You are on page 1of 4

NILAI-NILAI UNIVERSAL YANG DIACUHKAN MANUSIA

Oleh: Aziz Fuadi

Setiap manusia dianugerahi seperangkat nilai-nilai universal yang


berfungsi sebagai radar bagi manusia ketika dihadapkan pada kondisi sosial.
Maka sebenarnya manusia akan mempunyai sikap yang sama ketika
menghadapi kondisi yang melibatkan segi kemanusiaan dari manusia. Nilai-nilai
tersebut misalnya: kejujuran, kedamaian, kasih sayang, keadilan, empati, kerja
sama dan nilai-nilai lain yang tersembunyi dalam hati nuranil manusia.
Karenanya, nilai-nilai universal tak akan bisa hilang, selalu hadir dan melekat
pada unsur rasa manusia yang telah dipercaya sebagai penuntun manusia
untuk senantiasa bersikap baik. Namun nilai-nilai tersebut seringkali tak mampu
menjalankan fungsinya karena manusia yang menjadi subyek di mana hati
nurani berada sengaja mengacuhkan keberadaannya atau
menenggelamkannya hingga sikap dan perilakunya justru jauh dari nilai-nilai
mulia tersebut.
Ketika manusia disibukkan dengan urusan kehidupan yaitu bagaimana
mencapai tataran kehidupan seperti yang diinginkan, maka masing-masing
manusia akan mempunyai ukuran-ukuran sendiri tentang kehidupan yang
disesuaikan dengan tingkat pengharapan manusia terhadap tataran kehidupan
tersebut sehingga akan mempunyai sikap yang berbeda terhadap kondisi sosial
yang dihadapi. Ada yang dengan lapang dada mengakui bahwa mereka tidak
mampu mencapai tingkat kehidupan seperti yang diinginkan dan terus berusaha
untuk mencapainya meskipun sebenarnya mereka yakin tidak akan mampu
mencapainya, ada yang terus berharap dan akhirnya menurunkan tingkat
pengharapannya akan kehidupan ketika tidak yakin untuk mencapainyai, ada
yang bersikap optimis dan yakin bahwa mereka akan mampu mencapainya dan
ada pula yang memakai berbagai cara asalkan pengharapannya terhadap
tingkat kehidupan bisa terwujud meskipun caranya akan merugikan orang lain,
bersikap curang atau sikap dan perilaku yang melanggar nilai-nilai universal
yang dimiliki manusia (melawan hati nurani).
Semakin sering orang melakukan perbuatan yang berlawanan dengan
hati nurani, semakin pudar, tumpul dan tidak peka hati nurani manusia sehingga
tak mampu mendeteksi tingkat-tingkat pelanggaran dari nilai-nilai universal
yang dimilikinya. Maka dalam kehidupan sosial banyak kita temui sikap-sikap
dan perilaku manusia yang bertentangan dengan nilai-nilai tersebut seperti
adanya penindasan, penipuan, tindakan-tindakan represif, amuk massa,
eksploitasi manusia, penghinaan, pelecehan dan sikap-sikap buruk lainnya. Kita
bisa mengatakan bahwa sikap dan perilaku tersebut muncul sebagai akibat tak
terkendalinya nafsu manusia yang berujud keserakahan dan ambisi. Peristiwa-
peristiwa sosial yang buruk seringkali terjadi akibat keserakahan dan ambisi
manusia yaitu ambisi untuk mencapai tingkat kehidupan sesuai dengan
pengharapan.
Pada tahap dasar orang ingin memenuhi kebutuhan hidup yang bersifat
fisik, selanjutnya kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan untuk besosialisasi
dengan orang lain, mendapatkan penghargaan dari orang lain dan kebutuhan
aktualisasi diri yang dianggap sebagai tingkat kebutuhan yang paling tinggi
tingkatannya. Akhirnya kita dapat menyimpulkan bahwa sebenarnya yang dicari
manusia adalah kepuasan karena dengan terpenuhinya kebutuhan maka akan
terciptalah kepuasan.
Jika kondisi terpenuhinya kepuasan manusia diibaratkan sebagai titik
keseimbangan antar harapan dengan kenyataan, maka ketidakpuasan manusia
bisa dikatakan sebagai kondisi ketidakseimbangan pada diri manusia. Ketika
orang berada dalam kondisi tidak seimbang maka mereka akan cenderung
mencari penyeimbang baik yang didapatkan dari diri sendiri, alam, harta benda
maupun dari kondisi lingkungan sosial (orang lain); misalnya orang yang
merasa lapar akan butuh makan, orang menangis untuk menghilangkan
kesedihan, orang yang lagi suntuk akan cenderung berusaha mencari hiburan
atau seseorang yang terkena masalah akan berusaha untuk memecahkan
masalah tersebut.
Kondisi yang seimbang pada diri manusia akan cenderung menggiring
seseorang untuk berperilaku yang sesuai dengan hati nurani; sebaliknya
tidakseimbangan pada diri manusia akan memicunya melakukan perbuatan-
perbuatan buruk dalam tahap pencarian bentuk keseimbangan baru dalam
dirinya.
Tak seorang pun suka dengan sikap negatif seperti penghinaan, caci
maki, atau tindakan-tindakan yang membuat dirinya merasa direndahkan,
dianggap tidak berharga, dilecehkan atau tidak diperhitungkan. Celakanya,
meskipun setiap individu mengetahuinya, kesadarannya kerapkali tertutup
dengan tabir emosi atau kebanggaan akan atribut sosial yang melekat
padanya entah itu berupa jabatan, kekayaan, kedudukan atau keilmuan
sehingga memungkinkan orang lupa dan menerapkan sikap negatif tersebut
kepada orang lain. Pandangan kebanyakan orang tentang strata sosial dimana
seseorang yang mempunyai strata sosial yang tinggi perlu mendapatkan
penghargaan atau penghormatan yang berlebih dari orang yang strata sosialnya
lebih rendah, semakin memungkinkan timbulnya ketidakseimbangan hubungan
sosial dimana seseorang yang berada pada status sosial rendah atau tidak
adanya atribut sosial yang patut dibanggakan akan terus berada pada posisi
yang dianggap tidak penting, terkalahkan atau terpinggirkan.
Keadaan ini memicu berkembangnya interaksi sosial yang hanya
didasarkan pada apa yang melekat pada seseorang bukan jati diri orang
tersebut. Maka tidak jarang individu sebenarnya hanya berinteraksi dengan
jabatan, kekayaan atau kedudukan bukan dengan substansi dari orang tersebut.
Ketika atribut sosial tersebut lepas dari seseorang, misalnya hilangnya jabatan,
maka pola interaksi sosial pun berubah. Ia tidak akan mendapatkan bentuk
interaksi sosial seperti ketika masih mempunyai jabatan, kecuali ada faktor
pemelihara yang membuat orang lain tidak mengubah bentuk interaksi sosial
seperti konsistensi dari seseorang untuk tetap menjaga keseimbangan interaksi
baik semasa masih mempunyai jabatan atau tidak.
Setiap individu menghendaki adanya keseimbangan hubungan sosial
karena bentuk hubungan ini akan menempatkan individu pada eksistensinya
sebagai manusia. Individu itu ada dan hidup dengan ego yang disandangnya.
Ketika keberadaan dianggap tak ada, muncullah energi yang membawa ego ke
permukaan yang bisa membuat individu terlihat keberadaannya. Seseorang
cenderung menunjukkan jati dirinya jika mendapatkan tekanan yang bermaksud
menenggelamkan sifat kemanusiaannya. Seperti dalam hukum fisika jika bola
ditenggelamkan ke air akan mendapatkan gaya tolak sebesar gaya yang
didorongkan, maka dalam ilmu sosial gaya tolak atau gaya pantul bisa seimbang
atau bahkan melebihi gaya tekan.Hal ini diibaratkan dalam sebuah pertikaian
bahwa pembalasan akan lebih kejam dari perlakuan yang diterima sebelumnya.
Tindakan kriminal yang dilatarbelakangi balas dendam begitu banyak
terjadi bahkan kasus mutilasi juga seringkali dipicu oleh aksi balas dendam. Jika
ditelusuri kasus tersebut bermula dari tindakan penghilangan unsur
kemanusiaan dari manusia oleh manusia lain sehingga manusia yang merasa
dihilangkan unsur kemanusiaannya mencoba menemukan kembali sesuatu
yang hilang tersebut dalam bentuk pemenuhan keseimbangan dalam diri
manusia yang berujud tindakan balas dendam. Namun bentuk keseimbangan
seperti ini hanyalah keseimbangan sesaat dan tidak bisa mengantarkan
seseorang untuk merasa tenang melainkan justru menimbulkan bentuk
ketidakseimbangan baru pada dirinya karena tindakannya akan berdampak
pada pelanggaran terhadap norma hukum dan norma sosial.
Bentuk keseimbangan nyata pada diri seseorang yang bisa membuat
seseorang puas, nyaman, bahagia dan tenang adalah bersumber dari
implementasi norma-norma yang berlaku di masyarakat di mana dalam norma-
norma tersebut selalu ada unsur pokok yang bersumber dari nilai-nilai universal
manusia. Sebaliknya ketidakseimbangan nyata akan terjadi jika seseorang
mengabaikan keberadaan nilai-nilai universal tersebut.

************

You might also like