You are on page 1of 5

c  


    c   
   
Monday, 06/12/2010 09:45 WIB | email | print | share

     c          

  

       
 

  
 kata Presiden SBY.

Ternyata ucapan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu yang membuat rakyat Yogyakarta
meradang. Hal ini memicu konflik karena Yogyakarta dikenal sebagai daerah istimewa dimana
gubernur sudah ditetapkan melaui garis kesultanan, bukan pemilihan langsung.

Namun Rancangan Undang-undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (RUU KDIY)


ingin menutup ruang itu dimana Yogya nantinya tidak sepenuhnya terikat dengan demokrasi
Indonesia yang memberi porsi untuk pemilihan umum secara langsung.

Warga DIY sudang kadung geram. Mereka menilai presiden RI mengancam kedaulatan Yogya.
Pidato SBY kamis malam tidak jua menyurutkan niat mereka. Kalimatnya yang meminta rakyat
tenang dan jangan terpancing polemik, dibalas warga Yogyakarta dengan satu tuntunan:
Referendum!

^          

Sampai sekarang penulis suka bertanya-tanya apa sebenarya makna kata istimewa di tengah
nama provinsi pertama yang menyatakan bergabung dengan Indonesia ini.

Sebab, kata itu mesti penulis hafal betul kala duduk di bangku Sekolah Dasar (SD). Entah
kenapa pertanyaan itu selalu muncul dalam pelajaran PSPB, Sejarah, sampai Geografi.
Sampai sekarang, pelajaran IPS di sekolah ternyata belum jua memberikan jawaban sebenarnya.
Masih suka menutup-nutupi. Atau mungkin tidak tahu. Dan penulis baru menemukan jawaban
itu ketika keluar dari sekolah.

Fakta itu muncul satu per satu hingga tersingkaplah apa arti ³istimewa´ selama ini yang menjadi
doktrin begitu saja bagi kita.

Tak dapat kita pungkiri, bahwa salah satu keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta adalah
pusat tirani dari gerakan Kemasonan. Yogyakarta adalah andil. Ia misteri. Sejarah kelam dari
basis lalu-lalang kekuatan Masonik untuk disebarkan ke seluruh Nusantara.

Gerakan Kemasonan sendiri pada masyarakat Jawa dikenal sebagai sebuah nama lain dari
gerakan Freemasonry. Gerakan Kemasonan memiliki ciri khas berupa kultur spiritual yang ketat
dalam studi ilmu kebatinan. Menariknya, sekalipun Gerakan Kemasonan memiliki domain kajian
pada wilayah spiritualitas, itu tidak menutupi gerak mereka dalam menguasai sendi-sendi
kekuasaan Jawa tempo dulu.
Gerakan Kemasonan terkenal sangat deras menyusup ke lingkaran elit-elit Jawa di Jawa Tengah
dan Yogyakarta. Semarang dan Solo acapkali disebut sebagai pusat gerakan Kemasonan pada
basis tengah Jawa. Ini dilakukan semata-mata karena mereka tidak mau bersusah payah untuk
meniti jalan dari bawah. Ya persis dengan orang Yahudi pada umumnya: pemalas dan pragmatis.
Dua sifat yang juga kadang menghinggapi sebagian umat muslim. Potong jalur demi kuasa.
Tabrak sana, tabrak sini demi kursi dunia.

Artawijaya, dalam buku terbarunya ³Jaringan Yahudi Internasional di Nusantara: Dari Zaman
Hindia Belanda Hingga Pasca Kemerdekaan RI´ mengungkap dengan baik betapa Gerakan
Kemasonan memiliki dua wajah dari satu tubuh yang sama: Yahudi. Satu sisi ia adalah kultus
mistisisme Kaballah yang pasti paganis. Sedang di sisi lain, cita-cita mereka tidak sepele, yakni
memasonkan Nusantara.

Menurut Artawijaya, masih dalam buku terbitan oktober 2010 tersebut, Gerakan Kemasonan
dalam rekam jejaknya terlibat aktif dalam membantu pemerintahan elit setempat, baik bupati,
residen, wedana, bahkan elit-elit tingkat keraton. Mereka yang masuk dalam lingkaran Gerakan
Kemasonan tidak bisa orang sembarangan. Sebab catatan sejarah mengemukakan bahwa back up
dari Gerakan Kemasonan berasal pada sedimentasi warga yang terbilang golongan priyayi. Elit
kuasa di Jawa yang secara intens terlibat relasi dengan pemerintah kolonial.

Dengan hubungan tersebut, terjadilah simbiosa mutualisme antara para elit keraton dengan
Pemerintah Belanda yang memang memiliki tujuan memasonkan rakyat Yogyakarta. Para
keturunan elit keraton kemudian mendapatkan banyak keistimewaan berupa peluang besar untuk
mendapatkan pendidikan di Belanda. Menariknya salah satu diantara elit-elit itu tersimpan nama
keluarga seperti Pakualaman. Sebuah kadipaten yang merupakan satu wilayah dari kesultanan
Yogyakarta yang dipimpin Pangeran Paku Alam.

Sejarah pembentukan Paku Alaman sendiri berawal pada tanggal 13 Februari 1755. Melalui
perjanjian Gianti, Belanda kemudian memecah Kesultanan Mataram menjadi dua wilayah, yakni
Kesultanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Kesultanan Surakarta sendiri kemudian
dipecah kembali menjadi dua, yaitu pertama berada dibawah Kesultanan Kasunanan Surakarta
dan dipimpin Pakubuwono. Dan kedua, Kadipaten Mangkunegara, dibawah kedudukan
mandataris Mangkunegara. Sedang polarisasi dalam Kesultanan Yogyakarta terbagi dalam dua
otorita, yakni satu milik Kesultanan Yogyakarta dan kedua menjadi hak milik Kadipaten
Pakualaman.

Dengan begini kita memahami bagaimana Yogyakarta memang sudah disetting cukup lama oleh
pemerintahan Kolonialis Belanda yang notabene adalah penampuk awal lahirnya Gerakan
Kemasonan di Nusantara.

Th Stevens, seorang sejarawan Belanda, dalam bukunya ´Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat
Hindia Belanda 1764-1962´ menulis bahwa Kedudukan khusus yang ditempati kota Yogyakarta
dan loge-nya dalam Gerakan Kemasonan digarisbawahi oleh suatu keputusan dari Majelis
Tahunan Provinsial tahun 1930, di mana diputuskan bahwa pertemuan-pertemuan tahunan dari
Majelis Tahunan dilangsungkan di Yogyakarta, di terima dengan suara banyak.
Pada kesempatan itu diingatkan bahwa usul seperti itu telah disampaikan pada tahun 1908,
namun waktu itu usul tersebut belum diterima. Di latar belakang keputusan tahun 1930 terletak
kebutuhan untuk lebih menekankan unsur Indonesia dalam Tarekat Mason Bebas Hindia, dan
tidak sulit untuk mengerti mengapa peran ini diberikan kepada ³Mataram´. Sebuah kerajaan
yang menguasai Jawa dari hulu hingga hilir.

Penulis melihat bahwa strategi Mataram untuk dijadikan pusat Gerakan Kemasonan relatif
berada pada tiga hal. Pertama Mataram adalah sebuah representasi dari kekuatan politik
Nusantara. Kedua, Mataram adalah representasi Budaya Nusantara. Dan ketiga Mataram lah
yang relatif lebih cocok dengan spiritualitas ajaran Kebatinan Gerakan Kemasonan yang sama-
sama paganis.

Hal ini kemudian diperkuat oleh pernyataan Wakil Suhu Agung Ir. Wouter Cool dalam pidato
pembukaannya yang menyebut Yogyakarta sebagai ³sebuah sel yang dalam perjalanan waktu
akan matang dan akan berkembang biak menjadi kamar dan kompleks rumah pemujaan dengan
jumlah terbesar anggota dari kebangsaan pribumi´.

Alhasil tak heran jika kita menyebut Yogyakarta sebagai pemain inti dalam lapangan gerakan
Kemasonan di Jawa khususnya, dan Nusantara pada umumnya. Oleh karenanya pula, tak
berlebihan bahwa Loge di Yogyakarta kemudian diberikan nama Mataram. Sebuah kerajaan
besar yang meliputi hampir seluruh Pulau Jawa dan memainkan sejarah penting dalam
perpolitikan Jawa.

Bola kemudian menjadi terus bergulir dan semakin penting. Sebab pada perjalanannya, Gerakan
Kemasonan dari waktu ke waktu berhasil mewarisi elit-elit keraton. Tercatat Paku Alam V, VI,
dan VII adalah bagian penting dari anggota Gerakan Kemasonan. Bahkan Paku Alam VII
menulis buku, ³Apa yang Kutemukan Sebagai Orang Jawa untuk Roh dan Jiwa dalam Tarekat
Mason Bebas.´ Buku ini ditulis oleh Porbo Hadiningrat, Bupati Semarang-Salatiga, disebarkan
di kalangan elit Jawa agar menjadi pendukung Gerakan Kemasonan.

Sedangkan Sultan Hamengkubuwono IX sendiri adalah pemain dalam pergerakan dari basis
dukungan Kemasonan pada area politik kekeratonannya. Dan penerusnya, Sultan
Hamengkubuwono X, walau secara formil tidak terkesan terlibat aktif pada daftar nama Gerakan
Kemasonan, namun secara pemikiran ia tercatat cukup kuat menyebarkan ajaran-ajaran mistisme
Jawa sebagai penerus dari Gerakan Kemasonan. Termasuk otoritas dirinya dalam memberi
mandat terhadap Juru Kunci Merapi.

      

Tentu penulis kemudian menjadi khawatir melihat betapa mati-matiannya masyarakat


Yogyakarta mempertahankan Sistem Kesultanan. Jangan-jangan Yogyakarta akan digiring untuk
membangkitkan kembali ke permukaan Gerakan Kemasonan yang sekarang terus menyelinap.
Dan juga alangkah tidak kurang lucunya jika umat muslim justru terlibat secara serius dalam
silang pendapat RUU DIY antara yang mendukung opini SBY maupun yang kontra.
Karena kita telah berkutat membicarakan isu yang sama sekali tidak penting. Karena baik sistem
monarki Kesultanan (lengkap dengan budaya Kemasonannya) dan demokrasi (lengkap dengan
penafikan Allah sebagai otoritas tunggal pembuat Hukum) adalah produk buatan manusia, yang
sama sekali tidak akan mampu membuat Islam tegak.

Seharusnya umat Islam tidak perlu menghabiskan waktu, energi, pikiran, apalagi sampai
membuat survey tentang apakah masyarakat Yogyakarta mendukung Sistem Kesultanan atau
Demokrasi. Karena dua-duanya pilihan pahit dan tidak perlu dipersoalkan apakah itu
bertentangan dengan konstitusi Indonesia atau tidak. Justru yang mesti jadi konsen kita semua
bagaimana kita terhindar dari pembicaraan itu dan kita tetap dalam keteguhan Iman ketika diberi
dua pilihan: ^     ^  .

Disinilah sejatinya Gerakan Zionisme menabuh asap kabut hingga pandangan kita memburam.
Kita lupa, kita ini masih dikelilingi mereka. Kita lupa bahwa mereka memang bertugas membuat
makar-makar agar kita tertipu tapi tidak mengetahui siapa yang menipu. Bayangkan kita dijebak,
di depan iman kita sendiri untuk selalu mempopulerkan perdebatan tentang manakah sistem
buatan manusia yang terbaik? Manakah diantara sistem buatan manusia yang satu dan sistem
buatan manusia lainnya yang mesti kita pilih. Ini konyol namanya.

    ! "  

Keimanan kita akhirnya tidak hanya diuji disitu. Karena isu DIY ini kemudian dijadikan ajang
promosi gagasan-gagasan Kearifan Lokal. Kita ketahui bersama bahwa dibalik cantiknya
gagasan kembali kepada tradisi ini, ada virus yang sebenarnya diselipkan. Kita mesti tahu bahwa
istilah kearifan lokal amat dekat dengan istilah mistisisme kuno, seperti Kejawen, Ajaran Nenek
Moyang dan Sesembahan luhur.

Sultan HB X seperti dikutip Kompas pada 2 desember lalu, menyatakan bahwa soal
keistimewaan ini merupakan identitas etnik yang menunjukkan kearifan lokal dalam proses
berbangsa. ´Jadi Republik ada bukan berarti pemerintah maunya kertas putih, terus dicoret-coret
semaunya. Isinya sudah ada. Dan ini sebetulnya peradaban bagian dari Republik. Nyatanya
Republik ada itu malah    (baca: dirawat)´

Ucapan Sultan kemudian diamini oleh Ketua Dewan Kesepuhan Masyarakat Adat Tatar Sunda,
Eka Santosa di Bandung setelah bersilaturahim dengan Sultan. Eka menyatakan bahwa
Pernyataan SBY amat membahayakan kearifan Lokal di Yogyakarta. Mantan Ketua Komisi III
DPR periode lalu ini mengatakan, Yogyakarta merupakan contoh satu kearifan lokal, warisan
sejarah yang harus dijaga. ´Kami dari kelompok masyarakat adat punya kekhawatiran kalau ini
bisa terganggu, artinya keutuhan NKRI terganggu, lebih dari itu, kesultanan yang punya
dokumen bisa diobok-obok, bisa diganggu tadi ini berbahaya,´ katanya seperti dikutip Kompas.

Pertanyaannya apakah Kearifan Lokal Yogyakarta? Kemana mengacu periode sejarahnya?


Apakah Kearifan Lokal itu adalah Syariat Islam? Sebuah pertanyaan yang ganjil selain tidak
ketemui bahwa Kearifan Lokal yang dimaksud adalah Sistem Kesultanan yang banyak
mengandung kesyirikan berupa mistisisme dan penghambaan antara manusia sesama manusia.
Padahal dalam sejarahnya, Islam sudah membuktikan bahwa tidak ada istilah Kearifan Lokal.
Rasulullah tidak pernah mengenalkan apalagi mengajarkan Kearifan Lokal Madinah, Kearifan
lokal Mekkah, bahkan Kearifan Lokal Syam kepada umatnya.

Islam hanya mengenal kata Tauhid dimana segala tindak tanduk budaya dan kreasi manusia tidak
boleh terlepas pada aturan-aturan Allah. Dimana bumi dipijak disitulah syariat Islam berlaku
sama dan tidak boleh dikalahkan atas nama budaya.

Artawijaya dalam bukunya Jaringan Yahudi di Nusantara, sudah mengendus kuat bagaimana
gagasan Kearifan Lokal adalah sisipan dari Mason Melayu yang mengacu kepada kebijaksanaan
peninggalan Kuno atau biasa disebut Ancient Wisdom.

Oleh sebab itu, jamak kita temui bahwa aliansi Gerakan Kemasonan Eropa yang membumi di
Nusantara begitu gigih meneliti, mempelajari, dan menguasai budaya serta tradisi Jawa Kuno.
Salah satunya dilakukan oleh Dirk Van Hinloopen Labberton, sosok yang acap disebut Boedi
Oetmo sebagai bapaknya Kebatinan.

Inilah yang pernah disinyalir Muhammad Quthb tentang orang-orang kafir yang menggali tanah-
tanah Mesir. Mereka (baca: orientalisme) menggali bukan demi tujuan keilmuan, tapi untuk
membangkitkan kembali warisan paganisme Mesir untuk kemudian ditempel sebgai Kebudayaan
luhur Mesir yang mesti dilestarikan.

Tentu mendengar hal itu, kita akan teringat bagaimana kelompok-kelompok Gerakan
Kemasonan Modern seperti Jaringan Orang Liberal (untuk tidak menyebutkan Islam Liberal),
Freedom Institute, Komunitas Salihara, Wahid Institute selalu mengkampanyekan isu kearifan
Lokal dengan misi penafikan hukum-hukum Islam.

Sebab bagi mereka, Hukum Islam bertentangan dengan kearifan Lokal. ³Kami butuh hukum asli
Indonesia, bukan hukum impor´, begitu menurut mereka menyinggung bahwa Islam adalah
agama Timur Tengah, tidak match dengan komposisi budaya rakyat Indonesia.

è. Semoga kita tidak menjadi ikut latah menjadi ³Istimewa´ di mata manusia. Sebab,
sebaik-baiknya keistimewaan ada pada Allah.

You might also like