Professional Documents
Culture Documents
GROUP TASK
Dosen Mata Kuliah: Dra. Kustiah Sunarti, M.Pd
CREATED BY:
ICP OF PHYSICS’09
MURNIATI
AHMAD MASKUR KHAIRAT
NURUL AMALIAH
IRMA PUTRIA HIKMAH
UMMI QALSUM
KATA PENGANTAR
TIM PENYUSUN
KELOMPOK IV
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Benjamin S. Bloom pada tahun 1956, menyimpulkan tentang tujuan
pendidikan yang dibagi dalam tiga domain, yakni:
1.) Cognitive Domain (Ranah Kognitif)
Berkaitan dengan perilaku-perilaku yang menekankan intelektual seperti
pengetahuan, pengertian dan keterampilan berfikir.
2.) Affective Domain (Ranah Efektif)
Berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek perasaan dan emosi seperti
minat, sikap, apresiasi dan cara penyesuaian diri. Kelakuan seseorang yang
baik atau buruk.
3.) Physichomotor Domain (Ranah Psikomotor)
Berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek keterampilan motorik,
seperti tulisan tangan, mengetik, berenang dan mengoperasikan mesin.
Sedangkan, menurut Tokoh Pendidikan yang sangat bersejarah di Indonesia
yakni Ki Hajar Dewantara, tujuan pendidikan Beliau sebut dengan Cipta, Rasa,
dan Karsa atau biasa juga disebut penalaran, penghayatan, dan pengamatan.
Jenis-jenis perubahan ada 4 yakni perubahan dalam ukuran, dalam
perbandingan, dalam bentuk hilang dan perubahan dalam hal yang baru.
Perubahan dalam hal yang baru mencakup bagaimana seorang manusia dalam
pencarian jati diri. Dalam perubahan ini terjadi pada masa remaja seseorang. Dan
tiga ranah atau domain dari tujuan pendidikan diatas jika dihubungkan dalam
perkembangan seorang manusia apalagi pada masa remaja dalam mencari jati diri
sangatlah penting untuk diketahui.
Maka, dalam makalah ini insyaaAllah akan dibahas tentang perkembangan
emosi dan perkembangan nilai, moral, dan sikap seorang remaja yang dirangkum
dengan judul “Perkembangan Afektif Remaja”
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Perkembangan Emosi
Seberapa banyak dorongan-dorongan dan minat-minat terpenuhi merupakan
dasar dari pengalaman emosional seseorang. Seseorang yang pola kehidupannya
berlangsung mulus, dimana dorongan-dorongan dan keinginan-keinginannya
terpenuhi dan yang minat-minatnya tercapai dengan berhasil cenderung emosinya
stabil dan menikmati hidup. Tetapi jika dorongan dan keinginannya tidak
terpenuhi baik karena kurangnya kemampuan untuk memenuhinya atau karena
kondisi lingkungan yang kurang menunjang, pengalaman-pengalaman
emosionalnya kemungkinan mengalami gangguan.
Banyak respon individu diarahkan oleh penalaran dan pertimbangan objektif,
namun ada saat di dalam kehidupan dorongan-dorongan emosional hampir
sepenuhnya mempengaruhi pikiran dan tingkah laku. Karena itu untuk memahami
remaja, bukan hanya perlu mengetahui apa yang ia kerjakan dan pikirkan, tetapi
hal yang lebih penting adalah mengetahui apa yang mereka rasakan. Makin
banyak usaha untuk memahami ddunia remaja seperti apa yang mereka alami,
makin perlu dilihat ke dalam kehidupan emosionalnya dan memahami perasaan-
perasaan dirinya dan orang lain, kemarahan-kemarahan dan ketakutan-ketakutan
mereka, kebanggaan dan rasa malu, kecintaan dan kebencian, harapan-harapan
dan keputusasaan.
Secara rinci, berbagai hal yang terkait dengan emosi diuraikan berikut ini:
1. Pengertian Emosi
Pada umumnya perbuatan kita sehari-hari disertai oleh perasaan-
perasaan tertentu, yaitu perasaan senang atau tidak senang. Perasaan senang
atau tidak senang yang dominan menyertai perbuatan-perbuatan sehari-hari
rangsangan yang tadinya tidak mempengaruhi mereka pada usia yang lebih
muda.
Perkembangan kelenjar endokrin penting untuk mematangkan prilaku
yang diperlukan untuk menopang reaksi fisiologis terhadap stress. Kelenjar
adrenalin yang memainkan peran utama pada emosi mengecil secara tajam
segera setelah bayi lahir. Tidak lama kemudian kelenjar itu mulai membesar
lagi, dan membesar dengan pesat sampai anak usia lima tahun,
pembesarannya melambat pada usia lima sampai 11 tahun, dan membesar
lebih pesat lagi sampai anak usia 16 tahun, dan pada usia 16 tahun kelenjar
tersebut mencapai kembali ukuran semula seperti anak saat lahir. Hanya
sedikit adrenalin yang diproduksi dan dikeluarkan samapi saat kelenjar itu
membesar. Metode belajar yang menunjang perkembangan emosi adalah:
1.) Belajar dengan coba-coba (learning by trial and error). Anak belajar
secara coba-coba untuk mengekspresikan emosi dalam bentuk prilaku
yang memberikan pemuasan terbesar kepadanya dan menolak prilaku
yang memberikan pemuasan sedikit atau sama sekali tidak memberikan
kepuasan. Cara belajar ini lebih umum digunakan pad masa kanak-
kanak awal dibandingkan dengan sesudahnya, tetapi tidak pernah
ditinggalkan sama sekali.
2.) Belajar dengan cara meniru (learning by imitation). Dengan cara
mengamati hal-hal yang membangkitkan emosi tertentu orang lain,
anak-anak bereaksi dengan emosi dan metode ekspresi yang sama
dengan orang-orang yang diamati. Contoh, anak yang peribut mungkin
menjadi marah terhadap teguran guru. Jika ia seorang anak yang
populer di kalangan teman sebayanya mereka juga akan ikut marah
kepada guru tersebut.
3.) Belajar dengan cara mempersamakan diri (learning by identification).
Anak menirukan reaksi emosional orang lain yang tergugah oleh
rangsangan yang sama dengan rangsangan yang telah memngkitkan
emosi orang yang ditiru. Disini anak hanya menirukan orang yang
dikagumi dan mempunyai ikatan emosional yang kuat dengannya.
4.) Belajar melalui pengkondisian. Dengan merode ini objek situasi yang
pada mulanya gagal memancing rekasi emosional, kemudian dapat
berhasil dengan cara asosiasi. Pengkondisian terjadi dengan mudah dan
cepat pada tahun-tahun awal kehidupan karena anak kecil kurang
mampu menalar, kurang pengalaman dalam menilai situasi secara
kritis, dan kurang mengenal ketidakrasionalan reaksi mereka. Setelah
lewatnya masa kanak-kanak, penggunaan metode pengkondisian
semakin terbatas pada perkembangan rasa suka dan tidak suka.
5.) Pelatihan atau belajar di bawah bimbingan dan pengawasan, terbatas
pada aspek reaksi. Kepada anak diajarkan cara beeaksi yang dapat
siterima jikasesuatu emosi terangsang. Dengan pelatihan, anak-anak
dirangsang untuk bereaksi terhadap rangsangan yang biasanya
membangkitkan emosi yang menyenangkan dan dicegah agar tidak
bereaksi secara emosional terhadap rangsangan yang membangkitkan
emosi tidak menyenangkan.
Anak memperluas ekspresi-ekspresi kemarahannya atau emosi lain
ketika beranjak dari masa kanak-kanak ke masa remaja. Peralihan
pernyataan emosi yang bersifat umum ke emosinya sendiri yang bersifat
individual ini dan memperhalus perasaan merupakan bukti/petunjuk adanya
pengaruh yang bertahap dan latihan dan kontrol terhadap prilaku emosional.
Mendekati berakhirnya usia remaja, seorang anak telah melewati
banyak badai emosional, ia mulai mengalami keadaan emosional yang lebih
tenang yang mewarnai pasang surut kehidupannya ia juga telah belajar
dalam menyembunyikan perasaan-perasaannya. Hal ini berarti jika ingin
memahami remaja, kita tidak hanya mengamati emosi-emosi yang secara
terbuka ia tampakkan tetapi berusaha mengerti emosi yang disembunyikan.
berbeda terhadap setiap orang yang kita jumpai, maka jika kita merespon
dengan cara yang sangat khusus terhadap hadirnya individu-individu tertentu
akan terangsang timbulnya emosi tertentu.
Seorang siswa tidak menyenangi gurunya bukan karena pribadi guru,
namun bisa disebabkan karena sesuatu yang terjadi pada anak dalam situasi
kelas. Jika ia merasa malu karena gagal dalam menghafal bahan pelajaran di
muka kelas, pada kesempatan lain ia mungkin takut untuk berpartisipasi dalam
kegiatan menghafal. Sebagai akibatnya ia mungkin memutuskan untuk
membolos, atau ia mungkin melakukan kegiatan yang lebih jelek lagi yaitu
melarikan diri dari semuanya itu, dari orang tuanya, dari guru-gurunya, atau
dari otoritas-otoritas lain.
Penderitaan emosional dan frustasi mempengaruhi efektivitas belajar.
Faktor-faktor afektif dalam pengalaman individu mempengaruhi jumlah dan
luasnya apa yang dipelajari. Seorang anak di sekolah akan belajar lebih efektif
bila ia termotivasi, karena ia perlu mengembangkan untuk belajar. Sekali hal
ini ada pada dirinya, selanjutnya ia akan menambah usahanya untuk menguasai
yang dipelajari. Apabila ada kesenangan karena keberhasilan dalam mencapai
prestasi, hal ini mengurangi pengaruh kelelahan.
Motivasi untuk belajar membantu individu untuk memusatkan pada apa
yang ia sedang kerjakan dan dengan cara itu ia akan memperoleh kepuasan.
Karena semua pelajar reaksinya tidak sama, rangsangan untuk belajar harus
berbeda-beda bagi anak-anak. Dengan demikian rangsangan-rangsangan yang
menghasilkan perasaan yang tidak menyenangkan, emosi yang kuat, atau
kejutan tertentu akan sangat mempengaruhi hasil belajar. Dengan demikian
rangsangan yang menghasilkan perasaan yang menyenangkan akan
mempermudah siswa belajar.
5. Perbedaan Individual dalam Perkembangan Emosi
Meskipun pola perkembangan emosi dapat diramalkan, tetapi terdapat
perbedaan dalam segi frekuensi, intensitas serta jangka waktu dari berbagai
macam emosi, dan juga usia pemunculannya. Perbedaan ini sudah mulai
terlihat sebelum masa bayi berakhir dan semakin sering terjadi dan lebih
mencolok dengan meningkatnya usia anak-anak.
Dengan meningkatnya usia anak, semua emosi diekspresikan secara
lebih lunak karena mereka harus mempelajari reaksi orang lain terhadap luapan
emosi yang berlebihan, sekalipun emosi itu berupa kegembiraan atau emosi
yang menyenangkan lainnya. Selain itu karena anak-anak mengekang sebagian
ekspresi emosi mereka, emosi cenderung bertahan lebih lama dari pada jika
emosi itu diekspresikan secara lebih kuat.
Perbedaan itu sebagian disebabkan oleh keadaan fisik anak pada saat
itu dan taraf kemampuan intelektualnya, dan sebagian lagi disebabkan oleh
kondisi lingkungan. Anak yang sehat cenderung kurang emosional
dibandingkan dengan anak yang kurang sehat. Sedangkan ditinjau
kedudukannya sebagai anggota suatu kelompok, anak-anak yang pandai
bereaksi lebih emosional terhadap berbagai macam rangsangan dibandingkan
dengan anak-anak kurang pandai. Mereka juga cenderung lebih mampu
mengendalikan ekspresi emosi.
Ditinjau kedudukannya sebagai anggota kelompok keluarga, anak laki-
laki sering dan lebih kuat mengekspresikan emosi yang sesuai dengan jenis
kelamin mereka, misalnya marah, dibandingkan dengan emosi yang dianggap
lebih sesuai bagi perempuan, misalnya takut cemas dan kasih saying. Rasa
cemburu dan marah lebih umum terdapat dikalangan keluarga besar,
sedangkan rasa iri lebih umum terdapat dikalangan keluarga kecil. Rasa
cemburu dan ledakan marah juga lebih umum dan lebih kuat di kalangan anak
pertama dibandingkan dengan anak yang lahir kemudian dalam keluarga yang
sama.
Cara mendidik yang otoriter mendorong perkembangan emosi
kecemasan dan takut sedangkan cara mendidik yang permissive atau
demokratis mendorong berkembangnya semangat dan rasa kasih saying. Anak-
anak dari keluarga yang berstatus social ekonomi rendah cenderung lebih
mengembangkan rasa takut dan cemas dibandingkan dengan mereka yang
berasal dari keluarga berstatus social ekonomi tinggi.
6. Upaya Pengembangan Emosi Remaja dan Implikasinya dalam
Penyelenggaraan Pendidikan
Dalam kaitannya dengan emosi remaja awal yang cenderung banyak
melamun dan sulit diterka, maka satu-satunya hal yang dapat dilakukan oleh
guru adalah konsisten dalam pengelolaan kelas dan memperlakukan siswa
seperti orang dewasa yang penuh tanggung jawab. Guru-guru dapat membantu
mereka yang bertingkah laku kasar dengan jalan mencapai keberhasilan dalam
tugas-tugas sekolah sehingga mereka menjadi anak yang lebih tenang dan lebih
mudah ditangani. Salah satu cara yang mendasar adalah dengan mendorong
mereka untuk bersaing dengan diri sendiri.
Apabila ada ledakan-ledakan kemarahan sebaiknya kita memperkecil
ledakan emosi tersebut sekecil-kecilnya, misalnya dengan jalan
kebijaksanaan/kelembutan, mengubah pikok pembicaraan, dan memulai
aktivitas baru. Jika kemarahan siswa juga tidak reda, guru dapat minta bantuan
kepada petugas bimbingan penyuluhan.
Dalam diskusi kelas, tekankan pentingnya memperhatikan pandangan
orang lain dalam mengembangkan pandangan sendiri. Kita hendaknya
waspada terhadap siswa yang sangat ambisius, berpendirian keras yang
mengintimidasi kelasnya sehingga tidak ada seseorang yang berani tidak
sependapat dengannya.
Reaksi yang sering kli terjadi pada diri remaja terhadap temuan-temuan
mereka bahwa kesalahan orang dewasa merupakan tantangan terhadap otoritas
orang dewasa. Guru-guru di SMA terperangkap oleh kemampuan siswa yang
baru dalam menentukan dan mengangkat kepermukaan tentang kelemahan-
kelemahan orang dewasa. Bertambahnya kebebasan dari remaja seperti
menambah “bahan bakar terhadap api”, bila banyak dari keinginan-
keinginannya langsung dihambat oleh guru-guru dan oran tua. Satu cara untuk
mengatasinya adalah meminta siswa mendiskusikan atau menulis tentang
perasaan-perasaan mereka yang negative. Meskipun penting bagi guru untuk
memahami alasan-alasan pemberontakannya, adalah sama pentingnya bagi
remaja untuk belajar mengontrol dirinya, karena hidup di masyarakat adalah
juga menghargai keterbatasan-keterbatasan, kebebasan individual.
Untuk menunjukkan kematangan mereka, para remaja pertama laki-laki
seringkali merasa terdorong untuk menentang otoritas orang dewasa. Sebagai
seorang guru di SMA, seseorang ada dalam posisi otoritas, dank arena itu
mungkin gurulah yang merupakan target dari pemberontakan dan rasa
permusuhan mereka.
Tampaknya cara yang paling baik untuk menghadapi pemberontakan
para remaja adalah pertama, mencoba untuk mengerti mereka dan kedua,
melakukan segala sesuatu yang dapat dilakukan untuk membantu siswa
berhasil/mempunyai prestasi dalam bidang yang diajarkan. Satu cara untuk
membuktikan kedewasaan seseorang ialah terampil dalam melakukan sesuatu.
Jika guru menyadari sebagai seorang yang bertujuan untuk mengembangkan
keterampilan-keterampilan tersebut pada diri siswa walaupun dalam cara-cara
yang amat terbatas, pemberontakan dan sikap permusuhan dalam kelas dapat
agak dikurangi. Remaja ada dalam keadaan yang membingungkan dan serba
sulit. Dalam banyak hal ia tergantung pada orang tua dalam keperluan-
keperluan fisik dan merasa mempunyai kewajiban kepada pengasuhan yang
mereka berikan dari saat dia tidak mampu memelihara dirinya sendiri. Namun
ia harus lepas dari orang tuanya agar ia menjadi orang dewasa yang mandiri,
sehingga adanya konflik dengan orang tua tidak dapat dihindari. Apabila
terjadi friksi semacam ini, para remaja mungkin merasa bersalah, yang
selanjutnya memperluas/memperbesar jurang antara dia dengan orang tuanya.
Seorang siswa yang merasa bingung terhadap rantai peristiwa tersebut
mungkin merasa perlu menceritakan penderitaannya, termasuk mungkin
rahasia-rahasia pribadinya, kepada orang lain. Karena itu seorang guru diminta
untuk bersikap seperti pendengar yang simpatik.
Siswa sekolah menengah atas banyak memikirkan hal-hal yang lain
dari pada tugas-tugas sekolah. Misalnya seks, konflik dengan orang tua dan
apa yang akan dilakukan dalam hidupnya setelah ia tamat sekolah, semua ini
mengisi pikiran-pikirannya. Salah satu persoalan yang paling membingungkan
yang dihadapi oleh guru ialah bagaimana menghadapi siswa yang hanya
mempunyai kecakapan terbatas tetapi yang selalu “memimpikan kejayaan”.
Seorang guru tidak ingin membuat mereka putus asa, tetapi jika ia mendorong
siswa tersebut untuk berusaha apa yang tidak mungkin dilakukan, walaupun
mungkin pernah mencoba namun gagal, dapat terjadi kegagalan ini malah
menambah kesengsaraan dalam hidupnya. Barangkali penyelesaian yang
paling baik adalah mendorong anak itu untuk berusaha namun tetap
mengingatkan dia untuk menghadapi kenyataan-kenyataan. Menyarankan
tujuan-tujuan pengganti mungkin merupakan cara untuk membuat ambisi-
ambisinya lebih realistic dan mudah mengatasinya apabila ada kegagalan.
Kebanyakan para siswa di sekolah menengah atas menginginkan
menjadi pegawai negeri/pegawai kantor meskipun kenyataannya hanya
sebagian kecil saja yang mencapai tujuan tersebut. Apabila ia menganggap
remeh pekerjaan sebagai buruh, ini berarti bahwa anak-anak muda yang
memasuki dunia kerja tersebut mungkin tidak mempunyai kebanggaan
terhadap apa yang mereka kerjakan. Kita para guru hendaknya dapat
memberikan keyakinan kepada sisiwa bahwa semua pekerjaan adalah
bermanfaat apabila dikerjakan dengan sungguh-sungguh, penuh tanggung
jawab, hati-hati serta terampil.
Jadi terdapat berbagai cara untuk mengendalikan lingkungan untuk
menjamin pembinaan pola emosi yang diinginkan, dan menghilangkan reaksi-
reaksi emosional yang tidak diinginkan sebelum berkembang menjadi
kebiasaan yang tertanam kuat.
bagian dari jiwa yang berfungsi untuk mengendalikan tingkah laku ego
sehingga tidak bertentangan dengan masyarakat.
Sedangkan menurut Gerungan (Mappiare, 1982) sikap secara umum
diartikan sebagai kesediaan bereaksi individu terhadap hal. Sikap berkaitan
dengan motif dan mendasari tingkah laku seorang. Dapat diramalkan tingkah
laku apa yang dapat terjadi dan akan diperbuat jika telah diketahui sikapnya.
Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi berupa
kecenderungan (predisposisi) tingkah laku. Jadi sikap merupakan kesiapan
untuk beraksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu
penghayatan terhadap objek tersebut.
Dengan demikian keterkaitan antara nilai, moral, sikap dan tingkah
laku akan tampak dalam pengalaman nilai-nilai. Dengan kata lain nilai-nilai
perlu dikenal terlebih dulu, kemudian dihayati dan didorong oleh moral, baru
akan terbentuk sikap tertentu terhadap nilai-nilai tersebut dan pada akhirnya
terwujud tingkah laku sesuai dengan nilai-nilai yang dimaksud.
2. Karakteristik Nilai, Moral, dan Sikap Remaja
Nilai-nilai kehidupan yang perlu diinformasikan dan selanjutnya
dihayati oleh para remaja tidak terbatas pada adat kebiasaan dan sopan santun
saja, namun juga seperangkat nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila;
misalnya nilai-nilai keagamaan, nilai-nilai perikemanusiaan dan perikeadilan,
nilai-nilai estetik, nilai-nilai etik, dan nilai-nilai intelektual, dalam bentuk-
bentuk sesuai dengan perkembangan remaja.
Sejauh mana remaja mengamalkan nilai-nilai yang telah
menginformasikan atau dicontohkan kepada mereka? Untuk keperluan ini
perlu ditinjau perkembangan moral remaja.
Salah satu tugas perkembangan yang harus dikuasai remaja adalah
mempelajari apa yang diharapkan oleh kelompok dari padanya dan kemudian
bersedia membentuk perilakunya agar sesuai dengan harapan
social/masyarakat tanpa terus sibimbing, diawasi, didorong dan diancam
Tingkat I: Prakonvensional
Pada stadium pertama, anak berorientasi kepada kepatuhan dan hukuman.
Anak menganggap baik atau buruk atas dasar akibat yang ditimbulkannya. Anak
hanya mengetahui bahwa aturan-aturan ditentukan oleh adanya kekuasaan yang tidak
bisa diganggu gugat. Ia harus menurut atau kalau tidak, akan memperoleh hukuman.
Pada stadium kedua, berlaku prinsip relatisvik-hedonism. Pada tahap ini,
anak tidak lagi secara mutlak tergantung kepada aturan yang ada di luar dirinya, atau
ditentukan oleh orang lain, tetapi mereka sadar bahwa setiap kejadian mempunyai
beberapa segi. Jadi ada kesanggupan seseorang (hedonistik). Misalnya mencuri ayam
karena kelaparan. Karena perbuatan “mencuri” untuk memenuhi kebutuhannya
(lapar), maka mencuri dianggap sebagai perbuatan mencuri itu sendiri diketahui
sebagai perbuatan yang salah karena ada akibatnya, yaitu hukuman.
Tingkat II: Konvensional
Stadium tiga, menyangkut orientasi mengenai anak yang baik. Pada stadium
ini, anak mulai memasuki umur belasan tahun, di mana anak memperlihatkan
orientasi perbuatan-perbuatan yang dapat dinilai baik atau buruk oleh orang lain.
Masyarakat adalah sumber yang menentukan, apakah perbuatan seseorang baik atau
tidak. Menjadi “anak yang manis” masih sangat penting dalam stadium ini.
Stadium empat, yaitu tahap menpertahankan norma-norma social dan
otoritas. Pada stadium ini perbuatan baik yang diperlihatkan seseorang bukan hanya
agar dapat diterima oleh lingkungan masyarakatnya, melainkan bertujuan agar dapat
ikut mempertahankan aturan-aturan atau norma-norma social. Jadi perbuatan baik
merupakan kewajiban untuk ikut melaksanakan aturan-aturan yang ada, agar tidak
timbul kekacauan.
Tingkat III: Pascakonvensial
Stadium lima, merupakan tahap orientasi terhadap perjanjian antara dirinya
dengan lingkungan sosial. Pada stadium ini ada hubungan timbale balik antara
dirinya dengan lingkungan social, dengan masyarakat. Seseorang harus
memperlihatkan kewajibannya, harus sesuai dengan tuntutan norma-norma sosial
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Afektif adalah Berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek perasaan dan
emosi seperti minat, sikap, apresiasi dan cara penyesuaian diri. Kelakuan
seseorang yang baik atau buruk.
2. Emosi adalah warna afektif yang kuat dan ditandai oleh perubahan-
perubahan tubuh. Jenis emosi yang secara normal dialami antara laliln: cinta,
gembira, marah, takut, cemas dan sedih.
3. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi emosi antara lain kematangan dan
kondisi-kondisi kehidupan atau kultur.
4. Nilai-nilai kehidupan adalah norma-norma yang berlaku dalam masyarakat
atau prinsip-prinsip hidup yang menjadi pegangan seseorang dalam hidupnya
baik sebagai pribadi maupun sebagai warga negara. Sedangkan moral adalah
ajaran tentang baik buruk suatu perbuatan dan kelakuan. Sikap adalah
kesediaan bereaksi individu terhadap sesuatu hal.
5. Tingkat perkembangan pasca-konvensional harus dicapai oleh remaja.
Menjadi remaja berarti mengerti nilai-nilai, yang tidak hanya memperoleh
pengertian saja namun juga dapat menjalankannya.
6. Upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam rangka pengembangan nilai, moral
dan sikap remaja adalah menciptakan komunikasi disamping member
informasi dan remaja diberi kesempatan untuk berpartisipasi untuk aspek
moral, serta menciptakan system lingkungan yang serasi/kondusif.
B. Saran
Menjadi seorang remaja dalam masa pencarian jati diri tetap harus
memahami konsep ranah afektif yang akan mempengaruhi kehidupannya, baik
sekarang maupun yang akan datang. Sehingga harapannya akan kehidupan yang
lebih baik dan menjadi seorang yang peka terhadap sosial dapat terwujud.
DAFTAR PUSTAKA
Daruma, A.Rasak dkk. 2009. Perkembangan Peserta Didik. Makassar : FIP UNM