You are on page 1of 16

SUNNAH, HADITS, KHABAR DAN ATSAR

I. Pendahuluan

Hadis Nabi merupakan sumber ajaran Islam, di samping al-Qur'an. "Hadis


atau disebut juga dengan Sunnah, adalah segala sesuatu yang bersumber atau
didasarkan kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, atau taqrir-nya.
Hadis, sebagai sumber ajaran Islam setelah al-Qur'an, sejarah perjalanan hadis tidak
terpisahkan dari sejarah perjalanan Islam itu sendiri. Akan tetepi, dalam beberapa hal
terdapat ciri-ciri tertentu yang spesipik, sehingga dalam mempelajarinya diperlukan
pendekatan khusus".

Pada zaman Nabi, hadis diterima dengan mengandalkan hafalan para sahabat
Nabi, dan hanya sebagian hadis yang ditulis oleh para sahabat Nabi. Hal ini
disebabkan, "Nabi pernah melarang para sahabat untuk menulis hadits beliau. Dalam
pada itu, Nabi juga pernah menyuruh para sahabat untuk menulis hadis beliau.

Dalam sejarah, pada zaman Nabi telah terjadi penulisan hadis, misalnya berupa
surat-surat Nabi tentang ajakan memeluk Islam kepada sejumlah pejabat dan kepala
negara yang belum memeluk Islam. Sejumlah sahabat Nabi telah menulis hadis Nabi,
misalnya Abdullah bin 'Amr bin al-'As (w.65 H/685 M), Abdullah bin 'Abbas (w.68
H/687 M), 'Ali bin Abi Thalib (w. 40 H/661 M), Sumrah (Samurah) bin Jundab (w. 60
H), Jabir bin Abdullah (w. 78 H/697 M), dan Abdullah bin Abi Aufa' (w.86 H).
Walaupun demikian tidaklah berarti bahwa seluruh hadis telah terhimpun dalam
catatan para sahabat tersebut.

Menurut H.Said Agil Husain al-Munawar, penulisan hadis bersifat dan untuk
kepentingan pribadi. Dengan demikian, hadis-hadis yang ada pada para sahabat, yang
kemudian diterima oleh para tabi'in memungkinkan ditemukan adanya redaksi yang
berbada-beda. Sebab, ada yang meriwayatkannya sesuai atau sama benar dengan
lafazh yang diterima dari Nabi (yang disebut dengan periwayatan bi al-lafzhi), dan
ada yang hanya sesuai makna atau maksudnya saja (yang disebut dengan periwayatan
bi al-ma'na), sedang redaksinya tidak sama. Lebih lanjut H.Said Agil Husain al-
Munawar, mengatakan bahwa di antara para sahabat yang sangat ketat berpegang
kepada periwayatan bi al-lafzhi, ialah Abdullah bin Umar. Menurutnya, tidak boleh

1
ada satu kata atau huruf yang dikurangi atau ditambah dari yang disabdakan Rasul
SAW.

Dengan demikian, hadis Nabi yang berkembang pada zaman Nabi (sumber
aslinya), lebih banyak berlangsung secara hafalan dari pada secara tulisan.
Penyebabnya adalah Nabi sendiri melarang para sahabat untuk menulis hadis-nya, dan
menurut penulis karakter orang-orang Arab sangat kuat hafalannya dan suka
menghafal, dan ada kehawatiran bercampur dengan al-Qur'an. Dengan kenyataan ini,
sangat logis sekali bahwa tidak seluruh hadis Nabi terdokumentasi pada zaman Nabi
secara keseluruhan.

Pada realitas kehidupan masyarakat muslim, perkembangan hadis Nabi secara


kuantitatif cukup banyak sekali, walaupun Fazlur Rahman mengatakan "hadis-hadis
Nabi memang sedikit jumlahnya". Selain perkembangan hadis yang cukup banyak,
juga banyak istilah-istilah yang digunakan. Pada masyarakat umum yang dikenal
adalah Hadits dan as-Sunnah, sedangkan pada kelompok tertentu, dikenal istilah
Khabar dan Atsar. Untuk itu, pada pembahasan makalah ini, pemakalah akan
menyoroti : (1) pengertian Hadts, dan perbedaan Hadits dengan as-Sunnah, al-Khabar,
dan al-Atsar, (2) cara penyampaian Hadis pada masa Nabi.(3) hadis periode Rasul dan
sahabat.

II. Pengertian Hadis , As-Sunnah, al-Khabar dan Al- Atsar

Dalam pembahasan ini pemakalah akan lebih mencermati pengertian Hadis, as-
Sunnah, al-Khabar, dan al-Atsar serta perbedaan-perbedaan para ulama baik ulama
Hadis, ulama Ushul, dan ulama Fiqh dalam merumuskan masing-masing definisi
tersebut di atas. Selain itu juga mengungkapkan perbedaan antara Hadits dengan as-
Sunnah, Hadits dengan al-Khabar dan al-Atsar.

1. Pengertian Hadits

Kata "Hadits" atau al-hadits menurut bahasa berarti al-jadid (sesuatu yang
baru), lawan kata dari al-qadim (sesuatu yang lama).1 Kata hadis juga berarti al-
khabar (berita), yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang
kepada orang lain. Pengertian ini dapat dilihat pada al-Qur’an surat al-Thur(52): 34
1
. Ibnu Manzur, Lisan al- Arab, Juz II,( Mesir : Dar Al-Mishriyah,tt)h. 436

2
 
   
  

“Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal Al Quran itu jika
mereka orang-orang yang benar”.

Kata hadis dalam al-qur’an terdapat sebanyak 23 kali dengan makna-makana


yang berbeda beda.2

Kata jamaknya, ialah al-ahadis. Secara terminologi, ahli hadis dan ahli ushul
berbeda pendapat dalam memberikan pengertian hadis. Di kalangan ulama hadis
sendiri ada juga beberapa definisi yang antara satu sama lain agak berbeda.

Di antara hali hadis ada yang mendefinisikan hadis, adalah :

‫اقوال النبي صلى الله عليه و سلم و أفعاله و أحواله‬

"Segala perkataan Nabi SAW, perbuatan, dan hal ihwalnya".

Ulama hadis menerangkan bahwa yang termasuk "hal ihwal", ialah segala
pemberitaan tentang Nabi SAW, seperti yang berkaitan dengan himmah, karakteristik,
sejarah kelahiran, dan kebiasaan-kebiasaanya.3

Ulama ahli hadis yang lain merumuskan pengertian hadis dengan :

"Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi, baik berupa perkataan, perbuatan,
taqrir, maupun sifatnya".

Ulama hadis yang lain juga mendefiniskan hadis sebagai berikut :

"Sesuatu yang didasarkan kepada Nabi SAW. baik berupa perkataan, perbuatan,
taqrir, maupun sifatnya".

2
. M.M azami, Memahami Ilmu Hadis, (Jakalarta : Lentera, 1993)h. 3
3
. Munzier Suparta, Ilmu Hadis, ( Jakarta : Raja Grafindo, 1993), h.2

3
Dari ketiga pengertian tersebut, ada kesamaan dan perbedaan para ahli hadis
dalam mendefinisikan hadis. Kasamaan dalam mendefinisikan hadis ialah
hadis dengan segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik perkataan
maupun perbuatan. Sedangkan perbedaan mereka terletak pada penyebutan terakhir
dari perumusan definisi hadis. Ada ahli hadis yang menyebut hal ihwal atau sifat Nabi
sebagai komponen hadis, ada yang tidak menyebut. Kemudian ada ahli hadis yang
menyebut taqrir Nabi secara eksplisit sebagai komponen dari bentuk-bentuk hadis,
tetapi ada juga yang memasukkannya secara implisit ke dalam aqwal atau af’al-nya.

Sedangkan ulama Ushul, mendefinisikan hadits sebagai berikut4 :

‫أقواله و أفعاله و تقريرته و التي تثبت الحكام و تقرها‬

"Segala perkataan Nabi SAW. yang dapat dijadikan dalil untuk penetapan hukum
syara'".

Berdasarkan rumusan definisi hadis baik dari ahli hadis maupun ahli ushul,
terdapat persamaan yaitu ; "memberikan definisi yang terbatas pada sesuatu yang
disandarkan kepada Rasul SAW, tanpa menyinggung-nyinggung prilaku dan ucapan
shabat atau tabi'in. Perbedaan mereka terletak pada cakupan definisinya. Definisi dari
ahli hadis mencakup segala sesuatu yang disandarkan atau bersumber dari Nabi SAW,
baik berupa perkataan, perbuatan, dan taqrir. Sedangkan cakupan definisi hadits ahli
ushul hanya menyangkut aspek perkataan Nabi saja yang bisa dijadikan dalil untuk
menetapkan hukum syara'.

2. Pengertian al-Sunnah

Sunnah menurut bahasa berarti :

‫الطريقه و السيرة حميدة كانت او ذميمة‬

"Jalan dan kebiasaan yang baik atau yang jelak".5

4
. Muhammad jamal Al-Din, Qawa’id al tahdits min funun musthalah al- hadits, ( Beirut :
dar al-kutub al-Islamiyah, 1979), h.61
5
. jami’ al-Lughah al- Arabiyah al “amah li al mu’jamat wa ihya’ wa al-tiras, Mu’jam al-
Wasith, ( Mesir: Dar al-ma’arif,t.t)h. 456

4
Menurut M.T.Hasbi Ash Shiddieqy, pengertian sunnah ditinjau dari sudut
bahasa (lughat) bermakna jalan yang dijalani, terpuji, atau tidak. Sesuai tradisi yang
sudah dibiasakan, dinamai sunnah, walaupun tidak baik.

Berkaitan dengan pengertian sunnah ditinjau dari sudut bahasa, perhatikan


sabda Rasulullah SAW, sebagai berikut :

"Barang siapa mengadakan sesuatu sunnah (jalan) yang baik, maka baginya pahala
Sunnah itu dan pahala orang lain yang mengerjakan hingga hari kiamat. Dan barang
siapa mengerjakan sesuatu sunnah yang buruk, maka atasnya dosa membuat sunnah
buruk itu dan dosa orang yang mengerjakannya hingga hari kiamat" (H.R. Al-
Bukhary dan Muslim).

Sedangkan, Sunnah menurut istilah muhadditsin (ahli-ahli hadis) ialah :

‫ما أثير عن النعبي صععلى اللعه عليععه و سعلم معن قعول او فععل او‬
‫تقرير او صفة خلقية او خلقية او سيرة سواء كعان قبعل البعثعة او‬
‫بعدها‬

"segala yang dinukilkan dari Nabi SAW., baik berupa perkataan, perbuatan, maupun
berupa taqrir, pengajaran, sifat, kelakuan, perjalanan hidup baik yang demikian itu
sebelum Nabi SAW., dibangkitkan menjadi Rasul, maupun sesudahnya”6

Menurut Fazlur Rahman, sunnah adalah praktek aktual yang karena telah lama
ditegakkan dari satu generasi ke generasi selanjutnya memperoleh status normatif dan
menjadi sunnah. Sunnah adalah sebuah konsep perilaku, maka sesuatu yang secara
aktual dipraktekkan masyarakat untuk waktu yang cukup lama tidak hanya dipandang
sebagai praktek yang aktual tetapi juga sebagai praktek yang normatif dari masyarakat
tersebut.

Menurut Ajjaj al-Khathib, bila kata Sunnah diterapkan ke dalam masalah-


masalah hukum syara', maka yang dimaksud dengan kata sunnah di sini, ialah segala
sesuatu yang diperintahkan, dilarang, dan dianjurkan oleh Rasulullah SAW., baik

6
. Musthafa al- Siba’I, Al- Sunnah Wa makanatuha fi al- Tasyri’ al – Islami, ( Kairo : Dar
al- fikr, 1997), h. 19

5
berupa perkataan maupun perbuatannya. Dengan demikian, apabila dalam dalil
hukum syara' disebutkan al-Kitab dan as-Sunnah, maka yang dimaksudkannya adalah
al-Qur'an dan Hadits. 7

Pengertian Sunnah ditinjau dari sudut istilah, dikalangan ulama terdapat


perbedaan. Ada ulama yang mengartikan sama dengan hadis, dan ada ulama yang
membedakannya, bahkan ada yang memberi syarat-syarat tertentu, yang berbeda
dengan istilah hadits. Ulama ahli hadits merumuskan pengertian sunnah sebagai
berikut :

"Segala yang bersumber dari Nabi SAW., baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir,
tabiat, budi pekerti, atau perjalanan hidupnya, baik sebelum diangkat menjadi Rasul,
seperti ketika bersemedi di gua Hira maupun sesudahnya".

Berdasarkan definisi yang dikemukakan di atas, kata sunnah menurut


sebagian ulama sama dengan kata hadis. "Ulama yang mendefinisikan sunnah
sebagaimana di atas, mereka memandang diri Rasul SAW., sebagai uswatun hasanah
atau qudwah (contoh atau teladan) yang paling sempurna, bukan sebagai sumber
hukum. Olah karena itu, mereka menerima dan meriwayatkannya secara utuh segala
berita yang diterima tentang diri Rasul SAW., tanpa membedakan apakah (yang
diberitakan itu) isinya berkaitan dengan penetapan hukum syara' atau tidak. Begitu
juga mereka tidak melakukan pemilihan untuk keperluan tersebut, apabila ucapan atau
perbuatannya itu dilakukan sebelum diutus menjadi Rasul SAW., atau sesudahnya.

Ulama Ushul Fiqh memberikan definisi Sunnah adalah

"segala yang dinukilkan dari Nabi Muhammad SAW., baik berupa perkataan,
perbuatan maupun taqrirnya yang ada sangkut pautnya dengan hukum".

Menurut T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, makna inilah yang diberikan kepada perkataan
Sunnah dalam sabda Nabi, sebagai berikut :

"Sungguh telah saya t

7
. Munzier Suparta, op.cit,h. 15

6
inggalkan untukmu dua hal, tidak sekali-kali kamu sesat selama kamu berpegang
kepadanya, yakni Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya"
(H.R.Malik).

Perbedaan pengertian tersebut di atas, disebabkan karena ulama hadits


memandang Nabi SAW., sebagai manusia yang sempurna, yang dijadikan suri teladan
bagi umat Islam, sebagaimana firman Allah surat al-Ahzab ayat 21, sebagai berikut :

"Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu".

Ulama Hadis membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan Nabi


Muhammad SAW., baik yang ada hubungannya dengan ketetapan hukum syariat
Islam maupun tidak. Sedangkan Ulama Ushul Fiqh, memandang Nabi Muhammad
SAW., sebagai Musyarri', artinya pembuat undang-undang wetgever di samping
Allah. Firman Allah dalam al-Qur'an surat al-Hasyr ayat 7 yang berbunyi:

"Apa yang diberikan oleh Rasul, maka ambillah atau kerjakanlah. Dan apa
yang dilarang oleh Rasul jauhilah" .

Ulama Fiqh, memandang sunnah ialah "perbuatan yang dilakukan dalam


agama, tetapi tingkatannya tidak sampai wajib atau fardlu. Atau dengan kata lain
sunnah adalah suatu amalan yang diberi pahala apabila dikerjakan, dan tidak dituntut
apabila ditinggalkan. Menurut Dr.Taufiq dalam kitabnya Dinullah fi Kutubi Ambiyah
menerangkan bahwa Sunnah ialah suatu jalan yang dilakukan atau dipraktekan oleh
Nabi secara kontinyu dan diikuti oleh para sahabatnya; sedangkan Hadits ialah
ucapan-ucapan Nabi yang diriwayatkan oleh seseorang, dua atau tiga orang perawi,
dan tidak ada yang mengetahui ucapan-ucapan tersebut selain mereka sendiri.

3. Pengertian al-Khabar dan al-Atsar

7
a) Pengertian Khabar

Selain istilah Hadits dan Sunnah, terdapat istilah Khabar dan Atsar. Khabar
menurut lughat, berita yang disampaikan dari seseorang kepada seseorang.8 Untuk itu
dilihat dari sudut pendekatan ini (sudut pendekatan bahasa), kata Khabar sama artinya
dengan Hadis. Menurut Ibn Hajar al-Asqalani, yang dikutip as-Suyuthi, memandang
bahwa istilah hadits sama artinya dengan khabar, keduanya dapat dipakai untuk
sesuatu yang marfu, mauquf, dan maqthu'. Ulama lain, mengatakan bahwa kbabar
adalah sesuatu yang datang selain dari Nabi SAW., sedang yang datang dari Nabi
SAW. disebut Hadits. Ada juga ulama yang mengatakan bahwa hadits lebih umum
dari khabar. Untuk keduanya berlaku kaidah 'umumun wa khushushun muthlaq, yaitu
bahwa tiap-tiap hadits dapat dikatan Khabar, tetapi tidak setiap Khabar dapat
dikatakan Hadits. 9

Menurut istilah sumber ahli hadits; baik warta dari Nabi maupun warta dari
sahabat, ataupun warta dari tabi'in. Ada ulama yang berpendapat bahwa khabar
digunakan buat segala warta yang diterima dari yang selain Nabi SAW. Dengan
pendapat ini, sebutan bagi orang yang meriwayatkan hadits dinamai muhaddits, dan
orang yang meriwayatkan sejarah dinamai akhbary atau khabary. Ada juga ulama
yang mengatakan bahwa hadits lebih umum dari khabar, begitu juga sebaliknya ada
yang mengatakan bahwa khabar lebih umum dari pada hadits, karena masuk ke dalam
perkataan khabar, segala yang diriwayatkan, baik dari Nabi maupun dari selainnya,
sedangkan hadits khusus terhadap yang diriwayatkan dari Nabi SAW. saja.

b) Pengertian Atsar

Atsar menurut lughat ialah bekasan sesuatu, atau sisa sesuatu, dan berarti
nukilan (yang dinukilkan). Sesuatu do'a umpamanya yang dinukilkan dari Nabi
dinamai: do'a ma'tsur. Sedangkan menurut istilah jumhur ulama sama artinya dengan
khabar dan hadits. Dari pengertian menurut istilah, terjadi perbedaan pendapat di
antara ulama. "Jumhur ahli hadits mengatakan bahwa Atsar sama dengan khabar,
yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW., sahabat, dan tabi'in. Sedangkan

8
. Manna’ Al-Qathan, Pengantar Studi Ilmu Hadis, ( Jakarta: Pustaka al- Kautsar,)h. 25
9
. Endang Soetari, Ilmu Hadis ( Bandung, Amal Bakti Press, 1997)h. 33

8
menurut ulama Khurasan, bahwa Atsar untuk yang mauquf dan khabar untuk yang
marfu.

4. Perbedaan Hadits dengan as-Sunnah, al-Khabar, dan al-Atsar

Dari keempat istilah yaitu Hadits, Sunnah, Khabar, dan Atsar, menurut jumhur
ulama Hadits dapat dipergunakan untuk maksud yang sama, yaitu bahwa hadits
disebut juga dengan sunnah, khabar atau atsar. Begitu pula halnya sunnah, dapat
disebut dengan hadits, khabar dan atsar. Maka Hadits Mutawatir dapat juga disebut
dengan Sunnah Mutawatir atau Khabar Mutawatir. Begitu juga Hadits Shahih dapat
disebut dengan Sunnah Shahih, Khabar Shahih, dan Atsar Shahih.

Tetapi berdasarkan penjelasan mengenai Hadits, Sunnah, Khabar, dan Atsar ada
sedikit perbedaan yang perlu diperhatikan antara hadits dan sunnah menurut pendapat
dan pandangan ulama, baik ulama hadits maupun ulama ushul dan juga perbedaan
antara hadits dengan khabar dan atsar dari penjelasan ulama yang telah dibahas.
Perbedaan-perbedaan pendapat ulama tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut :

(a) Hadits dan Sunnah : Hadits terbatas pada perkataan, perbuatan, taqrir yang
bersumber dari Nabi SAW, sedangkan Sunnah segala yang bersumber dari Nabi SAW
baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, tabiat, budi pekerti, atau perjalan hidupnya,
baik sebelum diangkat menjadi Rasul maupun sesudahnya.

(b) Hadits dan Khabar : Sebagian ulama hadits berpendapat bahwa Khabar sebagai
sesuatu yang berasal atau disandarkan kepada selain Nabi SAW., Hadits sebagai
sesuatu yang berasal atau disandarkan kepada Nabi SAW. Tetapi ada ulama yang
mengatakan Khabar lebih umum daripada Hadits, karena perkataan khabar merupakan
segala yang diriwayatkan, baik dari Nabi SAW., maupun dari yang selainnya,
sedangkan hadits khusus bagi yang diriwayatkan dari Nabi SAW. saja. "Ada juga
pendapat yang mengatakan, khabar dan hadits, diithlaqkan kepada yang sampai dari
Nabi saja, sedangkan yang diterima dari sahabat dinamai Atsar".

(c) Hadits dan Atsar : Jumhur ulama berpendapat bahwa Atsar sama artinya dengan
khabar dan Hadits. Ada juga ulama yang berpendapat bahwa Atsar sama dengan
Khabar, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW., sahabat dan tabi'in. "Az

9
Zarkasyi, memakai kata atsar untuk hadits mauquf. Namun membolehkan
memakainya untuk perkataan Rasul SAW. (hadits marfu)". Dengan demikian, Hadits
sebagai sesuatu yang berasal atau disandarkan kepada Nabi SAW. saja, sedangkan
Atsar sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW., sahabat dan tabi'in.

D. Cara Penyampaian Hadits pada Masa Nabi

Nabi SAW hidup di tengah-tengah masyarakat dan sahabatnya. Mereka


selalu bertemu dan berinteraksi dengan beliau secara bebas. Menurut T.M.Hasbi Ash
Shiddieqy, bahwa tidak ada ketentuan protokol yang menghalangi mereka bergaul
dengan beliau. Yang tidak dibenarkan, hanyalah mereka langsung masuk ke rumah
Nabi, dikala beliau tak ada di rumah, dan berbicara dengan para isteri Nabi, tanpa
hijab. Nabi bergaul dengan mereka di rumah, di mesjid, di pasar, di jalan, di dalam
safar dan di dalam hadlar.

Seluruh perbuatan Nabi, demikian juga ucapan dan tutur kata Nabi menjadi
tumpuan perhatian para sahabat. Segala gerak-gerik Nabi menjadi contoh dan
pedoman hidup mereka. Para sahabat sangat memperhatikan perilaku Nabi dan sangat
memerlukan untuk mengetahui segala apa yang disabdakan Nabi. Mereka tentu
meyakini, bahwa mereka diperintahkan mengikuti dan mentaati apa-apa yang
diperintahkan Nabi.

Sebagai seorang Nabi tentu memiliki teknik atau cara-cara untuk mencontohkan
perilaku dan menyampaikan sesuatu kepada para sahabatnya. Untuk itu, "menurut
riwayat al-Bukhari, Ibnu Mas'ud pernah bercerita bahwa untuk tidak melahirkan rasa
jenuh di kalangan sahabat, Rasul SAW menyampaikan hadisnya dengan berbagai
cara, sehingga membuat para sahabat selalu ingin mengikuti pengajiannya".

Ada beberapa teknik atau cara Rasul SAW dalam menyampaikan Hadits kepada
para sahabat, yang disesuaikan dengan kondisi para sahabatnya. Untuk itu, teknik atau
cara yang digunakan Nabi SAW dalam menyampaikan Hadits, sebagai berikut : 10

(a) Melalui para jama'ah pada pusat pembinaannya yang disebut majlis al-'Ilmi.
Melalui majlis ini para sahabat memperoleh banyak peluang untuk menerima hadits,

10
. Ibnu Hajar al- Asqalani, Fath al-Bari, Jilid I, ( Beirut: Dar al-Fikr Wa maktabah al –
salafiah,tt)h. 150.

10
sehingga mereka berusaha untuk selalu mengkonsentrasikan diri untuk mengikuti
kegiatannya.
(b) Dalam banyak kesempatan Rasul SAW juga menyampaikan haditsnya
melalui para sahabat tertentu, yang kemudian oleh para tersebut disampaikannya
kepada orang lain. Hal ini karena terkadang ketika ia mewurudkan suatu Hadits, para
sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja, baik karena disengaja oleh Rasul SAW
sendiri atau secara kebetulan para sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja,
bahkan hanya satu orang, seperti Hadits-hadits yang ditulis oleh Abdullah bin Amr
bin al-'Ash. Untuk hal-hal yang sensitif, seperti yang berkaitan dengan soal keluarga
dan kebutuhan biologis (terutama yang menyangkut hubungan suami isteri), ia
sampaikan melalui isteri-isterinya. Begitu juga sikap para sahabat, jika ada hal-hal
yang berkaitan dengan soal di atas, karena segan bertanya kepada Rasul SAW,
seringkali ditanyakan melalui isteri-isterinya.

(c) Melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka, seperti ketika haji wada' dan
fathu Makkah.

(d) Melalui perbuatan langsung yang disaksikan oleh para sahabatnya (jalan
musya'hadah), seperti yang berkaitan dengan praktek-praktek ibadah dan muamalah.

(e) Para sahabat yang mengemukana masalah atau bertanya dan berdiolog
langsung kepada Nabi SAW.

Melihat kenyataan ini, umat Islam pada saat itu secara langsung memperoleh
Hadits dari Rasul SAW sebagai sumber Hadits, baik itu berupa perkataan, perbuatan
dan taqrir. Antara Rasul SAW dengan mereka tidak ada jarak atau hijab yang dapat
menghambat atau mempersulit pertemuan mereka. Para sahabat menerima Hadits dari
Rasul SAW adakalanya langsung dari beliau sendiri, mereka langsung mendengar
atau melihat contoh perilaku yang dilakukan Nabi SAW, baik karena ada sesuatu soal
yang diajukan oleh seseorang kepada Nabi lalu Nabi menjawabnya, atau karena Nabi
sendiri yang memulai pembicaan tentang suatu persoalan. Indah sekali, betapa
bahagia dan indahnya umat pada saat itu.

E. Hadist Pada Sahabat

11
a. Hadist Pada Zaman Sahabat (Khulafa ar-Rasyidin)
Sahabat adalah orang yang pernah bertemu Nabi Saw dan beriman kepada
beliau11. Sahabat Besar (Kibar Sahabat) berarti sahabat yang sering bersama Nabi
Saw, dan banyak belajar dari beliau seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab. Sahabat
Kecil (Shighar Sahabat) adalah para sahabat yang pernah bertemu dengan Nabi Saw
kemudian beriman di hadapan beliau. Namun karena satu sebab mereka jarang
bertemu Nabi, ataupun berada di kota lainnya dan lainya.
Setelah wafatnya Rasulullas Saw, sahabat Nabi yang pertama menjadi khalifahh
adalah Abu Bakar ash-Shiddiq (wafat 13 H/634 M), kemudian disusul oleh Umar bin
Khaththab (wafat 23 H/644 M), Ustman bin Affan (wafat 35 H/656 M), dan Ali bin
Abi Thalib (wafat 40 H/611 M). keempat khalifah ini dalam sejarah dikenal dengan
sebutan al-Khulafau al-Rasyidin dan periodenya disebut dengan zaman sahabat besar
(Kibar Sahabat)
Sesudah Ali bin Abi Thalib wafat, maka berakhirlah era sahabat besar dan menyusul
era sahabat kecil. Dalam masa itu muncullah tabi’in besar yang bekerja sama dalam
perkembangan pengetahuan dengan para sahabat Nabi yang masih hidup pada masa
itu. Di antara sahabat Nabi yang masih hidup setelah periode Khulafa al-Rasyidin dan
yang cukup besar peranannya dalam periwayatan hadis diantaranya: ‘Aisyah (W. 57
H/677 M), Abu Hurairah (W. 58 H/678 M), Abdullah bin Abbas (w 68 H/687 M),
Abdullah bin Umar bin Khattab (W. 73 H/692 M), dan Jabir bin Abdullah (W. 78
H/697 M)

b. Para Sahabat Sangat Berhati-hati Dalam Meriwayatkan Hadist


Abu Bakar merupakan sahabat Nabi yang pertama-tama menunjukkan kehati-
hatiannya dalam periwayatan hadis. Pernyataan al-Dzahabi ini didasarkan sikap Abu
Bakar ketika dihadapai satu kasus waris untuk seorang nenek. Suatu ketika, ada
seorang nenek menghadap kepada khalifah Abu Bakar, meminta hak waris dari harta
ynag ditinggalkan oleh cucunya. Abu Bakar menjawab bahwa dia tidak melihat
petunjuk al-Qur’an dan praktek Nabi yang memberikan bagian harta waris kepada
nenek. Abu Bakar lalu bertanyaa kepada para sahabat. Mughirah bin Syu’bah
menyatakan kepada Abu Bakar, bahwa Nabi telah memberikan bagian waris kepada
nenek sebesar seperenam (1/6) bagian. Al-Mughirah mengaku hadir ketika Nabi
menetapkan demikian itu. Mendengar pernyataan tersebut, Abu Bakar meminta agar
11
. Musthafa Amin Ibrahim al-Fazi Muhadharafi, ulum al-hadits, (Kairo: Jami’ al- Azhar, 1971)h. 44

12
al-Mughirah menghadirkan seorang saksi. Lalu Muhammad bin Maslamah
memberikan kesaksian atas kebenaran pernyataan Mughirah itu. Akhirnya Abu Bakar
menetapkan kewarisan nenek dengan memberikan seperenam bagian berdasarkan
hadis Nabi yang disampaikan Mughirah tersebut. Kasus dia atas menunjukan, bahwa
Abu Bakar tidak segera menerima riwayat hadis, sebelum meneliti periwayatannya.
Jika ternyata ada seorang sahabat pernah mendengar hukumnya dari Nas Saw, maka
ia harus menghadirkan seorang saksi.

c. Pelestarian Hadist dibawah Pimpinan Utsman dan Ali

Dua khalifah ini, sebagaimana dua khalifah sebelumnya, sangat teliti pula
dalam menjaga, melestarikan hadist dan ketat sekali dalam periwayatan. Namun
tindakan khalifah Utsam dan Ali tidak seketat dua pendahulunya, karena
dimungkinkan beberapa sebab: Meluasnya wilayah Islam dan banyak mayarakat
daerah penaklukan masuk Islam, dengan demikian dibutuhakan tenaga pengajar untuk
mengajar (Hadist ketika itu adalah sumber pengajaran Islam selain Qur’an)Boleh
dikatakan pula sulit mengontrol periwayatan hadist setelah daerah kekuasaan Islam
terbentang luas. Khalifah Utsman lebih sedikit meriwayatkan hadist yang terdapat
dalam kitab-kitab hadist saat ini. Karena mungkin sekali kegiatan pencatatan Qur’an
menjadi kagiatan utama yang dilakukan beliau selain menghadapi bebrbagai masalah.
Sehingga waktu pengajaran beliau sangat sediit dibanding ketiga Khalifah
lainnya.Sedangkan Ali bin Abi Thalib banyak meriwayatkan hadist.

d. Sikap Para Sahabat Lainnya Terhadap Hadit

1. Para Sahabat yang banyak meriwayatkan Hadist


Namun ada beberapa sahabat yang banyak pula meriwayatkan hadist
diantaranya Abu Hurairah, Ibnu Mas’ud, Siti A’isyah, Abu Darda, Abu Dzar Al-
Ghifari. Namun para sahabat ini tidak sembarangan menriwayatkan tanpa ketelitian
Abu Hurairah misalnya pernah ditanya ketika diketahui ia banyak meriwayatkan
hadist:” Apakah kamu bersama kami ketika Nabi Saw berada di tempat ini?
(Maksudnya: Abu Hurairah adalah sahabat yang hanya 2 tahun saja bersama Nabi
sebelum beliau wafat. Dan ia ditanya agar memastikan bahwa hadist yang
diriwayatkan benar-benar dari Nabi atau bukan hadist palsu. Pen) Abu Hurairah,”
13
Benar! Aku mendengar Nabi Sae bersabda: Barang siapa berbohong atas namaku,
maka bersiaplah bahwa tempat duduknya kelak dari apai neraka.”
Begitu pula dengan siti A’isyah meskipun dikenal banyak meriwayatkan hadist,
namun ia menolak jika hadist itu bertentangan dengan Qur’an.
Ketika ia mendengar hadist yang menyatakan bahwa orang mati itu diadzab Tuhan
karena ditangisi keluarganya. Bunyi hadis itu. ‘:”… sesungguhnya orang mati itu
diadzab karena tangis keluarganya …”Aisyah menolak hadis itu dengan nada tanya
:”Apakah kalian lupa firman Allah : … seseorang tidak akan menanggung/memikul
dosa orang lain

2. Sahabat Yang Sedikit Meriwayatkan Hadist

Beberapa sahabat yang termasuk sedikit dalam meriwayatkan hadist ketika itu
Zaid Ibn Arqam, Zubair ibn ‘Awam, ‘Imran ibn Hashin, Anas Bin Malik, Saad bin
Abi Waqqas dan lainnya. Anas bin Malik pernah berkata, sekiranya dia tidak
takut keliru niscaya semua apa yang telah didengarnya dari Nabi dikemukakan pula
kepada orang lain. Pernyataan Anas ini memberi petunjuk bahwa tidak seluruh hadis
yang pernah didengarnya dari Nabi disampaikannya kepada sahabat lain atau kepada
tabi’in, dia berlaku hati-hati dalam meriwayatkan hadist. Saad bin Abi Waqqash (w.
55 H/675 M), pernah ditemani oleh al-Sa’ib bin Yazid italics dalam perjalanan dari
Makkah ke Madinah pergi-pulang. Selama dalam perjalanan, Sa’ad tidak
menyampaikan sebuah hadis pun kepada al-Sa’ib. Apa yang dilakukan Sa’ad itu tidak
lepas dari sikap hati-hatinya dalam periwayatan hadist
Sikap hati-hati para sahabat Nabi tersebut bukan hanya ketika menyampaikan
hadis saja, melainkan juga ketika menerimanya. Tidak jarang seorang sahabat
terpaksa menempuh perjalanan yang sangat jauh hanya untuk mendapatkan atau
mencocokkan sebuah hadis saja.

14
PENUTUP.

A. Kesimpulan

Dari pembahasan yang telah dikemukakan tadi dapat diambil


kesimpulan sebagai berikut :

1. Dari keempat pengertian hadis , sunnah, khabar, dan atsar bahwa


keempat istilah tersebut pada dasarnya memiliki kesamaan maksud,
yaitu segala sesuatu yang bersumber dari nabi Muhammad saw.
Baik nerupa perkataan, perbuatan maupun ketetapan.
2. Namun ada perbedaan pendapat ulama :

a. Hadis terbatas pada perkataan, perbuatan, taqrir yang


bersumber dari nabi saw.
b. Sunnah segala yang bersumber dari Nabi saw baik berupa
perkataan , perbuatan, taqrir, tabiat, budi pekerti atau perjalanan
hidupnya baik sebelum diangkat menjadi rasul maupun
sesudahnya
c. Khabar sebagai sesuatu yang berasal atau disandarkan kepada
sselainnabi saw. Tetappi ada ulama yang mangatakan khabar
lebh umum dari pada hadis
d. Atsar jumhur ulam berpendapat bahwa asar sama artinya
dengan hadis. Ada juga ulama yang berpendapatbahwa atsar
sama dengan khabar, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada
Nabi saw, sahabat dan tabi’in

B. Saran

Dalam penulisan makalah ini penulis meyadari banyak


kekeliruan baik dalam penulisan maupun dalam materi yang
disampaikan, karena itu penulis meminta kritik dan saran konsrtuktif
demi kesempurnaan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

15
Ibnu Manzur, Lisan al- Arab, Juz II,( Mesir : Dar Al-Mishriyah,tt)

M.M azami, Memahami Ilmu Hadis, (Jakalarta : Lentera, 1993)

Munzier Suparta, Ilmu Hadis, ( Jakarta : Raja Grafindo, 1993)

Muhammad jamal Al-Din, Qawa’id al tahdits min funun musthalah al- hadits,

( Beirut : dar al-kutub al-Islamiyah, 1979),

jami’ al-Lughah al- Arabiyah al “amah li al mu’jamat wa ihya’ wa al-tiras, Mu’jam

al-Wasith, ( Mesir: Dar al-ma’arif,t.t)

Musthafa al- Siba’I, Al- Sunnah Wa makanatuha fi al- Tasyri’ al – Islami, ( Kairo :

Dar al- fikr, 1997),

Manna’ Al-Qathan, Pengantar Studi Ilmu Hadis, ( Jakarta: Pustaka al- Kautsar,)

Endang Soetari, Ilmu Hadis ( Bandung, Amal Bakti Press, 1997)

Ibnu Hajar al- Asqalani, Fath al-Bari, Jilid I, ( Beirut: Dar al-Fikr Wa maktabah al –

salafiah,tt)

Musthafa Amin Ibrahim al-Fazi Muhadharafi, ulum al-hadits, (Kairo: Jami’ al- Azhar,

1971)

Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History, terj. Anar Mahyuddin, Membuka

Pintu Ijtihad, Pustaka, Bandung, 1995.

16

You might also like