You are on page 1of 3

Pembentukan Karakter Anak

Oleh : Dian Kun Prasasti, Psi.


Sebuah Cerita
Adalah seorang anak bernama Andre yang di bulan Agustus lalu merayakan ulang tahunnya yang ke
sembilan. Ia adalah anak semata wayang dari kedua orangtua yang cukup mapan, jika tidak mau dibilang
kaya. Jika dilihat sepintas, Andre, seperti halnya anak seumurnya, menikmati dunianya dengan bermain.
Kedua orangtuanya sangat menyayangi Andre dan berupaya memberikan yang terbaik baginya. Semua
kebutuhan Andre terpenuhi, baik kebutuhan sehari-hari yang bersifat material maupun non material seperti
perhatian dan kasih sayang. Namun di balik kehidupan Andre dan keluarganya yang sepertinya terlihat
sempurna, orangtua Andre sangat mengkhawatirkan masa depan anaknya. Bagaimana tidak? Andre terlihat
percaya diri jika berada di rumah. Namun di luar rumah, ia terlihat kurang dapat berbaur dengan teman-
temannya, tidak menunjukkan rasa percaya diri, dan takut-takut dalam melakukan apa pun. Di usianya yang ke
sembilan ini pula, Andre belum mampu melakukan dengan baik dan mandiri hal-hal keseharian yang berkaitan
dengan dirinya, yang mampu dilakukan anak seusianya, seperti menyiapkan buku sekolah, mandi,
membereskan kamar, atau membereskan mainannya.
Cerita yang Lain
Keluarga yang lain memiliki permasalahan yang serupa tapi tak sama. Ibu Eka pusing tujuh keliling
menghadapi anaknya yang menginjak usia remaja dan telah duduk di bangku SMA kelas 1. Ia memasukkan
anaknya di sekolah nasional plus terbaik di lingkungan rumahnya yang mengclaim menggunakan dwi bahasa
dalam kegiatan belajar mengajar. Ibu Eka lega karena merasa telah memberikan yang terbaik bagi masa
depan anaknya. Namun belakangan ia merasa bingung mengapa apa yang ia tanam, yaitu memberi yang
terbaik, berbuah tidak sesuai dengan harapannya? Kepusingannya tidak muncul sekonyong-konyong,
melainkan sejak Kris, anaknya, memasuki usia remaja awal yaitu saat duduk di bangku SMP. Sejak memasuki
usia remaja, Kris semakin sering membangkang, membantah, bahkan kerap juga membentak orangtuanya jika
dinasihati. Belum lagi sifatnya yang sangat malas sehingga tidak mengindahkan apa pun yang menjadi
tanggungjawabnya. Dipanggil oleh wali kelas atau konselor sekolah sudah menjadi rutinitas Ibu Eka dan
suaminya. Kepanikan mereka memuncak di saat Kris akan menghadapi ujian kenaikan kelas yang mana sudah
mendapatkan peringatan bahwa ada kemungkinan Kris tidak naik kelas. Ibu Eka dan suamianya dengan
tergopoh gopoh mencari seorang psikolog untuk berkonsultasi dan berharap ada perubahan yang dramatis
sehingga anaknya dapat naik kelas.
Kedua contoh cerita di atas nyata ada di sekitar kita, atau bahkan kita sendiri mengalaminya dalam
bentuk yang tidak persis sama. Apa yang terjadi sungguh membingungkan orangtua, karena sebagai orangtua
kita telah berupaya memberikan yang terbaik, namun hasilnya seringkali jauh dari harapan, jika tidak mau
dibilang kebalikannya. Ada apa sebenarnya gerangan?
Pada contoh cerita pertama, orangtua Andre sedemikian mengasihinya sehingga membuat proteksi yang
eksesif. Orangtua melarang Andre untuk ”bermain kotor-kotoran” seperti bermain di kebun, bermain pasir, atau
bahkan bermain sepeda karena khawatir Andre terluka jika jatuh dari sepeda. Andre diberi permainan yang
dianggap orangtua ”aman” seperti komputer, PS, atau DS. Untuk menyiapkan bukunya, orangtua juga meminta
pengasuh atau orangtua sendiri yang melakukannya bagi Andre karena khawatir Andre tidak cermat sehingga
ada kebutuhan sekolahnya yang tidak terbawa. Untuk membereskan kamar dan mainannya, orangtua juga
meminta pembantu di rumah yang melakukannya karena orangtua menganggap Andre tidak pernah
melakukannya dengan hasil baik. Kesemua hal ini membuat Andre tidak mengembangkan rasa mampu yang
memadai. Rasa tidak mampu tersebut membuat Andre belum mengembangkan rasa percaya diri yang adekuat.
Lebih jauh ”pelayanan” yang didapatkan Andre membuat dirinya merasa tidak perlu melakukan tugas-tugas
sehingga ia tidak mengembangkan rasa tanggungjawabnya.
Pada contoh cerita kedua, meskipun memasukkan anaknya ke sekolah yang dianggap baik, namun
keterlibatan orangtua dapat dikatakan minim terhadap kegiatan belajar Kris. Ibu Eka dan suaminya yang sangat
sibuk dengan bisnis keluarga, tidak sempat untuk mengawasi dan terlibat dalam keseharian kegiatan belajar
Kris. Itulah sebabnya mereka memasukkan Kris di sekolah ”bonafide” yang mereka anggap dapat menjawab
kebutuhan Kris, yaitu pendidikan yang ideal tanpa perlu banyak campur tangan orangtua lagi. Kris banyak
menghabiskan waktunya untuk chatting, kumpul-kumpul dengan teman, atau hanya sekadar tidur-tiduran di
kamar sambil menonton televisi disertai cemilan. Guru les yang didatangkan Ibu Eka untuk membimbing Kris
belajar, tidak dapat berbuat banyak karena Kris sendiri terlihat enggan untuk belajar, hanya hadir secara fisik
saat les, namun pikirannya tidak berada di sana. Belum lagi rasa bersalah Ibu Eka dan suaminya yang kurang
waktu untuk Kris, membuat mereka selalu memenuhi keinginan Kris. Untuk siapa lagi mereka bekerja mencari
uang jika bukan untuk anak, begitu pikir mereka. Hal ini membuat Kris semakin bertumbuh menjadi sosok yang
egois dan tidak bertanggungjawab. Begitu permasalahan memuncak, adalah naif jika mereka berharap
perubahan dapat berlangsung secara sekonyong-konyong bak tongkat ajaib nirmala. Sikap memanjakan di satu
sisi, dan kurang keterlibatan di sisi lain adalah penyebab terbentuknya perilaku Kris yang demikian. Datang
berkonsultasi ke psikolog, adalah salah satu langkah yang tepat, namun tidak dapat mengubah segalanya secara
seketika. Pada banyak kasus meskipun tidak seluruhnya, penerapan pendekatan orangtua terhadap anak yang
kurang tepat, banyak membuahkan permasalahan pada perilaku anak. Hal yang dapat dilakukan adalah adanya
perubahan dari pendekatan itu sendiri, yang berawal dari rumah, khususnya orangtua, sebagai agen pengubah
utama. Berikut dikemukakan berbagai hal yang kerap dilakukan orangtua disadari atau tanpa disadari, namun
tetap berdampak sama, yaitu menghambat optimalitas perkembangan karakter anak, oleh karenanya perlu
dihindari.

KESALAHAN PERAWATAN KELEWAT AMBISIUS


• Masih menyuapi anak • Anak harus dapat ranking
• Tidak melatih ke toilet • Menjejali anak dengan berbagai kegiatan les
• Tidak mengajarkan disiplin • Memaksa anak ikut lomba
• Tidak memberi stimulasi • Mendorong anak jadi artis
• Mengabaikan kebutuhan gizi anak • Ingin anak seperti orangtua
• Terlalu mengkhawatirkan kesehatan anak • Memaksakan cita-cita kepada anak
• Tidak membolehkan main kotor-kotoran
KELEWAT SANTAI
TERLALU MELINDUNGI ANAK • Mengajak anak membolos
• Selalu mengabulkan keinginan anak • Tidak mendorong anak berusaha
• Terlalu mudah memberi hadiah semaksimal mungkin
• Menyediakan fasilitas berlebihan
• Selalu membela anak meskipun salah KEKERASAN TERHADAP ANAK
• Banyak melarang Kekerasan Emosi
• Membiarkan anak dilayani terus oleh • Menakut-nakuti anak
pramusiwi • Mengancam anak
• Takut melepas anak pergi sendiri • Mendiamkan anak
• Melarang anak bergaul • Menceritakan ”aib” anak kepada orang lain
• Hari ini melarang, besok membolehkan
• Melarang ungkapkan emosi negatif

Kekerasan Verbal
BERSIKAP TIDAK ADIL • Melabel anak
• Pilih kasih • Melecehkan kemampuan anak
• Membanding-bandingkan anak • Memarahi anak di depan orang lain
• Tidak memberi kesempatan berbicara • Membentak anak
• Memilih dan memutuskan untuk anak • Selalu mengkritik anak
• Tidak menghargai privasi anak
• Tidak boleh mengkritik orangtua
• Memaksa anak mengaku salah
• Pelit pujian
Kekerasan Fisik • Menjadikan televisi sebagai teman anak
• Menyakiti anak secara fisik (memukul, • Mengajarkan pembalasan kekerasan
menyabet, mencubit) • Menyerahkan anak kepada pramusiwi
• Mengurung anak di kamar mandi • Tidak mau mengaku salah dan minta maaf
• Mengunci pintu rumah sehingga anak tidak pada anak
dapat masuk • Menjaga jarak dan membentuk kesan
• Menyetrap dengan berdiri satu kaki menakutkan
• Menjelek-jelekkan pasangan
HAL LAIN • Bertengkar hebat di depan anak
• Mengiming-imingi sesuatu

Dari berbagai hal yang telah dikemukakan di atas, aspek penting yang kiranya diingat untuk diterapkan
adalah :
• Pembinaan karakter berawal dari keluarga.
• Pembinaan karakter yang utama adalah rumah yaitu orangtua, dan hal ini tidak dapat digantikan oleh
sosok siapa pun.

”Sebuah keluarga, adalah tempat di mana pikiran-pikiran bergabung, dan bersentuhan satu sama lain.
Apabila pikiran-pikiran itu saling mencintai rumah itu akan seindah taman bunga yang asri. Sebaliknya
apabila pikiran-pikiran itu tidak harmonis, maka keadaannya akan bagaikan topan badai, yang dapat
memporakporandakan taman itu.”
(Anguttara Nikaya III, 31).

• Pembentukan karakter yang baik diawali dari orangtua yang memberikan contoh karakter yang baik
pula.

”Ayah dan Ibu disebut ”Brahma / Guru Awal” dan mereka pantas dipuja!”
(Itivuttaka ”Dengan Brahma”)

• Pembentukan atau pembinaan karakter dimulai dari usia dini, disesuaikan dengan tahapan usia anak.
• Pembinaan dilakukan secara berkesinambungan dan konsisten.

”Anak yang mendapatkan pendidikan yang baik, ia akan menunjang orangtuanya dan akan berbakti. Ia akan
memelihara kehormatan keluarga, menghormati leluhur / sanak keluarga yang telah tiada. Juga dapat
menjaga warisan keluarga dengan baik.”
(Digha Nikaya 31)

You might also like