You are on page 1of 12

Dewi Sartika

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Belum Diperiksa
Langsung ke: navigasi, cari

Dewi Sartika

Dewi Sartika (lahir di Bandung, 4 Desember 1884 – meninggal di Tasikmalaya, 11


September 1947 pada umur 62 tahun) adalah tokoh perintis pendidikan untuk kaum
perempuan, diakui sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia tahun 1966.

Mendirikan sekolah

Sejak 1902, Dewi Sartika sudah merintis pendidikan bagi kaum perempuan. Di sebuah
ruangan kecil, di belakang rumah ibunya di Bandung, Dewi Sartika mengajar di hadapan
anggota keluarganya yang perempuan. Merenda, memasak, jahit-menjahit, membaca,
menulis, dan sebagainya, menjadi materi pelajaran saat itu

Usai berkonsultasi dengan Bupati R.A. Martenagara, pada 16 Januari 1904, Dewi Sartika
membuka Sakola Istri (Sekolah Perempuan) pertama se-Hindia-Belanda. Tenaga
pengajarnya tiga orang; Dewi Sartika dibantu dua saudara misannya, Ny. Poerwa dan
Nyi. Oewid. Murid-murid angkatan pertamanya terdiri dari 20 orang, menggunakan
ruangan pendopo kabupaten Bandung.

Setahun kemudian, 1905, sekolahnya menambah kelas, sehingga kemudian pindah ke


Jalan Ciguriang, Kebon Cau. Lokasi baru ini dibeli Dewi Sartika dengan uang tabungan
pribadinya, serta bantuan dana pribadi dari Bupati Bandung. Lulusan pertama keluar pada
tahun 1909, membuktikan kepada bangsa kita bahwa perempuan memiliki kemampuan
yang tak ada bedanya dengan laki-laki. Tahun 1910, menggunakan hartanya pribadi,
sekolahnya diperbaiki lagi sehingga bisa lebih mememnuhi syarat kelengkapan sekolah
formal.

Pada tahun-tahun berikutnya di beberapa wilayah Pasundan bermunculan beberapa


Sakola Istri, terutama yang dikelola oleh perempuan-perempuan Sunda yang memiliki
cita-cita yang sama dengan Dewi Sartika. Pada tahun 1912 sudah berdiri sembilan Sakola
Istri di kota-kota kabupaten (setengah dari seluruh kota kabupaten se-Pasundan).
Memasuki usia ke-sepuluh, tahun 1914, nama sekolahnya diganti menjadi Sakola
Kautamaan Istri (Sekolah Keutamaan Perempuan). Kota-kota kabupaten wilayah
Pasundan yang belum memiliki Sakola Kautamaan Istri tinggal tiga/empat, semangat ini
menyeberang ke Bukittinggi, di mana Sakola Kautamaan Istri didirikan oleh Encik Rama
Saleh. Seluruh wilayah Pasundan lengkap memiliki Sakola Kautamaan Istri di tiap kota
kabupatennya pada tahun 1920, ditambah beberapa yang berdiri di kota kewedanaan.

Bulan September 1929, Dewi Sartika mengadakan peringatan pendirian sekolahnya yang
telah berumur 25 tahun, yang kemudian berganti nama menjadi "Sakola Raden Déwi".
Atas jasanya dalam bidang ini, Dewi Sartika dianugerahi bintang jasa oleh pemerintah
Hindia-Belanda.

Oto Iskandar di Nata


Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Belum Diperiksa
Langsung ke: navigasi, cari
Berkas:Otto Iskandardinata.jpg
Oto Iskandar di Nata

Raden Oto Iskandar di Nata (lahir di Bandung, Jawa Barat, 31 Maret


1897 – meninggal di Mauk, Tangerang, Banten, 20 Desember 1945 pada umur 48 tahun)
adalah salah satu Pahlawan Nasional Indonesia. Ia memiliki cucu yaitu sutradara Nia
Dinata.Ia mendapat julukan si Jalak Harupat. Selain itu ia juga mantan ketua organisasi
Paguyuban Pasundan (1929-1942) dan anggota Volksraad, DPR pada masa Hindia
Belanda (1931-1941). Ia menjabat sebagai menteri Negara pada kabinet yang pertama
Republik Indonesia tahun 1945, dan dalam kapasitas beliau sebagai menteri negara yang
mempersiapkan terbentuknya BKR dari laskar-laskar rakyat yang tersebar di seluruh
Indonesia, banyak pihak yang tidak puas sehingga beliau diculik oleh salah satu dari
laskar tersebut, yaitu Laskar Hitam, dan akhirnya kemudian dihilangkan di daerah
Banten[1].

Untuk mengabadikan perjuangan beliau, dibuatlah sebuah monumen perjuangan


Bandung Utara di Lembang, Bandung dengan nama "Monumen Pasir Pahlawan". Selain
itu, namanya juga diabadikan sebagai nama jalan di beberapa kota di Indonesia.
Muhammad Toha
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Belum Diperiksa
Langsung ke: navigasi, cari

Muhammad Toha (Bandung, 1927 - idem, 24 Maret 1946) adalah pahlawan dalam
peristiwa Bandung Lautan Api di Kota Bandung, Indonesia. Pada saat itu, Muhamad
Toha melepaskan bom bunuh diri untuk menghancurkan gudang persenjataan Jepang.

Mohammad Toha dilahirkan di Jalan Banceuy, Desa Suniaraja, Kota Bandung pada tahun
1927. Ayahnya bernama Suganda dan ibunya yang berasal dari Kedunghalang, Bogor
Utara, Bogor, bernama Nariah. Toha menjadi anak yatim ketika pada tahun 1929 ayahnya
meninggal dunia. Ibu Nariah kemudian menikah kembali dengan Sugandi, adik ayah
Toha. Namun tidak lama kemudian, keduanya bercerai dan Mohamad Toha diambil oleh
kakek dan neneknya dari pihak ayah yaitu Bapak Jahiri dan Ibu Oneng. Mohamad Toha
mulai masuk sekolah rakyat pada usia 7 tahun hingga kelas 4. Sekolahnya terhenti ketika
Perang Dunia II pecah.

Pada zaman Jepang, Toha mulai mengenal dunia militer dengan memasuki Seinendan.
Sehari-hari Toha juga membantu kakeknya di Biro Sunda, kemudian bekerja di bengkel
motor di Cikudapateuh. Selanjutnya, Toha belajar menjadi montir mobil dan bekerja di
bengkel kendaraan militer Jepang sehingga ia mampu berbahasa Jepang.

Setelah Indonesia merdeka, Toha terpanggil untuk bergabung dengan badan perjuangan
Barisan Rakjat Indonesia (BRI), yang dipimpin oleh Ben Alamsyah, paman Toha sendiri.
BRI selanjutnya digabungkan dengan Barisan Pelopor yang dipimpin oleh Anwar Sutan
Pamuncak menjadi Barisan Banteng Republik Indonesia (BBRI). Dalam lasykar ini ia
duduk sebagai Komandan Seksi I Bagian Penggempur. Menurut keterangan Ben
Alamsyah, paman Mohamad Toha, dan Rachmat Sulaeman, tetangga Mohamad Toha dan
juga Komandannya di BBRI, pemuda Toha adalah seorang pemuda yang cerdas, patuh
kepada orang tua, memiliki disiplin yang kuat serta disukai oleh teman-temannya. Pada
tahun 1945 itu, Mohamad Toha digambarkan sebagai pemuda pemberani dengan tinggi
1,65 m, bermuka lonjong dengan pancaran mata yang tajam.
Pada tanggal 21 November 1945, tentara Sekutu mengeluarkan ultimatum pertama agar
kota Bandung bagian utara dikosongkan oleh pihak Indonesia selambat-lambatnya
tanggal 29 November 1945. Para pejuang harus menyerahkan senjata yang mereka
rampas dari tentara Jepang. Alasannya untuk menjaga keamanan. Apabila tidak
diindahkan, tentara Sekutu akan menyerang habis-habisan.

Peringatan ini tidak dihiraukan oleh para pejuang Indonesia. Sejak saat itu sering terjadi
bentrokan senjata dengan tentara Sekutu. Kota Bandung terbagi menjadi dua, Bandung
Utara dan Bandung Selatan. Oleh karena persenjataan yang tidak memadai, pasukan TKR
dan para pejuang lainnya tidak dapat mempertahankan Bandung Utara. Akhirnya
Bandung Utara dikuasai oleh tentara Sekutu.

Pada tanggal 23 Maret 1946 tentara Sekutu kembali mengeluarkan ultimatum ke-2.
Mereka menuntut agar semua masyarakat dan pejuang TKR mengosongkan kota
Bandung bagian selatan. Perlu diketahui bahwa sejak 24 Januari 1946, TKR telah
merubah namanya menjadi TRI.

Demi mempertimbangkan politik dan keselamatan rakyat, pemerintah memerintahkan


TRI dan para pejuang lainnya untuk mundur dan mengosongkan Bandung Selatan.
setelah mengadakan musyawarah, para pejuang sepakat untuk menuruti perintah
pemerintah. Tapi, mereka tidak mau menyerahkan kota Bandung bagian selatan itu secara
utuh.

Rakyat pun diungsikan ke luar kota Bandung. Para anggota TRI dengan berat hati
meninggalkan Bandung bagian selatan. Sebelum ditinggalkan Bandung Selatan
dibumihanguskan oleh para pejuang dan anggota TRI. Peristiwa ini di kenal dengan
sebutan Bandung Lautan Api. Dalam peristiwa inilah pahlawan Mohammad Toha
gugur,karena terjadi peristiwa Bandung Lautan Api, untuk mengenang peristiwa itu
diciptakan lagu nasional Halo-halo Bandung.
R.E. Martadinata
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Belum Diperiksa
Langsung ke: navigasi, cari

Laksamana R.E. Martadinata

Laksamana Laut R. Edy Martadinata (lahir di Bandung, Jawa Barat, 29 Maret


1921 – meninggal di Riung Gunung, Jawa Barat, 6 Oktober 1966 pada umur 45 tahun)
atau yang lebih dikenal dengan nama R.E. Martadinata adalah tokoh ALRI dan pahlawan
nasional Indonesia. Ia meninggal dunia akibat kecelakaan helikopter di Riung Gunung[1]
dan dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.

[sunting] Riwayat hidup

Ia adalah lulusan Sekolah Pelayaran (Zeevaart School) di Surabaya pada zaman


penjajahan Belanda. Pada zaman pendudukan Jepang ia bekerja sebagai aspiran (calon)
atau penerjemah di sekolah tinggi pelayaran Semarang.

Saat PPKI membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang kemudian disahkan
Presiden Soekarno pada 23 Agustus 1945, ia juga turut membentuk BKR Laut Jawa Barat
dibawah pimpinan Arudji Kartawinata yang kemudian berkembang menjadi ALRI.

Ia pernah menjabat sebagai Kepala Staf Operasi pada Mabes ALRI di Yogyakarta. Selain
itu ia juga pernah mnjabat sebagai Kepala Staf Komando Daerah Maritim Surabaya.
Setelah itu ia memegan jabatan sebagai KSAL menggantikan Laksamana Subiyakto
akibat pergolakan di ALRI yang terjadi pra dan pasca G30S.

Ageng Tirtayasa dari Banten


Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Akurasi Terperiksa
Langsung ke: navigasi, cari

Sultan Ageng Tirtayasa (Banten, 1631 – 1683) adalah putra Sultan Abdul Ma'ali
Ahmad dan Ratu Martakusuma yang menjadi Sultan Banten periode 1640-1650. Ketika
kecil, ia bergelar Pangeran Surya. Ketika ayahnya wafat, ia diangkat menjadi Sultan
Muda yang bergelar Pangeran Ratu atau Pangeran Dipati. Setelah kakeknya meninggal
dunia, ia diangkat sebagai sultan dengan gelar Sultan Abdul Fathi Abdul Fattah.

Nama Sultan Ageng Tirtayasa berasal ketika ia mendirikan keraton baru di dusun
Tirtayasa (terletak di Kabupaten Serang). Ia dimakamkan di Mesjid Banten.

[sunting] Riwayat Perjuangan

Sultan Ageng Tirtayasa berkuasa di Kesultanan Banten pada periode 1651 - 1683. Ia
memimpin banyak perlawanan terhadap Belanda. Masa itu, VOC menerapkan perjanjian
monopoli perdagangan yang merugikan Kesultanan Banten. Kemudian Tirtayasa
menolak perjanjian ini dan menjadikan Banten sebagai pelabuhan terbuka.

Saat itu, Sultan Ageng Tirtayasa ingin mewujudkan Banten sebagai kerajaan Islam
terbesar. Di bidang ekonomi, Tirtayasa berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyat
dengan membuka sawah-sawah baru dan mengembangkan irigasi. Di bidang keagamaan,
ia mengangkat Syekh Yusuf sebagai mufti kerajaan dan penasehat sultan.

Ketika terjadi sengketa antara kedua putranya, Sultan Haji dan Pangeran Purbaya,
Belanda ikut campur dengan bersekutu dengan Sultan Haji untuk menyingkirkan Sultan
Ageng Tirtayasa. Saat Tirtayasa mengepung pasukan Sultan Haji di Sorosowan (Banten),
Belanda membantu Sultan Haji dengan mengirim pasukan yang dipimpin oleh Kapten
Tack dan de Saint Martin.

Zainal Mustafa
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Belum Diperiksa
Langsung ke: navigasi, cari
KH. Zainal Musthofa
1 Januari 1899
Lahir
Singaparna, Tasikmalaya
28 Maret 1944 (umur 45)
Meninggal
Jakarta
Kewarganegaraan Indonesia
Nama Panggilan Hudaeni
Pimpinan Pesantren
Pekerjaan
Pahlawan Nasional
Agama Islam
K.H. Zainal Mustafa (lahir di Bageur, Cimerah, Singaparna, Tasikmalaya, 1899 -
Jakarta, 28 Maret 1944) adalah salah satu pahlawan nasional Indonesia. Ia dimakamkan
di Taman Makam Pahlawan Tasikmalaya.

Zaenal Mustofa adalah pemimpin sebuah pesantren di Tasikmalaya dan pejuang Islam
pertama dari Jawa Barat yang mengadakan pemberontakan terhadap pemerintahan
Jepang. Nama kecilnya Hudaeni. Lahir dari keluarga petani berkecukupan, putra
pasangan Nawapi dan Ny. Ratmah, di kampung Bageur, Desa Cimerah, Kecamatan
Singaparna (kini termasuk wilayah Desa Sukarapih Kecamatan Sukarame) Kabupaten
Tasikmalaya (ada yang menyebut ia lahir tahun 1901 dan Ensiklopedia Islam
menyebutnya tahun 1907, sementara tahun yang tertera di atas diperoleh dari catatan
Nina Herlina Lubis, Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jawa Barat).
Namanya menjadi Zaenal Mustofa setelah ia menunaikan ibadah haji pada tahun 1927.

Hudaeni memperoleh pendidikan formal di Sekolah Rakyat. Dalam bidang agama, ia


belajar mengaji dari guru agama di kampungnya. Kemampuan ekonomis keluarga
memungkinkannya untuk menuntut ilmu agama lebih banyak lagi. Pertama kali ia
melanjutkan pendidikannya ke pesantren di Gunung Pari di bawah bimbingan Dimyati,
kakak sepupunya, yang dikenal dengan nama KH. Zainal Muhsin. Dari Gunung Pari, ia
kemudian mondok di Pesantren Cilenga, Leuwisari, dan di Pesantren Sukamiskin,
Bandung. Selama kurang lebih 17 tahun ia terus menggeluti ilmu agama dari satu
pesantren ke pesantren lainnya. Karena itulah ia mahir berbahasa Arab dan memiliki
pengetahuan keagamaan yang luas.

Lewat ibadah haji, ia berkenalan dengan ulama-ulama terkemuka. Ia pun mengadakan


tukar pikiran soal keagamaan dan berkesempatan melihat pusat pendidikan keagamaan di
Tanah Suci. Kontak dengan dunia luar itu mendorongnya untuk mendirikan sebuah
pesantren. Maka sekembalinya dari ibadah haji, tahun 1927, ia mendirikan pesantren di
Kampung Cikembang dengan nama Sukamanah. Sebelumnya, di Kampung Bageur tahun
1922 telah berdiri pula Pesantren Sukahideng yang didirikan KH. Zainal Muhsin. Melalui
pesantren ini ia menyebarluaskan agama Islam, terutama paham Syafi’i yang dianut oleh
masyarakat Indonesia pada umumnya dan umat Islam Jawa Barat pada khususnya.

Di samping itu, ia juga mengadakan beberapa kegiatan keagamaan ke pelosok-pelosok


desa di Tasikmalaya dengan cara mengadakan ceramah-ceramah agama. Maka sebutan
kiai pun menjadi melekat dengan namanya. KH. Zaenal Mustofa terus tumbuh menjadi
pemimpin dan anutan yang karismatik, patriotik, dan berpandangan jauh ke depan. Tahun
1933, ia masuk Jamiyyah Nahdhatul Ulama (NU) dan diangkat sebagai wakil ro’is
Syuriah NU Cabang Tasikmalaya.

[sunting] Perlawanan kepada penjajah

Sejak tahun 1940, KH. Zaenal Mustofa secara terang-terangan mengadakan kegiatan
yang membangkitkan semangat kebangsaan dan sikap perlawanan terhadap pendudukan
penjajah. Ia selalu menyerang kebijakan politik kolonial Belanda yang kerap
disampaikannya dalam ceramah dan khutbah-khutbahnya. Atas perbuatannya ini, ia
selalu mendapat peringatan, dan bahkan, tak jarang diturunkan paksa dari mimbar oleh
kiai yang pro Belanda.

Setelah Perang Dunia II, tepatnya pada 17 November 1941, KH. Zaenal Mustofa bersama
KH. Ruhiat (dari Pesantren Cipasung), Haji Syirod, dan Hambali Syafei ditangkap
Belanda dengan tuduhan telah menghasut rakyat untuk memberontak terhadap
pemerintah Hindia Belanda. Mereka ditahan di Penjara Tasikmalaya dan sehari kemudian
dipindahkan ke penjara Sukamiskin Bandung, dan baru bebas 10 Januari 1942.

Kendati sudah pernah ditahan, aktivitas perlawanannya terhadap penjajah tidak surut.
Akhir Februari 1942, KH. Zaenal Mustofa bersama Kiai Rukhiyat kembali ditangkap dan
dimasukkan ke penjara Ciamis. Kedua ulama ini menghadapi tuduhan yang sama dengan
penangkapannya yang pertama. Hingga pada waktu Belanda menyerah kepada Jepang, ia
masih mendekam di penjara.

Pada tanggal 8 Maret 1942 kekuasaan Hindia Belanda berakhir dan Indonesia diduduki
Pemerintah Militer Jepang. Oleh penjajah yang baru ini, KH. Zaenal Mustofa dibebaskan
dari penjara, dengan harapan ia akan mau membantu Jepang dalam mewujudkan ambisi
fasisnya, yaitu menciptakan Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya. Akan
tetapi, apa yang menjadi harapan Jepang tidak pernah terwujud karena KH. Zaenal
Mustofa dengan tegas menolaknya. Dalam pidato singkatnya, pada upacara penyambutan
kembali di Pesantren, ia memperingatkan para pengikut dan santrinya agar tetap percaya
pada diri sendiri dan tidak mudah termakan oleh propaganda asing. Ia malah
memperingatkan bahwa fasisme Jepang itu lebih berbahaya dari imperialisme Belanda.

Pasca perpindahan kekuasaan dari Belanda ke Jepang, sikap dan pandangannya itu tidak
pernah berubah. Bahkan, kebenciannya semakin memuncak saja manakala menyaksikan
sendiri kezaliman penjajah terhadap rakyat.

Pada masa pemerintahan Jepang ini, ia menentang pelaksanaan seikeirei, cara memberi
hormat kepada kaisar Jepang dengan menundukkan badan ke arah Tokyo. Ia menganggap
perbuatan itu bertentangan dengan ajaran Islam dan merusak tauhid karena telah
mengubah arah kiblat. Sikap ini pernah ia tunjukkan secara terang-terangan di muka
Jepang. Pada waktu itu, semua alim ulama Singaparna harus berkumpul di alun-alun dan
semua diwajibkan melakukan seikerei. Di bawah todongan senjata, semua ulama terpaksa
melakukan perintah itu, hanya KH. Zaenal Mustofa yang tetap membangkang. Ia juga
mengatakan kepada Kiai Rukhiyat, yang hadir pada waktu itu, bahwa perbuatan tersebut
termasuk musyrik.

Menurutnya, orang-orang musyrik itu tidak perlu ditakuti, apalagi diikuti perintahnya.
Sebaliknya, mereka justeru harus diperangi dan dimusnahkan dari muka bumi. Ia yakin
bahwa dalam Islam hanya Allah Swt lah yang patut ditakuti dan dituruti; Allah Swt selalu
bersama-sama orang yang mau dekat kepada-Nya dan selalu memberikan pertolongan
dan kekuatan kepada orang-orang yang mau berjuang membela agamanya. Ia berprinsip
lebih baik mati ketimbang menuruti perintah Jepang. Keyakinan seperti ini senantiasa
ditanamkan kepada para santrinya dan masyarakat Islam sekitarnya. Ia juga menentang
dan mengecam romusha, pengerahan tenaga rakyat untuk bekerja dengan paksa.

Dengan semangat jihad membela kebenaran agama dan memperjuangkan bangsa, KH.
Zaenal Mustofa merencanakan akan mengadakan perlawanan terhadap Jepang pada
tanggal 25 Pebruari 1944 (1 Maulud 1363 H). Mula-mula ia akan menculik para
pembesar Jepang di Tasikmalaya, kemudian melakukan sabotase, memutuskan kawat-
kawat telepon sehingga militer Jepang tidak dapat berkomunikasi, dan terakhir,
membebaskan tahanan-tahanan politik. Untuk melaksanakan rencana ini, KH. Zaenal
Mustofa meminta para santrinya mempersiapkan persenjataan berupa bambu runcing dan
golok yang terbuat dari bambu, serta berlatih pencak silat. Kiai juga memberikan latihan
spiritual (tarekat) seperti mengurangi makan, tidur, dan membaca wirid-wirid untuk
mendekatkan diri kepada Allah Swt.

Persiapan para santri ini tercium Jepang. Segera mereka mengirim camat Singaparna
disertai 11 orang staf dan dikawal oleh beberapa anggota polisi untuk melakukan
penangkapan. Usaha ini tidak berhasil. Mereka malah ditahan di rumah KH. Zaenal
Mustofa. Keesokan harinya, pukul 8 pagi tanggal 25 Februari 1944, mereka dilepaskan
dan hanya senjatanya yang dirampas.

Tiba-tiba, sekitar pukul 13.00, datang empat orang opsir Jepang meminta agar KH.
Zaenal Mustofa menghadap pemerintah Jepang di Tasikmalaya. Perintah tersebut ditolak
tegas sehingga terjadilah keributan. Hasilnya, tiga opsir itu tewas dan satu orang
dibiarkan hidup. Yang satu orang ini kemudian disuruh pulang dengan membawa
ultimatum. Dalam ultimatum itu, pemerintah Jepang dituntut untuk memerdekakan Pulau
Jawa terhitung mulai 25 Pebruari 1944. Dalam insiden itu, tercatat pula salah seorang
santri bernama Nur menjadi korban, karena terkena tembakan salah seorang opsir.
Setelah kejadian tersebut, menjelang waktu salat Asar (sekitar pukul 16.00) datang
beberapa buah truk mendekati garis depan pertahanan Sukamanah. Suara takbir mulai
terdengar, pasukan Sukamanah sangat terkejut setelah tampak dengan jelas bahwa yang
berhadapan dengan mereka adalah bangsa sendiri. Rupanya Jepang telah mempergunakan
taktik adu domba. Melihat yang datang menyerang adalah bangsa sendiri, Zaenal
Mustofa memerintahkan para santrinya untuk tidak melakukan perlawanan sebelum
musuh masuk jarak perkelahian. Setelah musuh mendekat, barulah para santri menjawab
serangan mereka. Namun, dengan jumlah kekuatan lebih besar, ditambah peralatan lebih
lengkap, akhirnya pasukan Jepang berhasil menerobos dan memorak-porandakan
pasukan Sukamanah. Peristiwa ini dikenal dengan Pemberontakan Singaparna.

Para santri yang gugur dalam pertempuran itu berjumlah 86 orang. Meninggal di
Singaparna karena disiksa sebanyak 4 orang. Meninggal di penjara Tasikmalaya karena
disiksa sebanyak 2 orang. Meninggal di Penjara Sukamiskin Bandung sebanyak 38 orang,
dan yang mengalami cacat (kehilangan mata atau ingatan) sebanyak 10 orang.

Pun, sehari setelah peristiwa itu, antara 700-900 orang ditangkap dan dimasukkan ke
dalam penjara di Tasikmalaya. Sementara itu, KH. Zaenal Mustofa sempat memberi
instruksi secara rahasia kepada para santri dan seluruh pengikutnya yang ditahan agar
tidak mengaku terlibat dalam pertempuran melawan Jepang, termasuk dalam kematian
para opsir Jepang, dan pertanggungjawaban tentang pemberontakan Singaparna dipikul
sepenuhnya oleh KH. Zaenal Mustofa. Akibatnya, sebanyak 23 orang yang dianggap
bersalah, termasuk KH. Zaenal Mustofa sendiri, dibawa ke Jakarta untuk diadili. Namun
mereka hilang tak tentu rimbanya.

Besarnya pengaruh KH Zaenal Mustofa dalam pembentukan mental para santri dan
masyarakat serta peranan pesantrennya sebagai lembaga pendidikan dan pembinaan umat
membuat pemerintah Jepang merasa tidak bebas jika membiarkan pesantren ini tetap
berjalan. Maka, setelah peristiwa pemberontakan tersebut, pesantren ini ditutup oleh
Jepang dan tidak diperbolehkan melakukan kegiatan apapun.

Belakangan, Kepala Erevele Belanda Ancol, Jakarta memberi kabar bahwa KH. Zaenal
Mustofa telah dieksekusi pada 25 Oktober 1944 dan dimakamkan di Taman Pahlawan
Belanda Ancol, Jakarta. Melalui penelusuran salah seorang santrinya, Kolonel Syarif
Hidayat, pada tahun 1973 keberadaan makamnya itu ditemukan di daerah Ancol, Jakarta
Utara, bersama makam-makam para santrinya yang berada di antara makam-makam
tentara Belanda. Lalu, pada 25 Agustus 1973, semua makam itu dipindahkan ke
Sukamanah, Tasikmalaya.

[sunting] Diangkat menjadi pahlawan

Pada tanggal 6 Nopember 1972, KH. Zaenal Mustofa diangkat sebagai Pahlawan
Pergerakan Nasional dengan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No.
064/TK/Tahun 1972.

Maskoen Soemadiredja
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Belum Diperiksa
Langsung ke: navigasi, cari

Maskoen Soemadiredja (lahir di Bandoeng, Jawa Barat, 25 Mei 1907 – meninggal di


Jakarta, 4 Januari 1986 pada umur 78 tahun) adalah pahlawan nasional Indonesia yang
berasal dari Jawa Barat.

Ia adalah putra dari Raden Umar Soemadiredja dan Nyi Raden Umi. Sejak tahun 1927,
Maskoen sudah aktif dalam pergerakan politik untuk berjuang mewujudkan kemerdekaan
negara Indonesia. Karena itu ia bergabung dengan Partai Nasional Indonesia (PNI) yang
dipimpin oleh Ir. Soekarno. Maskoen memegang jabatan sebagai komisaris merangkap
sebagai sekretaris II PNI cabang Bandung. Ia sering melakukan propaganda dengan
menyebarkan prinsip-prinsip nasionalisme dan menggugah semangat rakyat untuk
memperjuangkan kemerdekaan.
Gatot Mangkoepradja
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Belum Diperiksa
Langsung ke: navigasi, cari

Gatot Mangkoepradja (lahir di Sumedang, Jawa Barat, 25 Desember 1898 – meninggal


4 Oktober 1968 pada umur 69 tahun). Ayahandanya adalah dr. Saleh Mangkoepradja,
dokter pertama asal Sumedang.

[sunting] Karier Organisasi dan Politik

Keterlibatan Gatot Mangkoepradja dalam pergerakan nasional diawali ketika ia


bergabung dengan Perhimpunan Indonesia (PI). Ketika Partai Nasional Indonesia (PNI)
berdiri di Bandung pada tanggal 4 Juli 1927, Gatot Mangkoepradja segera
menggabungkan diri dengan organisasi yang dipimpin oleh Ir. Soekarno itu. Akibat
menjunjung tinggi konsep revolusi Indonesia, maka pada tanggal 24 Desember 1929
Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan perintah penangkapan terhadap Gatot
Mangkoepradja dan para pemimpin PNI lainnya. Penangkapan terhadap Gatot
Mangkoepradja baru dapat dilakukan pada tanggal 29 Desember 1929 di Yogyakarta.
Gatot ditangkap bersama-sama dengan Ir. Soekarno. Mereka kemudian dibawa ke
Bandung dan dijebloskan ke Penjara Banceuy.

Pada tanggal 18 Agustus 1930, Gatot Mangkoepradja mulai dihadapkan ke Landraad


Bandung bersama-sama dengan Ir. Soekarno, Maskoen Soemadiredja, dan Soepriadinata.
Mereka dijerat dengan tuduhan Pasal 169 bis dan 153 bis Wetboek van Strafrecht
(KUHP-nya zaman kolonial). Mereka diadili dengan Hakim Ketua: Mr. Siegenbeek van
Heukelom dengan Jaksa Penuntut: R. Soemadisoerja. Peristiwa ini dikenal dengan nama
Indonesia Menggugat.

Pada tanggal 25 April 1931, akibat perpecahan PNI menjadi Partindo dan PNI-Baru,
maka Gatot Mangkoepradja bergabung dengan Partindo karena ia merasa partai ini
mempunyai persamaan ideologi dengan PNI. Namun tak lama, akhirnya ia keluar dari
Partindo karena merasa kecewa dengan Soekarno dan bergabung dengan PNI-Baru
pimpinan Hatta.

Pada masa penjajahan Jepang, Gatot Mangkoepradja yang telah dikenal baik oleh Jepang
diberi wewenang untuk menjalankan Gerakan 3 A yaitu Nippon Pelindung Asia, Nippon
Cahaya Asia, Nippon Pemimpin Asia. Akan tetapi usaha Jepang ini gagal karena Gatot
Mangkoepradja tidak mau kooperatif. Karena penolakan ini maka ia ditahan oleh
Kempeitei.

Setelah keluar dari tahanan, beliau mengajukan usul kepada Jepang untuk membentuk
Tentara Pembela Tanah Air (PETA). Akhirnya pada tanggal 3 Oktober 1943 dibentuklah
secara resmi Pasukan Sukarela Pembela Tanah Air (PETA) melalui Osamu Seirei No. 44
Tahun 1943.

Setelah kemerdekaan Gatot Mangkoepradja kembali bergabung dengan PNI pada tahun
1948. Setahun kemudian ia menjabat Sekretaris Jenderal PNI menggantikan Sabillal
Rasjad yang ditarik ke BP KNIP. Ia meninggalkan PNI pada tahun 1955 karena kecewa
bahwa anggota PNI tidak boleh turut serta dalam organisasi kedaerahan.

Setelah peristiwa Gestapu tahun 1965, Gatot Mangkoepradja menyatakan dirinya masuk
ke Partai IPKI karena partai ini berjuang untuk menyelamatkan Pancasila dari ancaman
komunisme.

Gatot Mangkoepradja meninggal dunia pada tanggal 4 Oktober 1968 dan dimakamkan di
pemakaman umum Sirnaraga, Bandung.

You might also like