Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Seringkali kita jumpai pertanyaan “apa hukumnya bila nikah beda agama, baik
yg laki-laki atau perempuannya yg muslim, apa sah atau tidak menurut Islam ?”.
Pernahkan anda melihat pasangan tetangga anda, yang menganut agama yang
berbeda (dalam konteks ini, salah satunya adalah Muslim), menjalani hidup mereka
sehari-hari dengan penuh ketenteraman, saling menghargai, saling mengasihi selama
bertahun-tahun, tidak terdengar adanya konflik yang berarti, jarang bertengkar,
demikian juga dengan anak-anak mereka, dari kecil dididik untuk tenggang rasa,
penuh toleransi dan setelah dewasa diberi kebebasan penuh untuk memilih
keyakinannya sendiri.
Anak-anak tersebut tumbuh menjadi seorang penganut agama yang toleran dan
punya kemampuan menghargai kepercayaan lain yang berbeda. Sedangkan anda
sendiri, sekalipun pasangan anda sama-sama penganut Islam, termasuk kategori taat
beribadah, tapi sering terlibat pertengkaran (ukuran sering atau tidaknya tentu
tergantung anda sendiri) sehingga rumah serasa neraka, punya anak-anak bandel
yang shalat wajibnya bolong-bolong.
Dari Asbabun Nuzul dan hadist Nabi diatas, terlihat bahwa larangan Allah dan
anjuran Rasulullah untuk tidak menikahi wanita musyrik, bukanlah merupakan
larangan yang ditujukan secara khusus, tapi lebih sebagai pembanding, bahwa dalam
ajaran Islam seorang budak wanita yang beriman dan ta'at, dinilai lebih baik dari
pasangan anda yang musyrik. Sebaliknya bagi wanita muslimah, pernyataan Allah
tersebut lebih ditujukan kepada walinya, bukan kepada orangnya, ini menunjukkan
bahwa dalam menjalankan ajaran ini, pihak wali-lah yang dituntut untuk berperan
dalam menerapkannya. Allah terlihat 'mengerti betul' bahwa dalam kasus-kasus
pernikahan beda agama, masalahnya sangat kompleks karena banyak menyangkut
soal perasaan, cinta dan kasih sayang, suatu hal yang pada dasarnya sering diluar
kontrol manusia, makanya secara keseluruhan redaksi ayat itu terkesan bersifat
'mengingatkan', dan diakhiri dengan : Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
(perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran, Allah
seolah-olah mau mengatakan : "Inilah perintah-Ku, pikirkanlah baik-baik..".
Aturan ini sebenarnya sangat jelas, yaitu memakai kata 'janganlah', artinya
jangan itu : dilarang, tidak boleh, tidak diizinkan. Namun ketika sampai kepada
penafsiran 'orang-orang musyrik' laki-laki dan wanita, maka muncul perbedaan
penafsiran. Umumnya para ulama menyatakan orang musyrik itu adalah yang
beragama selain Islam, sedangkan dipihak 'sono' dimotori oleh pemikir-pemikir
Islam penganut liberalisme dan pluralisme, 'mempertajam' istilah orang musyrik ini
adalah 'kaum musyrik yang bersikap memusuhi Islam' ibaratnya musyrik Makkah
pada waktu ayat tersebut diturunkan, seperti pernyataan dibawah ini :
Jadi, wanita muslimah dilarang ato diharamkan menikah dengan non muslim,
apapun alasannya. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Alquran di atas. Bisa
dikatakan, jika seorang muslimah memaksakan dirinya menikah dengan laki-laki
non Islam, maka akan dianggap berzina.
Pernikahan seorang lelaki Muslim dengan perempuan non muslim terbagi atas 2
macam:
1. Lelaki Muslim dengan perempuan Ahli Kitab. Yang dimaksud dg Ahli Kitab di
sini adalah agama Nasrani dan Yahudi (agama samawi). Hukumnya boleh, dengan
dasar Surat Al Maidah(5):5,“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik.
Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan
makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita
yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-
wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab
sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud
menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-
gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum
Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang
merugi.”
2. Lelaki Muslim dg perempuan non Ahli Kitab. Untuk kasus ini, banyak ulama yg
melarang, dengan dasar Al Baqarah(2):222,“Dan janganlah kamu nikahi wanita-
wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang
mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan
janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin)
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang
musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah
mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-
ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil
pelajaran.”
Kita tidak akan menemukan hukum dan syariat di dalamnya yang mengatur
masalah kehidupan. Tidak ada hukum jual beli, zakat, zina, minuman keras, judi dan
pencurian. Sebagaimana yang ada di dalam Al-Quran Al-Karim, Injil atau Taurat.
Yang ada hanya etika, moral dan nasehat. Benda itu tidak bisa dikatakan sebagai
kalam suci dari Allah yang diturunkan melalui malaikat Jibril dan berisi hukum
syariat. Sedangkan Taurat, Zabur dan Injil, jelas-jelas kitab samawi yang secara
kompak diakui sebagai kitabullah.
Pendapat yang mengatakan bahwa nasrani itu musyrik adalah pendapat Ibnu
Umar. Beliau mengatakan bahwa nasrani itu musyrik. Selain itu ada Ibnu Hazm
yang mengatakan bahwa tidak ada yang lebih musyrik dari orang yang mengatakan
bahwa tuhannya adalah Isa. Sehingga menurut mereka menikahi wanita ahli kitab itu
haram hukumnya karena mereka adalah musyrik.
Namun jumhur Ulama tetap mengatakan bahwa wanita kitabiyah itu boleh
dinikahi, meski ada perbedaan dalam tingkat kebolehannya. Namun demikian,
wanita muslimah yang komitmen dan bersungguh-sungguh dengan agamanya tentu
lebih utama dan lebih layak bagi seorang muslim dibanding wanita ahlul kitab. Juga
apabila ia khawatir terhadap akidah anak-anak yang lahir nanti, serta apabila jumlah
pria muslim sedikit sementarawanita muslimah banyak, maka dalam kondisi
demikian ada yang berpendapat haram hukumnyapria muslim menikah dengan
wanita non muslim.
Secara ringkas hukum nikah beda agama bisa kita bagi menjadi demikian :
1. Suami Islam, istri ahli kitab = boleh
2. Suami Islam, istri kafir bukan ahli kitab = haram
3. Suami ahli kitab, istri Islam = haram
4. Suami kafir bukan ahli kitab, istri Islam = haram