Setiap manusia dianugerahi seperangkat nilai-nilai universal yang
berfungsi sebagai radar bagi manusia ketika dihadapkan pada kondisi sosial. Maka sebenarnya manusia akan mempunyai sikap yang sama ketika menghadapi kondisi yang melibatkan segi kemanusiaan dari manusia. Nilai-nilai tersebut misalnya: kejujuran, kedamaian, kasih sayang, keadilan, empati, kerja sama dan nilai-nilai lain yang tersembunyi dalam hati nuranil manusia. Karenanya, nilai-nilai universal tak akan bisa hilang, selalu hadir dan melekat pada unsur rasa manusia yang telah dipercaya sebagai penuntun manusia untuk senantiasa bersikap baik. Namun nilai-nilai tersebut seringkali tak mampu menjalankan fungsinya karena manusia yang menjadi subyek di mana hati nurani berada sengaja mengacuhkan keberadaannya atau menenggelamkannya hingga sikap dan perilakunya justru jauh dari nilai-nilai mulia tersebut. Ketika manusia disibukkan dengan urusan kehidupan yaitu bagaimana mencapai tataran kehidupan seperti yang diinginkan, maka masing-masing manusia akan mempunyai ukuran-ukuran sendiri tentang kehidupan yang disesuaikan dengan tingkat pengharapan manusia terhadap tataran kehidupan tersebut sehingga akan mempunyai sikap yang berbeda terhadap kondisi sosial yang dihadapi. Ada yang dengan lapang dada mengakui bahwa mereka tidak mampu mencapai tingkat kehidupan seperti yang diinginkan dan terus berusaha untuk mencapainya meskipun sebenarnya mereka yakin tidak akan mampu mencapainya, ada yang terus berharap dan akhirnya menurunkan tingkat pengharapannya akan kehidupan ketika tidak yakin untuk mencapainyai, ada yang bersikap optimis dan yakin bahwa mereka akan mampu mencapainya dan ada pula yang memakai berbagai cara asalkan pengharapannya terhadap tingkat kehidupan bisa terwujud meskipun caranya akan merugikan orang lain, bersikap curang atau sikap dan perilaku yang melanggar nilai-nilai universal yang dimiliki manusia (melawan hati nurani). Semakin sering orang melakukan perbuatan yang berlawanan dengan hati nurani, semakin pudar, tumpul dan tidak peka hati nurani manusia sehingga tak mampu mendeteksi tingkat-tingkat pelanggaran dari nilai-nilai universal yang dimilikinya. Maka dalam kehidupan sosial banyak kita temui sikap-sikap dan perilaku manusia yang bertentangan dengan nilai-nilai tersebut seperti adanya penindasan, penipuan, tindakan-tindakan represif, amuk massa, eksploitasi manusia, penghinaan, pelecehan dan sikap-sikap buruk lainnya. Kita bisa mengatakan bahwa sikap dan perilaku tersebut muncul sebagai akibat tak terkendalinya nafsu manusia yang berujud keserakahan dan ambisi. Peristiwa- peristiwa sosial yang buruk seringkali terjadi akibat keserakahan dan ambisi manusia yaitu ambisi untuk mencapai tingkat kehidupan sesuai dengan pengharapan. Pada tahap dasar orang ingin memenuhi kebutuhan hidup yang bersifat fisik, selanjutnya kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan untuk besosialisasi dengan orang lain, mendapatkan penghargaan dari orang lain dan kebutuhan aktualisasi diri yang dianggap sebagai tingkat kebutuhan yang paling tinggi tingkatannya. Akhirnya kita dapat menyimpulkan bahwa sebenarnya yang dicari manusia adalah kepuasan karena dengan terpenuhinya kebutuhan maka akan terciptalah kepuasan. Jika kondisi terpenuhinya kepuasan manusia diibaratkan sebagai titik keseimbangan antar harapan dengan kenyataan, maka ketidakpuasan manusia bisa dikatakan sebagai kondisi ketidakseimbangan pada diri manusia. Ketika orang berada dalam kondisi tidak seimbang maka mereka akan cenderung mencari penyeimbang baik yang didapatkan dari diri sendiri, alam, harta benda maupun dari kondisi lingkungan sosial (orang lain); misalnya orang yang merasa lapar akan butuh makan, orang menangis untuk menghilangkan kesedihan, orang yang lagi suntuk akan cenderung berusaha mencari hiburan atau seseorang yang terkena masalah akan berusaha untuk memecahkan masalah tersebut. Kondisi yang seimbang pada diri manusia akan cenderung menggiring seseorang untuk berperilaku yang sesuai dengan hati nurani; sebaliknya tidakseimbangan pada diri manusia akan memicunya melakukan perbuatan- perbuatan buruk dalam tahap pencarian bentuk keseimbangan baru dalam dirinya. Tak seorang pun suka dengan sikap negatif seperti penghinaan, caci maki, atau tindakan-tindakan yang membuat dirinya merasa direndahkan, dianggap tidak berharga, dilecehkan atau tidak diperhitungkan. Celakanya, meskipun setiap individu mengetahuinya, kesadarannya kerapkali tertutup dengan tabir emosi atau kebanggaan akan atribut sosial yang melekat padanya entah itu berupa jabatan, kekayaan, kedudukan atau keilmuan sehingga memungkinkan orang lupa dan menerapkan sikap negatif tersebut kepada orang lain. Pandangan kebanyakan orang tentang strata sosial dimana seseorang yang mempunyai strata sosial yang tinggi perlu mendapatkan penghargaan atau penghormatan yang berlebih dari orang yang strata sosialnya lebih rendah, semakin memungkinkan timbulnya ketidakseimbangan hubungan sosial dimana seseorang yang berada pada status sosial rendah atau tidak adanya atribut sosial yang patut dibanggakan akan terus berada pada posisi yang dianggap tidak penting, terkalahkan atau terpinggirkan. Keadaan ini memicu berkembangnya interaksi sosial yang hanya didasarkan pada apa yang melekat pada seseorang bukan jati diri orang tersebut. Maka tidak jarang individu sebenarnya hanya berinteraksi dengan jabatan, kekayaan atau kedudukan bukan dengan substansi dari orang tersebut. Ketika atribut sosial tersebut lepas dari seseorang, misalnya hilangnya jabatan, maka pola interaksi sosial pun berubah. Ia tidak akan mendapatkan bentuk interaksi sosial seperti ketika masih mempunyai jabatan, kecuali ada faktor pemelihara yang membuat orang lain tidak mengubah bentuk interaksi sosial seperti konsistensi dari seseorang untuk tetap menjaga keseimbangan interaksi baik semasa masih mempunyai jabatan atau tidak. Setiap individu menghendaki adanya keseimbangan hubungan sosial karena bentuk hubungan ini akan menempatkan individu pada eksistensinya sebagai manusia. Individu itu ada dan hidup dengan ego yang disandangnya. Ketika keberadaan dianggap tak ada, muncullah energi yang membawa ego ke permukaan yang bisa membuat individu terlihat keberadaannya. Seseorang cenderung menunjukkan jati dirinya jika mendapatkan tekanan yang bermaksud menenggelamkan sifat kemanusiaannya. Seperti dalam hukum fisika jika bola ditenggelamkan ke air akan mendapatkan gaya tolak sebesar gaya yang didorongkan, maka dalam ilmu sosial gaya tolak atau gaya pantul bisa seimbang atau bahkan melebihi gaya tekan.Hal ini diibaratkan dalam sebuah pertikaian bahwa pembalasan akan lebih kejam dari perlakuan yang diterima sebelumnya. Tindakan kriminal yang dilatarbelakangi balas dendam begitu banyak terjadi bahkan kasus mutilasi juga seringkali dipicu oleh aksi balas dendam. Jika ditelusuri kasus tersebut bermula dari tindakan penghilangan unsur kemanusiaan dari manusia oleh manusia lain sehingga manusia yang merasa dihilangkan unsur kemanusiaannya mencoba menemukan kembali sesuatu yang hilang tersebut dalam bentuk pemenuhan keseimbangan dalam diri manusia yang berujud tindakan balas dendam. Namun bentuk keseimbangan seperti ini hanyalah keseimbangan sesaat dan tidak bisa mengantarkan seseorang untuk merasa tenang melainkan justru menimbulkan bentuk ketidakseimbangan baru pada dirinya karena tindakannya akan berdampak pada pelanggaran terhadap norma hukum dan norma sosial. Bentuk keseimbangan nyata pada diri seseorang yang bisa membuat seseorang puas, nyaman, bahagia dan tenang adalah bersumber dari implementasi norma-norma yang berlaku di masyarakat di mana dalam norma- norma tersebut selalu ada unsur pokok yang bersumber dari nilai-nilai universal manusia. Sebaliknya ketidakseimbangan nyata akan terjadi jika seseorang mengabaikan keberadaan nilai-nilai universal tersebut.