You are on page 1of 13

ABSTRAK

Diare merupakan penyakit yang masih perlu diwaspadai menyerang balita. Diare merupakan penyebab
utama kematian dan kesakitan pada anak di Negara berkembang, termasuk Indonesia. Banyak faktor
yang mempengaruhi kejadian diare ini, diantaranya faktor lingkungan, sosial ekonomi dan pengetahuan
ibu. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan faktor lingkungan, sosial ekonomi
dan pengetahuan ibu terhadap kejadian diare akut pada balita di Desa Kepulungan Kecamatan Gempo
Kabupaten Pasuruan.
Penelitian ini menggunakan metode analitik cross sectional study. Populasi dari penelitian ini adalah
ibu-ibu yang memiliki balita yang bertempat tinggal di Kepulungan Kecamatan Gempo Kabupaten
Pasuruan. Populasi berjumlah 535, dengan sample berjumlah 230. Instrumen penelitian berupa
kuesioner. Pengolahan dan analisis data dengan mengunakan SPSS.
Hasil penelitian didapatkan bahwa kondisi lingkungan responden berada dalam kategori baik 41,7%,
cukup 54,4% dan buruk 3,9%. Keadaan sosial ekonomi berada dalam kategori keluarga prasejahtera
3,9%, keluarga sejahtera I 79,1%, keluarga sejahtera II 4,8%, keluarga sejahtera III 4,4% dan keluarga
sejahtera III plus 7,8%. Tingkat pengetahuan ibu berada dalam kategori tinggi 46,5%, sedang 53,5%.
Angka kejadian diare pada anak balita 53% dari jumlah sample. Korelasi antara faktor lingkungan,
sosial ekonomi dan pengetahuan ibu terhadap kejadian diare akut pada anak balita menunjukkan
korelasi yang signifikan dan hubungan yang positif, dimana pengetahuan ibu memberikan kontribusi
paling kuat dibandingkan faktor lingkungan dan sosial ekonomi dalam mempengaruhi kejadian diare
akut pada balita di Desa Kepulungan kecamatan Gempol Kabupaten Pasuruan.
Kata kunci : Lingkungan, Sosial ekonomi, Pengetahuan ibu, Kejadian diare akut pada anak balita
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar belakang
Anak merupakan aset masa depan yang akan melanjutkan pembangunan di suatu negara. Masa
perkembangan tercepat dalam kehidupan anak terjadi pada masa balita. Masa balita merupakan masa
yang paling rentan terhadap serangan penyakit. Terjadinya gangguan kesehatan pada masa tersebut,
dapat berakibat negatif bagi pertumbuhan anak itu seumur hidupnya (Soetjiningsih, 1995, Adzania,
2004). Penyakit yang masih perlu diwaspadai menyerang balita adalah diare (Sutoto, Indriyono, 1996,
Widjaja, 2003)
Angka kejadian diare pada anak di dunia mencapai 1 miliar kasus tiap tahun, dengan korban meninggal
sekitar 5 juta jiwa. Statistik di Amerika mencatat tiap tahun terdapat 20-35 juta kasus diare dan 16,5
juta diantaranya adalah balita (Pickering et al, 2004). Angka kematian balita di negara berkembang
akibat diare ini sekitar 3,2 juta setiap tahun (Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan
Penyehatan Lingkungan Pemukiman, 1999). Statistik menunjukkan bahwa setiap tahun diare
menyerang 50 juta penduduk Indonesia, duapertiganya adalah balita dengan korban meninggal sekitar
600.000 jiwa (Pickering et al, 2004). Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Provinsi Riau pada tahun
2003 angka kejadian diare di Provinsi Riau sebanyak 84.634, tahun 2004 sebanyak 87.660 orang dan
pada tahun 2005 diare menempati urutan pertama dari sepuluh besar penyakit pada pasien rawat inap di
RSUD dr.SoedarsonoPASURUAN . Data Dinas Kesehatan Kabupaten Pasuruan mencatat bahwa angka
kejadian diare di Desa Kepulungan pada tahun 2004 mencapai 904 kasus, pada tahun 2005 sebanyak
725 kasus. Data dari puskesmas Tembilahan diketahui bahwa kejadian diare di Kelurahan Pekan Arba
tahun 2004 sebanyak 85 kasus, dan tahun 2005 sebanyak 102 kasus.
Departemen kesehatan Republik Indonesia menyatakan bahwa tingkat kematian bayi di Indonesia
masih tergolong tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara anggota Assosiation South East Asia
Nation (ASEAN). Penyebab utama kesakitan dan kematian pada anak di negara berkembang adalah
diare. Sampai saat ini diare tetap sebagai child killer peringkat pertama di Indonesia (Andrianto, 1995,
Warouw, 2002).
Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan diketahui bahwa banyak faktor yang
mempengaruhi kejadian diare akut pada balita. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah faktor
lingkungan, keadaan sosial ekonomi dan pengetahuan ibu. Faktor-faktor tersebut merupakan faktor
yang berasal dari luar dan dapat diperbaiki, sehingga dengan memperbaiki faktor resiko tersebut
diharapkan dapat menekan angka kesakitan dan kematian diare pada balita (Irianto, 2000, Warouw,
2002, Asnil et al, 2003).
Berdasarkan latar belakang di atas maka saya tertarik mengetahui hubungan antara lingkungan, sosial
ekonomi dan pengetahuan ibu dengan kejadian diare akut pada anak balita di Desa Kepulungan
Kecamatan Gepol Kabupaten Pasuruan.
1.2. Perumusan masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah pada penelitian ini adalah “Apakah terdapat
hubungan antara faktor lingkungan, sosial ekonomi dan pengetahuan ibu terhadap kejadian diare akut
di Desa Kepulungan Kecamatan Gempol?”
1.3. Hipotesis penelitian
Hipotesis yang diangkat dalam penelitian ini adalah :
a. Adanya hubungan antara keadaan lingkungan, yakni sumber air minum, jamban, perumahan, sampah
dan pengelolaan limbah, dengan kejadian diare akut pada balita di Desa Pepulungan Kecamatan
Gempol
b. Adanya hubungan antara tingkat sosial ekonomi dengan kejadian diare akut pada balita di Desa
Kepulungan Kecamatan Gempol
c. Adanya hubungan antara pengetahuan ibu dengan kejadian diare akut pada balita di Desa
Kepulungan Kecamatan Gempol
1.4. Tujuan penelitian
1.4.1 Tujuan Umum :
Mengetahui hubungan keadaan lingkungan, sosial ekonomi dan pengetahuan ibu dengan kejadian diare
akut pada balita di Desa KepulunganKecamatan Gempol.
1.4.2 Tujuan Khusus :
Tujuan khusus dalam penelitian ini antara lain :
1. Mengetahui gambaran keadaan lingkungan masyarakat di Desa Kepulungan Kecamatan Gempol
2. Mengetahui gambaran keadaan sosial ekonomi masyarakat di Desa Kepulungan Kecamatan Gempol
3. Mengetahui gambaran tingkat pengetahuan ibu sehubungan dengan kejadian Diare akut di Desa
KepulunganKecamatan Gempol
4. Mengetahui hubungan antara lingkungan dengan kejadian diare akut pada balita di Desa Kepulungan
Kecamatan Gempol
5. Mengetahui hubungan antara sosial ekonomi masyarakat terhadap kejadian diare akut pada balita di
Desa Kepulungan Kecamatan Gempol
6. Mengetahui hubungan antara pengetahuan ibu dengan kejadian diare akut pada balita di Desa
Kepulungan Kecamatan Gempol
7. Mengetahui kontribusi lingkungan, sosial ekonomi dan pengetahuan ibu terhadap kejadian diare akut
pada balita di Desa Kepulungan Kecamatan Gempol
1.5. Manfaat penelitian
Manfaat dari penelitian ini antara lain :
a. Meningkatkan wawasan penulis tentang pengaruh lingkungan, sosial ekonomi dan pengetahuan ibu
terhadap kejadian diare akut pada balita, mampu mengenali permasalahan kesehatan di masyarakat
serta dapat mengaplikasikan ilmu-ilmu yang didapat dibangku kuliah ketengah masyarakat.
b. Diharapkan membantu pemerintah setempat dalam usaha penetapan kebijakan, pengembangan
program khususnya bidang kesehatan lingkungan, sosial ekonomi dan peningkatan pengetahuan ibu-
ibu di bidang kesehatan
c. Menambah referensi perpustakaan di Poltekkes Majapahit, memberi masukan mengenai target-target
apa saja yang akan dikembangkan untuk menghasilkan lulusan bidan yang siap terjun di masyarakat
d. Menambah wawasan penulis khususnya tentang cara-cara pencegahan dan faktor yang dapat
mempengaruhi kejadian diare akut pada balita.
-
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
-
2.1. Diare Akut
2.1.1.Definisi Diare
Diare menurut definisi Hippocrates adalah buang air besar dengan frekuensi yang tidak normal
(meningkat), konsistensi tinja menjadi lebih lembek atau cair. (Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UI,
1998)
2.1.2. Klasifikasi Diare
Klasifikasi diare berdasarkan lama waktu diare terdiri dari diare akut, diare persisten dan diare kronis.
(Asnil et al, 2003).
2.1.2.1 Diare Akut
Diare akut adalah diare yang terjadi sewaktu-waktu, berlangsung kurang dari 14 hari, dengan
pengeluaran tinja lunak atau cair yang dapat atau tanpa disertai lendir dan darah
2.1.2.2 Diare Persisten
Diare persisten adalah diare yang berlangsung 15-30 hari, merupakan kelanjutan dari diare akut atau
peralihan antara diare akut dan kronik.
2.1.2.3 Diare kronis
Diare kronis adalah diare hilang-timbul, atau berlangsung lama dengan penyebab non-infeksi, seperti
penyakit sensitif terhadap gluten atau gangguan metabolisme yang menurun. Lama diare kronik lebih
dari 30 hari.
2.1.3. Etiologi
Diare akut disebabkan oleh banyak faktor antara lain infeksi, makanan, efek obat, imunodefisiensi dan
keadaan-keadaan tertentu. (Mansjoer et al, 2000, Asnil et al, 2003).
2.1.3.1 Infeksi
Infeksi terdiri dari infeksi enteral dan parenteral. Infeksi enteral yaitu infeksi saluran pencernaan dan
infeksi parenteral yaitu infeksi di bagian tubuh lain di luar alat pencernaan. (Bagian Ilmu Kesehatan
Anak FK UI, 1998, Ngastiyah, 2004). Mikroorganisme yang menjadi penyebabnya antara lain
Aeromonas, Compylobacter, Clostridiumdifficile, Escherichiacoli, Enterotoxigenic, Enteropathogenic,
Shigella, Salmonella, Vibrio cholera, Enteroinvasive (Pickering et al, 2004).
2.1.3.2 Makanan
Diare dapat disebabkan oleh intoksikasi makanan, makanan pedas, makanan yang mengandung bakteri
atau toksin. Alergi terhadap makanan tertentu seperti susu sapi, terjadi malabsorbsi karbohidrat,
disakarida, lemak, protein, vitamin dan mineral.
2.1.3.3 Imunodefisiensi
Defisiensi imun terutama SigA (Secretory Immunoglobulin A) yang mengakibatkan berlipat gandanya
bakteri, flora usus, jamur, terutama Candida
2.1.3.4 Terapi obat
Obat-obat yang dapat menyebabkan diare diantaranya antibiotik, antasid
2.1.3.5 Keadaan tertentu
Keadaan lain yang menyebabkan seseorang diare seperti gangguan psikis (ketakutan, gugup), gangguan
saraf.
2.1.4. Epidemiologi
Penyakit diare akut lebih sering terjadi pada balita dari pada anak yang lebih besar. Kejadian diare akut
pada anak laki-laki hampir sama dengan anak perempuan. Penyakit ini ditularkan secara fecal-oral
melalui makanan dan minuman yang tercemar atau kontak langsung dengan tinja penderita (Direktorat
Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman, 1999). Prevalensi
diare yang tinggi di negara berkembang merupakan kombinasi dari sumber air yang tercemar,
kekurangan protein yang menyebabkan turunnya daya tahan tubuh (Direktorat Jendral Pemberantasan
Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman, 1999).
Penurunan angka kejadian diare pada bayi di negara-negara maju, erat kaitannya dengan pemberian
ASI, yang sebagian disebabkan oleh kurangnya pencemaran minum anak dan sebagian lagi karena
faktor pencegahan imunologik dari ASI (Asnil et al, 2003). Perilaku yang dapat menyebabkan
penyebaran kuman enterik dan meningkatkan resiko terjadinya diare antara lain, tidak memberikan ASI
secara penuh untuk 4-6 bulan pertama kehidupan, menggunakan botol susu, menyimpan makanan
masak pada suhu kamar, menggunakan air minum yang tercemar oleh bakteri yang berasal dari tinja,
tidak mencuci tangan sesudah buang air besar (Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan
Penyehatan Lingkungan Pemukiman, 1999).
2.1.5. Patofisiologi
Diare dapat disebabkan oleh satu atau lebih dari patofisiologi berikut, yakni gangguan osmotik dan
gangguan sekretorik. (Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UI, 1998, Direktorat Jendral Pemberantasan
Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman, 1999 ).
2.1.5.1 Gangguan osmotik
Mukosa usus halus adalah epitel berpori, yang dapat dilewati air dan elektrolit dengan cepat untuk
mempertahankan tekanan osmotik antara isi usus dengan cairan ekstraseluler. Diare terjadi jika bahan
yang secara osmotik aktif dan sulit diserap. Bahan tersebut berupa larutan isotonik dan hipertonik.
Larutan isotonik, air dan bahan yang larut di dalamnya akan lewat tanpa diabsorbsi sehingga terjadi
diare. Bila substansi yang diabsorbsi berupa larutan hipertonik, air dan elektronik akan pindah dari
cairan ekstraseluler ke dalam lumen usus sampai osmolaritas dari isi usus sama dengan cairan
ekstraseluler dan darah, sehingga terjadi pula diare.
2.1.5.2 Gangguan sekretorik
Akibat rangsangan mediator abnormal misalnya enterotoksin, menyebabkan vili gagal mengabsorbsi
natrium, sedangkan sekresi klorida di sel epitel berlangsung terus atau meningkat. Hal ini
menyebabkan peningkatan sekresi air dan elektrolit ke dalam rongga usus. Isi rongga usus yang
berlebihan akan merangsang usus mengeluarkannya sehingga timbul diare.
2.1.6. Manifestasi klinis
Mula-mula anak balita menjadi cengeng, gelisah, suhu badan meningkat, nafsu makan berkurang atau
tidak ada kemudian timbul diare. Tinja cair, mungkin disertai lendir atau lendir dan darah. Warna tinja
makin lama berubah kehijau-hijauan karena tercampur empedu, karena seringnya defekasi, anus dan
sekitarnya lecet karena tinja makin lama menjadi asam akibat banyaknya asam laktat, yang berasal dari
laktosa yang tidak diabsorbsi oleh usus selama diare. Gejala muntah dapat terjadi sebelum dan atau
sesudah diare. (Ngastiyah, 1997, Mansjoer et al, 2000, Asnil et al, 2003). Anak-anak yang tidak
mendapatkan perawatan yang baik selama diare akan jatuh pada keadaan-keadaan seperti dehidrasi,
gangguan keseimbangan asam-basa, hipoglikemia, gangguan gizi, gangguan sirkulasi. (Asnil et al,
2003)
2.1.6.1 Dehidrasi
Dehidrasi terjadi karena kehilangan air lebih banyak daripada pemasukan air. Derajat dehidrasi dapat
dibagi berdasarkan gejala klinis dan kehilangan berat badan. Derajat dehidrasi menurut kehilangan
berat badan, diklasifikasikan menjadi empat, dapat dilihat dari tabel berikut :
Tabel 2.1 derajat dehidrasi berdasarkan kehilangan berat badan
Derajat dehidrasi Penurunan berat badan (%)

Tidak dehidrasi <2½

Dehidrasi ringan 2½–5

Dehidrasi sedang 5-10

Dehidrasi berat 10

( Buku ajar diare, 1999 )


Derajat dehidrasi berdasarkan gejala klinisnya dapat dilihat pada tabel berikut
Tabel 2.2 Derajat dehidrasi berdasarkan gejala klinis
Penilaian A B C

Keadaan umum Baik, sadar Gelisah, rewel« Lesu, tidak sadar«


Mata Normal Cekung Sangat cekung
Air mata Ada Tidak ada Tidak ada
Mulut, lidah Basah Kering Sangat kering
Rasa haus Minum seperti Haus, ingin Malas minum, tidak
biasa minum banyak« bisa minum
Periksa:Turgor kulit Kembali cepat Kembali lambat« Kembali sangat
lambat
Hasil pemeriksaan Tanpa dehidrasi Dehidrasi ringan/ Dehidrasi beratBila
sedangBila ada 1 ada 1 tanda
tanda ditambah ditambah 1/lebih
1/lebih tanda lain tanda lain
Terapi Rencana Rencana Rencana
pengobatan A pengobatan B pengobatanC
( Buku ajar diare, 1999 )
2.1.6.2 Gangguan keseimbangan asam-basa
Gangguan keseimbangan asam basa yang biasa terjadi adalah metabolik asidosis. Metabolik asidosis
ini terjadi karena kehilangan Na-bikarbonat bersama tinja, terjadi penimbunan asam laktat karena
adanya anoksia jaringan, produk metabolisme yang bersifat asam meningkat karena tidak dapat
dikeluarkan oleh ginjal, pemindahan ion Na dari cairan ekstraseluler ke dalam cairan intraseluler.
2.1.6.3 Hipoglikemia
Pada anak-anak dengan gizi cukup/baik, hipoglikemia ini jarang terjadi, lebih sering terjadi pada anak
yang sebelumnya sudah menderita kekurangan kalori protein (KKP). Gejala hipoglikemia akan muncul
jika kadar glukosa darah menurun sampai 40 mg % pada bayi dan 50 mg % pada anak-anak. Gejala
hipoglikemia tersebut dapat berupa : lemas, apatis , tremor, berkeringat, pucat, syok, kejang sampai
koma.
2.1.6.4 Gangguan gizi
Sewaktu anak menderita diare, sering terjadi gangguan gizi dengan akibat terjadinya penurunan berat
badan dalam waktu yang singkat. Hal ini disebabkan karena makanan sering dihentikan oleh orang tua.
Walaupun susu diteruskan, sering diberikan pengenceran. Makanan yang diberikan sering tidak dapat
dicerna dan diabsorbsi dengan baik karena adanya hiperperistaltik.
2.1.6.5 Gangguan sirkulasi
Gangguan sirkulasi darah berupa renjatan atau shock hipovolemik. Akibatnya perfusi jaringan
berkurang dan terjadi hipoksia, asidosis bertambah berat, dapat mengakibatkan perdarahan dalam otak,
kesadaran menurun dan bila tidak segera ditolong penderita dapat meninggal

2.1.7. Penatalaksanaan
2.1.7.1 Prinsip penatalaksanaan diare akut
Menurut Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman
Prinsip penatalaksanaan diare akut antara lain dengan rehidrasi, nutrisi, medikamentosa (Andrianto,
1995)
2.1.7.1.1 Rehidrasi
Diare cair membutuhkan penggantian cairan dan elektrolit tanpa melihat etiologinya. Jumlah cairan
yang diberi harus sama dengan jumlah cairan yang telah hilang melalui diare dan atau muntah,
ditambah dengan banyaknya cairan yang hilang melalui keringat, urin, pernapasan dan ditambah
dengan banyaknya cairan yang hilang melalui tinja dan muntah yang masih terus berlangsung. Jumlah
ini tergantung pada derajat dehidrasi serta berat badan masing-masing anak atau golongan umur.
2.1.7.1.2 Nutrisi
Makanan harus diteruskan bahkan ditingkatkan selama diare untuk menghindarkan efek buruk pada
status gizi. Agar pemberian diet pada anak dengan diare akut dapat memenuhi tujuannya, serta
memperhatikan faktor yang mempengaruhi keadaan gizi anak, maka diperlukan persyaratan diet
sebagai berikut yakni, pasien segera diberikan makanan oral setelah rehidrasi yakni 24 jam pertama,
makanan cukup energi dan protein, makanan tidak merangsang, makanan diberikan bertahap mulai
dengan yang mudah dicerna, makanan diberikan dalam porsi kecil dengan frekuensi sering. Pemberian
ASI diutamakan pada bayi, pemberian cairan dan elektolit sesuai kebutuhan, pemberian vitamin dan
mineral dalam jumlah yang cukup. Khusus untuk penderita diare karena malabsorbsi diberikan
makanan sesuai dengan penyebabnya, antara lain : Malabsorbsi lemak berikan trigliserida rantai
menengah, Intoleransi laktosa berikan makanan rendah atau bebas laktosa, Panmalabsorbsi berikan
makanan rendah laktosa, parenteral nutrisi dapat dimulai apabila ternyata dalam 5-7 hari masukan
nutrisi tidak optimal (Suandi, 1999)
2.1.7.2 Rencana pengobatan
Berdasarkan derajat dehidrasi maka terapi pada penderita diare dibagi menjadi tiga, yakni rencana
pengobatan A, B dan C.
2.1.7.2.1 Rencana pengobatan A
Digunakan untuk mengatasi diare tanpa dehidrasi, meneruskan terapi diare di rumah, memberikan
terapi awal bila anak terkena diare lagi. Cairan rumah tangga yang dianjurkan seperti oralit, makanan
cair (sup, air tajin), air matang. Gunakan larutan oralit untuk anak seperti dijelaskan dalam tabel berikut
:
Tabel 2.3 Kebutuhan oralit per kelompok umur
Umur Jumlah oralit yang diberikan Jumlah oralit yang disediakan di
tiap BAB rumah

< 12 bulan 50-100 ml 400 ml/hari ( 2 bungkus)

1-4 tahun 100-200 ml 600-800 ml/hari ( 3-4 bungkus)

> 5 tahun 200-300 ml 800-1000 ml/hari (4-5 bungkus)

( Buku ajar diare, 1999 )


2.1.7.2.2 Rencana pengobatan B
Digunakan untuk mengatasi diare dengan derajat dehidrasi ringan dan sedang, dengan cara ; dalam 3
jam pertama, berikan 75 ml/KgBB. Berat badan anak tidak diketahui, berikan oralit paling sedikit
sesuai tabel berikut:
Tabel 2.4 Jumlah oralit yang diberikan pada 3 jam pertama
Umur < 1 tahun 1-5 tahun > 5 tahun
Jumlah oralit 300 ml 600 ml 1200 ml
( Buku ajar diare, 1999 )
Berikan anak yang menginginkan lebih banyak oralit, dorong juga ibu untuk meneruskan ASI. Bayi
kurang dari 6 bulan yang tidak mendapatkan ASI, berikan juga 100-200 ml air masak. Setelah 3-4 jam,
nilai kembali anak menggunakan bagan penilaian, kemudian pilih rencana A, B atau C untuk
melanjutkan pengobatan
2.1.7.2.3 Rencana pengobatan C
Digunakan untuk mengatasi diare dengan derajat dehidrasi berat. Pertama-tama berikan cairan
intravena, nilai setelah 3 jam. Jika keadaan anak sudah cukup baik maka berikan oralit. Setelah 1-3 jam
berikutnya nilai ulang anak dan pilihlah rencana pengobatan yang sesuai.

2.1.8. Pencegahan Diare


Tindakan dalam pencegahan diare ini antara lain dengan perbaikan keadaan lingkungan, seperti
penyediaan sumber air minum yang bersih, penggunaan jamban, pembuangan sampah pada tempatnya,
sanitasi perumahan dan penyediaan tempat pembuangan air limbah yang layak. Perbaikan perilaku ibu
terhadap balita seperti pemberian ASI sampai anak berumur 2 tahun, perbaikan cara menyapih,
kebiasaan mencuci tangan sebelum dan sesudah beraktivitas, membuang tinja anak pada tempat yang
tepat, memberikan imunisasi morbili (Andrianto, 1995). Masyarakat dapat terhindar dari penyakit
asalkan pengetahuan tentang kesehatan dapat ditingkatkan, sehingga perilaku dan keadaan lingkungan
sosialnya menjadi sehat ( Notoadmodjo, 2003)
2.2. Lingkungan
Sejak pertengahan abad ke-15 para ahli kedokteran telah menyebutkan bahwa tingkat kesehatan
masyarakat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut model segitiga epidemiologi, suatu penyakit
timbul akibat beroperasinya faktor agen, host dan lingkungan. Menurut model roda timbulnya penyakit
sangat tergantung dari lingkungan (Mukono, 1995). Faktor lingkungan merupakan faktor yang sangat
penting terhadap timbulnya berbagai penyakit tertentu, sehingga untuk memberantas penyakit menular
diperlukan upaya perbaikan lingkungan (Trisnanta, 1995).
Melalui faktor lingkungan, seseorang yang keadaan fisik atau daya tahannya terhadap penyakit kurang,
akan mudah terserang penyakit (Slamet, 1994). Penyakit-penyakit tersebut seperti diare, kholera,
campak, demam berdarah dengue, difteri, pertusis, malaria, influenza, hepatitis, tifus dan lain-lain yang
dapat ditelusuri determinan-determinan lingkungannya (Noerolandra, 1999).
Masalah kesehatan lingkungan utama di negara-negara yang sedang berkembang adalah penyediaan air
minum, tempat pembuangan kotoran, pembuangan sampah, perumahan dan pembuangan air limbah
(Notoatmodjo, 2003).

2.2.1 Sumber air


Syarat air minum ditentukan oleh syarat fisik, kimia dan bakteriologis. Syarat fisik yakni, air tidak
berwarna, tidak berasa, tidak berbau, jernih dengan suhu sebaiknya di bawah suhu udara sehingga
terasa nyaman. Syarat kimia yakni, air tidak mengandung zat kimia atau mineral yang berbahaya bagi
kesehatan misalnya CO2, H2S, NH4. Syarat bakteriologis yakni, air tidak mengandung bakteri E. coli
yang melampaui batas yang ditentukan, kurang dari 4 setiap 100 cc air.
Pada prinsipnya semua air dapat diproses menjadi air minum. Sumber-sumber air ini antara lain : air
hujan, mata air, air sumur dangkal, air sumur dalam, air sungai & danau.
2.2.2 Pembuangan kotoran manusia
Kotoran manusia adalah semua benda atau zat yang tidak dipakai lagi oleh tubuh dan harus dikeluarkan
dari dalam tubuh seperti tinja, air seni dan CO2. Masalah pembuangan kotoran manusia merupakan
masalah pokok karena kotoran manusia adalah sumber penyebaran penyakit yang multikompleks.
Beberapa penyakit yang dapat disebarkan oleh tinja manusia antara lain : tipus, diare, disentri, kolera,
bermacam-macam cacing seperti cacing gelang, kremi, tambang, pita, schistosomiasis. Syarat
pembuangan kotoran antara lain, tidak mengotori tanah permukaan, tidak mengotori air permukaan,
tidak mengotori air tanah, kotoran tidak boleh terbuka sehingga dapat dipergunakan oleh lalat untuk
bertelur atau berkembang biak, kakus harus terlindung atau tertutup, pembuatannya mudah dan murah
(Notoatmodjo, 2003).
Bangunan kakus yang memenuhi syarat kesehatan terdiri dari : rumah kakus, lantai kakus, sebaiknya
semen, slab, closet tempat feses masuk, pit sumur penampungan feses atau cubluk, bidang resapan,
bangunan jamban ditempatkan pada lokasi yang tidak mengganggu pandangan, tidak menimbulkan
bau, disediakan alat pembersih seperti air atau kertas pembersih. (Notoatmodjo, 2003)
Jenis kakus antara lain (Notoatmodjo, 2003) :
2.2.2.1 Pit privy (cubluk)
Lubang dengan diameter 80-120 cm sedalam 2,5-8 m. Dinding diperkuat dengan batu-bata, hanya
dapat dibuat di tanah atau dengan air tanah dalam.
2.2.2.2 Angsatrine
Closetnya berbentuk leher angsa sehingga selalu terisi air. Fungsinya sebagai sumbat sehingga bau
busuk tidak keluar.
2.2.2.3 Bored hole latrine
Seperti cubluk, hanya ukurannya kecil, karena untuk sementara. Jika penuh dapat meluap sehingga
mengotori air permukaan
2.2.2.4 Overhung latrine
Rumah kakusnya dibuat di atas kolam, selokan, kali, rawa dan lain-lain. Feses dapat mengotori air
permukaan
2.2.2.5 Jamban cempung, kakus ( Pit Latrine )
Jamban cemplung kurang sempurna karena tanpa rumah jamban dan tanpa tutup. Sehingga serangga
mudah masuk dan berbau, dan jika musim hujan tiba maka jamban akan penuh oleh air. Dalamnya
kakus 1,5-3 meter, jarak dari sumber air minum sekurang-kurangnya 15 meter.

2.2.2.6 Jamban empang (fishpond latrine)


Jamban ini dibangun di atas empang ikan. Di dalam sistem ini terjadi daur ulang, yakni tinja dapat
dimakan ikan, ikan dimakan orang dan selanjutnya orang mengeluarkan tinja yang dimakan, demikian
seterusnya.
2.2.3 Pembuangan sampah
Sampah adalah semua zat atau benda yang sudah tidak terpakai baik yang berasal dari rumah tangga
atau hasil proses industri. Jenis- jenis sampah antara lain, yakni sampah an-organik, adalah sampah
yang umumnya tidak dapat membusuk, misalnya: logam/besi, pecahan gelas, plastik. Sampah organik,
adalah sampah yang pada umumnya dapat membusuk, misalnya : sisa makanan, daun-daunan, buah-
buahan. Cara pengolahan sampah antara lain sebagai berikut: (Notoatmodjo, 2003).
2.2.3.1 Pengumpulan dan pengangkutan sampah
Pengumpulan sampah diperlukan tempat sampah yang terbuat dari bahan yang mudah dibersihkan,
tidak mudah rusak, harus tertutup rapat, ditempatkan di luar rumah. Pengangkutan dilakukan oleh dinas
pengelola sampah ke tempat pembuangan akhir (TPA)
2.2.3.2 Pemusnahan dan pengelolaan sampah
Dilakukan dengan berbagai cara yakni, ditanam (Landfill), dibakar (Inceneration), dijadikan pupuk
(Composting)
2.2.4 Perumahan
Keadaan perumahan adalah salah satu faktor yang menentukan keadaan higiene dan sanitasi
lingkungan. Adapun syarat-syarat rumah yang sehat ditinjau dari ventilasi, cahaya, luas bangunan
rumah, Fasilitas-fasilitas di dalam rumah sehat sebagai berikut : (Notoatmodjo, 2003).
2.2.4.1 Ventilasi
Fungsi ventilasi adalah untuk menjaga agar aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar dan untuk
membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen.. Luas ventilasi kurang
lebih 15-20 % dari luas lantai rumah
2.2.4.2 Cahaya
Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, kurangnya cahaya yang masuk ke dalam ruangan
rumah, terutama cahaya matahari disamping kurang nyaman, juga merupakan media atau tempat baik
untuk hidup dan berkembangnya bibit penyakit. Penerangan yang cukup baik siang maupun malam
100-200 lux.
2.2.4.3 Luas bangunan rumah
Luas bangunan yang optimum adalah apabila dapat menyediakan 2,5-3 m2 untuk tiap orang. Jika luas
bangunan tidak sebanding dengan jumlah penghuni maka menyebabkan kurangnya konsumsi O2,
sehingga jika salah satu penghuni menderita penyakit infeksi maka akan mempermudah penularan
kepada anggota keluarga lain.
2.2.4.4 Fasilitas-fasilitas di dalam rumah sehat
Rumah yang sehat harus memiliki fasilitas seperti penyediaan air bersih yang cukup, pembuangan tinja,
pembuangan sampah, pembuangan air limbah, fasilitas dapur, ruang berkumpul keluarga, gudang,
kandang ternak
2.2.5 Air limbah
Air limbah adalah sisa air yang dibuang yang berasal dari rumah tangga, industri dan pada umumnya
mengandung bahan atau zat yang membahayakan. Sesuai dengan zat yang terkandung di dalam air
limbah, maka limbah yang tidak diolah terlebih dahulu akan menyebabkan gangguan kesehatan
masyarakat dan lingkungan hidup antara lain limbah sebagai media penyebaran berbagai penyakit
terutama kolera, diare, typus, media berkembangbiaknya mikroorganisme patogen, tempat
berkembangbiaknya nyamuk, menimbulkan bau yang tidak enak serta pemandangan yang tidak sedap,
sebagai sumber pencemaran air permukaan tanah dan lingkungan hidup lainnya, mengurangi
produktivitas manusia, karena bekerja tidak nyaman (Notoatmodjo, 2003).
Usaha untuk mencegah atau mengurangi akibat buruk tersebut diperlukan kondisi, persyaratan dan
upaya sehingga air limbah tersebut tidak mengkontaminasi sumber air minum, tidak mencemari
permukaan tanah, tidak mencemari air mandi, air sungai, tidak dihinggapi serangga, tikus dan tidak
menjadi tempat berkembangbiaknya bibit penyakit dan vektor, tidak terbuka kena udara luar sehingga
baunya tidak mengganggu (Notoatmodjo, 2003).
2.3. Sosial ekonomi masyarakat
Kemiskinan didefinisikan sebagai suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah orang dibandingkan
dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Kemiskinan
bukan semata-mata kekurangan dalam ukuran ekonomi, tapi juga melibatkan kekurangan dalam ukuran
kebudayaan dan kejiwaan (Suburratno, 2004)
Kemiskinan bertanggung jawab atas penyakit yang ditemukan pada anak. Hal ini karena kemiskinan
mengurangi kapasitas orangtua untuk mendukung perawatan kesehatan yang memadai pada anak,
cenderung memiliki higiene yang kurang, miskin diet, miskin pendidikan. Sehingga anak yang miskin
memiliki angka kematian dan kesakitan yang lebih tinggi untuk hampir semua penyakit. Frekuensi
relatif anak dari orang tua yang berpenghasilan rendah 2 kali lebih besar menyebabkan berat badan
lahir rendah (BBLR), 3 kali lebih tinggi resiko imunisasi terlambat dan 4 kali lebih tinggi menyebabkan
kematian anak karena penyakit dibanding anak yang orangtuanya berpenghasilan cukup. (Behrman,
1999)
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, pemerintah harus memiliki informasi atau peta kemiskinan
agar dapat membuat kebijakan-kebijakan yang tepat dalam pengentasan kemiskinan ini, menentukan
target penduduk miskin sehingga dapat memperbaiki posisi mereka, dan dapat mengevaluasi program-
program yang berkenaan dengan penanggulangan kemiskinan. Ada banyak ukuran yang dapat
digunakan dalam mengukur kemiskinan. Di Indonesia saat ini digunakan dua ukuran kemiskinan, yakni
yang dihitung BPS (Badan Pusat Statistik) dan BKKBN (Badan Kesejahteraan Keluarga Berencana
Nasional). Informasi kemiskinan yang dihitung BPS merupakan informasi makro sedangkan informasi
dari BKKBN bersifat mikro dan sangat cocok untuk operasional lapangan. (Badan Penelitian dan
Pengembangan Provinsi Jawa Timur, 2004)
Pengukuran kemiskinan yang dihitung oleh BPS dilakukan dengan cara menetapkan nilai standar
kebutuhan minimum, baik untuk makanan maupun minuman, yang harus dipenuhi seseorang untuk
hidup layak. Garis kemiskinan sesungguhnya merupakan sejumlah rupiah yang diperlukan oleh setiap
individu untuk dapat membayar kebutuhan makanan setara 2100 kalori per orang per hari. Individu
dengan pengeluaran lebih rendah dari garis kemiskinan digolongkan sebagai penduduk miskin. (Badan
Penelitian dan Pengembangan Provinsi Jawa Timur,2004).
Pendataan yang dilakukan oleh BKKBN tiap tahun dengan menggunakan kuesioner, diperoleh
gambaran status kesejahteraan keluarga. Keluarga di Indonesia dikategorikan dalam lima tahap, yakni
keluarga pra sejahtera, keluarga sejahtera I, keluarga sejahtera II, keluarga sejahtera III dan keluarga
sejahtera III plus. Keluarga pra sejahtera adalah keluarga yang belum mampu memenuhi kebutuhan
dasar seperti sandang, pangan dan papan. Keluarga sejahtera I adalah keluarga yang walaupun
kebutuhan dasar telah terpenuhi, namun kebutuhan sosial psikologis belum terpenuhi. Keluarga
sejahtera II adalah keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasar, sosial-psikologisnya, tapi
belum dapat memenuhi kebutuhan pengembangan. Keluarga sejahtera III adalah keluarga yang sudah
dapat memenuhi kebutuhan dasar, sosial-psikologis, pengembangan tapi belum dapat memberi
sumbangan secara teratur pada masyarakat sekitarnya. Keluarga sejahtera tahap III plus adalah
keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasar, sosial-psikologis, pengembangan, serta telah
dapat memberikan sumbangan yang teratur dan berperan aktif dalam kegiatan kemasyarakatan. (Badan
Penelitian dan Pengembangan Provinsi Jawa Timur , 2004).
2.4. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap
objek tertentu. Pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif mempunyai enam tingkat seperti
dalam tabel berikut :
Tabel 2.5 Tingkat pengetahuan dalam domain kognitif
Domain Definisi
Tahu Mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya
Memahami kemampuan menjelaskan secara benar tentang obyek yang diketahui
dan dapat menginterpretasikan secara benar.
Aplikasi kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada
situasi atau kondisi riil.
Analisis kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu obyek ke dalam
komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur
organisasi tersebut.
Sintesis kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian
di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru
Evaluasi kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap
suatu materi atau obyek
( Notoatmodjo, 2003)
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan isi materi
yang ingin diukur dari subjek penelitian (Notoatmodjo, 2003). Pengetahuan sebagai parameter keadaan
sosial dapat sangat menentukan kesehatan masyarakat. Masyarakat dapat terhindar dari penyakit
asalkan pengetahuan tentang kesehatan dapat ditingkatkan, sehingga perilaku dan keadaan lingkungan
sosialnya menjadi sehat (Slamet, 1994)

You might also like