Professional Documents
Culture Documents
INKONTINENSIA URIN
Oleh :
SURAKARTA
2010
INKONTINENSIA URIN
Definisi
Inkontinensia urin didefinisikan sebagai kebocoran urin involunter. Sumber
kebocoran urin bukan hanya dari uretra, namun juga bisa dari ekstra-uretra seperti fistula atau
malformasi kongenital traktus urinarius bagian bawah. Di sini hanya akan dibahas evaluasi
dan manajemen stress incontinence dan urge incontinence.
Berdasarkan International Continence Society guidelines, inkontinensia urin
merupakan simptom, sign, dan juga merupakan suatu ‘kondisi’. Misal, seseorang dengan
stress urinary incontinence (SUI), akan mengeluhkan kebocoran urin involunter karena suatu
upaya keras seperti batuk atau bersin. Bersamaan dengan itu, kebocoran urin dari uretra yang
sinkron dengan kejadian tersebut mungkin perlu diperhatikan. Sebagai suatu ‘kondisi’,
inkontinensia secara obyektif terlihat selama evaluasi urodinamik jika kebocoran urin
involunter muncul dengan adanya peningkatan tekanan intraabdominal dan ketiadaan
kontraksi detrusor. Suatu keadaan dengan simptom maupun sign SUI disertai dengan tes
obyektif, dikenal dengan istilah urodynamic stress incontinence (USI), sebelumnya disebut
dengan istilah genuine stress incontinence.
Wanita dengan urge urinary incontinence (UUI) akan mengalami kesulitan dalam
menunda urinasi yang mendesak (urgent), dan umumnya harus tepat mengosongkan kandung
kemihnya pada saat itu juga, tanpa ditunda. Jika UUI secara obyektif nampak dengan
evaluasi sistometrik, kondisi ini disebut overaktivitas detrusor, sebelumnya dikenal sebagai
instabilitas detrusor. Keadaan dimana SUI dan UUI muncul bersamaan disebut mixed
urinary incontinence (MUI).
Inkontinensia fungsional merupakan keadaan dimana seorang wanita tak dapat
mencapai toilet pada waktunya karena keterbatasan fisik, psikologis atau mentasi. Sebagian
besar contoh yang ada menunjukkan bahwa kelompok penderita inkontinensia fungsional
akan memiliki kontinensia yang baik, jika permasalahan tersebut di atas diatasi.
Epidemiologi
Di masyarakat barat, sebagian besar studi epidemiologis mengindikasikan prevalensi
sebesar 25-55%. Kisaran yang luas ini diatribusikan ke varietas luas yang sama dengan
metodologi investigasinya, karakteristik populasinya, dan definisi inkontinensia sendiri.
Terlebih lagi data yang ada sekarang jauh lebih terbatasi oleh fakta bahwa sebagian besar
wanita tidak memperhatikan kondisi tersebut (Hunskaar, 2000). Diperkirakan hanya 1 dari 4
wanita yang mencari bantuan medis mengenai inkontinensia yang mereka alami karena :
malu, akses yang terbatas ke pelayanan kesehatan, atau skrining yang kurang oleh penyedia
layanan kesehatan (Hagstad, 1985).
Kondisi yang paling sering ditemukan adalah SUI, yaitu sekitar 29-75% kasus.
Overaktivitas detrusor mencapai 33% kasus inkontinensia, sedangkan sisanya berupa bentuk
campuran (MUI) (Hunskaar, 2000).
Inkontinensia urin signifikan menurunkan kualitas hidup penderitanya, yang
mengarah pada terganggunya hubungan sosial, distres psikologis karena malu dan frustasi,
rawat inap karena gangguan kulit dan infeksi traktus urinarius, serta perawatan di rumah
(nursing home admission). Wanita tua penderita inkontinensia 2,5 kali lebih mungkin
menjalani nursing home daripada yang kontinensia (Langa, 2002).
Prevalence of any (n = 6,170) and significant (n = 1,832) incontinence by age group (From
Hannestad, 2000, with permission.)
2. Ras
Dulunya wanita kaukasia diyakini lebih beresiko mengalami inkontinensisa
urin daripada ras lain. Namun sebaliknya, wanita Afrika-Amerika dipercaya
berprevalensi lebih tinggi pada urge incontinence. Namun laporan tersebut tidak
berdasar populasi, dan dengan demikian perbedaan ras sejatinya bukan merupakan
perkiraan yang terbaik. Sebagian besar studi epidemiologis mengenai inkontinensia
urin dilaksanakan dalam populasi Kaukasian. Data yang ada menyangkut perbedaan
ras sangat didasarkan pada ukuran sampel yang kecil (Bump, 1993). Dari catatan
terkini, belum jelas apakah perbedaan ini biologis, berkaitan dengan penilaian
pelayanan kesehatan, atau dipengaruhi oleh ekspektasi kultural dan ambang toleransi
simptom. Dengan demikian, masih diperlukan studi lebih mendalam mengenai studi
non-Kaukasian.
3. Obesitas
4. Menopause
Studi-studi yang ada belum konsisten menunjukkan adanya peningkatan
disfungsi urin setelah seorang wanita memasuki tahun-tahun postmenopausal (Bump,
1998). Sukar untuk memisahkan efek hipoestrogenisme dari efek penuaan.
Reseptor estrogen afinitas tinggi telah diidentifikasi di uretra, muskulus
pubokoksigeal, dan trigonum bladder, namun jarang ditemukan di bladder (Iosif,
1981). Dipercaya bahwa perubahan kolagen yang berkaitan dengan hipoestrogen dan
reduksi vaskularisasi serta volume muskulus skeletal secara kolektif berperan pada
gangguan fungsi uretra melalui penurunan resting urethral pressure (Carlile, 1988).
Lebih jauh lagi, defisiensi estrogen yang menimbulkan atrofi urogenital diperkirakan
berperan dalam simptom sensoris urinari yang menyertai menopause (Raz, 1993).
Estrogen memang berperan penting dalam fungsi urinari normal, namun masih kurang
jelas apakah estrogen berguna dalam terapi atau pencegahan inkontinensia (Estrogen
Replacement) (Fantl, 1994, 1996).
5. Kelahiran dan kehamilan
Banyak studi menemukan bahwa wanita para memiliki prevalensi
inkontinensia urin lebih besar dibandingkan dengan yang nullipara. Pengaruh dari
melahirkan anak terhadap kejadian inkontinensia dapat timbul dari luka langsung
pada otot-otot pelvis dan perlekatan jaringan ikat. Sebagai tambahan, kerusakan
syaraf dari trauma atau ketegangan yang ada dapat berdampak pada disfungsi otot
pelvis (Snooks, 1986). Secara spesifik, level yang lebih tinggi dari latensi motorik
nervus pudendal yang lama setelah melahirkan nampak pada wanita dengan
inkontinensia dibanding dengan wanita yang asimtomatis.
6. Kebiasaan merokok dan penyakit paru kronis
Ada 2 studi epidemiologis yang menunjukkan peningkatan resiko
inkontinensia urin yang signifikan pada wanita usia lebih dari 60 tahun dengan
penyakit pulmoner obstruktif kronis (Brown, 1996; Diokno, 1990). Sama pula pada
kebiasaan merokok yang diidentifikasi sebagai faktor resiko independen inkontinensia
urin pada beberapa studi. Salah satu dari studi tersebut, menyebutkan bahwa baik
yang perokok maupun mantan perokok tercatat memiliki resiko 2-3 kali lipat
dibanding dengan yang bukan perokok (Bump, 1992). Secara teoritis, kenaikan
persisten tekanan intraabdominal yang timbul karena batuk kronis perokok dan
sintesis kolagen, dapat diturunkan dengan efek antiestrogenik merokok.
7. Histerektomi
Studi belum menunjukkan hasil yang konsisten bahwa histerektomi
merupakan faktor resiko berkembangnya inkontnensia urin. Studi yang menunjukkan
hubungan tersebut adalah studi retrospektif, kurangnya grup kontrol yang sesuai, dan
sering semata-mata berdasarkan data subyektif (Bump, 1998). Sebaliknya, Studi yang
meliputi tes pre dan post operatif urodinamik mengungkapkan perubahan fungsi
bladder yang secara klinis tidak signifikan. Lebih jauh lagi, bukti tidak mendukung
bahwa menghindari histerektomi yang telah diindikasikan secara klinis ataupun
menghindari pelaksanaan histerektomi supracervical menjadi ukuran untuk mencegah
inkontinensia urin (Vervest, 1998; Wake, 1980).
Patofisiologi
1. Kontinensia
Vesika urinaria merupakan organ penyimpan urin dengan kapasitasnya
mengakomodasi penambahan volume urin dengan tekanan intravesikal minimal
maupun tidak. Kemampuan menjaga penyimpanan urin dan pengosongan volunter
tetap baik disebut kontinensia. Kontinensia memerlukan koordinasi komplek banyak
komponen yang meliputi kontraksi dan relaksasi otot, dukungan jaringan pengikat
yang baik, inervasi terintegrasi serta komunikasi antar struktur tersebut. Ringkasnya,
selama pengisian, kontraksi uretra dikoordinasikan dengan relaksasi vesika urinaria
sehingga urin tersimpan. Kemudian selama miksi, uretra relaksasi dan vesika urinaria
berkontraksi. Mekanisme ini dapat dilawan oleh kontraksi detrusor yang tak
terinhibisi, sehingga tekanan intraabdominal meningkat, dan mengubah berbagai
komponen anatomis dari mekanisme kontinensia tersebut di atas.
2. Pengisian vesika urinaria/bladder
a) Anatomi Vesika Urinaria
Dinding vesika urinaria terdiri dari 4 lapis : lapisan mukosa,
submukosa, muskuler dan adventisial. Lapisan mukosa terdiri dari sel epitel
transisional, yang didukung oleh lamina propria. Dengan volume vesika
urinaria yang kecil, mukosa berubah bentuk menjadi lipatan convoluted.
Mukosa akan terbentang dan menipis saat pengisian. Epitel VU yang disebut
dengan uroepithelium, tersusun atas 3 lapisan sel yang berbeda. Yang paling
superfisial adalah lapisan sel payung. Lapisan ini impermiabel sehingga
berfungsi sebagai barrier primer urin-plasma.
Anatomi VU. A. Sisi Anteroposterior anatomi VU. Inset: Dinding VU terdiri dari
mukosa, submukosa, muskuler, dan lapisan adventisial. B. Fotomikrograf dinding
VU. Mukosa VU kosong terlempar membentuk lipatan convoluted atau rugae.
Susunan pleksiform serabut otot detrusor menyulitkan untuk membedakan ketiga
lapisan. C. Bentuk dan posisi VU saat kosong dan saat terisi penuh. (From McKinley,
2006, with permission.)
Fungsi ketiga otot ini sebagai unit tunggal dan berkontraksi efektif
mendekati uretra. Kontraksi ketiga otot ini mengkonstriksikan 2/3 bagian atas
uretra secara melingkar dan menekan 1/3 bagian bawah secara lateral. Sfingter
uretra terutama tersusun atas serabut-serabut yang berkedut lambat dan tetap
berkontraksi tonis, berperan dalam sisa-sisa proses kontinensia akhir.
Sebaliknya, sfingter uretrovaginal dan kompressor uretra tersusun atas
serabut-serabut otot yang berkedut cepat, dimana hal ini memungkinkan untuk
kontraksi dan penutupan lumen uretra yang cepat dan kuat saat kontinensia
dilawan oleh peningkatan tekanan intraabdominal yang mendadak.
c) Inervasi yang penting untuk penyimpanan urin
Otot lurik sfingter urogenital menerima inervasi motorik melalui
nervus pudendus. Serabut saraf somatik ini mengendalikan otot lurik sfingter
ini. Dengan demikian, neuropati pudendal yang mungkin menyertai proses
kelahiran lama, dapat mempengaruhi fungsi normal muskulus ini. Sebagai
tambahan, riwayat pembedahan pelvis atau radioterapi pelvis dapat merusa
nervus, vaskularisasi dan jaringan lunak. Hal ini dapat menjurus pada aksi
fingter urogenital yang tidak efektif dan menimbulkan inkontinensia.
Saat VU terisi, sinyal aferen sensoris dibwa melalui nervus
hipogastrikus dan pelvis ke medulla spinalis, dimana mereka akan relay ke
pusat mikturisi pontin via traktus spinotalamikus lateralis dan kolumna
dorsalis. Stimulasi simpatis yang dibawa melalui nervus hipogastrikus
menjaga aktivitas sfingter uretra yang didasarkan pada otot polos dan
membantu relaksasi detrusor yang mendukung penyimpanan urin. Bersamaan
dengan itu, sinyal eferen somatik ke otot lurik dasar pelvis ditransfer melalui
nervus pudendus, selanjutnya akan menimbulkan aktivitas sfingter uretra
volunter dan augmentasi resistensi uretra yang cepat sebagai respon terhadap
peningkatan VU yang mendadak. Saat sinyal aferen meningkatkan intensitas
pengisian VU, ambang kesadaran tercapai pada poin yangmana dicari peluang
pengosongan yang sesuai secara. Pada poin tersebut, sinyal dari pusat
mikturisi pontin ke medulla sakral lewat melalui traktur retikulospinal dan
kortikospinal. Rangsangan kolinergik parasimpatik detrusor dan refleks
relaksasi oto lurik dasar pelvis menyertainya dan timbullah urinasi. Segi aksi
agen farakologis ditunjukkan dengan lingkaran.(From Sourander, 1990, with
permission.)
Serabut simpatik dibawa melalui pleksus nervus hipogastrik dan
berhubungan dengan reseptor α dan β didalam VU dan uretra. Rangsangan
reseptor β-adrenergik di fundus VU menghasilkan relaksasi otot polos dan
membantu penyimpanan urin. Sebaliknya, reseptor α1 terutama terletak di
dasar VU dan uretra. Reseptor α adrenergik dirangsang oleh norepinefrin,
yang menimbulkan cascade peristiwa yang khusus mengarah pada kontraksi
uretra dan membantu penyimpanan urin serta kontinensia. Pengaruh stimulasi
alfa ini mendasari penatalaksanaan SUI dengan menggunakan imipramine,
yaitu sebuah antidepresan trisiklik dengan sifat agonis adrenergiknya
(medikasi).
d) Koaptasio Uretra
Satu kebutuhan kunci dalam menjaga kontinensia adalah koaptasio
mukosa uretra yang adekuat. Seperti yang telah dideskripsikan sebelumnya,
uroepitelium didukung oleh lapisan jaringan ikat yang membentuk plika atau
lipatan yang dalam. Jaringan yang kaya kapilarisasi berjalan didalam lapisan
subepitelial ini. Jaringan vaskuler ini membantu aproksimasi mukosa uretra
yang disebut sebagai koaptasio (coaptation), dengan bertindak seperti
inflatable cushion. Pada wanita yang hipoestrogenik, pleksus vaskulatur
submukosa ini kurang prominen. Sehingga pada hormone replacement
menargetkan pengurangan vaskularisasi dan memperkuat koaptasi untuk
memperbaiki kontinensia.
Gambar anatomi uretra. Sebagian koaptasi uretra dhasilkan oleh
pengisian pleksus subepitelial yang kaya vaskularisasi. Uretra tersusun atas
lapisan otot halus yang berbeda dengan sfngter lurik urogenital (tidak
diilustrasikan). (diambil dari Craig, 1995.)
3. Pengosongan VU
a) Inervasi yang berkaitan dengan pengosongan
Saat tiba waktu pengosongan VU yang tepat, rangsangan simpatis
berkurang dan rangsangan parasimpatis terpicu. Secara spesifik, impuls neural
yang dibawa saraf-saraf pelvis, merangsang pelepasan asetilkolin dan
menimbulkan kontraksi muskulus detrusor. Bersamaan dengan stimulasi
detrusor, asetilkolin merangsang reseptor di uretra dan mengakibatkan
relaksasi outlet untuk pengosongan.
Di dalam sistem parasimpatis, reseptor asetilkolin secara luas
didefinisikan sebagai muskarinik dan nikotinik. VU dipadati oleh reseptor
muskarinik. Dari reseptor-reseptor muskarinik, 5 glikoprotein yang menyusun
M1 sampai M5 telah teridentifikasi. Subtipe reseptor M2 dan M3 diketahui
sangat berperan dalam kontraksi otot polos detrusor. Sehingga terapi dengan
medikasi antagonis muskarinik dapat melemahkan kontraksi detrusor
sehingga dapat memperbaiki kontinensia. Lebih spesifik lagi, obat-obat
kontinensia yang hanya menargetkan reseptor M3, dapat memaksimalkan
efikasi obat namun meminimalkan aktivasi reseptor muskarinik yang lain dan
efek samping obat.
b) Aktivitas Muskuler dengan Pengosongan
Sel-sel otot polos di dalam detrusor bergabung satu dengan yang
lainnya sehingga terdapat jalur elektris beresistensi rendah dari satu sel otot ke
otot selanjutnya. Dengan demikian potensial aksi dapat menyebar cepat
melalui muskulus detrusor dan selanjutnya menimbulkan kontraksi cepat
keseluruh VU. Sebagai tambahan, susunan pleksiform serabut-serabut detrusor
VU memungkinkan kontraksi multidireksional dan sangat ideal untuk
kontraksi konsentris yang cepat selama pengosongan VU.
Selama pengosongan, seluruh komponen sfingter lurik urogenital
berelaksasi. Penting diketahui bahwa kontraksi VU dan relaksasi sfingter
harus terkoordinasi baik supaya pengosongan efektif. Terkadang kontraksi
tonis VU dan relaksasi sfingter tidak sinkron (disinkronisasi) dengan relaksasi
uretra. Dengan adanya disinergia sfingter, uretra gagal berelaksasi selama
kontraksi detrusor dan terjadilah retensi. Wanita dengan keadaan seperti ini
kadang diterapi dengan agen farmakologis seperti muscle relaxants. Obat ini
konon merelaksasi sfingter uretra dan muskulus levator ani sehingga
pengosongan dapat terkoordinasi lebih baik.
4. Teori kontinensia
Ada banyak teori kontinensia dan melibatkan konsep yang berhubungan
dengan transmisi tekanan, support anatomis, dan integritas uretra. Tiap teori memiliki
bukti ilmiah pendukung yang berbeda-beda. Namun saat ini teori-teori tersebut
mendasari terapi uroginekologis saat ini. Sulit untuk mengurai mekanisme yang ada di
balik inkontinensia, sehingga separasi etiologi artifisial bisa sedikit berguna untuk
praktisi umum. Dengan demikian, secara sederhana kontinensia dapat dikonsepkan
dalam segi support dan integritas uretra.
5. Transmisi Tekanan
Dalam traktus urogenital yang tersupport ideal, peningkatan tekanan
intraabdominal ditransmisikan sama ke VU, dasar VU, dan uretra. Pada wanita yang
kontinensia, peningkatan tekanan yang mengarah ke bawah seperti misalnya dari
batuk, tertawa, bersin dan manuver valsava ditahan oleh tonus jaringan pendukung
dari muskulus levator ani dan jaringan ikat vagina. Pada orang yang memiliki
‘backboard’ suportif yang lemah, kekuatan yang menekan ke bawah tersebut tidak
tertahan. Hal ini akan menjurus pada peristiwa patent urethra, penyaluran ke
urethrovesical junction, dan selanjutnya kebocoran urin (urine leakage). Teori
mekanistik ini merupakan dasar untuk surgical re-establishment. Prosedur seperti
Burch colposuspension digunakan untuk menciptakan kembali tahanan tersebut.
Urethral support terintergrasi dalam kontinensia. Support ini berasal dari : (1)
ligamentum sepanjang sisi lateral uretra; (2) vagina dan kondensasi fasial lateralnya;
(3) arcus tendinous fascia pelvis; and (4) muskulus levator ani. Dengan hilangnya
uretral support, maka kemampuan uretra untuk menutup melawan a firm supportive
backboard suportif yang kuat akan menurun. Ini akan mengakibatkan menurunnya
tekanan penutupan uretra dan ketidakmampuan dalam menahan tekanan bladder yang
meningkat, sehingga kontinensia terganggu.
a) Restorasi Urethral Support
Terapi untuk memperbaiki urethral support meliputi latihan otot dasar
panggul (Kegel exercises) dan penggunaan pesarium vaginal (latihan
penguatan dasar panggul). Prosedur urethropexy seperti Burch and Marshall-
Marchetti-Kranz (MMK) colposuspensions berperan dalam membangun
kembali support anatomis urethrovesical junction dan urethra proksimal
tersebut.
b) Integritas Uretra
Simptom Urinaria
1. Frekuensi urinasi
Sebagian besar wanita buang air kecil kurang lebih 8 kali sehari. Tanpa
adanya riwayat peningkatan intake cairan, peningkatan frekuensi buang air kecil dapat
mengindikasikan adanya inkontinensia, infeksi traktus urinarius, patologis uretram
kalkulus, dan sebaiknya dilakukan evaluasi tambahan. Peningkatan frekuensi Bak
juga berkaitan dengan sistitis interstisial. Pada sistitis interstisial, frekuensi Bak dapat
meningkat hingga 20 x per hari. Pada wanita dengan urge incontinence ataupun
gangguan manajemen cairan sistemik, seperti gagal jantung kongestif, dapat
ditemukan nokturia. Pada kasus yang terakhir ini, terapi keadaan yang mendasarinya
dapat mengarah pada perbaikan gejala atau penyembuhan.
2. Retensi Urin
Penting mengetahui bahwa pasien mengosongkn kandung kemihnya dengan
adekuat. Pengosongan inkomplit sering mengakibatkan inkontinensia yang
berhubungan baik dengan stress maupun urgensi. Istilah ‘overflow incontinence’ telah
lama tak digunakan.
3. Simptom urinari lainnya
Volume urin yang hilang tiap episodenya juga memberikan petunjuk
diagnostik penting. Hilangnya volume urin yang besar khas menyertai kontraksi
detrusor spontan yang berhubungan dengan UUI dan sering terkait dengan hilangnya
seluruh volume bladder/VU. Sebaliknya pada SUI, volume urin yang hilang
berjumlah sedikit. Terlebih lagi pada wanita yang dapat mengontraksikan muskulus
levator aninya dapat menghentikan aliran urinnya untuk sementara waktu.
Penetesan urin setelah pengosongan, khas berhubungan dengan divertikulum
uretra yang sering dimisdiagnosiskan dengan inkontinensia. Hematuria yang
merupakan tanda yang biasa muncul pada infeksi saluran kemih (ISK), juga dapat
mengindikasikan adanya malignansi dan dapat menyebabkan simptom pengosongan
iritatif.
Onset simptom juga memberikan informasi mengenao etiologi dan
penatalaksanaannya. Misalnya, onset simptom dengan menopause dapat mengarahkan
pada keadaaan hipoestrogenik yang mendasari inkontinensia. Pasien ini dapat diterapi
dengan estrogen replacement. Sebaliknya, simptom post histerektomi atau post
partum mungkin dapat mencerminkan adanya perubahan jaringan pendukung atau
inervasinya.
-adrenergic
agonists
Prazosin, terazosin, IUS relaxation Urinary leakage
doxazosin
-adrenergic
blockers
Anticholinergic agents Inhibit bladder Urinary retention
contraction, and/or functional
sedation, fecal incontinence
impaction
Antihistamines Diphenhydramine,
scopolamine,
dimenhydrinate
Antipsychotics Thioridazine,
chlorpromazine,
haloperidol
Antiparkinsonians Trihexyphenidyl,
benztropine mesylate
Miscellaneous Dicyclomine,
disopyramide
Skeletal muscle Orphenadrine,
relaxants cyclobenzaprine
Tricyclic Amitriptyline, imipramine,
antidepressants nortriptyline, doxepin
Angiotensin-converting Enalapril, captopril, Chronic cough Urinary leakage
enzyme (ACE) lisinopril, losartan
inhibitors
Calcium-channel Nifedipine, nicardipine, Relaxes bladder, Urinary retention,
blockers isradipine, felodipine fluid retention nocturnal diuresis
Cyclooxygenase-2 Celecoxib Fluid retention Nocturnal diuresis
selective NSAIDs
Diuretics Caffeine, HCTZ, Increases urinary Polyuria
furosemide, bumetanide, frequency,
acetazolamide, urgency
spironolactone
Narcotic analgesics Opiates Relaxes bladder, Urinary retention,
fecal impaction, and/or functional
sedation incontinence
Thiazolidinediones Rosiglitazone, Fluid retention Nocturnal diuresis
pioglitazone, troglitazone
Pemeriksaan Fisik
Uji Diagnostik
Volume ini rutin diukur selama evaluasi inkontinensia. Setelah miksi, residu
post pengosongan atau biasa disebut PVR (postvoid residual) diukur dengan hand-
held sonographic scanner atau dengan kateterisasi transuretral. Jika menggunakan
hand-held scanner, perhatikan wanita dengan uterus leiomiomatous yang membesar
karena ini akan salah merekam PVR yang besar. Pada contoh kasus ini, atau pada
kasus tidak adanya scanner, maka gunakan kateterisasi transuretral untuk
mengonfirmasi volume residual bladder.
PVR yang besar bisa menunjukkan salah satu dari beberapa masalah berikut
ini : infeksi rekuren, obstruksi uretra oleh massa pelvis, atau defisit neurologis.
Sebaliknya, PVR yang normalnya sedikit sering ditemukan pada SUI.
PVR Postoperatif
3. Sistometrik
Sistometrik multichannel
Detrusor pressure (Pdet) = Bladder pressure (Pves) – Pressure in abdominal cavity (Pabd)
Urodynamic stress incontinence is diagnosed when urethral leakage is seen with increased
abdominal pressure, in the ABSENCE of detrusor pressure.
a. +USI (Column 1): Abdominal pressure is generated with Valsalva maneuver or cough.
This pressure is transmitted to the bladder and a bladder pressure (Pves) is noted. The
calculated detrusor pressure is zero. Leakage is observed and diagnosis of USI is assigned.
b. No USI (Column 2): Abdominal pressure is generated with Valsalva maneuver or cough.
This pressure is transmitted to the bladder and a bladder pressure (Pves) is noted. The
calculated detrusor pressure is zero. Leakage is NOT observed. The patient is NOT
diagnosed as having USI.
Detrusor overactivity is diagnosed when the patient has involuntary detrusor contractions
during testing with or without leakage.
4. Uroflowmetry
Awalnya, pasien diminta mengosongkan bladdernya ke sebuah commode yang
dihubungkan ke flowmeter (uroflow-metry). Setelah tingkat aliran maksimal terekam,
pasien dikateterisasi untuk diukur PVR-nya dan untuk meyakinkan pengosongan
bladder sebelum dilakukan tes lebih lanjut. Tes ini memberikan informasi mengenai
kemampuan seorang wanita mengosongkan bladdernya. Tes ini dapat
mengidentifikasi wanita dnegan retensi urin dan jenis disfungsi pengosongan lainnya.
5. Sistometrografi
Medikasi
Terapi farmasi berpengaruh kecil terhadap Sui. Namun pada inkontinensia urin
campuran (MUI), dapat digunakan imipramin karena dapat membantu kontraksi uretra. Obat
ini memiliki efek anti depresan dan uretra mengandung banyak reseptor imipramin. Berikut
adalah dosis tabelnya:
Table 23-5 Pharmacologic Treatment of Overactive Bladder
Drug Name Brand Drug Type Dosage Available
Name Doses
Oxybutynin Ditropan Antimuscarinic 2.5–5 mg PO 5-mg tablet,
(short-acting) tid 5mg/mL syrup
Oxybutynin Ditropan See above 5–30 mg PO 5-, 10-, 15-mg
(long-acting) XL once daily tablet
Oxybutynin Oxytrol See above 3.9 mg/d; patch 36-mg patch
(transdermal) changed twice
weekly
Tolterodine Detrol M3-selective antimuscarinic 1–2 mg PO bid 1-, 2-mg tablet
(short-acting)
Tolterodine Detrol See above 2–4 mg PO 2-, 4-mg
(long-acting) LA once daily capsule
Trospium Sanctura Antimuscarinic quaternary 20 mg PO bid 20-mg tablet
chloride amine
Darifenacin Enablex M3-selective antimuscarinic 7.5–15 mg PO 7.5-, 15-mg
daily tablet
Solifenacin Vesicare M3-selective antimuscarinic 5–10 mg PO 5-, 10-mg
once daily tablets
Imipramine Tofranil Tricyclic antidepressant, 10–25 mg PO 10-, 25-, 50-
hydrochloride qd–qid mg tablets
anticholinergic, -
adrenergic, antihistamine
bid = twice daily; PO = orally; qd = daily; qid = four times daily; tid = three times daily.
Saat ini duloxetine (inhibitor reuptake norepinefrin dan serotonin selektif telah
dievaluasi untuk terapi SUI. Pada binatang percobaan, agonis serotonergik menekan aktivitas
simpatis dan memperkuat aktivitas somatik dan parasimpatis. Efek tambahannya mendukung
penyimpanan urin dengan relaksasi VU dan memperkuat resistesi outlet. Meskipun masih
dalam penyelidikan, selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI) ini dapat memperbaiki
gejala SUI yang ada (Norton, 2002; Dmochowski, 2003a; Millard, 2004). Lebih jauh lagi
Ghoneim an tim studinya menemukan bahwa kombinasi duloxetine dan PFMT lebih efektif
daripada jika digunakan sendiri-sendiri.
Dulu phenylpropanolamine (PPA) igunakan untuk terapi SUI. Namun pada tahun 2005,
FDA menggolongkannya ke kategori II dan dianggap tidak aman dan efektif (U.S. Food and
Drug Administration, 2005). Lebih tepatnya keputusan FDA bdibenarkan dengan adanya
peningkatan kejadian stroke hemoragik pada wanita yang mengonsumsi obat ini.
FIGURE 23-10
A. Urethral insert used for continence. (Courtesy of Rochester Medical.) The device consists
of a short silicone tube that is covered by a mineral oil–containing sheath. The proximal end
of the conformable sheath expands to a bulbous tip. At the device's distal end, a soft flange
prevents migration of the entire tube into the bladder. B. For insertion, an applicator is used
to aid placement. With insertion, mineral oil within the sheath is evenly distributed along its
length, and the bulbous tip is collapsed. When properly placed, the tip enters the bladder and
the mineral oil preferentially flows to the device's bulbous tip. The applicator is then
removed. As a result, the bulbous tip occludes the urethra to improve continence. When
voiding is desired, the flange is grasped and the entire single-use device is gently removed.
(Redrawn from Sirls, 2002, with permission.)
FIGURE 23-11
Photograph of Monarc Subfascial Hammocktrocars. (Courtesy of American Medical
Systems.)
Dua jenis utama prosedur TOT dibedakan dengan apakah penempatan benang dimulai di
dalam vagina dan mengarah keluar, diistilahkan dengan pendekatan in-to-out, atau
alternatifnya mulai dari luar dan mengarah ke dalam, disebut pendekatan out-to-in. Awalnya,
prosedur ini dikembangkan dari pendekatan out-to-in. Namun pendekatan ini memiliki
potensial komplikasi berupa luka di uretra dan bladder. Contohnya,pada sebuah studi
retrospektif, Abdel-Fattah et al(2006) membandingkan kedua pendekatan ini. Luka traktus
urinarius bawah ke bladder atau ureter terkomplikasi 1% dari hampir 400 prosedur dan
semuanya menyertai metode yang out to in.
Akibatnya, pendekatan in to out dibuat dan dipasarkan dengan pernyataan adanya penurunan
tingkat luka traktus urinarius bawah. Namun tehnik in-to-out, ujung trokar lebih dekat ke
bundle neurovaskuler obturatorius daripada yang dengan metode out-to-in (Achtari, 2006;
Zahn, 2007). Jadi meskipun masing-masing metode punya keuntungan secara teoretis, namun
kemungkinan luka belum sepenuhnya dapat dihindari.
Inovasi Baru
Modifikasi prosedur TVT nampaknya dapat memberikan tingkat keamanan yang baik.
Dengan tehnik baru ini, benang sintetik polipropilene 3-4 strip dipakai secara langsung di
bawah mid-uretra melalui incisi kecil pada vagina. Benang tidak dijahitkan pada ruang
retropubik sehingga luka vaskuler pada daerah ini dapat dihindari. Belum ada data mengenai
keefektifan dan keamanan tehnik ini. Luka traktus urinarius bagian bawah juga belum
sepenuhnya bisa dihindari dengan tehnik ini. Tehnik lain yang sudah pernah diperkenalkan
yaitu ablasi microwave jaringan periuretra. Namun belum ada data mengenai keefektifan dan
keamanannya pula.
Terapi Urge Incontinence
MEDIKASI ANTIKOLINERGIK
Oxybutynin dan Tolterodine
Obat-obatan yang secara kompetitif mengikat reseptor kolinergik dapat menurunkan
simptom urge incontinence, meliputi tolterodine, oxybutynin, dan imiramine. Namun seperti
yang telah dibicarakan sebelumnya, reseptor muskarinik tidak terbatas pada kandng kemih.
Dengan demikian efek samping obat ini bisa signifikan. Efek yang paling sering muncul
berupa : mulut kering, konstipasi dan pandangan kabur. Yang paling utama menyebabkan
pasien putus obat biasanya keluhan mulut kering. Penting untuk dicatat, antikolinergik
dikontraindikasikan untuk glaukoma sudut sempit. Karena efek-efek ini, obyek terapeutik
blokade bladder M3 dengan agen antimuskarinik ini sering dibatasi oleh efek samping
antikolinergiknya. Maka dari itu seleksi obat sebaiknya disesuaikan, dan efikasinya setara
dengan tolerabilitasnya. Misalnya, Diokno et al (2003) menemukan oxybutynin (Ditropan
XL, Ortho-McNeil Pharmaceuticals, Raritan, NJ) yang lebih baik daripada tolterodine (Detrol
LA, Pfizer, New York, NY). Namun tolterodine memiliki level efek samping yang lebih
rendah.
Tabel 23-6 Efek samping potensial Antikolinergik
Efek samping Konsekuensi klinis potensial
midriasis fotofobia
Penurunan akomodasi visual Penglihatan kabur
Penurunan salivasi Ulcerasi Gingival dan buccal
Penurunan sekresi bronkhial Small airway mucus plugging
Penurunan keringat Hipertermi
Peningkatan denyut jantung Angina, infark miokardium
Penurunan fungsi detrusor Distensi kandung kemih dan
retensi urin
Mobilitas gastrointestinal menurun konstipasi
Imipramine
Agen ini kurang efektif dibanding tolterodine and oxybutynin, namun bersifat α-
adrenergik seperti halnya karakteristik antikolinergik. Sehingga kadang diresepkan untuk
orang yang mengalami inkontinensia urin campuran. Penting diketahui bahwa dosis
imipramin yang digunakan untuk inkontinensia secara signifikan lebih rendah daripada yang
digunakan pada depresi dan nyeri kronis. Berdasarkan pengalaman, hal ini meminimalkan
resiko teoritis obat yang berhubungan dengan efek sampingnya.
Neuromodulasi Sakral
Alat yang diimplantasikan melalui pembedahan pada pasien rawat jalan ini terdiri dari
pulse generator dan electrical lead yang diletakkan di foramen sakrum untuk memodulasi
inervasi kandung kemih dan dasar pelvis. Neuromodulasi sakrum dilaksanakan pada wanita
dengan urgensi refraktori, frekuensi, atau urge incontinence. Juga dapat dipertimbangkan
untuk nyeri pelvis, sistitis interstisial, dan disfungsi defekatori, meskipun FDA belum
menyetujui indikasi tersebut. Neuromodulasi sakral tidak dipertimbangkan sebaga terapi
primer. Para wanita memiliki pilihan berupa terapi farmakologis dan konservatif.
Implantasi merupakan proses ‘2 tahap’ yang khas. Awalnya lead dipasang dan
dilekatkan pada externally worn generator. Setelah pemasangan tersebut, frekuensi dan
amplitudo impuls listrik dapat dinilai dan diasesuaikan sampai keefektifan maksimum. Jika
terdapat perbaikan sebesar 50% atau lebih dalam simptom yang ada, maka implantasi internal
permanent pulse generator dapat direncanakan selanjutnya.
Meskipun penggunaannya terbatas, modalitas ini menunjukkan keefektifan terapi.
Hasil studi menemukan adanya tingkat perbaikan yang berkisar antara 60-75%, dan tingkat
kesembuhan sebesar 45% (Janknegt, 2001; Schmidt, 1999; Siegel, 2000). Prosedur ini invasif
minimal dan bisa selesai dalam waktu 1 hari pembedahan, sehingga penyembuhannya pun
cepat. Komplikasi dari pembedahannya jarang terjadi namun bisa muncul sebagai nyeri atau
infeksi di sisi tempat insersi generator.
Referensi
Abdel-Fattah M, Ramsay I, Pringle S: Lower urinary tract injuries after transobturator tape
insertion by different routes: a large retrospective study. BJOG 113:1377, 2006 [PMID:
17083654]
Abrams P, Cardozo L, Fall M, et al: The standardisation of terminology of lower urinary tract
function: report from the Standardisation Sub-committee of the International Continence
Society. Am J Obstet Gynecol 187:116, 2002 [PMID: 12114899]
Achtari C, McKenzie BJ, Hiscock R, et al: Anatomical study of the obturator foramen and
dorsal nerve of the clitoris and their relationship to minimally invasive slings. Int Urogynecol
J 17:330, 2006 [PMID: 16211316]
Albo ME, Richter HE, Brubaker L, et al: Urinary Incontinence Treatment Network. Burch
colposuspension versus fascial sling to reduce urinary stress incontinence. N Engl J Med
356(21):2143, 2007 [PMID: 17517855]
Bai SW, Kang JY, Rha KH, et al: Relationship of urodynamic parameters and obesity in
women with stress urinary incontinence. J Reprod Med 47:559, 2002 [PMID: 12170533]
Blaivas JG: The bladder is an unreliable witness. Neurourol Urodyn 15:443, 1996 [PMID:
8857612]
Bologna RA, Gomelsky A, Lukban JC, et al: The efficacy of calcium glycerophosphate in the
prevention of food-related flares in interstitial cystitis. Urology 57(6, Suppl 1):119, 2001
Brown JS, Seeley DG, Fong J, et al: Urinary incontinence in older women: who is at risk?
Study of Osteoporotic Fractures Research Group. Obstet Gynecol 87(5 Pt 1):715, 1996
Bump RC, McClish DK: Cigarette smoking and urinary incontinence in women. Am J Obstet
Gynecol 167:1213, 1992 [PMID: 1442969]
Bump RC, Norton PA: Epidemiology and natural history of pelvic floor dysfunction. Obstet
Gynecol Clin North Am 25:723, 1998 [PMID: 9921553]
Bump RC: Racial comparisons and contrasts in urinary incontinence and pelvic organ
prolapse. Obstet Gynecol 81:421, 1993 [PMID: 8437798]
Carlile A, Davies I, Rigby A, et al: Age changes in the human female urethra: a
morphometric study. J Urol 139:532, 1988 [PMID: 3343739]
Dallosso HM, McGrother CW, Matthews RJ, et al: The association of diet and other lifestyle
factors with overactive bladder and stress incontinence: a longitudinal study in women. BJU
Int 92:69, 2003 [PMID: 12823386]
Deitel M, Stone E, Kassam HA, et al: Gynecologic-obstetric changes after loss of massive
excess weight following bariatric surgery. J Am Coll Nutr 7:147, 1988 [PMID: 3361039]
DeLancey JOL: Anatomy of the Female Bladder and Urethra. In Bent AE, Ostergard DR,
Cundiff GW, et al (eds) Ostergard's Urogynecology and Pelvic Floor Dysfunction, 5th ed.
Philadelphia, Lippincott Williams&Wilkins, 2003, p 9
Diokno AC, Appell RA, Sand PK, et al: Prospective, randomized, double-blind study of the
efficacy and tolerability of the extended-release formulations of oxybutynin and tolterodine
for overactive bladder: results of the OPERA trial. Mayo Clin Proceed 78:687, 2003 [PMID:
12934777]
Diokno AC, Brock BM, Herzog AR, et al: Medical correlates of urinary incontinence in the
elderly. Urology 36:129, 1990 [PMID: 2385880]
Dmochowski RR, Miklos JR, Norton PA, et al: Duloxetine versus placebo for the treatment
of North American women with stress urinary incontinence. J Urol 170(4 Pt 1):1259, 2003a
Dmochowski RR, Sand PK, Zinner NR, et al: Comparative efficacy and safety of transdermal
oxybutynin and oral tolterodine versus placebo in previously treated patients with urge and
mixed urinary incontinence. Urology 62:237, 2003b
Fantl JA, Bump RC, Robinson D, et al: Efficacy of estrogen supplementation in the treatment
of urinary incontinence. The Continence Program for Women Research Group. Obstet
Gynecol 88:745, 1996 [PMID: 8885906]
Fantl JA, Cardozo L, McClish DK: Estrogen therapy in the management of urinary
incontinence in postmenopausal women: a meta-analysis. First report of the Hormones and
Urogenital Therapy Committee. Obstet Gynecol 83:12, 1994 [PMID: 8272292]
FitzGerald MP, Mollenhauer J, Bitterman P, et al: Functional failure of fascia lata allografts.
Am J Obstet Gynecol 181:1339, 1999 [PMID: 10601910]
Flegal KM, Carroll MD, Ogden CL, et al: Prevalence and trends in obesity among US adults,
1999–2000. JAMA 288:1723, 2002 [PMID: 12365955]
Ghoniem GM, Van Leeuwen JS, Elser DM, et al: A randomized controlled trial of duloxetine
alone, pelvic floor muscle training alone, combined treatment and no active treatment in
women with stress urinary incontinence. J Urol 173:1647, 2005 [PMID: 15821528]
Haab F, Corcos J, Siami P, et al: Long-term treatment with darifenacin for overactive
bladder: results of a 2-year, open-label extension study. BJU Int 98:1025, 2006 [PMID:
16879437]
Haanpaa M, Paavonen J: Transient urinary retention and chronic neuropathic pain associated
with genital herpes simplex virus infection. Acta Obstet Gynecol Scand 83:946, 2004 [PMID:
15453891]
Hannestad YS, Rortveit G, Daltveit AK, et al: Are smoking and other lifestyle factors
associated with female urinary incontinence? The Norwegian EPINCONT Study. BJOG
110:247, 2003 [PMID: 12628262]
Hemrika DJ, Schutte MF, Bleker OP: Elsberg syndrome: a neurologic basis for acute urinary
retention in patients with genital herpes. Obstet Gyncol 68(3 Suppl):37S, 1986
Hendrix SL, Cochrane BB, Nygaard IE, et al: Effects of estrogen with and without progestin
on urinary incontinence. JAMA 293:935, 2005 [PMID: 15728164]
Howden NS, Zyczynski HM, Moalli PA, et al: Comparison of autologous rectus fascia and
cadaveric fascia in pubovaginal sling continence outcomes. Am J Obstet Gynecol 194:1444,
2006 [PMID: 16579930]
Hunskaar S, Arnold EP, Burgio K, et al: Epidemiology and natural history of urinary
incontinence. Int Urogynecol J Pelvic Floor Dysfunct 11:301, 2000 [PMID: 11052566]
Iosif CS, Batra S, Ek A, et al: Estrogen receptors in the human female lower urinary tract.
Am J Obstet Gynecol 141:817, 1981 [PMID: 7198384]
Jackson SL, Scholes D, Boyko EJ, et al: Predictors of urinary incontinence in a prospective
cohort of postmenopausal women. Obstet Gynecol 108:855, 2006 [PMID: 17012446]
Janknegt RA, Hassouna MM, Siegel SW, et al: Long-term effectiveness of sacral nerve
stimulation for refractory urge incontinence. Eur Urol 39:101, 2001 [PMID: 11173947]
Juma S, Brito CG: Transobturator tape (TOT): Two years follow-up. Neurourol Urodynam
26:37, 2007 [PMID: 17083100]
Kalsi V, Fowler CJ: Therapy insight: bladder dysfunction associated with multiple sclerosis.
Nature Clin Pract Urol 2:492, 2005 [PMID: 16474623]
Kelleher CJ, Cardozo LD, Khullar V, et al: A new questionnaire to assess the quality of life
of urinary incontinent women. BJOG l104:1374, 1997 [PMID: 9422015]
Langa KM, Fultz NH, Saint S, et al: Informal caregiving time and costs for urinary
incontinence in older individuals in the United States. J Am Geriatr Soc 50:733, 2002 [PMID:
11982676]
Lim JL, Cornish A, Carey MP: Clinical and quality-of-life outcomes in women treated by the
TVT-O procedure. BJOG 113:1315, 2006 [PMID: 17059393]
Mallipeddi PK, Steele AC, Kohli N, et al: Anatomic and functional outcome of vaginal
paravaginal repair in the correction of anterior vaginal wall prolapse. Int Urogynecol J Pelvic
Floor Dysf 12:83, 2001 [PMID: 11374518]
McKinley M, O'Loughlin VD: Urinary system. In Human Anatomy. New York, McGraw-
Hill, 2006, p 843
Millard RJ, Moore K, Rencken R, et al: Duloxetine vs placebo in the treatment of stress
urinary incontinence: a four-continent randomized clinical trial. BJU Int 93:311, 2004
[PMID: 14764128]
Miller JJ, Botros SM, Akl MN, et al: Is transobturator tape as effective as tension-free vaginal
tape in patients with borderline maximum urethral closure pressure? Am J Obstet Gynecol
195:1799, 2006 [PMID: 17014810]
Morey AF, Medendorp AR, Noller MW, et al: Transobturator versus transabdominal mid
urethral slings: a multi-institutional comparison of obstructive voiding complications. J Urol
175(3 Pt 1):1014, 2006
Moser F, Bjelic-Radisic V, Tamussino K: Needle suspension of the bladder neck for stress
urinary incontinence: objective results at 11 to 16 years. Int Urogynecol J 17:611, 2006
[PMID: 16575485]
Nilsson CG, Falconer C, Rezapour M: Seven-year follow-up of the tension-free vaginal tape
procedure for treatment of urinary incontinence. Obstet Gynecol 104:1259, 2004 [PMID:
15572486]
Norton PA, Zinner NR, Yalcin I, et al: Duloxetine versus placebo in the treatment of stress
urinary incontinence. Am J Obstet Gynecol 187:40, 2002 [PMID: 12114886]
O'Connor RC, Nanigian DK, Lyon MB, et al: Early outcomes of mid-urethral slings for
female stress urinary incontinence stratified by Valsalva leak point pressure. Neurourol
Urodyn 25:685, 2006
Patrick DL, Martin ML, Bushnell DM, et al: Quality of life of women with urinary
incontinence: further development of the incontinence quality of life instrument (I-QOL).
Urology 53:71, 1999 [PMID: 9886591]
Raz R, Stamm WE: A controlled trial of intravaginal estriol in postmenopausal women with
recurrent urinary tract infections. N Engl J Med 329:753, 1993 [PMID: 8350884]
Rortveit G, Daltveit AK, Hannestad YS, et al: Urinary incontinence after vaginal delivery or
cesarean section. N Engl J Med 348:900, 2003 [PMID: 12621134]
Schmidt RA, Jonas UDO, Oleson KA, et al: Sacral nerve stimulation for treatment of
refractory urinary urge incontinence. J Urol 162:352, 1999 [PMID: 10411037]
Siegel SW, Catanzaro F, Dijkema HE, et al: Long-term results of a multicenter study on
sacral nerve stimulation for treatment of urinary urge incontinence, urgency-frequency, and
retention. Urology 56(6 Suppl 1):87, 2000
Sirls LT, Foote JE, Kaufman JM, et al: Long-term results of the FemSoft1 Urethral Insert for
the management of female stress urinary incontinence. Int Urogynecol J 13:88, 2002 [PMID:
12054188]
Snooks SJ, Swash M, Henry MM, et al: Risk factors in childbirth causing damage to the
pelvic floor innervation. Int J Colorectal Dis 1:20, 1986 [PMID: 3598309]
Sung VW, Schleinitz MD, Rardin CR, et al: Comparison of retropubic vs transobturator
approach to midurethral slings: a systematic review and meta-analysis. Am J Obstet Gynecol
197(1):3, 2007 [PMID: 17618742]
Tarnay CM, Bhataia NN: Urinary incontinence. In DeCherney AH, Nathan L (eds): Current
Obstetric&Gynecologic Diagnosis&Treatment, 10th ed. New York, McGraw-Hill, 2007.
Available at: http://www.accessmedicine.com/content.aspx?aID=2390668. Accessed April
26, 2007
U.S. Food and Drug Administration: Phenylpropanolamine (PPA) Information Page, 2005.
Available at: http://www.fda.gov/cder/drug/infopage/ppa/default.htm. Accessed March 30,
2007
Vervest HA, van Venrooij GE, Barents JW, et al: Non-radical hysterectomy and the function
of the lower urinary tract. II: Urodynamic quantification of changes in evacuation function.
Acta Obstet Gynecol Scand 68:231, 1989 [PMID: 2618606]
Wagner TH, Patrick DL, Bavendam TG, et al: Quality of life of persons with urinary
incontinence: Development of a new measure. Urology 47:67, 1996 [PMID: 8560665]
Wake CR: The immediate effect of abdominal hysterectomy on intravesical pressure and
detrusor activity. Br J Obstet Gynaecol 87:901, 1980 [PMID: 7426488]
Wang AC, Wang YY, Chen MC: Single-blind, randomized trial of pelvic floor muscle
training, biofeedback-assisted pelvic floor muscle training, and electrical stimulation in the
management of overactive bladder. Urology 63:61, 2004 [PMID: 14751349]
Wester C, Fitzgerald MP, Brubaker L et al: Validation of the clinical bulbocavernosus reflex.
Neurourol Urodyn 22:589, 2003 [PMID: 12951668]
Zahn CM, Siddique S, Hernandez S, et al: Anatomic comparison of two transobturator tape
procedures. Obstet Gynecol 109:701, 2007 [PMID: 17329523]