You are on page 1of 16

KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu wata΄ala, karena berkat
rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah hak dan kewajiban warga Negara. Makalah ini
diajukan guna memenuhi tugas s mata kuliahpendidikan kewarganegaraan.

Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga
makalah ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktunya. Makalah ini masih jauh dari sempurna,
oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi
kesempurnaan makalah ini.

Semoga makalah ini memberikan informasi bagi kita dan bermanfaat untuk
pengembangan ilmu pengetahuan bagi kita semua.

Surakarta, 24 November 2010

TIM PENULIS
HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA

1. PENGERTIAN WARGA NEGARA

Warga negara merupakan terjemahan kata citizens (bhs Inggris) yang mempunyai arti ;
warganegara, petunjuk dari sebuah kota, sesama warga negara , sesama penduduk, orang setanah
air; bawahan atau kaula. Warga mengandung arti peserta, anggota atau warga dari suatu
organisasi atau perkumpulan. Warga negara artinya warga atau anggota dari organisasi yg
bernama negara Ada istilah rakyat, penduduk dan warga negara. Warga negara adalah warga
suatu Negara yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan (Penjelasan UUD
1945 Psl 26). Rakyat lebih merupakan konsep politis. Rakyat menunjuk pada orang-orang yang
berada dibawah satu pemerintahan dan tunduk pada pemerintahan itu. Istilah rakyat umumnya
dilawankan dengan penguasa. Penduduk adalah orang-orang yang bertempat tinggal di suatu
wilayah negara dalam kurun waktu tertentu.

Dalam hubungan internasional di setiap wilayah Negara selalu ada warga Negara dan
orang asing yabg semuanya disebut penduduk. Setiap warganegara adalah penduduk belum tentu
warganegara, karena mungkin seorang asing. Penduduk suatu Negara mencakup warganegara
dan orang asing, yang memiliki hubungan yang berbeda dengan Negara. Setiap warganegara
mempunyai hubungan yang tak terputus meskipun dia bertampat tinggal di luar negeri.
Sedangkan seorang asing hanya mempunyai hubungan selama dia bertempat tinggal di wilayah
Negara tersebut.

Menurut UUD 1945, Negara melindungi segenap penduduk, misalnya dalam pasal 29 (2)
disebutkan “ Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Di bagian lain
UUD 1945 menyabutkan hak-hak khusus untuk warganegara, misalnya dalam pasal 27 (2) yang
menyebutkan “Tiap-tiap warganegara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan” dan pasal 31 (1) yang menyebutkan “Tiap-tiap warganegara berhak mendapatkan
pengajaran.”
2. ASAS-ASAS KEWARGANEGARAAN (civic principles)

Dalam berbagai literatur dan praktek diberbagai negara paling tidak terdapat 3 asas
kewarganegaraan. Asas-asas tersebut adalah: asas iussoli, asas ius sanguinis, dan asas campuran.
Namun dari ketiga asas tersebut asas ius sanguinis dan iussoli-lah yang merupakan asas utama
dalam masalah penentuan kewarganegaraan. Yang dimaksud asas iussoli adalah (asas daerah
kelahiran) adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan tempat
kelahirannya. Seseorang adalah warga negara A karena ia lahir di negara A (yuridiksi negera A).
Berdasarkan prinsip ‘ius soli’, seseorang yang dilahirkan di dalam wilayah hukum suatu negara,
secara hukum dianggap memiliki status kewarganegaraan dari negara tempat kelahirannya itu.
Negara Amerika Serikat dan kebanyakan negara di Eropa termasuk menganut prinsip
kewarganegaraan berdasarkan kelahiran ini, sehingga siapa saja yang dilahirkan di negara-negara
tersebut, secara otomatis diakui sebagai warga negara. Oleh karena itu, sering terjadi
warganegara Indonesia yang sedang bermukim di negara-negara di luar negeri, misalnya karena
sedang mengikuti pendidikan dan sebagainya, melahirkan anak, maka status anaknya diakui oleh
Pemerintah Amerika Serikat sebagai warga negara Amerika Serikat, padahal kedua orangtuanya
berkewarganegaraan Indonesia. Dengan semakin mudahnya sarana transportasi dan tingginya
mobilisasi antar negara, menyebabkan asas ini menjadi bermasalah. Banyak anak-anak yang
dilahirkan di negara yang menganut asas ini menjadi terputus hubungannya dengan negara
kewarganegaraan orang tuanya. Karena itulah banyak negara telah meninggalkan asas ini.

Berbeda dengan prinsip kelahiran diatas, di beberapa negara, dianut prinsip ‘ius
sanguinis’ yaitu asas kewarganegaraan yang mendasarkan diri pada faktor pertalian seseorang
dengan status orangtua yang berhubungan darah dengannya. Seorang anak berkewarganegaraan
A, karena orang tuanya juga berkewarganegaraan A, dimanapun anak itu dilahirkan. Penggunaan
asas ini akan terasa sekali manfatnya pada negara yang saling bertetangga dekat, karana
dimanapun seorang anak dilahirkan, maka secara otomatis anak tersebut memiliki
kewarganegaraan sesuai dengan kewarganegaraa orang tuanya.

Namun dalam dinamika pergaulan antar bangsa sering terjadi perkawinan campuran yang
melibatkan status kewarganegaraan yang berbeda-beda antara pasangan suami dan isteri. Dengan
terjadinya perkawinan campuran tersebut kemungkinan besar akan menimbulkan persoalan
berkenaan dengan status kewarganegaraan dari anak-anak mereka. Bahkan dalam
perkembangannya di kemudian hari, timbul pula kebutuhan baru berdasarkan pengalaman di
berbagai negara bahwa kedua asas tersebut harus diubah dengan asas yang lain atau harus
diterapkan secara bersamaan untuk mencegah kemungkinan terjadinya keadaan double-
citizenship atau dwikewarganegaraan (bipatride) atau sebaliknya sama sekali berstatus tanpa
kewarganegaraan (apatride) (Jimly A, 2006;137-138). Dengan mnculnya masalah tersebut,
dalam praktik, ada pula negara yang akhirnya menganut asas kedua-duanya, karena
pertimbangan lebih menguntungkan bagi kepentingan negara yang bersangkutan. Sistim yang
terakhir inilah yang biasa dinamakan sebagai asas campuran. Asas yang dipakai bersifat
campuran, sehingga dapat menyebabkan terjadinya apatride atau bipatride. Dalam hal demikian,
yang ditoleransi biasanya adalah keadaan bipatride, yaitu keadaan dwi-kewarganegaraan. Sistem
ini juga yang sekarang dianut oleh UU No.12 Tahun 2006 merupakan hak setiap negara untuk
menentukan asas mana yang hendak dipakai dalam kebijakan kewarganegaraannya untuk
menentukan siapa warga negara dan siapa yang bukan warga negaranya. Meskipun demikian
penggunaan asas yang berbeda antara satu negara dengan negara lainnya kemungkinan akan
menimbulkan conflict of law. Misalnya, di negara A dianut asas ius soli sedangkan di negara B
menganut asas ius sanguinis, atau sebaliknya. Hal itu tentu akan menimbulkan persoalan
bipatride atau dwi-kewarganegaraan, atau sebaliknya menyebabkan terjadinya apatride, yaitu
keadaan tanpa kewarganegaraan sama sekali. Sebagai contoh, Mr. X, warga negara A yang
menganut asas iussoli melahirkan anak mereka di negara B yang menganut asas ius sanguinis,
maka akibatnya anak Mr.X tidak memiliki kewarganegaraan sama sekali (apatride). Ataupun
sebaliknya, jika Mr. X adalah warga negara A yang menganut asas ius sanguinis, melahirkan
anak mereka di negara B yang menganut asas iussoli, maka akibatnya anak Mr.X akan memiliki
double kewarganegaraan, yaitu kewarganegaraan A dan kewarganegaraan B.

Dalam UU No.12 Tahun 2006 dianut beberapa asas, sebagaimana terurai dalam
pasal-pasal dan ditegaskan dalam Penjelasan umumnya. Asas-asas tersebut adalah
sebagai berikut:

1. Asas ius sanguinis (law of the blood) adalah asas yang menentukan kewarganegaraan
seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara tempat kelahiran;
2. Asas ius soli (law of the soil) secara terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan
seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran, yang diberlakukan terbatas bagi anak-anak
sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.

3. Asas kewarganegaraan tunggal adalah asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi
setiap orang.

4. Asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan ganda
bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.

Dalam UU No.12 Tahun 2006 pada dasarnya tidak mengenal kewarganegaraan ganda
(bipatride) ataupun tanpa kewarganegaraan (apatride). Kewarganegaraan ganda yang diberikan
kepada anak dalam Undang-Undang Kewarganegaraan merupakan suatu pengecualian.

Selain asas tersebut di atas, beberapa asas khusus juga menjadi dasar penyusunan
Undang-Undang tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, yaitu sebagai berikut
(Penjelasan umum):

1. Asas kepentingan nasional adalah asas yang menentukan bahwa peraturan kewarganegaraan
mengutamakan kepentingan nasional Indonesia, yang bertekad mempertahankan kedaulatannya
sebagai negara kesatuan yang memiliki cita-cita dan tujuannya sendiri.

2. Asas perlindungan maksimum adalah asas yang menentukan bahwa pemerintah wajib
memberikan perlidungan penuh kepada setiap Warga Negara Indonesia dalam keadaan apapun
baik di dalam maupun di luar negeri.

3. Asas persamaan di dalam hukum dan pemerintahan adalah asas yang menentukan bahwa
setiap Warga Negara Indonesia mendapatkan perlakuan yang sama di dalam hukum dan
pemerintahan.

4. Asas kebenaran substantif adalah prosedur pewarganegaraan seseorang tidak hanya bersifat
administratif, tetapi juga disertai substansi dan syarat-syarat permohonan yang dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya.
5. Asas nondiskriminatif adalah asas yang tidak membedakan perlakuan dalam segala hal
ikhwal yang berhubungan dengan warga negara atas dasar suku, ras, agama, golongan, jenis
kelamin dan gender.

6. Asas pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia adalah asas yang dalam
segala hal ikhwal yang berhubungan dengan warga negara harus menjamin, melindungi, dan
memuliakan hak asasi manusia pada umumnya dan hak warga negara pada khususnya.

7. Asas keterbukaan adalah asas yang menentukan bahwa dalam segala hal ihwal yang
berhubungan dengan warga negara harus dilakukan secara terbuka.

8. Asas publisitas adalah asas yang menentukan bahwa seseorang yang memperoleh atau
kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia diumumkan dalam Berita Negara Republik
Indonesia agar masyarakat mengetahuinya.

3. Asas-asas Kewarganegaraan

Dalam berbagai literatur hukum di Indonesia selama ini, biasanya cara memperoleh status
kewarganegaraan hanya terdiri atas dua cara, yaitu (i) status kewarganegaraan dengan kelahiran
di wilayah hukum Indonesia, atau (ii) dengan cara pewarganegaraan atau naturalisasi
(naturalization). Dalam praktek ketatanegaraan di berbagai negara paling tidak terdapat 5 cara
untuk memperoleh kewarganegaraan. Di India misalnya telah dikembangkan 5 prakti tersebut
sejak tahun 1950, bahkan di Inggris seperti dikemukakan oleh Bradley dan Ewing,134
berdasarkan Act of 1981 yang beberapa kali sudah direvisi atau diubah,135 sebenarnya, terdapat
9 (sembilan) kategori kewarganegaraan yang dikenal di Inggris (Jimly Assiddiqie, 2006;146).
Adapun 5 (lima) prosedur atau metode perolehan status kewarganegaraan yang dikenal dalam
prakti tersebut adalah:

1) Citizenship by birth;

Adalah cara perolehan kewarganegaraan berdasarkan kelahiran. Siapa saja yang lahir dalam
wilayah hukum suatu negara, yang menganut prinsip ‘ius soli’ sebagaimana dikemukakan di
atas, maka yang bersangkutan secara langsung mendapatkan status kewarganegaraan, kecuali
apabila yang bersangkutan ternyata menolak atau mengajukan.
2) Citizenship by descent;

Adalah cara perolehan kewarganegaraan berdasarkan keturunan, di mana seseorang yang lahir di
luar wilayah suatu negara dianggap sebagai warga negara karena keturunan, apabila pada waktu
yang bersangkutan dilahirkan, kedua orang tuanya adalah warga negara dari negara tersebut.
Asas yang dipakai di sini adalah ius sanguinis, dan hukum kewarganegaraan Indonesia pada
pokoknya menganut asas ini.

3) Citizenship by naturalisation;

Adalah pewarganegaraan orang asing melalui permohonan menjadi warga negara setelah
memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditentukan.

4) Citizenship by registration;

Adalah perolehan kewarganegaraan bagi mereka yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu
dianggap cukup dilakukan melalui prosedur administrasi pendaftaran yang lebih sederhana
dibandingkan dengan metode naturalisasi yang lebih rumit. Misalnya, keluarga Indonesia yang
berada di Amerika Serikat yang menganut prinsi ‘ius soli’, melahirkan anak, maka menurut
hukum Amerika Serikat anak tersebut memperoleh status sebagai warga negara AS. Akan tetapi,
jika orangtuanya menghendaki anaknya tetap berkewarganegaraan Indonesia, maka prosesnya
cukup melalui registrasi saja.

5) Citizenship by incorporation of territo

yaitu proses pewarganegaraan karena terjadinya perluasan wilayah negara. Misalnya, ketika
Timor Timur menjadi wilayah negara Republik Indonesia, maka proses pewarganegaraan warga
Timor Timur itu dilakukan melalui prosedur yang khusus ini.

Dalam buku Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara II, Jimly Assiddiqie menyatakan
bahwa cara perolehan kewarganegaraan dapat terjadi melalui tiga cara, yaitu (i) citizenship by
birth, (ii) citizenship by naturalization, dan (iii) citizenship by registration. Hal ini juga dapat
ditemukan dalam RUU KewargaNegaraan Republik Indonesia yang saat ini telah disetujui dalam
pembahasan di DPR (Jimly Assiddiqie, 2006;146). Proses perolehan kewarganegaraan melalui
proses registrasi ini hendaknya dikemudian dari dapat lebih dikembangkan untuk mengatasi
rumitnya prosedur yang harus ditempuh oleh orang asing memiliki kekhususan, misalnya
seorang warga negara yang karena beberapa hal harus kehilangan kewarganegaraanya. Dalam
kondisi tersebut seharusnya prosedur untuk memperoleh kewarganegaraanya kembali dapat
dilakukan dengan prosedur yang lebih mudah bila dibandingkan dengan naturalisasi dari orang
asing.

Menurut Pasal 9 UU Kewerganegaraan RIpermohonan pewarganegaraan dapat diajukan oleh


pemohon jika memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. telah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin;

b. pada waktu mengajukan permohonan sudah bertempat tinggal di wilayah negara Republik
Indonesia paling singkat 5 (lima ) tahun berturut-turut atau paling singkat 10 (sepuluh puluh)
tahun tidak berturut-turut;

c. sehat jasmani dan rohani;

d. dapat berbahasa Indonesia serta mengakui dasar negara Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

e. tidak pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana
penjara 1 (satu) tahun atau lebih;

f jika dengan memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia, tidak menjadi


berkewarganegaraan ganda;

g. mempunyai pekerjaan dan/atau berpenghasilan tetap; dan

h. membayar uang pewarganegaraan ke Kas Negara. Permohonan pewarganegaraan diajukan


di Indonesia oleh pemohon secara tertulis dalam bahasa Indonesia di atas kertas bermeterai
cukup kepada Presiden melalui Menteri.

Di samping perolehan kewarganegaraan tersebut, seorang warga negara juga memiliki


kemungkinan kehilangan kewarganegaraannya. Terdapat tiga kemungkinan cara kehilangan
kewarganegaraan tersebut, yaitu (Jimly Assiddiqie, 2006;151):
1. Renunciation, yaitu tindakan sukarela seseorang untuk menanggalkan salah satu dari dua
atau lebih status kewarganegaraan yang diperolehnya dari dua negara atau lebih.

2. Termination, yaitu penghentian status kewarga-Negaraan sebagai tindakan hukum, karena


yang bersangkutan memperoleh kewarganegaraan dari negara lain.

3. Deprivation, yaitu suatu penghentian secara paksa, pencabutan, atau pemecatan dari status
kewarganegaraan berdasarkan perintah pejabat yang berwenang karena terbukti adanya
kesalahan atau pelanggaran yang dilakukan dalam cara perolehan status kewarganegaraan atau
apabila orang yang bersangkutan terbukti tidak setia atau berkhianat kepada negara dan undang-
undang dasar.

Menurut ketentuan Pasal 23 UU Kewarganegaraan disebutkan bahwa seorang WNI


kehilangan kewarganegaraannya jika yang bersangkutan:

1) memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauannya sendiri;

2) tidak menolak atau tidak melepaskan kewarganegaraan lain, sedangkan orang yang
bersangkutan mendapat kesempatan untuk itu;

3) dinyatakan hilang kewarganegaraannya oleh Presiden atas permohonannya sendiri, yang


bersangkutan sudah berusia 18 tahun atau sudah kawin, bertempat tinggal di luarnegeri, dan
dengan dinyatakan hilang kewarganegaraan RI tidak menjadi tanpa kewarganegaraan;

4) masuk kedalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari Presiden;(tidak berlaku
bagi mereka yang mengikuti program pendidikan dinegara lain yang mengharuskan wajib
militer);

5) secara sukarela masuk dalam dinas negara asing, yang jabatan dalam dinas semacam itu di
Indonesia sesuai peraturan perundang-undangan hanya dapat dijabat oleh WNI;

6) secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara asing atau
bagian dari negara asing tersebut;

7) tidak diwajibkan tetapi turut serta dalam pemilihan sesuatu yang besifat ketatanegaraan
untuk suatu negara asing;
mempunyai paspor atau surat bersifat paspor dari negara asing atau surat yang dapat
diartikan sebagai tanda kewarganegaraan yang masih berlaku dari negaralain atas namanya; atau

9) bertempat tinggal di luar wilayah negara Republik Indonesia selama 5 (lima) tahun terus
menerus bukan dalam rangka dinas negara, tanpa alasan yang sah dan dengan sengaja tidak
menyatakan keinginannya untuk tetap menjadi WNI sebelum jangka waktu 5 tahun itu berakhir,
dan setiap 5 tahun berikutnya yang bersangkutan tidak mengajukan pernyataan ingin tetap
menjadi WNI kepada Perwakilan RI yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal yang
bersangkutan padahal Perwakilan RI tersebut telah memberitahukan secara tertulis kepada yang
bersangkutan, sepanjang yang bersangkutan tidak menjadi tanpa kewarganegaraan.

Kehilangan kewarganegaraan Indonesia dapat terjadi pula akibat perkawinan dikarenakan


bekerjanya hukum kewarganegaraan negara pasangannya tersebut. Bagi mereka, jika ingin tetap
berkewarganegaraan Indonesia, dapat mengajukan pernyataan tertulis kepada Pejabat atau
Perwakilan RI kecuali berakibat berkewarganegaraan ganda.

Seseorang yang kehilangan kewarganegaraan RI dapat memperoleh kembali


kewarganegaraannya melalui proses pewarganegaraan. Khusus bagi mereka yang kehilangan
kewarganegaraan RI akibat perkawinan atau karena tinggal lebih dari 5 tahun secara terus
menerus di luar negeri, dapat memperoleh status WNI melalui proses memperoleh kembali
kewarganegaraan tersendiri.

Hak dan Kewajiban warga negara diatur dalam undang -undang sbb:

 Pasal 27 ayat 1-3 “Mengatur tentang Kedudukan warga negara , Penghidupan dan
pembelaan terhadap negara.”
 Pasal 28 ayat A – J ”Mengatur tentang segala bentuk Hak Asasi Manusia.”
 Pasal 29 ayat 2 “Mengatur tentang kebebasan atau hak untuk memeluk agama
(kepercayaan ).”
 Pasal 30 ayat 1-5 “Mengatur tentang Kewajiban membela negara , Usaha pertahanan dan
keamanan rakyat, Keanggotaan TNI dan Tugasnya , Kepolisian Indonesia dan tugasnya ,
Susunan dan kedudukan TNI & kepolisian Indonesia.”
 Pasal 31 ayat 1-5 “Mengatur tentang Hak untuk mendapat pendidikan yang layak ,
kewajiban belajar ,Sistem pendidikan Nasional ,dan Peran pemerintah dalam bidang
Pendidikan dan kebudayaan.”
 Pasal 33 ayat 1-5 “Mengatur tentang pengertian perekonomian ,Pemanfaatan SDA , dan
Prinsip Perekonomian Nasional.”
 Pasal 34 ayat 1-4 “Mengatur tentang Perlindungan terhadap fakir miskin dan anak
terlantar sebagai tanggung jawab negara.”

HAK DAN KEWAJIBAN BELA NEGARA

a. Pengertian

Pembelaan Negara atau bela negara adalah tekad,sikap dan tindakan warga negara yang
teratur,menyeluruh,terpadu,dan berlanjut yang dilandasi oleh kecintaan pada tanah air serta
kesadaran hidup berbangsa dan bernegara.

Wujud dari usaha bela negara adalah kesiapan dan kerelaan setiap warganegara untuk
berkorban demi mempertahankan kemerdekaan, kedaulatan negara, persatuan dan kesatuan
bangsa Indonesia, keutuhan wilayah nusantara dan yuridiksi nasional, serta nilai-nilai pancasila
dan UUD 1945.

Beberapa contoh bela negara dalam kehidupan nyata, yakni siskamling, menjaga
kebersihan, mencegah bahaya narkoba, mencegah perkelahian antar perorangan sampai dengan
antar kelompok, meningkatkan hasil pertanian sehingga dapat mencukupi ketersediaan pangan
daerah dan nasional, cinta produksi dalam negeri agar dapat meningkatkan hasil eksport,
melestarikan budaya Indonesia dan tampil sebagai anak bangsa sayang berprestasi baik nasional
maupun internasional.

b. Asas Demokrasi dalam Pembelaan Negara

Berdasarkan pasal 27 ayat (3) dalam perubahan kedua UUD 1945, bahwa usaha bela negara
merupakan hak dan kewajiban setiap warga negara. Adanya asas demokrasi dalam pembelaan
negara yang mencakup dua arti : Pertama, bahwa setiap warganegara turut serta dalam
menentukan kebijakan tentang pembelaan negara melalui lembaga-lembaga perwakilan sesuai
dengan UUD 1945 dan perundang-undangan yang berlaku. Kedua, bahwa setiap warga negara
harus turut serta dan setiap usaha pembelaan negara, sesuai dengan kemampuan dan profesinya
masing-masing.

Pasal 30 ayat (1) UUD 1945 menyatakan hak dan kewajiban setiap warga negara untuk ikut
serta dalam usaha pembelaan negara dan Ayat (2) menyatakan bahwa pengaturannya lebih lanjut
dilakukan dengan undang-undang.

c. Motivasi dalam Pembelaan Negara

Usaha pembelaan negara bertumpu pada kesadaran setiap warga negara akan hak dan
kewajibannya. Kesadarannya demikian perlu ditumbuhkan melalui proses motivasi untuk
mencintai tanah air dan untuk ikut serta dalam pembelaan negara. Dalam hal ini ada berapa dasar
pemikiran yang dapat dijadikan sebagai bahan motivasi setiap warga negara untuk ikut serta
membela negara Indonesia.

1. Pengalaman sejarah perjuangan RI


2. Kedudukan wilayah geografis Nusantara yang strategis
3. Keadaan penduduk (demografis) yang besar
4. Kekayaan sumber daya alam
5. Perkembangan dan kemajuan IPTEK di bidang persenjataan
Kemungkinan timbulnya bencana perang
d. Budaya Bela Negara

Masih ada persepsi bahwa bela negara adalah tugas TNI dan POLRI, sedangkan
pengertian bela negara merupakan tekad, sikap dan perilaku warga negara yang dijiwai oleh rasa
kecintaan kepada NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD ’45 dalam menjamin
kelangsungan hidup bangsa dan negara. Dengan demikian perlu upaya sosialisasi kepada
masyarakat luas.

Bela negara merupakan kegiatan yang dilahirkan oleh setiap warga negara sebagai
penunaian hak dan kewajiban dalam rangka penyelenggaraan pertahanan negara. Mengutip
Muhammad Azhar, bahwa bela negara seperti membela tanah air (bersifat geografis), mencintai
tanah air (bersifat psikologis), stabilitas negara (bersifat security) dan loyalitas terhadap bangsa
dan negara (bersifat dedikatif).

Pembudayaan bela negara dangan memberikan pengertian, pemahaman mengenai bela


negara agar menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Bela Negara diperdayakan sebagai
pemberian kekuatan dan daya kemampuan kepada masyarakat untuk dapat melaksanakan bela
negara. Masyarakat yang mempunyai kemampuan bela negara adalah memiliki kemampuan
kesadaran melaksanakan hak dan kewajiban dalam berbagai kegiatan sebagai makhluk sosial dan
sebagai warga negara. Pemberdayaan ini tentu saja diimbangi dengan keteladanan sikap moral
dan rasa kebanggaan nasional.

Gandi misalnya, menjadi seorang besar oleh karena ia mempunyai kepercayaan yang kuat
tentang arti hidup bangsanya, sehingga menciptakan pikiran, perbuatan dan cita-cita untuk
perjuangan bagi bangsanya.

Agenda budaya bela negara sesungguhnya merupakan agenda seluruh bangsa. Penanaman
semangat bela negara merupakan suatu proses perubahan perilaku sesuai dengan pranata sosial
maka perlu dilakukan pembinaan yang berkesinambungan. Dalam proses budaya bela negara
hendaknya memperhatikan generasi muda sehingga proses pembudayaan tumbuh dengan baik,
karena kaum muda merupakan pelaku budaya pada masa mendatang.

Peradaban

Telah kita sepakati bahwa budaya adalah hasil budidaya manusia yang dikaruniai Tuhan dengan
kemampuan cipta rasa dan karsa. Berbicara tentang budaya (kebudayaan) tidak dapat lepas dari
peradaban. Peradaban atau “Civilization” yang diartikan sebagai pertumbuhan manusia dalam
penguasaan pengetahuan dan kecakapan yang mendorongnya untuk mencapai perilaku yang
lebih luhur.

Budaya nasionalisme merupakan produk peradaban umat manusia. Kehidupan yang beradab
adalah kehidupan yang hanya terdapat di dalam kehidupan manusia yang tidak terjadi dengan
sendirinya. Peradaban harus didesain dengan kesadaran, kesengajaan, kebersamaan dan
komitmen yang didasarkan atas nilai-nilai luhur.

Bahwa Indonesia sebenarnya memiliki semua syarat dan sifat untuk tidak bersatu. Namun
demikian kesatuan dapat diwujudkan. Hal itu karena sebuah keberhasilan perjuangan. Selama
lebih dari setengah abad sejak kemerdekaan, yang kita kenal hanya satu bangsa, satu idiologi.
Sejak itulah manusia Indonesia dapat hidup lebih tinggi sebagai sebuah kesatuan bangsa, terlihat
oleh peradaban yang dilandasi dengan nilai-nilai sepiritual, moral dan idiologis.

Wawasan kebangsaan

Bagaimanakah mengenai konsep wawasan kebangsaan serta langkah apa yang harus kita
lakukan? Francis Fukuyama (pada Komaruddin Hidayat dalam Seminar Reorientasi Wawasan
Kebangsaan di era demokrasi, 2001) menyebutkan bahwa kita perlu membangun dan
memelihara apa yang disebut dengan “social capital” yang positif untuk pengembangan bangsa
ini. Social Capital yang dimaksud adalah nilai-nilai tradisi dan cita-cita social yang telah tumbuh
yang kita sepakati sangat positif nilainya untuk masa depan bangsa dan asset pengembangan
peradaban sebuah bangsa.

Mengingat wawasan kebangsaan bermuatan nilai-nilai dan cara pandang terhadap dunia
sekelilingnya, sesungguhnya kita telah memiliki “social capital” yang amat berharga yang
terdapat pada budaya dan agama.

Guna mendukung pengembangan budaya dan agama tadi seyogyanya diberi format atau bingkai
institusi yang mendukungnya dalam kontek kemoderenan. Sehingga khasanah ajaran etika dan
agama dari berbagai daerah yang begitu mulia memperoleh wadah dan pengembangan dalam
sebuah sistim politik yang demokratis dan accountable.

Dengan demikian, apa yang pernah dikemukakan oleh Alex Suseno bahwa budaya bela negara
muaranya nanti pada kualitas manusia Indonesia yang patriotik religius dan religius patriotik.
Tentu saja statemen di atas menjadikan wawasan kebangsaan yang bermuatan budaya bela
negara dalam perwujudan watak patriotik religius dan religius patriotik. Bangsa yang manakah?
Setiap Warga Negara Indonesia.

You might also like