You are on page 1of 4

Edwin Tri Prasetyo (2007-22-043) Isu-Isu Non Konvensional (Kelas PAGI)

Paper Review
What Terrorist Really Want
Terrorist Motives and Counterterrorism Strategy
Max Abrahms

Dalam artikel ini, Max Abrahams banyak membahas tentang isu-isu mengenai teroris beserta
asumsi-asumsi tentang perkembangan terorisme. Teroris disebut sebalah salah satu actor yang rasional
yaitu bahwa setiap tindakan yang dilakukan oleh teroris berdasarkan analisa untung dan rugi. Pada artikel
ini, Max membagi ke dalam empat bagian yaitu pertama mengenai asumsi mengenai model strategis
beserta bukti-bukti empiris mengenai teroris. Kedua yaitu membuktikan kelemahan empiris untuk model
strategis. Ketiga yaitu mengembangkan sebuah definisi alternative mengenai terorisme. Keempat yaitu
reorientasi mengenai strategi counterterrorism.
Pada model strategis mengenai terorisme, ada tiga asumsi utama yaitu pertama bahwa teroris
termotivaasi oleh tujuan politik yang secara stabil dan konsisten yang mana termasuk ke dalam bagian
dari platform politik organisasi teroris tersebut. Asumsi kedua adalah terrorisme selalu mengkalkulasikan
setiap tindakan beserta keberhasilan tindakan tersebut menjadi standar utama yang digunakan mereka
daripada metode lain untuk mencapai tujuan politik mereka. Asumsi ketiga yaitu bahwa keputusan untuk
menggunakan tindakan terorisme berdasakan pada resiko yang logis yang mana bisa untuk mencapai
kerbehasilan secara politik.
Namun, ketigas asumsi utama dari model strategis mempunyai kelemahan yang mana berdasarkan
pada bukti empiris di lapangan. Sehingga ada tujuh teka teki yang bisa menyangkal asumsi model
strategis mengenai terorisme. Teka teki pertama yaitu organisasi teroris tidak mencapai tujuan politik
mereka dengan cara menyerang masyarakat. Mereka melakukan tindakan ini dikarenakan untuk menutup
posisi tawar menawar antara permintaan kelompok teroris dan penawaran dari pemerintah.
Teka teki kedua yaitu organisasi teroris tidak pernah menggunakan tindakan terorisme sebagai
pilihan terakhir dan jarang mengambil kesempatan untuk menjadi sebuah partai politik yang anti
kekerasan. Ini dikarenakan mereka memiliki ”keharusan yang suda ada sejak lama” untuk terikat dengan
terorisme dan melencengkan kepercayaan yang sesuai dengan keinginan yang melebihi cara-cara damai.
Teka teki ketiga yaitu bahwa organisasi teroris menolak untuk berkompromi dalam penawaran
kebijakan pengakuan yang dilakukan oleh pemerintah. Ini bisa terjadi karena terorisme merupakan kaum
ekstrimis tanpa akhir, mereka jarang sekali untuk melakukan negosiasi terhadap target pemerintahan
meskipun porsi yang didapatkan akan memuaskan mereka. Selain itu, ketika akan melakukan negosiasi,
mereka lebih suka membawanya menjadi sebuah negosiasi yang macet tanpa ada solusi.
Teka teki keempat yaitu bahwa organisasi teroris mempunyai bermacam-macam politik platforms.
Ini bisa terjadi karena sering berubahnya tujuan politik suatu organisasi teroris. Contoh utamanya yaitu
Al-Qaida yang mana tujuan politik mereka sering berubah. Pada awalnya Al-Qaida sebagai sebuah
pergerakan jihad untuk melawan Uni Soviet di Afghanistan. Kemudian juga melawan pemberontakan
lokal di Bosnia, Filipina, Rusia, Spanyol dan beberapa negara mayoritas muslim lainnya. Lalu target
mereka berubah kembali seiring dengan munculnya fatwa dari Osama Bin Laden bahwa mereka harus
melawan kaum lain selain Muslim, selain itu juga melawan penjajahan yang dilakukan Israel atas
Palestina. Beberapa anggota Al-Qaida akhirnya seriang melakukan kritik terhadap organisasinya karena
terjadinya inkonsistensi terhadap tujuan pergerakan politik mereka.
Teka teki yang kelima adalah organisasi teroris secara umum melancarkan serangan mendadak
tanpa diketahui oleh pemerintah. Contoh terbanyak yaitu banyak aksi terorisme yang dilakukan di Irak
pasca invasi Amerika Serikat ke Irak. Serangan tersebut tidak diketahui oleh siapapun dan juga tidak ada
yang mengklaim penyerang itu baik dari kaum Sunni maupun Syiah di Irak.
Teka teki keenam yaitu organisasi teroris yang mempunyai platform politik sering menyerang satu
sama lain daripada musuh utama mereka ini terjadi dikarenakan ada kebingungan di dalam tubuh
organisasi tersebut. Contohnya yaitu kelompok Macan Tamil di Sri Langka. Pada pertengahan 1980an,
mereka tidak menyerang pemerintahan sebagai target utama. Namun, yang terjadi yaitu pembunuhan
secara sistemik oleh organisasi Tamil.
Teka teki yang ketujuh ialah organisasi teroris menolak membubarkan diri ketika mereka secara
konsisten gagal dalam mencapai tujuan politik utama. Kelompok teroris sudah ada sejak lama dan hingga
kini masih ada keberadaannya. Ini bisa terjadi karena ketika mereka sudah mencapai kepentingan politik
mereka, maka mereka akan membuat tujuan politik yang sehingga tidak heran kalau mereka tetap ada.
Setelah adanya tujuh teka teki untuk tantangan model strategis yang berlaku, maka muncul sebuah
pandangan lain mengenai teroris. Mereka dianggap sebagai aktor rasional yang menggunakan tindakan
terorisma untuk tujuan politik. Bukti kuat secara teoritis dan empiris yaitu bahwa orang berpartisipasi
dalam organisasi terorsi bukan untuk mencapai platform politik mereka, namun untuk mengembangkan
hubungan efektif yang kuata antara sesama teroris untuk membuat mereka tetap bertahan. Jika teroris
umumnya lebih mementingkan keadaan manfaat sosial daripada keuntungan politik dalam menggunakan
tindakan terorisma, maka strategi counterterrorism dibutuhkan untuk perubahan yang fundamental.
Strategi counterterrorism paling umum adalah dirancang untuk mengurangi terorisme
dengan melepas utilitas politiknya. Strategi utama untuk mencegah terorisme dengan menurunnya utilitas
politik melalui kebijakan tidak adanya konsesi yang ketat. Strategi counterterrorism yang lainnya adalah
promosi demokrasi, yang dimaksudkan untuk mengurangi utilitas terorisme itu dengan memberdayakan
warga negara untuk damai mengatasi masalah politik negara mereka.

Sedangkan menurut Philip B. Heymann, ada beberapa cara dalam menangkal terorisme yaitu
pertama, mengurangi ketersediaan merekrut atau membuat lebih sulit untuk mempertahankan komitmen
anggota. Yang dapat dicapai dengan, misalnya, mengurangi keluhan; mencegah "sekolah" dalam
kemarahan dan kebencian; menyangkal nilai-nilai solidaritas dari kepemimpinan karismatik,
menyediakan disinsentif seperti menangkap dan hukuman, atau menyangkal insentif dalam hal hasil para
teroris pencari bahkan memberikan dukungan bagi kelompok atau menyebabkan bahwa teroris
menentang.
Tetapi untuk mencegah dari operasi organisasi teroris, negara harus melakukan jauh lebih dari menolak
atau menyembunyikan dukungan terbuka. Hal ini juga harus menggunakan kecerdasan domestik dan
kapasitas penegakan hukum untuk menemukan dan menghukum para teroris. Semakin tidak demokratis-
semakin despotik-negara, kapasitas ini lebih mungkin akan cukup untuk pekerjaan, karena agen intelijen
sudah akan telah dilatih untuk melindungi pemerintah tidak demokratis terhadap penantangnya.1

Menurut Jennifer L. Windsor bahwa cara untuk melawan terorisme yaitu menyebarkan paham-
paham demokrasi di berbagai negara terutama negara yang dianggap sebagai sarang teroris.
Demokratisasi bukan tanpa risiko, tetapi penting untuk mengatasi berbagai kondisi yang mendasarinya
yang telah memicu gelombang arus ekstremisme politik dan kekerasan teroris di wilayah ini. Pada
akhirnya, perubahan politik di Timur Tengah, seperti di tempat lain, akan didorong oleh individu dalam
masyarakat yang berkomitmen untuk membawa keluar sebuah realitas politik baru di negara mereka
sendiri. Namun demikian, pemerintah dapat membantu mendukung mereka yang reformis melalui alokasi
strategis dan pelaksanaan demokrasi bantuan langsung kepada mereka dan melalui yang jelas, pesan
diplomatik yang konsisten tentang pentingnya demokrasi dan hak asasi manusia. Mengingat realitas
daerah, kita seharusnya tidak mengharapkan hasil yang langsung, maupun untuk rezim untuk muncul
yang secara otomatis pro-Amerika. Dalam jangka panjang, bagaimanapun, adalah kepentingan
keseluruhan dari Amerika Serikat yang wilayah paling-demokratis di dunia menjadi bagian dari
komunitas global yang muncul dari demokrasi.2

Menurut saya, bahwa terorisme itu sudah ada sejak dahulu dan tidak mudah untuk
menghilangkannya karena setiap kelompok teroris mempunya pandangan dan cara yang berbeda.
Meskipun pengkajian teroris sudah cukup banyak dilakukan namun ternyata aksi terorisme masih banyak
terjadi. Saya juga melihat bahwa kelompok terorisme merupakan suatu kelompok yang misterius karena
sulit sekali untuk mendapatkan informasi asli tentang mereka sehingga akan sulit untuk melakukan
pengkajian counterterrorism.
Pada kesimpulannya, demokratisasi bukan merupakan salah satu cara yang tepat untuk
menyelesaikan masalah terorisme karena setiap negara tidak bisa dipaksakan untuk menerapkan
demokrasi yang sama. Untuk bisa menekan tindak terorisme, maka lebih tepatnya negara-negara besar
untuk membantu meningkatkan kesejahteraan negara-negara kecil terutama negara-negara yang dianggap
sebagai sarang teroris.

Daftar Pustaka
1
Phillip B. Heymann, “Dealing with Terrorism: An Overview” dalam International Security 26, No.3 (Winter 2001-2002)
2
Jennifer L. Windsor, “Promoting Democratization Can Combat Terrorism” dalam The Washington Quarterly 26, No. 3
(Summer 2003)
Abrahms, Max, “What Terrorists Really Want: Terrorist Motives and Counterterrorism
Strategy,” International Security 32, No. 4 (Spring 2008)

Heymann, Phillip B., “Dealing with Terrorism: An Overview,” International Security 26, No.3
(Winter 2001-2002)

Windsor, Jennifer L., “Promoting Democratization Can Combat Terrorism,” The Washington
Quarterly 26, No. 3 (Summer 2003)

You might also like