You are on page 1of 11

Representasi Perempuan sebagai

Objek Seks dalam Film “Paku Kuntilanak”


sebuah kajian semiotika dalam perspektif feminisme

Shefti Latiefah

Semiotika: Tanda dan Makna

Sebelum mulai memasuki ranah analisis, tentu akan lebih sistmatis jika kita mempelajari dulu
apa itu semiotika, karena, semiotika inilah yang nantinya dipergunakan untuk mengupas
objektivikasi perempuan dalam film Paku Kuntilanak, tentunya dalam perspektif feminisme.

Semiotika adalah studi tentang tanda. Untuk memahami sebuah tanda, kita mungkin mengetahui
bahwa tanda merupakan signifikansi yang dimaknai. Oleh karena itu, kajian semiotika bergelut
pada pemaknaan terhadap tanda tertentu. Manusia, sebenarnya secara alamiah merupakan
makhluk yang suka memaknai sesuatu, seperti yang dikatakan oleh Chandler (1994) sebagai
Homo significant, atau, pembuat makna. Namun, kita memaknai tanda melalui interpretasi kita
masing-masing dan dari kreasi yang dihasilkan oleh tanda itu sendiri. Menurut Peirce (dalam
Chandler, 1994: 1), kita hanya berfikir pada tanda. Tanda itu dapat berupa benda, suara, dan rasa.
Tanda-tanda itu sebenarnya tidak memiliki makna instrinsik, atau dengan kata lain tanda tersebut
bersifat netral, mereka hanya akan bermakna bila kita menginterpretasikannya pada makna
tertentu. Peirce kemudian menyebut bahwa tidak ada suatu tanda apapun kecuali seseorang
menginterpretasikannya sebagai tanda. Apapun dapat menjadi tanda bila seseorang
menginterpretasikanya sebagai penanda sesuatu, jadi tanda tidak berdiri sebagai tanda itu sendiri.

1
Mahasiswa Kajian Media, Universitas Paramadina, Jakarta © 2011
Inti dari semiotika adalah adalah bagaimana menggunakan tanda yang memiliki makna penuh.
Kita terkadang menginterpretasi tanda secara konvensional, sesuai dengan sistem familiar yang
kita ketahui, misalkan pengalaman dan nalar.

Dua model dominan tentang semiotika digagas oleh Saussure dan Peirce. Saussure menawarkan
model diadik atau model dua bagian dari suatu tanda: signifier (penanda) dan signified (petanda).
Penanda adalah bentuk dimana tanda itu muncul, dan petanda adalah konsep representasinya.
Tanda merupakan hasil keseluruhan dari hubungan penanda dan petanda yang kemudian
merujuk pada siginifcation. Inilah yang kemudian direpresentasikan oleh diagram Saussurean
(diagram 1).

Garis horizontal menandai dua elemen tanda yang kemudian merujuk pada garis vertikal (tanda).
Misalnya kita ambil contoh (linguistik), kata “buka”. Ketika ia diletakkan di pintu sebuah toko,
maka tanda itu terdiri atas:

1. signifier (penanda): kata “buka”


2. signified (petanda): toko itu buka untuk bisnis

Tanda harus memiliki penanda dan petanda. Ia tidak bisa berupa penanda kosong maupun
petanda yang tidak memiliki bentuk (Saussure 1983, 101; Saussure 1974, 102-103 dalam
Chandler, 1994: .ibid). Tanda dapat dikenali dengan kombinasi penanda dan petanda tertentu.
Seperti kata ”buka” tadi dapat memiliki makna berbeda (oleh karena itu tandanya pun berbeda)
ketika kata tersebut ada di tombol lift (tekan untuk buka pintu). Banyak penanda yang memiliki
konsep mirip dengan 'buka' seperti yang dijabarkan. Namun, tetap saja, beda pasangan (penanda-
petanda) maka beda pula tanda yang dihasilkan.

Selama Saussure memformulasikan model tentang tanda dari semiologi dan metodologi
strukturalis, Peirce juga memformulasikan modelnya sendiri tentang semiotika dan tanda-tanda
taksonomi. Berkebalikan dengan Saussure yang menggadang-gadangkan self-contained dyad,
Peirce (dalam Chandler, 1994: 9) menawarkan model triadik.: Representamen (bentuk tanda,

2
Mahasiswa Kajian Media, Universitas Paramadina, Jakarta © 2011
tidak harus material), Interpretan (bukan interpreter, tapi lebih pada stimuli yang dihasilkan dari
tanda), dan Objek (rujukan tanda tersebut) (diagram 2).

Contoh dari model Peirce tentang model triadik (biasa juga disebut segitiga semiotik), lampu lalu
lintas yang menyala merah dapat dianalisis secara semiotik. Lampu merah itu terdiri atas: lampu
yang berwarna merah (Representamen), kendaraan berhenti (Objek), dan gagasan bahwa ketika
lampu berwarna merah itu berarti kendaraan harus berhenti (Interpretan).

Diagram 1 (model diadik Saussure) Diagram 2 (model triadik Peirce)

Feminisme dan Media: Representasi Perempuan

Feminisme seperti yang kita ketahui, merupakan suatu gerakan untuk membebaskan kaum
perempuan. Walters (2005) mengungkapkan bahwa definisi secara gamblang tentang feminisme
pun tidak didapatnya. Yang ia tahu, Rebecca West mengatakan bahwa, dirinya dianggap sebagai
feminis ketika mengkritisi tentang prostitusi, dan terminologi itu menjadi bermakna negatif.
Yang lebih menarik adalah ketika terminologi tersebut ada pada kamus Bahasa Inggris Oxford
pun memberikan makna negatif.

Tiga puluh tahun lalu, semenjak adanya buku Friedan (1963), para feminis belajar banyak
tentang pola seksis, kesulitan-kesulitan dalam mengubah pola tersebut dan peran media dalam
memapankannya, selanjutnya, mereka mematahkan pola tersebut. Awalnya feminisme ini

3
Mahasiswa Kajian Media, Universitas Paramadina, Jakarta © 2011
berkutat seputar isu ras kulit putih, kelas menengah, heteroseksual dan perempuan barat.
Beberapa feminis percaya bahwa ini bukan lagi hanya masalah ras atau kelas yang memisahkan
antarperempuan, tapi media. Oleh karena itu, mereka kemudian lebih cenderung fokus pada
relasi perempuan dan media.

Kemudian, berkembanglah teori feminis film. Teori ini dipengaruhi oleh feminisme gelombang
kedua (second wave feminism) dan perkembangan kajian keperempuanan. Sarjana-sarjana
feminis mulai menangkap isyarat dari teknologi baru yang muncul dalam gerakan analisis film
ini. Usaha awalnya di Amerika pada awal tahun 1970-an, secara umum berdasar pada teori
sosiologi dan fokus pada fungsi karakter perempuan pada narasi atau genre film-film tertentu dan
tentang stereotype seperti refleksi pandangan masyarakat tentang perempuan. Karya Rosen,
Popcorn Venus: Women, Movies, and the American Dream (1973), dan Molly Haskell, From
Reverence to Rape: the Treatment of Women in Movies (1974), menganalisis tentang bagaimana
perempuan dipotret dalam sebuah film. Tentunya hal ini terhubung pada konteks historis yang
luas dan potret stereotype tentang perempuan yang ditampilkan sebagai subjek atau objek, dan
jumlah durasi yang diberikan untuk penampilan perempuan.

Fokus terutama dari banyak feminis adalah bagaimana media berkontribusi terhadap percakapan
kultural tentang feminisme dan momen historis yang berbeda selama lebih dari dua puluh lima
tahun. Teori, terutama feminis dan teori genre, adalah hal vital dalam menjelaskan tentang
retorika produksi media. Teoretis feminis seperti Dow, mencoba menjelaskan secara lengkap
tentang strategi yang digunakan oleh para retoris untuk mengkomunikasikan ideologi feminis
yang dapat menarik perempuan untuk menggunakan usaha mereka dan memperoleh legitimasi
publik.

Feminis dari filosofi dan posisi teoretis yang bervariasi mendekatkan analisis mereka tentang
permasalahan perempuan dan solusinya dengan media sharing, setidaknya dengan dua tujuan.
Pertama, mereka mencoba menjelaskan tentang dan bagaimana media mencoba mengabadikan
subordinasi perempuan dalam masyarakat. Kedua adalah untuk mengeksplorasi bagaimana
media dimungkinkan sebagai kendaraan untuk mempercepat ide, status dan kekuatan politik.

4
Mahasiswa Kajian Media, Universitas Paramadina, Jakarta © 2011
Tuchman (1978) mengkaji bahwa, media secara umum merepresentasikan hal yang salah tentang
perempuan. Bahkan pemusnahan simbolik (simbolic annihilation) juga terjadi disini, seperti yang
disampaikan oleh Boyd-Barret dan Newbold (1995) tentang hipotesis refleksi. Bahwa media
merefleksikan nilai-nilai dominan yang ada di aspek sosial masyarakat. Merefleksi pada
masyarakat Amerika era 70-an, budaya patriarki masih kental, sehingga representasi perempuan
di media pun dilihat dari budaya tersebut. Inilah yang dinamakan oleh Tuchman sebagai
pemusnahan simbolik, bahwa perempuan tidak tampak di media. Fungsi-fungsi sosialnya di
media seakan dikesampingkan dan menjadi makhluk subordinat yang dinomorduakan setelah
laki-laki.

Representasi Perempuan dan Pornografi

Permasalahan lain yang menyangkut relasi perempuan dan media adalah pornografi. Pornografi
menjadi musuh utama perempuan yang dirasa lebih kejam dibanding domestivikasi dan
kekerasan terhadap perempuan, karena pornografi yang ada, dewasa ini, seakan-akan menjadikan
perempuan sebagai objek seks belaka. Dworkin dan MacKinnon (dalam Duggan dan Hunter,
2006: 32) berargumen bahwa pornografi adalah akar dari eksploitasi dan diskriminasi yang
pernah ada terhadap perempuan. Ini yang dikhawatirkan MacKinnon sebagai pembatasan
ekspresi perempuan, jika objektivikasi secara seksual masih direpresentasikan dalam media. Hal
inilah yang kemudian mendorong MacKinnon melakukan protes dan pro-sensor pornografi yang
mensubordinatkan perempuan, misalnya, perempuan yang dalam film melakukan oral-seks dan
menikmati cipratan sperma di wajahnya. Jelas-jelas representasi seperti ini dianggap menghina
dan merendahkan derajat perempuan, disaat laki-laki puas dan ejakulasi, perempuan harus
bersusah-payah melakukan pelayanan seksual yang tidak membuatnya puas (dalam hubungan
seksual, ejakulasi, bagi laki-laki, atau orgasme, bagi perempuan, adalah indikator kepuasaan seks
yang standar).

Protes tentang pornografi dan perempuan masih dilangsungkan oleh MacKinnon terhadap
kebijakan tentang pornografi di Indianapolis, Amerika. Ia skeptis tentang logika biner dalam
menetapkan mana yang boleh dan tidak tentang potret seksual secara legal, dalam masyarakat

5
Mahasiswa Kajian Media, Universitas Paramadina, Jakarta © 2011
yang patriarkis seperti itu. Pornografi kemudian dilihat sebagai penyebab utama tekanan
terhadap perempuan oleh banyak feminis. Andrea Dworkin (dalam Duggan dan Hunter, 2006:
44) berpendapat bahwa pornografi menjadi akar ekploitasi dan diskriminasi terhadap perempuan.
Ini merupakan bentuk jangka pendek tentang keyakinan bahwa hukum sedang mengadakan
perlawanan terhadap pornografi, namun kemudian dapat mengakibatkan ketidaksetaraan secara
jender.

Membaca Objektivikasi Perempuan: Analisis Film “Paku Kuntilanak”

I. Sekilas Film “Paku Kuntilanak”

Paku Kuntilanak, produksi Maxima pictures, menekankan inti cerita pada pembalasan dendam
oleh seorang gadis yang menjelma menjadi kuntilanak bernama Kunti (Dewi Perssik). Kunti
merasa tersakiti oleh kekasihnya, Oca (Keith Foo) yang membunuhnya demi berkencan dengan
wanita lain, Selly (Heather Storm). Kunti kemudian menghantui pasangan mantan kekasihnya
itu, namun sayang, dukun sewaan Oca menangkapnya kemudian memakunya. Kunti kemudian
dibuang ke sungai dan ditemukan oleh Pak Joko, seorang bujangan tua yang dituntut untuk
segera menikah oleh ibunya.

Dari sini, alur berubah menjadi komedi. Kesan horror agak ditinggalkan karena Kunti sendiri
menyamar menjadi manusia dan berpura-pura akan menikahi Pak Joko yang notabene
mengeluarkanya dari koper karena secara tidak sengaja, Pak Joko, jatuh ke sungai dan
mengambang diatas koper. Karena Pak Joko juga harus segera menikah, ia pun menerima Kunti
sebagai calon istri.

Pendekatan Kunti pada Pak Joko hanya sebagai alat, lantas di malam hari, Kunti bergentayangan
menghantui pasangan kekasih yang telah menyakitinya. Penampilan Pak Joko tidak sendirian. Ia
bersama anak buahnya, Sukun (Edi Brokoli), Obeng (Hardi Fadhillah), dan Odjie (Rizky Mocil),
juga Mona (Chyntiara Alona). Pak Joko adalah seorang bos dari perusahaan pemburu mayat.
Namun, cerita dalam film ini berpusat pada Kunti yang hendak menuntut balas dan diselingi
adegan-adegan panas yang dijamin membuat jantung penonton berdegup kencang.

6
Mahasiswa Kajian Media, Universitas Paramadina, Jakarta © 2011
II. Membaca Tanda dengan Perspektif Feminisme

Secara keseluruhan, film ini sangat seksis. Hal ini dapat dilihat pada penggambaran perempuan
dalam film tersebut yang digambarkan sebagai makhluk penggoda dengan suara manja yang
selalu memakai baju seksi. Mona dan Kunti, para pemeran wanita utama mengenakan kostum
yang mini-mini, entah gaun pendek dengan paha terbuka atau baju dengan belahan dada yang
mencuat. Kostum laki-laki dalam film tersebut biasa saja, seperti orang kebanyakan. Sungguh
kontras terlihat, apalagi, gimik yang dihadirkan dalam film ini seakan menjadikan perempuan
sebagai objek yang dinikmati secara visual oleh laki-laki lawan mainnya, dan tentu hal yang
sama juga terjadi untuk penonton.

Selain penggambaran secara umum itu, saya mencoba membaca tanda-tanda yang berhubungan
terhadap objektivikasi perempuan secara seksual. Dengan alur yang ganjil Paku Kuntilanak
memotret perempuan hanya dari aspek seksual semata, tanpa menonjolkan aspek lainnya seperti
kecerdasan maupun fungsi sosial mereka. Misalnya, Kunti membunuh seorang gadis yang
mencuci di kali pada malam hari. Sungguh ganjil, apalagi dengan pakaian yang terbuka dan
memperlihatkan bagian dada, kamera secara sengaja menembak lensa utama pada dada gadis itu.
Jika ditelisik secara semiotik, adegan ini hanya sebagai pemanis saja, karena secara logika, tidak
mungkin ada seseorang yang mencuci di kali pada malam hari. Keganjilan ini ditambal dengan
konyol oleh sutradaranya dengan menghadirkan suami sang gadis yang berdialog,”tuh
kan…udah dibilang jangan nyuci malem-malem..jadi tidur kan,” ketika melihat istrinya
terbaring. Padahal ia sudah mati dibunuh Kunti. Dialog tersebut saya kira bertujuan supaya ada
unsur ketidaklaziman yang dilakukan sang istri, sehingga suaminya harus melontarkan kalimat
”tuh kan…udah dibilang…”. Cerita tetap bergulir, setelah mengetahui istrinya mati, suaminya
melihat ada gadis mandi di kali, dengan telanjang dada, tapi hanya tampak dari belakang. Male
gaze menjadi acuan disini, perempuan seakan dilihat sebagai pemuas, tanpa diperhitungkan
sebagai subjek saja. Lenggak-lenggok Kunti yang menggoda mengafirmasi hal ini, dengan
tujuan menyenangkan penontonnya, dalam hal ini adalah suami korbannya tadi.

Adegan lain dengan setting tempat kerja Mona. Markas pemburu mayat itu digambarkan seperti
kantor-kantor kebanyakan, patriarkis, dipimpin oleh laki-laki (Pak Joko) dengan staf klise,

7
Mahasiswa Kajian Media, Universitas Paramadina, Jakarta © 2011
sekretaris seksi (Mona). Potret seorang sekretaris yang diciptakan di film ini seakan tidak secara
professional mengerjakan tugasnya, tapi malah sibuk merayu dan menggoda-goda bosnya.
Adegan-adegan seperti berbicara manja, bertingkah seolah-olah menggemaskan dan mengenakan
pakaian-pakian seksi menjadi agenda utama, ketimbang mengerjakan hal-hal administratif
seperti sekretaris kebanyakan.

Pada salah satu adegan, tampak Mona sedang mandi dan diintip oleh Odjie. Ini jelas tidak pantas,
bagaimana tidak, film itu menciptakan suasana seolah-olah mengintip perempuan mandi itu
dibenarkan dan hal yang biasa dilakukan oleh para lelaki. Bagaimana kalau logika itu dibalik?
Selama ini, belum pernah saya temukan ada adegan perempuan mengintip laki-laki mandi
dengan penuh hasrat. Setelah mandi, sekertaris seksi itu sekonyong-konyong berlari ke meja
resepsionis untuk mengangkat telepon yang berdering, meski masih dengan balutan handuk di
tubuhnya. Gimik yang ditampilkan ketika mengangkat telepon pun sangat aneh, dengan suara
manja, dan lenggak-lenggok yang tidak semestinya. Kamera juga menembak daerah pantat
kebawah sesuai perspektif Pak Joko, karena saat itu ia masuk ke ruangan secara tiba-tiba.
Alhasil, Pak Joko pun merasa terangsang, terlihat dari ekspresinya yang seperti menahan
menyantap sate padang yang terhidang.

Film ini tidak diimbangi riset yang mendalam terhadap konteks sosial masyarakat yang ada di
Indonesia, disamping seksis, film ini juga payah dalam hal penulisan naskah sehingga banyak
tanda-tanda tidak lazim yang kemudian dapat disalahartikan oleh penonton. Seperti misalnya,
ketika Kunti dibawa pulang oleh Pak Joko. Kejadiannya malam hari, ini bisa berarti bahwa Kunti
sebenarnya bukan perempuan yang wajar, dikarenakan, norma dalam masyarakat terlanjur
melabel bahwa perempuan yang keluar malam berarti perempuan nakal. Bukan berarti saya
kemudian pro terhadap labeling dan stereotyping disini, tapi, fakta di masyarakat memang
seperti itu. Jika hal ini ditarik benang merah terhadap kemunculan Kunti di malam hari,
seharusnya Pak Joko sadar bahwa Kunti pasti bukan perempuan awam sehingga terbiasa keluar
malam. Disamping itu, penyambutan ibu Pak Joko juga tidak wajar. Menerima tamu di malam
hari bukanlah adat masyarakat Indonesia. Malam hari identik dengan waktu tenang untuk
beristirahat, bukan untuk menjamu tamu. Jika ini digolongkan pada kejadian luar biasa, mungkin

8
Mahasiswa Kajian Media, Universitas Paramadina, Jakarta © 2011
bisa namun, hal aneh lainnya adalah ketika Kunti diperkenalkan sebagai calon istri, Kunti
kemudian tidur seranjang dengan Pak Joko. Ini sungguh tidak mungkin! Bagaimana seorang ibu
membolehkan anaknya berzina di rumah sendiri? Bagaimanapun, Kunti adalah gadis yang baru
ditemui oleh Pak Joko, dan berpura-pura menjadi calon istri. Ini juga masih calon istri, belum
sah, dan mereka tinggal satu atap, satu ranjang pula. Sungguh payah, meski di era modern seperti
ini, tidak ada orang tua satupun yang mengizinkan anaknya tinggal dengan pasangannya tanpa
menikah terlebih dahulu selama berada dalam pengawasan mereka, seks bebas dan domestic
partner tidak dihitung ketika diluar pengawasan orang tua.

Eksploitasi perempuan sebagai objek seks memang nampak, namun, tidak mengurangi potret
mereka sebagai makhluk domestik. Ketika Kunti tinggal bersama Pak Joko, ibu Pak Joko selalu
dengan bangga memamer-mamerkan masakan Kunti pada teman-teman anaknya. Kunti juga
setia memasak serta mengantarkan makanan untuk calon suaminya itu. Potret domestivikasi
perempuan masih sangat kental di film ini, bahwa, perempuan memang bertanggung jawab untuk
urusan domestik dan melayani kebutuhan lelaki, baik sacara lahir maupun batin. Gejala patriarki
masih nampak, dan tentu saja, sutradara film ini ingin main aman dengan mengedepankan
patriraki dalam film garapannya agar tidak menimbulkan sentimen dan dianggap aneh.

Layar tidak kunjung berhenti memanjakan penonton dengan tayangan panas ala Paku
Kuntilanak. Ketimbang konsisten dengan genrenya, Paku Kuntilanak seakan menjadi film biru
yang tersesat di katalog film horror. Adegan mandi dan berpakaian tidak lengkap menjadi
bidikan favorit sutradara dalam meningkatkan arousal penonton. Kali ini, jalan cerita berbalik
mundur dan menghadirkan Kunti yang masih menjadi kekasih Oca. Ketika itu Oca berselingkuh
dengan Selly dan akhirnya membunuh Kunti. Oca menenggelamkan Kunti di bak ketika ia
sedang mandi. Kunti begitu menikmati berendam dalam bak mandi dan bermain-main dengan
busa yang menutupi tubuhnya. Adegan ini memberitahu bahwa perempuan sangat suka dengan
keindahan tubuhnya, Kunti tampak menikmati mandi sambil mengelus-elus tubuhnya dengan
gimik menggoda. Sementara mandi, Kunti juga memanggil-manggil Oca untuk bergabung
dengannya. Lagi-lagi, perempuan diperlakukan sebagai objek, sebagai penggoda yang kemudian
laki-laki tinggal menikmatinya saja.

9
Mahasiswa Kajian Media, Universitas Paramadina, Jakarta © 2011
Kesimpulan

Seperti yang dijelaskan oleh Saussure dan Peirce tentang semiotika, dan bagaimana kita
memaknai suatu tanda, dengan itulah saya mencoba memaknai tanda-tanda yang muncul dalam
adegan per adegan film Paku Kuntilanak. Begitu banyak tanda yang dapat dimaknai sebagai
degradasi nilai perempuan dalam film ini, dikarenakan representasinya tidak tepat. Potret
perempuan sebagai objek, lebih banyak secara seksual menjadi hal yang patut dikritisi, oleh
karena itulah saya mengambil perspektif feminism dalam membaca tanda yang ada di film ini.

Objektivikasi ini kemudian erat kaitannya dengan pornografi, oleh karena itu, mengapa, ada sub-
bab tentang pornografi yang saya ulas. Media, pornografi dan potret perempuan ini secara politis
memang mensubordinasikan perempuan. Lantas, ketika dianalisis secara ekonomis, ternyata
konten dengan unsur pornografi semacam ini memang laku di pasaran. Bayangkan saja, film
sekelas Paku Kuntilanak dapat menjual 600.000 tiket dengan estimasi penghasilan total 12
Miliar rupiah. Betapa perempuan, pornografi dan media menjadi lahan basah pengeruk
keuntungan yang juga mentransfer gagasan-gagasan seputar keperempuanan dengan rekonstruksi
dan representasi nilai-nilai patriarki di dalamnya. Disaat beberapa pihak menikmati keuntungan
tersebut, perempuan, lagi-lagi harus merana dengan tekanan sosial, domestivikasi serta
ekspektasi-ekspektasi seksual di masyarakat, karena siaran media tersebut. Inilah yang kemudian
dikatakan oleh Tuchman (1978) sebagai pemusnahan simbolik perempuan di media, bahwa
mereka dapat punah dan hanya menjadi makhluk sub-ordinat dari laki-laki.

Film Paku Kuntilanak dengan vulgar menggambarkan betapa perempuan menjadi objek seksual
laki-laki. Adegan-adegan yang ditampilkan fokus pada budaya patriarki dengan menonjolkan
perempuan sebagai objek untuk dinikmati secara seksual. Misalnya, adegan ketika Mona mandi,
adegan ketika Kunti setengah telanjang di sungai, adegan ketika Mona berganti baju dan Odhie
harus menahan hasrat karena melihat tubuh Mona yang tak terbalut kain itu. Tak pernah
ditampakkan perempuan yang menikmati laki-laki secara seksual, dan ini tentu dehumanisasi
potret perempuan dengan menghilangkan hasrat seksual mereka. Seolah-olah perempuan hanya
boleh menunggu untuk disentuh tanpa memiliki inisatif dan libido layaknya laki-laki yang ingin
memuaskan hasrat kapanpun mereka mau.

10
Mahasiswa Kajian Media, Universitas Paramadina, Jakarta © 2011
Referensi:

- Boyd-Barret dan Newbold, Approaches to Media: A Reader (1995)

- Daniel Chandler, Semiotics for Beginners (1994)

- Lisa Duggan dan Nan D. Hunter, Sex Wars: Sexual Dissent and Political Culture (2006)

- Margareth Walters, A Very Short Introduction: Feminism (2005)

- Theo Van Leeuwen, Introducing Social Semiotics (2005)

11
Mahasiswa Kajian Media, Universitas Paramadina, Jakarta © 2011

You might also like