Professional Documents
Culture Documents
pernikahan
Juli 15, 2009 oleh muslimstory
“Diantara kamu semua yang paling buruk adalah yang hidup membujang,
dan kematian kamu semua yang paling hina adalah kematian orang yang
memilih hidup membujang” (HR. Abu Ya¡¦la dan Thabrani)
ADA PERTANYAAN
JAWAB :
Benar sekali pernyataan anda bahwa pacaran adalah haram dalam Islam.
Pacaran adalah budaya dan peradaban jahiliah yang dilestarikan oleh orang-
orang kafir negeri Barat dan lainnya, kemudian diikuti oleh sebagian umat
Islam (kecuali orang-orang yang dijaga oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala),
dengan dalih mengikuti perkembangan jaman dan sebagai cara untuk
mencari dan memilih pasangan hidup. Syariat Islam yang agung ini datang
dari Rabb semesta alam Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana,
dengan tujuan untuk membimbing manusia meraih maslahat-maslahat
kehidupan dan menjauhkan mereka dari mafsadah-mafsadah yang akan
merusak dan menghancurkan kehidupan mereka sendiri.
Ikhtilath (campur baur antara lelaki dan wanita yang bukan mahram),
pergaulan bebas, dan pacaran adalah fitnah (cobaan) dan mafsadah bagi
umat manusia secara umum, dan umat Islam secara khusus, maka perkara
tersebut tidak bisa ditolerir. Bukankah kehancuran Bani Israil –bangsa yang
terlaknat– berawal dari fitnah (godaan) wanita? Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
“Telah terlaknat orang-orang kafir dari kalangan Bani Israil melalui lisan
Nabi Dawud dan Nabi ‘Isa bin Maryam. Hal itu dikarenakan mereka
bermaksiat dan melampaui batas. Adalah mereka tidak saling melarang dari
kemungkaran yang mereka lakukan. Sangatlah jelek apa yang mereka
lakukan.” (Al-Ma`idah: 79-78)
“Sesungguhnya dunia itu manis dan hijau (indah memesona), dan Allah
Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kalian sebagai khalifah (penghuni) di
atasnya, kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala memerhatikan amalan kalian.
Maka berhati-hatilah kalian terhadap dunia dan wanita, karena
sesungguhnya awal fitnah (kehancuran) Bani Israil dari kaum wanita.” (HR.
Muslim, dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memperingatkan umatnya
untuk berhati-hati dari fitnah wanita, dengan sabda beliau:
“Tidaklah aku meninggalkan fitnah sepeninggalku yang lebih berbahaya
terhadap kaum lelaki dari fitnah (godaan) wanita.” (Muttafaqun ‘alaih, dari
Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma)
1. Ikhtilath, yaitu bercampur baur antara lelaki dan wanita yang bukan
mahram. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjauhkan
umatnya dari ikhtilath, sekalipun dalam pelaksanaan shalat. Kaum wanita
yang hadir pada shalat berjamaah di Masjid Nabawi ditempatkan di bagian
belakang masjid. Dan seusai shalat, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
berdiam sejenak, tidak bergeser dari tempatnya agar kaum lelaki tetap di
tempat dan tidak beranjak meninggalkan masjid, untuk memberi
kesempatan jamaah wanita meninggalkan masjid terlebih dahulu sehingga
tidak berpapasan dengan jamaah lelaki. Hal ini ditunjukkan oleh hadits
Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha dalam Shahih Al-Bukhari. Begitu pula
pada hari Ied, kaum wanita disunnahkan untuk keluar ke mushalla (tanah
lapang) menghadiri shalat Ied, namun mereka ditempatkan di mushalla
bagian belakang, jauh dari shaf kaum lelaki. Sehingga ketika Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam usai menyampaikan khutbah, beliau perlu
mendatangi shaf mereka untuk memberikan khutbah khusus karena mereka
tidak mendengar khutbah tersebut. Hal ini ditunjukkan oleh hadits Jabir
radhiyallahu ‘anhu dalam Shahih Muslim.
Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Dan jika kalian (para shahabat) meminta suatu hajat (kebutuhan) kepada
mereka (istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) maka mintalah
dari balik hijab. Hal itu lebih bersih (suci) bagi kalbu kalian dan kalbu
mereka.”
Pada saat yang sama, ikhtilath itu sendiri menjadi sebab yang
menjerumuskan mereka untuk berpacaran, sebagaimana fakta yang kita
saksikan berupa akibat ikhtilath yang terjadi di sekolah, instansi-instansi
pemerintah dan swasta, atau tempat-tempat yang lainnya. Wa ilallahil
musytaka (Dan hanya kepada Allah kita mengadu)
2. Khalwat, yaitu berduaannya lelaki dan wanita tanpa mahram. Padahal
Rasululllah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Telah ditulis bagi setiap Bani Adam bagiannya dari zina, pasti dia akan
melakukannya, kedua mata zinanya adalah memandang, kedua telinga
zinanya adalah mendengar, lidah(lisan) zinanya adalah berbicara, tangan
zinanya adalah memegang, kaki zinanya adalah melangkah, sementara
kalbu berkeinginan dan berangan-angan, maka kemaluan lah yang
membenarkan atau mendustakan.”
Hadits ini menunjukkan bahwa memandang wanita yang tidak halal untuk
dipandang meskipun tanpa syahwat adalah zina mata . Mendengar ucapan
wanita (selain istri) dalam bentuk menikmati adalah zina telinga. Berbicara
dengan wanita (selain istrinya) dalam bentuk menikmati atau menggoda dan
merayunya adalah zina lisan. Menyentuh wanita yang tidak dihalalkan untuk
disentuh baik dengan memegang atau yang lainnya adalah zina tangan.
Mengayunkan langkah menuju wanita yang menarik hatinya atau menuju
tempat perzinaan adalah zina kaki. Sementara kalbu berkeinginan dan
mengangan-angankan wanita yang memikatnya, maka itulah zina kalbu.
Kemudian boleh jadi kemaluannya mengikuti dengan melakukan perzinaan
yang berarti kemaluannya telah membenarkan; atau dia selamat dari zina
kemaluan yang berarti kemaluannya telah mendustakan. (Lihat Syarh
Riyadhis Shalihin karya Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, pada syarah hadits no.
16 22)
Meskipun sentuhan itu hanya sebatas berjabat tangan maka tetap tidak
boleh. Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:
“Tidak. Demi Allah, tidak pernah sama sekali tangan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam menyentuh tangan wanita (selain mahramnya), melainkan
beliau membai’at mereka dengan ucapan (tanpa jabat tangan).” (HR.
Muslim)
Dalam Shahih Muslim dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, dia
berkata:
Adapun suara dan ucapan wanita, pada asalnya bukanlah aurat yang
terlarang. Namun tidak boleh bagi seorang wanita bersuara dan berbicara
lebih dari tuntutan hajat (kebutuhan), dan tidak boleh melembutkan suara.
Demikian juga dengan isi pembicaraan, tidak boleh berupa perkara-perkara
yang membangkitkan syahwat dan mengundang fitnah. Karena bila
demikian maka suara dan ucapannya menjadi aurat dan fitnah yang
terlarang. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Maka janganlah kalian (para istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam)
berbicara dengan suara yang lembut, sehingga lelaki yang memiliki penyakit
dalam kalbunya menjadi tergoda dan ucapkanlah perkataan yang ma’ruf
(baik).” (Al-Ahzab: 32)
Adapun cara yang ditunjukkan oleh syariat untuk mengenal wanita yang
hendak dilamar adalah dengan mencari keterangan tentang yang
bersangkutan melalui seseorang yang mengenalnya, baik tentang biografi
(riwayat hidup), karakter, sifat, atau hal lainnya yang dibutuhkan untuk
diketahui demi maslahat pernikahan. Bisa pula dengan cara meminta
keterangan kepada wanita itu sendiri melalui perantaraan seseorang seperti
istri teman atau yang lainnya. Dan pihak yang dimintai keterangan
berkewajiban untuk menjawab seobyektif mungkin, meskipun harus
membuka aib wanita tersebut karena ini bukan termasuk dalam kategori
ghibah yang tercela. Hal ini termasuk dari enam perkara yang dikecualikan
dari ghibah, meskipun menyebutkan aib seseorang. Demikian pula
sebaliknya dengan pihak wanita yang berkepentingan untuk mengenal lelaki
yang berhasrat untuk meminangnya, dapat menempuh cara yang sama.
Dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadits Fathimah bintu Qais ketika
dilamar oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahm, lalu dia minta nasehat
kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka beliau bersabda:
“Adapun Abu Jahm, maka dia adalah lelaki yang tidak pernah meletakkan
tongkatnya dari pundaknya . Adapun Mu’awiyah, dia adalah lelaki miskin
yang tidak memiliki harta. Menikahlah dengan Usamah bin Zaid.” (HR.
Muslim)
Perkara ini diistilahkan dengan ta’aruf. Adapun terkait dengan hal-hal yang
lebih spesifik yaitu organ tubuh, maka cara yang diajarkan adalah dengan
melakukan nazhor, yaitu melihat wanita yang hendak dilamar. Nazhor
memiliki aturan-aturan dan persyaratan-persyaratan yang membutuhkan
pembahasan khusus .
Wallahu a’lam.
sumber: myquran.org
Kumpulan surat dan hadist pernikahan
November 17, 2007 by kartadikaria
[Bhs Indonesia]
Written by -r/K-
Wassalam,
-r/K-