tidak ada aktivitas yang tidak memiliki prosedur
dan atau standarnya serta tidak ada prosedur yang sudah ketinggalan jaman.
Perangkat lunak ini juga berkaitan dengan tersedianya sumber daya manusia yang
memiliki kompetensi dan komunikasi yang layak (reasonable competence and
communication) yang siap melakukan pengelolaan pasien dengan adekuat
(reasonable care).

Kegagalan dalam memenuhi hal-hal di atas dapat merupakan risiko terjadinya


suatu kecelakaan ataupun kerugian. Memang harus diakui bahwa risiko tersebut
tidak selalu terjadi dan tidak selalu berbahaya, tergantung kepada tingkat
probabilitas dan keparahannya. James Reason dalam teorinya tentang kecelakaan
menyatakan bahwa kecelakaan terjadi oleh karena adanya beberapa latent failure
yang berurutan di tingkat manajemen yang kemudian dicetuskan oleh adanya
unsafe act oleh faktor manusia. Satu latent failure saja atau unsafe act saja berdiri
sendiri belum tentu dapat menghasilkan suatu kecelakaan. (lihat bagan 1). [3]

Risiko juga bisa muncul sebagai akibat dari isu umum dalam profesi kedokteran
yang terjadi di luar ataupun di dalam kamar operasi, seperti duty of care, duty to
refer, duty to maintain standards, informed consent, duty to record properly, dan
confidentiality.

Self-assessment

Penilaian diri dapat dilakukan terhadap layanan utama dalam Ruang Bedah
Sentral, yaitu dari segi kesiapan ruang bedah sentral, layanan anestesia, layanan
bedah dan layanan obstetri-ginekologi.

Kesiapan ruang operasi dapat dinilai dari berbagai unsur sebagaimana telah
diuraikan di atas, sesuai dengan kebutuhan operasi yang akan dilakukan.
Pengelola ruang bedah sentral harus memastikan bahwa bangunan, peralatan
bedah dan anestesi, serta peralatan pendukungnya berada dalam keadaan siap
pakai dan berfungsi dengan baik. Selain itu harus dipastikan bahwa upaya
pencegahan infeksi nosokomial telah dilakukan dengan layak. Berita acara tentang
sterilisasi peralatan bedah, penyiapan gas sentral, pemeliharaan alat, dan upaya
pencegahan infeksi nosokomial harus berada dalam posisi yang dapat diakses
oleh para personil kamar bedah.

Dari segi layanan anestesi dapat kita ajukan pertanyaan-pertanyaan seperti:


apakah dokter spesialis anestesi selalu hadir dalam setiap operasi, apakah
perawat anestesi berperan sebagai asisten saja ataukah justru berperan sebagai
pelaksana utama, apakah perawat anestesi terlatih dengan penanganan kegawat-
daruratan medis, apakah seluruh staf anestesia terlatih untuk menggunakan
peralatan yang digunakan, apakah terdapat pelatihan untuk itu, apakah mereka
terlatih untuk menghadapi keadaan atau situasi yang tidak lazim (unusual
situation), apakah terdapat koordinasi antara dokter operator dengan dokter
anestesi perihal metode anestesi yang akan digunakan, apakah anestesia
didukung oleh peralatan yang diperlukan seperti pulse oximetry dan tidal CO2 atau
capnogram , apakah peralatan monitoring memadai, apakah di dalam rekam
medis terdapat check-list peralatan, apakah pengelola anestesi memperoleh
salinan atau tembusan tentang pemeliharaan peralatan anestesi dan penyiapan
gas anestesi, apakah tersedia dan dipatuhi standar dan prosedur di bidang
anestesia, apakah dilakukan pre-operative visit dan perencanaan anestesia,
apakah dilakukan penjelasan tentang anestesia kepada pasien atau keluarganya,
dan masih banyak lagi pertanyaan lain.

Dari segi pelayanan bedah dapat diajukan pertanyaan-pertanyaan: apakah


kewenangan melakukan tindakan operatif spesifik sudah diatur berdasarkan
kompetensi masing-masing staf dan terdokumentasi, apakah operator memenuhi
aturan tersebut, apakah perawat bedah telah memperoleh pelatihan khusus sesuai
dengan tugasnya, apakah prosedur menghitung pra dan post operasi diberlakukan
bagi peralatan bedah, jarum dan sponges, apakah perawat bedah memiliki
kewenangan untuk menghentikan operator apabila terdapat ketidak-cocokan
perhitungan, apakah pemeriksaan pra-operasi tercatat dalam rekam medis,
apakah terdapat mekanisme untuk mencegah operasi apabila tidak terdapat
catatan pra-operasi dalam rekam medis, apakah terdapat prosedur untuk
memastikan identitas pasien, apakah terdapat prosedur keselamatan pada
penggunaan sinar laser, dan lain-lain.

Dari segi layanan obstetri-ginekologi (tidak hanya di kamar operasi): apakah


dokter spesialis obsgin selalu hadir pada setiap kelahiran atau adakah kriteria
kehadirannya, apakah tim kelahiran datang serentak dalam setiap kelahiran untuk
merawat ibu dan anaknya, berapa lamakah waktu yang dibutuhkan untuk
menghadirkan tim kelahiran tersebut, apakah prosedur bedah diberlakukan pula
bagi pembedahan dibidang obsgin, apakah dokter spesialis anak wajib hadir pada
kelahiran tertentu, apakah terdapat prosedur pemantauan keadaan janin, apakah
pemantauan janin tersebut terdokumentasi, apakah peralatan pemantauan
keadaan ibu dan janin memadai, bila dilakukan induksi partus apakah diawasi oleh
orang yang kompeten untuk itu serta adakah persiapan untuk keadaan darurat
yang mungkin terjadi, apabila terjadi penggantian dokter apakah dilakukan diskusi
pelimpahan kasus, dan lain-lain.

[1] World Medical Association (1992): an injury occurring in the course of medical
treatment which could not be foreseen and was not the result of any lack of skill or
knowledge on the part of the treating physician is an untoward result, for which the
physician should not bear any liability

[2] Bryant JM and Hagg-Rickert S. Development of a Risk Management Program.


In Carroll R: Risk Management Handbook for Health Care Organization. 3rd ed.
San Francisco (Jossey Bass), 2001

[3] ICAO circular 247-AN/148

Manajemen risiko adalah upaya yang cenderung proaktif, meskipun sebagian


besarnya merupakan hasil "belajar" dari pengalaman dan menerapkannya kembali
untuk mengurangi atau mencegah masalah yang serupa di kemudian hari. Pada
dasarnya manajemen risiko merupakan suatu proses siklik yang terus menerus,
yang terdiri dari empat tahap, yaitu: 1 2 [1]

1. Risk Awareness. Pada tahap ini diharapkan seluruh pihak yang terlibat dalam
sistem bedah sentral memahami situasi yang berisiko tinggi di bidangnya masing-
masing dan aktivitas yang harus dilakukan dalam upaya mengidentifikasi risiko.
Risiko tersebut tidak hanya yang bersifat medis, melainkan juga yang non medis,
sehingga upaya ini melibatkan manajemen, dokter, perawat bedah, perawat
anestesi, pengendali gas sentral, pelaksana pemeliharaan ruang bedah dan
instrument, dan lain-lain. Self-assessment, sistem pelaporan kejadian yang
berpotensi menimbulkan risiko (incidence report) dan audit klinis dalam budaya
non-blaming merupakan sebagian metode yang dapat digunakan untuk mengenali
risiko.

2. Risk control (and or Risk Prevention). Manajemen merencanakan langkah-


langkah praktis dalam menghindari dan atau meminimalkan risiko dan
melaksanakannya dengan tepat. Langkah-langkah tersebut ditujukan kepada
seluruh komponen sistem, baik perangkat keras, perangkat lunak maupun sumber
daya manusianya. Langkah dimulai dengan penilaian risiko (risk assessment)
tentang derajat dan probabilitas kejadiannya, dilanjutkan dengan upaya mencari
jalan untuk menghilangkan risiko (engineering solution), atau bila tidak mungkin
maka dicari upaya menguranginya (control solution) baik terhadap probabilitasnya
maupun terhadap derajat keparahannya, atau apabila hal itu juga tidak mungkin
maka dicari jalan untuk mengurangi dampaknya. Tindakan dapat berupa
pengadaan, perbaikan dan pemeliharaan bangunan dan instrumen yang sesuai
dengan persyaratan; pengadaan bahan habis pakai sesuai dengan prosedur dan
persyaratan; pembuatan dan pembaruan prosedur, standar dan check-list;
pelatihan penyegaran bagi personil, seminar, pembahasan kasus, poster, stiker
dan lain lain. 3. Risk containment. Dalam hal telah terjadi suatu insiden, baik akibat
suatu tindakan atau kelalaian ataupun akibat dari suatu kecelakaan yang tidak
terprediksikan sebelumnya, maka sikap yang terpenting adalah mengurangi
besarnya risiko dengan melakukan langkah-langkah yang tepat dalam mengelola
pasien dan insidennya. Unsur utamanya biasanya adalah respons yang cepat dan
tepat terhadap setiap kepentingan pasien, dengan didasari oleh komunikasi yang
efektif.

4. Risk transfer. Akhirnya apabila risiko itu akhirnya terjadi juga dan menimbulkan
kerugian, maka diperlukan pengalihan penanganan risiko tersebut kepada pihak
yang sesuai, misalnya menyerahkannya kepada sistem asuransi.

Dari sisi sumber daya manusia, manajemen risiko dimulai dari pembuatan standar
(set standards), patuhi standar tersebut (comply with them), kenali bahaya (identify
hazards), dan cari pemecahannya (resolve them). 3

Kesimpulan

Manajemen risiko adalah suatu rangkaian tindakan yang dilakukan oleh seluruh
personil yang terlibat, meliputi seluruh faktor yang berinteraksi dalam ruang bedah
sentral, serta ditujukan untuk menghindari risiko, baik bagi pasien ataupun bagi
tenaga medis dan rumah sakit.

Manajemen risiko bukanlah sesuatu yang berjalan begitu saja, melainkan suatu
upaya yang sistematik dan terstruktur serta terus menerus.

Kepustakaan
1. Dental Protection: Essentials of risk management. Manual of the Dental
Protection, a division of the Medical Protection Society, London, tanpa tahun.
2. Balsamo RR and Brown MD. Risk Management. In: Sanbar SS, Gibofsky A,
Firestone MH, LeBlang TR. (eds) Legal Medicine. Fourth ed, St Louis (Mosby),
1998.
3. Sedwick J and Porto GG. The Health Care Risk Management Professional. In
Carroll R: Risk Management Handbook for Health Care Organization. 3rd ed. San
Francisco (Jossey Bass), 2001

4. World Medical Association (1992): Statement on Medical Malpractice.


5. Bryant JM and Hagg-Rickert S. Development of a Risk Management Program.
In Carroll R: Risk Management Handbook for Health Care Organization. 3rd ed.
San Francisco (Jossey Bass), 2001
6. ICAO circular. Human Factor Digest No 10: Human Factors Management and
Organization. Montreal (ICAO), 1993.
7. Wood RH. Aviation Safety Program - a management handbook. Washington
(Jeppesen), 1997.

Departemen IKF FKUI 2007


_________________
Don't ask what Iluni-FK'83 can do for you.
Ask what you can do for Iluni-FK'83 !

Last edited by gitahafas on Sat Jun 26, 2010 8:52 pm; edited 1 time in total

gitahafas
Moderator Subject: Re: Hukum Kesehatan Sat Jun 26, 2010 6:08 am

link_forensik_ku.webs.com/hukumkesehatan.htm -
Budi Sampurna
Departemen Ilmu Kedoteran Forensik dan Medikolegal FKUI
Number of posts: Jl. Salemba Raya No 6
5564 Jakarta Pusat 10430
Age: 52
Location: Jakarta MALPRAKTIK
Registration date: Istilah malpraktik memang bukan istilah hukum yang tertera di dalam peraturan
2008-09-30 perundang-undangan di Indonesia, namun berbagai tindakan yang termasuk ke
dalam kelompok tindak malpraktik telah diatur dalam hukum pidana. Kata
malpraktik lebih diartikan sebagai suatu "genus" tindak pidana yang "spesies" nya
teruraikan di dalam berbagai pasal ketentuan pidana.

Jenis pidana yang paling sering dituntutkan kepada dokter adalah pidana kelalaian
yang mengakibatkan luka (pasal 360 KUHP), atau luka berat atau mati (pasal 359
KUHP), yang dikualifikasikan dengan pemberatan ancaman pidananya bila
dilakukan dalam rangka melakukan pekerjaannya (pasal 361 KUHP). Sedangkan
pidana lain yang bukan kelalaian yang mungkin dituntutkan adalah pembuatan
keterangan palsu (pasal 267-268 KUHP), aborsi ilegal (pasal 349 KUHP jo pasal
347 dan 348 KUHP), penipuan dan misrepresentasi (pasal 382 bis), pidana
perpajakan (pasal 209 atau 372 KUHP), pencemaran lingkungan hidup (pasal 42
dan 43 UU Pengelolaan Lingkungan Hidup), euthanasia (pasal 344 KUHP),
penyerangan seksual (pasal 284-294 KUHP), dan lain-lain.

Gugatan perdata dalam bentuk ganti rugi dapat diajukan dengan mendasarkan
kepada salah satu dari 3 teori di bawah ini, yaitu :
1. Kelalaian sebagaimana pengertian di atas dan akan diuraikan kemudian
2. Perbuatan melanggar hukum, yaitu misalnya melakukan tindakan medis tanpa
memperoleh persetujuan, membuka rahasia kedokteran tentang orang tertentu,
penyerangan privacy seseorang, dan lain-lain.
3. Wanprestasi, yaitu pelanggaran atas janji atau jaminan. Gugatan ini sukar
dilakukan karena umumnya dokter tidak menjanjikan hasil dan perjanjian tersebut,
seandainya ada, umumnya sukar dibuktikan karena tidak tertulis.

Suatu perbuatan atau sikap tenaga medis dianggap lalai apabila memenuhi empat
unsur di bawah ini, yaitu :
1. Duty atau kewajiban tenaga medis untuk melakukan sesuatu tindakan atau
untuk tidak melakukan sesuatu tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada
situasi dan kondisi yang tertentu.
2. Dereliction of the duty atau penyimpangan kewajiban tersebut.
3. Damage atau kerugian, yaitu segala sesuatu yang dirasakan oleh pasien
sebagai kerugian akibat dari layanan kesehatan / kedokteran yang diberikan oleh
pemberi layanan.
4. Direct causal relationship atau hubungan sebab akibat yang nyata. Dalam hal ini
harus terdapat hubungan sebab-akibat antara penyimpangan kewajiban dengan
kerugian yang setidaknya merupakan "proximate cause".

Selanjutnya, oleh karena teori kelalaian adalah dasar penuntutan yang tersering
digunakan, baik pada tuntutan pidana maupun pada gugatan perdata, maka upaya
meminimalisasi tuntutan di rumah sakit harus ditujukan kepada upaya menurunkan
kemungkinan terjadinya kelalaian medis, atau bahkan mengurangi kemungkinan
terjadinya preventable adverse events yang disebabkan oleh medical errors.

PENANGANAN MALPRAKTIK
Pada dasarnya penanganan kasus malpraktik dilakukan dengan mendasarkan
kepada konsep malpraktik medis dan adverse events yang diuraikan di atas.
Dalam makalah ini tidak akan diuraikan pelaksanaan pada kasus per-kasus,
namun lebih ke arah hasil pembelajaran (lesson learned) dari pengalaman
penanganan berbagai kasus dugaan malpraktik, baik dari sisi profesi maupun dari
sisi hukum.

Suatu tuntutan hukum perdata, dalam hal ini sengketa antara pihak dokter dan
rumah sakit berhadapan dengan pasien dan keluarga atau kuasanya, dapat
diselesaikan melalui dua cara, yaitu cara litigasi (melalui proses peradilan) dan
cara non litigasi (di luar proses peradilan).

Apabila dipilih penyelesaian melalui proses pengadilan, maka penggugat akan


mengajukan gugatannya ke pengadilan negeri di wilayah kejadian, dapat dengan
menggunakan kuasa hukum (pengacara) ataupun tidak. Dalam proses pengadilan
umumnya ingin dicapai suatu putusan tentang kebenaran suatu gugatan
berdasarkan bukti-bukti yang sah (right-based) dan kemudian putusan tentang
jumlah uang ganti rugi yang "layak" dibayar oleh tergugat kepada penggugat.
Dalam menentukan putusan benar-salahnya suatu perbuatan hakim akan
membandingkan perbuatan yang dilakukan dengan suatu norma tertentu, standar,
ataupun suatu kepatutan tertentu, sedangkan dalam memutus besarnya ganti rugi
hakim akan mempertimbangkan kedudukan sosial-ekonomi kedua pihak (pasal
1370-1371 KUH Perdata).

Apabila dipilih proses di luar pengadilan (alternative dispute resolution), maka


kedua pihak berupaya untuk mencari kesepakatan tentang penyelesaian sengketa
(mufakat). Permufakatan tersebut dapat dicapai dengan pembicaraan kedua belah
pihak secara langsung (konsiliasi atau negosiasi), ataupun melalui fasilitasi,
mediasi, dan arbitrasi, atau cara-cara kombinasi. Fasilitator dan mediator tidak
membuat putusan, sedangkan arbitrator dapat membuat putusan yang harus
dipatuhi kedua pihak. Dalam proses mufakat ini diupayakan mencari cara
penyelesaian yang cenderung berdasarkan pemahaman kepentingan kedua pihak
(interest-based, win-win solution), dan bukan right-based. Hakim pengadilan
perdata umumnya menawarkan perdamaian sebelum dimulainya persidangan,
bahkan akhir-akhir ini hakim memfasilitasi dilakukannya mediasi oleh mediator
tertentu.

Dalam hal tuntutan hukum tersebut diajukan melalui proses hukum pidana, maka
pasien cukup melaporkannya kepada penyidik dengan menunjukkan bukti-bukti
permulaan atau alasan-alasannya. Selanjutnya penyidiklah yang akan melakukan
penyidikan dengan melakukan tindakan-tindakan kepolisian, seperti pemeriksaan
para saksi dan tersangka, pemeriksaan dokumen (rekam medis di satu sisi dan
bylaws, standar dan petunjuk di sisi lainnya), serta pemeriksaan saksi ahli. Visum
et repertum mungkin saja dibutuhkan penyidik. Berkas hasil pemeriksaan penyidik
disampaikan kepada jaksa penuntut umum untuk dapat disusun tuntutannya.
Dalam hal penyidik tidak menemukan bukti yang cukup maka akan dipikirkan
untuk diterbitkannya SP3 atau penghentian penyidikan.

Selain itu, kasus medikolegal dan kasus potensial menjadi kasus medikolegal,
juga harus diselesaikan dari sisi profesi dengan tujuan untuk dijadikan pelajaran
guna mencegah terjadinya pengulangan di masa mendatang, baik oleh pelaku
yang sama ataupun oleh pelaku lain. Dalam proses tersebut dapat dilakukan
pemberian sanksi (profesi atau administratif) untuk tujuan penjeraan, dapat pula
tanpa pemberian sanksi - tetapi memberlakukan koreksi atas faktor-faktor yang
berkontribusi sebagai penyebab terjadinya "kasus" tersebut. Penyelesaian secara
profesi umumnya lebih bersifat audit klinis, dan dapat dilakukan di tingkat institusi
kesehatan setempat (misalnya berupa Rapat Komite Medis, konferensi kematian,
presentasi kasus, audit klinis terstruktur, proses lanjutan dalam incident report
system, dll), atau di tingkat yang lebih tinggi (misalnya dalam sidang Dewan Etik
Perhimpunan Spesialis, MKEK, Makersi, MDTK, dll). Bila putusan MKEK
menyatakan pihak medis telah melaksanakan profesi sesuai dengan standar dan
tidak melakukan pelanggaran etik, maka putusan tersebut dapat digunakan oleh
pihak medis sebagai bahan pembelaan.

LANGKAH LANGKAH PENANGANAN KASUS


Berbicara mengenai langkah-langkah tindakan kita dalam menghadapi
kemungkinan adanya tuntutan hukum, seharusnya dimulai dari langkah
pencegahan. Dalam upaya ini dimasukkan perspektif safety di setiap langkah
prosedur atau tindakan medis dengan juga melibatkan proses manajemen risiko.
Dengan perspektif safety berarti meyakini bahwa faktor-faktor yang berkontribusi
dalam keberlangsungan layanan medis, baik perangkat keras (hardware) dan
perangkat lunak (software), maupun sumber daya manusia (liveware atau
brainware) sudah berorientasi kepada keselamatan.

Dalam hal telah terjadi peristiwa yang potensial menjadi kasus tuntutan hukum,
maka profesional wajib menganalisis peristiwa tersebut untuk menemukan apakah
"kesalahan" yang telah terjadi dan kemudian melakukan koreksi, guna mencegah
terulangnya peristiwa serupa di kemudian hari. Untuk dapat melakukan hal itu, ia
harus membuat catatan tentang kronologi peristiwa dan menjelaskan alasan
masing-masing tindakannya, dan menandatanganinya (semacam pernyataan
affidavit). Hal ini bisa dicapai apabila ia memiliki dokumen (rekam medis) yang
cukup lengkap, termasuk informed consent dan catatan yang terkait. Apabila lebih
dari satu orang yang terlibat dalam kasus tersebut, maka mereka harus
membahasnya bersama untuk dapat saling melengkapi "jalannya ceritera" - tanpa
melakukan manipulasi fakta.

Apabila tingkat potensial menjadi kasus medikolegalnya cukup tinggi, maka kasus
tersebut dilaporkan ke atasan (ketua KSMF atau Komite Medik) untuk dibahas
bersama. Institusi kesehatan yang relatif kecil dan memiliki staf medis yang
terbatas mungkin sukar membahas kasus yang "spesialistik" dengan baik, maka
harus berupaya untuk mengundang pakar dari organisasi profesi atau
perhimpunan spesialis terkait. Dalam audit klinis tersebut dilakukan pembahasan
tentang keadaan pasien, situasi-kondisi yang merupakan "tekanan", diagnosis
kerja dan diagnosis banding, indikasi medis dan kontra-indikasi, alternatif tindakan,
informed consent, komunikasi, prosedur tindakan dibandingkan dengan standar,
penyebab peristiwa yang menuju ke peristiwa medikolegal, penanganan peristiwa
tersebut saat itu, diagnosis akhir, dan kesimpulan apakah prosedur medis dan
alasannya telah dilakukan sesuai dengan standar profesi atau SOP yang cocok
dengan situasi-kondisi kasus.
Keseluruhan yang dilakukan di atas adalah juga merupakan langkah-langkah
persiapan menghadapi komplain pasien, atau bahkan menghadapi somasi dan
gugatan di kemudian hari. Di samping itu profesional terkait kasus tersebut harus
melihat kembali dokumen kompetensi (keahlian) dan kewenangan medis
(perijinan), serta kompetensi / kewenangan medis khusus (dokumen
pelatihan/workshop, pengakuan kompetensi, pengalaman, dll) yang berkaitan
dengan kasus.

Pertimbangan apakah kasus akan diselesaikan di pengadilan ataukah dengan


cara perdamaian perlu dibahas pada waktu tersebut. Kasus yang secara nyata
merupakan kesalahan pihak medis dan dinilai "undefensable" sebaiknya
diselesaikan dengan cara non litigasi. Sebaliknya, kasus yang secara nyata tidak
memiliki titik lemah di pihak medis dapat dipertimbangkan untuk diselesaikan
melalui sidang pengadilan. Kadang-kadang terdapat kasus "abu-abu" atau "kasus
ringan" yang penyelesaian cara non litigasi mungkin akan lebih "menguntungkan"
dari segi finansial daripada memilih cara penyelesaian litigasi.

Kepada pasien dan/atau keluarganya harus diberikan penjelasan yang


memuaskan tentang terjadinya peristiwa tersebut, penyebabnya atau
kemungkinan penyebabnya, tindakan yang telah dilakukan untuk mencegah atau
mengatasinya, tindakan yang masih diperlukan, dan peluang kesembuhannya di
masa mendatang. Apabila pasien meninggal dunia, maka penjelasan tentang
sebab kematian yang cukup rinci diperlukan. Keberhasilan penjelasan ini sangat
bergantung kepada kualitas penjelasan yang telah diberikan sewaktu memperoleh
informed consent. Keluhan atau komplain pasien dan/atau keluarganya harus
direspons dengan segera dan adekuat. Alangkah lebih baik apabila penjelasan
dilakukan oleh tim dokter terkait didampingi oleh salah seorang direktur dan wakil
dari Komite Medis.

Apabila di kemudian hari datang somasi, maka tim dokter segera berkonsultasi
dengan atasan dan penasehat hukum terkait. Tenaga medis dan staf lain yang
terlibat pada kasus tersebut haruslah berada dalam satu pihak yang solid dengan
rumah sakit agar tidak mudah digoyang oleh pihak penuntut. Suatu pertemuan dan
penjelasan yang adekuat seringkali dapat meredakan permasalahan. Tidak sedikit
yang berlanjut ke pembicaraan tentang "kompensasi" finansial di luar pengadilan.
Cara tersebut dirasakan cukup efektif untuk mencegah kasus ke pengadilan yang
membawa berbagai dampak. Proses di pengadilan dianggap dapat merusak citra
pofesional, mengganggu bisnis, berbiaya tinggi dan makan waktu lama. Namun,
sebagian kecil kasus mungkin masih akan maju ke pengadilan.
Tidak jarang, sebagaimana akhir-akhir ini sering terjadi, pasien dan kuasanya
mengungkapkan kasusnya kepada publik melalui media massa - dilihat dari sisi
mereka dengan persepsi mereka sendiri. Tulisan, tayangan atau pernyataan yang
sangat menyudutkan rumah sakit atau menyesatkan persepsi masyarakat
sebaiknya segera direspons oleh rumah sakit dengan memberikan informasi yang
adekuat tanpa harus membuka rahasia kedokteran.

Dalam kasus pidana dugaan kelalaian yang mengakibatkan cedera atau kematian,
penanganan awalnya boleh dianggap sama dengan di atas. Selanjutnya proses
pemeriksaan oleh penyidik diikuti dengan patuh, dengan memberikan
pembelajaran kepada penyidik di bidang medis dan medikolegal. Di wilayah
hukum Polda Metro Jaya disepakati untuk mengajukan satu atau dua orang saksi
ahli di bidang yang dibutuhkan, satu berasal dari organisasi profesi (MKEK) dan
satu dari kalangan akademisi (dosen Fakultas Kedokteran).

Guna menghadapi hal itu, organisasi profesi (PDSp) membentuk semacam


"dewan pakar" atau "dewan kehormatan pembina", yang akan menilai kasus dari
sisi profesi dan kemudian akan menjadi saksi ahli - menyampaikan hasil
pembahasan peer-group tersebut kepada penyidik.

Kesimpulan
Layanan kedokteran adalah suatu sistem yang kompleks dan rentan akan
terjadinya kecelakaan, sehingga harus dilakukan dengan penuh hati-hati oleh
orang-orang yang kompeten dan memiliki kewenangan khusus untuk itu.

Upaya meminimalkan tuntutan hukum terhadap rumah sakit beserta stafnya pada
dasarnya merupakan upaya mencegah terjadinya preventable adverse events
yang disebabkan oleh medical errors, atau berarti seluruh upaya mengelola risiko
dengan berorientasikan kepada keselamatan pasien.

Kepustakaan
AHRQ's Patient Safety Initiatives. http://www.ahrg.gov
Carroll R (ed). Risk Management Handbook for health care organizations. San
Fransisco: Jossey-Bass, 2001
Jones MA. Medical Negligence. London: Sweet & Maxwell, 1996.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Kohn LT, Corrigan JM, Donaldson MS (eds). To Err is Human, building a safer
health system. Washington: National Academy Press, 2000
Lens P and vander Wal G. Problem Doctors, a conspiracy of silence.
Amsterdam:Jos Press, 1997
Mann A. Medical Negligence Litigation, Medical Assessment of Claims. Redfern:
International Business Communications Pty Ltd, 1989.
McNair T. Medical Negligence. BBC Health, 28 January 2002.
Pozgar GD. Legal Aspects of Health Care Administration. 8th ed, Gaithersburg: An
Aspen Publ, 2002
Schutte JE. Preventing Medical Malpractice Suits. Seattle: Hogrefe & Huber Publ,
1995
Tan SY. The Medical Malpractice Epidemic in Singapore: Thoughts From Across
the Sea. Singapore: Medico-legal Annual Seminar, 27-28 October 2001.
Undang-Undang No 23 tahun 1992 tentang Kesehatan
Undang-Undang No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
Vincent C, Ennis M and Audley RJ. Medical Accident. Oxford: Oxford University
Press, 1993.
WMA. Statement on Medical Malpractice, adopted by the 4th World Medical
Assembly, Marbella, Spain, September 1992

_________________
Don't ask what Iluni-FK'83 can do for you.
Ask what you can do for Iluni-FK'83 !

Last edited by gitahafas on Sat Jun 26, 2010 8:53 pm; edited 1 time in total

gitahafas
Moderator Subject: Re: Hukum Kesehatan Sat Jun 26, 2010 10:08 am

Kerjasama Rumah Sakit dengan Organisasi Profesi untuk mengatasi Malpraktek


link_forensik_ku.webs.com/hukumkesehatan.htm -

Number of posts: Budi Sampurna


5564 Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal
Age: 52 Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Location: Jakarta Jl Salemba Raya No 6 Jakarta Pusat
Registration date: Telp: 021 3106976
2008-09-30
Pendahuluan
Layanan kedokteran di dalam rumah sakit adalah suatu sistem yang kompleks
dengan sifat hubungan antar komponen yang ketat (complex and tightly coupled)
[1], khususnya di ruang gawat darurat, ruang bedah, obstetrik dan ruang rawat
intensif. Sistem yang kompleks umumnya ditandai dengan spesialisasi dan
interdependensi. Dalam suatu sistem yang kompleks, satu komponen dapat
berinteraksi dengan banyak komponen lain, kadang dengan cara yang tak terduga
atau tak terlihat. Semakin kompleks dan ketat suatu sistem akan semakin mudah
terjadi kecelakaan (prone to accident), oleh karena itu praktik kedokteran di rumah
sakit haruslah dilakukan dengan tingkat kehati-hatian yang tinggi.

Setiap tindakan medis mengandung risiko buruk, sehingga harus dilakukan


tindakan pencegahan ataupun tindakan mereduksi risiko. Namun demikian
sebagian besar diantaranya tetap dapat dilakukan oleh karena risiko tersebut
dapat diterima (acceptable) sesuai dengan “state-of-the-art” ilmu dan teknologi
kedokteran. Risiko yang dapat diterima adalah risiko-risiko sebagai berikut:

1. Risiko yang derajat probabilitas dan keparahannya cukup kecil, dapat


diantisipasi, diperhitungkan atau dapat dikendalikan, misalnya efek samping obat,
perdarahan dan infeksi pada pembedahan, dll.

2. Risiko yang derajat probabilitas dan keparahannya besar pada keadaan


tertentu, yaitu apabila tindakan medis yang berrisiko tersebut harus dilakukan
karena merupakan satu-satunya cara yang harus ditempuh (the only way),
terutama dalam keadaan gawat darurat.

3. Risiko yang tidak dapat diprediksikan / dibayangkan sebelumnya, sebagai hasil


dari “ketidakpastian ilmu kedokteran”, yaitu unforeseeable risk.

Terjadinya kedua risiko pada butir 1 dan 2 di atas bukan menjadi tanggungjawab
hukum dokter apabila telah diinformasikan kepada pasien dan/atau keluarganya
dan kemudian memperoleh persetujuannya (doktrin informed consent, volenti non
fit injuria). Risiko pada butir 3 juga bukan menjadi tanggungjawab dokter oleh
karena ilmu kedokteran memang tidak dapat melakukan tindakan “pencegahan”
terjadinya risiko yang tidak dapat diduga sebelumnya. Namun demikian, Informed
consent tidak melindungi dokter dari terjadinya hasil buruk akibat suatu kelalaian
ataupun suatu perbuatan melanggar hukum lainnya.

[1] Kohn LT, Corrigan JM and Donaldson MS. To err is human, building a safer
health system. Washington DC: National Academy Press, 2000, p58-60

Memahami Malpraktek dan Kelalaian Medik

Karena ketidaktahuan masyarakat pada umumnya tumbuh miskonsepsi yang


menganggap bahwa setiap kegagalan praktek medis (misalnya, hasil buruk atau
tidak diharapkan selama dirawat di rumah sakit) sebagai akibat malpraktek medis
atau akibat kelalaian medis. Padahal perlu diingat bahwa suatu hasil yang tidak
diharapkan di bidang kedokteran sebenarnya dapat diakibatkan oleh beberapa
kemungkinan, yaitu :

a. Hasil dari suatu perjalanan penyakitnya sendiri, tidak berhubungan dengan


tindakan medis yang dilakukan dokter.

b. Hasil dari suatu risiko yang acceptable sebagaimana diuraikan di atas.

c. Hasil dari suatu kelalaian (culpa).

d. Hasil dari suatu kesengajaan (dolus).

Black’s Law Dictionary mendefinisikan malpraktek sebagai “professional


misconduct or unreasonable lack of skill” atau “failure of one rendering
professional services to exercise that degree of skill and learning commonly
applied under all the circumstances in the community by the average prudent
reputable member of the profession with the result of injury, loss or damage to the
recipient of those services or to those entitled to rely upon them”.

Malpraktek bukan hanya terjadi pada profesional medis, melainkan juga terjadi
pada semua profesional, termasuk profesional di bidang hukum, perbankan,
konstruksi, akuntansi dan bidang lainnya. Kita pernah mendengar kisah
malpraktek profesi non medis seperti “mafia peradilan”, praktek kekerasan di
kepolisian, runtuhnya jembatan yang sedang/baru dibangun, laporan akuntan
publik yang “palsu”, musibah BLBI di dunia perbankan, dan lain-lain.[1]

Dilihat dari segi hukum, malpraktek sebagaimana didefinisikan sebagaimana di


atas bukanlah suatu rumusan hukum yang diatur dalam undang-undang,
melainkan suatu kumpulan dari berbagai perilaku menyimpang yang dapat terjadi
karena suatu tindakan yang disengaja (intentional) seperti pada misconduct
tertentu, tindakan kelalaian (negligence), ataupun suatu kekurang-mahiran /
ketidak-kompetenan yang tidak beralasan.

Professional misconduct yang sebagian diantaranya merupakan kesengajaan


dapat dilakukan dalam bentuk pelanggaran ketentuan etik, ketentuan disiplin
profesi, hukum administratif, serta hukum pidana dan perdata. Sebagai contoh di
bidang medik adalah melakukan kesengajaan yang merugikan klien/pasien, fraud,
“penahanan” pasien, pelanggaran wajib simpan rahasia, aborsi ilegal,
euthanasia, penyerangan seksual, misrepresentasi, keterangan palsu,
menggunakan iptekdok yang belum teruji / diterima, berpraktek tanpa SIP,
berpraktek di luar kompetensinya, dll.
Kelalaian adalah salah satu bentuk dari malpraktek, sekaligus merupakan bentuk
malpraktek yang paling sering terjadi. Pada dasarnya kelalaian terjadi apabila
seseorang dengan tidak sengaja, melakukan sesuatu (komisi) yang seharusnya
tidak dilakukan atau tidak melakukan sesuatu (omisi) yang seharusnya dilakukan
oleh orang lain yang memiliki kualifikasi yang sama pada suatu keadaan dan
situasi yang sama. Perlu diingat bahwa pada umumnya kelalaian yang dilakukan
orang-per-orang bukanlah merupakan perbuatan yang dapat dihukum, kecuali
apabila dilakukan oleh orang yang seharusnya (berdasarkan sifat profesinya)
bertindak hati-hati, dan telah mengakibatkan kerugian atau cedera bagi orang lain.

Pengertian istilah kelalaian medik tersirat dari pengertian malpraktek medis


menurut World Medical Association (1992), yaitu: “medical malpractice involves
the physicianÂ’s failure to conform to the standard of care for treatment of the
patientÂ’s condition, or lack of skill, or negligence in providing care to the patient,
which is the direct cause of an injury to the patient.”

WMA mengingatkan pula bahwa tidak semua kegagalan medis adalah akibat
malpraktek medis. Suatu peristiwa buruk yang tidak dapat diduga sebelumnya
(unforeseeable) yang terjadi saat dilakukan tindakan medis yang sesuai standar
tetapi mengakibatkan cedera pada pasien tidak termasuk ke dalam pengertian
malpraktek atau kelalaian medik. “An injury occurring in the course of medical
treatment which could not be foreseen and was not the result of the lack of skill or
knowledge on the part of the treating physician is untoward result, for which the
physician should not bear any liability”. Dengan demikian suatu akibat buruk
yang unforeseeable dipandang dari iptekdok pada saat dan dalam situasi dan
fasilitas yang tersedia tidak dapat dipertanggung-jawabkan kepada dokter.

Suatu perbuatan atau sikap tenaga medis dianggap lalai apabila memenuhi empat
unsur di bawah ini, yaitu :
1. Duty atau kewajiban tenaga medis untuk melakukan sesuatu tindakan atau
untuk tidak melakukan sesuatu tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada
situasi dan kondisi yang tertentu.
2. Dereliction of the duty atau penyimpangan kewajiban tersebut.
3. Damage atau kerugian, yaitu segala sesuatu yang dirasakan oleh pasien
sebagai kerugian akibat dari layanan kesehatan / kedokteran yang diberikan oleh
pemberi layanan.

1. Direct causal relationship atau hubungan sebab akibat yang nyata. Dalam hal ini
harus terdapat hubungan sebab-akibat antara penyimpangan kewajiban dengan
kerugian yang setidaknya merupakan “proximate cause”.
Implikasi dari tindak malpraktek adalah bahwa tindakan tersebut melanggar salah
satu atau beberapa norma yang dianutnya, yaitu norma-norma etik, disiplin profesi,
hukum pidana atau hukum perdata. Masing-masing pelanggaran norma tersebut
haruslah diperiksa, dibuktikan dan kemudian dihukum / dikoreksi sesuai dengan
domainnya.

[1] Legal malpractice consists of failure of an attorney to use such skill, prudence,
and diligence as lawyers of ordinary skill and capacity commonly possess and
exercise in performance of tasks which they undertake, and when such failure
proximately causes damage it gives rise to an action in tort (BlackÂ’s Law
Dictionary)

Penyebab dan pencegahannya


Kecelakaan (hasil buruk) tidak terjadi sebagai akibat dari satu sebab (single
cause), melainkan merupakan hasil dari banyak sebab (multiple cause). Suatu
kesalahan manusia (human error) yang terlihat pada waktu terjadi kecelakaan
sebenarnya hanyalah merupakan active error, yang mungkin kita sebut sebagai
faktor penyebab ataupun pencetus / presipitasi. Sementara itu terdapat faktor-
faktor penyebab lain yang merupakan latent errors atau yang biasa kita sebut
sebagai predisposisi, underlying factors, faktor kontribusi, dll.

Active errors terjadi pada tingkat operator garis depan dan dampaknya segera
dirasakan, sedangkan latent errors cenderung berada di luar kendali operator garis
depan, seperti desain buruk, instalasi yang tidak tepat, pemeliharaan yang buruk,
kesalahan keputusan manajemen, dan struktur organisasi yang buruk.

Latent error merupakan ancaman besar bagi keselamatan (safety) dalam suatu
sistem yang kompleks, oleh karena sering tidak terdeteksi dan dapat
mengakibatkan berbagai jenis active errors. Latent errors tidak terasa sebagai
error, namun sebenarnya merupakan akar dari kesalahan manajemen yang telah
banyak menimbulkan unsafe conditions dalam praktek kedokteran di lapangan.
Bila satu saat unsafe conditions ini bertemu dengan suatu unsafe act (active error),
maka terjadilah accident. Dengan demikian perlu kita pahami bahwa penyebab
suatu accident bukanlah single factor melainkan multiple factors.

Dengan demikian alangkah lebih baik apabila kita mencari faktor penyebab yang
tergolong ke dalam predisposisi, yang lebih bersifat sistemik, organisatoris dan
manajerial, sehingga kita dapat melakukan langkah-langkah pencegahannya, juga
secara sistemik. Dalam diskusi internal Ikatan Dokter Indonesia pada pertengahan
tahun lalu dimunculkan beberapa akar penyebab tersebut, yaitu:
1. Pemahaman dan penerapan etika kedokteran yang rendah. Hal ini diduga
merupakan akibat dari sistem pendidikan di Fakultas Kedokteran yang tidak
memberikan materi etika kedokteran sebagai materi yang juga mencakup afektif
– tidak hanya kognitif.

2. Paham materialisme yang semakin menguat di masyarakat pada umumnya dan


di dalam pelayanan kedokteran khususnya.

3. Belum adanya peraturan perundang-undangan yang menjamin akuntabilitas


profesi kedokteran (saat ini kita sedang menunggu diundangkannya UU Praktik
Kedokteran yang diharapkan dapat mengatur praktek kedokteran yang akuntabel).

4. Belum adanya good clinical governance di dalam pelayanan kedokteran di


Indonesia, yang terlihat dari belum ada atau kurangnya standar (kompetensi,
perilaku dan pelayanan) dan pedoman (penatalaksanaan kasus), serta tidak
tegasnya penegakan standar dan pedoman tersebut.

Diduga masih banyak penyebab-penyebab lain atau derivat dari penyebab-


penyebab di atas, seperti tidak adanya standar pendidikan kedokteran, peraturan
yang membolehkan para dokter bekerja di banyak tempat praktek (sarana
kesehatan) dengan risiko menipisnya mutu hubungan dokter-pasien, mahalnya
pendidikan kedokteran – terutama PPDS, sistem pembiayaan yang
membebankan sebagian besar keputusan kepada dokter, komersialisasi rumah
sakit, dan lain-lain.

Dengan melihat faktor-faktor penyebab di atas maka pencegahan terjadinya


malpraktek harus dilakukan dengan melakukan perbaikan sistem, mulai dari
pendidikan hingga ke tata-laksana praktek kedokteran. Pendidikan etik kedokteran
dianjurkan dimulai lebih dini sejak tahun pertama pendidikan kedokteran, dengan
memberikan lebih ke arah tools dalam membuat keputusan etik, memberikan
banyak latihan, dan lebih banyak dipaparkan dalam berbagai situasi-kondisi etik-
klinik tertentu (clinical ethics), sehingga cara berpikir etis tersebut diharapkan
menjadi bagian pertimbangan dari pembuatan keputusan medis sehari-hari. Tentu
saja kita pahami bahwa pendidikan etik belum tentu dapat mengubah perilaku etis
seseorang, terutama apabila teladan yang diberikan para seniornya bertolak
belakang dengan situasi ideal dalam pendidikan.

Nilai-nilai materialisme yang dianut masyarakat harus dapat dibendung dengan


memberikan latihan dan teladan yang menunjukkan sikap etis dan profesional
dokter, seperti autonomy, beneficence, non maleficence dan justice, serta sikap
altruisme. Diyakini bahwa hal ini adalah bagian tersulit dari upaya sistemik
pencegahan malpraktek, oleh karena diperlukan kemauan politis yang besar dan
serempak dari masyarakat profesi kedokteran untuk mau bergerak ke arah
tersebut. Perubahan besar harus dilakukan.

Undang-undang Praktik Kedokteran diharapkan menjadi wahana yang dapat


membawa kita ke arah tersebut, sepanjang penerapannya dilakukan dengan
benar. Standar pendidikan ditetapkan guna mencapai standar kompetensi,
kemudian dilakukan registrasi secara nasional dan pemberian lisensi bagi mereka
yang akan berpraktek. Konsil harus berani dan tegas dalam melaksanakan
peraturan, sehingga akuntabilitas progesi kedokteran benar-benar dapat
ditegakkan. Standar perilaku harus ditetapkan sebagai suatu aturan yang lebih
konkrit dan dapat ditegakkan daripada sekedar kode etik. Demikian pula standar
pelayanan harus diterbitkan untuk mengatur hal-hal pokok dalam praktek,
sedangkan ketentuan rinci agar diatur dalam pedoman-pedoman. Keseluruhannya
akan memberikan rambu-rambu bagi praktek kedokteran, menjadi aturan disiplin
profesi kedokteran, yang harus diterapkan, dipantau dan ditegakkan oleh Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Profesional yang “kotor”
dibersihkan dan mereka yang “busuk” dibuang dari masyarakat profesi.

Ketentuan yang mendukung good clinical governance harus dibuat dan


ditegakkan. Dalam hal ini peran rmah sakit sangat diperlukan. Rumah sakit harus
mampu mencegah praktek kedokteran tanpa kewenangan atau di luar
kewenangan, mampu “memaksa” para profesional bekerja sesuai dengan
standar profesinya, serta mampu memberikan “suasana” dan budaya yang
kondusif bagi suburnya praktek kedokteran yang berdasarkan bukti (EBM).

Patient safety dan risk management


Pendapat yang mengatakan bahwa kecelakaan dapat dicegah dengan desain
organisasi dan manajemen yang baik akhir-akhir ini sangat dipercaya
kebenarannya. Konsep safety (dalam hal ini patient safety), yang pada mulanya
diberlakukan di dalam dunia penerbangan, akhir-akhir ini diterapkan oleh Institute
of Medicine di Amerika (dan institusi serupa di negara-negara lain). Keselamatan
pasien diartikan sebagai penghindaran, pencegahan dan perbaikan terjadinya
adverse events atau freedom from accidental injury. Keselamatan tidak terdapat
pada diri individu, peralatan ataupun bagian (departemen, unit), melainkan muncul
dari interaksi komponen-komponen dalam sistem. Berasal dari pemahaman ini
muncullah konsep human factors yang mempelajari hubungan antar manusia,
peralatan yang mereka gunakan dan lingkungan dimana mereka hidup dan
bekerja.
Agency for Healthcare Research and Quality (AHRQ), dalam rangka
memaksimalkan patient safety, menyatakan bahwa terdapat beberapa elemen
yang harus dilakukan oleh rumah sakit untuk mencegah medical errors, yaitu: [1]

1. Mengubah budaya organisasi ke arah budaya yang berorientasi kepada


keselamatan pasien. Perubahan ini terutama ditujukan kepada seluruh sistem
sumber daya manusia dari sejak perekrutan (kredensial), supervisi dan disiplin.
Rasa malu dalam melaporkan suatu kesalahan dan kebiasaan menghukum
“pelakunya” harus dikikis habis agar staf rumah sakit dengan sukarela
melaporkan kesalahan kepada manajemen (dan atau komite medis), sehingga
pada akhirnya dapat diambil langkah-langkah pencegahan kejadian serupa di
kemudian hari.

2. Melibatkan pimpinan kunci di dalam program keselamatan pasien, dalam hal ini
manajemen dan komite medik serta tokoh-tokoh terkemuka di rumah sakit.
Komitmen pimpinan dibutuhkan dalam menjalankan program-program manajemen
risiko, termasuk ronde rutin bersama ke unit-unit klinik.

3. Mendidik para profesional di rumah sakit di bidang pemahamannya tentang


keselamatan pasien dan bagaimana mengidentifikasi errors, serta upaya-upaya
meningkatkan keselamatan pasien.

4. Mendirikan Komisi Keselamatan Pasien di rumah sakit yang beranggotakan staf


interdisiplin dan bertugas mengevaluasi laporan-laporan yang masuk,
mengidentifikasi petunjuk adanya kesalahan, mengidentifikasi dan
mengembangkan langkah koreksinya.

5. Mengembangkan dan mengadopsi Protokol dan Prosedur yang aman.

6. Memantau dengan hati-hati penggunaan alat-alat medis agar tidak


menimbulkan kesalahan baru.

Elemen-elemen di atas diterapkan bersama-sama dengan menerapkan clinical


governance yang memastikan akuntabilitas layanan dan manajemen risiko yang
bertujuan mengurangi atau menyingkirkan risiko.

Clinical governance diartikan sebagai ”a framework through which NHS


organizations are accountable for continously improving the quality of their
services and safeguarding high standards of care by creating an environment in
which excellence in clinical care will flourish”. Upaya ini memerlukan 3 komponen
penting, yaitu pencegahan kegagalan atau kesalahan layanan, belajar dari
pengalaman yang baik dan perubahan organisasi kesehatan ke arah suasana
yang kondusif.

Sementara itu, dalam bidang kesehatan dan keselamatan, manajemen risiko lebih
diartikan sebagai pengendalian risiko salah satu pihak (pasien atau masyarakat)
oleh pihak yang lain (pemberi layanan). Sedangkan di dalam suatu komunitas
pemberi layanan kesehatan itu sendiri, yaitu pengelola rumah sakit dan para
dokternya, harus diartikan sebagai suatu upaya kerjasama berbagai pihak untuk
mengendalikan risiko bersama.[2]

The Joint Commission on Accreditation of Healthcare Organizations (JCAHO)


memberikan pengertian manajemen risiko sebagai aktivitas klinik dan administratif
yang dilakukan oleh rumah sakit (HO) untuk melakukan identifikasi, evaluasi dan
pengurangan risiko terjadinya cedera atau kerugian pada pasien, personil,
pengunjung dan rumah sakit itu sendiri.[3] Kegiatan tersebut meliputi identifikasi
risiko hukum (legal risk), memprioritaskan risiko yang teridentifikasi, menentukan
respons rumah sakit terhadap risiko, mengelola suatu kasus risiko dengan tujuan
meminimalkan kerugian (risk control), membangun upaya pencegahan risiko yang
efektif, dan mengelola pembiayaan risiko yang adekuat (risk financing).

[1] AHRQÂ’s patient safety initiative: Building Foundation, Reducing Risk (2004),
chapter 2

[2] Dental Protection: Essentials of risk management. Manual, tanpa tahun.

[3] Balsamo RR and Brown MD. Risk Management. In: Sanbar SS, Gibofsky A,
Firestone MH, LeBlang TR. (eds) Legal Medicine. Fourth ed, St Louis (Mosby),
1998.

Upaya bersama Profesi dan Rumah Sakit


Dengan melihat berbagai upaya pencegahan terjadinya kecelakaan medis
ataupun kelalaian medis di atas, tampak bahwa upaya pencegahan tersebut harus
dilakukan pada tingkat profesional maupun pada tingkat rumah sakit. Kedua pihak
harus saling memberikan peluang kepada pihak lainnya untuk dapat
melaksanakan upaya-upaya pencegahan di atas, maupun upaya penanganan
kasus-kasus dugaan malpraktek.

Upaya besar pencegahan dimulai dengan sosialisasi nilai-nilai patient safety


kepada seluruh komponen profesional dan rumah sakit, disusul dengan penyiapan
seluruh faktor yang diperlukan, seperti berbagai perangkat lunak yang menunjang
berlakunya Undang-Undang No 29/2004 tentang Praktik Kedokteran beserta
peraturan di bawahnya (standar kompetensi, standar perilaku, standar pelayanan,
S.O.P, informed consent dan refusal, pedoman incident report system, pedoman
medical / clinical audit, dll), menyiapkan program-program pelatihan bagi mereka
yang akan melaksanakan kegiatan-kegiatan tersebut, menghimbau dilakukannya
perubahan organisasi rumah sakit agar memungkinkan program-program patient
safety terlaksana, dan menerapkan sistem pengawasan yang akseptabel.

Di sisi lain, organisasi profesi dan rumah sakit bekerjasama dalam menangani
kasus dugaan malpraktek di rumah sakit. Setiap kasus harus ditangani sedemikian
rupa sehingga aspek pembinaan dan aspek hukumnya berjalan bersamaan.
Setiap kasus diperiksa, dipelajari dan dianalisis bersama dalam suasana non-
blaming dan dicarikan tindakan korektifnya sehingga di masa mendatang tidak
terjadi lagi. Komite medis diharapkan berperan dalam menganalisis kasus dari
teknis-medis, yang dianjurkan melibatkan organisasi profesi yang sesuai.

Dalam menghadapi proses hukum, rumah sakit sebaiknya berada dalam satu
pihak dengan profesional pelakunya. Persi dan organisasi profesi dapat
membentuk suatu badan advokasi bersama yang beraktivitas di bidang hukum dan
kehumasan secara bersama-sama. Di bidang pendanaan dapat dilakukan dua hal,
yaitu menyiapkan dana ”no fault compensation” dan melibatkan perusahaan
asuransi profesi. Dana ”no fault compensation” diperlukan dalam
menyelesaikan kasus-kasus ”ringan” melalui pendekatan ”interest based”
ataupun kasus yang menghadapi proses hukum pidana sebagai bagian dari
kontribusi rumah sakit, sedangkan asuransi profesi diperlukan dalam menghadapi
proses hukum perdata.

Kesimpulan
Rumah sakit dan profesional adalah pihak-pihak yang saling dependen sehingga
penyelesaian berbagai masalah di dalam rumah sakit harus pula dilakukan secara
bersama.

“The world is a dangerous place to live; not because of the people who are evil,
but because of the people who don't do anything about it." (Albert Einstein)

Kepustakaan lanjutan
1. AHRQÂ’s patient safety initiative: Building Foundation, Reducing Risk (2004),
chapter 2
2. Balsamo RR and Brown MD. Risk Management. In: Sanbar SS, Gibofsky A,
Firestone MH, LeBlang TR. (eds) Legal Medicine. Fourth ed, St Louis (Mosby),
1998
3. BlacksÂ’s Law Dictionary
4. Dental Protection: Essentials of risk management. Manual, tanpa tahun.
5. Kohn LT, Corrigan JM and Donaldson MS. To err is human, building a safer
health system. Washington DC: National Academy Press, 2000
6. Pozgar GD. Legal Aspects of Health Care Administration. 8th ed, Gaithersburg:
An Aspen Publication, 2002
7. Schutte JE. Preventing Medical Malpractice Suits. Seattle: Hogrefe & Huber
Publ, 1995
8. Tan SY. The Medical Malpractice Epidemic in Singapore: Thoughts From
Across the Sea. Singapore: Medico-legal Annual Seminar, 27-28 October 2001.
9. Undang-Undang No 29 / 2004 tentang Praktik Kedokteran
10. Vincent C. Clinical Risk Management, enhancing patient safety. 2nd ed.
London: BMJ Books, 2001.
11. WMA. Statement on Medical Malpractice, adopted by the 4th World Medical
Assembly, Marbella, Spain, September 1992

_________________
Don't ask what Iluni-FK'83 can do for you.
Ask what you can do for Iluni-FK'83 !

Last edited by gitahafas on Sat Jun 26, 2010 8:53 pm; edited 1 time in total

gitahafas
Moderator Subject: Re: Hukum Kesehatan Sat Jun 26, 2010 10:15 am

ASPEK HUKUM INFORMASI KESEHATAN


Dan Implementasi Undang-Undang Praktik Kedokteran
link_forensik_ku.webs.com/hukumkesehatan.htm -
Number of posts:
5564 Budi Sampurna
Age: 52 Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal
Location: Jakarta Fakultas Kedoteran Universitas Indonesia
Registration date: Jl. Salemba Raya no 6 Telp: 3106976, Fax: 3154626
2008-09-30 Jakarta Pusat Indonesia

Pendahuluan
Undang-Undang No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran diundangkan untuk
mengatur praktik kedokteran dengan tujuan agar dapat memberikan perlindungan
kepada pasien, mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis dan
memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, dokter dan dokter gigi.

Pada bagian awal, Undang-Undang No 29/2004 mengatur tentang persyaratan


dokter untuk dapat berpraktik kedokteran, yang dimulai dengan keharusan
memiliki sertifikat kompetensi kedokteran yang diperoleh dari Kolegium selain
ijasah dokter yang telah dimilikinya, keharusan memperoleh Surat Tanda
Registrasi dari Konsil Kedokteran Indonesia dan kemudian memperoleh Surat ijin
Praktik dari Dinas Kesehatan Kota / Kabupaten. Dokter tersebut juga harus telah
mengucapkan sumpah dokter, sehat fisik dan mental serta menyatakan akan
mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi.

Selain mengatur persyaratan praktik kedokteran di atas, Undang-Undang No


29/2004 juga mengatur tentang organisasi Konsil Kedokteran, Standar Pendidikan
Profesi Kedokteran serta Pendidikan dan Pelatihannya, dan proses registrasi
tenaga dokter.

Pada bagian berikutnya, Undang-Undang No 29/2004 mengatur tentang


penyelenggaraan praktik kedokteran. Dalam bagian ini diatur tentang perijinan
praktik kedokteran, yang antara lain mengatur syarat memperoleh SIP (memiliki
STR, tempat praktik dan rekomendasi organisasi profesi), batas maksimal 3
tempat praktik, dan keharusan memasang papan praktik atau mencantumkan
namanya di daftar dokter bila di rumah sakit. Dalam aturan tentang pelaksanaan
praktik diatur agar dokter memberitahu apabila berhalangan atau memperoleh
pengganti yang juga memiliki SIP, keharusan memenuhi standar pelayanan,
memenuhi aturan tentang persetujuan tindakan medis, memenuhi ketentuan
tentang pembuatan rekam medis, menjaga rahasia kedokteran, serta
mengendalikan mutu dan biaya.

Pada bagian ini Undang-Undang juga mengatur tentang hak dan kewajiban dokter
dan pasien. Salah satu hak dokter yang penting adalah memperoleh perlindungan
hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar
prosedur operasional, sedangkan hak pasien yang terpenting adalah hak
memperoleh penjelasan tentang penyakit, tindakan medis, manfaat, risiko,
komplikasi dan prognosisnya dan serta hak untuk menyetujui atau menolak
tindakan medis.

Pada bagian berikutnya Undang-Undang No 29/2004 mengatur tentang disiplin


profesi. Undang-Undang mendirikan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia yang bertugas menerima pengaduan, memeriksa dan memutuskan
kasus pelanggaran disiplin dokter. Sanksi yang diberikan oleh MKDKI adalah
berupa peringatan tertulis, rekomendasi pencabutan STR dan/atau SIP, dan
kewajiban mengikuti pendidikan dan pelatihan tertentu.

Pada akhirnya Undang-Undang No 29/2004 mengancam pidana bagi mereka


yang berpraktik tanpa STR dan atau SIP, mereka yang bukan dokter tetapi
bersikap atau bertindak seolah-olah dokter, dokter yang berpraktik tanpa membuat
rekam medis, tidak memasang papan praktik atau tidak memenuhi kewajiban
dokter. Pidana lebih berat diancamkan kepada mereka yang mempekerjakan
dokter yang tidak memiliki STR dan/atau SIP.

Undang-Undang No 29/2004 baru akan berlaku setelah satu tahun sejak


diundangkan, bahkan penyesuaian STR dan SIP diberi waktu hingga dua tahun
sejak Konsil Kedokteran terbentuk.

Beberapa peraturan lanjutan tampaknya harus dibuat oleh Konsil Kedokteran


dan/atau Menteri Kesehatan untuk memperjelas ketentuan yang belum jelas, yaitu
tentang perijinan yang dikaitkan dengan tempat dan jam praktik, “penempatan
dokter” yang masih dikaitkan dengan ijin praktek – meskipun ketentuan WKS
telah dicabut, peraturan ijin praktik medis untuk perawat di Balai Pengobatan,
standar profesi, ketentuan kelengkapan rekam medis, manfaat informed consent,
tanggungjawab hukum dan lain-lain.

Ketentuan yang berkaitan dengan masalah rekam medis


Dalam UU No 29/2004 terdapat beberapa ketentuan yang berhubungan dengan
penyelenggaraan rekam medis, yaitu tentang Standar Pelayanan, Persetujuan
Tindakan Kedokteran, Rekam medis, Rahasia Kedokteran dan Kendali mutu dan
kendali biaya. Sebagian besar ketentuan hukum tersebut adalah ketentuan yang
telah diterbitkan dalam bentuk peraturan perundangundangan lain. Di bawah
adalah ketentuan tersebut:

1. Pasal 44 ayat (1) menyatakan bahwa “dokter dan dokter gigi dalam
menyelenggarakan praktik kedokteran wajib mengikuti standar pelayanan
kedokteran dan kedokteran gigi”.
2. Pasal 45 ayat (5) menyatakan bahwa “setiap tindakan kedokteran dan
kedokteran gigi yang mengandung risiko tinggi harus diberikan dengan
persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan
persetujuan”
3. Pasal 46 ayat (1) menyatakan bahwa “setiap dokter atau dokter gigi dalam
menjalankan praktik kedokteran wajib membuat rekam medis”.
4. Pasal 46 ayat (2) menyatakan bahwa “rekam medis sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus segera dilengkapi setelah pasien selesai menerima pelayanan
kesehatan”
5. Penjelasan pasal 46 ayat (3) menyatakan bahwa : “yang dimaksud dengan
petugas adalah dokter atau dokter gigi atau tenaga kesehatan lain yang
memberikan pelayanan langsung kepada pasien. Apabila dalam pencatatan rekam
medis menggunakan teknologi informasi elektronik, kewajiban membubuhi
tandatangan dapat diganti dengan menggunakan nomor identitas pribadi (personal
identification number)
6. Pasal 47 ayat (2) menyatakan bahwa “rekam medis sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus disimpan dan dijaga kerahasiaannya oleh dokter atau dokter
gigi dan pimpinan sarana pelayanan kesehatan”.
7. Pasal 49 ayat (2) menyatakan bahwa “dalam rangka pelaksanaan kegiatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diselenggarakan audit medis”,
dengan penjelasan bahwa “yang dimaksud dengan audit medis adalah upaya
evaluasi secara profesional terhadap mutu pelayanan medis yang diberikan
kepada pasien dengan menggunakan rekam medisnya yang dilaksanakan oleh
profesi medis”.
8. Pasal 79 menyatakan bahwa “Dipidana dengan pidana kurungan paling lama
1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 50.000.000.00 (lima puluh juta rupiah)
setiap dokter dan dokter gigi yang (b) dengan sengaja tidak membuat rekam medis
sebagaimana dimaksud dalam pasal 46 ayat (1)”

Memang masih banyak ketentuan hukum lain di dalam UU no 29/2004 di bidang


pelayanan rekam medik yang juga penting, namun uraian ayat-ayat di atas sangat
berkaitan dengan kelengkapan pengisian rekam medis yang saat ini sedang
dijadikan isu utama.

Permenkes 749a tahun 1989 tentang Rekam medis dalam pasal 15 dan 16
menyebutkan butir-butir minimal yang harus dimuat dalam rekam medis, misalnya
untuk pasien rawat inap setidaknya memuat informasi tentang identitas pasien,
anamnesis, riwayat penyakit, hasil pemeriksaan, diagnosis, persetujuan tindakan
medik, catatan perawatan, catatan observasi klinis dan hasil pengobatan dan
resume akhir dan evaluasi pengobatan. Sayang sekali bahwa format dan
seberapa jauh “kelengkapan” isi rekam medis tidak atau belum diuraikan
disuatu peraturan pun.

Kewajiban pengadaan rekam medis


Kewajiban pengadaan rekam medis bagi setiap sarana pelayanan kesehatan
sudah diberlakukan sejak 1989 melalui permenkes no 749a, termasuk ke
dalamnya adalah pengisian rekam medis dengan akurat, lengkap dan tepat waktu.
Namun demikian sanksi administratif yang diberlakukan pada Permenkes diubah
menjadi sanksi pidana pada UU Praktik Kedokteran. Harapan pembuat UU adalah
agar para klinisi menjadi lebih bertanggungjawab dalam mengisi rekam medis.

Dokter yang merawat pasien bertanggungjawab atas kelengkapan dan


keakurasian pengisian rekam medis. Di dalam praktik memang dapat saja
pengisian rekam medis dilakukan oleh tenaga kesehatan lain (perawat, asisten,
residen, co-ass), namun dokter yang merawat pasienlah yang memikul
tanggungjawabnya. Perlu diingat bahwa kelengkapan dan keakuratan isi rekam
medis sangat bermanfaat, baik bagi perawatan dan pengobatan pasien, bukti
hukum bagi rumah sakit dan dokter, maupun bagi kepentingan penelitian medis
dan administratif.

Petugas rekam medis atau profesional manajemen informasi kesehatan wajib


berupaya untuk memastikan bahwa pendokumentasian dilakukan dengan baik,
pengkodean dilakukan dengan benar, menyampaikan informasi kesehatan hanya
dengan prosedur yang sah, mengolah data rekam medis dengan baik,
memanfaatkan data rekam medis untuk kepentingan pengendalian mutu layanan
kesehatan, dan menyadari bahwa komputerisasi rekam medis sangat membantu
segala upaya pengelolaan tetapi memiliki dampak lebih terbuka sehingga aspek
kerahasiaan menjadi tertantang.

Dokumentasi yang dianggap tidak dapat diterima adalah melakukan pencatatan


mundur dan pengubahan catatan disesuaikan dengan hasil layanan yang terjadi.
Fraud dan abuse di bidang pendokumentasian dan pengkodean harus bisa
dicegah, seperti mengkode sedemikian rupa agar pembayaran menjadi lebih
besar, misrepresentasi atau untuk tujuan menghindari konflik.

Kewajiban menjaga informasi kesehatan sebagai rahasia


Kerahasiaan rekam medis diatur di dalam UU Praktik Kedokteran pasal 47 ayat (2)
sebagaimana disebutkan di atas. UU tersebut memang hanya menyebut dokter,
dokter gigi dan pimpinan sarana yang wajib menyimpannya sebagai rahasia,
namun PP no 10 tahun 1966 tentang wajib simpan rahasia kedokteran tetap
mewajibkan seluruh tenaga kesehatan dan mereka yang sedang dalam
pendidikan di sarana kesehatan untuk menjaga rahasia kedokteran.

Lebih lanjut UU Praktik Kedokteran memperkuat peraturan sebelumnya yang


menyatakan bahwa berkas RM adalah milik sarana kesehatan sedangkan isi RM
milik pasien. Pernyataan tersebut sering mengakibatkan kesulitan dalam
mengartikannya. Di AS umumnya berlaku pemahaman bahwa “the medical
record, as a medium, is owned by the health-care provider, with the patient
possessing a limited property interest in the health information contained therein”
[1]
Selanjutnya, pasal 1 PP 10 tahun 1966 yang menyatakan bahwa ”yang dimaksud
dengan rahasia kedokteran adalah segala sesuatu yang diketahui oleh orang-
orang dalam pasal 3 pada waktu atau selama melakukan pekerjaannya dalam
lapangan kedokteran” sehingga tidak ada sedikitpun yang bukan rahasia. Namun
umumnya para praktisi menyederhanakannya dengan menyatakan bahwa
merahasiakan berarti tidak menyebut identitas (dalam arti luas) bila berbicara
tentang “riwayat medik” dan begitu pula sebaliknya.

Selanjutnya UU Praktik Kedokteran memberikan peluang pengungkapan informasi


kesehatan secara terbatas, yaitu dalam pasal 48 ayat (2):
1. untuk kepentingan kesehatan pasien
2. untuk memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka
penegakan hukum
3. permintaan pasien sendiri
4. berdasarkan ketentuan undang-undang

Sedangkan pasal 12 Permenkes 749a menyatakan bahwa:

(1) pemaparan isi rekam medis hanya boleh dilakukan oleh dokter yang merawat
pasien dengan ijin tertulis pasien.

(2) Pimpinan sarana pelayanan kesehatan dapat memaparkan isi rekam medis
tanpa seijin pasien berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Dalam hal ini kesulitan masih dapat terjadi karena belum ada peraturan yang
merinci bagaimana tata cara penyerahan informasi kesehatan, baik kepada pasien
maupun kepada pihak ketiga.

Oleh karena pasien adalah pemilik ”isi rekam medis”, maka sarana kesehatan
dapat menyerahkan dengan lebih tidak ragu-ragu, yaitu dapat dalam bentuk
fotokopi rekam medis ataupun dalam bentuk surat keterangan yang memuat
resume perjalanan penyakit dan perawatannya selama di sarana kesehatan
tersebut. Rekam medis asli hanya dapat dibawa keluar sarana kesehatan atas
perintah pengadilan.

Sedangkan kepada pihak ketiga, setelah memperoleh persetujuan pasien,


informasi yang disampaikan harus memenuhi prinsip ”need to know”, yaitu
minimal tapi mencukupi, relevan dan akurat.

Di bidang keamanan rekam medis, Permenkes No 749a/MENKES/ PER/XII/1989


menyatakan dalam pasal 13, bahwa pimpinan sarana kesehatan
bertanggungjawab atas (a) hilangnya, rusaknya, atau pemalsuan rekam medis, (b)
penggunaan oleh orang / Badan yang tidak berhak.

Peluang menyimpan dalam bentuk elektronik juga dinyatakan dalam UU Praktik


Kedokteran, dengan memberikan isyarat keharusan menggunakan PIN. Dalam hal
ini para praktisi harus segera menyikapi dengan membuat rambu-rambu ketentuan
sedemikian agar privasi, kerahasiaan dan keamanan harus tetap terjaga.

[1] McWay DC. Legal Aspects of Health Information Management. Albany: Delmar
Publisher, 1997: 86

Kewajiban menganalisis dan audit medis


UU Praktik Kedokteran mewajibkan dokter dan dokter gigi, atau dalam hal ini juga
sarana kesehatannya, untuk melakukan kendali mutu dan kendali biaya. Dalam
rangka melakukan kedua tugas tersebut perlu dilakukan analisis rekam medis.
Berbagai kegiatan dapat dilakukan dalam menunjang tugas-tugas di atas,
misalnya audit (analisis kualitatif dan kuantitatif) rekam medis, analisis berbagai
angka kesehatan, laporan kasus, incident report, dan audit medis.

Audit rekam medis berbeda dengan audit medis. Walaupun ada persamaan
berkas yang diaudit yaitu berkas rekam medis, namun ada perbedaan prinsip
antara audit medis dengan audit rekam medis. Audit rekam medis dilakukan oleh
sub komite rekam medis dan atau penanggung jawab unit kerja rekam medis,
yang terkait dengan kelengkapan pengisian rekam medis, sedangkan audit medis
dilakukan oleh staf medis dengan melihat diagnose dan pengobatan yang
terdokumentasi dalam rekam medis tersebut dan menganalisisnya apakah telah
sesuai dengan standar atau belum. [1]

Departemen Kesehatan saat ini juga sedang merevisi buku Pedoman Rekam
Medis, yang didalamnya juga memuat tatacara menganalisis rekam medis.

Aspek legal terpenting dari audit medis adalah penggunaan informasi medis
pasien, yang tentu saja terkait dengan kewajiban menyimpan rahasia kedokteran.
Pada Permenkes RI tentang rekam medis disebutkan bahwa salah satu tujuan dari
rekam medis adalah untuk riset dan sebagai data dalam melakukan upaya
peningkatan mutu pelayanan medis. Permenkes ini juga memberikan peluang
pembahasan informasi medis seseorang pasien di kalangan profesi medis untuk
tujuan rujukan dan pengembangan ilmiah. Demikian pula Asosiasi dokter sedunia
(WMA, Oktober 1983) menyatakan bahwa penggunaan informasi medis untuk
tujuan riset dan audit dapat dibenarkan.
It is not a breach of confidentiality to release or transfer confidential health care
information required for the purpose of conducting scientific researchs,
management audits, financial audits, program evaluations, or similar studies,
provided the information released does not identify, directly or indirectly, any
individual patient in any report of such research, audit or evaluation, or otherwise
disclose patient identities in any manner (Statement of World Medical Association,
1983).

Ketentuan model yang diajukan oleh the American Medical Record Association
menyatakan bahwa informasi medis dapat dibuka dalam hal : (a) memperoleh
otorisasi tertulis dari pasien, (b) sesuai dengan ketentuan undang-undang, (c)
diberikan kepada sarana kesehatan lain yang saat ini menangani pasien, (d) untuk
evaluasi perawatan medis, (e) untuk riset dan pendidikan sesuai dengan peraturan
setempat. (2)

Di pihak lain, audit medis yang mereview rekam medis dapat saja menemukan
kesalahan-kesalahan orang, kesalahan prosedur, kesalahan peralatan dan lain-
lain, sehingga dapat menimbulkan rasa kurang nyawan bagi para profesional
(dokter, perawat, dan profesi kesehatan lain). Oleh karena itu perlu diingat bahwa
audit medis bertujuan untuk mengevaluasi pelayanan medis dalam rangka untuk
meningkatkan kualitas pelayanan dan bukan untuk mencari kesalahan dan
menghukum seseorang. Tindakan manajemen yang diusulkan oleh panitia untuk
mengoreksi perilaku dan atau kapasitas perorangan harus dilakukan secara
bijaksana sehingga tidak terkesan sebagai sanksi hukuman. Boleh dikatakan
bahwa audit medis tidak mencari pelaku kesalahan (liable person/parties),
melainkan lebih ke arah menemukan risiko yang dapat dicegah (avoidable risks)
– sehingga arahnya benar-benar menuju peningkatan kualitas dan safety.

Dengan demikian dalam melaksanakan audit medis perlu diperhatikan hal-hal


sebagai berikut :
1. Semua orang / staf yang turut serta dalam audit medis adalah mereka yang
telah disumpah untuk menjaga kerahasiaan kedokteran sebagaimana diatur dalam
pasal 3 Peraturan Pemerintah No 10 tahun 1966, dikenal memiliki integritas yang
tinggi dan memperoleh penunjukan resmi dari direksi.
2. Semua formulir data yang masuk dalam rangka audit medis tetap memiliki
tingkat kerahasiaan yang sama dengan rekam medis, termasuk seluruh fotokopi
dan fax.
3. Harus disepakati tentang sanksi bagi pelanggaran atas rahasia kedokteran ini,
misalnya penghentian penugasan / akses atas rekam medis, atau bahkan
penghentian hubungan kerja.
4. Seluruh laporan audit tidak diperkenankan mencantumkan identitas pasien, baik
secara langsung maupun tidak langsung.
5. Seluruh hasil audit medis ditujukan untuk kepentingan perbaikan pelayanan
medis di rumah sakit tersebut, tidak dapat dipergunakan untuk sarana kesehatan
lain dan tidak digunakan untuk menyalahkan atau menghukum seseorang atau
satu kelompok orang.
6. Seluruh hasil audit medis tidak dapat dipergunakan sebagai bukti di pengadilan
(dalam keadaan tertentu, rekam medis tetap dapat digunakan sebagai bukti di
pengadilan)

[1] draft Pedoman Audit Medis di RS, Departemen Kesehatan, 20 Sept 2004

Komputerisasi Rekam Medis / Informasi Kesehatan


Pemanfaatan komputer sebagai sarana pembuatan dan pengiriman informasi
medis merupakan upaya yang dapat mempercepat dan mempertajam bergeraknya
informasi medis untuk kepentingan ketepatan tindakan medis. Namun di sisi lain
dapat menimbulkan masalah baru di bidang kerahasiaan dan privacy pasien. Bila
data medis pasien jatuh ke tangan orang yang tidak berhak, maka dapat terjadi
masalah hukum dan tanggung-jawab harus ditanggung oleh dokternya atau oleh
rumahsakitnya. Untuk itu maka standar pelaksanaan pembuatan dan
penyimpanan rekam medis yang selama ini berlaku bagi berkas kertas harus pula
diberlakukan pada berkas elektronik. Umumnya komputerisasi tidak
mengakibatkan rekam medis menjadi paperless, tetapi hanya menjadi less paper.
Beberapa data seperti data identitas, informed consent, hasil konsultasi, hasil
radiologi dan imaging harus tetap dalam bentuk kertas (print out).

Konsil Asosiasi Dokter Sedunia di bidang etik dan hukum menerbitkan ketentuan
di bidang ini pada tahun 1994. Beberapa petunjuk yang penting adalah :
1. Informasi medis hanya dimasukkan ke dalam komputer oleh personil yang
berwenang.
2. Data pasien harus dijaga dengan ketat. Setiap personil tertentu hanya bisa
mengakses data tertentu yang sesuai, dengan menggunakan security level
tertentu.
3. Tidak ada informasi yang dapat dibuka tanpa ijin pasien. Distribusi informasi
medis harus dibatasi hanya kepada orang-orang yang berwenang saja. Orang-
orang tersebut juga tidak diperkenankan memindahtangankan informasi tersebut
kepada orang lain.
4. Data yang telah “tua” dapat dihapus setelah memberitahukan kepada dokter
dan pasiennya (atau ahli warisnya).
5. Terminal yang on-line hanya dapat digunakan oleh orang yang berwenang.
Rekam medis yang berbentuk kertas umumnya disimpan di Bagian Rekam Medis.
Orang yang akan mengaksesnya harus menunjukkan kartu pengenal atau surat
ijin dari direksi atau pejabat yang ditunjuk. Tetapi, sekali rekam medis ini keluar
dari “sarangnya”, petugas rekam medis tidak dapat lagi mengendalikannya.
Mungkin saja rekam medis ini dikopi, diedarkan, dll.

Komputerisasi rekam medis harus menerapkan sistem yang mengurangi


kemungkinan kebocoran informasi ini. Setiap pemakai harus memiliki PIN dan
password, atau menggunakan sidik jari atau pola iris mata sebagai pengenal
identitasnya. Data medis juga dapat dipilah-pilah sedemikian rupa, sehingga orang
tertentu hanya bisa mengakses rekam medis sampai batas tertentu. Misalnya
seorang petugas registrasi hanya bisa mengakses identitas umum pasien, seorang
dokter hanya bisa mengakses seluruh data milik pasiennya sendiri, seorang
petugas “billing” hanya bisa mengakses informasi khusus yang berguna untuk
pembuatan tagihan, dll. Bila si dokter tidak mengisi sendiri data medis tersebut, ia
harus tetap memastikan bahwa pengisian rekam medis yang dilakukan oleh
petugas khusus tersebut telah benar.

Sistem juga harus dapat mendeteksi siapa dan kapan ada orang yang mengakses
sesuatu data tertentu (footprints). Di sisi lain, sistem harus bisa memberikan
peluang pemanfaatan data medis untuk kepentingan auditing dan penelitian.
Dalam hal ini perlu diingat bahwa data yang mengandung identitas tidak boleh
diakses untuk keperluan penelitian. Kopi rekam medis juga hanya boleh dilakukan
di kantor rekam medis sehingga bisa dibatasi peruntukannya. Suatu formulir
“perjanjian” dapat saja dibuat agar penerima kopi berjanji untuk tidak membuka
informasi ini kepada pihak-pihak lainnya.

Pengaksesan rekam medis juga harus dibuat sedemikian rupa sehingga orang
yang tidak berwenang tidak dapat mengubah atau menghilangkan data medis,
misalnya data jenis “read-only” yang dapat diaksesnya. Bahkan orang yang
berwenang mengubah atau menambah atau menghilangkan sebagian data, harus
dapat terdeteksi “perubahannya” dan “siapa dan kapan perubahan tersebut
dilakukan”.

Masalah hukum lainnya adalah apakah rekam medis elektonik tersebut masih
dapat dikategorikan sebagai bukti hukum dan bagaimana pula dengan bentuk
elektronik dari informed consent? Memang kita menyadari bahwa berkas elektronik
juga merupakan bukti hukum, namun bagaimana membuktikan ke-otentik-annya?
Bila di berkas kertas selalu dibubuhi paraf setiap ada perubahan, bagaimana
dengan berkas elektronik?
Di sisi lain, komputerisasi mungkin memberikan bukti yang lebih baik, yaitu
perintah jarak jauh yang biasanya hanya berupa per-telepon (tanpa bukti), maka
sekarang dapat diberikan lewat email yang diberi “signature”.

Penyimpanan dan Pemusnahan


Permenkes menyebutkan bahwa rekam medis harus disimpan setidaknya hingga
5 tahun sejak kunjungan terakhir pasien. Setelah itu rekam medis dapat
dimusnahkan dengan mengikuti suatu ketentuan tertentu, yaitu yang diatur dalam
Pedoman yang diterbitkan oleh Departemen Kesehatan. Penyimpanan juga dapat
dilakukan dengan mikrofilm atau media penyimpanan lain, yang hingga saat ini
belum diuraikan media-media apa saja yang diperbolehkan.

Dalam praktek ternyata banyak kasus atau penyakit yang membutuhkan data
medis yang sudah sangat lama. Data medis seorang anak-anak dapat saja
dibutuhkan kembali kelak pada saat ia dewasa, mungkin lebih dari 5 tahun
kemudian. Penyakit tertentu, seperti kanker dan atau penyakit kronis lainnya, juga
membutuhkan penyimpanan rekam medis yang lebih lama dari lima tahun. Oleh
karena itu pemusnahan harus mengikuti prosedur yang benar, melalui suatu
skrining terlebih dahulu, memperoleh persetujuan dari dokter yang merawatnya,
tercatat dalam berita-acara pemusnahan dll.

Kesimpulan
Sebagian besar ketentuan tentang rekam medis dalam UU Praktik Kedokteran
telah diatur dalam peraturan-peraturan sebelumnya, sebagian kecil lainnya
merupakan penguatan ketentuan sebelumnya dan penambahan ketentuan yang
sebelumnya belum ada. Keseluruhan ketentuan tersebut ditujukan untuk
melindungi pasien, meningkatkan mutu pelayanan dan memberikan kepastian
hukum.

Kepustakaan
1. Rowland HS and Rowland BL. Hospital Administration Handbook. Rockville : AN
Aspen Publication, 1984
2. Huffman EK. Medical Record Management. Illinois : PhysiciansÂ’ record
Company, 1981
3. Waters KA and Murphy GF. Medical Records in Health Information.
Germantown : Aspen Systems Corporation, 1979
4. Kogan M and Redfern S. Making Use of Clinical Audit. Buckingham: Open
University Press. 1995
5. Sanbar SS, Gibofsky A, Firstone MH, LeBlang TR. Legal Medicine. 4th ed. St
Louis:American College of Legal Medicine, 1998.
6. Permenkes RI No 749a/MENKES/PER/XII/1989 tentang Rekam Medis.
7. UU No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.

_________________
Don't ask what Iluni-FK'83 can do for you.
Ask what you can do for Iluni-FK'83 !

Last edited by gitahafas on Sat Jun 26, 2010 8:54 pm; edited 1 time in total

gitahafas
Moderator Subject: Re: Hukum Kesehatan Sat Jun 26, 2010 10:18 am

Implikasi Hukum
link_forensik_ku.webs.com/hukumkesehatan.htm -

Number of posts: Budi Sampurna


5564 Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal
Age: 52 Fakultas Kedoteran Universitas Indonesia
Location: Jakarta Jl. Salemba Raya no 6 Telp: 3106976, Fax: 3154626
Registration date: Jakarta Pusat Indonesia
2008-09-30
Istilah malpraktik memang bukan istilah hukum yang tertera di dalam peraturan
perundang-undangan di Indonesia, namun berbagai tindakan yang termasuk ke
dalam kelompok tindak malpraktik telah diatur dalam hukum pidana. Kata
malpraktik lebih diartikan sebagai suatu “genus” tindak pidana yang “spesies” nya
teruraikan di dalam berbagai pasal ketentuan pidana.

Jenis pidana yang paling sering dituntutkan kepada dokter adalah pidana kelalaian
yang mengakibatkan luka (pasal 360 KUHP), atau luka berat atau mati (pasal 359
KUHP), yang dikualifikasikan dengan pemberatan ancaman pidananya bila
dilakukan dalam rangka melakukan pekerjaannya (pasal 361 KUHP). Sedangkan
pidana lain yang bukan kelalaian yang mungkin dituntutkan adalah pembuatan
keterangan palsu (pasal 267-268 KUHP), aborsi ilegal (pasal 349 KUHP jo pasal
347 dan 348 KUHP), penipuan dan misrepresentasi (pasal 382 bis), pidana
perpajakan (pasal 209 atau 372 KUHP), pencemaran lingkungan hidup (pasal 42
dan 43 UU Pengelolaan Lingkungan Hidup), euthanasia (pasal 344 KUHP),
penyerangan seksual (pasal 284-294 KUHP), dan lain-lain.

Gugatan perdata dalam bentuk ganti rugi dapat diajukan dengan mendasarkan
kepada salah satu dari 3 teori di bawah ini, yaitu :
1. Kelalaian sebagaimana pengertian di atas dan akan diuraikan kemudian

2. Perbuatan melanggar hukum, yaitu misalnya melakukan tindakan medis tanpa


memperoleh persetujuan, membuka rahasia kedokteran tentang orang tertentu,
penyerangan privacy seseorang, dan lain-lain.

3. Wanprestasi, yaitu pelanggaran atas janji atau jaminan. Gugatan ini sukar
dilakukan karena umumnya dokter tidak menjanjikan hasil dan perjanjian tersebut,
seandainya ada, umumnya sukar dibuktikan karena tidak tertulis.

Suatu perbuatan atau sikap tenaga medis dianggap lalai apabila memenuhi empat
unsur di bawah ini, yaitu :

1. Duty atau kewajiban tenaga medis untuk melakukan sesuatu tindakan atau
untuk tidak melakukan sesuatu tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada
situasi dan kondisi yang tertentu.

2. Dereliction of the duty atau penyimpangan kewajiban tersebut.

3. Damage atau kerugian, yaitu segala sesuatu yang dirasakan oleh pasien
sebagai kerugian akibat dari layanan kesehatan / kedokteran yang diberikan oleh
pemberi layanan.

4. Direct causal relationship atau hubungan sebab akibat yang nyata. Dalam hal ini
harus terdapat hubungan sebab-akibat antara penyimpangan kewajiban dengan
kerugian yang setidaknya merupakan “proximate cause”.

Selanjutnya, oleh karena teori kelalaian adalah dasar penuntutan yang tersering
digunakan, baik pada tuntutan pidana maupun pada gugatan perdata, maka upaya
meminimalisasi tuntutan di rumah sakit harus ditujukan kepada upaya menurunkan
kemungkinan terjadinya kelalaian medis, atau bahkan mengurangi kemungkinan
terjadinya preventable adverse events yang disebabkan oleh medical errors.

_________________
Don't ask what Iluni-FK'83 can do for you.
Ask what you can do for Iluni-FK'83 !

Last edited by gitahafas on Sat Jun 26, 2010 8:55 pm; edited 1 time in total
gitahafas
Moderator Subject: Re: Hukum Kesehatan Sat Jun 26, 2010 10:45 am

MALPRAKTIK KEDOKTERAN
Pemahaman dari segi kedokteran dan hukum
link_forensik_ku.webs.com/hukumkesehatan.htm -
Number of posts:
5564 Budi Sampurna
Age: 52 Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal
Location: Jakarta Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Registration date: Jl. Salemba Raya No 6 Jakarta Pusat
2008-09-30 Telp: 021 3106976 Fax: 3154626

Pendahuluan
Praktik kedokteran bukanlah suatu pekerjaan yang dapat dilakukan oleh siapa
saja, melainkan hanya boleh dilakukan oleh kelompok profesional kedokteran
tertentu yang memiliki kompetensi yang memenuhi standar tertentu, diberi
kewenangan oleh institusi yang berwenang di bidang itu dan bekerja sesuai
dengan standar dan profesionalisme yang ditetapkan oleh organisasi profesinya.

Secara teoritis-konseptual, antara masyarakat profesi dengan masyarakat umum


terjadi suatu kontrak (mengacu kepada doktrin social-contract), yang memberi
masyarakat profesi hak untuk melakukan self-regulating (otonomi profesi) dengan
kewajiban memberikan jaminan bahwa profesional yang berpraktek hanyalah
profesional yang kompeten dan yang melaksanakan praktek profesinya sesuai
dengan standar.

Sikap profesionalisme adalah sikap yang bertanggungjawab, dalam arti sikap dan
perilaku yang akuntabel kepada masyarakat, baik masyarakat profesi maupun
masyarakat luas – termasuk klien. Beberapa ciri profesionalisme tersebut
merupakan ciri profesi itu sendiri, seperti kompetensi dan kewenangan yang selalu
“sesuai dengan tempat dan waktu”, sikap yang etis sesuai dengan etika
profesinya, bekerja sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh profesinya, dan
khusus untuk profesi kesehatan ditambah dengan sikap altruis (rela berkorban).
Uraian dari ciri-ciri tersebutlah yang kiranya harus dapat dihayati dan diamalkan
agar profesionalisme tersebut dapat terwujud. [1]

Undang-Undang No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran diundangkan untuk


mengatur praktik kedokteran dengan tujuan agar dapat memberikan perlindungan
kepada pasien, mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis dan
memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, dokter dan dokter gigi.
Pada bagian awal, Undang-Undang No 29/2004 mengatur tentang persyaratan
dokter untuk dapat berpraktik kedokteran, yang dimulai dengan keharusan
memiliki sertifikat kompetensi kedokteran yang diperoleh dari Kolegium selain
ijasah dokter yang telah dimilikinya, keharusan memperoleh Surat Tanda
Registrasi dari Konsil Kedokteran Indonesia dan kemudian memperoleh Surat ijin
Praktik dari Dinas Kesehatan Kota / Kabupaten. Dokter tersebut juga harus telah
mengucapkan sumpah dokter, sehat fisik dan mental serta menyatakan akan
mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi.

Selain mengatur persyaratan praktik kedokteran di atas, Undang-Undang No


29/2004 juga mengatur tentang organisasi Konsil Kedokteran, Standar Pendidikan
Profesi Kedokteran serta Pendidikan dan Pelatihannya, dan proses registrasi
tenaga dokter.

Pada bagian berikutnya, Undang-Undang No 29/2004 mengatur tentang


penyelenggaraan praktik kedokteran. Dalam bagian ini diatur tentang perijinan
praktik kedokteran, yang antara lain mengatur syarat memperoleh SIP (memiliki
STR, tempat praktik dan rekomendasi organisasi profesi), batas maksimal 3
tempat praktik, dan keharusan memasang papan praktik atau mencantumkan
namanya di daftar dokter bila di rumah sakit. Dalam aturan tentang pelaksanaan
praktik diatur agar dokter memberitahu apabila berhalangan atau memperoleh
pengganti yang juga memiliki SIP, keharusan memenuhi standar pelayanan,
memenuhi aturan tentang persetujuan tindakan medis, memenuhi ketentuan
tentang pembuatan rekam medis, menjaga rahasia kedokteran, serta
mengendalikan mutu dan biaya.

Pada bagian ini Undang-Undang juga mengatur tentang hak dan kewajiban dokter
dan pasien. Salah satu hak dokter yang penting adalah memperoleh perlindungan
hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar
prosedur operasional, sedangkan hak pasien yang terpenting adalah hak
memperoleh penjelasan tentang penyakit, tindakan medis, manfaat, risiko,
komplikasi dan prognosisnya dan serta hak untuk menyetujui atau menolak
tindakan medis.

Pada bagian berikutnya Undang-Undang No 29/2004 mengatur tentang disiplin


profesi. Undang-Undang mendirikan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia yang bertugas menerima pengaduan, memeriksa dan memutuskan
kasus pelanggaran disiplin dokter. Sanksi yang diberikan oleh MKDKI adalah
berupa peringatan tertulis, rekomendasi pencabutan STR dan/atau SIP, dan
kewajiban mengikuti pendidikan dan pelatihan tertentu.
Pada akhirnya Undang-Undang No 29/2004 mengancam pidana bagi mereka
yang berpraktik tanpa STR dan atau SIP, mereka yang bukan dokter tetapi
bersikap atau bertindak seolah-olah dokter, dokter yang berpraktik tanpa membuat
rekam medis, tidak memasang papan praktik atau tidak memenuhi kewajiban
dokter. Pidana lebih berat diancamkan kepada mereka yang mempekerjakan
dokter yang tidak memiliki STR dan/atau SIP.[2]

Undang-Undang No 29/2004 baru akan berlaku setelah satu tahun sejak


diundangkan, bahkan penyesuaian STR dan SIP diberi waktu hingga dua tahun
sejak Konsil Kedokteran terbentuk.

UU Praktik Kedokteran belum akan bisa diterapkan secara sempurna apabila


peraturan pelaksanaannya belum dibuat. Peraturan Konsil yang harus dibuat
adalah ketentuan tentang Fungsi & Tugas KKI; Fungsi, Tugas, Wewenang KK /
KKG; Pemilihan tokoh masyarakat sebagai anggota; Tata Kerja KKI; Tata cara
Registrasi; Kewenangan dokter / dokter gigi; Tata cara pemilihan Pimpinan MKDKI
dan Tata Laksana kerja MKDKI. Peraturan Menteri Kesehatan yang harus dibuat
atau direvisi bila sudah ada adalah peraturan tentang Surat Ijin Praktik,
Pelaksanaan Praktik, Standar Pelayanan, Persetujuan Tindakan Medik, Rekam
Medis, dan Rahasia Kedokteran. Selain itu masih diperlukan pembuatan berbagai
standar seperti standar profesi yang di dalamnya meliputi standar kompetensi,
standar perilaku dan standar pelayanan medis, serta standar pendidikan. Bahkan
beberapa peraturan pendukung juga diperlukan untuk melengkapinya, seperti
peraturan tentang penempatan dokter dalam rangka pemerataan pelayanan
kedokteran, pendidikan dokter spesialis, pelayanan medis oleh tenaga kesehatan
non medis, penataan layanan kesehatan non medis (salon, pengobatan tradisionil,
pengobatan alternatif), perumahsakitan dan sarana kesehatan lainnya, dan lain-
lain.

[1] Untuk menjamin tanggung jawab dan akuntabilitas profesionalisme, organisasi


profesi wajib menentukan standar, persyaratan, dan sertifikasi keahlian, serta kode
etik profesi (Ps 12 ayat 1 UU No 18 tahun 2002 tentang IPTEK).

[2] Perbedaan pendapat terjadi di bidang ini. Sebagian ahli tidak setuju atas
ancaman pidana bagi pelanggaran yang dianggap pelanggaran administratif
(praktik tanpa STR/SIP dan tidak memasang papan praktik), sebagian ahli lain
berpendapat perlunya kriminalisasi oleh karena menganggap pelanggaran
tersebut bukan sekedar administratif – melainkan pelanggaran kewajiban yang
azasi – sebagai konsekuensi hak pasien atas informasi dan akuntabilitas profesi.
Layanan kedokteran, errors dan adverse events
Ilmu kedokteran adalah ilmu empiris, sehingga ketidakpastian merupakan salah
satu ciri khasnya. Iptekdok masih menyisakan kemungkinan adanya bias dan
ketidaktahuan, meskipun perkembangannya telah sangat cepat sehingga sukar
diikuti oleh standar prosedur yang baku dan kaku. Kedokteran tidak menjanjikan
hasil layanannya, melainkan hanya menjanjikan upayanya
(inspanningsverbintennis).

Layanan kedokteran dikenal sebagai suatu sistem yang kompleks dengan sifat
hubungan antar komponen yang ketat (complex and tightly coupled)[1], khususnya
di ruang gawat darurat, ruang bedah dan ruang rawat intensif. Sistem yang
kompleks umumnya ditandai dengan spesialisasi dan interdependensi. Dalam
suatu sistem yang kompleks, satu komponen dapat berinteraksi dengan banyak
komponen lain, kadang dengan cara yang tak terduga atau tak terlihat. Semakin
kompleks dan ketat suatu sistem akan semakin mudah terjadi kecelakaan (prone
to accident), oleh karena itu praktik kedokteran haruslah dilakukan dengan tingkat
kehati-hatian yang tinggi.

Setiap tindakan medis mengandung risiko buruk, sehingga harus dilakukan


tindakan pencegahan ataupun tindakan mereduksi risiko. Namun demikian
sebagian besar diantaranya tetap dapat dilakukan oleh karena risiko tersebut
dapat diterima (acceptable) sesuai dengan “state-of-the-art” ilmu dan teknologi
kedokteran. Risiko yang dapat diterima adalah risiko-risiko sebagai berikut:

1. Risiko yang derajat probabilitas dan keparahannya cukup kecil, dapat


diantisipasi, diperhitungkan atau dapat dikendalikan, misalnya efek samping obat,
perdarahan dan infeksi pada pembedahan, dll.

2. Risiko yang derajat probabilitas dan keparahannya besar pada keadaan


tertentu, yaitu apabila tindakan medis yang berrisiko tersebut harus dilakukan
karena merupakan satu-satunya cara yang harus ditempuh (the only way),
terutama dalam keadaan gawat darurat.

Kedua jenis risiko di atas apabila terjadi bukan menjadi tanggung-jawab dokter
sepanjang telah diinformasikan kepada pasien dan telah disetujui (volenti non fit
injuria). Pada situasi seperti inilah manfaat pelaksanaan informed consent.

Suatu risiko / peristiwa buruk yang tidak dapat diduga atau diperhitungkan
sebelumnya (unforeseeable, unpredictable) yang terjadi saat dilakukan tindakan
medis yang sesuai standar tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada dokter
atau pemberi layanan medis (misalnya reaksi hipersensitivitas, emboli air
ketuban). World Medical Association berpendapat: “An injury occurring in the
course of medical treatment which could not be foreseen and was not the result of
the lack of skill or knowledge on the part of the treating physician is untoward
result, for which the physician should not bear any liability”.

Setiap cedera yang lebih disebabkan karena manajemen kedokteran daripada


akibat penyakitnya disebut sebagai adverse events. Sebagian dari adverse event
ternyata disebabkan oleh error sehingga dianggap sebagai preventable adverse
events. Error sendiri diartikan sebagai kegagalan melaksanakan suatu rencana
tindakan (error of execution; lapses dan slips) atau penggunaan rencana tindakan
yang salah dalam mencapai tujuan tertentu (error of planning; mistakes). Di dalam
kedokteran, semua error dianggap serius karena dapat membahayakan pasien.

Suatu hasil yang tidak diharapkan di bidang medik sebenarnya dapat disebabkan
oleh beberapa kemungkinan, yaitu (lihat bagan 1):

a. Hasil dari suatu perjalanan penyakitnya sendiri, tidak berhubungan dengan


tindakan medis yang dilakukan dokter.

b. Hasil dari suatu risiko yang tak dapat dihindari, yaitu risiko yang tak dapat
diketahui sebelumnya (unforeseeable); atau risiko yang meskipun telah diketahui
sebelumnya (foreseeable) tetapi dianggap acceptable, sebagaimana telah
diuraikan di atas.

c. Hasil dari suatu kelalaian medik.

d. Hasil dari suatu kesengajaan.

Guna menilai bagaimana kontribusi manusia dalam suatu error dan dampaknya,
perlu dipahami perbedaan antara active errors dan latent errors. Active errors
terjadi pada tingkat operator garis depan dan dampaknya segera dirasakan,
sedangkan latent errors cenderung berada di luar kendali operator garis depan,
seperti desain buruk, instalasi yang tidak tepat, pemeliharaan yang buruk,
kesalahan keputusan manajemen, dan struktur organisasi yang buruk (lihat bagan
2).

Latent error merupakan ancaman besar bagi keselamatan (safety) dalam suatu
sistem yang kompleks, oleh karena sering tidak terdeteksi dan dapat
mengakibatkan berbagai jenis active errors. Sebagai contoh adalah sistem
pendidikan dokter spesialis yang mahal, pembolehan dokter bekerja pada
“banyak” rumah sakit, tidak adanya sistem yang menjaga akuntabilitas profesi
(lihat pula bagan di bawah) adalah latent errors yang tidak terasa sebagai error,
namun sebenarnya merupakan akar dari kesalahan manajemen yang telah
banyak menimbulkan unsafe conditions dalam praktek kedokteran di lapangan.
Bila satu saat unsafe conditions ini bertemu dengan suatu unsafe act (active error),
maka terjadilah accident. Dalam hal ini perlu kita pahami bahwa penyebab suatu
accident bukanlah single factor melainkan multiple factors.

Umumnya kita merespons suatu error dengan berfokus pada active error-nya
dengan memberikan hukuman kepada individu pelakunya, retraining dan lain-lain
yang bertujuan untuk mencegah berulangnya active errors. Meskipun hukuman
seringkali bermanfaat pada kasus tertentu (pada mistakes yang timbul karena
kesengajaan), namun sebenarnya tidak cukup efektif. Memfokuskan perhatian
kepada active errors akan membiarkan latent errors tetap ada di dalam sistem,
atau bahkan mungkin akan terakumulasi, sehingga sistem tersebut semakin
mungkin mengalami kegagalan di kemudian hari.

Pendapat yang mengatakan bahwa kecelakaan dapat dicegah dengan desain


organisasi dan manajemen yang baik akhir-akhir ini sangat dipercaya
kebenarannya. Konsep safety (dalam hal ini patient safety), yang pada mulanya
diberlakukan di dalam dunia penerbangan, akhir-akhir ini diterapkan oleh Institute
of Medicine di Amerika (dan institusi serupa di negara-negara lain). Keselamatan
pasien diartikan sebagai penghindaran, pencegahan dan perbaikan terjadinya
adverse events atau freedom from accidental injury. Keselamatan tidak terdapat
pada diri individu, peralatan ataupun bagian (departemen, unit), melainkan muncul
dari interaksi komponen-komponen dalam sistem.

[1] Kohn LT, Corrigan JM and Donaldson MS. To err is human, building a safer
health system. Washington DC: National Academy Press, 2000, p58-60

Malpraktik Kedokteran

Tuntutan hukum yang diajukan oleh pasien atau keluarganya kepada pihak rumah
sakit dan atau dokternya dari waktu ke waktu semakin meningkat kekerapannya.
Tuntutan hukum tersebut dapat berupa tuntutan pidana maupun perdata, dengan
hampir selalu mendasarkan kepada teori hukum kelalaian. Dalam bahasa sehari-
hari, perilaku yang dituntut adalah malpraktik medis, yang merupakan sebutan
“genus” dari kelompok perilaku profesional medis yang “menyimpang” dan
mengakibatkan cedera, kematian atau kerugian bagi pasiennya.

Black’s Law Dictionary mendefinisikan malpraktik sebagai “professional


misconduct or unreasonable lack of skill” atau “failure of one rendering
professional services to exercise that degree of skill and learning commonly
applied under all the circumstances in the community by the average prudent
reputable member of the profession with the result of injury, loss or damage to the
recipient of those services or to those entitled to rely upon them”.

Pengertian malpraktik di atas bukanlah monopoli bagi profesi medis, melainkan


juga berlaku bagi profesi hukum (misalnya mafia peradilan), akuntan, perbankan
(misalnya kasus BLBI), dan lain-lain. Pengertian malpraktik medis menurut World
Medical Association (1992) adalah: “medical malpractice involves the physician’s
failure to conform to the standard of care for treatment of the patient’s condition, or
lack of skill, or negligence in providing care to the patient, which is the direct cause
of an injury to the patient.”

Dari segi hukum, di dalam definisi di atas dapat ditarik pemahaman bahwa
malpraktik dapat terjadi karena tindakan yang disengaja (intentional) seperti pada
misconduct tertentu, tindakan kelalaian (negligence), ataupun suatu kekurang-
mahiran / ketidak-kompetenan yang tidak beralasan.

Professional misconduct yang merupakan kesengajaan dapat dilakukan dalam


bentuk pelanggaran ketentuan etik, ketentuan disiplin profesi, hukum administratif,
serta hukum pidana dan perdata, seperti melakukan kesengajaan yang merugikan
pasien, fraud, “penahanan” pasien, pelanggaran wajib simpan rahasia kedokteran,
aborsi ilegal, euthanasia, penyerangan seksual, misrepresentasi atau fraud,
keterangan palsu, menggunakan iptekdok yang belum teruji / diterima, berpraktek
tanpa SIP, berpraktek di luar kompetensinya, dll. Kesengajaan tersebut tidak harus
berupa sengaja mengakibatkan hasil buruk bagi pasien, namun yang penting lebih
ke arah deliberate violation (berkaitan dengan motivasi) ketimbang hanya berupa
error (berkaitan dengan informasi).

Kelalaian dapat terjadi dalam 3 bentuk, yaitu malfeasance, misfeasance dan


nonfeasance. Malfeasance berarti melakukan tindakan yang melanggar hukum
atau tidak tepat/layak (unlawful atau improper), misalnya melakukan tindakan
medis tanpa indikasi yang memadai (pilihan tindakan medis tersebut sudah
improper). Misfeasance berarti melakukan pilihan tindakan medis yang tepat tetapi
dilaksanakan dengan tidak tepat (improper performance), yaitu misalnya
melakukan tindakan medis dengan menyalahi prosedur. Nonfeasance adalah tidak
melakukan tindakan medis yang merupakan kewajiban baginya. Bentuk-bentuk
kelalaian di atas sejalan dengan bentuk-bentuk error (mistakes, slips and lapses)
yang telah diuraikan sebelumnya, namun pada kelalaian harus memenuhi ke-
empat unsur kelalaian dalam hukum – khususnya adanya kerugian, sedangkan
error tidak selalu mengakibatkan kerugian. Demikian pula adanya latent error yang
tidak secara langsung menimbulkan dampak buruk (lihat pula bagan 1).

Kelalaian medik adalah salah satu bentuk dari malpraktik medis, sekaligus
merupakan bentuk malpraktik medis yang paling sering terjadi. Pada dasarnya
kelalaian terjadi apabila seseorang dengan tidak sengaja, melakukan sesuatu
(komisi) yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan sesuatu (omisi)
yang seharusnya dilakukan oleh orang lain yang memiliki kualifikasi yang sama
pada suatu keadaan dan situasi yang sama. Perlu diingat bahwa pada umumnya
kelalaian yang dilakukan orang-per-orang bukanlah merupakan perbuatan yang
dapat dihukum, kecuali apabila dilakukan oleh orang yang seharusnya
(berdasarkan sifat profesinya) bertindak hati-hati, dan telah mengakibatkan
kerugian atau cedera bagi orang lain.

Implikasi hukum
Istilah malpraktik memang bukan istilah hukum yang tertera di dalam peraturan
perundang-undangan di Indonesia, namun berbagai tindakan yang termasuk ke
dalam kelompok tindak malpraktik telah diatur dalam hukum pidana. Kata
malpraktik lebih diartikan sebagai suatu “genus” tindak pidana yang “spesies” nya
teruraikan di dalam berbagai pasal ketentuan pidana.

Jenis pidana yang paling sering dituntutkan kepada dokter adalah pidana kelalaian
yang mengakibatkan luka (pasal 360 KUHP), atau luka berat atau mati (pasal 359
KUHP), yang dikualifikasikan dengan pemberatan ancaman pidananya bila
dilakukan dalam rangka melakukan pekerjaannya (pasal 361 KUHP). Sedangkan
pidana lain yang bukan kelalaian yang mungkin dituntutkan adalah pembuatan
keterangan palsu (pasal 267-268 KUHP), aborsi ilegal (pasal 349 KUHP jo pasal
347 dan 348 KUHP), penipuan dan misrepresentasi (pasal 382 bis), pidana
perpajakan (pasal 209 atau 372 KUHP), pencemaran lingkungan hidup (pasal 42
dan 43 UU Pengelolaan Lingkungan Hidup), euthanasia (pasal 344 KUHP),
penyerangan seksual (pasal 284-294 KUHP), dan lain-lain.

Gugatan perdata dalam bentuk ganti rugi dapat diajukan dengan mendasarkan
kepada salah satu dari 3 teori di bawah ini, yaitu :

1. Kelalaian sebagaimana pengertian di atas dan akan diuraikan kemudian

2. Perbuatan melanggar hukum, yaitu misalnya melakukan tindakan medis tanpa


memperoleh persetujuan, membuka rahasia kedokteran tentang orang tertentu,
penyerangan privacy seseorang, dan lain-lain.

3. Wanprestasi, yaitu pelanggaran atas janji atau jaminan. Gugatan ini sukar
dilakukan karena umumnya dokter tidak menjanjikan hasil dan perjanjian tersebut,
seandainya ada, umumnya sukar dibuktikan karena tidak tertulis.

Suatu perbuatan atau sikap tenaga medis dianggap lalai apabila memenuhi empat
unsur di bawah ini, yaitu :

1. Duty atau kewajiban tenaga medis untuk melakukan sesuatu tindakan atau
untuk tidak melakukan sesuatu tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada
situasi dan kondisi yang tertentu.

2. Dereliction of the duty atau penyimpangan kewajiban tersebut.

3. Damage atau kerugian, yaitu segala sesuatu yang dirasakan oleh pasien
sebagai kerugian akibat dari layanan kesehatan / kedokteran yang diberikan oleh
pemberi layanan.

4. Direct causal relationship atau hubungan sebab akibat yang nyata. Dalam hal ini
harus terdapat hubungan sebab-akibat antara penyimpangan kewajiban dengan
kerugian yang setidaknya merupakan “proximate cause”.

Selanjutnya, oleh karena teori kelalaian adalah dasar penuntutan yang tersering
digunakan, baik pada tuntutan pidana maupun pada gugatan perdata, maka upaya
meminimalisasi tuntutan di rumah sakit harus ditujukan kepada upaya menurunkan
kemungkinan terjadinya kelalaian medis, atau bahkan mengurangi kemungkinan
terjadinya preventable adverse events yang disebabkan oleh medical errors.

Penanganan Kasus Dugaan Malpraktik


Pada dasarnya penanganan kasus malpraktik dilakukan dengan mendasarkan
kepada konsep malpraktik medis dan adverse events yang diuraikan di atas.
Dalam makalah ini tidak akan diuraikan pelaksanaan pada kasus per-kasus,
namun lebih ke arah hasil pembelajaran (lesson learned) dari pengalaman
penanganan berbagai kasus dugaan malpraktik, baik dari sisi profesi maupun dari
sisi hukum.

Suatu tuntutan hukum perdata, dalam hal ini sengketa antara pihak dokter dan
rumah sakit berhadapan dengan pasien dan keluarga atau kuasanya, dapat
diselesaikan melalui dua cara, yaitu cara litigasi (melalui proses peradilan) dan
cara non litigasi (di luar proses peradilan).

Apabila dipilih penyelesaian melalui proses pengadilan, maka penggugat akan


mengajukan gugatannya ke pengadilan negeri di wilayah kejadian, dapat dengan
menggunakan kuasa hukum (pengacara) ataupun tidak. Dalam proses pengadilan
umumnya ingin dicapai suatu putusan tentang kebenaran suatu gugatan
berdasarkan bukti-bukti yang sah (right-based) dan kemudian putusan tentang
jumlah uang ganti rugi yang “layak” dibayar oleh tergugat kepada penggugat.
Dalam menentukan putusan benar-salahnya suatu perbuatan hakim akan
membandingkan perbuatan yang dilakukan dengan suatu norma tertentu, standar,
ataupun suatu kepatutan tertentu, sedangkan dalam memutus besarnya ganti rugi
hakim akan mempertimbangkan kedudukan sosial-ekonomi kedua pihak (pasal
1370-1371 KUH Perdata).

Apabila dipilih proses di luar pengadilan (alternative dispute resolution), maka


kedua pihak berupaya untuk mencari kesepakatan tentang penyelesaian sengketa
(mufakat). Permufakatan tersebut dapat dicapai dengan pembicaraan kedua belah
pihak secara langsung (konsiliasi atau negosiasi), ataupun melalui fasilitasi,
mediasi, dan arbitrasi, atau cara-cara kombinasi. Fasilitator dan mediator tidak
membuat putusan, sedangkan arbitrator dapat membuat putusan yang harus
dipatuhi kedua pihak. Dalam proses mufakat ini diupayakan mencari cara
penyelesaian yang cenderung berdasarkan pemahaman kepentingan kedua pihak
(interest-based, win-win solution), dan bukan right-based. Hakim pengadilan
perdata umumnya menawarkan perdamaian sebelum dimulainya persidangan,
bahkan akhir-akhir ini hakim memfasilitasi dilakukannya mediasi oleh mediator
tertentu.

Dalam hal tuntutan hukum tersebut diajukan melalui proses hukum pidana, maka
pasien cukup melaporkannya kepada penyidik dengan menunjukkan bukti-bukti
permulaan atau alasan-alasannya. Selanjutnya penyidiklah yang akan melakukan
penyidikan dengan melakukan tindakan-tindakan kepolisian, seperti pemeriksaan
para saksi dan tersangka, pemeriksaan dokumen (rekam medis di satu sisi dan
bylaws, standar dan petunjuk di sisi lainnya), serta pemeriksaan saksi ahli. Visum
et repertum mungkin saja dibutuhkan penyidik. Berkas hasil pemeriksaan penyidik
disampaikan kepada jaksa penuntut umum untuk dapat disusun tuntutannya.
Dalam hal penyidik tidak menemukan bukti yang cukup maka akan dipikirkan
untuk diterbitkannya SP3 atau penghentian penyidikan.

Selain itu, kasus medikolegal dan kasus potensial menjadi kasus medikolegal,
juga harus diselesaikan dari sisi profesi dengan tujuan untuk dijadikan pelajaran
guna mencegah terjadinya pengulangan di masa mendatang, baik oleh pelaku
yang sama ataupun oleh pelaku lain. Dalam proses tersebut dapat dilakukan
pemberian sanksi (profesi atau administratif) untuk tujuan penjeraan, dapat pula
tanpa pemberian sanksi – tetapi memberlakukan koreksi atas faktor-faktor yang
berkontribusi sebagai penyebab terjadinya “kasus” tersebut. Penyelesaian secara
profesi umumnya lebih bersifat audit klinis, dan dapat dilakukan di tingkat institusi
kesehatan setempat (misalnya berupa Rapat Komite Medis, konferensi kematian,
presentasi kasus, audit klinis terstruktur, proses lanjutan dalam incident report
system, dll), atau di tingkat yang lebih tinggi (misalnya dalam sidang Dewan Etik
Perhimpunan Spesialis, MKEK, Makersi, MDTK, dll). Bila putusan MKEK
menyatakan pihak medis telah melaksanakan profesi sesuai dengan standar dan
tidak melakukan pelanggaran etik, maka putusan tersebut dapat digunakan oleh
pihak medis sebagai bahan pembelaan.

Langkah-langkah Penanganan Kasus


Berbicara mengenai langkah-langkah tindakan kita dalam menghadapi
kemungkinan adanya tuntutan hukum, seharusnya dimulai dari langkah
pencegahan. Dalam upaya ini dimasukkan perspektif safety di setiap langkah
prosedur atau tindakan medis dengan juga melibatkan proses manajemen risiko.
Dengan perspektif safety berarti meyakini bahwa faktor-faktor yang berkontribusi
dalam keberlangsungan layanan medis, baik perangkat keras (hardware) dan
perangkat lunak (software), maupun sumber daya manusia (liveware atau
brainware) sudah berorientasi kepada keselamatan.

Dalam hal telah terjadi peristiwa yang potensial menjadi kasus tuntutan hukum,
maka profesional wajib menganalisis peristiwa tersebut untuk menemukan apakah
“kesalahan” yang telah terjadi dan kemudian melakukan koreksi, guna mencegah
terulangnya peristiwa serupa di kemudian hari. Untuk dapat melakukan hal itu, ia
harus membuat catatan tentang kronologi peristiwa dan menjelaskan alasan
masing-masing tindakannya, dan menandatanganinya (semacam pernyataan
affidavit). Hal ini bisa dicapai apabila ia memiliki dokumen (rekam medis) yang
cukup lengkap, termasuk informed consent dan catatan yang terkait. Apabila lebih
dari satu orang yang terlibat dalam kasus tersebut, maka mereka harus
membahasnya bersama untuk dapat saling melengkapi “jalannya ceritera” – tanpa
melakukan manipulasi fakta.

Apabila tingkat potensial menjadi kasus medikolegalnya cukup tinggi, maka kasus
tersebut dilaporkan ke atasan (ketua KSMF atau Komite Medik) untuk dibahas
bersama. Institusi kesehatan yang relatif kecil dan memiliki staf medis yang
terbatas mungkin sukar membahas kasus yang “spesialistik” dengan baik, maka
harus berupaya untuk mengundang pakar dari organisasi profesi atau
perhimpunan spesialis terkait. Dalam audit klinis tersebut dilakukan pembahasan
tentang keadaan pasien, situasi-kondisi yang merupakan “tekanan”, diagnosis
kerja dan diagnosis banding, indikasi medis dan kontra-indikasi, alternatif tindakan,
informed consent, komunikasi, prosedur tindakan dibandingkan dengan standar,
penyebab peristiwa yang menuju ke peristiwa medikolegal, penanganan peristiwa
tersebut saat itu, diagnosis akhir, dan kesimpulan apakah prosedur medis dan
alasannya telah dilakukan sesuai dengan standar profesi atau SOP yang cocok
dengan situasi-kondisi kasus.

Keseluruhan yang dilakukan di atas adalah juga merupakan langkah-langkah


persiapan menghadapi komplain pasien, atau bahkan menghadapi somasi dan
gugatan di kemudian hari. Di samping itu profesional terkait kasus tersebut harus
melihat kembali dokumen kompetensi (keahlian) dan kewenangan medis
(perijinan), serta kompetensi / kewenangan medis khusus (dokumen
pelatihan/workshop, pengakuan kompetensi, pengalaman, dll) yang berkaitan
dengan kasus.

Pertimbangan apakah kasus akan diselesaikan di pengadilan ataukah dengan


cara perdamaian perlu dibahas pada waktu tersebut. Kasus yang secara nyata
merupakan kesalahan pihak medis dan dinilai “undefensable” sebaiknya
diselesaikan dengan cara non litigasi. Sebaliknya, kasus yang secara nyata tidak
memiliki titik lemah di pihak medis dapat dipertimbangkan untuk diselesaikan
melalui sidang pengadilan. Kadang-kadang terdapat kasus “abu-abu” atau “kasus
ringan” yang penyelesaian cara non litigasi mungkin akan lebih “menguntungkan”
dari segi finansial daripada memilih cara penyelesaian litigasi.

Kepada pasien dan/atau keluarganya harus diberikan penjelasan yang


memuaskan tentang terjadinya peristiwa tersebut, penyebabnya atau
kemungkinan penyebabnya, tindakan yang telah dilakukan untuk mencegah atau
mengatasinya, tindakan yang masih diperlukan, dan peluang kesembuhannya di
masa mendatang. Apabila pasien meninggal dunia, maka penjelasan tentang
sebab kematian yang cukup rinci diperlukan. Keberhasilan penjelasan ini sangat
bergantung kepada kualitas penjelasan yang telah diberikan sewaktu memperoleh
informed consent. Keluhan atau komplain pasien dan/atau keluarganya harus
direspons dengan segera dan adekuat. Alangkah lebih baik apabila penjelasan
dilakukan oleh tim dokter terkait didampingi oleh salah seorang direktur dan wakil
dari Komite Medis.

Apabila di kemudian hari datang somasi, maka tim dokter segera berkonsultasi
dengan atasan dan penasehat hukum terkait. Tenaga medis dan staf lain yang
terlibat pada kasus tersebut haruslah berada dalam satu pihak yang solid dengan
rumah sakit agar tidak mudah digoyang oleh pihak penuntut. Suatu pertemuan dan
penjelasan yang adekuat seringkali dapat meredakan permasalahan. Tidak sedikit
yang berlanjut ke pembicaraan tentang “kompensasi” finansial di luar pengadilan.
Cara tersebut dirasakan cukup efektif untuk mencegah kasus ke pengadilan yang
membawa berbagai dampak. Proses di pengadilan dianggap dapat merusak citra
pofesional, mengganggu bisnis, berbiaya tinggi dan makan waktu lama. Namun,
sebagian kecil kasus mungkin masih akan maju ke pengadilan.

Tidak jarang, sebagaimana akhir-akhir ini sering terjadi, pasien dan kuasanya
mengungkapkan kasusnya kepada publik melalui media massa – dilihat dari sisi
mereka dengan persepsi mereka sendiri. Tulisan, tayangan atau pernyataan yang
sangat menyudutkan rumah sakit atau menyesatkan persepsi masyarakat
sebaiknya segera direspons oleh rumah sakit dengan memberikan informasi yang
adekuat tanpa harus membuka rahasia kedokteran.

Dalam kasus pidana dugaan kelalaian yang mengakibatkan cedera atau kematian,
penanganan awalnya boleh dianggap sama dengan di atas. Selanjutnya proses
pemeriksaan oleh penyidik diikuti dengan patuh, dengan memberikan
pembelajaran kepada penyidik di bidang medis dan medikolegal. Di wilayah
hukum Polda Metro Jaya disepakati untuk mengajukan satu atau dua orang saksi
ahli di bidang yang dibutuhkan, satu berasal dari organisasi profesi (MKEK) dan
satu dari kalangan akademisi (dosen Fakultas Kedokteran).

Guna menghadapi hal itu, organisasi profesi (PDSp) membentuk semacam


“dewan pakar” atau “dewan kehormatan pembina”, yang akan menilai kasus dari
sisi profesi dan kemudian akan menjadi saksi ahli – menyampaikan hasil
pembahasan peer-group tersebut kepada penyidik.

Kesimpulan
Layanan kedokteran adalah suatu sistem yang kompleks dan rentan akan
terjadinya kecelakaan, sehingga harus dilakukan dengan penuh hati-hati oleh
orang-orang yang kompeten dan memiliki kewenangan khusus untuk itu.

Upaya meminimalkan tuntutan hukum terhadap rumah sakit beserta stafnya pada
dasarnya merupakan upaya mencegah terjadinya preventable adverse events
yang disebabkan oleh medical errors, atau berarti seluruh upaya mengelola risiko
dengan berorientasikan kepada keselamatan pasien.

Kepustakaan Lanjutan
AHRQ’s Patient Safety Initiatives. http://www.ahrg.gov
Carroll R (ed). Risk Management Handbook for health care organizations. San
Fransisco: Jossey-Bass, 2001
Jones MA. Medical Negligence. London: Sweet & Maxwell, 1996.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Kohn LT, Corrigan JM, Donaldson MS (eds). To Err is Human, building a safer
health system. Washington: National Academy Press, 2000
Lens P and vander Wal G. Problem Doctors, a conspiracy of silence.
Amsterdam:Jos Press, 1997
Mann A. Medical Negligence Litigation, Medical Assessment of Claims. Redfern:
International Business Communications Pty Ltd, 1989.
McNair T. Medical Negligence. BBC Health, 28 January 2002.
Pozgar GD. Legal Aspects of Health Care Administration. 8th ed, Gaithersburg: An
Aspen Publ, 2002
Schutte JE. Preventing Medical Malpractice Suits. Seattle: Hogrefe & Huber Publ,
1995
Tan SY. The Medical Malpractice Epidemic in Singapore: Thoughts From Across
the Sea. Singapore: Medico-legal Annual Seminar, 27-28 October 2001.
Undang-Undang No 23 tahun 1992 tentang Kesehatan
Undang-Undang No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
Vincent C, Ennis M and Audley RJ. Medical Accident. Oxford: Oxford University
Press, 1993.
WMA. Statement on Medical Malpractice, adopted by the 4th World Medical
Assembly, Marbella, Spain, September 1992

_________________
Don't ask what Iluni-FK'83 can do for you.
Ask what you can do for Iluni-FK'83 !

Last edited by gitahafas on Sat Jun 26, 2010 8:55 pm; edited 1 time in total

gitahafas
Moderator Subject: Re: Hukum Kesehatan Sat Jun 26, 2010 11:37 am

link_forensik_ku.webs.com/hukumkesehatan.htm -

Budi Sampurna
Number of posts: Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal
5564 Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Age: 52 Jl. Salemba Raya No. 6 Jakarta Pusat
Location: Jakarta Telp: 3106976. Fax: 3154626
Registration date:
2008-09-30 Malpraktik medis
Akhir-akhir ini tuntutan hukum yang diajukan oleh pasien atau keluarganya kepada
pihak rumah sakit dan atau dokternya semakin meningkat kekerapannya. Tuntutan
hukum tersebut dapat berupa tuntutan pidana maupun perdata, dengan hampir
selalu mendasarkan kepada teori hukum kelalaian. Dalam bahasa sehari-hari,
perilaku yang dituntut adalah malpraktik medis, yang merupakan sebutan “genus”
(kumpulan) dari kelompok perilaku profesional medis yang “menyimpang” dan
mengakibatkan cedera, kematian atau kerugian bagi pasiennya.

Black’s Law Dictionary mendefinisikan malpraktik sebagai “professional


misconduct or unreasonable lack of skill” atau “failure of one rendering
professional services to exercise that degree of skill and learning commonly
applied under all the circumstances in the community by the average prudent
reputable member of the profession with the result of injury, loss or damage to the
recipient of those services or to those entitled to rely upon them”(bahasa
mudahnya: lalai).

Dari segi hukum, di dalam definisi di atas dapat ditarik pemahaman bahwa
malpraktik dapat terjadi karena tindakan yang disengaja (intentional) seperti pada
misconduct tertentu, tindakan kelalaian (negligence), ataupun suatu kekurang-
mahiran / ketidak-kompetenan yang tidak beralasan. Malpraktik dapat dilakukan
oleh profesi apa saja, tidak hanya oleh dokter. Profesional di bidang hukum,
perbankan dan akuntansi adalah beberapa profesional lain di luar kedokteran yang
dapat ditunjuk sebagai pelaku malpraktik dalam pekerjaannya masing-masing.

Professional misconduct yang merupakan kesengajaan dapat dilakukan dalam


bentuk pelanggaran ketentuan etik, ketentuan disiplin profesi, hukum administratif,
serta hukum pidana dan perdata, seperti melakukan kesengajaan yang merugikan
pasien, fraud, “penahanan” pasien, pelanggaran wajib simpan rahasia kedokteran,
aborsi ilegal, euthanasia, penyerangan seksual, misrepresentasi atau fraud,
keterangan palsu, menggunakan iptekdok yang belum teruji / diterima, berpraktek
tanpa SIP, berpraktek di luar kompetensinya, dll.

Kelalaian dapat terjadi dalam 3 bentuk, yaitu malfeasance, misfeasance dan


nonfeasance. Malfeasance berarti melakukan tindakan yang melanggar hukum
atau tidak tepat/layak (unlawful atau improper), misalnya melakukan tindakan
medis tanpa indikasi yang memadai (pilihan tindakan medis tersebut sudah
improper). Misfeasance berarti melakukan pilihan tindakan medis yang tepat tetapi
dilaksanakan dengan tidak tepat (improper performance), yaitu misalnya
melakukan tindakan medis dengan menyalahi prosedur. Nonfeasance adalah tidak
melakukan tindakan medis yang merupakan kewajiban baginya. Bentuk-bentuk
kelalaian di atas sejalan dengan bentuk-bentuk error (mistakes, slips and lapses)
yang akan diuraikan dibawah, namun pada kelalaian harus memenuhi ke-empat
unsur kelalaian dalam hukum – khususnya adanya kerugian, sedangkan error
tidak selalu mengakibatkan kerugian. Demikian pula adanya latent error yang tidak
secara langsung menimbulkan dampak buruk (lihat pula bagan 1).

Kelalaian medik adalah salah satu bentuk dari malpraktik medis, sekaligus
merupakan bentuk malpraktik medis yang paling sering terjadi. Pada dasarnya
kelalaian terjadi apabila seseorang dengan tidak sengaja, melakukan sesuatu
(komisi) yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan sesuatu (omisi)
yang seharusnya dilakukan oleh orang lain yang memiliki kualifikasi yang sama
pada suatu keadaan dan situasi yang sama. Perlu diingat bahwa pada umumnya
kelalaian yang dilakukan orang-per-orang bukanlah merupakan perbuatan yang
dapat dihukum, kecuali apabila dilakukan oleh orang yang seharusnya
(berdasarkan sifat profesinya) bertindak hati-hati, dan telah mengakibatkan
kerugian atau cedera bagi orang lain.

Pengertian istilah kelalaian medik tersirat dari pengertian malpraktik medis


menurut World Medical Association (1992), yaitu: “medical malpractice involves
the physician’s failure to conform to the standard of care for treatment of the
patient’s condition, or lack of skill, or negligence in providing care to the patient,
which is the direct cause of an injury to the patient.”

Tinjauan tentang adverse events


Layanan kedokteran adalah suatu sistem yang kompleks dengan sifat hubungan
antar komponen yang ketat (complex and tightly coupled)[1], khususnya di ruang
gawat darurat, ruang bedah dan ruang rawat intensif. Sistem yang kompleks
umumnya ditandai dengan spesialisasi dan interdependensi. Dalam suatu sistem
yang kompleks, satu komponen dapat berinteraksi dengan banyak komponen lain,
kadang dengan cara yang tak terduga atau tak terlihat. Semakin kompleks dan
ketat suatu sistem akan semakin mudah terjadi kecelakaan (prone to accident),
oleh karena itu praktik kedokteran haruslah dilakukan dengan tingkat kehati-hatian
yang tinggi.

Setiap tindakan medis mengandung risiko buruk, sehingga harus dilakukan


tindakan pencegahan ataupun tindakan mereduksi risiko. Namun demikian
sebagian besar diantaranya tetap dapat dilakukan oleh karena risiko tersebut
dapat diterima (acceptable) sesuai dengan “state-of-the-art” ilmu dan teknologi
kedokteran. Risiko yang dapat diterima adalah risiko-risiko sebagai berikut:

1. Risiko yang derajat probabilitas dan keparahannya cukup kecil, dapat


diantisipasi, diperhitungkan atau dapat dikendalikan, misalnya efek samping obat,
perdarahan dan infeksi pada pembedahan, dll.
2. Risiko yang derajat probabilitas dan keparahannya besar pada keadaan
tertentu, yaitu apabila tindakan medis yang berrisiko tersebut harus dilakukan
karena merupakan satu-satunya cara yang harus ditempuh (the only way),
terutama dalam keadaan gawat darurat.

Kedua jenis risiko di atas apabila terjadi bukan menjadi tanggung-jawab dokter
sepanjang telah diinformasikan kepada pasien dan telah disetujui (volenti non fit
injuria). Pada situasi seperti inilah manfaat pelaksanaan informed consent.

Suatu risiko / peristiwa buruk yang tidak dapat diduga atau diperhitungkan
sebelumnya (unforeseeable, unpredictable) yang terjadi saat dilakukan tindakan
medis yang sesuai standar tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada dokter
atau pemberi layanan medis (misalnya reaksi hipersensitivitas, emboli air
ketuban). World Medical Association berpendapat: “An injury occurring in the
course of medical treatment which could not be foreseen and was not the result of
the lack of skill or knowledge on the part of the treating physician is untoward
result, for which the physician should not bear any liability”.

Setiap cedera yang lebih disebabkan karena manajemen kedokteran daripada


akibat penyakitnya disebut sebagai adverse events. Sebagian dari adverse event
ternyata disebabkan oleh error sehingga dianggap sebagai preventable adverse
events. Error sendiri diartikan sebagai kegagalan melaksanakan suatu rencana
tindakan (error of execution; lapses dan slips) atau penggunaan rencana tindakan
yang salah dalam mencapai tujuan tertentu (error of planning; mistakes). Di dalam
kedokteran, semua error dianggap serius karena dapat membahayakan pasien.

Suatu hasil yang tidak diharapkan di bidang medik sebenarnya dapat diakibatkan
oleh beberapa kemungkinan, yaitu (lihat bagan 1):

a. Hasil dari suatu perjalanan penyakitnya sendiri, tidak berhubungan dengan


tindakan medis yang dilakukan dokter.
b. Hasil dari suatu risiko yang tak dapat dihindari, yaitu risiko yang tak dapat
diketahui sebelumnya (unforeseeable); atau risiko yang meskipun telah diketahui
sebelumnya tetapi dianggap acceptable, sebagaimana telah diuraikan di atas.
c. Hasil dari suatu kelalaian medik.
d. Hasil dari suatu kesengajaan.

Guna menilai bagaimana kontribusi manusia dalam suatu error dan dampaknya,
perlu dipahami perbedaan antara active errors dan latent errors. Active errors
terjadi pada tingkat operator garis depan dan dampaknya segera dirasakan,
sedangkan latent errors cenderung berada di luar kendali operator garis depan,
seperti desain buruk, instalasi yang tidak tepat, pemeliharaan yang buruk,
kesalahan keputusan manajemen, dan struktur organisasi yang buruk (lihat bagan
2).

Latent error merupakan ancaman besar bagi keselamatan (safety) dalam suatu
sistem yang kompleks, oleh karena sering tidak terdeteksi dan dapat
mengakibatkan berbagai jenis active errors. Sebagai contoh adalah sistem
pendidikan dokter spesialis yang mahal, pembolehan dokter bekerja pada
“banyak” rumah sakit, tidak adanya sistem yang menjaga akuntabilitas profesi
(lihat pula bagan di bawah) adalah latent errors yang tidak terasa sebagai error,
namun sebenarnya merupakan akar dari kesalahan manajemen yang telah
banyak menimbulkan unsafe conditions dalam praktek kedokteran di lapangan.
Bila satu saat unsafe conditions ini bertemu dengan suatu unsafe act (active error),
maka terjadilah accident. Dalam hal ini perlu kita pahami bahwa penyebab suatu
accident bukanlah single factor melainkan multiple factors.

Umumnya kita merespons suatu error dengan berfokus pada active error-nya
dengan memberikan hukuman kepada individu pelakunya, retraining dan lain-lain
yang bertujuan untuk mencegah berulangnya active errors. Meskipun hukuman
seringkali bermanfaat pada kasus tertentu (pada mistakes yang timbul karena
kesengajaan), namun sebenarnya tidak cukup efektif. Memfokuskan perhatian
kepada active errors akan membiarkan latent errors tetap ada di dalam sistem,
atau bahkan mungkin akan terakumulasi, sehingga sistem tersebut semakin
mungkin mengalami kegagalan di kemudian hari.

Pendapat yang mengatakan bahwa kecelakaan dapat dicegah dengan desain


organisasi dan manajemen yang baik akhir-akhir ini sangat dipercaya
kebenarannya. Konsep safety (dalam hal ini patient safety), yang pada mulanya
diberlakukan di dalam dunia penerbangan, akhir-akhir ini diterapkan oleh Institute
of Medicine di Amerika (dan institusi serupa di negara-negara lain). Keselamatan
pasien diartikan sebagai penghindaran, pencegahan dan perbaikan terjadinya
adverse events atau freedom from accidental injury. Keselamatan tidak terdapat
pada diri individu, peralatan ataupun bagian (departemen, unit), melainkan muncul
dari interaksi komponen-komponen dalam sistem. Berasal dari pemahaman ini
muncullah konsep human factors yang mempelajari hubungan antar manusia,
peralatan yang mereka gunakan dan lingkungan dimana mereka hidup dan
bekerja.

Implikasi hukum
Tuntutan pidana yang ditujukan kepada dokter dan atau rumah sakit dapat
merupakan akibat tindak pidana yang diatur dalam KUHP maupun di dalam
ketentuan pidana UU lainnya. Kata atau istilah malpraktik tidak dijumpai di dalam
ketentuan pidana Undang-Undang manpun di Indonesia, namun unsur-unsur
perbuatan yang tergolong ke dalam tindak malpraktik medis dapat saja memenuhi
unsur-unsur pidana yang diatur di dalam ketentuan pidana undang-undang yang
berlaku.

Jenis pidana yang paling sering dituntutkan kepada dokter adalah pidana kelalaian
yang mengakibatkan luka (pasal 360 KUHP), atau luka berat atau mati (pasal 359
KUHP), yang dikualifikasikan dengan pemberatan ancaman pidananya bila
dilakukan dalam rangka melakukan pekerjaannya (pasal 361 KUHP). Sedangkan
pidana lain yang bukan kelalaian yang mungkin dituntutkan adalah pembuatan
keterangan palsu (pasal 267-268 KUHP), aborsi ilegal (pasal 349 KUHP jo pasal
347 dan 348 KUHP), penipuan dan misrepresentasi (pasal 382 bis), pidana
perpajakan (pasal 209 atau 372 KUHP), pencemaran lingkungan hidup (pasal 42
dan 43 UU Pengelolaan Lingkungan Hidup), euthanasia (pasal 344 KUHP),
penyerangan seksual (pasal 284-294 KUHP), dan lain-lain.

Gugatan perdata dalam bentuk permintaan ganti rugi dapat diajukan dengan
mendasarkan kepada salah satu dari 3 teori di bawah ini, yaitu :
1. Kelalaian sebagaimana pengertian di atas dan akan diuraikan kemudian
2. Perbuatan melanggar hukum, yaitu misalnya melakukan tindakan medis tanpa
memperoleh persetujuan, membuka rahasia kedokteran tentang orang tertentu,
penyerangan privacy seseorang, dan lain-lain.
3. Wanprestasi, yaitu pelanggaran atas janji atau jaminan. Gugatan ini sukar
dilakukan karena umumnya dokter tidak menjanjikan hasil dan perjanjian tersebut,
seandainya ada, umumnya sukar dibuktikan karena tidak tertulis.

Suatu perbuatan atau sikap tenaga medis dianggap lalai apabila memenuhi empat
unsur di bawah ini, yaitu :
1. Duty atau kewajiban tenaga medis untuk melakukan sesuatu tindakan atau
untuk tidak melakukan sesuatu tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada
situasi dan kondisi yang tertentu.
2. Dereliction of the duty atau penyimpangan kewajiban tersebut.
3. 3. Damage atau kerugian, yaitu segala sesuatu yang dirasakan oleh pasien
sebagai kerugian akibat dari layanan kesehatan / kedokteran yang diberikan oleh
pemberi layanan.
4. 4. Direct causal relationship atau hubungan sebab akibat yang nyata. Dalam hal
ini harus terdapat hubungan sebab-akibat antara penyimpangan kewajiban
dengan kerugian yang setidaknya merupakan “proximate cause”.

Selanjutnya, oleh karena teori kelalaian adalah dasar penuntutan yang tersering
digunakan, baik pada tuntutan pidana maupun pada gugatan perdata, maka upaya
meminimalisasi tuntutan di rumah sakit harus ditujukan kepada upaya menurunkan
kemungkinan terjadinya kelalaian medis, atau bahkan mengurangi kemungkinan
terjadinya preventable adverse events yang disebabkan oleh medical errors.

[1] Kohn LT, Corrigan JM and Donaldson MS. To err is human, building a safer
health system. Washington DC: National Academy Press, 2000, p58-60

Penanganan Kasus Dugaan Malpraktik


Pada dasarnya penanganan kasus malpraktik dilakukan dengan mendasarkan
kepada konsep malpraktik medis dan adverse events yang diuraikan di atas.
Dalam makalah ini tidak akan diuraikan pelaksanaan pada kasus per-kasus,
namun lebih ke arah hasil pembelajaran (lesson learned) dari pengalaman
penanganan berbagai kasus dugaan malpraktik, baik dari sisi profesi maupun dari
sisi hukum.

Suatu tuntutan hukum perdata, dalam hal ini sengketa antara pihak dokter dan
rumah sakit berhadapan dengan pasien dan keluarga atau kuasanya, dapat
diselesaikan melalui dua cara, yaitu cara litigasi (melalui proses peradilan) dan
cara non litigasi (di luar proses peradilan).

Apabila dipilih penyelesaian melalui proses pengadilan, maka penggugat akan


mengajukan gugatannya ke pengadilan negeri di wilayah kejadian, dapat dengan
menggunakan kuasa hukum (pengacara) ataupun tidak. Dalam proses pengadilan
umumnya ingin dicapai suatu putusan tentang kebenaran suatu gugatan
berdasarkan bukti-bukti yang sah (right-based) dan kemudian putusan tentang
jumlah uang ganti rugi yang “layak” dibayar oleh tergugat kepada penggugat.
Dalam menentukan putusan benar-salahnya suatu perbuatan hakim akan
membandingkan perbuatan yang dilakukan dengan suatu norma tertentu, standar,
ataupun suatu kepatutan tertentu, sedangkan dalam memutus besarnya ganti rugi
hakim akan mempertimbangkan kedudukan sosial-ekonomi kedua pihak (pasal
1370-1371 KUH Perdata).

Apabila dipilih proses di luar pengadilan (alternative dispute resolution), maka


kedua pihak berupaya untuk mencari kesepakatan tentang penyelesaian sengketa
(mufakat). Permufakatan tersebut dapat dicapai dengan pembicaraan kedua belah
pihak secara langsung (konsiliasi atau negosiasi), ataupun melalui fasilitasi,
mediasi, dan arbitrasi, atau cara-cara kombinasi. Fasilitator dan mediator tidak
membuat putusan, sedangkan arbitrator dapat membuat putusan yang harus
dipatuhi kedua pihak. Dalam proses mufakat ini diupayakan mencari cara
penyelesaian yang cenderung berdasarkan pemahaman kepentingan kedua pihak
(interest-based, win-win solution), dan bukan right-based. Hakim pengadilan
perdata umumnya menawarkan perdamaian sebelum dimulainya persidangan,
bahkan akhir-akhir ini hakim memfasilitasi dilakukannya mediasi oleh mediator
tertentu.

Dalam hal tuntutan hukum tersebut diajukan melalui proses hukum pidana, maka
pasien cukup melaporkannya kepada penyidik dengan menunjukkan bukti-bukti
permulaan atau alasan-alasannya. Selanjutnya penyidiklah yang akan melakukan
penyidikan dengan melakukan tindakan-tindakan kepolisian, seperti pemeriksaan
para saksi dan tersangka, pemeriksaan dokumen (rekam medis di satu sisi dan
bylaws, standar dan petunjuk di sisi lainnya), serta pemeriksaan saksi ahli. Visum
et repertum mungkin saja dibutuhkan penyidik. Berkas hasil pemeriksaan penyidik
disampaikan kepada jaksa penuntut umum untuk dapat disusun tuntutannya.
Dalam hal penyidik tidak menemukan bukti yang cukup maka akan dipikirkan
untuk diterbitkannya SP3 atau penghentian penyidikan.

Selain itu, kasus medikolegal dan kasus potensial menjadi kasus medikolegal,
juga harus diselesaikan dari sisi profesi dengan tujuan untuk dijadikan pelajaran
guna mencegah terjadinya pengulangan di masa mendatang, baik oleh pelaku
yang sama ataupun oleh pelaku lain. Dalam proses tersebut dapat dilakukan
pemberian sanksi (profesi atau administratif) untuk tujuan penjeraan, dapat pula
tanpa pemberian sanksi – tetapi memberlakukan koreksi atas faktor-faktor yang
berkontribusi sebagai penyebab terjadinya “kasus” tersebut. Penyelesaian secara
profesi umumnya lebih bersifat audit klinis, dan dapat dilakukan di tingkat institusi
kesehatan setempat (misalnya berupa Rapat Komite Medis, konferensi kematian,
presentasi kasus, audit klinis terstruktur, proses lanjutan dalam incident report
system, dll), atau di tingkat yang lebih tinggi (misalnya dalam sidang Dewan Etik
Perhimpunan Spesialis, MKEK, Makersi, MDTK, MKDKI, dll). Bila putusan MKEK
menyatakan pihak medis telah melaksanakan profesi sesuai dengan standar dan
tidak melakukan pelanggaran etik, maka putusan tersebut dapat digunakan oleh
pihak medis sebagai bahan pembelaan.

Langkah-langkah Penanganan Kasus


Berbicara mengenai langkah-langkah tindakan kita dalam menghadapi
kemungkinan adanya tuntutan hukum, seharusnya dimulai dari langkah
pencegahan. Dalam upaya ini dimasukkan perspektif safety di setiap langkah
prosedur atau tindakan medis dengan juga melibatkan proses manajemen risiko.
Dengan perspektif safety berarti meyakini bahwa faktor-faktor yang berkontribusi
dalam keberlangsungan layanan medis, baik perangkat keras (hardware) dan
perangkat lunak (software), maupun sumber daya manusia (liveware atau
brainware) sudah berorientasi kepada keselamatan.

Dalam hal telah terjadi peristiwa yang potensial menjadi kasus tuntutan hukum,
maka profesional wajib menganalisis peristiwa tersebut untuk menemukan apakah
“kesalahan” yang telah terjadi dan kemudian melakukan koreksi, guna mencegah
terulangnya peristiwa serupa di kemudian hari. Untuk dapat melakukan hal itu, ia
harus membuat catatan tentang kronologi peristiwa dan menjelaskan alasan
masing-masing tindakannya, dan menandatanganinya (semacam pernyataan
affidavit). Hal ini bisa dicapai apabila ia memiliki dokumen (rekam medis) yang
cukup lengkap, termasuk informed consent dan catatan yang terkait. Apabila lebih
dari satu orang yang terlibat dalam kasus tersebut, maka mereka harus
membahasnya bersama untuk dapat saling melengkapi “jalannya ceritera” – tanpa
melakukan manipulasi fakta. Seringkali ada baiknya menghadirkan ahli lain di
bidang yang terkait sebagai penilai atas sikap dan tindakan yang dilakukan. Pada
tahap ini sebab terjadinya “kesalahan” harus dicari untuk dapat ditemukan pula
bagaimana mencegah terulangnya kejadian serupa dimasa mendatang, umumnya
dengan melakukan revisi software, memperbaiki atau mengadakan hardware, atau
melakukan training bagi liveware.

Apabila tingkat potensial menjadi kasus medikolegalnya cukup tinggi, maka kasus
tersebut dilaporkan ke atasan (ketua KSMF atau Komite Medik) untuk dibahas
bersama. Institusi kesehatan yang relatif kecil dan memiliki staf medis yang
terbatas mungkin sukar membahas kasus yang “spesialistik” dengan baik, maka
harus berupaya untuk mengundang pakar dari organisasi profesi atau
perhimpunan spesialis terkait. Dalam audit klinis tersebut dilakukan pembahasan
tentang keadaan pasien, situasi-kondisi yang merupakan “tekanan”, diagnosis
kerja dan diagnosis banding, indikasi medis dan kontra-indikasi, alternatif tindakan,
informed consent, komunikasi, prosedur tindakan dibandingkan dengan standar,
penyebab peristiwa yang menuju ke peristiwa medikolegal, penanganan peristiwa
tersebut saat itu, diagnosis akhir, dan kesimpulan apakah prosedur medis dan
alasannya telah dilakukan sesuai dengan standar profesi atau SOP yang cocok
dengan situasi-kondisi kasus.

Keseluruhan yang dilakukan di atas adalah juga merupakan langkah-langkah


persiapan menghadapi komplain pasien, atau bahkan menghadapi somasi dan
gugatan di kemudian hari. Di samping itu profesional terkait kasus tersebut harus
melihat kembali dokumen kompetensi (keahlian) dan kewenangan medis
(perijinan), serta kompetensi / kewenangan medis khusus (dokumen
pelatihan/workshop, pengakuan kompetensi, pengalaman, dll) yang berkaitan
dengan kasus.

Pertimbangan apakah kasus akan diselesaikan di pengadilan ataukah dengan


cara perdamaian perlu dibahas pada waktu tersebut. Kasus yang secara nyata
merupakan kesalahan pihak medis dan dinilai “undefensable” sebaiknya
diselesaikan dengan cara non litigasi. Sebaliknya, kasus yang secara nyata tidak
memiliki titik lemah di pihak medis dapat dipertimbangkan untuk diselesaikan
melalui sidang pengadilan. Seringkali terdapat kasus “abu-abu” atau “kasus
ringan” yang penyelesaian cara non litigasi mungkin akan lebih “menguntungkan”
dari segi finansial ataupun dampak psikologis daripada memilih cara penyelesaian
litigasi. Demikian pula terdapat kasus “abu-abu” lain yang meskipun tidak putih
benar tetapi memerlukan penyelesaian litigasi demi kehormatan profesi.

Kepada pasien dan/atau keluarganya harus diberikan penjelasan yang


memuaskan tentang terjadinya peristiwa tersebut, penyebabnya atau
kemungkinan penyebabnya, tindakan yang telah dilakukan untuk mencegah atau
mengatasinya, tindakan yang masih diperlukan, dan peluang kesembuhannya di
masa mendatang. Apabila pasien meninggal dunia, maka penjelasan tentang
sebab kematian yang cukup rinci diperlukan. Keberhasilan penjelasan ini sangat
bergantung kepada kualitas penjelasan yang telah diberikan sewaktu memperoleh
informed consent. Keluhan atau komplain pasien dan/atau keluarganya harus
direspons dengan segera dan adekuat. Alangkah lebih baik apabila penjelasan
dilakukan oleh tim dokter terkait didampingi oleh salah seorang direktur dan wakil
dari Komite Medis.

Apabila di kemudian hari datang somasi, maka tim dokter segera berkonsultasi
dengan atasan dan penasehat hukum. Tenaga medis dan staf lain yang terlibat
pada kasus tersebut haruslah berada dalam satu pihak yang solid dengan rumah
sakit agar tidak mudah digoyang oleh pihak penuntut. Suatu pertemuan dan
penjelasan yang adekuat seringkali dapat meredakan permasalahan. Tidak sedikit
yang berlanjut ke pembicaraan tentang “kompensasi” finansial di luar pengadilan.
Cara tersebut dirasakan cukup efektif untuk mencegah kasus ke pengadilan yang
membawa berbagai dampak. Proses di pengadilan dianggap dapat merusak citra
pofesional, mengganggu bisnis, berbiaya tinggi dan makan waktu lama. Namun,
sebagian kecil kasus mungkin masih akan maju ke pengadilan.

Tidak jarang, sebagaimana akhir-akhir ini sering terjadi, pasien dan kuasanya
mengungkapkan kasusnya kepada publik melalui media massa – dilihat dari sisi
mereka dengan persepsi mereka sendiri. Tulisan, tayangan atau pernyataan yang
sangat menyudutkan rumah sakit atau menyesatkan persepsi masyarakat
sebaiknya segera direspons oleh rumah sakit dengan memberikan informasi yang
adekuat tanpa harus membuka rahasia kedokteran. Media massa wajib memuat
“hak jawab” kita dan dapat digugat hingga 500 juta rupiah apabila tidak memuat
hak jawab dengan tata cara yang layak.

Dalam kasus pidana dugaan kelalaian yang mengakibatkan cedera atau kematian,
penanganan awalnya boleh dianggap sama dengan di atas. Selanjutnya proses
pemeriksaan oleh penyidik diikuti dengan patuh, dengan memberikan
pembelajaran di bidang medis dan medikolegal dan kerjasama yang baik dengan
penyidik. Salinan rekam medis yang telah disahkan dapat diberikan kepada
penyidik guna membuat jelas perkara tersebut. Di wilayah hukum Polda Metro
Jaya disepakati untuk diajukan satu atau dua orang saksi ahli di bidang yang
dibutuhkan, satu berasal dari organisasi profesi (MKEK) dan satu dari kalangan
akademisi (dosen Fakultas Kedokteran). Hasil penyidikan dapat saja berupa
keputusan penghentian penyidikan atau dapat juga berupa pemberkasan dan
pelimpahan ke jaksa penuntut umum.

Guna menghadapi hal itu, organisasi profesi (PDSp) membentuk semacam


“dewan pakar” atau “dewan kehormatan pembina”, yang akan menilai kasus dari
sisi profesi dan kemudian akan menjadi saksi ahli – menyampaikan hasil
pembahasan peer-group tersebut kepada penyidik.

Kesimpulan

Penanganan kasus dugaan malpraktik medis haruslah dimulai dengan


pembahasan internal guna menilai kasus dari sisi profesi, sekaligus
mempertimbangkan cara penyelesaian sengketanya dengan pihak pasien.

Sengketa antara pihak medis dengan pihak pasien tidaklah harus diselesaikan
melalui sidang pengadilan. Cara non litigasi perlu dipertimbangkan apabila
diperkirakan akan lebih menguntungkan daripada apabila ditempuh cara litigasi,
baik dari sisi finansial maupun dari sisi nama baik dan bisnis rumah sakit di
kemudian hari.

Kepustakaan Lanjutan

AHRQ’s Patient Safety Initiatives. http://www.ahrg.gov

Carroll R (ed). Risk Management Handbook for health care organizations. San
Fransisco: Jossey-Bass, 2001

Elliot C and Quinn F. Tort Law. Second edition. Essex: Pearson Education Limited,
1999.

Harpwood V. Modern Tort Law. 5th ed. London: Cavendish Publ Ltd, 2003.

Hart HLA and Honore AM. Causation in the law. London: Oxford University Press,
1959.

Jackson JP (ed). A Practical Guide to Medicine and the Law. London: Springer-
Verlag, 1991

Jones MA. Medical Negligence. London: Sweet & Maxwell, 1996.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Kohn LT, Corrigan JM, Donaldson MS (eds). To Err is Human, building a safer
health system. Washington: National Academy Press, 2000

Lens P and vander Wal G. Problem Doctors, a conspiracy of silence.


Amsterdam:Jos Press, 1997

Mann A. Medical Negligence Litigation, Medical Assessment of Claims. Redfern:


International Business Communications Pty Ltd, 1989.

McNair T. Medical Negligence. BBC Health, 28 January 2002.

Pozgar GD. Legal Aspects of Health Care Administration. 8th ed, Gaithersburg: An
Aspen Publication, 2002

Schutte JE. Preventing Medical Malpractice Suits. Seattle: Hogrefe & Huber Publ,
1995

Tan SY. The Medical Malpractice Epidemic in Singapore: Thoughts From Across
the Sea. Singapore: Medico-legal Annual Seminar, 27-28 October 2001.

Undang-Undang No 23 tahun 1992 tentang Kesehatan

Undang-Undang No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.

WMA. Statement on Medical Malpractice, adopted by the 4th World Medical


Assembly, Marbella, Spain, September 1992
_________________
Don't ask what Iluni-FK'83 can do for you.
Ask what you can do for Iluni-FK'83 !

Last edited by gitahafas on Sat Jun 26, 2010 8:56 pm; edited 1 time in total

gitahafas
Moderator Subject: Re: Hukum Kesehatan Sat Jun 26, 2010 11:47 am

link_forensik_ku.webs.com/hukumkesehatan.htm -

Budi Sampurna
Number of posts: Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal
5564 Faultas Kedokteran Universitas Indonesia
Age: 52 Jl. Salemba Raya No 6 Jakarta Pusat
Location: Jakarta Telp: 3106976. Fax: 3154626
Registration date:
2008-09-30 Tanggung-jawab profesi dan tanggung-jawab rumah sakit
Dokter yang bekerja di suatu rumahsakit dapat memiliki hubungan administratif
yang bervariasi dengan rumahsakit tersebut. Di rumahsakit, seorang dokter dapat
berstatus sebagai (a) pegawai negeri yang dipekerjakan atau ditempatkan di
rumahsakit pemerintah, atau berstatus (b) pegawai swasta dari perusahaan
pemilik rumahsakit swasta tersebut, atau sebagai (c) pegawai tetap rumahsakit,
atau sebagai (d) tenaga kerja (purnawaktu) berdasar kontrak untuk waktu tertentu,
atau sebagai (e) tenaga kerja berdasar kontrak untuk melakukan pelayanan
kedokteran tertentu secara paruh waktu, atau sebagai (f) dokter tamu. Jenis
hubungan tersebut sangat mempengaruhi hak dan kewajiban diantara kedua pihak
dan tanggung-jawabnya kepada pihak ketiga.

Bentuk hubungan (a), (b) dan (c) umumnya dianggap serupa, dengan
menyebutnya sebagai dokter tetap atau pegawai tetap. Status pegawai negeri
sebenarnya tidak sama benar dengan pegawai tetap yang lain karena pegawai
negeri diatur dengan hukum publik (UU Kepegawaian) sedangkan pegawai tetap
lain diatur dengan hukum sipil / perdata (hukum perburuhan / ketenagakerjaan).

Bentuk hubungan (d) memiliki hubungan kerja yang tegas sebagai pegawai purna
waktu untuk waktu tertentu dan dilindungi oleh hukum perjanjian dan hukum
perburuhan. Hak dan kewajiban kedua pihak ditentukan oleh kedua pihak dalam
perjanjian, namun tetap dilindungi oleh rambu-rambu yang dibuat oleh
Permenaker No: Per-02/Men/1993.

Hubungan kerja berdasarkan kontrak paruh waktu tidak diatur oleh hukum
perburuhan, melainkan oleh hukum perjanjian (perdata). Oleh karena itu hak dan
kewajibannya bebas ditentukan oleh kedua pihak sepanjang tidak melanggar
hukum, ketertiban umum dan kesusilaan (ps 1337 KUH Per). Hingga saat ini
banyak dokter yang bekerja di rumahsakit tanpa didasari oleh suatu perjanjian
(kontrak), meskipun ketentuan tentang rumah sakit mengharuskan dibuatnya
kontrak antara rumahsakit dengan dokter. Kontrak diperlukan untuk menghindari
terjadinya perlakuan sewenang-wenang oleh pihak yang sedang berada “di atas
angin”.

Seluruh dokter tersebut di atas mempunyai hubungan kerja dengan rumahsakit,


sehingga dengan sendirinya dalam melakukan pekerjaannya di rumahsakit
berkewajiban mengikuti standar prosedur dan hospital bylaws. Ikatan kerja dengan
rumah sakit tidak mengakibatkan hilangnya kebebasan profesi para dokter, dalam
arti bahwa sebenarnya para dokter jua-lah yang membentuk standar prosedur
yang diberlakukan di rumahsakit dan mereka juga tetap berwenang
mengembangkan professional judgment mereka dalam menangani kasus-kasus
tertentu.

Berbeda dengan status dokter-dokter yang diuraikan di atas, dokter tamu (f) tidak
memiliki hubungan kerja dengan rumahsakit; melainkan hanya hubungan
perjanjian peminjaman fasilitas rumahsakit untuk dapat dipergunakan oleh dokter
tamu dalam rangka merawat pasiennya di rumahsakit tersebut. Oleh karena itu
dokter tamu dianggap sebagai dokter yang independen.

Dalam hal tanggung-jawab hukum perdata, rumahsakit sebagai badan hukum


bertanggung-jawab sebagai satu entity (korporasi) dan juga bertanggung-jawab
atas tindakan orang-orang yang bekerja di dalamnya (respondeat superior)
sebagaimana diatur dalam ps 1365 - 1367 KUH Perdata. Tanggung-jawab ini tidak
hanya untuk medical / professional liability, melainkan juga untuk public liability-
nya.

Di Amerika Serikat, rumah sakit bertanggung-jawab perdata secara penuh bagi


para dokter yang bekerja sebagai employee. Bagi dokter yang bekerja sebagai
independent-contractor, rumah sakit berbagi tanggung-jawab dengan dokter
tersebut, sesuai dengan perjanjian diantara keduanya.

Dahulu berlaku pendapat bahwa rumahsakit tidak bertanggung-jawab atas


perbuatan dokter paruh waktu, namun berdasarkan teori apparent or ostensible
agency (pasien menganggap semua orang yang bekerja di rumahsakit adalah
“agen” dari rumahsakit), teori reliance (pasien mengacu lebih ke arah rumahsakit
sebagai pemberi pelayanan ketimbang dokternya), dan teori non delegable duty
(bahwa kewajiban menyelenggarakan berbagai pelayanan kedokteran adalah
kewajiban rumahsakit yang tak dapat didelegasikan), maka rumahsakit juga
bertanggung-jawab atas perbuatan dokter paruh waktu (vicarious liability).

Rumahsakit tidak bertanggung-jawab atas perbuatan dokter tamu oleh karena


dokter tamu adalah profesional yang independen. Pasien yang ditangani juga
bukan pasien rumahsakit – melainkan pasien dokter tamu tersebut. Perbuatan
para karyawan rumahsakit yang bekerja untuk dokter tamu tersebut ditanggung
oleh dokter tamu berdasarkan doktrin “borrowed servants”.

Selain bertanggungjawab sebagai akibat dari respondeat superior atau vicarious


liability di atas, rumah sakit juga bertanggungjawab sendiri atas kerugian yang
diakibatkan oleh kebijakan, peraturan dan fasilitas rumah sakit. Tanggungjawab ini
tidak hanya terbatas kepada tanggungjawab di bidang medikolegal, melainkan
juga di bidang public liability.

Pencegahan Errors
Agency for Healthcare Research and Quality (AHRQ), dalam rangka
memaksimalkan patient safety, menyatakan bahwa terdapat beberapa elemen
yang harus dilakukan oleh rumah sakit untuk mencegah medical errors, yaitu: [1]

1. Mengubah budaya organisasi ke arah budaya yang berorientasi kepada


keselamatan pasien. Perubahan ini terutama ditujukan kepada seluruh sistem
sumber daya manusia dari sejak perekrutan (kredensial), supervisi dan disiplin.
Rasa malu dalam melaporkan suatu kesalahan dan kebiasaan menghukum
“pelakunya” harus dikikis habis agar staf rumah sakit dengan sukarela melaporkan
kesalahan kepada manajemen dan atau komite medis, sehingga pada akhirnya
dapat diambil langkah-langkah pencegahan kejadian serupa di kemudian hari.

2. Melibatkan pimpinan kunci di dalam program keselamatan pasien, dalam hal ini
manajemen dan komite medik. Komitmen pimpinan dibutuhkan dalam
menjalankan program-program manajemen risiko, termasuk ronde rutin bersama
ke unit-unit klinik.

3. Mendidik para profesional di rumah sakit di bidang pemahamannya tentang


keselamatan pasien dan bagaimana mengidentifikasi errors, serta upaya-upaya
meningkatkan keselamatan pasien.
4. Mendirikan Komisi Keselamatan Pasien di rumah sakit yang beranggotakan staf
interdisiplin dan bertugas mengevaluasi laporan-laporan yang masuk,
mengidentifikasi petunjuk adanya kesalahan, mengidentifikasi dan
mengembangkan langkah koreksinya.

5. Mengembangkan dan mengadopsi Protokol dan Prosedur yang aman.

6. Memantau dengan hati-hati penggunaan alat-alat medis agar tidak


menimbulkan kesalahan baru.

Elemen-elemen di atas diterapkan bersama-sama dengan menerapkan


manajemen risiko yang bertujuan mengurangi atau menyingkirkan risiko.

Pemahaman manajemen risiko sangat bergantung kepada sudut pandangnya.


Dari segi bisnis dan industri asuransi, manajemen risiko cenderung untuk diartikan
sepihak, yaitu untuk tujuan meningkatkan keuntungan bisnis dan pemegang
sahamnya. Dalam bidang kesehatan dan keselamatan lebih diartikan sebagai
pengendalian risiko salah satu pihak (pasien atau masyarakat) oleh pihak yang
lain (pemberi layanan). Sementara di dalam suatu komunitas pemberi layanan
kesehatan itu sendiri, yaitu pengelola rumah sakit dan para dokternya, harus
diartikan sebagai suatu upaya kerjasama berbagai pihak untuk mengendalikan
risiko bersama.[2]

The Joint Commission on Accreditation of Healthcare Organizations (JCAHO)


memberikan pengertian manajemen risiko sebagai aktivitas klinik dan administratif
yang dilakukan oleh rumah sakit (HO) untuk melakukan identifikasi, evaluasi dan
pengurangan risiko terjadinya cedera atau kerugian pada pasien, personil,
pengunjung dan rumah sakit itu sendiri.[3] Kegiatan tersebut meliputi identifikasi
risiko hukum (legal risk), memprioritaskan risiko yang teridentifikasi, menentukan
respons rumah sakit terhadap risiko, mengelola suatu kasus risiko dengan tujuan
meminimalkan kerugian (risk control), membangun upaya pencegahan risiko yang
efektif, dan mengelola pembiayaan risiko yang adekuat (risk financing).

Manajemen risiko yang komprehensif meliputi seluruh aktivitas rumah sakit, baik
operasional maupun klinikal, oleh karena risiko dapat muncul dari kedua bidang
tersebut. Bahkan akhir-akhir ini meliputi pula risiko yang berkaitan dengan
managed care dan risiko kapitasi, merger dan akuisisi, risiko kompensasi
ketenagakerjaan, corporate compliance dan etik organisasi. [4]

Manajemen risiko klinik merupakan upaya yang cenderung proaktif, meskipun


sebagian besarnya merupakan hasil “belajar” dari pengalaman dan
menerapkannya kembali untuk mengurangi atau mencegah masalah yang serupa
di kemudian hari. Pada dasarnya manajemen risiko merupakan suatu proses siklik
yang terus menerus, yang terdiri dari empat tahap, yaitu: 1 2 [5]

1. Risk Awareness. Pada tahap ini diharapkan seluruh pihak yang terlibat dalam
sistem bedah sentral memahami situasi yang berisiko tinggi di bidangnya masing-
masing dan aktivitas yang harus dilakukan dalam upaya mengidentifikasi risiko.
Risiko tersebut tidak hanya yang bersifat medis, melainkan juga yang non medis,
sehingga upaya ini melibatkan manajemen, komite medis, dokter, perawat bedah,
perawat anestesi, pengendali gas sentral, pelaksana pemeliharaan ruang bedah
dan instrument, dan lain-lain. Self-assessment, sistem pelaporan kejadian yang
berpotensi menimbulkan risiko (incidence report) dan audit klinis dalam budaya
non-blaming merupakan sebagian metode yang dapat digunakan untuk mengenali
risiko.

2. Risk control (and or Risk Prevention). Manajemen merencanakan langkah-


langkah praktis dalam menghindari dan atau meminimalkan risiko dan
melaksanakannya dengan tepat. Dalam bidang medis, manajemen harus
bekerjasama erat dan saling mendukung dengan komite medis. Langkah-langkah
tersebut ditujukan kepada seluruh komponen sistem, baik perangkat keras,
perangkat lunak maupun sumber daya manusianya. Langkah dimulai dengan
penilaian risiko (risk assessment) tentang derajat dan probabilitas kejadiannya,
dilanjutkan dengan upaya mencari jalan untuk menghilangkan risiko (engineering
solution), atau bila tidak mungkin maka dicari upaya menguranginya (control
solution) – baik terhadap probabilitasnya maupun terhadap derajat keparahannya,
atau apabila hal itu juga tidak mungkin maka dicari jalan untuk mengurangi
dampaknya. Tindakan dapat berupa pengadaan, perbaikan dan pemeliharaan
bangunan dan instrumen yang sesuai dengan persyaratan; pengadaan bahan
habis pakai sesuai dengan prosedur dan persyaratan; pembuatan dan pembaruan
prosedur, standar dan check-list; pelatihan penyegaran bagi personil, seminar,
pembahasan kasus, poster, stiker, dan lain-lain. 3. Risk containment. Dalam hal
telah terjadi suatu insiden, baik akibat suatu tindakan atau kelalaian ataupun
akibat dari suatu kecelakaan yang tidak terprediksikan sebelumnya, maka sikap
yang terpenting adalah mengurangi besarnya risiko dengan melakukan langkah-
langkah yang tepat dalam mengelola pasien dan insidennya. Unsur utamanya
biasanya adalah respons yang cepat dan tepat terhadap setiap kepentingan
pasien, dengan didasari oleh komunikasi yang efektif.

4. Risk transfer. Akhirnya apabila risiko itu akhirnya terjadi juga dan menimbulkan
kerugian, maka diperlukan pengalihan penanganan risiko tersebut kepada pihak
yang sesuai, misalnya menyerahkannya kepada sistem asuransi.
Dari sisi sumber daya manusia, manajemen risiko dimulai dari pembuatan standar
(set standards), patuhi standar tersebut (comply with them), kenali bahaya (identify
hazards), dan cari pemecahannya (resolve them).

[1] AHRQ’s patient safety initiative: Building Foundation, Reducing Risk (2004),
chapter 2

[2] Dental Protection: Essentials of risk management. Manual, tanpa tahun.

[3] Balsamo RR and Brown MD. Risk Management. In: Sanbar SS, Gibofsky A,
Firestone MH, LeBlang TR. (eds) Legal Medicine. Fourth ed, St Louis (Mosby),
1998.

[4] Sedwick J and Porto GG. The Health Care Risk Management Professional. In
Carroll R: Risk Management Handbook for Health Care Organization. 3rd ed. San
Francisco (Jossey Bass), 2001

[5] Wood RH. Aviation Safety Program – a management handbook. Washington


(Jeppesen), 1997.

Kesimpulan
Upaya meminimalkan tuntutan hukum terhadap rumah sakit beserta stafnya pada
dasarnya merupakan upaya mencegah terjadinya preventable adverse events
yang disebabkan oleh medical errors, atau berarti seluruh upaya mengelola risiko
dengan berorientasikan kepada keselamatan pasien. Upaya tersebut pada
akhirnya juga akan menurunkan angka kejadian malpraktek medis.

_________________
Don't ask what Iluni-FK'83 can do for you.
Ask what you can do for Iluni-FK'83 !

Hukum Kesehatan
Page 1 of 3 Goto page : 1, 2,

Permissions of this You cannot reply to topics in this forum


forum:
Iluni-FK'83 :: KESEHATAN dan ILMU KEDOKTERAN :: PERATURAN dan PERIJINAN
Iluni-FK'83 :: KESEHATAN dan ILMU KEDOKTERAN :: PERATURAN dan PERIJINAN

Go
Jump to:

Free forum | © phpBB | Free forum support | Report an abuse | Free forums

You might also like