You are on page 1of 3

KASUS KORUPSI DI INDOESIA

BEBERAPA KASUS KORUPSI DI INDONESIA ANTARA


LAIN :
PERTAMINA
Dugaan korupsi dalam Tecnical Assintance Contract (TAC) antara Pertamina
dengan PT Ustaindo Petro Gas (UPG) tahun 1993 yang meliputi 4 kontrak
pengeboran sumur minyak di Pendoko, Prabumulih, Jatibarang, dan Bunyu.
Jumlah kerugian negara, adalah US $ 24.8 juta. Para tersangkanya 2 Mantan
Menteri Pertambangan dan Energi Orde Baru, Ginandjar Kartasasmita dan Ida
Bagus Sudjana, Mantan Direktur Pertamina Faisal Abda'oe, serta Direktur PT
UPG Partono H Upoyo.

Kasus Proyek Kilang Minyak Export Oriented (Exxor) I di Balongan, Jawa Barat
dengan tersangka seorang pengusaha Erry Putra Oudang. Pembangunan kilang
minyak ini menghabiskan biaya sebesar US $ 1.4 M. Kerugian negara
disebabkan proyek ini tahun 1995-1996 sebesar 82.6 M, 1996-1997 sebesar 476
M, 1997-1998 sebesar 1.3 Triliun. Kasus kilang Balongan merupakan
benchmark-nya praktek KKN di Pertamina. Negara dirugikan hingga US$ 700
dalam kasus mark-up atau penggelembungan nilai dalam pembangunan kilang
minyak bernama Exor I tersebut.
Kasus Proyek Pipaisasi Pengangkutan Bahan Bakar Minyak (BBM) di Jawa
(Pipianisasi Jawa), melibatkan Mantan Direktur Pertamina Faisal Abda'oe, Bos
Bimantara Rosano Barack, dan Siti Hardiyanti Rukmana. Kerugian negara
hingga US$ 31,4 juta.

Korupsi di BAPINDO
Tahun 1993, pembobolan yang terjadi di Bank Pembangunan Indonesia
(Bapindo) dilakukan oleh Eddy Tanzil yang hingga saat ini tidak ketahuan
dimana rimbanya, Negara dirugikan sebesar 1.3 Triliun.
HPH dan Dana Reboisasi Hasil audit Ernst & Young
Kasus HPH dan Dana Reboisasi Hasil audit Ernst & Young pada 31 Juli 2000
tentang penggunaan dana reboisasi mengungkapkan ada 51 kasus korupsi
dengan kerugian negara Rp 15,025 triliun (versi Masyarakat Transparansi
Indonesia). Yang terlibat dalam kasus tersebut, antara lain, Bob Hasan, Prajogo
Pangestu, sejumlah pejabat Departemen Kehutanan, dan Tommy Soeharto.
Bob Hasan telah divonis enam tahun penjara. Bob dinyatakan bersalah dalam
kasus korupsi proyek pemetaan hutan senilai Rp 2,4 triliun. Direktur Utama PT
Mapindo Pratama itu juga diharuskan membayar ganti rugi US$ 243 juta kepada
negara dan denda Rp 15 juta. Kini Bob dikerangkeng di LP Nusakambangan,
Jawa Tengah.
Prajogo Pangestu diseret sebagai tersangka kasus korupsi dana reboisasi
proyek hutan tanaman industri (HTI) PT Musi Hutan Persada, yang diduga
merugikan negara Rp 331 miliar. Dalam pemeriksaan, Prajogo, yang dikenal
dekat dengan bekas presiden Soeharto, membantah keras tuduhan korupsi.
Sampai sekarang nasib kasus taipan kakap ini tak jelas kelanjutannya.

Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)


Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Kasus BLBI pertama kali
mencuat ketika Badan Pemeriksa Keuangan mengungkapkan hasil auditnya
pada Agustus 2000. Laporan itu menyebut adanya penyimpangan penyaluran
dana BLBI Rp 138,4 triliun dari total dana senilai Rp 144,5 triliun. Di samping itu,
disebutkan adanya penyelewengan penggunaan dana BLBI yang diterima 48
bank sebesar Rp 80,4 triliun.
Bekas Gubernur Bank Indonesia Soedradjad Djiwandono dianggap bertanggung
jawab dalam pengucuran BLBI. Sebelumnya, mantan pejabat BI lainnya yang
terlibat pengucuran BLBI?Hendrobudiyanto, Paul Sutopo, dan Heru
Soepraptomo?telah dijatuhi hukuman masing-masing tiga, dua setengah, dan
tiga tahun penjara, yang dianggap terlalu ringan oleh para pengamat. Ketiganya
kini sedang naik banding.
Bersama tiga petinggi BI itu, pemilik-komisaris dari 48 bank yang terlibat BLBI,
hanya beberapa yang telah diproses secara hukum. Antara lain: Hendrawan
Haryono (Bank Aspac), David Nusa Widjaja (Bank Servitia), Hendra Rahardja
(Bank Harapan Santosa), Sjamsul Nursalim (BDNI), dan Samadikun Hartono
(Bank Modern).
Yang jelas, hingga akhir 2002, dari 52 kasus BLBI, baru 20 dalam proses
penyelidikan dan penyidikan. Sedangkan yang sudah dilimpahkan ke pengadilan
hanya enam kasus

KASUSU SUDJIONO TIMAN


Sudjiono Timan (lahir di Jakarta, 9 Mei 1959; umur 51 tahun) adalah seorang
pengusaha asal Indonesia. Dari tahun 1995 hingga 1997 ia menjabat sebagai
Direktur Utama PT. Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI). Ia saat ini
merupakan seorang buronan karena melarikan diri dari hukuman pengadilan.
Oleh pengadilan, Timan telah diputuskan bersalah karena telah
menyalahgunakan kewenangannya sebagai direktur utama BPUI dengan cara
memberikan pinjaman kepada Festival Company Inc. sebesar 67 juta dolar AS,
Penta Investment Ltd sebesar 19 juta dolar AS, KAFL sebesar 34 juta dolar AS,
dan dana pinjaman Pemerintah (RDI) Rp 98,7 miliar sehingga negara mengalami
kerugian keuangan sekitar 120 juta dolar AS dan Rp 98,7 miliar.

Pada pengadilan tingkat pertama di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Timan


dibebaskan dari tuntutan hukum karena perbuatannya dinilai bukan tindak
pidana. Menanggapi vonis bebas itu, Jaksa Penuntut Umum mengajukan kasasi
dan meminta Majelis Kasasi menjatuhkan pidana sebagaimana tuntutan
terhadap terdakwa yaitu pidana delapan tahun penjara, denda Rp30 juta
subsider enam bulan kurungan, serta membayar uang pengganti Rp1 triliun.

Pada Jumat, 3 Desember 2004, Majelis Kasasi Mahkamah Agung (MA) yang
dipimpin oleh Ketua MA Bagir Manan memvonis Sudjiono Timan dengan
hukuman 15 tahun penjara, denda Rp50 juta, dan membayar uang pengganti
sebesar Rp 369 miliar.

Namun, saat Kejaksaan hendak mengeksekusi Sudjiono Timan pada Selasa, 7


Desember 2004, yang bersangkutan sudah tidak ditemukan pada dua alamat
yang dituju rumah di Jalan Prapanca No. 3/P.1, Jakarta Selatan maupun rumah
di Jalan Diponegoro No. 46, Jakarta Pusat dan dinyatakan buron dengan status
telah dicekal ke luar negeri oleh Departemen Hukum dan HAM.

Pada 17 Oktober 2006, Kejaksaan Agung Republik Indonesia mulai


menyebarkan foto dan datanya ke masyarakat melalui televisi dan media massa
sebagai salah satu 14 koruptor buron yang sedang dicari

KASUS EKO EDI PUTRANTO

Eko Edi Putranto (lahir 9 Maret 1967; umur 43 tahun) adalah terpidana kasus
korupsi di Bank Harapan Sentosa (BHS). Ia telah divonis untuk menjalani 20
tahun penjara, denda Rp 30 juta, dan pembayaran uang pengganti sebesar Rp
1,95 trilyun. Ia disidang secara in-absentia dan tidak dapat dieksekusi badan
sesuai putusan pengadilan tinggi DKI Jakarta pada tanggal 8 November 2002.

Namun sampai saat ini statusnya masih buron dan diduga berada di Australia.
Status buronnya ditetapkan Kejaksaan Agung pada tanggal 30 Oktober 2006. Ia
adalah mantan komisaris BHS dan merupakan putera dari Hendra Rahardja
yang menjadi direktur bank tersebut. Dalam rilis kejaksaan agung dideskripsikan
bahwa ia mempunyai ciri-ciri tinggi badan sekitar 170 cm, warna kulit putih,
bentuk muka oval, mata sipit dan rambut hitam lurus.

Ia dipersalahkan karena selaku komisaris atau pemegang saham bersama-sama


dengan ibunya terpidana Sherny Konjongian, selaku Direktur Kredit, antara
tahun 1992-1996 telah memberikan persetujuan kredit kepada 6 perusahaan
dalam grup. Ia juga memberikan persetujuan kredit kepada 28 lembaga
pembiayaan yang ternyata merupakan rekayasa. Karena kredit itu oleh lembaga
pembiayaan disalurkan kepada perusahaan grup. Caranya dengan disalurkan
lewat penerbitan giro kepada perusahaan grup tanpa proses administrasi kredit
dan tidak dicatat atau dibukukan. Selanjutnya, beban pembayaran lembaga
pembiayaan kepada BHS dihilangkan dan dialihkan kepada perusahaan grup.
Akibatnya, negara dirugikan Rp 1,95 triliun.

You might also like