You are on page 1of 8

Secara historis, istilah epistemologi digunakan pertama kali oleh J.F.

Ferrier, untuk membedakan


dua cabang filsafat, epistemologi dan ontologi. Sebagai sub sistem filsafat, epistemologi ternyata
menyimpan “misteri” pemaknaan atau pengertian yang tidak mudah dipahami. Pengertian
epistemologi ini cukup menjadi perhatian para ahli, tetapi mereka memiliki sudut pandang yang
berbeda ketika mengungkapkannya, sehingga didapatkan pengertian yang berbeda-beda, buka
saja pada redaksinya, melainkan juga pada substansi persoalannya.
Substansi persoalan menjadi titik sentral dalam upaya memahami pengertian suatu konsep,
meskipun ciri-ciri yang melekat padanya juga tidak bisa diabaikan. Lazimnya, pembahasan
konsep apa pun, selalu diawali dengan memperkenalkan pengertian (definisi) secara teknis, guna
mengungkap substansi persoalan yang terkandung dalam konsep tersebut. Hal iini berfungsi
mempermudah dan memperjelas pembahasan konsep selanjutnya. Misalnya, seseorang tidak
akan mampu menjelaskan persoalan-persoalan belajar secara mendetail jika dia belum bisa
memahami substansi belajar itu sendiri. Setelah memahami substansi belajar tersebut, dia baru
bisa menjelaskan proses belajar, gaya belajar, teori belajar, prinsip-prinsip belajar, hambatan-
hambatan belajar, cara mengetasi hambatan belajar dan sebagainya. Jadi, pemahaman terhadap
substansi suatu konsep merupakan “jalan pembuka” bagi pembahasan-pembahsan selanjutnya
yang sedang dibahas dan substansi konsep itu biasanya terkandung dalam definisi (pengertian).
Demikian pula, pengertian epistemologi diharapkan memberikan kepastian pemahaman terhadap
substansinya, sehingga memperlancar pembahasan seluk-beluk yang terkait dengan epistemologi
itu. Ada beberapa pengertian epistemologi yang diungkapkan para ahli yang dapat dijadikan
pijakan untuk memahami apa sebenarnya epistemologi itu.
epistemologi juga disebut teori pengetahuan (theory of knowledge). Secara etimologi, istilah
epistemologi berasal dari kata Yunani episteme berarti pengetahuan, dan logos berarti teori.
Epistemologi dapat didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari asal mula atau
sumber, struktur, metode dan sahnya (validitasnya) pengetahuan. Dalam Epistemologi,
pertanyaan pokoknya adalah “apa yang dapat saya ketahui”? Persoalan-persoalan dalam
epistemologi adalah: 1.Bagaimanakah manusia dapat mengetahui sesuatu?; 2). Dari mana
pengetahuan itu dapat diperoleh?; 3). Bagaimanakah validitas pengetahuan a priori (pengetahuan
pra pengalaman) dengan pengetahuan a posteriori (pengetahuan purna pengalaman) (Tim Dosen
Filsafat Ilmu UGM, 2003, hal.32).
Pengertian lain, menyatakan bahwa epistemologi merupakan pembahasan mengenai bagaimana
kita mendapatkan pengetahuan: apakah sumber-sumber pengetahuan ? apakah hakikat,
jangkauan dan ruang lingkup pengetahuan? Sampai tahap mana pengetahuan yang mungkin
untuk ditangkap manuasia (William S.Sahakian dan Mabel Lewis Sahakian, 1965, dalam Jujun
S.Suriasumantri, 2005).
Menurut Musa Asy’arie, epistemologi adalah cabang filsafat yang membicarakan mengenai
hakikat ilmu, dan ilmu sebagai proses adalah usaha yang sistematik dan metodik untuk
menemukan prinsip kebenaran yang terdapat pada suatu obyek kajian ilmu. Sedangkan,
P.Hardono Hadi menyatakan, bahwa epistemologi adalah cabang filsafat yang mempelajari dan
mencoba menentukan kodrat dan skope pengetahuan, pengandaian-pengendaian dan dasarnya,
serta pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki. Sedangkan
D.W Hamlyn mendefinisikan epistemologi sebagai cabang filsafat yang berurusan dengan
hakikat dan lingkup pengetahuan, dasar dan pengendaian-pengendaiannya serta secara umum hal
itu dapat diandalkannya sebagai penegasan bahwa orang memiliki pengetahuan.
Inti pemahaman dari kedua pengertian tersebut hampir sama. Sedangkan hal yang cukup
membedakan adalah bahwa pengertian yang pertama menyinggung persoalan kodrat
pengetahuan, sedangkan pengertian kedua tentang hakikat pengetahuan. Kodrat pengetahuan
berbeda dengan hakikat pengetahuan. Kodrat berkaitan dengan sifat yang asli dari pengetahuan,
sedang hakikat pengetahuan berkaitan dengan ciri-ciri pengetahuan, sehingga menghasilkan
pengertian yang sebenarnya. Pembahasan hakikat pengetahuan ini akhirnya melahirkan dua
aliran yang saling berlawanan, yaitu realisme dan idealisme.
Selanjutnya, pengertian epistemologi yang lebih jelas daripada kedua pengertian tersebut,
diungkapkan oleh Dagobert D.Runes. Dia menyatakan, bahwa epistemologi adalah cabang
filsafat yang membahas sumber, struktur, metode-metode dan validitas pengetahuan. Sementara
itu, Azyumardi Azra menambahkan, bahwa epistemologi sebagai “ilmu yang membahas tentang
keasliam, pengertian, struktur, metode dan validitas ilmu pengetahuan”. Kendati ada sedikit
perbedaan dari kedua pengertian tersebut, tetapi kedua pengertian ini sedikit perbedaan dari
kedua pengertian tersebut, tetapi kedua pengertian ini telah menyajikan pemaparan yang relatif
lebih mudah dipahami.

Lebih lanjut tentang: Pengertian Epistemologi


Aksiologi merupakan cabang filsafat ilmu yang mempertanyakan bagaimana manusia
menggunakan ilmunya[1].  Aksiologi adalah istilah yang berasal dari kata Yunani yaitu; axios
yang berarti sesuai atau wajar. Sedangkan logos yang berarti ilmu. Aksiologi dipahami sebagai
teori nilai. Jujun S.Suriasumantri mengartika aksiologi sebagai teori nilai yang berkaitan dengan
kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.[2] Menurut John Sinclair, dalam lingkup kajian
filsafat nilai merujuk pada pemikiran atau suatu sistem seperti politik, sosial dan agama.
sedangkan nilai itu sendiri adalah sesuatu yang berharga, yang diidamkan oleh setiap insan.

Aksiologi adalah ilmu yang membicarakan tentang tujuan ilmu pengetahuan itu sendiri. Jadi
Aksiologi merupakan ilmu yang mempelajari hakikat dan manfaat yang sebenarnya dari
pengetahuan, dan sebenarnya ilmu pengetahuan itu tidak ada yang sia-sia kalau kita bisa
memanfaatkannya dan tentunya dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya dan di jalan yang baik
pula. Karena akhir-akhir ini banyak sekali yang mempunyai ilmu pengetahuan yang lebih itu
dimanfaatkan di jalan yang tidak benar.

Pembahasan aksiologi menyangkut masalah nilai kegunaan ilmu. Ilmu tidak bebas nilai. Artinya
pada tahap-tahap tertentu kadang ilmu harus disesuaikan dengan nilai-nilai budaya dan moral
suatu masyarakat; sehingga nilai kegunaan ilmu tersebut dapat dirasakan oleh masyarakat dalam
usahanya meningkatkan kesejahteraan bersama, bukan sebaliknya malahan menimbulkan
bencana.

1. 2. Penilaian Dalam Aksiologi

Dalam aksiologi, ada dua penilain yang umum digunakan, yaitu etika dan estetika. Etika adalah
cabang filsafat yang membahas secara kritis dan sistematis masalah-masalah moral. Kajian etika
lebih fokus pada prilaku, norma dan adat istiadat manusia. Etika merupakan salah-satu cabang
filsafat tertua. Setidaknya ia telah menjadi pembahasan menarik sejak masa Sokrates dan para
kaum shopis. Di situ dipersoalkan mengenai masalah kebaikan, keutamaan, keadilan dan
sebagianya. Etika sendiri dalam buku Etika Dasar yang ditulis oleh Franz Magnis Suseno
diartikan sebagai pemikiran kritis, sistematis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-
pandangan moral. Isi dari pandangan-pandangan moral ini sebagaimana telah dijelaskan di atas
adalah norma-norma, adat, wejangan dan adat istiadat manusia. Berbeda dengan norma itu
sendiri, etika tidak menghasilkan suatu kebaikan atau perintah dan larangan, melainkan sebuah
pemikiran yang kritis dan mendasar. Tujuan dari etika adalah agar manusia mengetahi dan
mampu mempertanggungjawabkan apa yang ia lakukan.

Didalam etika, nilai kebaikan dari tingkah laku manusia menjadi sentral persoalan. Maksudnya
adalah tingkah laku yang penuh dengan tanggung jawab, baik tanggung jawab terhadap diri
sendiri, masyarakat, alam maupun terhadap tuhan sebagai sang pencipta.

Dalam perkembangan sejarah etika ada empat teori etika sebagai sistem filsafat moral yaitu,
hedonisme, eudemonisme, utiliterisme dan deontologi. Hedoisme adalah padangan moral yang
menyamakan baik menurut pandangan moral dengan kesenangan. Eudemonisme menegaskan
setiap kegiatan manusia mengejar tujuan. Dan adapun tujuan dari manusia itu sendiri adalah
kebahagiaan.
Selanjutnya utilitarisme, yang berpendapat bahwa tujuan hukum adalah memajukan kepentingan
para warga negara dan bukan memaksakan perintah-perintah ilahi atau melindungi apa yang
disebut hak-hak kodrati. Selanjutnya deontologi, adala h pemikiran tentang moral yang
diciptakan oleh Immanuel Kant. Menurut Kant, yang bisa disebut baik dalam arti sesungguhnya
hanyalah kehendak baik. Semua hal lain disebut baik secara terbatas atau dengan syarat.
Misalnya kekayaan manusia apabila digunakan dengan baik oleh kehendak manusia.

Sementara itu, cabang lain dari aksiologi, yakni estetika. Estetika merupakan bidang studi
manusia yang mempersoalkan tentang nilai keindahan. Keindahan mengandung arti bahwa
didalam diri segala sesuatu terdapat unsur-unsur yang tertata secara tertib dan harmonis dalam
satu kesatuan hubungan yang utuh menyeluruh. Maksudnya adalah suatu objek yang indah
bukan semata-mata bersifat selaras serta berpola baik melainkan harus juga mempunyai
kepribadian.

Sebenarnya keindahan bukanlah merupakan suatu kualitas objek, melainkan sesuatu yang
senantiasa bersangkutan dengan perasaan. Misalnya kita bengun pagi, matahari memancarkan
sinarnya kita merasa sehat dan secara umum kita merasaakan kenikmatan. Meskipun
sesungguhnya pagi itu sendiri tidak indah tetapi kita mengalaminya dengan perasaan nikmat.
Dalam hal ini orang cenderung mengalihkan perasaan tadi menjadi sifat objek itu, artinya
memandang keindahan sebagai sifat objek yang kita serap. Padahal sebenarnya  tetap merupakan
perasaan.

1. Kegunaan Aksiologi  Terhadap Tujuan Ilmu Pengetahuan

Berkenaan dengan nilai guna ilmu, baik itu ilmu umum maupun ilmu agama, tak dapat dibantah
lagi bahwa kedua ilmu itu sangat bermanfaat bagi seluruh umat manusia, dengan ilmu sesorang
dapat mengubah wajah dunia.

Berkaitan dengan hal ini, menurut Francis Bacon seperti yang dikutip oleh Jujun.S.Suriasumatri
yaitu bahwa “pengetahuan adalah kekuasaan” apakah kekuasaan itu merupakan berkat atau
justru malapetaka bagi umat manusia. Memang kalaupun terjadi malapetaka yang disebabkan
oleh ilmu, bahwa kita tidak bisa mengatakan bahwa itu merupakan kesalahan ilmu, karena ilmu
itu sendiri merupakan alat bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan hidupnya, lagi pula ilmu
memiliki sifat netral, ilmu tidak mengenal baik ataupun buruk melainkan tergantung pada
pemilik dalam menggunakannya. .

Nilai kegunaan ilmu, untuk mengetahui kegunaan filsafat ilmu atau untuk apa filsafat ilmu itu
digunakan, kita dapat memulainya dengan melihat filsafat sebagai tiga hal, yaitu:

1. Filsafat sebagai kumpulan teori digunakan memahami dan mereaksi dunia pemikiran.

Jika seseorang hendak ikut membentuk dunia atau ikut mendukung suatu ide yang membentuk
suatu dunia, atau hendak menentang suatu sistem kebudayaan atau sistem ekonomi, atau sistem
politik, maka sebaiknya mempelajari teori-teori filsafatnya. Inilah kegunaan mempelajari teori-
teori filsafat ilmu.
1. Filsafat sebagai pandangan hidup.

Filsafat dalam posisi yang kedua ini semua teori ajarannya diterima kebenaranya dan
dilaksanakan dalam kehidupan. Filsafat ilmu sebagai pandangan hidup gunanya ialah untuk
petunjuk dalam menjalani kehidupan.

1. Filsafat sebagai metodologi dalam memecahkan masalah.

Dalam hidup ini kita menghadapi banyak masalah. Bila ada batui didepan pintu, setiap keluar
dari pintu itu kaki kita tersandung, maka batu itu masalah. Kehidupan akan dijalani lebih enak
bila masalah masalah itu dapat diselesaikan. Ada banyak cara menyelesaikan masalah, mulai dari
cara yang sederhana sampai yang paling rumit. Bila cara yang digunakan amat sederhana maka
biasanya masalah tidak terselesaikan secara tuntas.penyelesaian yang detail itu biasanya dapat
mengungkap semua masalah yang berkembang dalam kehidupan manusia.[3]

1. Kaitan Aksiologi Dengan Filsafat Ilmu

Nilai itu bersifat objektif, tapi kadang-kadang bersifat subjektif. Dikatakan objektif jika nilai-
nilai tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Tolak ukur suatu gagasan berada
pada objeknya, bukan pada subjek yang melakukan penilaian. Kebenaran tidak tergantung pada
kebenaran pada pendapat individu melainkan pada objektivitas fakta. Sebaliknya, nilai menjadi
subjektif, apabila subjek berperan dalam memberi penilaian; kesadaran manusia menjadi tolak
ukur penilaian. Dengan demikian nilai subjektif selalu memperhatikan berbagai pandangan yang
dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan yang akan mengasah kepada suka atau tidak suka,
senang atau tidak senang.

Bagaimana dengan objektivitas ilmu? Sudah menjadi ketentuan umum dan diterima oleh
berbagai kalangan bahwa ilmu harus bersifat objektif. Salah satu faktor yang membedakan antara
peryataan ilmiah dengan anggapan umum ialah terletak pada objektifitasnya. Seorang ilmuan
harus melihat realitas empiris dengan mengesampingkan kesadaran yang bersifat idiologis,
agama dan budaya. Seorang ilmuan haruslah bebas dalam menentukan topik penelitiannya, bebas
melakukan eksperimen-eksperimen. Ketika seorang ilmuan bekerja dia hanya tertuju kepada
proses kerja ilmiah dan tujuannya agar penelitiannya be rhasil dengan baik. Nilai objektif hanya
menjadi tujuan utamanya, dia tidak mau terikat pada nilai subjektif [4].
Kata ontologi, barasal dari dua kata dasar yaitu Ontos dan Logos. Ontos yang berarti Ada dan Logos yang
berarti Ilmu. Sehingga secara global istilah onntologi bisa diartikan sebagai suatu ilmu yang mengkaji
tentang hakiat dari segala sesuatu Yang-Ada. Hakikat dalam kajian ontologi adalah keadaan sebenarnya
dari sesuatu, bukan keadaan sementara yang selalu berubah-ubah.
Pertanyaan yang utama dalam kajian ontologi adalah pertanyaan tentang ‘mengada’, dan pertanyaan ini
muncul dari pemahaman tentang kanyataan konkret. Dengan demikian ontologi menanyakan sesuatu
yang serba tidak dikenal. Andaikan sama sekali tidak dikenal, mustahillah pernah ada pertanyaan.
Dalam kajian lain ontologi juga dikenal dengan istilah ‘metafisika umum’ dengan demikian, ontologi
dapat difahami sebagai ‘pohon filsafat’ atau filsafat itu sendiri. Ontologi diistilahkan dengan metafisika
umum adalah dikarenakan ontologi ingin menyatukan seluruh kenyataan dalam satu visi menyeluruh
menurut intinya yang paling mutlak dan mancari pengalaman tentang urusan yang terdalam.

B. Permasalahan
Dalam kajian ontologi ada beberapa masalah yang perlu dipahami dan dicermati
1. Jumlah dan ragam
Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Ontologi
membahas tentang yang ada yang universal, menampilkan pikiran semesta universal. Ontologi berupaya
mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan. Kenyataan itu baik dari pengalaman pribadi maupun
dari sejarah pemikiran muncul persoalan tentang kesatuan dan kebanyakan, tentang ketunggalan dan
kegandaan, tantang keekaan dan keanekaan, tentang kesamaan dan keberlainan. Persoalan itu merupakan
pertanyaan ontologi yang paling fundamental, sebab menentukan sudut pandang pertama mengenai
kenyataan seutuhnya, dan menberikan arah utama bagi seluruh ontologi.

2. Pertentangan
Rasanya orang-orang harus memilih salah satu di antara dua kemungkinan tersebut (antara kenyataan
yang satu dan yang beragam), jikalau kenyataan itu bersatu, maka kiranya menjadi satu, tunggal, esa dan
tidak akan menjadi banyak, ganda dan aneka. Dan demikian pula sebaliknya, jikalau jika kenyataan itu
mengandung perbedaan. Atau sekurang-kurangnya salah satu menjadi sifat utama dan karakteristik bagi
kenyataan, sedangkan sifat lainnya marupakan kekurangan dan kemerosotan
3. Hampiran
Untuk menolak pemecahan persoalan awal ini, ontologi harus menolak dari kenyataan konkret menurut
apa adanya. Tidak akan diusahakan menjawab pertanyaan:”Karena apa ada suatu kenyataan?”
keniscayaan mengada atau tidaknya itu mustahil diuraikan secara apriori. Adanya kenyataan diterima saja
sebagai fakta, dan ontologi berusaha menetapkan batas-batas struktur-strkturnya.
Analisis mengenai keseluruhan kenyataan tidak akan dimulai dengan berefleksi tentang kesadaran
manusia akan pertanyaan mengenai mengada-pada-umumnya (I’etre, Sein, bieng). Andaikata demikian,
maka akan bahaya bahwa rumusan pertanyaan pun telah memuat kekurangan. Titik pangkal penelitian
ialah kesadaran manusia mengenai dirinya sendiri sebagai data. Disitulah manusia paling dekat dengan
kenyataan.
C. Aliran-aliran
Di dalam pemahaman ontologi dapat diketemukan pandangan-pandangan pokok pemikiran sebagai
berikut:
1. Monoisme
Monisme adalah aliran yang memberikan gagasan metafisis bahwa kosmos terbuat dari satu jenis Zat ..
Haruslah satu hakikat saja sebagai sumber yang asal, baik yang asal berupa materi ataupun berupa rohani.
Tidak mungkin ada hakikat masing-masing bebas dan berdiri sendiri. Haruslah salah satunya merupakan
sumber yang pokok dan dominan menentukan perkembangan yang lainnya. Paham ini kemudian terbagi
ke dalam dua aliran:
a. Materialisme
Menurut aliran ini, yang sesungguhnya ada adalah keberadaan yang bersifat material atau bergantung
terhadap materi. Menurutnya, zat mati (materi) merupakan kenyataan dan satu-satunya fakta, aliran ini
juga menolak segala sesuatu yang tidak kelihatan. Yang ada hanyalah materi. Sedangkan yang lainnya,
yaitu jiwa atau ruh tidaklah merupakan suatu kenyataan yang berdiri sendiri seperti halnya jiwa dan badan
(materi). Tanpa jiwa badan dapat hidup, tapi jiwa tanpa bahan tidak akan dapat hidup. Contohnya jantung
katak yang dikeluarkan dari tubuhnya masih dapat berdenyut beberapa detik. Sedangkan tidak akan
pernah ada katak tanpa badan (materi) . ini..
b. Idealisme
Sebagai lawan materialisme adalah aliran idealisme. Idealisme diambil dari kata "Idea", yaitu sesuatu
yang Nadir dalam jiwa. Aliran ini beranggapan bahwa hakikat kenyataan yang beraneka ragam itu semua
berasal dari ruh (sukma) atau sejenis dengannya, yaitu sesuatu yang tidak berbentuk dan menempati
ruang.
Aliran ini menjadikan 'AKU' sebagai dasar tindakan yang merupakan subyek yang sekonkret-konkretnya
dan dianggap sebagai satu-satunya realitas. 'AKU' berfikir bahwa segala sesuatu sebetulnya tak lain dari
pada saya. Saya sadar akan dunia dan orang-orang sekitar saya. Mereka ada di dalam kesadaran saya. Jadi
seluruh realita yang nampak ini adalah karena AKU berfikir.
2. Dualisme
Dualisme merupakan aliran filsafat yang mencoba memadukan antara dua faham yang saling
bertentangan yaitu materialisme dan idealisme. Dualisme mengatakan bahwa materi dan ruh sama-sama
hakikat. Materi muncul bukan karena roh, begitu pula roh tidak muncul karena materi. Kedua macam
hakikat itu masing-masing bebas dan berdiri sendiri, sama-sama azali dan abadi. Contoh yang paling jelas
tentang adanya kerja sama kedua hakikat ini ialah dalam diri manusia. Tokoh paham ini adalah Descartes
(1596-1650 M) yang dianggap sebagai bapak filsafat modern. la menamakan kedua hakikat itu dengan
istilah dunia kesadaran (ruhani) dan dunia ruang (kebendaan).

3. Pluralisme
Paham ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan. Pluralisme bertolak dari
keseluruhan dan mengakui bahwa segenap macam bentuk itu semuanya nyata. Pluralisme dalam
Dictionary of Philosophy and Religion dikatakan sebagai paham yang menyatakan bahwa kenyataan ini
tersusun dari banyak unsur, lebih dari satu atau dua entitas. Tokoh aliran ini pada masa Yunani Kuno
adalah Anaxagoras dan Empedocles yang menyatakan bahwa substansi yang ada itu terbentuk dan terdiri
dari 4 unsur, yaitu tanah, air, api, dan udara
Tokoh modern aliran ini adalah William James (1842-1910 M). kelahiran New York dan terkenal sebagai
seorang psikolog dan filosof Amerika. Dalam bukunya The Meaning of Truth James mengemukakan,
tiada kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri, lepas dari akal
yang mengenal. Sebab pengalaman kita berjalan terus, dan segala yang kita anggap benar dalam
perkembangan pengalaman itu senantiasa berubah, karena dalam praktiknya apa yang kita anggap benar
dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya. Oleh karena itu, tiada kebenaran yang mutlak, yang ada
adalah kebenaran-kebenaran, yaitu apa yang benar dalam pengalaman-pengalaman yang khusus, yang
setiap kali dapat diubah oleh pengalaman berikutnya. Kenyataan terdiri dari banyak kawasan yang berdiri
sendiri. Dunia bukanlah suatu universum, melainkan suatu multi-versum. Dunia adalah suatu. yang terdiri
dari banyak hal yang beraneka ragam atau pluralis.
4. Nihilisme
Nihilisme berasal dari Bahasa Latin yang berarti nothing atau tidak ada. Sebuah doktrin yang tidak
mengakui validitas alternatif yang positif. Istilah nihilisme diperkenalkan oleh Ivan Turgeniev dalam
novelnya Fathers and Childern yang ditulisnya pada tahun 1862 di Rusia.
Doktrin tentang nihilisme sebenarnya sudah ada semenjak zaman Yunani Kuno, yaitu pada pandangan
Gorgias (483-360 SM) yang memberikan tiga proposisi tentang realitas. Pertama, tidak ada sesuatu pun
yang eksis. Realitas itu sebenarnya tidak ada. Bukankah Zeno juga pernah sampai pada kesimpulan
bahwa hasil pemikiran itu selalu tiba pada paradoks. Kita harus menyatakan bahwa realitas itu tunggal
dan banyak, terbatas dan tak terbatas, dicipta dan tak dicipta. Karma kontradiksi tidak dapat diterima,
maka pemikiran lebih baik tidak menyatakan apa-apa tentang realitas. Kedua, bila sesuatu itu ada, isi
tidak dapat diketahui. Ini disebabkan oleh penginderaan itu tidak dapat dipercaya, penginderaan itu
sumber ilusi. Akal juga tidak mampu meyakinkan kita tentang bahan alam semesta ini karma kita telah
dikungkung oleh dilema subjektif. Kita berpikir sesuai dengan kemauan, ide kita, yang kita terapkan pada
fenomena. Ketiga, sekalipun realitas itu dapat kita ketahui, isi tidak akan dapat kita beritahukan kepada
orang lain.

5. Agnostisisme
Agnosticisme adalah aliran yang mengatakan bahwa manusia tidak mungkin mengetahui hakikat sesuatu
di balik kenyataan ini. Baik hakikat materi maupun hakikat ruhani. Kata Agnosticisme sendiri berasal dari
bahasa Grik Agnostos yang berarti unknown. A artinya not, Gno artinya know. Manusia dengan semua
keterbatasannya tidak mungkin tahu apa hakikat sesuatu yang ada, baik oleh inderanya maupun oleh
pikirannya.
Timbulnya aliran ini dikarenakan belum dapatnya orang mengenal dan mampu menerangkan secara
konkret akan adanya kenyataan yang berdiri sendiri dan dapat kita kenal. Aliran ini dengan tegas selalu
menyangkal adanya suatu kenyataan mutlak yang bersifat trancendent.

You might also like