You are on page 1of 3

ISTIGHASAH

Kita menyadari bahwa pada awal abad XXI ini, peradaban manusia telah dianggap
mencapai puncaknya dalam segala aspek. Capaian-capaian ini tentu memunculkan berbagai
persoalan kontemporer yang menuntut kita untuk menyelesaikannya dari sudut pandang Fiqih
Untuk menyebut masalah kontemporer itu antara lain: dalam masalah istighotsah yang
belum pernah ada dalam pembukuan fiqih, yang harus dilihat hukumnya dari kacamata fiqih
Islam. Dengan demikian kita mengetahui seberapa pentingnya posisi Fiqih dalam kehidupan.
Karena itu upaya kontekstualisasi fiqih dilandasi oleh semangat untuk meningkatkan kesalehan
soaial dengan disertai semangat beribadah kepada Allah SWT, sehingga terjadi keseimbangan
antara aspek ritual dan aspek social dalam kehidupan kita.

1. Pengertian

Kata Istighotsah berasal dari al-ghouts yang berarti pertolongan. Dalam bahasa Arab
kalimat yang mengikuti pola (wazan) “Istifãla” menunjukan arti permintaan atau permohonan,
maka istighotsah berarti meminta pertolongan seperti kata gufron yang berarti ampunan, ketika
mengikuti pola istif’al menjadi yang berarti memohon ampunan. Dengan demikian istighotsah
bararti tholabul ghouts atau meminta pertolongan.
Dalam hal ini para ulama membedakan antara istighotsah dengan “istianah” meskipun
secara makna keduanya kurang lebih sama, karena istianah juga pula (wazan) istif’al dari kata
“al’aun”yang berarti tholabul ‘aun (meminta pertolongan). Istighotsah adalah meminta
pertolongan ketika keadaan sulit dan sukar baik isti’anah dan istighotsah terdapat dalam nushush
syariat atau teks Al-Qur’an atau hadits nabi Muhammad SAW yang terdapat pada yt 9 Surat Al-
anfal. Yang artinya “ingatlah wahai Muhammad ketika kamu memohon pertolongan kepada
tuhan mu lalu dia mengabulkan permohonan mu” ayat ini menjelaskan peristiwa pada ketika
nabi Muhammad menghadapi perang Badar dimana pada saat itu kekuatan musuh tiga kali lipat
lebih besar dibandingkan pasukan islam. Kemudian Allah mengabulkan permohonan nabi
dengan member bantuan pasukan tambahan berupa seribu pasukan malaikat.
Dalam surat al-Ahqof ayat 17 disebutkan “kedua orang tua itu memohon pertolongan
kepada Allah” yang dalam hal ini adalah memohon pertolongan kepada Allah atas kedurhakaan
sang anak dan keengganannya meyakini hari kebangkitan dan tak ada cara lain yang dapat di
tempuh oleh kedua orang tuanya untuk menyadarkan sang anak kecuali dengan meminta
pertolongan kepada Allah SWT yang maha kuasa atas segala segala sesuatu.
Dari kedua ayat tersebut berarti dapat disimpulkan bahwa istighotsah adalah memohon
pertolongan dari Allah agar terwujudnya keajaiban untuk menyelesaikan semua masalah atau
kesulitan yang sedang dihadapi dan istighotsah merupakan slah satu cara dalam memohon
pertolongan kepada Allah SWT. Istghotsah biasanya dilakukan secara bersama-sama dan dimulai
dengan wirid-wirid tertentu terutama istighfar, sehingga Allah SWT berkenan mengabulkan
permohonan itu. Disebutkan dalam hadits diantaranya:

“Matahari akan mendekat kepada manusia di hari kiamat sehingga keringat sebagian
orang keluar sampai mencapai separuh telinganya, ketika mereka dalam kondisi seperti
mereka ber istighotsah (meminta pertolongan) kepada nabi Adam, kemudian nabi Musa,
dan kepada nabi Muhammad.” (H.R. Al-Bukhari)
Hadits ini merupakan dalil yang membolehkan meminta pertolongan kepada selain Allah
dengan keyakinan bahwa seorang nabi adalah sebab (syare’at). Terbukti ketika manusia di
padang masyhar terkena teriknya matahari lalu mereka meminta pertolongan kepada para nabi,
kenapa mereka tidak berdo’a kepada Allah saja? Seandainya perbuatan ini syirik niscaya mereka
tidak akan melakukan hal tersebut.
Dengan demikian dari keterangan ayat al-qur’an dan hadits tadi dapat dijadikan salahsatu
sumber hukum Islam dan dapat kita simpulkan bahwa aspek ibadah dalam fiqih yaitu dapat
mengatur hubungan manusia dengan Allah dalam bentuk dan cara-cara pengabdian kepadanya
dan hal-hal lain yang erat hubungannya dengan ibadah tersebut. pengaturannya bergantung
kepada Allah dengan rasulnya sendiri sehingga segala ketentuan di bidang Ibadah (istighotsah)
ini sudah diuraikan secara rinsi dalam al-qur`an dan assunnah.
Dalam hal ini manusia tidak mempunyai hak untuk melakukan inovasi maupun
menciptakan tata cara peribadatan sendiri,karena penciptaan tata cara baribadah adalah mutlak
hak prerogative Allah dan rasulnya,dan dewasa ini inovasi dalam ibadah adalah penyimpangan.
Fuqaha telah menetapkan kaidah hukum atas segala sesuatu dalam bidang ibadah tidak
dapat dilakukan kecuali apabila dalil yang menunjukan bahwa sesuatu itu telah di perintahkan
oleh Allah SWT atau dicontohkan oleh rasul. Kaidah dalam bidang ini di dasarkan atas
keyakinan bahwa kayfiyiah ibadah memerlikan petunjuk rasul (al-tawqif min al-rasul) usliyun
dari kalangan mu`taziah pun (yang dikenal sebagai aliran rasional) sependapat bahwa hukum
islam yang menyangkut ibadah merupakan perbuatan yang hanya dapat dilakukan berdasarkan
petunjuk-petunjuk syara` tidak dapat di kembangkan oleh akal manusia.
Alhasil dalam ibadah syariat Islam menetapkan sendiri garis-garis ketentuannya dengan
dalil-dalil yang jelas dan qath`I sehingga ada beberapa ulama yang beda pendapat mengenai
pandangan ini, tetapi alangkah baiknya kita mengacu dulu pada pandangan ulama ahli usul fiqh
yang dikemukakan oleh DR. Ahmad Zain Annajah,MA ada beberapa hubungan ushul fiqh
dengan masalah kontemporer antara lain:
1) Ushul fiqh sebagai percontohan untuk melakukan riset ilmiah. Sesorang yang ingin
membuat hukum syare`at diharuskan terlebih dahulu menetukan referensi yang ingin
digunakannya kemudian mengolah referensi yang sesuai dengan standar ilmiah yang telah
di tentukan oleh para ulama, hal ini untuk memastikan bahwa produk hukum yang di
hasilkan tidak akan melenceng dari syare`at Islam
2) Ushul fiqh sebagai contoh untuk melakukan dialog yang sistematis dan bermutu, hal ini
kita dapatkan di dalam pembahasan qiyas dan etika dialog yang tersusun di dalamnya
dengan rapih. Produk hukum yang telah dihasilkan melalui proses qiyas tersebut
memungkinkan untuk dikritisi kembali dengan tata cara yang sistematis dan telah
ditentukan oleh para ulama. Intinya tidak sembarangan mengkritisi
3) Ushul fiqh bukan sekedar teori teori yang berandai-andai seperti orang yang hidup diatas
menara gading, manusia dengan problematika nya membutuhkan ushul fiqh sebagai ilmu
untuk menyatukan manusia dengan manusia yang lainnya dan sebagai solusi dalam
menyelesaikan semua problematika kehidupan.
4) Ushul fiqh dan kemaslahatannya umat “Masholih Mursalah”adalah salahsatu ilmu yang
membahas hal-hal yang berhubungan dengan kemaslahatan kehidupan manusia, maka
tidaklah berlebihan jika kita kitakan bahwa tidak ada satu pun fenomena kehidupan
manusia yang lepas dari ushul fiqh.
5) Ushul fiqh dan penghargaan terhadap ilmu dan ulama kalau dalam ranah politik yang
selama ini dijadikan prioritas politikus sebagai alternative solusi bagi berbagai
problematika bangsa, walaupun kenyataannya tidak lebih dari sebuah utopia yang tidak
pernah dan tidak akan terwujud demokrasi yang dianggap oleh sebagian kalangan sebagai
ratu adil tapi kenyataannya tidak adil.

Salahsatu kelemahannya adalah tidak pernah menghargai ilmu dan ulama. Sehingga
terbukti malah banyak menyengsarakan banyak orang dikarenakan menyamakan orang-orang
berilmu dengan yang bodoh.seorang professor yang belajar puluhan tahun lamanya sehingga
rambutnya rontok dan kepalanya menjadi botak disamakan dengan seorang pelacur dan pemabuk
yang pekerjaannya hanya bersenang-senang mengumbar syahwat sehingga sangatlah bertolak
belakang dengan para ulama fiqh yang mengedepankan keahlian yang harus sesuai dengan
bidangnya sehingga walaupun professor sekalipun tidak lah menjadi jaminan dapat membuat
hukum islam.

Menurutnya rumusan seperti itu di dasari oleh beberapa argumentasi yang antara lain :
 Berdasarkan penelitian secara istigra`i (induktif) ditemukan bahwa syar`I bermaksud
menciptakan kemaslahatan untuk hambanya.
 Syar`I banyak menerangkan `illat yang di terangkan itu adalah sesuatu yang dapat diterima
oleh akal, berarti apa yang dimaksud oleh syar`I adalah bukan berhenti pada nash itu,
melainkan pada nilai-nilai (hikmah) yang ada, walaupun tidak menutup kemungkinan
bahwa dalam hal tersebut terdapat aspek ta`abud yang apabila di dapatkan dalam nash kita
wajib mengikutinya.

Ikhtilaf dalam pandangan Islam merupakan Rahmat (kasih sayang) sehingga ada beberapa
pendapat ulama yang tidak bisa menerima atau menolak tentang masalah diatas.diantaranya:
Ibnu al-Taymiyah dalam kitabnya al-ubudiyah, Ibnu Qayyim al-jawziyah dalam kitabnya i`lam
almuwaqi`in. namun banyak ulama yang membolehkan bahkan menganjurkan untuk
melaksanakan nya diantaranya: imam maliki, imam Syafi ì, imam Nawawi dan semuanya
berbeda pendapat dalam hal persoalan-persoalan kontemporer yang selalu berorientasi dan
mengacu pada perubahan waktu dan tempat.

Daftar Pustaka :
 Mahfud Sahal, Nuansa Fiqh Sosial
 Djamil Fathurahman, Filsafat Hukum Islam
 Schaht yoseph, Pengantar Hukum Islam
 Ibnu Qoyim al-jawziyah, i`lam Al-Muwaqin. Vol.3

You might also like