You are on page 1of 4

Andre, seorang anak yang setiap sore selalu menanti kepulangan

ayahnya dari kantor untuk sekedar mengajaknya bermain. Suatu


sore, sepulang kerja, sang ayah ditanya oleh Andre, “Ayah, ayah
kerja dikantor di bayar berapa sih sebulan?”
Sembari mengernyitkan dahi si ayah menjawab, Ya sekitar Rp.
2.500.000,- kalau sehari berarti berapa, Yah ? Sela Andre. Ayah
mulai bingung, Rp.100.000,- ada apa sih? Koq tanya gaji segala !
Akan tetapi, Andre tetap bertanya lagi, kalau, setengah hari berarti
Rp.50.000,- dong? Iya, memangnya kenapa ? Sahut ayah mulai
jengkel. Si anak dengan mantap mengajukan permohonan, gini,
yah ! Tolong tambahi dong tabungan Andre, Rp.5.000,- saja.
Soalnya, Andre sudah punya tabungan sebesar Rp.45.000,-.
Rencananya, Andre mau membeli ayah setengah hari saja supaya
kita bisa pergi memancing bersama !
Satu hal yang sering menjadi kendala kita sebagai ayah dalam
membangun tatanan keluarga yang tanggung dan harmonis adalah si
pencuri waktu. Urusan kantor, bisnis sampingan, maupun kegemaran
pribadi, acap kali menjadi musuh dalam selimut yang secara tidak
langsung merongrong kesempatan emas yang kita miliki untuk
bercengkrama dengan anak. Dalih yang biasa dipergunakan oleh si
pencuri waktu sendiri adalah demi masa sepan keluarga, loyalitas kerja, atau
untuk membiarkan asap dapur tetap ngebul. Siapa ayah sebenarnya ? Ketika
masih kecil, kerap kali anak mengclaim bahwa pahlawan (hero) yang paling
hebat adalah ayahnya sendiri. Sering pula anak melakukan proses
identifikasi dengan kepriaan, yang diactualisasikan sang ayah.
Bunyi yang paling menggetarkan didengar oleh sang ayah, ketika untuk
pertama kalinya si anak mengatakan, papa atau ayah atau abah atau sebutan
lain. Bahkan seorang filsuf pernah mengatakan bahwa Tuhan yang dilihat si
anak pada masa kecilnya adalah ayahnya sendiri. Ahli lain mengatakan,
pohon dikenal melalui buahnya (like father like son). Setelah besar dan
menginjak remaja atau pemuda, tidak jarang posisi ayah yang tadinya
pahlawan beralih menjadi musuh. Investasi terindah yang dapat kita
berikan kepada putra –putri kita adalah waktu dan kualitas komunikasi yang
berproporsional bagi mereka.
Zig ziglar pernah berseloroh dalam suatu seminarnya, kehadiran dan
percakapan Anda dihadapan anak-anakmu, lebih dari ribuan hadiah.
Kurangnya komunikasi di rumah akan membuat anak mencari informasi dari
dunia luar rumah yang belum tentu benar adanya. Apa yang ditabur, itu
pula yang dituai, demikian pepatah lama masih terngiang jernih dalam
ingatan kita. Ketika anaka masih kecil, sebagai orang tua (ayah) jarang
mendengarkan mereka. Setelah mereka besar, merekapun akan jarang
mendengarkan orang tuanya.
Inilah awal mulanya terkenal istilah kenakalan remaja, yang secara tidak
sadar dikontribusikan terlebih dahulu oleh kenakalan oarang tuanya, yang
telah berselingkuh dengan si pencuri waktu. Itulah sebabnya Spencer
Johnson dalam bukunya : .........
Mengatakan cara terbaik agar anak-anak kita mendengarkan kita adalah
dengan mendengarkan mereka. Bagi si anak, didengarkan merupakan bagian
penting dalam implementasi cinta orang tuanya. Jika ditelusuri lebih lanjut,
memang ada perbedaan besar antara dicintai dan merasa dicintai . Bill
havenset, seorang pendayung hebat yang berskala internasional ketika dalam
masa karantina untuk persiapan piala dunia mendayung menerima teleks
yang mengatakan bahwa istrinya kemungkinan dalam 2 – 3 hari lagi akan
melahirkan. Setelah menerima kabar, bill memilih dan memutuskan
berangkat ke kota asalnya dan berpamitan untuk tidak mengikuti kejuaraan
dunia yang telah dipersiapkan baginya. Ia memutuskan untuk menunggui
istrinya yang akan melahirkan ketika itu. Pada 1952, bill havent pendapatkan
telegram dari putranya, Frank, yang baru saja mememnagkan medali emas
dalam final kano 10.000 meter pada olimpiade di Helsinky atau Finlandia.
Telegram tersebut berbunyi, ayah, terima kasih karena telah menunggui kelahiran
saya. Saya akan pulang membawa medali emas yang seharusnya ayah menangkan
beberapa tahun lalu... Anakmu tersayang, Frank . Bekerja tidak akan memberikan
investasi lebih permanen jika dibandingkan dengan memberikan waktu yang cukup
untuk anak dan keluarga. Usia 55 tahun merupakan akhir dan perhentian berkarya,
namun karya akan diinvestasikan dalam kenangan anak tidak akan berakhir hingga
maut yang memisahkannya. Pilihan, tentu ada dalam diri masing-masing, namun Bill
Havent dalam cerita di atas telah memilih yang terbaik. Sekaligus mengingatkan kita
pada pernyataan Patrik M. Morley yang spektakuler, “ saya lebih memilih untuk tidak
menjadi siapa-siapa, asalkan bisa menjadi seseorang yang berarti bagi anak-anak saya.”
Mungkin lagu yang pernah kita dengar sebelumnya dapat kita dengar kembali darialam
sana menjadi
senandung terindah, ketika anak-anak yang kita kasihi menyanyikan lagu bagian refnya
rinto harahap : “ Untuk ayah tercinta, aku ingin bernyanyi, walau air mata dipipiku. Ayah
dengarkanlah, aku ingin bertemu walau hanya dalam mimpi”.

You might also like