You are on page 1of 21

RANGKUMAN

PROGRAM PEMBINAAN KAMTIBMAS DI INGGRIS

Pemerintah pusat memainkan peran kunci di bidang kepolisian di Inggris.


Departemen Dalam Negeri bertanggung jawab atas pengangkatan dan pemberhentian
para staf senior. Para kepala eksekutif diminta menanggapi setiap permintaan akan
laporan yang datang dari Departemen Dalam Negeri, yang juga dapat menyelidiki
setiap permasalahan yang relevan dengan satuan kepolisian, mengeluarkan peraturan
dan membahas permohonan. Ini diperkuat lagi dengan wewenang anggaran atas
komando kepolisian lokal yang dipegang oleh Departemen Dalam Negeri, yang
menyediakan 51 % dana moneter yang dibutuhkan oleh masing-masing komando.
Terdapat pula aspek-aspek desentralisasi administrasi kepolisian dalam bentuk
otoritas kepolisian lokal ( Dewan Kota untuk kepolisian kota London, Sekertariat
Kepolisian Metropolitan London dan komite-komite yang terdiri atas pejabat –
pejabat daerah dan majelis rendah untuk komando propinsi) dan dalam bentuk kepala
eksekutif ( dikenal sebagai kepala sector ) yang mengatur operasi sehari-hari.
Kegiatan kepolisian di Inggris terfokus pada patrol, pencegahan kejahatan dan
pembinaan tanggung jawab (akuntabilitas). Walaupun sebenarnya Inggris barangkali
dapat diletakkan sebagai Negara dalam urutan terakhir yang menyebut Pembinaan
Kamtibmas sebagai strategi baru. Pada saat ini di Inggris Pembinaan Kamtibmas
menjadi topik umum dalam diskusi professional maupun ilmiah tentang strategi dan
inovasi yang terkait dengan kebijakan.
Pada masa lalu Polisi di Inggris dilihat sebagi pekerja sukarela yang tidak
disukai dan digambarkan dan dipersepsikan sebagai penindas. Pada masa itu
kepolisian merupakan sebuah instansi yang stabil ,agak konservatif dalam
penampilan dan lambat menerima perubahan hal ini dimungkinkan karena
kepentingan pribadi tertentu. Namun seiring dengan perjalanan waktu pada abad ke
-19 terdapat beberapa penyesuaian yang dapat dilihat dari beberapa kebijakan
kepolisian di beberapa kota di Inggris yang beralih dari Polisi preventif ke Polisi
Baru yang lebih professional , direkrut dari masyarakat yang dilayaninya dan oleh
para pakar sejarah modern dipersepsi melayani kepentingan suatu kelas yang sejalan
dengan kepentingan hukum dan ketertiban. Di Tahun 1960-an polisi dilihat sebagai
penyedia layanan sosial dan dengan demikian perlu menunjukkan tanggung jawab
kepada masyarakat. Ini diikuti dengan tuntutan untuk melaksanakan restrukturisasi
pengawasan kepolisian untuk membuatnya lebih mampu menanggapi masalah
kejahatan yang terus berkembang.
Fungsi Polisi di tengah masyarakat penuh dengan paradox. Dalam praktek
polisi merupakan lembaga hukum dan menjaga ketertiban perilaku sehari-hari serta
menetukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan masyarakat. Namun dalam pada
itu hukum-hukum ini diatur kalu bukan kepentingan kelas mengkin pula oleh agenda
politik. Polisi seringkali terperangkap dalam ketidak jelasan keinginan masyarakat
yang satu pihak menginginkan polisi netral namun dilain pihak menolak keinginan
untuk berperan dalam mengambil keputusan yang berkenaan dengan gaji dan kondisi
kerja. Lebih dari itu polisi dalam menegakkan hukum seringkali melakukan
pekerjaan kotor untuk masyarakat, aparat kepolisian seringkali endapat hambatan
dari masyarakat disaat mereka seharusnya mendukung tugas polisi.
Aparat kepolisian di Inggris dapat dikelompokkan kedalam citra-citra yaitu
citra konservatif dimana polisi adalah pelindung bagi tatanan masyarakat yang
berbeda-beda namun syah. Citra liberal, dimana efisiensi kinerja mempertimbangkan
kebebasan individu dan disisi Citra Radikal dimana polisi mewakili suatu tatanan
masyarakat yang represif. Dibalik ini terdapat penalaran tersembunyi tantang
pembinaan kamtibmas yang mendukung peran serta yang lebih besar sebagai prinsip
hubungan dan kinerja yang lebih baik.
Sama seperti di Negara lain, di Inggris program pembinaan kamtibmas datang
dari tekanan praktis seperti keluhan masyarakat, persepsi peningkatan kecemasan
terhdap kejahatan, keterbatsan dana, dan berbagai kerusuhan dan kekacauan di akhir
1970-an dan awal 1980-an terutama di Brixton. Studi antara kontak polisi dan
masyarakat terutama kontak langsung menyatakan adanya permasalahan dan sulit
ditangani oleh polisi menemukan bahwa faktor keorganisasian berperan dalam
ketidakmampuan polisi dalam melaksanakan tugas dengan baik. Alderson menilai
keberhasilan polisi dalam masyarakat ditandai bukan dari efisiensi dalam melakukan
penangkapan, pengelolaan penjara, dan kerasnya hukuman tetapi sebagian besar oleh
berkurangnya keterkaitan dengan sanksi kejahatan yang melindungi tatanan sosial
dan terlebih lagi dengan gagasan-gagasan inovatif untuk mencegah kejahatan.
Dalam pandangan Alderson pembinaan kamtibmas menawarkan kontrak sosial
kepada pihak kepolisian di inggris untuk memperbaiki keseimbangan antara
kepolisian dan masyarakat, karenanya ia mendukung dewan pembinaan kamtibmas,
bekerjasama dengan banyak pihak dan pembinaan kamtibmas yang ditunjuk untuk
lokasi tertentu. Ada sepuluh prinsip Alderson tentang pembinaan kamtibmas dalam
masyarakat ideal yang bersifat bebas, murah hati, dan senang berperan serta :
1. Memberikan kontribusi terhadap kebebasan,kesejajaran dan persaudaraan
dalam masalah kemanusiaan
2. Membantu mempertemukan kebebasan dengan keamanan dan
mempertahankan tegaknya hukum
3. Menjunjung martabat manusia dengan mempertahankan dan menjaga hak
asasi manusia dan mengejar kebahagiaan
4. Membina kepemimpinan dan peran serta dalam menghapus kondisi sosial
yang rawan kejahatan melalui tindakan sosial bersama
5. Memberikan kontribusi kearah terciptanya dan terpeliharanya
kepercayaan di dalam masyarakat
6. Memperkuat keamanan jiwa dan harta benda, serta rasa aman bagi setiap
orang
7. Menyelidiki, mendeteksi dan melaksanakan penuntutan atas tindak
kekerasan sesuai hukum
8. Menciptakan kebebasan ,melintas dan bergerak di jalan-jalan raya,
jalanan kampung , gang, dan tempat-tempat terbuka untuk umum
9. Mencegah terjadinya kekacauan
10. Menangani krisis besar maupun kecil dan membantu dan memberikan
saran kepada mereka yang mengalami musibah , jika perlu dengan
enggerakkan instansi lain.

Pernyataan Alderson diatas yang menjadi tonggak penting dalam khasanah


pembinaan kamtibmas di Inggris. Pandangan Alderson itu mendapat penyempurnaan
dari Schaffer yang mengajak untuk melihat keterlibatan polisi dalam pencegahan
kejahatan sebagai satu dimensi saja dari upaya meningkatkan kualitas hidup,
dibutuhkan kerjasama yang lebih erat antara semua instansi dan warga yang terkait
dalam pencapaian kualitas hidup . Menurut Butcher meski pencegahan kejahatan
secara total adalah mustahil, masih cukup beralasan untuk mengharapkan bahwa
polisi dapat berupaya lebih baik, daripada yang sudah-sudah dan kepolisian dapat
melakukannya dengan lebih mengandalkan sumberdaya lingkungan.
Karena tuntutan akan perubahan akan pasti datang baik dari pihak kepolisian
maupun masyarakat, berbagai reorganisasi structural kepolisian inggris telah
berjalan untuk mempertemukan antara teori dengan praktek. Ada bebrapa inovasi
yang dilakukan dalam persiapan organisasi untuk menghadapi perubahan sikap baik
dipihak kepolisian maupun masyrakat yaitu diperkenalkan perencanaan nasional
kedinamisan dan pengutamaan pentingnya meraih keberhasilan yang menjadi ciri
khas kepolisian, secara bersamaan mengutamakan program pembinaan kamtibmas
dengan berangsur-angsur mengendorkan fungsi tradisional kepolisian yang
menggunakan kekuatan dalam menangani konflik.

Program Polisi Lingkungan di Inggris

Berbagai jenis kegiatan yang dilakukan oleh polisi Inggris untuk membuat
polisi lebih dekat dengan masyarakat dapat dilihat dari beberapa kegiatan yang
dilakukan antara lain : Kampanye Kehumasan, Program Pengawasan Kampung,
Asosiasi keamanan masyarakat, Upaya Konsultatif berdasarkan mandat peraturan
khusus, kerjasama dengan berbagai pihak Proyek kepolisian sektoral yaitu Patroli
berwawasan masyarakat.
Pada awalnya Departemen dalam negeri memperkenalkan kepolisian sektoral
dengan membentuk tim gabungan antara polisi sector, patrol bermobil, dan reserse
setempat. Akan tetapi seiring dengan perjalanan waktu strategi ini tidak dapat
berjalan baik dan kurang memberi harapan. Maka terdapat beberapa usulan untuk
mengaktifkan lagi Patroli jalan kaki yang selama itu ditinggalkan. Sebuah
pengamatan mengenai kesukaran kontak langsung antara polisi dan masyarakat
mebuktikan faktor – faktor organisasi polisi sebagai penyebab kurangnya layanan
masyarakat yang efektif. Polisi lebih memikirkan kepuasan atasan , sangat
kekurangan informasi karena tidak memiliki system control radio yang efektif,
koordinasi dukungan jauh dari cukup dan lebih mementingkan pendekatan penegakan
hukum dibanding memberikan layanan jasa sosial.
Di Yorkshire para personil polisi dilatih untuk memberikan pelayanan
kepolisian di suatu wilayah yang memiliki penyakit masyarakat dan ketegangan
paling tinggi namun program pencegahan kejahatan tidak dapat mencapai
keberhasilan yang tinggi. Sementara itu banyak kritik atas program pengawasan
kampung yang dianggap punya potensi menjadikan polisi terlalu bebas untuk
melaksanakan peraturan dan pemberantasan kejahatan sehingga dapat mendorong
terciptanya Negara Polisi. Beberapa program pengawasan kampung gagal akibat
kurang bagusnya pelaksanaan. Kegagalan pencegahan kejahatan itu terjadi
disebabkan lemahnya relevansi praktis dari teori pencegahan kejahatan dan
kurangnya kesadaran masyarakat terhadap pencegahan kejahatan. Masalah ini
menjadi pelik karena hal itu mengalihkan tugas penjagaan harta benda dari polisi ke
masyarakat.
Upaya pencegahan kejahatan dengan carakampanye tidak berhasil
menghimbau masyarakat untuk menjaga harta bendanya dan tidak membawa dampak
penurunan tingkat kejahatan. Evaluasi pelaksanaan kampanye menyimpulkan bahwa
hal itu tidak mengubah persepsi masyarakat tentang resiko dan kecilnya ancaman
terhadap pelaku justeru akan merubah modus operandi baru karena modus yang lama
sudah diketahui dan disampaikan ke masyarakat.
Program pencegahan kamtibmas yang berjalan sukses adalah program Kirkholt
di Manchester. Upaya pencegahan kejahatan di wilayah itu ditujukan pada penurunan
angka pencurian di komplek pemukiman. Program ini mula-mula mengumpulkan data
tentang pola kejahatan dan kemudian menerapkan langkah-langkah pencegahan untuk
meningkatkan keamanan rumah, menghapus meteran bensin system koin, menandai
property, dan merancang pelaksanaan ronda malam dalam skala kecil yang meliputi
korban pencurian terlebih dahulu dan para tetangganya. Program ini melaksanakan
kerja sama dengan berbagai pihak dengan menghubungi biro-biro sosial dan
perusahaan peralatan. Evaluasi program terdapat penurunan pencurian di perumahan
walau tidak disertai pertimbangan tentag pengalihan sasaran. Satu kesamaan antara
program Kirkholt dan Yorkshire adalah pendekatan menyeluruh yang tidak bertumpu
pada upaya seorang polisi yang bertugas di suatu waktu.
Kepolisian di Inggris dan Wales mengalami berbagai perubahan organisasi
yang membawa perampingan sampai sepertiga hingga 43 %. Meski sentralisasi ini
membawa resiko bagi otonomi daerah dan bertentangan dengan salah satu prinsip
pembinaan kamtibmas namun didalamnya juga ada rancangan yang lebih baik untuk
menanggapi keluhan masyarakat melalui badan-badan seperti kantor urusan
kepolisian daerah atau bagian keluhan satuan-satuan kepolisian. Selain itu pula ada
keunggulan berupa menjalin kerjasama dengan berbagai pihak. Jelas bahwa
hubungan dengan masyarakat mencakup hal-hal seperti kehumasan, masalah remaja,
layanan pendidikan, hubungan ras, dan bantuan bagi penyandang cacat dan
karenanya menuntut kerjasama dengan instansi lain yang menyediakan jasa sosial
dan jasa yang diperlukan lainnya.
Aspek lain kerjasama dengan banyak pihak disodorkan melalui peraturan
pemerintah yang berorientasi pembinaan kamtibmas. Peraturan itu menggariskan
agar setiap pemerintahn daerah membentuk kelompok hukum yang terdiri atas
anggota majelis rendah, anggota parlemen daerah , wakil dari biro-biro hukum,
aparat kepolisian dan warga masyarakat, Komite itu dikenal dengan Komite
Penasehat Kepolisian. Diharapkan bukan saja forum diskusi masalah kepolisian saja
tetapi pla merencanakan masa depan kepolisian. Dengan kehadiran masyarakat yang
begitu jelas , kepolisian menyerahkan sebagaian kewenangan organisasinya ditukar
dengan peran dari perwakilan masyarakat.
Dalam paruh kedua dasawarsa tahun 1980-an dipahami benar bahwa interaksi
denga warga masyarakat mengharuskan aparat memadukan pendekatan hubungan
kemanusiaan dengan kecakapan dan perangkat teknologi. Karenanya sebagian
tantangan dari kepolisian modern di bidang pelatihan muncul secara langsung dari
persepsi pejabat kepolisian dan jenis kebijakan yang mereka terapkan dalam kaitan
jenis pelayanan yang diberikan oleh kepolisian, sebagai contoh aparat dilatih untuk
spesialis atau generalis dan apakah menitikberatkan dari segi penegakan hokum
ataukah layanan sosial.. Namun samapai akhir tahun 1985 polisi Pembina kamtibmas
tidak cukup mendapat pelatihan untuk mendukung keterampilan yang diharapkan
dari mereka.
Walupun program pembinaan kamtbmas dianggap bermutu dan pencegahan
kejahatan sangat danjurkan namun dalam evaluasi prestasi dan kenaikan pangkat
tetap mengutamakan perilaku penegakan hokum. Penafsiran dimana usulan idealistis
pembinaan kamtibmas menjadi realitas yang hidup ditengah perkembangan
masyarakat. Di Inggris salah satu kunci yang direkomendasikan bagi program
pembinaan kamtibmas adalah desentralisasi, namun satuan kepolisian yang
tersentralisasi menghadapi kecenderungan kearah pengawasan yang lebih terpusat
lagi sebagian Karen apengaruh Departemen dalam negeri sebagian lagi karena ulah
Asosiasi Aparat Tinggi Kepolisian. Masih layak dipertanyakan apakah kesenjangan
itu dibiarkan berlanjut tanpa menghalangi tercapainya tujuan masing-masing atau
apakah sentralisasi satuan kepolisian masih memungkin terjadinya desentralisasi
pelayanan kepolisian di Inggris.. Pada akhirnya hal ini tidak terlepas dari struktur
komando dalam hal sentralisasi , yang lebih penting adalah besarnya otonomi yang
dimiliki aparat kepolisian di sektornya.

KEBIJAKAN PEMBINAAN KAMTIB M AS DI INDONESIA


(Sebagai Bahan Perbandingan dengan Pembinaan Kamtibmas di Inggris)

I. Kebijakan dan Strategi Polri


Program pembinaan kamtibmas yang dilakukan di Indonesia sebagian besar
tertuang dalam Kebijakan dan Strategi Kapolri Tahun 2005 – 2010 yang terdiri
dari :

1. Kebijakan Di bidang Pembangunan Kekuatan.


Pembangunan kekuatan Polri diarahkan untuk meningkatkan kemampuan
operasional satuan kewilayahan, agar mampu memberikan perlindungan,
pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat, serta memelihara Kamtibmas
dan menegakkan hukum secara profesional. Sejalan dengan Kebijakan
tersebut, strategi pembangunan kekuatan Polri dilaksanakan melalui langkah-
langkah sebagai berikut :
a. Melanjutkan terlaksananya desentralisasi kewenangan operasional dan
pembinaan kesatuan kewilayahan, sehingga dapatdirealisasikan Polda
sebagai kesatuan yang memiliki kewenanganpenuh, Polres sebagai basis
pelayanan masyarakat, dan Polsek sebagai ujung tombak operasional
yang langsung mengendalikananggotanya di lapangan sebagai pengemban
diskresi kepolisian.
b. Mengembangkan kuantitas anggota Polri untuk mencapai ratio
perbandingan Polri dengan penduduk 1 : 500. Pengembangan jumlah
personel Polri tersebut diarahkan untuk mengisi pemekaran Satuan-satuan
Kewilayahan, dan Satuan Kewilayahan tertentu sesuai dengan tantangan
tugas yang dihadapi.
c. Melanjutkan pembangunan Satuan Kewilayahan, terutama pada tingkat
Polres dan Polsek diselaraskan dengan pengembangan administrasi
pemerintahan daerah, dan wilayah perbatasan serta perairan.
d. Secara bertahap melanjutkan pembangunan kemampuan fungsi teknis
pendukung di satuan-satuan kewilayahan, meliputi : fungsi teknis
laboratorium forensik, kedokteran forensik dan identifikasi guna
meningkatkan profesionalisme Polri dalam penyidikan.
e. Menggelar sistem jaringan elektronik ”E-Polri” guna meningkatkan
kemampuan operasional, utamanya dalam kecepatan pemberian pelayanan
masyarakat, peningkatan keamanan, kecepatan penyampaian informasi,
serta untuk peningkatan dan efisiensi dalam bidang pembinaan di jajaran
Polri.

2. Kebijakan Di bidang Operasional.


Kebijakan di bidang operasional diarahkan agar terpeliharanya Kamtibmas,
tegaknya hukum serta meningkatnya kualitas perlindungan, pengayoman dan
pelayanan masyarakat, guna terwujudnya Kamdagri. Sejalan dengan
kebijakan tersebut, strategi yang diterapkan lebih mengedepankan langkah-
langkah pre-emtif dan preventif. Dengan demikian diharapkan setiap
permasalahan yang muncul ditengah-tengah masyarakat, secara dini dapat
dideteksi dan diselesaikan, agar tidak berkembang menjadi lebih besar dan
mengganggu stabilitas Kamtibmas. Terhadap gangguan keamanan yang terjadi
ditangani sesuai ketentuan hukum yang berlaku serta dilaksanakan secara
tegas, konsisten, obyektif dengan menjunjung tinggi HAM, sehingga
menjamin adanya kepastian hukum dan rasa keadilan. Penerapan strategi
tersebut antara lain :

a. Meningkatkan pemeliharaan Kamtibmas dengan mengedepankan pre-emtif


dan preventif, sedangkan penegakan hokum dilaksanakan sebagai upaya
untuk menimbulkan dampak jera yang memiliki daya prevensi.

1) Secara konsisten menerapkan program Community Policing, dalam


rangka meningkatkan pemberdayaan peran serta masyarakat dalam
mengamankan diri dan lingkungannya, serta mengeliminir dan
menyelesaikan permasalahan yang muncul ditengah masyarakat.
2) Meningkatkan kehadiran petugas ditengah-tengahmasyarakat dalam
rangka mencegah munculnya gangguan Kamtibmas, sehingga terwujud
ketentraman di dalam masyarakat.
3) Meningkatkan kecepatan Polri dalam menangani permasalahan
gangguan Kamtibmas yang muncul dan dilaporkan oleh masyarakat
(Quick Respons).
4) Menindak secara tegas dan konsisten :
a) Kejahatan yang merugikan kekayaan negara, meliputi : korupsi,
illegal logging, illegal mining, penyelundupan, dan pencurian
kekayaan alam lainnya.
b) Kejahatan yang berdampak luas terhadap masyarakat, antara lain :
meliputi kejahatan narkoba dan perjudian yang merambah
ditengah-tengah masyarakat.
c) Kejahatan yang meresahkan masyarakat dengan prioritas kepada
street crime dan banditisme.
d) Segala bentuk pelanggaran lalu lintas yang mengakibatkan ketidak
tertiban, kemacetan dan kecelakaan lalu lintas, guna meningkatkan
keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas, sekaligus
mengangkat citra Polri di jalan raya.
Untuk menjamin efektivitas penanganan kejahatan dan pelanggaran
tersebut, dilaksanakan secara terpadu dengan instansi terkait.
5) Penegakan hukum dilaksanakan secara profesional dan proporsional,
tegas, tidak diskriminatif, transparan dan akuntabel serta
meningkatkan kerjasama antar penegak hukum Criminal Justice
System (CJS).
6) Meningkatkan kemampuan fungsi teknis pendukung, meliputi : fungsi
teknis laboratorium forensik, kedokteran forensik dan identifikasi,
serta secara bertahap melengkapi satuan kewilayahan dengan
kemampuan fungsi teknis pendukung tersebut.
7) Meningkatkan kemampuan dan peran Penyidik Pegawai Negeri Sipil
(PPNS).
8) Memperkuat kerja sama Internasional dalam wadah ASEANAPOL dan
Interpol untuk memberantas Transnational Crime.

b. Menggelar kekuatan Polri di wilayah perbatasan, dalam rangka


mengamankan wilayah perbatasan dan mencegah kejahatan lintas batas,
antara lain dengan :
1) Menambah dan memperkuat Satuan Kepolisian dan Pos-Pos perbatasan
yang telah ada.
2) Meningkatkan patroli udara dan patroli perairan secara terpadu.

c. Melaksanakan pencegahan, penanggulangan separatisme dan konflik yang


terjadi di beberapa wilayah di Indonesia.
1) Menindak secara tegas sesuai hukum yang berlaku terhadap para
pelakunya, dengan tetap menghormati HAM serta hak-hak masyarakat
sipil.
2) Mendorong dan meningkatkan kerjasama dengan instansi terkait dan
lembaga kemasyarakatan :
a) Upaya penyadaran kepada warga masyarakat yang terpengaruh
gerakan separatis dan konflik.
b) Mencari solusi terhadap akar masalah yang menjadi penyebab
munculnya gerakan separatis dan konflik yang terjadi.
3) Dalam rangka penegakan hukum menjalin hubungan kerjasama dengan
negara tempat domisili/pelarian bagi para tokoh-tokoh separatis
melalui Departemen Luar Negeri.
4) Meningkatkan operasi penegakan hukum di wilayah konflik, guna
menjamin keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

d. Meningkatkan pencegahan dan penindakan gerakan terorisme melalui :


1) Meningkatkan kerja sama antar pengemban fungsi Intelijen dalam
rangka pertukaran informasi.
2) Meningkatkan kemampuan intelijen Kepolisian dengan dukungan
Teknologi Informasi.
3) Menggalang kebersamaan dengan tokoh-tokoh masyarakat guna
menumbuh kembangkan kesadaran dalam memerangi terorisme.
4) Melanjutkan pengembangan unit-unit penindak anti teroris di daerah.
5) Secara intensif memburu kelompok dan otak teroris yang belum
tertangkap.
6) Meningkatkan kerja sama internasional dalam penanggulangan
terorisme.
7) Melakukan pembinaan di daerah yang potensial, guna mencegah
tumbuhnya terorisme.
8) Mendorong dibenahinya sistem administrasi kependudukan ke arah
single number identification dalam rangka meningkatkan sistem
keamanan.

e. Meningkatkan pelayanan administrasi kepada masyarakat, dilakukan


dengan upaya :
1) Memperbaiki dan mengembangkan sistem pelayanan yang bersifat
administratif kepada masyarakat, denganmenyederhanakan prosedur
dan mempercepat waktu pelayanan.
2) Mengeliminir terjadinya penyimpangan yang membebani masyarakat
yang membutuhkan pelayanan Polri.
f. Menjalin kerja sama dengan lembaga kemasyarakatan / LSM dalam
kapasitasnya sebagai sosial control, guna peningkatan pelayanan
masyarakat.

g. Meningkatkan kemampuan dan kecepatan penanganan musibah dan


bencana alam dalam skala luas dan besar, bersama-sama dengan instansi
terkait lainnya.

h. Menempatkan SLO/LO Polri di negara-negara tertentu, dengan berpegang


pada azas kebutuhan, efisiensi dan timbal balik (reciprochal).

3. Kebijakan Di bidang Sumber Daya Manusia.


Kebijakan di bidang pembinaan Sumber Daya Manusia diarahkan pada
peningkatan kualitas dan kuantitas SDM serta soliditas organisasi Polri,
melalui strategi :
a. Melanjutkan upaya rekruitment personil Polri golongan Bintara
dilaksanakan dengan memperhatikan kondisi calon di berbagai daerah,
menuju kepada penerapan prinsip ”Lokal Boy for the Lokal Job”. Sedang
untuk golongan Perwira penugasannya tidak terkait kepada daerah asal,
tapi diarahkan dalam rangka memperluas wawasan, meningkatkan rasa
kebangsaan serta mempersiapkan sebagai kader pimpinan.

b. Peningkatan kualitas pendidikan Polri diprioritaskan pada kualitas calon


siswa, tenaga pendidik dan kurikulum yang sesuai dengan tujuan
pendidikan, dilaksanakan :
1) Proses seleksi secara transparan, obyektif, dan melibatkan pihak luar
untuk membantu mengawasi pelaksanaannya, serta menghindari segala
bentuk intervensi.
2) Penempatan personil Polri yang berprestasi dan memiliki integritas
moral yang tinggi sebagai tenaga pendidik, serta menetapkan jabatan
tenaga pendidik sebagai jabatan promosi.
3) Penyusunan kurikulum diarahkan agar mampu membentuk anggota
Polri yang profesional, terpuji dan patuh hukum.

c. Pembinaan karir personil Polri dilaksanakan secara obyektif, adil dan


didasarkan atas ketentuan yang berlaku, dengan mempertimbangkan :
Moral, kemampuan, prestasi, pendidikan, senioritas tanpa mengorbankan
kualitas.

d. Memelihara dan meningkatkan profesionalisme Kepolisian baik


perorangan maupun satuan, dengan melanjutkan program pendidikan dan
pelatihan yang dilakukan :
1) Secara internal maupun eksternal melalui kerja sama dengan pihak
dalam dan luar negeri.
2) Secara simultan disela-sela pelaksanaan tugas.
3) Dengan memanfaatkan teknologi pendidikan.

e. Meningkatkan upaya merubah kultur anggota Polri menuju Polisi


berwatak sipil yang mampu melindungi, mengayomi dan melayani
masyarakat, melalui :
1) Pembenahan sistem pendidikan Polri.
2) Keteladanan setiap unsur pimpinan di setiap strata jabatan Polri dalam
sikap dan perilaku terpuji.
3) Penerapan Reward and Punishment secara konsisten, obyektif dan adil.
4) Mensosialisasikan nilai-nilai yang terkandung dalampemaknaan Tri
Brata dan Catur Prasetya serta Kode Etik Kepolisian.

5. Kebijakan Di bidang Materiil, Fasilitas dan Jasa.


Kebijakan di bidang Materiil, fasilitas dan jasa diarahkan agar senantiasa siap
dalam mendukung keberhasilan tugas-tugas Polri. Penerapan strategi antara
lain sebagai berikut :
a. Melaksanakan debirokratisasi sistem dukungan materiil, fasilitas dan jasa
melalui pendelegasian wewenang ke kesatuan wilayahsesuai dengan
ketersediaan materiil, fasilitas dan jasa yang ada di wilayah tersebut.
b. Pengadaan material, fasilitas dan jasa diprioritaskan untuk; memenuhi
kebutuhan pengamanan perbatasan, daerah rawan,daerah terpencil,
peningkatan kemampuan fungsi teknis pendukung operasional, pemenuhan
perumahan dinas dan markas. Upaya-upaya yang dilaksanakan
antara lain :
1) Pengadaan transportasi darat, laut dan udara untuk; patrol antar pulau
dan wilayah perbatasan, pengejaran pelaku kejahatan, penanganan
bencana alam, angkutan pasukan dan penanggulangan kejahatan.
2) Pembangunan markas Satuan kewilayahan baru (pemekaran) dan Pos-
Pos Kepolisian di wilayah perbatasan.
3) Pengadaan peralatan fungsi teknis pendukung, meliputi Laboratorium
Forensik, Kedokteran Forensik dan Identifikasi Kepolisian disesuaikan
dengan kebutuhan.

c. Meningkatkan pemeliharaan dan perawatan terhadap seluruh materiil dan


fasilitas yang dimiliki, agar selalu dalam kondisi siap pakai untuk
mendukung keberhasilan tugas-tugas Polri.
d. Meningkatkan ”kualitas inventory control” agar setiap asset negara
terjamin keberadaan dan penggunaannya untuk mendukung pelaksanaan
tugas.
e. Meningkatkan pengawasan untuk mencegah penyimpangan dan pemborosan
dalam proses pengadaan, penyimpanan, pendistribusian, pemeliharaan dan
penghapusan.

5. Kebijakan Di Bidang Manajemen.


Kebijakan di bidang manajemen diarahkan agar seluruh proses manajemen
dapat berjalan disetiap unit organisasi secara efektif dan efisien. Penerapan
strategi antara lain sebagai berikut :
a. Menyempurnakan sistem perencanaan Polri agar selaras dengan PP No. 21
tahun 2004 yang berorientasi pada ”penganggaran berbasis kinerja” dan
menjamin transparansi serta akuntabilitas sebagai bagian dari lembaga
pemerintahan.
b. Sejalan dengan Kebijakan desentralisasi kewenangan, pelaksanaan tugas
operasional Kepolisian di dorong agar sejauh mungkin dapat di selesaikan
oleh satuan kewilayahan.
c. Modernisasi peralatan Polri dilaksanakan dengan memperhatikan daya
guna yang tinggi untuk mendukung tugas Polri, serta kesinambungan dan
kemudahan dalam pengoperasiannya.
d. Meningkatkan ”kualitas dan frekuensi penyelenggaraan pengawasan
melekat dan pengawasan fungsional” untuk menjamin pencapaian sasaran
perencanaan dan pencegahan kebocoran keuangan negara.
e. Mengkaji dan menyempurnakan :
1) Struktur organisasi Polri, agar mampu menjamin tergelarnya sebagian
besar kekuatan dan kemampuan Polri pada Polres dan Polsek, tanpa
mengabaikan prinsip efektifitas dan efisiensi.
2) Penerimaan Calon Taruna Akpol bersumber dari Sarjana (S1). Dengan
tujuan untuk lebih meningkatkan kualitas Perwira lulusan Akpol.
3) Jenjang kepangkatan di Kepolisian untuk meningkatkan kesejahteraan
dan kualitas pengabdian dalam rangka effisiensi dan effektivitas tugas.
4) Berbagai sistem dukungan logistik, keuangan dan perencanaan
anggaran melalui kemajuan teknologi, agar proses penyalurannya dapat
langsung kepada petugas di lapangan.

II. Konsep Polmas Indonesia


Kemudian untuk lebih mendayagunakan kemitraan antara polisi dan masyarakat
dalam membantu tugas operasional kepolisian yang tertuang dalam kebijakan
dan strategi Polri diatas. Polri telah menetapkan kebijakan Polmas yang
disesuaikan dengan kondisi dan situasi masyarakat Indonesia, adapun konsep
Polmas yang diterapkan adalah sebagai berikut :
1. Pengertian
a. Konsep mencakup 2 unsur : Perpolisian dan masyarakat , dimana
Perpolisian /policing adalah segala hal ikhwal tentang penyelenggaran
fungsi kepolisian dalam hal ini tidak hanya menyangkut
operasionalisasi fungsi kepolisian tetapi pula pengelolaan fungsi
kepolisian secara menyeluruh dari manajemen puncak sampai
manajemen lapis bawah termasuk pemikiran filsafati yang
melatarbelakanginya.
b. Masyarakat/Community dalam konteks Polmas berarti :
1) Warga masyarakat atau komunitas yang berada di dalam suatu
wilayah kecil yang jelas batas-batasnya. Batas wilayah komunitas
itu didasarkan keunikan karakteristik geografis dan sosial dari suatu
lingkungan dan terutama keefektifan pemberian layanan kepada
warga masyarakat. Wilayah itu dapat berbentuk RT,RW, desa,
kelurahan, atau pusat perbelanjaan/mall, kawasan industri,
kompleks olahraga, stasiun , dan lain-lain
2) Dalam pengertian yang lebih luas masyarakat dalam pendektan
Polmas diterapkan juga bisa meliputi sekelompok orang yang hidup
dalam suatu wilayah yang lebih luas seperti kecamatan bahkan
kabupaten/kota sepanjang mereka memiliki kesamaan kepentingan
c. Sebagai suatu strategi Polmas berarti model perpolisian yang
menekankan kemitraan yang sejajar antara petugas Polmas dengan
masyarakat lokal dalam menyelesaikan dan mengatasi setiap
permasalahan sosial yang mengancam keamanan dan ketertiban
masyarakat serta ketentraman kehidupan masyarakat setempat dengan
tujuan untuk mengurangi kejahatan dan rasa ketakutan terhadap
kejahatan serta meningkat taraf hidup masyarakat setempat.
d. Polmas pada dasarnya sejalan dengan nilai-nilai yang terkandung
dalam konsep Pamswakarsa yang dalam pengembangannya ke-kini-an
penyelenggaraan fungsi kepolisian dalam masyarakat madani, sehingga
tidak semata-mata merupakan pengadopsian dari konsep Community
Policing
e. Polmas pada haekatnya mengandung 2 unsur utama yaitu membangun
kemitraan antara polisi - masyarakat dan menyelesaikan berbagai
masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat lokal.
f. Sebagai suatu falsafah Polmas mengandung makna suatu model
perpolisian masyarakat yang menekankan hubungan yang menjunjung
nilai social/kemanusian dan menampilkan sikap santun dan saling
menghargai antara polisi dan warga dalam rangka menciptakan kondisi
yang menunjang kelancaran penyelenggaraan fungsi kepolisian dan
peningkatan kualitas hidup masyarakat.

2. Perwujudan Polmas
a. Model Polmas dapat mengambil bentuk : Model wilayah yang
mencakup satu atau gabungan beberapa area/kawasan pemukiman dan
Model Kawasan yaitu satu kesatuan area kegiatan bisnis dengan
pembatasan yang jelas.
b. Pembentukan Polmas mempersyaratkan : adanya petugas Polmas,
Model Kawasan empesyaratkan adanya Pos (Balai), adanya sutau
forum kemitraan yang keangotaannya mencerminkan keterwakilan seua
unsur dalam masyarakat.
c. Perwujudan Polmas sebagai suatu falsafah merasuk dalam sikap dan
perilaku seiap anggota Polri yang mencerminkan pendekatan
kemanusiaan baik dalam pelaksanaan tugas pelayanan kepolisian
maupun dalam kehidupan sosialkemasyarakatan.

3. Prinsip Operasionalisasi Polmas


a. Prinsip-prinsip operaionalisasi Polmas meliputi : Transparansi dan
akuntabilitas, Partisipasi dan Kesetaraan, Personalisasi, Penugasan
permanen, Desentralisasi dan Otonomisasi.
b. Keefektifan operasionalisasi Polmas ditentukan oleh hal-hal sebagai
berikut :
1) Perubahan pendekatan manajerial yang meliputi :
a) Kapolsek bertanggungjawab untuk menunjang keberhasilan
pelaksanaan tugas Polmas
b) Kapolres beserta staf terkait bertanggungjawab untuk
memperoleh dan menyediakan sumbe daya dan dukungan yang
diperlukan untuk pemecahan masalah
2) Perubahan persepsi di kalangan segenap anggota kepolisian
setempat bahwa masyarakat adalah stakeholder bukan saja kepada
siapa polisi memberikan layanan tetapi juga kepada siapa mereka
bertanggung jawab
3) Pelaksanaan tugas setiap anggota satuan fungsi operasional Polri
harus dijiwai dengan semangat “melayani dan melindungi” sebagai
suatu kewajiban profesi
4) Kerjasama dan dukungan pemerintah daerah dan DPRD serta
segenap komponen yang terkait yaitu instansi pemerintah terkait,
pengusaha, lembaga –lembaga sosialkeasyarakatan ( LSM ) dan
Media Massa ( elektronik dan cetak )

PERBANDINGAN KONSEP COMMUNITY POLICING INGGRIS


DAN KONSEP POLMAS INDONESIA

KONSEP COMMUNITY POLICING


KONSEP POLMAS
NEGARA INGGRIS
1. Fokus melaksanakan pencegahan 1. Fokus upaya menyelesaikan dan
kejahatan di lingkungan mengatasi setiap permasalahan
masyarakat lokal, berupa kegiatan sosial yang mengancam keamanan
antara lain : Kampanye dan ketertiban masyarakat serta
Kehumasan, Program Pengawasan ketentraman kehidupan masyarakat
Kampung, Asosiasi keamanan setempat dengan tujuan untuk
masyarakat, Upaya Konsultatif mengurangi kejahatan dan rasa
berdasarkan mandat peraturan ketakutan terhadap kejahatan serta
khusus, kerjasama dengan berbagai meningkat taraf hidup masyarakat
pihak Proyek kepolisian sektoral setempat, berupa kegiatan,antara
yaitu Patroli berwawasan lain : Pemberdayaan masyarakat
masyarakat. untuk menjalankan
Sispamswakarsa lingkungan
,deteksi dini, penyelesaian
pertikaian antar warga dan
menerima saran / keluhan
masyarakat.
2. Prinsip : Kebebasan,kesejajaran
dan persaudaraan dalam masalah 2. Falsafah: Menekankan hubungan
kemanusiaan serta menjunjung yang menjunjung nilai
martabat manusia dengan sosial/kemanusian dan
mempertahankan dan menjaga hak menampilkan sikap santun dan
asasi manusia dan mengejar saling menghargai antara polisi
kebahagiaan. dan warga dalam rangka
menciptakan kondisi yang
menunjang kelancaran
penyelenggaraan fungsi kepolisian
3. Masyarakat tidak mengerjakan dan peningkatan kualitas hidup
pekerjaan polisi, Hanya polisi masyarakat.
langsung yang melaksanakan tugas
kepolisian di wilayah layanannya 3. Petugas Polmas bersama-sama
masyarakat merencanakan dan
4. Dukungan anggaran dari melaksanakan tugas kepolisian
Departemen Dalam Negeri melalui terbatas
otoritas kepolisian lokal
4. Dukungan alokasi anggaran untuk
5. Kebijakan kepolisian dalam operasionalisasi Polmas
menerapkan CP di wilayahnya memperoleh bantuan dari
berasal dari Komite Penasehat Pemerintah Daerah.
Polisi
5. Kebijakan implementasi Polmas
dari tingkat pusat ( Mabes Polri )
dan pelaksanaannya bersifat
otonom oleh masing-masing
Polres/Polsek

NAMA – NAMA ANGGOTA KELOMPOK 2 BINKAM


( No.. Absen 20-40 )

NO. NAMA NO. MHSW KETERANGAN


1. NANY HARTATI PRIBADI 6469 Sekertaris
2. SHARLY SOLLU 6477 Anggota
3. ANDIKO WICAKSONO 6480 Anggota
4. LEO DEDY, SH 6488 Anggota
5. SEPTIANA DWI ROHANI 6491 Anggota
6. DOLLY GUMARA 6496 Ketua
7. ENDON NURCAHYO 6513 Anggota
8. TRI SURYANTI 6517 Anggota
9. ERWIN ARDIYANSYAH 6520 Anggota
10. MIFTA HADI SAFI’I 6536 Anggota
11. ARIES DWI CAHYANTO 6544 Anggota
12. BENTUNG MAHARSOYO 6561 Anggota
13. MARULI AHILES HUTAPEA 6573 Anggota
14. CATUR CAHYONO WIBOWO 6580 Anggota
15. EKO TJAHYO UNTORO 6583 Anggota
16. YATNA SUPRIATNA 6584 Anggota
17. I MADE DHANUARTA 6596 Anggota
18. BUDI UTOMO 6600 Anggota
19. NOERWIYANTO 6603 Anggota
20. ALBERTUS RECKY ROBHERTO 6606 Anggota

Jakarta, Agustus 2008


KETUA
DOLLY GUMARA
NO. MHS. 6496

You might also like