You are on page 1of 5

BAHASA menunjukkan cerminan pribadi seseorang.

Karakter, watak,
atau pribadi seseorang dapat diidentifikasi dari perkataan yang ia
ucapkan. Penggunaan bahasa yang lemah lembut, sopan, santun,
sistematis, teratur, jelas, dan lugas mencerminkan pribadi penuturnya
berbudi. Sebaliknya, melalui penggunaan bahasa yang sarkasme,
menghujat, memaki, memfitnah, mendiskreditkan, memprovokasi,
mengejek, atau melecehkan, akan mencitrakan pribadi yang tak
berbudi.

Tepatlah bunyi peribahasa, "bahasa menunjukkan bangsa".


Bagaimanakah sebenarnya tingkat peradaban dan jati diri bangsa
tersebut? Apakah ia termasuk bangsa yang ramah, bersahabat,
santun, damai, dan menyenangkan? Ataukah sebaliknya, ia termasuk
bangsa yang senang menebar bibit-bibit kebencian, menebar
permusuhan, suka menyakiti, bersikap arogan, dan suka menang
sendiri.

Bahasa memang memiliki peran sentral dalam perkembangan


intelektual, sosial, dan emosional. Begitu pentingnya bahasa dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sehingga perlu
suatu kebijakan yang berimplikasi pada pembinaan dan pembelajaran
di lembaga pendidikan. Salah satu bentuk pembinaan yang dianggap
paling strategis adalah pembelajaran bahasa Indonesia, bahasa
Sunda, bahasa Jawa, dan bahasa lainnya di sekolah. Dalam KTSP,
bahasa Indonesia termasuk dalam kelompok mata pelajaran estetika.
Kelompok ini juga merupakan salah satu penyangga dari kelompok
agama dan akhlak mulia. Ruang lingkup akhlak mulia mencakup etika,
budi pekerti, atau moral.

Kelompok mata pelajaran estetika sendiri bertujuan untuk


meningkatkan sensitivitas, kemampuan mengekspresikan dan
mengapresiasi keindahan dan harmoni. Kemampuan itu mencakup
apresiasi dan ekspresi, baik dalam kehidupan individual sehingga
mampu menikmati dan mesyukuri hidup, maupun dalam kehidupan
kemasyarakatan sehingga mampu menciptakan kebersamaan yang
harmonis.

Tujuan rumpun estetika tersebut dijabarkan dalam pembelajaran


bahasa Indonesia yang bertujuan agar peserta didiknya memiliki
kemampuan antara lain (1) berkomunikasi secara efektif dan efisien
sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis dan
(2) menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan
intelektual, serta kematangan emosional dan sosial. Tujuan tersebut
dilakukan dalam aspek mendengarkan, berbicara, membaca, dan
menulis.

Pelajaran bahasa Indonesia telah eksis sejak dulu dari tingkat SD


sampai PT. Di SD pelajaran ini mulai diberikan di kelas IV-VI,
alokasinya 5 jam per minggu atau 15,63% dari total alokasi jam
pembelajaran, SMP 4 jam atau 12,5%, di SMA kelas XI 4 jam atau
10,53%, kelas XI dan XII 4 jam atau 7,69%. Alokasi itu diperkuat lagi
dengan pelajaran bahasa Sunda sebanyak 2 jam setiap minggunya. Di
PT, bahasa Indonesia termasuk dalam MKDU, minimal 2 SKS. Ini
menunjukkan bahwa kedudukannya dalam kurikulum pendidikan
formal begitu utama dan strategis.

Ironisnya, eksistensi dan besarnya alokasi jam pelajaran bahasa


Indonesia di sekolah saat ini belum memberikan kontribusi dan
korelasi yang berarti terhadap tumbuhnya kesadaran penggunaan
bahasa secara verbal yang lemah lembut, santun, sopan, sistematis,
teratur, mudah dipahami, dan lugas. Pelajaran tersebut harus diakui
belum mampu membangun nilai-nilai estetika dalam kehidupan sehari-
hari. Hal ini mungkin salah satunya disebabkan pembelajarannya
masih bersifat kurang komunikatif, dikotomis, artifisial, verbalistis, dan
kognitif.

Kegagalan menanamkan pendidikan nilai melalui pembelajaran bahasa


Indonesia ini tercermin pada perilaku berbahasa yang tidak
mengindahkan nilai-nilai sopan santun. Kegagalan ini sedikit banyak
telah memberi andil pada terjadinya tindak kekerasaan di masyarakat,
perseteruan di tingkat elite, dan ikut memengaruhi terjadinya
pelecehan terhadap nilai-nilai luhur yang dihormati bersama.

Menurut pakar bahasa, I. Pratama Baryadi dari Universitas Sanata


Dharma Yogyakarta, terdapat korelasi antara bahasa sebagai lambang
yang memiliki fungsi utama sebagai alat komunikasi antarmanusia
dengan kekerasan yang merupakan perilaku manusia yang
hegemonik-destruktif.

Dua korelasi itu, pertama, bahwa bahasa dapat digunakan sebagai alat
untuk melakukan kekerasan sehingga menimbulkan salah satu jenis
kekerasan yang disebut kekerasan verbal. Wujudnya terlihat dalam
tindak tutur seperti memaki, membentuk, mengancam, menjelek-
jelekkan, mengusir, memfitnah, menyudutkan, mendiskriminasikan,
mengintimidasi, menakut-nakuti, memaksa, menghasut, membuat
orang malu, menghina, dan lain sebagainya.

Kedua, bahasa yang tidak digunakan sesuai dengan fungsinya akan


menjadi pemicu timbulnya kekerasan. Fungsi hakiki bahasa adalah alat
komunikasi, alat bekerja sama, dan pewujud nilai-nilai persatuan bagi
para pemakainya. Dalam teori percakapan, ada dua prinsip
penggunaan bahasa yang wajar-alamiah, yaitu prinsip kerja sama dan
prinsip kesopanan.

Prinsip kerja sama menganjurkan agar komunikasi verbal dilakukan


dengan bentuk yang lugas, jelas, isinya benar, dan relevan dengan
konteksnya. Prinsip kesopanan menganjurkan agar komunikasi verbal
dilakukan dengan sopan, yaitu bijaksana, mudah diterima, murah hati,
rendah hati, cocok, dan simpatik.

Sejalan dengan itu, dalam ajaran Islam ada yang disebut dengan dosa
lisan. Dalam Q.S. Al Qalam [68]: 10-11), "Dan janganlah kamu ikuti
setiap orang yang banyak bersumpah lagi menghina. Yang banyak
mencela, yang kian kemari menghambur fitnah". Larangan itu
dipertegas lagi oleh dua hadis Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhari. Hadis pertama berbunyi, "Orang yang beriman kepada Allah
dan hari kiamat, hendaknya berkata baik. Atau, (jika tidak bisa) lebih
baik diam". Bunyi hadis kedua, "Orang yang disebut Muslim adalah
orang yang bisa menjaga tangannya dan lisannya (dari menyakiti
Muslim lain)". Begitulah ajaran agama mengatur etika dan anjuran
berbahasa dengan baik dalam lehidupan.

Anjuran tersebut juga relevan dengan pepatah lama yang


menyebutkan lidah atau lisan bagaikan pedang. Jika lisan telah
mengibaskan ketajaman mata pedangnya di hati, rasa sakit dan
lukanya akan berbekas untuk waktu yang lama. Penyimpangan
(deviasi) prinsip-prinsip tersebut dapatlah memicu timbulnya
kekerasan. Sebagai contoh, berbicara kasar, berbicara saja tanpa
tindakan, berbicara bohong, berbicara dengan keras, tidak jelas,
menyakitkan, menyinggung perasaan, merendahkan orang lain, dan
tidak transparan.

Dalam praktik sehari-hari, perilaku berbahasa yang tidak


mengindahkan nilai-nilai dan hakikat fungsi bahasa seperti itu semakin
banyak ditemukan di masyarakat kita saat ini. Perilaku yang tidak
terpuji ini ironisnya banyak dilakukan di alam reformasi. Apakah ini
merupakan cerminan dari euforia demokrasi yang kebablasan. Entah
apa. Perilaku berbahasa yang buruk itu dilakukan oleh semua lapisan:
golongan bawah, golongan menengah, bahkan elite politik negeri ini.
Sindir-menyindir, saling menghujat, provokasi, dan saling mengancam
tidak asing terdengar keluar dari mulut para pemimpin.

"Mulutmu harimaumu", itu kata pepatah yang masih tetap relevan.


Akibat dari penggunaan bahasa yang tidak terpuji itu kini masyarakat
dan elite politik mudah sekali bermusuhan, melakukan tindak anarkis,
merusak, dan lain sebagainya.Pendek kata, negeri ini sangat rentan
dan rawan dengan konflik-konflik, friksi-friksi, perkelahian,
pembunuhan, dan perusakan yang tak berkesudahan.

Dalam rangka reformasi pendidikan, selayaknyalah dipikirkan juga


bagaimana sekolah dapat berperan agar anak didik khususnya, dan
masyarakat pada umumnya tidak berbahasa untuk melakukan
tindakan kekerasan dan tidak memicu kekerasan. Hendaknya anak
didik berbahasa Indonesia yang sopan dan beradab, yang berfungsi
memelihara serta membangun kerja sama kerukunan.

Beberapa hal yang dapat dipikirkan yaitu pertama, sekolah hendaknya


memberi penghargaan yang wajar pada bahasa dan budaya. Kedua,
pelajaran bahasa menggunakan pendekatan komunikatif tetap
menekankan perlunya kesopanan berbahasa. Ketiga, semua warga
sekolah dikondisikan dan disiplinkan untuk berbahasa dengan sopan.

Tentang berhasa yang sopan ini, sangat selaras dengan sabda Rasul
yang mulia, "Tidaklah seharusnya orang menyuruh yang makruf da
mencegah yang mungkar, kecuali memiliki tiga sifat, yakni lemah
lembut dalam menyuruh dan melarang (mencegah), mengerti apa
yang harus dilarang, dan adil terhadap apa yang harus dilarang".

Berdemonstrasi menyampaikan tuntutan dan aspirasinya adalah hak


setiap orang yang mesti diperjuangkan. Namun penyampaian itu
hendaknya disampaikan secara beretika. Aksi-aksi jangan seakan
membenarkan atau melegalkan kata-kata sekasar apa pun dilontarkan
di depan publik. Stoplah sudah kata-kata yang mengumbar bibit-bibit
kebencian, membakar amarah, memancing emosi, mendorong
anarkisme, dan menebar provokasi. Hentikan kata-kata yang hanya
memancing kericuhan dan bentrokan fisik dengan aparat atau pihak
lain. Demikian juga dengan para pemimpin bangsa, hendaknya
menjunjung etika berbahasa. Perilaku berbahasa pemimpin bangsa
dan elite politik yang kerap menimbulkan perseteruan telah
berpengaruh besar pada kehidupan masyarakat di level akar rumput.
Semua itu hanya menghabiskan energi dan membuat rakyat semakin
menderita.

Momentum Idulfitri yang melambangkan kesucian hati dan peringatan


Bulan Bahasa yang dilakukan tiap bulan Oktober ini seyogianya dapat
menggugah kesadaran berbahasa dengan sopan dan santun. Bagi
dunia pendidikan, pembelajaran bahasa Indonesia, bahasa daerah,
dan bahasa lainnya diharapkan mampu menginternalisaikan dan
mengartikulasikan nilai-nilai etika berbahasa dalam perilaku verbal
kita sehari-hari. Pusat Bahasa yang berotoritas membina dan
mengembangkan bahasa hendaknya lebih berperan nyata lagi dalam
mendorong masyarakat menggunakan bahasa Indonesia yang santun.
Lembaga ini jangan hanya berkutat pada riset-riset dan pembakuan
bahasa yang hanya menjadi "menara gading" bagi masyarakatnya.

Karena bahasa mencerminkan pencitraan pribadi, jati diri bangsa, dan


keselamatan hidupnya, sejatinya pemimpin bangsa, elite politik,
masyarakat, dan setiap diri berupaya menggunakan bahasa dengan
sopan, santun, dan beradab. Wallahu a'lam.***

Penulis, guru bahasa dan sastra Indonesia di SMAN 13 Bandung.

Info : http://opinibebas.epajak.org

You might also like