You are on page 1of 9

[I,Ollllml rl.rn "L "oil ~.", Inc!"nl'"'' \ olume XlI!

1 ~lImor 2, I <j'l;

Strategi Kompetisi dalam Pasar tidak Sempurna:

Kasus "Non-Collusive Duopoly Market"

Bambang Prijambodo

Abtract

Until recently, international trade theories pay much attentions on perfect competition or pure monopoly market, with a number of policy recommendations. With increasing tendency of market for some commodities toward oligopolistic competition, the policy recommendation become ineffective. This article is trying to explore a model of oligopolistic competition in international trade in which only two firms in the world, competing each other supported by their government.

Surprisingly, the model does not provide common recommendations. The effectiveness of government in building monopoly power for the firm depends on the interaction of certain factors such as the actual reaction of the competitor, the capability of government to understand competitor's actual reaction, and the credibility of government to coordinate internal policy with the firm. Further, efforts of each government to encourage competing firms to be collusive, do not guarantee to yield a stable equilibrium.

155

Prijambodo

Tulisan ini dikembangkan dari Eaton dan. Grossman (1986), yang menyajikan suaru model pasar ndak sempurna (imperfect market) di m.~na hanya ada dua perusahaan raksasa di dunia yang bersaing dalam kuantitas. Salah satu perusahaan tersebut adalah perusahaan nasional, sedang yang lain adalah perusahaan asing. Dalam model ini, apabila pemerintah berusaha untuk membantu perusahaan nasional, baik melalui subsidi maupun pajak ekspor, keberhasilannya akan ditentukan oleh reaksi yang "sebenarnya" dike1uarkan oleh perusahaan pesaing, kecermatan pemerintah dalam menangkap reaksi balik terse but, dan kredibilitas pemerintah dalam mengkoordinasi kebijakan terhadap perusahaan nasionalnya. Ketidaktepatan dalam menanggapi reaksi perusahaan pesaing dapat memberi hasil yang berlawanan.

Selanjutnya, meskipun kedua pemerintah mendorong perusahaan untuk kolusif, tindakan ini tidak menjamin bahwa kedua negara akan mampu menarik keuntungan dari, dunia ketiga, yang sebagai konsumen berrindak dari produk yang dihasilkan oleh kedua perusahaan raksasa rersebut. Masing-masing perusahaan tetap mempunyai insentif untuk menyimpang dari konsensus yang telah disepakati, Atau dengan kata lain negara keriga, tetap mempunyai peluang untuk tidak banyak dirugikan meskipun pasar bersifat tidak sempurna dengan syarat bahwa perusahaanperusahaan yang ada tidak mampu membentuk kolusi yang bersifat permanen.

I. ASUMSI

Model ini merupakan aplikasi sederhana dari disiplin international trade, industrial organization dan game theory. Beberapa asumsi dasar yang digunakan antara lain sebagai berikur, Pertama hanya ada dua perusahaan raksasa di dunia sehingga pasar bersifat duopoly, tidak sernpurna, rapi tidak kolusif. Salah satu perusahaan tersebut adalah perusahaan milik nasional, sedangkan yang lain adalah perusahaan asing, Kedua, perusahaan nasional memproduksi x dan perusahaan asing memproduksi X. di mana x dan X meskipun bukan komoditi yang sama tidentical good), namun bersifat substirusi satu sarna lain. Ketiga, kedua perusahaan tersebut menjual produknya ke negara ketiga. Keempat, pemerintah nasional dalam hal ini berkepentingan untuk memaksimalkan keuntungan perusahaan nasional, baik melalui kebijakan subsidi maupun pajak ekspor, Kelima, pemerintah mengetahui lebih banyak tentang perilaku perusahaan asing daripada perusahaan nasional, Keenam, tingkat kesejahteraan (social welfare) dari negara ketiga yang dirugikan sebagai akibat dari perilaku pasar yang oligopolistik tidak menjadi perhatian utama.

156

Stralegi Kompetisi dalar» '\jsar Tidak Sempurna

------------------------------~--~------

II. NOTASI

Notasi yang digunakan untuk membedakan peubah-peubah bagi perusahaan nasional (H) dan perusahaan luar negeri (F) adalah sebagai berikut:

Negara H F

Ekspor x X

Penerimaan Ekspor r R

Biaya Produksi c C

Keuntungan _ 1t n

III. FUNGSI TUJUAN

Fungsi tujuanpemerintah adalah mernaksimalkan welfare melalui kebijakan komersial (baik berupa subsidi maupun pajak ekspor). Dalam menentukan kebijakan yang optimal tersebut, pernerintah perlu memahami perilaku perusahaan nasional dan perusahaan asing.

Sebagaimana dalam theory of firm, motif masing-rnasing perusahaan adalah memaksimalkan keunrungan. Dalam memaksimalkan keunrungan tersebut, strategi perusahaan tidak dapar hanya mengandalkan pad a kuantitas dan biaya produksinya saja, tetapi juga dipengaruhi oleh kuantiras ekspor dari perusahaan asing. Apabila fungsi keuntungan dari masingmasing perusahaan dinyatakan sebagai:

1t = (1-T) r(x,x) -ctx)

(1)

n "" R(x,x) - C(X)

(2)

maka fungsi maksirnasi welfare (w) dapat dinyatakan sebagai

Max w "" 1t + T' = (l-T) + r (x,x) - ctx) + t, = r(x,x) - c(x) (3)

Dengan persamaan di atas, perusahaan nasional akan memilih tingkat produksi x untuk memaksimalkan keuntungan dengan t yang ditentukan oleh pemerintah. Turunan pertama dari fungsi keuntungan perusahaan nasional .dapar dinyatakan sebagai

(1 - t) (rl + y r:JJ - c'(x) = 0

(4)

di mana y adalah "conjectural variation" yaitu jumlah di mana perusahaan nasional "percaya" bahwa perusahaan asing akan mengubah kuantitas ekspornya sebagai akibat dari penerapan kebijakan subsidi arau pajak ekspor, Dengan y = ax/ax, maka y '2 = (ax/ax) Or/ax menyatakan bahwa

apabila perusahaan nasional . meningkatkan kuantitas ekspornya, rnaka

157

Prijambodo

kuanritas ekspor perusahaan asing akan terpengaruh yang pada gilirannya akan mempengaruhi penerimaan ekspor perusahaan nasional.

Sernenrara itu, turunan perrarna dari fungsi keuntungan perusahaan asing dinyatakan sebagai

(5)

di mana r = ox'J8X Apabila 71 = &(x,X)/ Ox dan 71 = &(x,X)! ax masingmasing ::; 0 maka turunan pertama dari fungsi tujuan menjadi

awJat = (r1 - z ') ax/C'c + '2 ax;a-r = 0

(6)

Persamaan di aras menyatakan bahwa apabila pemerintah mengenakan pajak ekspor atau memberikan subsidi kepada perusahaan nasional, maka perusahaan nasional dan perusahaan asing akan mengubah jumlah barang yang diekspor yang pada gilirannya akan mempengaruhi penerimaan ekspor nasional.

Selanjutnya apabila reaksi perusahaan asing dinyatakan

. 8X/ax=(8X/ftr.)J(axJBL), maka

yang "sebenarnya" dikeluarkan oleh sebagai X=,¥(x), di mana '¥'=g=

oX/ftr. = \fl' Qx/iJr.= gox/m

(7)

Dari persarnaan (1) kita mendapat '1 = - g r2 + c'/(l-l'). Dengan rnensubtirusikan persamaan (7) ke dalam persamaan (6), maka fungsi rnaksimasi welfare menjadi

ew/iJr.= (y 72 + c'ltl-«) - c') DX/81' + r2 g DX/iJr = 0

Dengan manipulasi sederhana, persamaan di atas dapat disederhanakan menjadi

-r2 (g - y) = [ 1" 1(1-1') J c'

(8)

Apabila 'z < 0 (penerimaan ekspor nasional akan menurun apabila perusahaan asing meningkatkan kuantitas ekspornya), g < 0 (perusahaan asing akan bereaksi mengurangi ekspornya apabila kuantitas ekspor nasional ditingkatkan), y < 0 dan c' > 0 (biaya produksi meningkat sejalan dengan

kuantitas ekspor yang makin besar), maka kebijakan pemerintah yang optimal ditentukan oleh perbedaan antara g dan y.

Persamaan (8) mempunyai makna yang penring. Ada riga keadaan yang membedakan arah (direction) dan intervensi pemerinrah, Pertama, apabila g = y, maka kebijakan pemerintah yang optimal adalah tidak memberi subsidi ataupun mengenakan pajak ekspor terhadap komoditi ekspor nasional.

158

Stralegi Kompetisi dalarr 'dSar Tidak Sempurna

Dalam istilah ekonomi, keadaan ini disebut sebagai "consistent coniucture", jumlah di mana perusahaan nasional "percaya" bahwa perusahaan asing akan mengubah kuantitas ekspornya persis sarna dengan jumlah yang sebenarnya terjadi. Singkat kata, reaksi yang diperkirakan oleh perusahaan nasional sama 'dengan reaksi yang sebenarnya dilakukan oleh perusahaan asmg,

Kedua, apabila g < ,,(, maka kebijakan pemerintah yang optimal adalah memberi subsidi (negative tax). Ini adalah kasus di mana perusahaan nasional terlalu pesimis untuk merebut pasar di negara ketiga, padahal sebenarnya ia mampu. Dalam keadaan ini maka pemerintah harus bertindak aktif dengan mendorong ekspor perusahaan nasional melalui subsidi.

Pada Gambar 1 diberikan grafik mengenai straregi pemerintah apabila perusahaan nasional terlalu pesimist. F-F adalah reaction function dari perusahaan asing yang diketahui secara pasti oleh pemerinrah, Sementara itu 1t adalah isoprofit dari perusahaan dal~m negeri di mana 1to > 1tl > 1tz. Berdasarkan reaction function dari perusahaan asing terse but, maka pemerintah harus memberi subsidi dengan mendorong reaction function perusahaan dalam negeri dari f-f ke f'-f' sehingga ekspor akan meningkat dari XI ke Xl. Perusahaan nasional selanjutnya akan menerima keuntungan 1tl yang lebih besar dari nngkar keuntungan sebelumnya.

Gambar 1

Kasus Perusahaan Nasional T erlalu Pesimis

x,

x

F

x

159

Prijambodo

Ketiga, apabila g > y maka kebijakan pernerinrah yang optimal adalah menerapkan pajak ekspor. Ini adalah kasus di mana perusahaan nasional terlalu optimis unruk mere but pasar di negara ketiga, padahal ia tidak mampu rnelakukannya. Dalam keadaan ini, maka pemerintah harus mengekang optimisme perusahaan nasional melalui pengenaan pajakekspor,

Pada Gambar 2 diberikan grafik mengenai strategi pernerintah di mana perusahaan nasional terlalu optimis, Berdasarkan reaction function dari perusahaan asing (F-F) , maka pemerintah hams mengenakan pajak ekspor dengan rnendorong reaction function perusahaan dalam negeri dari f-f ke rf' sehingga ekspor akan menurun dari Xl ke X2' Perusahaan nasional selanjutnya akan menerima keuntungan 1[1 yang lebih besar dari tingkat

keuntungan sebelumnya.

Gambar 2

Kasus Perusahaan Nasional Terlalu Optimis

x

x,

X,

x

IV. COURNOT EQUILIBRIUM

Berikut adalah kasus yang lebih sederhana di mana perusahaan nasional memperkirakan bahwa perusahaan asing ridak akan bereaksi terhadap kebijakan pemerintah (conjectural variation, y = O. cournot equilibrium).

Persamaan (4) selanjutnya dapat disederhanakan menjadi

(9)

160

Straregl Kompetisi dalau. l'asar Tidak Sempurna

Sekali lagi, kebijakan pemerintah yang optimal akan ditentukan oleh reaksi yang sebenarnya dilakukan oleh perusahaan asing. Pertama, apabila g = 0, maka kebijakan optimal adalah tidak memberi subsidi atau memungut pajak kepada dan dari komoditi ekspor, Dalam kasus ini, perusahaan asing sama sekali tidak melakukan reaksi apapun. Kedua, apabila g < 0 (kasus di mana perusahaan asing akan menurunkan kuantitas ekspornya apabila ekspor nasional diringkatkan), maka kebijakan yang optimal adalah memberi subsidi. Ketiga, apabiJa g > 0 (kasus di mana perusahaan asing akan meningkarkan ekspornya apabila ekspor nasionaJ ditingkarkan), maka kebijakan optimal adalah menerapkan paia~ terhadap komoditi ekspor,

V. KEllDAKPASTIAN REAKSI PERUSAHAAN ASING

Dua contoh di atas (y > 0 atau y :::: 0) menunjukkan bahwa efekrivitas kebijakan pemerintah direntukan oleh reaksi yang "sebenarnya" dilakukan oleh perusahaan asing (g). Berikut akan dijelaskan faktor-faktor yang menenrukan arah (direction) dari g. Dari persamaan (5) dapar dilakukan penurunan total sebagai berikut

R21 dx+ RndX= C· dX= 0 R2 dx = sx ( C" - Ru ) dXJdx= R21 / (C'- Rn)

(10) (11) (12)

Dengan menyarnakan g = dXidx unruk mendapatkan kebijakan optimal, maka

R21 / (C" - Rn) = L! (1 - r ) c'

(13)

Dari persamaan (13) dapar disimpulkan sebagai berikut. Apabila C" - R12 > 0 maka arah dari kebijakan optimal akan ditenrukan oleh R2J di mana R21 adalah cross partial demand function. Dengan sendirinya arah kebijakan pemerintah berturut-rurut, L > 0, = atau < 0 apabila R21 masing-rnasing bernilai > 0, = atau < O.

VI. PENGERTIAN EKONOMI

Katakan hanya ada dua perusahaan raksasa di dunia ini yang memproduksi suaru komoditi tertentu, misalnya produk berteknologi tinggi. Dengan hanya dua perusahaan di dunia, maka pasar bersifat tidak sempuma. Menyadari bahwa masing-masing perusabaan mernpunyai kekuatan monopoli, maka masing-rnasing pemerintah tergerak untuk menarik keuntungan dari ketidaksempurnaan pasar tersebut.

161

Prijambodo

Dalam bersaing, masing-masmg perusahaan mempunyai perkiraan seberapa besar perusahaan lain akan mengekspor barangnya . _serta rnenggunakan kuanritas ekspor sebagai peubah kebijakannya. Dengan kemungkinan bahwa perusahaan terlalu oprimis atau pesimis dalam memperkirakan reaksi pesamgnya, maka masing-masing pemerintah berrnaksud mernbantu perusahaannya, baik dalam benruk subsidi maupun pajak ekspor. Berikut adalah be be rap a pengertian pokok yang dapat dipetik dari model ini.

Pertama, apabila pernerintah rnengerahui benar perilaku perusahaan asing, maka kebiiakan yang dilakukan pemerintah akan mampu membantu perusahaan nasional dalam memaksimalkan keuntungan. Pernerinrah seyogyanya memberi subsidi apabila perusahaan nasional terlalu pesimis arau rnenerapkan pajak ekspor apabila perusahaan nasional rerlalu oprirnis.

Kedua, reaksi yang dilakukan oleh perusahaan asing (sebagai akibar diterapkannya kebijakan komersial) bergantung kepada cross partial demand function (R21). Apabila perusahaan asing merasa bahwa dengan subsidi yang diberikan kepada perusahaan nasional, perrnintaan dari negara ketiga menjadi melemah (demand curve menjadi semakin landai), maka tidak ada insenrif lagi bagi perusahaan asing unruk menjaga agar harga produk tetap ringgi di pasar dunia. Singkat kata, apabila pernerintah berusaha unruk meningkatkan kuantitas ekspor perusahaan nasional, maka kebijakan ini akan disambut dengan rnembanjirnya kuantitas ekspor di pasaran dunia. Sebaliknya apabila perusahaan asing rnerasa bahwa dengan subsidi yang diberikan pemerintah kepada perusahaan nasional, permintaan retap kuat (demand curve tetap curams, maka reaksi yang dilakukan oleh perusahaan asing adalah mengurangi kuantitas ekspornya di pasaran dunia.

Keriga, apabila pernerintah di kedua negara beranggapan bahwa reaksi yang dilakukan oleh perusahaan pesaing adalah mengurangi kuantitas ekspor, maka masing-masing pemerintah akan memberi subsidi kepada perusahaannya. Akibatnya, kuantitas produk di pasar dunia meningkat drasris yang pada gilirannya akan menurunkan harga produk Kebijakan optimal dalarn kasus seperti im adalah kedua pemerintah mengenakan pajak ekspor. Apabila im konsisten ditaati oleh kedua negara, rnaka kedua negara akan rnampu rnenciptakan kekuaran monopoli di pasar dunia. Kebijakan optimal yang lam adalah mendorong kedua perusahaan unruk kolusif.

Keempat, kebijakan optimal yang disebut pada hutir ketiga (mendorong kedua perusahaan untuk kolusif) tidaklah menjamin bahwa masing-rnasing negara akan konsisten dengan kuantiras ekspor yang disepakari. Dalam terminologi ekonomi, kondisi ini dikenal sebagai unstable equilibrium. Sekali perusahaan yang satu konsisten dengan kuma produksi

162

Strategi Kompetisi dale.;·, i)asar Tidak Sempurna

yang relah disepakati, maka perusahaan yang lain mempunyai insentif untuk menyimpang dari kesepakatan gun a meraih keuntungan dengan cara meningkatkan jumlah ekspornya.

Kelima, .dalam pasar tidak sempurna, negara ketiga tetap mempunyai peluang unruk mendapat manfaar dari perilaku persaingan antar perusahaan. Dalam teori international trade yang tradisional disebutkan bahwa negara kecil akan sangat dirugikan oleh kekuatan monopoly. Kekhwatiran . ini timbu! karena negara besar dapar saja mengurangi suppJynya (misalnya dengan menerapkan pajak ekspor) yang pada gilirannya akan meningkatkan nilai tukar perdagangannya. Dalam model ini, negara kecil masih mempunyai peluang umuk tidak terlalu dirugikan. Sebagai conroh, apabila Arnerika mempunyai kekuatan rnonopoli dalam industri berteknologi tinggi, maka keunrungan yang tinggi akan mengundang negara lain unruk mendirikan perusahaan yang sejenis. Dengan rnasuknya perusahaan baru ini, maka pasar akan "bergeser dan rnonopoli sempurna ke duopoli. Dengan pergeseran sifat pasar ini, terbuka peluang harga produk teknologi ringgi tersebut untuk rurun.

Keenarn, mode! ini sekaligus juga. menggambarkan debar panjang anrara penganut ali ran Keynes dengan Neoklasik. Bagi penganut Keynes, intervensi pemerinrah (baik melalui pajak ekspor maupun subsidi) adalah the first best policy apabila pasar tidak sempurna. Di lain pihak, para penganut Neoklasik tetap meragukan kemampuan pemerinrah untuk melakukan intervensi yang tepat. Dalam model ini, paling tidak ada riga keberatan yang diajukan oleh penganut Neoklasik. Pertama, apakah benar bahwa pernerintah lebih "well-informed" dari perusahaan nasional. Apabila tidak, maka besar kernungkinan bahwa arah kebijakan yang diciptakan oleh pemerintah justru salah. Sebagai contoh, apabila the first best policy adalah pajak ekspor, tapi karena informasi yang salah, kebijakan yang diberikan justru subsidi. Kedua, apakah pemerintah mampu menangkap reaksi balik yang dilakukan oleh perusahaan asing seperti yang rercerrnin dalam cross partial demand function (R21). Contoh dari keberatan ini sudah diielaskan pada butir kedua. Ketiga, seandainya pemerinrah lebih well-informed dan mampu memperkirakan reaksi balik dari perusahaan asing, mampukah pernerintah melakukan koordinasi dengan perusahaan nasionalnya, "Coordination failure" adalah salah satu sumber dari kegagalan Keynesian Economy.' Dengan argumen rm, para penganut neo-klasik ,tetap

Penjelasan reoritis dari "coordination failure" dalarn Keynesian Economy dapar dibaca pada Mankiws N Gregory dan David Romer (1992).

163

You might also like