You are on page 1of 23

Pengertian Politik Hukum

1. Padmo Wahjono mengatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan dasar yang
menentukan arah, bentuk maupun isi hukum yang akan dibentuk.

2. Teuku Mohammad Radhie mendefinisikan politik hukum sebagai suatu pernyataan


kehendak penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya dan
mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun.

3. Satjipto Raharjo mendefinisikan politik hukum sebagai aktivitas memilih dan cara
yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dengan hukum tertentu di
dalam masyarakat yang cakupannya meliputi jawaban atas beberapa pertanyaan
mendasar, yaitu 1) tujuan apa yang hendak dicapai melalui sistem yang ada, 2) cara-
cara apa yang mana yang dirasa paling baik untuk dipakai dalam mencapai tujuan
tersebut, 3) kapan waktunya dan melalui cara bagaimana hukum itu perlu diubah, 4)
dapatkah suatu pola yang baku dan mapan dirumuskan untuk membantu dalam
memutuskan proses pemilihan tujuan serta cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut
dengan baik.

4. Menurut Moh Mahfud MD, politik hukum adalah legal policy atau garis (kebijakan)
resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru
maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara.

Dengan demikian politik hukum merupakan pilihan tentang hukum-hukum yang akan
diberlakukan sekaligus pilihan tentang hukum-hukum yang akan dicabut atau tidak
diberlakukan yang kesemuanya dimaksudkan untuk mencapai tujuan negara seperti
yang tercantum di dalam pembukaan UUD 1945.

Hukum Sebagai Alat

Berbagai pengertian atau definisi tersebut mempunyai substansi makna yakni bahwa
politi hukum itu merupakan legal policy tentang hukum yang akan diberlakukan atau tidak
diberlakukan untuk mencapai tujuan negara. Di sini hukum diposisikan sebagai alat untuk
mencapai tujuan negara. Terkait dengan ini Sunaryati Hartono mengemukakan tentang
“hukum sebagai alat” sehingga secara praktis politik hukum juga merupakan alat atau sarana

1
dan langkah yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk menciptakan sistem hukum
nasional guna mencapai cita-cita bangsa dan tujuan negara.

Hukum Sebagai Produk Politik

Pernyataan bahwa “hukum adalah produk politik” adalah benar jika didasarkan pada
das sein dengan mengkonsepkan hukum sebagai undang-undang. Dalam faktanya jika hukum
dikonsepkan sebagai undang-undang yang dibuat oleh lembaga legislatif maka tak seorang
pun dapat membantah bahwa hukum adalah produk politik sebab ia merupakan kristalisasi,
formalisasi atau legalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling bersaingan baik
melalui kompromi politik maupun melalui dominasi oleh kekuatan politik yang terbesar.
Dalam konsep dan konteks inilah terletak kebenaran pernyataan bahwa “hukum merupakan
produk politik”. Hukum merupakan produk politik, maka karakter produk hukum berubah
jika konfigurasi politik yang melahirkannya berubah. Siapa yang dapat membantah bahwa
hukum dalam arti undang-undang merupakan produk dari pergulatan politik. Itulah sebabnya
von Krichman mengatakan bahwa karena hukum merupakan produk politik maka
kepustakaan hukum yang ribuan jumlahnya bisa menjadi sampah yang tak berguna jika
lembaga legislatif mengetokkan palu pencabutan atau pembatalannya.

Politik Hukum Pertanahan (Agraria).

Berdasarkan beberapa pengertian atau definisi di atas, maka dapat dikemukakan


pengertian atau definisi politik hukum tanah atau agraria adalah legal policy atau garis
(kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum
baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara dalam
bidang pertanahan atau agraria.

Politik agraria adalah garis besar kebijaksanaan yang dianut oleh negara dalam
memelihara, mengawetkan, memperuntukkan, mengusahakan, mengambil manfaat,
mengurus dan membagi tanah dan sumber alam lainnya termasuk hasilnya untuk kepentingan
kesejahteraan rakyat dan negara, yang bagi negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan
Undang-undang Dasar (UUD) 1945.

2
Politik agraria dapat dilaksanakan, dijelmakan dalam sebuah undang-undang yang
mengatur agraria yang memuat asas-asas, dasar-dasar, dan soal-soal agraria dalam garis
besarnya, dilengkapai dengan peraturan pelaksananya. Dengan demikian, ada hubungan erat
antara politik dan hukum.

Perkembangan Politik Hukum Pertanahan (Agraria) Di Indonesia

Perkembangan politik hukum agraria di Indonesia terdiri atas beberapa fase :

1. Pada masa kolonial / penjajahan

2. Pada masa orde lama, periode demokrasi liberal (1945-1959)

3. Pada masa orde lama, periode demokrasi terpimpin (1959-1966)

4. Pada masa orde baru (1966-1998)

5. Pada era reformasi (1998-saat ini)

Politik Hukum Pertanahan (Agraria) Pada Masa Kolonial / Penjajahan

Hukum agraria kolonial mempunyai 3 ciri :

1. Tersusun berdasarkan tujuan dan sendi-sendi dari pemerintahan jajahan.

2. Hukum agraria tersebut mempunyai sifat dualisme, dengan berlakunya hukum


adat, di samping hukum agraria yang berdasarkan atas hukum barat.

3. Hukum agraria penjajah tidak menjamin kepastian hukum bagi rakyat asli
(pribumi).

Beberapa ketentuan yang menunjukkan bahwa hukum dan kebijaksanaan agraria yang
berlaku sebelum Indonesia merdeka disusun berdasarkan tujuan dan sendi-sendi
Pemerintahan Hindia belanda, dapat dijelaskan sebagai berikut :

3
1. Pada masa terbentuknya VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie)

Beberapa kebijaksanaan politik pertanian yang sangat menindas rakyat Indonesia


yang ditetapkan oleh VOC, antara lain :

a. Contingenten

Pajak atas hasil tanah pertanian harus diserahkan kepada penguasa kolonial
(kompeni). Petani harus menyerahkan sebagian hasil pertaniannya kepada
kompeni tanpa dibayar sepeser pun.

b. Verplichte leveranten

Ketentuan yang diputuskan oleh kompeni dengan raja tentang kewajiban


menyerahkan seluruh hasil panen dengan pembayaran yang harganya juga
sudah ditetapkan secara sepihak. Dengan ketentuan ini, rakyat tani benar-
benar tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka tidak berkuasa atas apa yang mereka
hasilakn.

c. Roerendiensten

Kebijaksanaan ini dikenal denga kerja rodi, yang dibebankan kepada rakyat
Indonesia yang tidak mempunyai tanah pertanian.

2. Pada masa pemerintahan Gubernur Herman Willem Daendles (1800-1811)

Kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Gubernur Herman Willem Daendles adalan


menjual tanah-tanah rakyat Indonesia kepada orang-orang Cina, Arab maupun
bangsa Belanda sendiri. Tanah-tanah yang dijual itu dikenal dengan sebutan tanah
partikelir.

3. Pada masa pemerintahan Gubernur Thomas Stamford Raffles (1811-1816)

Kebijakan yang ditetapkan oleh Gubernur Thomas Stamford Raffles adalah


landrent atau pajak tanah. Tanah-tanah di daerah swapraja di Jawa adalah milik
raja, sedang rakyat hanya sekedar memakai dan menggarapnya. Karena kekuasaan
telah beralih kepada Pemerintah Inggris, maka sebagai akibat hukumnya adalah
hak kepemilikan atas tanah-tanah tersebut dengan sendirinya beralih pula kepada
Raja Inggris. Dengan demikian, tanah-tanah yang dikuasai dan digunakan oleh

4
rakyat itu bukan miliknya, melainkan milik Raja Inggris. Oleh karena itu, mereka
wajib memberikan pajak tanah kepada Raja Inggris, sebagaimana sebelumnya
diberikan kepada raja mereka sendiri.

4. Pada masa pemerintahan Gubernur Johanes van de Bosch

Pada tahun 1830 Gubernur Johanes van de Bosch menetapkan kebijakan


pertanahan yang dikenal dengan Tanam Paksa atau Cultuur Stelsel. Dalam sistem
tanam paksa ini, petani dipaksa untuk menanam suatu jenis tanaman tertentu yang
secara langsung maupun tidak langsung dibutuhkan pasar internasional pada
waktu itu. Hasil pertanian tersebut diserahkan kepada pemerintah kolonial tanpa
mendapat imbalan apa pun, sedangkan bagi rakyat yang tidak mempunyai tanah
pertanian wajib menyerahkan tenaga kerjanya yaitu seperlima bagian dari masa
kerjanya atau 66 hari untuk waktu satu tahunnya.

5. Pada masa berlakunya Agrarische Wet Stb. 1870 No.55

Dengan berlakunya Agrarische Wet, politik monopoli (politik kolonial


konservatif) dihapuskan dan digantikan dengan politik liberal yaitu pemerintah
tidak ikut mencampuri di bidang usaha, pengusaha diberikan kesempatan dan
kebebasan mengembangkan usaha dan modalnya di bidang pertanian di Indonesia.

6. Pada masa berlakunya Agrarische Besluit Stb.1870 No.118

Pada masa berlakunya Agrarische Besluit, di Kesultanan Yogyakarta juga terdapat


ketentuan semacam Domein Verklaring, yang dimuat dalam Rijksblad Yogyakarta
tahun 1918 No.16. Dengan berlakunya Domein Verklaring, kedudukan rakyat
Indonesia yang memiliki tanah berada pada pihak yang lemah karena hampir
semua tanah tersebut tidak mempunyai tanda bukti pemilikan sertifikat, sehingga
secara yuridis formal tanah-tanah tersebut menjadi domein (milik) negara. Rakyat
Indonesia yang memiliki tanah dianggap sebagai penyewa atau penggarap saja
dengan membayar pajak atas tanah.

Politik Pertanahan (Agraria) Kolonial / Penjajah

5
Dasar politik agraria kolonial adalah prinsip dagang, yaitu mendapatkan hasil
bumi/bahan mentah dengan harga yang serendah mungkin, kemudian dijual dengan harga
setinggi-tingginya. Tujuannya ialah tidak lain mencari keuntungan yang sebesar-besarnya
bagi diri pribadi penguasa kolonial yang merangkap sebagai penguasa. Keuntungan ini juga
dinikmati oleh pengusaha Belanda dan penguasa Eropa. Sebaliknya bagi rakyat Indonesia
menimbulkan penderitaan yang sangat mendalam.

Sistem kolonial ditandai oleh 4 ciri pokok, yaitu dominasi, eksploitasi, diskriminasi,
dan dependensi. Prinsip dominasi terwujud dalam kekuasaan golongan penjajah yang
minoritas terhadap penduduk pribumi yang mayoritas. Dominasi ini ditopang oleh
keunggulan militer kaum penjajah dalam menguasai dan memerintah penduduk pribumi.
Eksploitasi atau pemerasan sumber kekayaan tanah jajahan untuk kepentingan negara
penjajah. Penduduk pribumi diperas tenaga dan hasil produksinya untuk diserahkan kepada
pihak penjajah, yang kemudian oleh pihak penjajah itu dikirim ke negara induknya untuk
kemakmuran mereka sendiri. Diskriminasi atau perbedaan ras dan etnis. Golongan penjajah
dianggap sebagai bangsa superior, sedangkan penduduk pribumi yang dijajah dipandang
sebagai bangsa yang rendah atau hina. Dependensi atau ketergantungan masyarakat jajahan
terhadap penjajah. Masyarakat terjajah menjadi makin tergantung kepada penjajah dalam hal
modal, teknologi, pengetahuan dan keterampilan karena mereka semakin lemah dan miskin.

Politik Hukum Pertanahan (Agraria) Pada Masa Orde Lama, Periode Demokrasi
Liberal (1945-1959)

Hukum agraria pada zaman Hindia Belanda telah menunjukkan bahwa hukum agraria
zaman kolonial sangat eksploitatif, dualistik, feodalistik. Dengan asas Domein Verklraing
yang menyertainya, jelas sangat bertentangan dengan kesadaran hukum dan rasa keadilan
dalam masyarakat. Oleh sebab itu, wajar jika setelah proklamasi kemerdekaan timbul
tuntutan agar segera diadakan pembaruan terhadap hukum agraria. Untuk menanggapi
berbagai tuntutan itu pada tanggal 6 Maret 1948, presiden membentuk sebuah komisi yang
dikenal dengan Panitia Tanah Konversi. Dari komisi ini disampaikan rancangan UU untuk
memperbaiki Peraturan Sewa Tanah atas tanah milik pangeran melalui sepucuk surat tanggal
28 Maret 1948 kepada Presiden Soekarno. Akhirnya keluarlah UU No. 13 Tahun 1948 yang
menghapus hak konversi.

6
Pada periode 1945-1959 pemerintah belum berhasil membuat UU Agraria nasional
yang bulat sebagai pengganti Agrarische Wet 1870. Sejak awal kemerdekaan pemerintah
telah mengambil langkah-langkah konkret untuk mengalhiri berlakunya UU produk
kolonialisme, meskipun kenyataannya UU agraria nasional yang “bulat” baru dapat
diundangkan pada tahun 1960.

Diantara berbagai pertauran perundang-undangan yang penting yang dilahirkan


sebagai kebijaksanaan dan tafsir baru menyangkut hal-hal sebagai berikut :

1. Penghapusan Hak Konversi dengan UU No.13 Tahun 1948 yang kemudian


dilengkapi UU No.5 Tahun 1950.

2. Penghapusan Tanah Partikelir dengan UU No.1 Tahun 1958.

3. Perubahan Peraturan Persewaan Tanah Rakyat dengan UU Darurat No.6 Tahun


1951 yang kemudian dikukuhkan menjadi UU biasa dengan UU No. 6 Tahun
1952.

4. Penambahan Peraturan dalam Pengawasan Pemindahan Hak atas Tanah dengan


UU Darurat No.1 Tahun 1952 yang kemudian dikukuhkan menjadi UU No.24
Tahun 1954.

5. Penaikan Besarnya Canon dan Cijns dengan UU No.78 Tahun 1957.

6. Larangan dan Penyesuaian Pemakaina Tanah Tanpa Izin dengan UU Darurat No.8
Tahun 1954, kemudian dirubah dan ditambah dengan UU Darurat No.1 Tahun
1956.

7. Pengaturan Perjanjian Bagi Hasil dengan UU No.2 Tahun 1960.

8. Pengalihhan Tugas-tugas Wewenang Agraria dengan Keppres No.55 Tahun 1955


dan UU No.7 Tahun 1958.

Untuk menyusun UU Agraria yang bercorak nasional dan bulat (menyeluruh) guna
menggantikan UU Agraria peninggalan kolonial, maka sejak awal kemerdekaan telah
dibentuk komisi atau panitia yang diberi tugas menyusun dasar-dasar hukum agraria baru.
Namun, hasil akhir dan kerja-kerja berbagai panitia baru mengkristal dalam bentuk UU pada
tahun 1960, artinya setelah terlampuinya periode 1945-1959. Ada beberapa panitia yang
terbentuk dalam usaha menyusun UU agraria nasional, yaitu :
7
1. Panitia Agraria Yogya.

Panitia ini dibentuk pada tahun 1948 di ibukota Republik Indonesia, Yogyakarta.
Pembentukannya dilakukan dengan Penetapan Presiden No.16 Tahun 1948.

2. Panitia Agraria Jakarta

Setelah Indonesia kembali menjadi negara kesatuan dan ibu kota negara berpindah
lagi ke Jakarta, dirasakan perlunya pembentukan Panitia Agraria yang baru yang
dapat bekerja sesuai dengan perkembangan keadaan. Pada tanggal 19 Maret 1951,
dengan Keppres No.36 Tahun 1951, Panitia Agraria Yogyakarta dibubarkan dan
digantikan dengan panitia baru, yakni Panitia Agraria Jakarta.

3. Panitia Soewahjo

Panitia ini dibentuk untuk melangkah lebih lanjut dalam upaya pembentukan
hukum agraria yang baru sesuai dengan pasal 26, pasal 37 (1) dan pasal 38 (3)
UUDS 1950. Dibentuk dengan Keppres No.1 Tahun 1956 panitia ini diketuai oleh
Soewahjo Soemodilogo dengan tugas utama menyusun rancangan UU Pokok
Agraria Nasional yang sedapat mungkin sudah dapat menyelesaikan tugasnya
dalam waktu 1 tahun.

4. Rancangan Soenarjo

Hasil RUU yang disusun Panitia Soewahjo, dengan beberapa penambahan atas
sistematika dan beberapa pasalnya, disetujui oleh pemerintah untuk diajukan
kepada DPR. Rancangan yang diajukan kepada DPR tanggal 24 April 1958
disebut Rancangan Soenarjo karena pada waktu itu menteri agraria yang mewakili
pemerintah mengajukan RUU itu kepada DPR adalah Soenarjo.

Sejak RUU Soenarjo diserahkan kepada Panitia ad hoc yang dibentuk DPR, dan
dilengkapi bahan-bahan baru agar lebih sempurna, pembahasannya di dalam
sidang pleno menjadi tertunda. Ketika pada tahun 1959 terjadi perubahan
konfigurasi politik dengan Dekrit 5 Juli 1959 RUU tersebut ditarik kembali oleh
pemerintah pada tanggal 23 Mei 1960. Alasan penarikan itu secara yuridis
konstitusional dapat dimengerti, sebab RUU itu disususn berdasarkan UUDS
1950, sedangkan UUD yang berlaku berdasar Dekrit 5 Juli 1959 adalah UUD
1945.
8
Rangkaian langkah-langkah dalam membuat peraturan perundang-undangan secara
parsial dan membentuk berbagai panitia agraria, bahkan sampai menggajukan RUU-nya,
menunjukkan bahwa pada periode ini pemerintah bersungguh-sungguh untuk membuat
hukum agrraria yang responsif atau sesuai denggan rasa keadilan dalam masyarakat.
Meskipun belum pada hukum agraria nasional yang komprehensif, tetapi dari produk-
produknya yang parsial itu, dapat dilihat dengan jelas, hukum agraria pada periode ini
berkarakter sangat responsif. Watak responsif terlihat dari respons pemerintah pada aspirasi
seluruh masyarakat Indonesia yang menuntut secara keras dibentuknya UU agraria nasional.
Tindakan pemerintah dalam member respons tersebut, terlihat dari dibuatnya berbagai UU
secara parsial, sama sekali tidak bersifat positivis-instrumentalis, melainkan menyerap
aspirasi masyarakat pada umumnya. Tanpa harus membuat rincian kewenangan interpretasi
pemerintah atas berbagai produk hukum agaraia yang parsial, (karena pada periode ini belum
ada produk hukum agraria nasional yang komprehensif), pemberian kualifikasi responsif atas
bentuk-bentuk respons pemerintah sudah menunjukkan signifikansi yang proposional.

Politik Hukum Pertanahan (Agraria) Pada Masa Orde Lama, Periode Demokrasi
Terpimpin (1959-1966)

Menteri Agraria yang baru Sadjarwo, tidak lupa untuk terus mengusahakan
terciptanya hukum agraria nasional yang baru. Sebuah rancangan UU baru, yang disesuaikan
dengan UUD 1945 dan Manifesto Politik, diajukan kepada DPR-GR oleh pemerintah dengan
sebuah amanat presiden tanggal 1 Agustus 1960. Pada tanggal 14 September 1960 DPR-GR
dengan suara bulat menerima RUU agraria yang diajukan oleh pemerintah. RUU yang telah
disetujui tersebut disahkan 24 September 1960 sebagai UU No.5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang menurut diktum kelimanya dapat disebut sebagai
Undang-undang Pokok Agraria (UUPA).

Beberapa peraturan yang dicabut secara eksplisit oleh UUPA :

1. Agrarische Wet (S.1870-55), sebagai yang termuat dalam pasal 51 Wet op de


Staatsinrichting van Nederlands Indie (S.1925-447) dan ketentuan dalam ayat-
ayat lainnya dari pasal itu ;

2. Domein Verklaring, tersebut dalam pasal 1 Agrarische Besluit S.1870-118.

9
Algemene Domeinverklaring, tersebut dalam pasal 1 dalam s.1875-119a.

Domeinverklaring untuk Sumatera, tersebut dalam pasal dari S.1874-94 f.

Domeinverklaring untuk Keresidenan Menado, tersebut dalam pasal I dari S.1877-


55.

Domeinverklaring untuk Residentie Zuider en Qoster-afdeling van Borneo,


tersebut dalam pasal 1 dari S.1888-58.

3. Koninklijk Besluit tangggal 16 April 1872 No.29 (S.1872-117) dan peraturan


pelaksanaannya.

4. Buku II Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) sepanjang


yang mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya,
kecuali ketentuan-ketentuan mengenai hipotek yang masih berlaku pada mulai
berlakunya UUPA.

Disamping pencabutan secra tegas (eksplisit) terdapat juga pencabutan yang sifatnya
tidak langsung (implisit), yakni terhadap semua peraturan perundang-undangan yang
bertentangan dengan jiwa UUPA. Dalam kaitan ini dapat disebutkan sebagai contoh bahwa
S.1875-179 menjadi tidak berlaku (tercabut) karena memuat ketentuan-ketentuan yang
bertentangan jiwa UUPA. S.1875-179 berisi “larangan pengasingan tanah” dari penduduk asli
Indonesia (golongan Bumi Putra) terhadap orang asing.

Dari sudut materinya yang bukan positivis-instrumentalis tersebut UUPA


memperlihatkan karakter responsifnya dengan merombak seluruh sistem yang dianut oleh
Agrarische Wet 1870, menghapus domeinverklaring, menghilangkan feodalisme dan segala
hak konversinya, menghilangkan dualism hukum sehinggga tercipta unifikasi hukum, serta
penegasan tentang melekatnya “fungsi sosial” atas hak atas tanah. Adanya hak menguasai
oleh negara justru memberi jalan bagi tindakan responsif lainnya karena dari hak tersebut
pemerintah dapat melakukan tindakan-tindakan yang berpihak bagi kepentingan masyarakat.

Politik Hukum Pertanahan (Agraria) Pada Masa Orde Baru (1966-1998)

Pemerintah Orde Baru tidak lagi mengahadapi tuntutan untuk membuat hukum
agraria nasional, sebab tugas itu sudah selesai ketika UUPA diundangkan pada tanggal 24
10
september 1960. Berkenaan dengan pelaksanaan UUPA pada periode Orde baru ini ada tiga
masalah pokok yang dihadapi oleh pemerintah, yaitu pembuatan peraturan pelaksana,
penyesuaian kembali isi peraturan-peraturana tertentu di bidang agraria, dan pelaksanaan
proses pembebasan tanah untuk keperluan pembangunan.

Salah satu hal yang sering menjadi masalah publik adalah masalah pembebasan tanah
untuk keperluan pembangunan. Seperti diketahui, UUPA memberi legitimasi kepada
pemerintah untuk melakukan pencabutan hak atas tanah demi kepentingan umum yang
pedomannya diatur dalam UU No.20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak atas Tanah. Pada
masa orde baru tuntutan pembangunan nasional semakin memperbesar kapasitas tuntutan atas
tanah dan volume pengambilan tanah dari masyarakat. Hal ini menjadi masalah karena
kreteria kepentingan umum sebagai alasan pencabutan belum diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang proporsional. Pada tahun 1973 presiden mengeluarkan Inpres
No.9 Tahun 1973 yang berisi pedoman jenis-jenis kegiatan yang dapat dikategorikan
kepentingan umum. Meskipun secara materiil Inpres tersebut dapat dipakai, tetapi secara
formal, seharusnya materi yang begitu penting tidak hanya diatur dengan sebuah Inpres yang
biasanya bersifat teknis dan einmalig. Materi Inpres tersebut seharusnya diatur dengan UU,
karena menyangkut hak rakyat banyak. Pemberian bentuk Inpres atas kriteria “kepentingan
umum” lebih merupakan tindakan pragmatis pemerintah dalam melancarkan program-
progrmnya.

Pada era orde baru ini tidak ada lagi produk baru hukum agraria nasional karena
produk periode sebelumnya yang memiliki karakter responsif masih terus diberlakukan. Ada
kecendrungan untuk keperluan pragmatis pada era orde baru ini dibuat beberapa paraturan
perundangan agraria secara parsial dengan watak konservatif. Kecendrungan ini terlihat,
misalnya dengan adanya PMDN No.15 tahun 1957 dan Inpres No.9 tahun 1973. Kedua
peraturan perundang-undangan ini jika dilihat dari materinya lebih proporsional untuk
dituangkan dalam bentuk UU. Akan tetapi, tuntutan pragmatis telah membawa pemerintah
untuk melahirkannya hanya dalam bentuk Peraturan Menteri dan Instruksi Presiden. Kedua
bentuk peraturan perundang-undangan tersebut jelas sangat tidak partisipatif karena secara
formal hanya dilakukan secara sepihak oleh pemerintah, dan dengan sendirinya tidak aspiratif
karena tidak membuka saluran secara wajar bagi masuknya aspirasi masyarakat.

Memang sebagai produk hukum yang tidak menyangkut gezagverhouding dan yang
mencakup hukum publik dan privat, UUPA berkarakter responsif, tetapi interpretasi
11
pemerintah dalam bentuk peraturan perundang-undangan secara parsial untuk keperluan
pragmatis dalam rangka pelaksanaan program-program pembangunan memperlihatkan watak
yang konservatif. Adanya Kepres No.55 Tahun 1993, meskipun membawa sedikit kemajuan,
namun bentuk peraturannya tetap tidak proporsional. Materinya yang prinsip seharusnya
menjadi materi UU yang tidak dapat dibuat sepihak oleh eksekutif.

Politik Pertanahan (Agraria) Pada Era Reformasi (1998-Saat ini)

Seiring dengan perubahan konstelasi politik, alam demokrasi yang semakin menguat,
dan dilaksanakannya sistem desentralisasi, maka semangat pembaruan agraria juga
menggema dan kemudian melahirkan Ketetapan MPR Nomor IX Tahun 2001 yang
merekomendasikan dilakukannya pembaruan atau revisi terhadap UUPA. Beberapa peraturan
perundang-undangan tentang pengelolaan sumber daya alam (agraria) dikeluarkan sejak
dilakukannya reformasi pemerintahan di tahun 1998. Baik itu yang kemudian dinilai
merupakan langkah maju maupun yang justru dinilai mundur dari substansi peraturan-
peraturan sebelumnya.
Landreform kembali masuk dalam program penting pembaruan agraria, yaitu
disebutkan dalam Pasal 5 TAP MPR RI No.IX/MPR/2001 bahwa salah satu arah kebijakan
pembaruan agraria adalah:
1. Melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan
pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan
kepemilikan tanah oleh rakyat;
2. Menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan registrasi
penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah secara komprehensif dan
sisematis dalam rangka pelaksanaan landreform.
Dalam rancangan Undang-Undang tentang Sumber Daya Agraria disebutkan Tanah
dan sumberdaya agraria selain tanah yang penguasaan dan pemilikannya melebihi batas
maksimum, dikuasai oleh Pemerintah dan ditetapkan sebagai objek landreform untuk
dibagikan kepada warga masyarakat yang termasuk dalam kelompok yang memperoleh hak
utama.
Selanjutnya pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, redistribusi tanah
pun kembali diagendakan. Pembagian 8,15 juta hektar lahan ini akan dilakukan pemerintah
tahun 2007 hingga 2014. Diperkirakan, 6 juta hektar lahan akan dibagikan pada masyarakat
12
miskin. Sisanya 2,15 juta hektar diberikan kepada pengusaha untuk usaha produktif yang
melibatkan petani perkebunan. Tanah yang di bagian ini tersebar di Indonesia, dengan
prioritas di Pulau Jawa, Sumatera, dan Sulawesi Selatan. Tanah itu berasal dari lahan kritis,
hutan produksi konversi, tanah telantar, tanah milik negara yang hak guna usahanya habis,
maupun tanah bekas swapraja (Kompas, tanggal 30 Januari 2007).
Bahwa kebijakan pembaharuan agraria dan sumber daya alam tersebut dilaksanakan
antara lain dengan melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan agraria dalam rangka sinkronisasi kebijakan antar sektor
serta menyelesaikan konflik-konflik berkenaan dengan sumber daya agraria yang timbul
selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik dimasa mendatang guna menjamin
terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan pada prinsip-prinsip berkeadilan.
Bahwa hal tersebut dimandatkan secara tegas dalam ketentuan Pasal 6 dan Pasal 7
TAP-MPR No.IX Tahun 2001 dimana DPR RI bersama Presiden ditugaskan untuk segera
mengatur lebih lanjut pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam,
serta mencabut, mengubah dan/atau mengganti semua undang-undang dan peraturan
pelaksanaannya yang tidak sejalan dengan Ketetapan ini, serta untuk segera melaksanakan
Ketetapan tersebut dan melaporkan pelaksanaannya pada Sidang Tahunan MPR RI.
Bahwa dengan disahkannya peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan
sumber daya alam1 telah merusak politik pembaharuan hukum pengelolaan agraria dan
sumber daya alam yang telah dimandatkan secara tegas dalam TAP-MPR No.IX Tahun 2001,
sehingga berpotensi kembali melanggengkan pola pengelolaan sumber daya alam yang
berorientasi pada eksploitasi (use oriented) yang mengabaikan kepentingan konservasi dan
keberlanjutan fungsi sumber daya alam, karena semata-mata digunakan sebagai perangkat
hukum (legal instrument) untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, orientasi pengelolaan
sumber daya alam yang lebih berpihak pada pemodal-pemodal besar (capital oriented),
dimana hal tersebut akan mengabaikan kepentingan dan akses atas sumber daya alam serta
mematikan potensi-potensi pengelolaan perekonomian masyarakat lokal.

1
Misalnya, antara lain: UU No.22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.; UU No.27 Tahun 2003
tentang Panas Bumi.; UU No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.; UU No.18 Tahun 2004 tentang
Perkebunan.; UU No.19 Tahun 2004 tentang Penetapan Perpu No.1 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas UU
No.41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang.; UU No.31 Tahun 2004 tentang Perikanan.;
UU No.4 Tahun 2006 tentang Pengesahan International Treaty On Plant Genetic Resources For Food And
Agriculture (Perjanjian Mengenai Sumber Daya Genetik Tanaman Untuk Pangan Dan Pertanian).; UU No.25
Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.; UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.; UU No.27 Tahun
2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil.; UU No.30 Tahun 2007 tentang Energi dan
UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara.
13
Implementasi pengelolaan yang dilakukan Pemerintah akhirnya bersifat sangat
sektoral, sehingga sumber daya alam tidak dilihat sebagai sistem ekologi yang terintegrasi
dan tidak terkoordinasi serta berpotensi melanggar hak asasi manusia berkaitan dengan
penguasaan, pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam. Hal ini bertentangan dengan
Pembukaan alinea IV UUD 1945 yang menyatakan:
“..... untuk membentuk suatu Pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial .....”.

Hal ini sejalan dengan tujuan dan politik hukum pertanahan/agraria, yaitu antara lain:
1. Untuk mengatur keselarasan dan keseimbangan dalam pemanfaatan bumi, air, ruang
angkasa dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dalam hubungannya dengan
kepentingan manusia menuju masyarakat yang adil dan makmur.
2. Untuk menjamin ketertiban, kepastian hukum dan keadilan dalam hubungannya
dengan hak-hak seseorang atau masyarakat atas tanah (bumi), air, ruang angkasa dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
3. Untuk penyederhanaan hukum dan kesatuan hukum dalam mengatur halhal yang
berkaitan dengan agraria atau pertanahan dengan memperhatikan hukum adat.
4. Untuk mengatur dan sekaligus membatasi hak dan kewajiban seseorang atau badan
hukum, dan masyarakat serta negara dalam hubungannya dengan kepemilikan,
penguasaan, penggunaan atau pemanfaatan, pengusahaan, pemakaian, penatagunaan
dan pengelolaan atas bumi (tanah), air, ruang angkasa dan kekayaan yang terkandung
di dalamnya.
5. Untuk memberikan atau menetapkan kekuasaan dan kewenangan kepada pemerintah
dalam mengatur hubungan hukum antara seseorang atau badan hukum tertentu dengan
tanah yang dimiliki, dikuasai, digunakan, dimanfaatkan, dipakai, dikelola, baik oleh
seseorang, masyarakat, badan hukum maupun instansi pemerintah lainnya.
Hal ini harus disesuaikan dengan Pasal 5 ayat 2 Ketetapan MPR RI No.IX/MPR/2001
tentang Pembaruan Agraria Dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang menyebutkan bahwa
arah kebijakan dalam pengelolaan sumber daya alam adalah:
1. Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundangundangan yang
berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam dalam rangka sinkronisasi kebijakan

14
antarsektor yang berdasarkan prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 4
Ketetapan ini;
2. Mewujudkan optimalisasi pemanfaatan berbagai sumber daya alam melalui
identifikasi dan inventarisasi kualitas dan kuantitas sumber daya alam sebagai potensi
pembangunan nasional;
3. Memperluas pemberian akses informasi kepada masyarakat mengenai potensi sumber
daya alam di daerahnya dan mendorong terwujudnya tanggung jawab sosial untuk
menggunakan teknologi ramah lingkungan termasuk teknologi tradisional;
4. Memperhatikan sifat dan karakteristik dari berbagai jenis sumber daya alam dan
melakukan upaya-upaya meningkatkan nilai tambah dari produk sumber daya alam
tersebut;
5. Menyelesaikan konflik-konflik pemanfaatan sumber daya alam yang timbul selama
ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang guna menjamin
terlaksananya penegakan hukum;
6. Mengupayakan pemulihan ekosistem yang telah rusak akibat eksploitasi sumber daya
alam secara berlebihan;
7. Menyusun strategi pemanfaatan sumber daya alam yang didasarkan pada optimalisasi
manfaat dengan memperhatikan potensi, kontribusi, kepentingan masyarakat dan
kondisi daerah maupun nasional.
Bahwa dengan berbagai indikasi penyimpangan atas beberapa prinsip yang disebut di
atas telah terjadi pembelokan prinsip negara hukum, dimana hukum telah dipakai menjadi
alat (instrument) untuk kepentingan kekuasaan semata, sehingga masyarakat menganggap
perlu untuk mengajukan uji materil ke Mahkamah Konstitusi, karena Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia mempunyai kewenangan mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-undang terhadap UUD 1945, seperti
dinyatakan dalam Pasal 24C UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-undang
Republik Indonesia No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Para Pemohon yang
hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan, misalnya:
1. Putusan MK No.01-21-22/PUU-I/2003, menyatakan UU No.20 Tahun 2002 tentang
Ketenagalistrikan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
2. Putusan MK No.002/PUU-I/2003 tentang menyatakan Pasal 12 ayat (3) sepanjang
mengenai kata-kata “diberi wewenang”, Pasal 22 ayat (1) sepanjang mengenai kata-

15
kata “paling banyak”, dan Pasal 28 ayat (2) dan ayat (3) UU No. 22 Tahun 2001
tentang Minyak dan Gas Bumi tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
3. Putusan MK No.58-59-60-63/PUU-II/2004 dan No.08/PUU-III/2005 tentang
Pengujian UU No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, yang walaupun ditolak,
namun dalam pertimbangan hukumnya majelis menganggap bahwa alasan-alasan
permohonan dapat dimaklumi.
4. Putusan MK No.03/PUU-III/2005 tentang Pengujian UU No.19 Tahun 2004 tentang
Perubahan UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, menyatakan menolak
Permohonan Pemohon.
5. Putusan MK No.13/PUU-III/2005 tentang Pengujian UU No.41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan.; permohonan Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard);
6. Putusan MK No.21/PUU-III/2005 tentang Pengujian UU No.19 Tahun 2004 tentang
Perubahan UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, menyatakan permohonan
Pemohon ditolak untuk seluruhnya.
7. Putusan MK No.11/PUU-V/2007 tentang Pengujian UU No.56 Prp Tahun 1960
tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, menyatakan permohonan pemohon ditolak.
8. Putusan MK No.20/PUU-V/2007 tentang Pengujian UU No. 22 Tahun 2001 tentang
Minyak dan Gas Bumi, menyatakan Permohonan para Pemohon tidak dapat diterima
(niet ontvankelijk verklaard);
9. Putusan MK No.21-22/PUU-V/2007 tentang Pengujian UU No.25 Tahun 2007
tentang Penanaman Modal, menyetakan Pasal 22 ayat (1) dan ayat (2) sepanjang
menyangkut kata-kata “di muka sekaligus” dan “sekaligus di muka”; tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat;
Dengan adanya berbagai permohonan uji materil atas peraturan perundang-undangan
yang menyangkut pertanahan, maka perlu diterapkan sistem pengelolaan pertanahan yang
efisien, efektif, serta melaksanakan penegakan hukum terhadap hak atas tanah dengan
menerapkan prinsip-prinsip keadilan, transparansi, dan demokrasi. Selain itu, perlu dilakukan
penyempurnaan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah melalui
perumusan berbagai aturan pelaksanaan land reform serta penciptaan insentif/disinsentif
perpajakan yang sesuai dengan luas, lokasi, dan penggunaan tanah agar masyarakat golongan
ekonomi lemah dapat lebih mudah mendapatkan hak atas tanah. Selain itu, menyempurnakan
sistem hukum dan produk hukum pertanahan melalui inventarisasi dan penyempurnaan
peraturan perundang-undangan pertanahan dengan mempertimbangkan aturan masyarakat

16
adat, serta peningkatan upaya penyelesaian baik melalui kewenangan administrasi, peradilan,
maupun alternative dispute resolution. Selain itu, akan dilakukan penyempurnaan
kelembagaan pertanahan sesuai dengan semangat otonomi daerah dan dalam kerangka
Negara Kesatuan Republik Indonesia, terutama yang berkaitan dengan peningkatan kapasitas
sumber daya manusia bidang pertanahan di daerah.
Salah satu peraturan perundang-undangan yang menimbulkan banyak tanggapan dari
masyarakat adalan Peraturan Presiden No.36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah bagi
Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Berbagai tanggapan tersebut menjadi
lebih mendasar ketika masyarakat melihat bahwa substansi atau materi yang diatur dalam
Peraturan Presiden sangat kental dengan pencabutan hak atas tanah, bangunan, tanaman, serta
benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah oleh negara dengan pemberian ganti rugi
senilai Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) untuk tanah, atau berdasarkan perhitungan dari instansi
pemerintah yang bersangkutan dengan benda-benda selain tanah. Hal tersebut sangat
meresahkan masyarakat dan menjadi masalah sosial yang timbul di masyarakat.
Permasalahan utamanya adalah hak masyarakat atas hak atas tanah, bangunan, tanaman, serta
benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah menjadi terganggu. Pemerintah dapat saja “
seolah-olah “ dalam rangka kepentingan umum yang sebenarnya adalah akses memperlancar
“bisnis“ segelintir orang mencabut hak masyarakat tersebut, terlebih yang dimaksud dengan
kepentingan umum dalam Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005 tersebut telah mengalami
perluasan kriteria jika dibandingkan dengan Keputusan Presiden No. 55 tahun 1993.
Sekalipun diatur mengenai musyawarah dalam Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005, akan
tetapi jika musyawarah gagal ditempuh kemudian terdapat uang pengganti dari pemerintah
yang dititipkan ke pengadilan, hingga presiden sendiri yang mencabut hak atas tanah itu.

Hal tersebut menunjukan diperlemahnya akses masyarakat akan hak atas tanah dan
dilanggarnya hak sipil-politik dan hak ekonomi, sosial, budaya oleh masyarakat oleh
pemerintah. Tetapi mungkin saja justru para pemodal yang diuntungkan, termasuk investor
asing. Sahala Sianipar, Direktur Golin/Haris Internasional Pte Ltd Singapura, perusahan
publik relation yang bermarkas di AS, mengungkapkan, bahwa beberapa investor asing
memang belum mau meneken persetujuan investasi di proyek infarstruktur karena belum ada
jaminan soal pertanahan di Indonesia. Investor asing tidak mungkin berhadapan langsung
dengan masyarakat di Indonesia. Sebab itu, investor menginginkan agar pemerintah mengatur
soal tanah (Jawa Pos Online, 08/05/2005). Dan nampaknya bahwa pemerintah ingin
menguasai tanah masyarakatnya dengan harga murah. Pada kenyataan – seperti yang
17
disampaikan Abdul Haris Kepala Subdit Pertanahan Bappenas Jakarta - bahwa berdasarkan
hasil pemantauan proyek-proyek pemerintah yang berupa pinjaman luar negeri diperoleh
bahwa salah satu faktor penghambat pelaksanaan proyek tersebut adalah kurangnya dana
pengadaan tanah, adanya hambatan dalam proses pembebasan tanah, maupun hambatan
dalam permukiman kembali (Media Indonesia Kamis, 26 Mei 2005).

Peraturan Presiden No.36 Tahun 2005 memiliki kecendrungan untuk keperluan


pragmatis pada era ini yang dibuat secara parsial dengan watak konservatif. Peraturan
Presiden tersebut jika dilihat dari materinya lebih proporsional untuk dituangkan dalam
bentuk UU. Akan tetapi, tuntutan pragmatis telah membawa pemerintah untuk melahirkannya
hanya dalam bentuk Peraturan Presiden. Peraturan Presiden tersebut jelas sangat tidak
partisipatif karena secara formal hanya dilakukan secara sepihak oleh presiden (pemerintah),
dan dengan sendirinya tidak aspiratif karena tidak membuka saluran secara wajar bagi
masuknya aspirasi masyarakat. Peraturan Presiden itu juga tidak memberikan rasa keadilan
bagi masyarakat sehingga dalam pelaksanaannya banyak mendapat perlawanan dari
masyarakat. Pada tahun 2006 diadakan perubahan terhadap PP No.36 tahun 2005 yang
dilakukan melalui Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas PP No.36
tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum. Hal ini semakin membuktikan bahwa PP No.36 tahun 2005 tidak berwatak responsif
dan tidak mampu mengakomodir kepentingan dan aspirasi masyarakat Indonesia dalam
bidang pertanahan (agraria).

18
DAFTAR ISI

1. Pengertian Politik Hukum ………………………….……………...…………………...1

2. Hukum Sebagai Alat …………………………………………..………………………..1

3. Hukum Sebagai Produk Politik ……………………………………………...…...........2

4. Politik Hukum Pertanahan (Agraria) ……………………………………………..…..2

5. Perkembangan Politik Hukum Pertanahan (Agraria) Di Indonesia ………………..3

6. Politik Hukum Pertanahan (Agraria) Pada Masa Kolonial / Penjajahan ……....….3

7. Politik Pertanahan (Agraria) Kolonial / Penjajah …………………………………...5

8. Politik Hukum Pertanahan (Agraria) Pada Masa Orde Lama,

Periode Demokrasi Liberal (1945-1959) …………………...………………………….5

9. Politik Hukum Pertanahan (Agraria) Pada Masa Orde Lama,

Periode Demokrasi Terpimpin (1959-1966) …………………………………...…...…8

10. Politik Hukum Pertanahan (Agraria) Pada Masa Orde Baru (1966-1998) ……...…9

19
11. Politik Hukum Pada Era Orde Baru (1998-Saat ini) ………………..………………11

DAFTAR PUSTAKA

Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia; Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah,


Cet.XVII, Djambatan, Jakarta, 2006.

20
Mahfud MD, Moh., Politik Hukum Di Indonesia, Cet.I, Raja Garafindo Persada, Jakarta,
2009.

Parlindungan, AP., Komentar Atas Undang Undang Pokok Agraria, Cet.IX, Mandar Maju,
Bandung, 2008.

Santoso, Urip, Hukum Agraria & Hak-Hak Atas Tanah, Cet.VI, Prenada Media Group,
Jakarta, 2010.

Peraturan Perundang-undangan :

Kitab Undang-Undang Agraria Dan Pertanahan, Fokusmedia, Bandung, 2009.

Sumber Media Internet :

Lilis Nur Faizah, Landreform: Sejarah Dari Masa Ke Masa, www.zeilla.wordpress.com

Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI), Tanggapan Terhadap Perpres
No. 36 Tahun 2005, http://www.pbhi.or.id.

21
TUGAS

HUKUM AGRARIA I

POLITIK HUKUM PERTANAHAN (AGRARIA) DI INDONESIA

22
I MADE WIDANA PUTRA, S.H.

NIM. 1092461024

PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2010

23

You might also like